Anda di halaman 1dari 5

Boutique

Cerpen Hudan Hidayat

Plasa Senayan adalah tempat aku menyembunyikan diri. Di sanalah aku berpaling dari
kehidupan yang keras. Ada sebuah kafe di pojok yang kusuka. Aku senang di sana. Kafe
Boutique.

Sore itu aku memesan bir --juga makanan kecil. Kukeluarkan laptop dan mulai mengetik.
"Maafkan dosa-dosaku Tuhan. Dan maafkan pula dia."

Aku berhenti. Minum seteguk bir. Seorang perempuan memandangku dan mata kami
bertemu. Ia memalingkan muka. Cantik juga. Siapa namanya? Pasti sedang menunggu
seseorang. Usianya paling banyak 30. Perempuan itu membalik-balik sebuah majalah.
Lalu tekun membaca. Aku kembali mengetik. "Engkau yang mengerti isi langit dan bumi.
Semoga perbuatan kami diampuni."

Perempuan itu kembali memandangku. Sekali lagi mata kami bertemu. Ia tersenyum.
Aku membalas senyumnya. Jarak kami cuma pelintasan jalan. Ia duduk di bawah tangga
evalator. Ia berhenti membaca. Kini mengeluarkan buku dan pulpen. Ia mencoret-coret di
buku itu. Lalu kembali membaca.

Karena memperhatikan caranya membaca, aku melihat cincin melingkar di jarinya. Jari-
jari yang serasi dengan lengan, tubuh dan wajahnya. Ia memang cantik. Wajahnya
lembut. Aku tak begitu yakin, apakah itu cincin biasa atau cincin kawin. Mungkin cincin
kawin.

Buku apa itu? Jari-jarinya menutupi huruf-huruf pertama. Aku hanya dapat melihat kata-
kata "SA", di ujung buku. Mungkin yang dibacanya buku Kafka. Rasanya dugaanku
benar, karena aku masih ingat cover buku Kafka. Jadi ia membaca Metamorposa. Aneh
juga. Di tengah lalu-lalang benda dan barang, Kafka hadir di sini. Aku mengetik lagi.
"Hidup jadi sumpek tanpa hiburan. Semua orang berhak menghibur diri."

Aku berhenti.
Ke mana dia? Tas dan bukunya masih di sana. Mungkin dia ke toilet di pojok. Aku
memperhatikan tas itu dengan seksama: sebuah tas hitam yang kecil. Aku berpikir,
ceroboh sekali. Bagaimana kalau seseorang mengambil tas itu? Benar ini plasa yang
besar. Banyak satpam. Tapi meninggalkan tas tetap kecerobohan.

Aku bangkit dan berjalan melewati mejanya. Membeli koran sore di seberang kafe.
Kembali ke mejaku lagi, aku melihat buku yang dibacanya. Tidak salah: Kafka.

Tak lama kemudian dia datang. Langkahnya gemulai. Ia memakai blazer hitam dan
tubuhnya seksi sekali. Rambutnya digerai sampai bahu. Ia kini lewat persis di depanku.
Aku mencium aroma parfum yang lembut. Aku mengangguk padanya dan dia membalas
anggukanku. Ia berjalan ke kasir. Apakah akan membayar dan pergi? Tidak. Rupanya ia
memesan sesuatu. Kasir itu mengangguk, tersenyum dengan ramah. Sekali lagi ia
berjalan di depanku.

"Hay, kukira sudah mau pulang?" kataku pada perempuan itu. Ia menjawab sambil
tersenyum.

"Belum. Aku masih senang di sini."


"Suka membaca ya?"

"Suka juga. Kamu sendiri lagi mengetik apa?"


"Aku? Aku mengetik jiwaku."

"Sebuah kias yang bagus. Sastra ya?"


"Begitulah."

Seorang pelayan berputar sambil membawa nampan.


"Maaf ya, Bu," katanya, "apakah akan kuletakkan di meja Ibu?"

Perempuan itu mau menjawab. Tapi aku segera berkata.


"Bagaimana kalau bergabung di mejaku? Atau aku ke mejamu?"

Ia tersenyum.
"Di sini saja!"

Ia berjalan ke mejanya, mengambil barang-barangnya dan berjalan ke mejaku. Pelayan


meletakkan minuman. Segelas redwine. Jadi ia minum anggur. Pemabukkah dia?
"Aku minum cuma iseng. Tak pernah mabuk. Orang kan butuh hiburan."

"Benar. Kamu kerja di mana?"


"Di sebuah perusahaan konsultan."

"Oh. Konsultan?"
"Ya. Konsultan psikologi."

"Oh, kukira tadi konsultan konstruksi."


"Konstruksi juga. Tapi jiwa manusia."

Ia tertawa. Matanya indah. Agak sipit. Agak sayu.


"Aku belum tahu namamu. Aku Hudan."

"Nama yang bagus. Aku Izza."


"Aku suka namamu. Nama yang indah."

"Ada kenangan rupanya?"


"Ya. Ada sedikit."
Hari mulai malam. Lampu-lampu dinyalakan. Tiga meja dari kami, duduk lima orang
anak muda. Mereka bercakap dengan gembira. Sesekali tawa mereka meledak. Persis di
depan, seorang ibu duduk melamun. Tangannya menggenggam bir. Kemudian masuk
seorang lelaki dan seorang perempuan sebaya. Tanpa memilih lagi, mereka duduk di
meja yang kosong. Seorang pelayan mendekat, menyodorkan menu. Lelaki itu tak peduli.
Perempuan itu menyebutkan sesuatu. Pelayan pergi. Lelaki dan perempuan itu duduk
berdiam diri. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit, dan setengah menunjuk, berteriak
kepada perempuan itu.

"Pertengkaran sudah dimulai!"


"Benar. Tapi untuk apa ya? Hidup mustinya dibuat gembira!"

"Ya begitulah hidup. Kamu sendiri, pernah kan bertengkar dengan suamimu?"
"Aku? Oh, aku belum kawin!"

"Belum kawin! Sudah kuduga. Dari caramu duduk dan membaca, aku tahu kamu belum
kawin. Tapi cincin di jarimu itu, bukankah cincin kawin?"
"Ini bukan cincin kawin. Aku senang saja memakainya. Kamu sendiri, pernah kan
bertengkar dengan istrimu?"

"Aku juga belum kawin. Memang pernah hampir, tapi tidak jadi."
"Mengapa? Ya, aku tahu. Perempuan itu bernama Izza! Dan kau punya kenangan.
Sedikit, katamu tadi."

"Kamu memperhatikan ya?"


"Lho, kita kan sedang bercakap-cakap. Apa kamu tidak memperhatikan?"

"Aku memperhatikan kamu dari tadi."


"Aku juga."

"Aku memperhatikan kamu membaca."


"Aku memperhatikan kamu mengetik."

"Dan kamu ke toilet."


"Dan kamu ke mejaku. Melihat bukuku."’

"Dan kamu memesan menu."


"Dan kamu mengajakku ke mejamu."
Kami tertawa. Izza cantik sekali kalau tertawa. Aku merasa ada yang hidup dalam diriku.
Tapi apakah hidup juga dalam dirinya? Aku pernah hidup semacam ini, tapi akhirnya
berantakan.

"Ceritakan tentang hidupmu. Mengapa tidak kawin dengannya? Siapa tadi namanya? Ya,
Izza. Seperti namaku! Kok kebetulan sekali? Aneh memang hidup ini."

"Kamu mau mendengar? Aku takut kamu tidak kuat."


"Mengapa? Ceritalah. Aku kuat. Aku siap mendengar apa saja."

"Benar kamu siap mendengar apa saja? Termasuk yang mengerikan?"


Izza memandangku heran. Ia tersenyum. Mungkin aku main-main, pikirnya. Tapi aku
tidak tersenyum. Izza mulai percaya aku serius.

"Ceritalah. Sungguh aku siap mendengar apa saja. Hidupku juga kacau. Mungkin tidak
kalah mengerikan dari hidupmu."
"Ya, memang hidup ini mengerikan."

Dan aku mulai bercerita. Tak terbayang aku bisa membunuh calon istriku. Suatu hari aku
melihat dia naik mobil bersama seorang lelaki. Aku heran, aku tidak kenal lelaki itu. Aku
mengikuti mobil mereka. Aku ikuti mereka masuk ke hotel. Sampai menghilang dalam
kamar. Tak lama kemudian kamar itu kuketuk. Kukatakan room service. Mereka
membuka kamar dan kudorong lelaki setengah baya itu ke ranjang. Kulihat Izza hanya
memakai handuk. Jadi inilah yang mereka kehendaki, kataku. Maka kubenamkan belati
ke dada lelaki itu. Aku pun mulai mendekati Izza. Dia berteriak dan meminta agar aku
mendengarnya. Aku tidak mendengarnya. Aku hanya membenamkan belatiku dengan
sekuat tenaga. Izza terpekik tak percaya. Tapi belati itu telah masuk dalam perutnya.
Sebelum dia mati, dia sempat berbisik ke telingaku. Meminta agar aku percaya,
memaafkannya: dia melakukan semua itu karena ayahnya harus operasi. Kanker, katanya.
Sedang mereka tak ada biaya operasi. Akhirnya Izza mengorbankan diri. Kupeluk Izza-
ku dengan sayang. Aku menangis. Mengapa begini jadinya, kataku padanya. Izza
mengucapkan kata-kata yang aku tak tahu maknanya. Lalu matanya terpejam, seperti
orang tidur. Begitulah ceritaku.

Aku tersadar ketika Izza memegang tanganku. Ia menatapku dengan tenang.


"Kamu tidak sendirian sayang," katanya padaku.

"Apa maksud kamu?"


"Aku juga sudah membunuh calon suamiku. Tapi kamu lebih beruntung: Izza-mu tidak
berkhianat. Ia cuma berkorban untuk ayahnya. Sedang calon suamiku berkhianat. Maka
aku membunuhnya."

"Dengan cara bagaimana kamu membunuhnya?"


"Aku membunuhnya begitu saja. Mereka melakukannya di kamarku. Andre memang
peminum. Tapi berjanji tidak akan minum lagi. Akan mengurangi sedikit-sedikit,
katanya. Aku percaya. Tapi ketika aku pulang, rumah sepi. Perasaanku tidak enak. Aku
membuka pintu depan. Berjalan ke kamarku. Kudengar suara tawa cekikikan. Lalu
kudengar suara Andre. Jadi begini rupanya. Maka kudorong pintu. Mereka terpekik.
Kedua-duanya tanpa busana. Kulihat botol vodka dengan isi setengahnya. Jadi begini
rupanya. Maka tanpa sadar tanganku meraih botol vodka dan menghempaskannya ke
kepala Andre. Belum puas, kupecahkan botol itu ke dinding. Dengan cepat benda tajam
itu kubenamkan ke wajahnya. Andre terkulai, seperti orang tak punya tulang belakang.
Kemudian pembantuku mau lari, tapi pintu segera kukunci."
"Oh, maafkan. Kukira nyonya keluar kota!"
"Ya, saya memang keluar kota, dan kini kembali untuk kalian berdua. Sini!" kataku
padanya. Ia berteriak.

"Jangan!"
Tapi pecahan botol vodka itu amblas ke mukanya.

"Begitulah ceritaku," kata Izza, sambil memainkan gelas dengan tangannya. Anggur yang
yang tinggal setengah itu bergoyang. Aku meneguk bir terakhirku. Kugenggam tangan
Izza. Ia membalas dengan genggaman yang sama. ***

Jakarta, 18 November 2003

Anda mungkin juga menyukai