Anda di halaman 1dari 29

Bersiap kecewa tanpa kata kata

Di depan toko, aku termenung. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil
memilih satu bunga hias pun sejak toko itu mulai dibuka. Tak ada yang
sesuai dengan kemauanku. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan
memujikan dagangannya.

Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang
perempuan menyapa.

”Mencari bunga untuk apa Pak?”

Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 21


tahun. Atau mungkin kurang dari itu.

”Bunga untuk ulang tahun.”

”Yang harganya sekitar berapa Pak?”

”Harga tak jadi soal.”

”Bagaimana kalau ini?” Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.

”Itu?”

Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel.


Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik
perhatianku.

”Itu saya sendiri yang merangkainya.”

Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol
kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.

”Ya, ini yang aku cari.” Dia mengangguk senang.

”Mau diantar atau dibawa sendiri?”

”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?” Ia kelihatan bimbang.

”Berapa duit.”

”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan
lagi.”

”Tidak, aku mau ini.”

”Bagaimana kalau itu?” Ia menunjuk ke bunga lain.

”Tidak. Ini!”
”Tapi itu tak dijual.”

”Kenapa?”

”Karena dibuat bukan untuk dijual.” Aku ketawa.

”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.

”Dua.”

”Dua apa?”

”Dua juta.” Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta.
Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.

”Jadi, benar-benar tidak dijual?”

”Tidak.” Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu
menunjuk lagi bunga yang lain.

”Bagaimana kalau itu?”

Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa
isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi
aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.

Dia tercengang.

”Bapak mau beli?”

”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki
pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang
merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan
kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual
ini.”

Dia berpikir. Setelah itu menyerah.

”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”

Aku terpesona dan tak percaya.

”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”

”Dua puluh ribu cukup.”

”Rumah Bapak di mana?”

”Cirendeu.”
”Cirendeu kan jauh?”

”Memang, tapi dilewati angkot.”

”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”

”Habis, naik apa lagi?”

”Tapi angkot?”

”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik
gerobak.”

”Bukan begitu.”

”Ooo, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku
jalan kaki saja.”

”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?” Dia menatap tajam.

”Ya, hitung-hitung olahraga.”

”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk
ongkos taksi.”

Aku tercengang.

”Kurang?”

“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk
makan double BB di BK PIM.”

Dia tersenyum. Cantik sekali.

”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”

”Tidak.”

”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai
untuk diberikan pada seseorang.”

”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”

”Yang dicintai mestinya.”

”Ya. Jelas!”

”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk


diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal.
Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.

”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”

Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.

”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”

”Tidak. Kamu.” Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan


sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.

”Kamu saja yang memilih.”

”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”

”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”

”Cinta, persahabatan, atau sayang?”

”Semuanya.”

Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku
itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak
Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak
Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:

”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”

Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk


bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.

”Bagus?” Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes
dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.

”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”

”Ya?”

”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.” Aku


menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.

”Kamu saja yang tanda tangan.”

”Kenapa saya?”

”Kan kamu tadi yang menulis.”

”Tapi itu untuk Bapak.”

”Ya memang.” Ia bingung.


”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”

”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”

”Mangkanya!” Ia kembali bingung.

”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?” Dia
bengong.

”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”

”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”

”Ya.”

”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”

”Ya. Apa salahnya?”

”Bapak yang ulang tahun?”

”Ya.” Dia menatapku tak percaya.

”Kenapa?”

”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”

”Mereka siapa?”

”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau
pacar Bapak…”

”Mereka terlalu sibuk.”

”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”

”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan
ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”

Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku
ambil bunga itu.

”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”

Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan
kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanyalah sebuah bonus. Aku sudah
mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.

Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.


”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil
meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”

”Kenapa? Kan sudah aku beli?” Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.

”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar
Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”

Dia menunjuk ke sebuah Marcedes Benz merah yang diparkir disamping


toko.

”Aku pemilik toko ini.” Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.

Dia pun mulai melajukan mobil merahnya tersebut.  Sepanjang jalan dia
banyak bercerita tentang kecintaannya kepada bunga hingga dia membuka
toko bunga.

“Dari kesenanganku kepada bunga, aku pun membuka bisnis bunga ini
Pak.”

“Sejak kapan kamu memulai usaha toko bunga itu?”

“Aku memulai usaha toko bunga ini 4 tahun yang lalu pak. Sejak aku lulus
dari Sekolah Menengah Atas.”

Aku merasa bangga melihat gadis itu bersemangat menekuni usahanya.


Bahkan dia juga tercatat sebagai mahasiswa di salah satu Universitas
ternama di daerah tempat tinggalnya.

“Kamu tidak melanjutkan pendidikanmu?”

“Aku masih kuliah pak, di salah satu Universitas di sini.”

“Pastinya keluarga kamu bangga dengan keadaan kamu yang seperti saat
ini. Aku bangga bisa bertemu denganmu.”

Dia pun hanya tersenyum kepadaku.

Aku pun semakin menggelengkan kepalaku, takjub kepada pengusaha


muda ini. Meskipun dia memiliki kesibukan untuk menjalankan usaha
bunganya, tetapi dia masih memberikan perhatian dia kepada orang lain
yang baru dia kenal dengan hitungan jam saja, tak seperti orang-orang
yang ada didekatku yang selalu mementingkan kesibukannya bahkan lupa
terhadap keberadaanku.

“Aku paham dengan keadaan bapak yang merasa kesepian dan


membutuhkan orang-orang terdekat bapak untuk lebih perhatian kepada
bapak.”
“Bukan itu saja” sahutku.

Aku pun terdiam dan hanya bisa berfikir, bukan hanya itu saja yang aku
butuh dari mereka, aku membutuhkan perhatian mereka, tapi aku juga
membutuhkan mereka kembali menganggapku ada, bukan malah mereka
sibuk dengan dunia mereka sendiri hingga melupakan orang yang
seharusnya mereka perhatikan.

“Apalagi yang bapak harapkan kalau bukan perhatian dari mereka?”

“Berpuluh tahun aku merawat mereka hingga mereka seperti sekarang,


mengajari mereka dengan penuh kesabaran, memberikan mereka
perhatian ketika mereka merasa kesepian. Tapi entah mengapa saat
mereka sudah seperti saat ini, setelah mereka lebih asyik dengan dunia
baru mereka, dunia yang penuh dengan kesibukan hingga lupa tentang
keberadaanku saat ini yang membutuhkan dekapan dan perhatian
mereka.”

Sepanjang jalan aku mmenceritakan semua kepadanya. Hingga akhirnya


dia mengajakku untuk menemaninya makan siang di sebuah restoran
ternama disana.

“Bapak mau menemani saya makan siang?”

Aku hanya terdiam.

“Bapak.”

“Iya,”

Aku pun menerima tawarannya untuk menemaninya untuk makan siang.

Dia pun mengarahkan mobilnya ke sebuah parkir rumah makan.

Aku dan dia pun turun dan menuju salah satu meja di restoran itu.

“Aku ingin mereka yang ada disampingku hari ini, bukan kamu yang
meluangkan waktumu untuk menemaniku.” Dia pun tersenyum
menatapku.

“Bapak mau makan apa?”

Aku pun menatapnya.

“Bapak mau makan apa?” Dia bertanya kembali kepadaku.

“Aku pesan minum saja.”

“Bapak tidak mau makan?”


“Tidak, aku pesan minum saja.”

“Bapak mau pesan minum apa?”

“Yang tidak terlalu manis saja.”

Dia pun menganggukkan kepalanya. Sambil memanggil pelayan restoran


itu, dan memesankan minum dan makan siang.

Dia pun bercerita kepadaku. Ketika dia merasa senang ketika bersamaku.

“Aku ini anak yatim pak, jadi aku senang sekali bisa bertemu dengan
bapak.” Dia menatapku.

Dan aku melihatnya.

“Aku sudah lama tidak merasakan perhatian dan kasih sayang seorang
ayah, pak.”

Aku terdiam dan dia pun melanjutkan ceritanya dan sambil dia makan
siang.

“Aku ditinggal oleh ayahku sejak aku masih berumur 14 tahun. Dia pergi
meninggalkanku dan ibuku gara-gara sakit kangker yang sudah dideritanya
selama 2 tahun. Dia tidak pernah menceritakan tentang penyakitnya
kepadaku.”

“Kenapa ayahmu tidak memberitahumu tentang penyakitnya?”

“Itulah sifat ayahku, dia tidak mau menceritakan semuanya kepadaku


karena dia takut menganggu konsentrasi belajarku saat itu.”

Aku merasa kasian kepadanya. Sebenarnya dia sama sepertiku. Sama-sama


merindukan orang-orang terdekatnya yang bisa memberikan perhatian
kepadanya.

“Seandainya anak-anakku sepertimu?”

“Kenapa, pak.?”

“Kamu, itu seorang anak yang sangat perhatian kepada ayahmu dan ibumu.
Tidak sama dengan anak-anak bapak yang sibuk dengan dunia mereka
sendiri.”

“Ah.. Bapak bisa aja.”

Dia melihatku dan tersenyum, sepertinya dia senang sekali saat ini
bersamaku. Dia merasa seperti dia bersama dengan ayahnya.
“Aku senang sekali pak.”

“kenapa?’

“Aku ingat dengan sosok almarhum ayahku pak.”

Dia pun terdiam sejenak, mungkin dia mengingat masa-masa saat dia
masih bersama ayahnya. Aku pun mengalihkan pembicaraan, karena aku
melihat raut wajah gadis itu sepertinya sedih mengingat masa lalunya saat
bersama ayahnya.

“kamu jangan bersedih seperti itu, kan masih ada bapak sekarang yang bisa
kamu anggap sebagai ayahmu sendiri.”

Dia pun menatap wajahku dan tersenyum.

“Terima kasih pak. Aku bangga ketika bapak berkata seperti itu.”

“iya sama-sama.” Kataku sambil tersenyum.

Setelah makan siang kami sudah selesai, berapa menit kemudian kami
beranjak dari restoran itu.

Meskipun dia sibuk dengan urusannya dia masih memberikan kesempatan


untuk menghiburku dihari ulang tahunku. Dia mengerti tentang kesepian
dan kesendirianku.

Tidak seperti anak-anakku yang selalu sibuk dan tidak bisa memberikan
sedikit waktu untuk memperhatikan hidup bapaknya.

Sepanjang jalan aku hanya terdiam menatap kedepan. Aku hanya


memikirkan, andai saja anak-anakku bisa memberikan perhatian seperti
gadis ini memberikan perhatian kepadaku, mungkin hidupku tak akan
terasa sepi seperti saat ini.

Ternyata selama aku terdiam, gadis itu memperhatikanku.

“Bapak kenapa?”

“Tidak apa-apa.” Aku menoleh dan menatapnya.

“Bapak mau langsung aku antar pulang atau masih mau mampir ke suatu
tempat pak?”

“Sebenarnya aku masih tidak ingin langsung pulang.”

Aku terdiam dan menundukkan kepalaku.

“Memangnya bapak masih mampir kemana?”


Aku tetap terdiam. Hingga gadis itu bertanya dua kali dan kembali
memanggilku.

“bapak.”

“Aku hanya ingin pergi ke tempat yang bisa menghibur dalam kesepian
hidupku ini.”

Gadis itu bersedia untuk menemaniku, kemudian dia mengajakku ke


sebuah taman kota. Disana dia mengajakku duduk disebuah kursi yang ada
di taman itu. Dia banyak bercerita kepadaku, begitujuga denganku.

“Bapak, tidak usah bersedih lagi karena bapak merasa hidup bapak sepi
tanpa perhatian orang-orang terdekat bapak. Mereka sibuk dengan urusan
mereka bukan berarti mereka tidak perhatian kepada hidup bapak
sekarang.”

Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata gadis itu.

“Aku sudah berusaha untuk memahami mereka, tapi entahlah aku sabar
dengan tingkah laku mereka yang hanya mementingkan materi dan
dunianya sendiri tanpa memikirkan bapaknya sendiri.”

Gadis itu kemudian kembali berusaha memberi pengertian kepadaku.

“Sudahlah pak, mereka bekerja untuk bapak juga.”

Kami pun terdiam beberapa saat. Hari pun semakin sore. Hingga akhirnya
gadis itu mengajakku untuk pulang ke rumah.

“Bapak, hari sudah semakin sore, aku takut keluarga bapak khawatir gara-
gara bapak dari tadi pagi belum pulang kerumah, aku antar pulang
sekarang ya pak?”

Aku merasa tidak enak sendiri ketika gadis itu mengajakku untuk pulang.
Dia begitu perhatian kepada orang tua sepertiku.

“Iya, kita pulang sekarang.”

Kami berdua kemudian menuju ke parkiran mobil gadis itu dan akhirnya
gadis itu mengantarkanku pulang kerumahku.

Akhirnya berapa jam kemudian sampailah aku di rumahku. Ternyata benar


apa yang di katakan gadis itu. Semua anak-anakku mencariku dan
mengkhawatirkanku.

Ternyata anak-anakku sudah sejak tadi siang mencariku. Karena aku tidak
ada dirumah sejak pagi tadi. Sesampainya di rumah kemudian anak-
anakku menanyakan dari mana aku seharian ini. Entahlah dari rasa kecewa
kepada mereka aku langsung masuk ke kamarku. Setelah memberikan
ucapan terima kasih kepada gadis yang bersedia meluangkan waktunya
untuk menemaniku hari ini.

“Terima kasih ya nak. Kamu sudah membuat bapak bahagia dan merasa
tidak kesepian.”

“Iya pak sama-sama.”

Aku pun langsung masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamarku tanpa
sepatah katapun kepada anak-anakku.

Gadis itu menceritakan semua keluhanku kepada anak-anakku. Dia


menceritakan secara detail mengapa aku sampai pulang dari sampai sore
sperti ini.

“Mas, bapak hanya butuh perhatian dan kasih sayang mas sebagai anak-
anaknya bapak.”

“Iya mbak terima kasih, mbak sudah bersedia meluangkan waktu mbak
untuk menemani bapakku. Dan terima kasih mbak sudah menceritakan
semua yang menjadikan bapak kecewa kepada kami sebagai anak-anaknya
yang hanya mementingkan dunia kami yang penuh dengan kesibukan.”

“Iya sama-sama mas. Iya sudah aku pulang dulu.”

Gadis itu pun pergi dengan sejuta pelajaran berharga. Dan sejak saat itu
benar-benar menyadarkanku akan makna keluarga yang sebenarnya.
Kemarau

Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar
sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin
cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur
berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan
Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada
hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti
belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir-pinggir
pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-
lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.

Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan
untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar
di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum
pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya
mengembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik
telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu
sejak kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat, kejadiannya
akan tepat pukul lima.

Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota.
Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang.
Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha
mencerna makna filosofis patung itu, tapi selalu gagal. Aku hanya
menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka,
semua lelaki pembuat parang patutlah dicurigai.

Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang
kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing.
Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga
sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala
patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan ini
kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame
dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-
program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin
menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman,
patung itu memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45
dan papan reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi,
adakalanya bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang
menyimpan misteri politik republik ini.

Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah
museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini.
Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun
binatang.

Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika
dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi
menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah
berantah. Uang kecil diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak
itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-
anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya
agar tidak kualat.

Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran.


Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-
orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak
serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering
stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra
jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa
yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orangutan uzur yang
sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-bebek gendut
di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua
kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya
sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang-orang
udik yang menontong mereka di dalam kandang. Konon, mereka
dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun
binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi. Namun, seperti
segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu
yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan
mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di
dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya
seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan
bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-
kadang.

“Mau kemana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang bertedu di bawah
patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu
menanyakan hal yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan
karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan politisi di papan
reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan
mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar mereka yang penuh
optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46 tahun itu.
Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada
mereka.

“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin


menggelak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah
kapal keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu tinggal segunung besi
rongsokan. Mesin besar dan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak
Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan.
Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi
bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal, tempatku
melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.

Kapal keruk pernah menjadi pendendangirama hidup kami, bagian penting


dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian
selama 24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk
pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara
klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang
bekal makanan dari ibu.

Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan


tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada
kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-
kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar
gemerincing besi beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan
rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi
itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang
penuh wibawa, yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki.
Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum,
dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu bila dibariskan
akan membentuk segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas
yang berat diemban oleh bapak kunci paling besar, dan tugas-tugas sepele
adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam
bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-
beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil
tersenyum.

Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan


kapal keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat
kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang,
ketika aku kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu
pukul 5, dan musim masih kemarau.

“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat
patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya
pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana
menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti
mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah
berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan
yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada di depan hidung
mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan para
pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.

“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi
sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan
riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu telah lenyap, macam
telah disulap seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku
bertanya.

“Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?”

“Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya tak acuh sambil


mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terhenyak. Sirna sudah kenangan
manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah
kebudayaan itu. Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda
tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat patung itu dan bergabung
dengan pejuang 45. Namun tak kulakukan, karena aku sudah terlambat
untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5.

Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung
seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu
seakan terdengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-
orang mengucap salam. Kemudian kudengar suara gemerincing besi saling
beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam
mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan
rumah. Aku termangu. Kerinduanku pada ayah semakin tak
tertanggungkan.
Kado istimewa

Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra pak Hargi. Tidak bisa tidak.
Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa suatu saat
nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, ia akan datang untuk mengucapkan selamat.
Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa ia tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah
berubah.

Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya yang
sangat ia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang sejati. Termasuk
diantara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma bekerja di dapur umum,
tetapi ia merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi.

Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak
berubah. Pak Hargi ditugaskan dipusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar tentang
beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu
serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta. Lalu, tumbangnya rezim orde lama dan
bangkitnya orde barumengukuhkan peran Pak Gi dilingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti
makin tertutupnya komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam istilah Bu Kus
“kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.

“soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,”
demikian kenang Bu Kus. “dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan
betapa indahnya kalau kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering menekankan bahwa yang tak
kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah berjuang melawan kemiskinan
dan kebodohan”.

Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah tiga
puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka
secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya, ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan
menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.

Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal dirumah. Tas
kulit yang berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas pelastik besar berisi
segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Setelah merasa beres dengan tetek bengek ini,
Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke
stasiun kereta.

Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta ekonomi
jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ke tergesa-gesaannya meninggalkan rumah
akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai di Jakarta dan
bersalam-salaman dengan Pak Gi. Berbincang-bincang tentang masa lalu. Tentang kenangan-
kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang
kurir Natimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi
para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan terlupakan walaupun
terlibas oleh berputarnya roda zaman.

Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergepoh-gepoh naik ke atas
gerbong.

“nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang petugas.

Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!” kata Bu
Kus dengan ketus.

“nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas itu.

“pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus.

Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai
juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi melihat ibunya
muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian. “ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar
dulu? Tanya Wawuk.

“di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus.

“tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk berkata dengan lembut.

“yang penting saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.

“bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”.

“saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi
mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut disurat.”

“ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??”

“kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”

“kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”

“apa-apa, kok, mesti laporan.”

“bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan... tidak di
undang?”

“lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lalu ditolak?”

“ya, tidak, tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP mana yang biasa.”

“ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.”

“tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan dimana, hari
apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu Cuma dengar omongan kiri kanan.”

“suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak di undang?”

“bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu karyawan biasa, jauh
dibawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal beginian.
Apalagi kecipratan undangan.”

“kan bisa tanya?”


Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.

“ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang
penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”

Penulis tua

Tidak ada yang lebih menarik dari orang berumur 80 tahun sepertiku selain
merenung dan mengenang. Sudah tak ada gairah untuk masa depan, tak ada ambisi,
semua yang kudapat sampai saat ini terasa sudah cukup. Sisa bekal kesiapan untuk
dunia selanjutnya. Dan menunggu. Seperti antre dalam loket pembayaran.
Kenang-kenangan masa lalu mirip potongan puzzle yang mulai terbentuk
satu per satu ketika merenung. Kenangan sewaktu muda bersama
almarhumah istriku, atau soal lika-liku kehidupan yang pernah kujalani.

Barangkali inilah fase paling menarik dalam hidup: mengenang masa lalu.
Setelah semua hal buruk dan baik datang silih berganti sebagai bumbu
perjalanan usia. Inilah fase itu, ketika diam-diam aku tertawa
membayangkan permainan masa kecil yang begitu menyenangkan bersama
sahabat-sahabat kecil yang entah di mana sekarang. Atau terkadang, ketika
melihat cucuku Alenia, aku membayangkan, apakah anak kecil sekarang
masih merasakan betapa menyenangkannya bermain di sungai yang jernih.
atau memanjat pohon kelapa setelah riang bermain sepakbola di tanah
lapang? Sedikit banyak kuamati anak-anak kecil—khususnya yang tumbuh
di kota—sekarang lebih senang bermain gadget. Aku membayangkan
betapa tidak serunya ketika nanti mereka sudah seusiaku, hal apa yang bisa
dikenang? Jika hidup hanya dihabiskan di depan layar kotak yang bisa
memuat segalanya?

Baca juga: Kota Mayat – Cerpen Haryo Pamungkas (Koran


Tempo, 27-28 Oktober 2018)

“Kakek, kakek…” lamunanku buyar ketika mendengar suara manis dari


cucuku. Alenia.

“Iya sayang?”

“Coba lihat, tadi Alenia disuruh menggambar di kelas. Ini gambar buat
kakek.” Dengan senangnya gadis kecil yang giginya masih belum genap itu
menyerahkan selembar kertas yang berisi gambar padaku.

“Mana? Coba kakek lihat.”

“Ini gambar Alenia? Bagusya…”

Gadis kecil itu hanya meringis, tersipu malu. Ah, satu lagi hal menarik
untuk orang berumur 80 tahun sepertiku: melihat senyum manis yang
tergambar dalam wa jah cucuku, Alenia.
Sebenarnya aku membatin. Gambar itu, tidak seperti gambar yang dibikin
anak kecil dulu. Dua gunung kembar, di tengahnya ada matahari yang siap
tenggelam, dan di langit, gambar buruing sederhana mengepak sayap
beserta sawah dengan gambaran padi mirip huruf V. Itulah gambar yang
selalu dibikin anak kecil dulu. Ah, barangkali zaman sudah berbeda…

Baca juga: Gadis Kecil Bernama Alenia – Cerpen Haryo


Pamungkas (Media Indonesia, 07 Oktober 2018)

“Kenapa Alenia menggambar gedung-gedung ini?” tanyaku penasaran.

“Alenia coba menggambar kota dan gedung, Kek. Ini kota Alenia,” masih
dengan meringis Alenia menjawab pertanyaanku.

Mungkin benar juga, untuk anak kecil seusianya, barangkali ia


menggambar apa yang sering ia lihat. Tumbuh di antara banyak gedung-
gedung tlnggi dan jalanan macet, maka begitulah yang ia tuangkan dalam
gambar.

“Alenia pernah lihat sawah atau sungai?”

Baca juga: Lidah – Cerpen Alif Febriyantoro (Banjarmasin Post,


02 September 2018)

“Pernah dong,” katanya, “Di dekat sekolah Alenia ada sungai. Tapi
sungainya bau. Alenia nggak suka sungai. Sawah juga pernah.”

“Di mana sayang?”

Ia menghambur ke dalam kamarnya dan mengambil telepon genggam yang


diberikan sebagai hadiah ulang tahun lalu.

“Di sini, Kek. Kakek juga mau lihat sawah? Dari sini bisa lihat sawah dan
banyak lagi,” ia berka ta sambil menatap telepon genggam di tangannya.

Aku tersenyum, menghela napas, dan membatin. Barangkali inilah zaman


di mana kenangan tak akan terbentuk dengan baik nantinya. Ketika semua
hal hanya diketahui dari segenggam kotak kecll. Maya. Berikut bersama
semua kenangan yang terbentuk. Tidak nyata seluruhnya…

***

Waktu beranjak, kenangan terus terbentuk, usiaku kini telah menembus 83


tahun. Cukup tua untuk ukuran manusia. Dan tentunya, sudah banyak pula
kejadian-kejadian yang kulihat.

Baca juga: Hikayat Perahu – Cerpen D Hardi (Banjarmasin Post,


12 Agustus 2018)
Tiga tahun belakangan, aku memosisikan diri lebih sebagai pengamat.
Orang-orang. anak muda yang begitu bergairah, ki sah-kisah romansa yang
mulai bersemi di taman-taman, atau jalanan yang sibuk sepanjang
Jembatan Kembar. Kebiasaan baruku tiga tahun ini, setiap sore, sebelum
senja, aku mengunjungi tempat-lempat yang cocok untuk merenung dan
mengenang. Taman di dekat alun-alun, Jembatan Kembar yang
menghadlrkan senja menawan, dan desa-desa yang masih dibentangi
sawah-sawah hijau beserta petani-petani yang mulai sibuk selepas subuh.
Ternyata di tempat lain, jauh dari kota, masih ada harapan kenangan
tumbuh dengan baik. Beberapa orang tak terlalu bergairah dengan uang,
dengan menumpuk kekayaan, saling teguh kebenaran. Setidaknya, inilah
tempat-tempat yang bakal membentuk kenangan dengan baik nantinya.

Baca juga: Di Bawah Pohon Mahoni – Cerpen Rumasi


Pasaribu (Banjarmasin Post, 05 Agustus 2018)

“Kelak, apa cita-citamu?”

“Entahlah, aku masih belum tahu pastinya. Tapi aku ingin jadi penulis, kau
tahu? Menurutku penulis tumbuh sekaligus membentuk kenangan.”

Dan itulah yang kukatakan kepada almarhumah istriku, ketika kita belum
menikah dulu. Di sebuah taman dekat alun-alun yang dulunya ditumbuhi
begitu banyak bunga-bunga harum yang benar-benar menggairahkan.
Tempat itu dulunya ramai oleh sepasang kekasih yang mulai meracik
romansa baru; seorang laki-laki yang membacakan sajak manis untuk
wanitanya; atau laki-laki yang memainkan blola dengan nada menyayat
karena kisahnya baru saja berakhir. Tapi sudah jarang kutemui yang
seperti itu di taman. Kecuali sepasang anak muda yang saling bercumbu,
atau saling melontarkan rayuan gombal yang memusingkan kepala.

Mungkin memang benar, waktu terus tumbuh, kenangan terus terbentuk,


dan zaman akan terus berubah. Bolehkah aku merindukan kejadian-
kejadian masa lalu yang lebih membuatku hidup sebagai manusia?

Baca juga: Bunting – Cerpen Lailatul Badriyah (Banjarmasin


Post, 29 Juli 2018)

Jalanan sepanjang Jembatan Kembar macet, deru klakson keluar dari


begitu banyak kendaraan yang mengekor bak ular panjang. Umpatan,
sumpah serapah keluar dari bibir-bibir yang putus asa. Mereka adalah
orang-orang sibuk yang bergegas pulang. Aku mengamati dari tepi
Jembatan Kembar sembari menunggu senja. Menunggu langit
menghadirkan panorama terbaik untuk merenungi semua perjalanan
hidup. Dan tentu, sudah jarang pula kutemui beberapa orang yang
menunggu senja di sini sepertiku. Mungkin sudah tak ada waktu. Padahal
merenung adalah bagian terpenting dalam hidup yang serba sebentar.
Apalagi ketika senja datang. Percayalah, senja memang dibikin untuk
merenung. Dan, di tengah kegaduhan yang akhir-akhir ini melanda, satu-
satunya yang kurang hanyalah: kemauan untuk merenung. Intropeksi diri.

“Kakek, kenapa setiap sore selalu ke sini?” tanya cucuku, Alenia.

Baca juga: Aku dan Seorang Perempuan Bergantian


Menulis Sesuatu – Cerpen Ozik Ole-olang (Banjarmasin Post, 22
Juli 2018)

Aku memang sengaja mengajaknya ke mari. Agar nantinya, kenangan


dalam kepalanya tak hanya dipenuhi oleh gemerlap kesibukan kota dan
cahaya yang keluar dari telepon genggam.

“Supaya Alenia bisa gambar langit yang indah, Sayang.”

Alenia duduk di sampingku, menjuntai kaki dan mata kita hanya fokus
pada satu titik di langit. Titik terjauh, titik paling sendu, dan titik paling
merah keemasan yang ditunggu-tunggu. Titik itu adalah titik yang sama,
ketika aku dan almarhumah istriku memandangi langit setiap sore di tepi
Jembatan Kembar ini.

“Wahh, langitnya bagus. Alenia suka warna langitnya…”

Aku hanya tersenyum, sedikit membatin, iya sayang, kelak tumbuhlah


dengan kenangan terbaik sepanjang hidup yang serba sebentar ini…

“Kamu mengajak Alenia?”

Baca juga: Shabila dan Aroma Asing – Cerpen Budi


Afandi (Banjarmasin Post, 15 Juli 2018)

Suara itu…

“Kamu ingin Alenia tumbuh sepertimu?”

Bayangan samar yang begitu kukenali duduk di antara aku dan Alenia di
tepi Jembatan Kembar. Ikut menjuntai kaki dan menatap langit kemerah-
merahan.

“Seperti yang kukatakan dulu kepadamu. Setidaknya aku ingin Alenia


tumbuh dan membentuk kenangan dengan baik.”

Samar-samar kulihat wajah bayangan itu tersenyum, membelai kepala


Alenia diam-diam.
Baca juga: Empat Cerita – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah
(Banjarmasin Post, 08 Juli 2018)

“Aku setuju kalau begitu.”

“Kakek, kakek bicara dengan siapa?” tanya Alenia penasaran.

Aku membelai kepalanya, dan hanya bisa tersenyum. Tepat ketika senja, di
tepi Jembatan Kembar di kota Jember hadirlah potret antara aku,
almarhumah istriku, dan Alenia yang saling berpelukan menatap senja di
langit…. ***
Laki laki sejati

LAKI-LAKI SEJATI
Cerpen Putu Wijaya

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.


Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya


sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu.
Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur
berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya
banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu
mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut
memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang
sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar
yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena
harus ditempuh sendiri.

Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?


Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan
ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu
perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun
dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung
menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya
belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak
ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk
yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau
sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa
ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak
pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang
kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena
pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali
patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu
tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk
menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita.
Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?

Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan


yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah
memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?

Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu
memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi
yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata.
Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti
sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang
itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan,
kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang
harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana
laki-laki sejati itu.

Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang


berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan
nyata.

Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak


melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.

Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang
akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan
memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat.
Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia
melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri
penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!

Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki
sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi
bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah
oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan
berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?

Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati.
Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan
banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak
dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu
menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi
laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara,
beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka
memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar
mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya
kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-
laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna,
bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia
seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan,
seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-
bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat,
mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang
pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat,
karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan
dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan
perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.

Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya?
Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba
membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan
kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup
melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum,
memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta
kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan
laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti
itu, Ibu?

Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan.
Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?

Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan
malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku,
menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman
hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang
akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku
kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas
dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku,
ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus
generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk
memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah
selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu
giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia
memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal
dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya.
Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak
laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja,
tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku.
Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau
mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan
kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin
lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum
perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi,
anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi
perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada
harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.

Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja.
Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu
itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada
bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk
seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang
diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak
seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur
dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat
banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil
Gibran!

Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan
membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada
kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah.
Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi
menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.

Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi
itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang
indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut
menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi
melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati,
bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja,
sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa
namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan
tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja
yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya
keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini
yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri
juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat
mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu
anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas,
karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia,
bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat
membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun
pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat
membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***
Sinopsis lelaki sejati
Cerpen lelaki sejati menceritakan tentang seorang perempuan muda yang bertanya tentang lelaki sejati pada
ibunya. Perempuan muda yang bertanya ini merupakan seorang yang suka mengurung diri di dalam kamar dan
banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku. Saat dia bertanya tentang lelaki sejati, kemungkinan dia
membaca tentang itu di salah satu bukunya namun tidak terlalu mengerti orang seperti apa yang dimaksud
sehingga dia bertanya pada sang ibu. Perkataan sang ibu bahwa lelaki sejati sudah tidak ada lagi di dunia ini
membuatnya kecewa dan tidak ingin hidup karena tidak ada gunanya dia di sini. Sang ibu kemudian menyuruh
untuk keluar dari rumah dan berkenalan dengan orang-orang baru serta melihat-lihat pemandangan di luar
rumah. Setelah berkata begitu, sang ibu mengatakan bahwa seorang perempuan dapat memuat seorang lelaki
menjadi lelaki sejati. Cerpen ini memiliki makna bahwa untuk bisa menemukan sesuatu yang kita inginkan,
kadang kala kita harus keluar dari zona nyaman dan mencoba hal-hal baru. Namun, untuk bisa keluar dari zona
nyaman, sering kali kita memerlukan dorongan yang cukup kuat. Meninggalkan zona nyaman adalah hal yang
cukup sulit terutama bagi orang-orang yang memiliki alasan yang cukup kuat untuk tetap berada di dalamnya
untuk waktu yang lama. Karena itu, seseorang mungkin harus menarik orang yang betah berada di zona nyaman
itu keluar dengan alasan yang sama kuatnya. Cerpen ini juga sarat akan makna feminisme—dimana seorang
perempuan tak harus menunggu laki-laki untuk mendapatkan sesuatu, akan tetapi mereka harus berjuang keras
untuk mendapatkannya. Tak hanya seorang laki-laki yang dapat memilih siapa yang akan menjadi
pendampingnya; namun perempuan juga dapat memilih siapa laki-laki yang akan dimuatnya sebagai seorang
lelaki sejati. Secara tak langsung, cerpen ini memberikan makna tersirat sebuah gerakan perempuan yang
menuntut kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki. Dapat dilihat dari tiap-tiap kalimat yang diucapkan oleh
ibu sang anak perempuan yang provokatif—dalam artian mengandung makna yang feminis—seperti, “Banyak
laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak
apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak
peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan
jadikan ia teman hidupmu!” serentetan kalimat tersebut cukup membuktikan nilai-nilai feminisme yang terdapat
dalam kisah cerpen Lelaki Sejati karya Putu Wijaya yang ditulis pada akhir tahun 2004 ini.

Ringkasan Cerpen
seorang bapak yang sedang mencari bunga untuk hadiah ulang tahun. Sudah
lama dia mencari bunga yang cocok untuk hadiah ulang tahunnya tetapi belum
juga diperoleh. Dia baru mendapatkannya ketika seorang gadis pemilik toko
bunga menawarkan bunga hasil rangkaiannya yang tidak di jual, bapak
tersebut membeli bunga untuk hadiah ulang tahunnya sendiri. Bukan sesuatu
yang sulit untuk mengucapkan selamat ulangtahun, ucapan selamat ulang
tahun bisa membuat bahagia untuk seseorang yang sedang ulang tahun.
Ucapan selamat sebenarnya tidak mengganggu kesibukan si pemberi selamat
sama sekali, seperti percakapan di bawah ini.

"Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?" Dia
bengong."Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.""Jadi, bunga ini
untuk Bapak?""Ya.""Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?""Ya.Apa
salahnya?""Bapak yang ulang tahun?""Ya."Dia menatapku tak
percaya."Kenapa?""Mestinya mereka yang mengirimkan bunga untuk
Bapak.""Mereka siapa?"       "Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak
Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…""Mereka terlalu sibuk.""Mengucapkan
selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.""Tapi itu kenyataannya. Jadi aku
beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri
karena kau juga tidak mau!"

Gadis pemilik toko bunga itu langsung mengembalikan uang bapak pembeli
bunga dan mengatakan bahwa bunga itu hadiah untuk dia untuk hadiah ulang
tahunnya dan mengantarkan dia pulang dengan mobil ferrarinya.

Cerpen yang berjudul Kado Istimewa  karya Jujur Prananto mengangakat kisahkan keteguhan
seorang bawahan yang sangat menghormati pada atasannya. Bu Kus sebagai bawahan Pak Gi dulu
ketika masih berada dalam satu departemen meskipun beliau hanya di bagian dapur, namun bangga
telah memiliki atasan yang bijaksana. Banyak ulasan dalam cerpen tersebut yang menggambarkan
keharmonisan keduanya. Terlihat pada awal paragraf cerpen tersebut Bu Kus yang menyatakan
bahwa ia bertekad akan menghadiri respsi pernikahan Pak Gi, dalam ulasan yang katakana Bu Kus
mengindikasikan bahwa ia sangat berambisi kuat untuk datang ke acara resepsi anaknya Pak Gi.
Dalam paragraf tersebut juga tersurat penjelasan yang merujuk pada sikap saling menghormati
antara Bu Kus dan Pak Gi.

Bukan hanya pada anak-anaknya ia bercerita tentang kebijaksanaan sosok Pak Gi, tapi ketika
ia sedang berbicara dengan tetangganya pun mengatakan hal yang sama. Terkesan berlebihan jika
melihat dari ungkapan Bu Kus yang selalu mengagungkan sosok Pak Gi. Dari kesan yang tersurat
pernyataan Bu Kus tentang Pak Gi menunjukkan majas ataupun gaya bahasa hiperbola, yaitu ucapan
ataupun pernyataan tentang sesuatu yang berlebihan. Dalam paragraf dua juga dijelaskan tidak ada
stratifikasi sosial antara Bu kus yang hanya sebagai bawahan Pak Gi. Ia juga bangga bisa ikut
berjuang bersama Pak Gi dalam melawan penjajahan kekacauan Gestapu. Pada paragraf tiga ada
ulasan yang merujuk pada perpindahan kekuasaan masa orde lama ke masa orde baru yang
mengukuhkan wibawa Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat.

Perpindahan kekuasaan rezim orde lama menuju orde baru adalah pasca kekacauan yang
gerakkan oleh komunis Indonesia untuk menghabisi para Jenderal AD yang berpikiran progresif
untuk mengendalikan stabilitas bangsa yang ketika itu sedang genting, sedangkan komunis Indonesia
yang kontradiksi dengan visi misi Para Jenderal AD yang dihabisinya itu berupaya mengudeta.
Namun akhirnya gagal karena AD lebih sigap dalam menangani hal kudeta yang di dalangi oleh
komunis Indonesia. Uraian dalam cerpen sedikit mencetuskan sejarah tentang Gestapu.

Ketika Bu kus sedang melamun karena ambisiusnya ingin cepat sampai tempat tujuan
kemudian bertatap muka lalu berbincang-bincang, bernostalgia tentang masa lalunya ketika masih
dalam satu departemen. Pada paragraf tujuh terdapat beberapa kalimat yang semakin memperkuat
tafsiran bahwa sosok Pak Gi adalah seorang perwira militer. Pada kata“Tangsi”  memiliki arti asrama
tentara ataupun polisi jika ditelusuri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jika di telusuri secara
cermat ada relevansi antara judul yang diangkat dengan latar tempat cerita yaitu “Kado Isimewa”.
Kalasan adalah sebuah kecamatan di daerah Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kecamatan Kalasan terletak di sebelah timur laut dari Ibu Kota Kabuaten Sleman. Kata “Istimewa”
adalah kata yang sama-sama muncul pada judul cerita dan latar tempat cerita. Isak tangis bahagia
turut membumbui suasana haru dalam resepsi pernikahan putanya Pak Gi. ini menunjukkan adanya
suasana haru di dalam cerita ini.

Anda mungkin juga menyukai