Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum
berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan
dagangannya.
Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.
“Mencari bunga untuk apa, Pak?”
Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin
kurang dari itu.
“Bunga untuk ulang tahun.”
“Yang harganya sekitar berapa, Pak?”
“Harga tak jadi soal.”
“Bagaimana kalau ini?”
Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.
Ia menunjuk ke sebuah rangkaian bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah
beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.
“Itu saya sendiri yang merangkainya.”
Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak
menyambarnya. Langsung aku mengangguk.
“Ya, ini yang aku cari."
Dia mengangguk senang.
“Mau diantar atau dibawa sendiri?”
“Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”
Ia kelihatan bimbang.
“Berapa duit.”
“Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”
“Tidak, aku mau ini.”
“Bagaimana kalau itu?”
Ia menunjuk ke bunga lain.
“Tidak. Ini!”
“Tapi itu tak dijual.”
“Kenapa?”
“Karena dibuat bukan untuk dijual.”
Aku ketawa.
“Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.
“Dua.”
“Dua apa?”
“Dua juta.”
Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah.
Aku mulai penasaran.
“Jadi, benar-benar tidak dijual?”
“Tidak.”
Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.
“Bagaimana kalau itu?”
Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan
semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh
logam.
Dia tercengang.
“Bapak mau beli?”
“Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak
mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan
kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga
kamu yang tak dijual ini.”
Dia berpikir. Setelah itu menyerah.
“Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”
Aku terpesona tak percaya.
“Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”
“Dua puluh ribu cukup.”
“Rumah Bapak di mana?”
“Cirendeu.”
“Cirendeu kan jauh?”
“Memang, tapi dilewati angkot.”
“Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”
“Habis, naik apa lagi?”
“Tapi angkot?”
“Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”
“Bukan begitu.”
“O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”
“Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”
“Ya, hitung-hitung olahraga.”
Dia menatap tajam.
“Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”
Aku tercengang.
“Kurang?”
“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di
BK PIM.”
Dia tersenyum. Cantik sekali.
“Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”“Tidak.”Dia berpikir.
“Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada
seseorang.”
“Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”
“Yang dicintai mestinya.”
“Ya. Jelas!”
“Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan
ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”
Aku terpesona lalu mengangguk.
“Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”
Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.
“Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”
“Tidak. Kamu.”
Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku
menolak.
“Kamu saja yang memilih.”
“Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”
“Pokoknya yang bagus. Yang positip.”
“Cinta, persahabatan, atau sayang?”
“Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia
menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari
sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad: “Bersiap kecewa,
bersedih tanpa kata-kata.”
Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26
tahun di penjara Robben karena puisi.
“Bagus?”
Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-
cepat kuhapus.
“Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”
“Ya?”“Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”
Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.
“Kamu saja yang tanda tangan.”
“Kenapa saya?”
“Kan kamu yang tadi menulis.”
“Tapi itu untuk Bapak.”
“Ya memang.”
Ia bingung.
“Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”
“Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”
“Makanya!”
Ia kembali bingung.
“Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”
Dia bengong.
“Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”
“Jadi, bunga ini untuk Bapak?”
“Ya.”
“Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”
“Ya. Apa salahnya?”
“Bapak yang ulang tahun?”
“Ya.”
Dia menatapku tak percaya.
“Kenapa?”
“Mestinya mereka yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”
“Mereka siapa?”
“Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”
“Mereka terlalu sibuk.”
“Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”
“Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk
diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”
Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.
“Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”
Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah.
Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.
Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.
“Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari
tanganku, ”Bapak simpan saja.”
“Kenapa? Kan sudah aku beli?”
Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.
“Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang.
Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”
Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.
“Aku pemilik toko ini.”
Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah. (*)
KADO ISTIMEWA
Oleh : Jujur Prananto
Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra pak Hargi. Tidak bisa
tidak. Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa
suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, ia akan datang untuk
mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa ia tetap menghormati Pak
Gi, biarpun zaman sudah berubah.
Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya yang
sangat ia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang sejati. Termasuk
diantara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma bekerja di dapur umum,
tetapi ia merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi.
Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan
banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan dipusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar
tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah
Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta. Lalu, tumbangnya rezim orde lama
dan bangkitnya orde barumengukuhkan peran Pak Gi dilingkungan pemerintahan pusat. Dan ini
berarti makin tertutupnya komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam
istilah Bu Kus “kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.
“soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,”
demikian kenang Bu Kus. “dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain
memimpikan betapa indahnya kalau kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering menekankan
bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah berjuang
melawan kemiskinan dan kebodohan”.
Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah
tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap
muka secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya, ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi
akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.
Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal dirumah. Tas
kulit yang berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas pelastik besar
berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Setelah merasa beres dengan tetek
bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk
membawanya ke stasiun kereta.
Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta ekonomi
jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ke tergesa-gesaannya meninggalkan
rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai di
Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi. Berbincang-bincang tentang masa lalu. Tentang
kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah
matang, tentang kurir Natimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi
pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan
terlupakan walaupun terlibas oleh berputarnya roda zaman.
Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergepoh-gepoh naik ke
atas gerbong.
“nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang petugas.
Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!”
kata Bu Kus dengan ketus.
“nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas itu.
“pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus.
Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai
juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi melihat
ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian. “ibu ini nekat! Kenapa tidak
kasih kabar dulu? Tanya Wawuk.
“di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus.
“tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk berkata dengan lembut.
“yang penting saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.
“bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”.
“saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi
mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut disurat.”
“ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??”
“kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”
“kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”
“apa-apa, kok, mesti laporan.”
“bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan... tidak di
undang?”
“lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lalu ditolak?”
“ya, tidak, tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP mana yang biasa.”
“ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.”
“tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan dimana,
hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu Cuma dengar omongan kiri kanan.”
“suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak di undang?”
“bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu karyawan biasa, jauh
dibawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal
beginian. Apalagi kecipratan undangan.”
“kan bisa tanya?”Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.
“ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini
yang penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”
LAKI-LAKI SEJATI
Oleh : Putu Wijaya
Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan
muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu
mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya
sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum,
memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam
penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana
aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu
jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu
untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-
anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku
sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang
membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku
malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak
akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku
akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad
kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan
ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya
pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya,
punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi
laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau
mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah
dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak
segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada
lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan
menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi.
Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu
sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar,
pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di
pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor
yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah
mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan
ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu
terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa
meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam
kedua telinganya, lalu keluar kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru
menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan
yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet
seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan
muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan
mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa
pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-
laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!
Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong.
Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia
benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta,
anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.
Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya
dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku,
siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan
anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya
bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi
seorang laki-laki yang sejati.
Dunia Gorda
Oleh : Seno Gumira Ajidarma
Alkisah di cerpen SGA itu ada seorang lelaki bernama Gorda. Seorang mahasiswa kedokteran
yang melewati hari seperti orang biasanya. Namun Gorda memiliki masalah, yaitu selalu susah
untuk tidur. Biasanya malam-malam Gorda dihabiskan dengan membaca buku sembari
mendengarkan lantunan lagu blues. Baru lewat tengah malam dan hampir subuh dia baru dapat
tertidur. Sampailah pada suatu malam yang akan mengubah seluruh jalan hidupnya, Gorda
tertidur pulas, tapi ternyata dia tidak benar-benar tertidur. Dia bermimpi, dan roh nya masuk ke
sebuah dunia yang berisikan oleh orang-orang yang mati penasaran, orang-orang yang tidak
mendapat tempat di akhirat. Gorda diterima dengan baik di dunia tersebut, bahkan secara
istimewa. Di dunia itu dia bertemu dengan sahabatnya, Robin yang meninggal secara misterius
pada saat mendaki gunung. Dunia baru yang dimasuki Gorda ini sama persis keadaannya dengan
dunia nyata, dunia sehari-hari yang dimiliki Gorda. Gorda bingung. Gorda dapat kembali ke
dunia nyata tatkala ia terbangun dari tidur. Dan ketika dia tertidur lagi, dia akan kembali ke dunia
yang satunya, dunia yang berisikan orang-orang yang mati penasaran. Artinya, sebenarnya Gorda
tidak pernah tertidur. Selalu melewati hari di dua alam yang berbeda. Wanti, tunangan Gorda
menyadari perubahan pada diri Gorda walau dia tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
Setahun sudah Gorda menjalani kehidupan di dua alam. Kini, di dunia yang berisi orang-orang
yang mati penasaran, Gorda sudah berkeluarga dengan istri bernama Ella dan memiliki satu
orang anak. Sedangkan di dunia nyata dia masih berpacaran dengan Wanti. Ella, mengerti
dengan Gorda yang memiliki tunangan di dunia nyata. Ella selalu merasa bersalah karena seperti
telah merebut Gorda dari Wanti. Ella, wanita yang selalu menyemangati Gorda dalam melalui
takdirnya untuk hidup di dua alam yang berbeda. Bukankah memang sulit menjalaninya, tidak
pernah tidur, satu jiwa untuk dua alam. Gorda sering hampir putus asa, tidak kuat lagi
menjalaninya.
Waktu pernikahan Gorda dan Wanti di dunia nyata pun tiba. Dengan mata yang terkantuk dan
merah, Gorda dan Wanti bersanding di pelaminan. Sampai tengah malam, pesta baru usai. Saat
semua tamu sudah pulang dan rumah sepi, Gorda dan Wanti berada dalam kamar mereka yang
berbau melati. Saat itulah, saat malam pertama yang dinantikan oleh para pengantin baru, Gorda
merasa gelisah. Saat itulah Gorda mengambil sebuah keputusan besar. Gorda berkata “Aku harus
merelakan salah satu, dua dunia terlalu banyak, ini keterlaluan”. Sebilah keris di genggam oleh
Gorda. Ini dia akhir dari cerita yang tragis, pada tengah malam yang berbulan sabit itu, seekor
burung hantu melintas, berkepak sendiri, lenyap ditelan kegelapan. Pada saat yang sama, di dua
alam yang berbeda terdengar jeritan dua perempuan yang meratapi kematian suaminya. Gorda
terkapar bersimbaha darah.