Anda di halaman 1dari 15

Di depan toko, aku termenung.

Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih satu bunga hias
pun sejak toko itu mulai dibuka. Tak ada yang sesuai dengan kemauanku. Penjaga toko itu sampai
bosan menyapa dan memujikan dagangannya.

Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.

”Mencari bunga untuk apa Pak?”

Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 21 tahun. Atau mungkin
kurang dari itu.

”Bunga untuk ulang tahun.”

”Yang harganya sekitar berapa Pak?”

”Harga tak jadi soal.”

”Bagaimana kalau ini?” Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.

”Itu?”

Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah
beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.

”Itu saya sendiri yang merangkainya.”

Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak
menyambarnya. Langsung aku mengangguk.

”Ya, ini yang aku cari.” Dia mengangguk senang.

”Mau diantar atau dibawa sendiri?”


”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?” Ia kelihatan bimbang.

”Berapa duit.”

”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”

”Tidak, aku mau ini.”

”Bagaimana kalau itu?” Ia menunjuk ke bunga lain.

”Tidak. Ini!”

”Tapi itu tak dijual.”

”Kenapa?”

”Karena dibuat bukan untuk dijual.” Aku ketawa.

”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.

”Dua.”

”Dua apa?”

”Dua juta.” Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin
indah. Aku mulai penasaran.

”Jadi, benar-benar tidak dijual?”

”Tidak.” Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.
”Bagaimana kalau itu?”

Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua.
Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.

Dia tercengang.

”Bapak mau beli?”

”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti
bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi
juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”

Dia berpikir. Setelah itu menyerah.

”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”

Aku terpesona dan tak percaya.

”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”

”Dua puluh ribu cukup.”

”Rumah Bapak di mana?”

”Cirendeu.”

”Cirendeu kan jauh?”

”Memang, tapi dilewati angkot.”


”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”

”Habis, naik apa lagi?”

”Tapi angkot?”

”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”

”Bukan begitu.”

”Ooo, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”

”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?” Dia menatap tajam.

”Ya, hitung-hitung olahraga.”

”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”

Aku tercengang.

”Kurang?”

“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK
PIM.”

Dia tersenyum. Cantik sekali.

”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”

”Tidak.”
”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada
seseorang.”

”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”

”Yang dicintai mestinya.”

”Ya. Jelas!”

”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan.
Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”

Aku terpesona lalu mengangguk.

”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”

Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.

”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”

”Tidak. Kamu.” Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan
sajak. Aku menolak.

”Kamu saja yang memilih.”

”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”

”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”

”Cinta, persahabatan, atau sayang?”

”Semuanya.”
Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan
tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu
Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:

”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”

Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun
di penjara Robben karena puisi.

”Bagus?” Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan.
Cepat-cepat kuhapus.

”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”

”Ya?”

”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.” Aku menggeleng. Aku kembalikan
kartu itu kepadanya.

”Kamu saja yang tanda tangan.”

”Kenapa saya?”

”Kan kamu tadi yang menulis.”

”Tapi itu untuk Bapak.”

”Ya memang.” Ia bingung.

”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”

”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”


”Mangkanya!” Ia kembali bingung.

”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?” Dia bengong.

”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”

”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”

”Ya.”

”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”

”Ya. Apa salahnya?”

”Bapak yang ulang tahun?”

”Ya.” Dia menatapku tak percaya.

”Kenapa?”

”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”

”Mereka siapa?”

”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”

”Mereka terlalu sibuk.”

”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”


”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku
sendiri karena kau juga tidak mau!”

Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.

”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”

Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah.
Bunga itu hanyalah sebuah bonus. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.

Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.

”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku,
”Bapak simpan saja.”

”Kenapa? Kan sudah aku beli?” Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.

”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan
saja jalannya. Itu mobilku.”

Dia menunjuk ke sebuah Marcedes Benz merah yang diparkir disamping toko.

”Aku pemilik toko ini.” Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.

Dia pun mulai melajukan mobil merahnya tersebut. Sepanjang jalan dia banyak bercerita tentang
kecintaannya kepada bunga hingga dia membuka toko bunga.

“Dari kesenanganku kepada bunga, aku pun membuka bisnis bunga ini Pak.”

“Sejak kapan kamu memulai usaha toko bunga itu?”

“Aku memulai usaha toko bunga ini 4 tahun yang lalu pak. Sejak aku lulus dari Sekolah Menengah
Atas.”
Aku merasa bangga melihat gadis itu bersemangat menekuni usahanya. Bahkan dia juga tercatat
sebagai mahasiswa di salah satu Universitas ternama di daerah tempat tinggalnya.

“Kamu tidak melanjutkan pendidikanmu?”

“Aku masih kuliah pak, di salah satu Universitas di sini.”

“Pastinya keluarga kamu bangga dengan keadaan kamu yang seperti saat ini. Aku bangga bisa
bertemu denganmu.”

Dia pun hanya tersenyum kepadaku.

Aku pun semakin menggelengkan kepalaku, takjub kepada pengusaha muda ini. Meskipun dia
memiliki kesibukan untuk menjalankan usaha bunganya, tetapi dia masih memberikan perhatian dia
kepada orang lain yang baru dia kenal dengan hitungan jam saja, tak seperti orang-orang yang ada
didekatku yang selalu mementingkan kesibukannya bahkan lupa terhadap keberadaanku.

“Aku paham dengan keadaan bapak yang merasa kesepian dan membutuhkan orang-orang terdekat
bapak untuk lebih perhatian kepada bapak.”

“Bukan itu saja” sahutku.

Aku pun terdiam dan hanya bisa berfikir, bukan hanya itu saja yang aku butuh dari mereka, aku
membutuhkan perhatian mereka, tapi aku juga membutuhkan mereka kembali menganggapku ada,
bukan malah mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri hingga melupakan orang yang seharusnya
mereka perhatikan.

“Apalagi yang bapak harapkan kalau bukan perhatian dari mereka?”

“Berpuluh tahun aku merawat mereka hingga mereka seperti sekarang, mengajari mereka dengan
penuh kesabaran, memberikan mereka perhatian ketika mereka merasa kesepian. Tapi entah
mengapa saat mereka sudah seperti saat ini, setelah mereka lebih asyik dengan dunia baru mereka,
dunia yang penuh dengan kesibukan hingga lupa tentang keberadaanku saat ini yang membutuhkan
dekapan dan perhatian mereka.”
Sepanjang jalan aku mmenceritakan semua kepadanya. Hingga akhirnya dia mengajakku untuk
menemaninya makan siang di sebuah restoran ternama disana.

“Bapak mau menemani saya makan siang?”

Aku hanya terdiam.

“Bapak.”

“Iya,”

Aku pun menerima tawarannya untuk menemaninya untuk makan siang.

Dia pun mengarahkan mobilnya ke sebuah parkir rumah makan.

Aku dan dia pun turun dan menuju salah satu meja di restoran itu.

“Aku ingin mereka yang ada disampingku hari ini, bukan kamu yang meluangkan waktumu untuk
menemaniku.” Dia pun tersenyum menatapku.

“Bapak mau makan apa?”

Aku pun menatapnya.

“Bapak mau makan apa?” Dia bertanya kembali kepadaku.

“Aku pesan minum saja.”

“Bapak tidak mau makan?”

“Tidak, aku pesan minum saja.”


“Bapak mau pesan minum apa?”

“Yang tidak terlalu manis saja.”

Dia pun menganggukkan kepalanya. Sambil memanggil pelayan restoran itu, dan memesankan
minum dan makan siang.

Dia pun bercerita kepadaku. Ketika dia merasa senang ketika bersamaku.

“Aku ini anak yatim pak, jadi aku senang sekali bisa bertemu dengan bapak.” Dia menatapku.

Dan aku melihatnya.

“Aku sudah lama tidak merasakan perhatian dan kasih sayang seorang ayah, pak.”

Aku terdiam dan dia pun melanjutkan ceritanya dan sambil dia makan siang.

“Aku ditinggal oleh ayahku sejak aku masih berumur 14 tahun. Dia pergi meninggalkanku dan ibuku
gara-gara sakit kangker yang sudah dideritanya selama 2 tahun. Dia tidak pernah menceritakan
tentang penyakitnya kepadaku.”

“Kenapa ayahmu tidak memberitahumu tentang penyakitnya?”

“Itulah sifat ayahku, dia tidak mau menceritakan semuanya kepadaku karena dia takut menganggu
konsentrasi belajarku saat itu.”

Aku merasa kasian kepadanya. Sebenarnya dia sama sepertiku. Sama-sama merindukan orang-orang
terdekatnya yang bisa memberikan perhatian kepadanya.

“Seandainya anak-anakku sepertimu?”

“Kenapa, pak.?”
“Kamu, itu seorang anak yang sangat perhatian kepada ayahmu dan ibumu. Tidak sama dengan
anak-anak bapak yang sibuk dengan dunia mereka sendiri.”

“Ah.. Bapak bisa aja.”

Dia melihatku dan tersenyum, sepertinya dia senang sekali saat ini bersamaku. Dia merasa seperti
dia bersama dengan ayahnya.

“Aku senang sekali pak.”

“kenapa?’

“Aku ingat dengan sosok almarhum ayahku pak.”

Dia pun terdiam sejenak, mungkin dia mengingat masa-masa saat dia masih bersama ayahnya. Aku
pun mengalihkan pembicaraan, karena aku melihat raut wajah gadis itu sepertinya sedih mengingat
masa lalunya saat bersama ayahnya.

“kamu jangan bersedih seperti itu, kan masih ada bapak sekarang yang bisa kamu anggap sebagai
ayahmu sendiri.”

Dia pun menatap wajahku dan tersenyum.

“Terima kasih pak. Aku bangga ketika bapak berkata seperti itu.”

“iya sama-sama.” Kataku sambil tersenyum.

Setelah makan siang kami sudah selesai, berapa menit kemudian kami beranjak dari restoran itu.

Meskipun dia sibuk dengan urusannya dia masih memberikan kesempatan untuk menghiburku
dihari ulang tahunku. Dia mengerti tentang kesepian dan kesendirianku.
Tidak seperti anak-anakku yang selalu sibuk dan tidak bisa memberikan sedikit waktu untuk
memperhatikan hidup bapaknya.

Sepanjang jalan aku hanya terdiam menatap kedepan. Aku hanya memikirkan, andai saja anak-
anakku bisa memberikan perhatian seperti gadis ini memberikan perhatian kepadaku, mungkin
hidupku tak akan terasa sepi seperti saat ini.

Ternyata selama aku terdiam, gadis itu memperhatikanku.

“Bapak kenapa?”

“Tidak apa-apa.” Aku menoleh dan menatapnya.

“Bapak mau langsung aku antar pulang atau masih mau mampir ke suatu tempat pak?”

“Sebenarnya aku masih tidak ingin langsung pulang.”

Aku terdiam dan menundukkan kepalaku.

“Memangnya bapak masih mampir kemana?”

Aku tetap terdiam. Hingga gadis itu bertanya dua kali dan kembali memanggilku.

“bapak.”

“Aku hanya ingin pergi ke tempat yang bisa menghibur dalam kesepian hidupku ini.”

Gadis itu bersedia untuk menemaniku, kemudian dia mengajakku ke sebuah taman kota. Disana dia
mengajakku duduk disebuah kursi yang ada di taman itu. Dia banyak bercerita kepadaku, begitujuga
denganku.
“Bapak, tidak usah bersedih lagi karena bapak merasa hidup bapak sepi tanpa perhatian orang-orang
terdekat bapak. Mereka sibuk dengan urusan mereka bukan berarti mereka tidak perhatian kepada
hidup bapak sekarang.”

Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata gadis itu.

“Aku sudah berusaha untuk memahami mereka, tapi entahlah aku sabar dengan tingkah laku
mereka yang hanya mementingkan materi dan dunianya sendiri tanpa memikirkan bapaknya
sendiri.”

Gadis itu kemudian kembali berusaha memberi pengertian kepadaku.

“Sudahlah pak, mereka bekerja untuk bapak juga.”

Kami pun terdiam beberapa saat. Hari pun semakin sore. Hingga akhirnya gadis itu mengajakku
untuk pulang ke rumah.

“Bapak, hari sudah semakin sore, aku takut keluarga bapak khawatir gara-gara bapak dari tadi pagi
belum pulang kerumah, aku antar pulang sekarang ya pak?”

Aku merasa tidak enak sendiri ketika gadis itu mengajakku untuk pulang. Dia begitu perhatian
kepada orang tua sepertiku.

“Iya, kita pulang sekarang.”

Kami berdua kemudian menuju ke parkiran mobil gadis itu dan akhirnya gadis itu mengantarkanku
pulang kerumahku.

Akhirnya berapa jam kemudian sampailah aku di rumahku. Ternyata benar apa yang di katakan gadis
itu. Semua anak-anakku mencariku dan mengkhawatirkanku.

Ternyata anak-anakku sudah sejak tadi siang mencariku. Karena aku tidak ada dirumah sejak pagi
tadi. Sesampainya di rumah kemudian anak-anakku menanyakan dari mana aku seharian ini.
Entahlah dari rasa kecewa kepada mereka aku langsung masuk ke kamarku. Setelah memberikan
ucapan terima kasih kepada gadis yang bersedia meluangkan waktunya untuk menemaniku hari ini.
“Terima kasih ya nak. Kamu sudah membuat bapak bahagia dan merasa tidak kesepian.”

“Iya pak sama-sama.”

Aku pun langsung masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamarku tanpa sepatah katapun kepada
anak-anakku.

Gadis itu menceritakan semua keluhanku kepada anak-anakku. Dia menceritakan secara detail
mengapa aku sampai pulang dari sampai sore sperti ini.

“Mas, bapak hanya butuh perhatian dan kasih sayang mas sebagai anak-anaknya bapak.”

“Iya mbak terima kasih, mbak sudah bersedia meluangkan waktu mbak untuk menemani bapakku.
Dan terima kasih mbak sudah menceritakan semua yang menjadikan bapak kecewa kepada kami
sebagai anak-anaknya yang hanya mementingkan dunia kami yang penuh dengan kesibukan.”

“Iya sama-sama mas. Iya sudah aku pulang dulu.”

Gadis itu pun pergi dengan sejuta pelajaran berharga. Dan sejak saat itu benar-benar
menyadarkanku akan makna keluarga yang sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai