1
“Kalo gue jadi Senja, gue juga bakal butuh waktu buat
kembali. Malu banget lah.”
Gue menangkap si Roby memberi kode pada Gaga.
“Jangan marah gue ngomongin sahabat lo Lan! Gue
ngomongin apa yang orang lain pikirin. Gue juga nggak
ngejelek-jelekin Senja kok. Toh dia udah buktiin diri kalo
dia bisa bersinar dengan caranya sendiri dan itu bikin
netizen bungkem.”
“Semua memang masalah waktu. Cuma gue nggak
suka aja caranya dia ninggalin orang-orang yang dia sayang
dan sayang sama dia kayak gini.”
“Gue rasa setiap orang punya cara sendiri untuk
ngatasin masalahnya. Mungkin dia pengen ngubur dirinya
dan menepi dulu. Kalo buat kita-kita, cara ngilangin
masalah dengan rokok sama alkohol. Nggak bisa disamain
setiap orang.” Gue tau Gaga emang bijak banget kalo
ngomongin orang.
“Kak Aslan.”
Gue melihat siapa yang menyapa gue. “Gerhana? Sama
siapa?”
“Sama temen-temen kuliah Kak.”
2
Gue berdiri, menghampiri adiknya Senja itu. “Kamu
kuliah di Jakarta?”
“Iya Kak. Udah hampir satu semester sih di sini.”
“Nyokap sama bokap?”
“Masih di Aussie Kak. Mungkin dalam bulan-bulan ini
bakal ke Indo.”
“Tinggal dimana sekarang? Aku sempet ke rumah
kalian, udah dijual.”
“Iya, rumah lama emang dijual, beli baru deket-deket
sini. Nanti aku wa-in alamatnya. Nomernya kak Aslan
nggak ganti kan? Nomerku ganti soalnya.”
“Iya, tetep kok. Nanti tolong kabarin aku juga kalo
nyokap bokap dateng.”
“Siiip. Kak.”
“Hm?”
“Kak Senja.”
Deg. Jantung gue rasanya mau berhenti.
“Udah hampir dua taun nggak ketemu kak Senja kan?”
“Dia nggak pernah mau ngasih tau lagi ada dimana.”
“Geri, ngapain? Nggak masuk?”
“Duluan aja! Bentar lagi nyusul.”
“Oke.”
3
Gerhana mengetik sesuatu di hpnya. “Udah aku kirim
alamat rumah Kak. Kak Senja lagi di Jakarta. Dia dateng
semalem. Mungkin besok dia pergi lagi.”
Gue melihat alamat yang dikirim Gerhana. “Makasih
ya Ger.”
“Sama-sama Kak. Kali aja kali ini Kak Aslan yang
berhasil bujuk kak Senja buat tetep tinggal, nggak nomaden
lagi.”
4
BAB ?
?
5
rumah yang dulu, tapi masih terlihat mewah dan sejuk. Ada
semacam gazebo di dekat kolam renang, dan gue tau banget
siapa yang kebiasaan tidur sana. Gue mendekat, setenang itu
wajahnya yang lagi tertidur.
“Masnya siapa? Kok bisa masuk?” seorang perempuan yang
umurnya pasti di bawah gue itu melirik curiga.
“Siapa Yun?” gue tau suara yang bertanya dari dalam rumah
itu.
“Ini ada mas-mas aneh masuk kesini Bulik.”
Gue berkacak pinggang.
“Den Aslan?”
“Mbok Tini. Hai. Dia anak baru Mbok?”
“Iya, dia baru di sini. Yuni, beri salam sama Den Aslan. Dia
ini tamunya majikan kita.”
“Maaf Mas. Salam kenal. Saya Yuni.”
“Ambilkan air putih dingin buat Den Aslan Yun!”
“Makasih.” Gue duduk di kursi dekat gazebo. “Dia habis
darimana Mbok?”
“Dari Jerman katanya. Jet lag. Tau rumah ini dari siapa
Den?”
“Gerhana.”
“Ketemu den Geri ya?” wanita yang keriputnya semakin
jelas itu melihat gue, entah apa arti pandangannya itu.
6
“Kenapa Mbok? Mbok mengharapkan yang sama kayak
Gerhana?”
Wanita tua itu tersenyum.
“Ini minumnya Mas.”
“Makasih.”
“Sama-sama Mas. Saya ijin masuk dulu.”
“Semua orang yang sayang sama non Senja pasti
mengharapkan yang terbaik, tapi lebih baik lagi kalo bisa sering-
sering lihat keberadaannya.”
Gue berdiri, mendekati Senja dan melepas paksa earpodnya.
“Apaan sih?” dia langsung memasang wajah sangarnya.
“Ya sudah, simbok tak masuk dulu.”
Gue berkacak pinggang melihat Senja yang sudah siap
memuntahkan kata-kata makiannya. Rambutnya yang panjang,
sekarang dipotong pendek di atas bahu.
“Gue kasih waktu sejam buat siap-siap, lo temenin gue
jalan!”
“Gue ngantuk banget Lan.”
“Setengah jam?”
“Empat lima menit.”
“Oke.”
“Btw, mau kemana?”
“Pake baju senyaman lo aja.”
7
“Lo nggak ada keinginan buat tetep tinggal di Jakarta Nja?
Lo masih belom capek lari? Sementara bajingan itu punya
gandengan baru.”
Dia tertawa. “Awalnya gue pengen lari saking malunya, tapi
lama-lama gue menikmati mencari momen.” Dia menekankan
kata momen di kalimatnya. “Dengan begitu gue bisa
menghentikan waktu, meskipun hanya sejenak.”
“Sampai kapan? Sampai lo capek?”
Dia tak langsung menjawab, matanya menerawang ke atas
sana, dimana bintang-bintang terasa sangat dekat. “Gue akan
berhenti sampai pada saatnya gue nemu alasan buat berhenti.”
“Apa nyokap bokap lo, sama adek lo nggak bisa jadi alesan
lo berhenti?”
Dia menghela napas panjang. “Gue yang bikin mereka malu.
Mungkin mereka bilang bukan salah gue buat nenangin gue, tapi
rasa bersalah itu masih terus-terusan membayangi hidup gue.”
“Itu kan menurut lo. Kalo gue jadi mereka, gue bakal
bangga lo seberani itu buat batalin pernikahan di depan mata.
Daripada tau kalo menantunya ngehamilin perempuan lain.”
“Tapi mereka akhirnya memutuskan pindah ke Aussie dan
menjual rumah sebelumnya.”
“Itu menurut lo lagi. Coba lo tanya nyokap bokap lo!
Mereka nglakuin itu demi lo. Come on Senja! Senja tak lagi
sama. Lo bukan Senja yang gue kenal. Senja Angela Hartawan
8
nggak bakal kabur dari masalah kayak gini. Lo harusnya
bersyukur lo tau bejatnya laki-laki itu sebelum lo jadi istrinya. Lo
harus banyak-banyak bersyukur sama Tuhan. Tuhan masih
sayang sama lo. Lo nggak perlu malu digunjingkan kek mana
sama orang-orang. Kan bukan lo yang berkhianat. Si bangsat itu
yang nggak tau malu.”
Dia melihat gue dengan mata berkaca-kaca, tanpa dapat
berkata-kata lagi.
“Apa yang lo butuhin biar lo tetep tinggal di sini? Gue yang
akan menyokong semua kebutuhan lo. Gue bisa kok bikinin
perusahaan fotografi buat lo. Lo butuh apapun, gue bakal bantu.
Asal lo nggak lari lagi dari masalah. Kalo lo bosen sama kerjaan
di sini, lo boleh pergi bentar buat cari momen, tapi balik kesini
lagi.”
Dia tertawa di tengah air matanya yang mengalir. “Ngapain
lo nanggung hidup gue? Gue bukan istri lo.”
“Gue rela jadi suami lo kalo lo bersedia.”
Dia meninju lenganku, tertawa di tengah air matanya yang
mengalir. “Thanks a lot.”
9
10
BAB ?
?
11
“Kapan hari Senja mampir ke Aussie. Dia bilang habis
kamu bikin nangis.”
Mampus gue.
“Katanya kamu mau nanggung hidupnya dia. Apa art
gallery salah satu cara untuk nanggung hidupnya Senja?”
“Bukannya kalian semua pengen dia tetap di sini?”
“Itu tidak menjawab pertanyaan om. Kamu tau maksudnya
om.”
Gue tertawa. “Aku nggak tau apa ini Om. Yang jelas,
asalkan aku tau dimana dia, bisa sering-sering lihat dia, it’s
enough for me. Aku nggak patah hati ketika dia mau nikah. Aku
hancur sehancur-hancurnya ketika dia ngilang gitu aja. Nggak
pernah ngasih tau lagi ada dimana, apa dia baik-baik aja.” Gue
kembali menertawakan diri sendiri.
“Selama ini kami terus-terusan, tanpa lelah dan menyerah
untuk membujuk Senja. Sedangkan kamu, setelah dua taun nggak
ketemu, hanya dengan sekali bujuk, dia akhirnya bilang ‘Ma, Pa,
I’ll stop running’. Hanya sekali pertemuan dan ngobrol sama
kamu. Terima kasih sudah mengembalikan Senja kepada kami.”
Shit. Gue ikut terharu sama orang tua satu ini.
“Pa.” tante Maharani menghampiri kami. “Ini Papa.” Dia
menyerahkan ponselnya pada suaminya.
“Hi, Dear. What’s up?”
“Pa, tebak aku ketemu siapa!”
12
“Siapa?”
“Asistennya Papa lagi kencan di London. Nih.”
“Sama siapa kamu Rey?”
“Cantik nggak Pak?”
“Bule?”
“Iya dong Pak. Ketemu di pesawat. Sambil menyelam
minum air degan Pak.”
“Pantes minta extend.”
“Kan mumpung Bapak lagi pulang kampung.”
“Ya sudah, lanjutkan! Kembaliin ke Senja! Nja.”
“Apa Pa?”
“Dicariin Aslan.”
“Dia mah nyarinya Papa sama mama, sama Geri, bukan
aku.”
“Tolong suruh lihat wa Om! Dari tadi nggak dibales!”
“Lihat wa-nya Aslan Nja!”
“Iya, habis ini. Pa, aku mau lanjut dulu.”
“Oke. Bye Dear.”
“Bye Pa.”
13
BAB ?
?
14
Nyokap menoleh ke belakang, mencari-cari seseorang.
“Dia.” Nyokap menunjuk Senja yang sedang berbincang dengan
seseorang yang sepertinya dikenalnya.
“Hai.” Senja menghampiri kami dan gue mendekat,
mencium pipi kirinya.
“Terima kasih sudah menepati janji.”
Dia mencubit pinggang gue.
15
“Mama seneng waktu kamu bilang sama mama papa buat
nglamarin Senja setelahnya balik ke Indo. Dia nanya ke mama,
apa mama nggak mau kalo punya mantu dia yang pernah gagal
nikah.”
“Ck.”
“Emangnya mama sama papa peduli sama omongan orang?
Toh, itu bukan aib. Malah mama bangga Senja berani mengambil
keputusan seperti itu.”
“Udah Mama bilangin? Aku capek ngasih tau dia terus.
Harusnya dia banyak-banyak bersyukur sama dirinya sendiri dan
masih banyak yang sayang sama dia.”
“Thanks to Aslan katanya.”
Gue menoleh sekilas ke nyokap. “Akhir-akhir ini banyak
banget dari link-nya dia yang bilang makasih sama aku. Aku
bukan pahlawan yang nyelamatin nyawanya. Apalagi om Tua itu,
sampai terharu. Nggak biasa lihat om itu melow gitu, biasanya
juga ngajakin debat.”
“Tapi kamu sudah mengembalikan Senja seperti sedia kala.”
“Aku hanya nggak mau kehilangan Senja Ma.”
“Makanya, manisan dikit dong jadi cowok. Biar Senja
klepek-klepek.”
“Nggak aku banget Ma.”
“Ih, nggak ngaca? Tadi apa cium-cium pipi di tempat
umum? Mau nunjukin ke temennya Senja kalo dia punya kamu?”
16
“Aku nggak mau debat.”
“Halah, bilang aja cemburu. Emang mama nggak tau kamu
kerja keras, ngotot beli beli perusahaan hampir bangkrut dan
bangun art gallery buat siapa? Deket sama cewek aja enggak.
Udah, jangan ngeles lagi!”
BAB ?
?
17
Gue tertawa.
“Minta doanya Ga. Semoga yang ini till the end.”
“Aamiin. Gue selalu berdoa yang terbaik buat lo berdua.
Sebenernya gue udah ngira kalo endingnya kalian begini. Gue
ikut bahagia.”
“Thanks Bro.”
“Pa, tantenya cantik kayak barbie.”
Gue melihat Senja yang mengucapkan ‘terima kasih’ pada
gadis kecil itu sambil tersenyum. “Gue sama Senja udah selesai,
duluan ya.”
“Oke.”
“Seneng banget dibilang kayak barbie huh?”
“Kan jarang ada yang bilang aku cantik.”
“Aku emang nggak pernah bilang?”
Dia melipat tangannya di depan dada. “Never. Kamu selalu
jawab ‘biasa aja’ kalo ada yang nanya aku cantik apa enggak.”
“Biasanya kan cantik.”
Pipinya memerah.
“Cantik banget sih calon istriku.” Gue mencubit pelan
pipinya.
18
BAB ?
?
“Senja.”
Gue langsung pasang badan ketika melihat laki-laki
bajingan itu mendekati Senja. “Mau apa lo?”
“Gue cuma mau ngomong sama Senja! Minggir!” dia
mendorong gue.
“Nggak ada yang perlu lo omongin sama dia. Lo belom puas
udah ngehianatin dia? Masih punya muka lo muncul di hadapan
dia?”
“Gue nggak mau ngomong sama lo. Minggir!”
Baru mau menjawab, Senja mengusap lengan gue. “Pulang
yuk!”
“Senja.”
“Lepasin tangan kotor lo itu dari tangan istri gue Bangsat!”
sebuah pukulan gue kasih tepat pi pipi kirinya.
“Istri?”
19
“Ya. Aslan suami gue. Apapun yang mau lo bilang ke gue,
harus lewat dia. Ayo pulang!”
“Jangan pernah deketin istri gue lagi! Atau gue hajar kayak
waktu itu.”
“Sakit ya?” Senja mengusap punggung tangan gue. “Rugi
tau mukul si Brengsek itu.”
“Aku emosi.”
“Ngapain? Aku malah mau berterima kasih sama dia.”
“What?”
“Jangan marah-marah ah! Kalo dia nggak ngehianatin aku,
mana mungkin akhirnya kita jadi kayak sekarang? Udah ah,
jangan marah-marah lagi! Jadi makan apa kita?”
“Aku mau makan pulang aja. Bikinin udang telor asin aja!”
“Permintaan kamu akhir-akhir aneh-aneh deh. Ngidam
Pak?”
Gue merangkul Senja. “Kamu terakhir menstruasi kapan?”
“Hm?”
“Kapan?”
“Dua bulan kamu ngga nandai loh.”
“O ya?”
“Kita beli test pack aja.”
20