Anda di halaman 1dari 208

Gadis Penjual Air Mata

Diah Pratiwi
2111415032

Tanpa membawa payung, aku berlari di tengah hujan.


Kemudian berhenti di tengah gerombolan orang berpayung yang
menanti giliran menyebrang. Aku menggenggam erat selempang
tasku. Ingin rasanya sekarang juga aku berlari ke tengah jalan dan
berteriak. Tapi itu tak mungkin. Aku akan mati tertabrak gerobak
besi. Aku tak ingin mati konyol.
Aku mempererat genggamanku pada selempang tas dengan
amarah yang membuncah. Aku berlari sekuat tenaga setelah lampu
menjadi merah. Entah kemana kaki ini membawaku pergi. Aku tak
peduli. Air mata yang keluar telah terhapus oleh derasnya hujan.
Berlari, berlari, berlari, kemudian berhenti.
“Aaaaaaarrrggg…!”
Aku teriak dengan membungkukkan badanku di tengah
sepinya jalan. Aku berada di gang sempit yang diapit oleh gedung
pencakar langit. Dengan napas terengah-engah aku menatap ke
depan. Ke arah jalan kota yang semakin ramai meski hujan masih
saja mengguyur dengan derasnya.
Perlahan, aku berjalan keluar dari gang sempit ini. Andai
keluar dari hal rumit semudah kembali ke keramaian kota, mungkin
aku tak akan merasakan sakit seperti ini. Mungkin Ayah, tak akan
marah-marah setiap wanita itu pulang dengan waktu yang tak wajar.
Mungkin juga, aku masih akan menghormatinya.

1
Aku berteduh di bangku pinggiran toko. Memandang acuh
pada jalanan di depanku. Seperti aku mengacuhkan wanita itu saat
mengejarku. Tak ada yang peduli dengan aku sekarang. Andai Ayah
di kota ini, andai Ayah tak pergi, dan aku percaya pada perkataannya
waktu itu, mungkin hatiku tak akan sesakit ini. Aku menyesal telah
menyalahkan Ayah waktu itu. Aku menyesal telah membentak Ayah
waktu itu. Aku juga menyesal, ternyata aku membela wanita yang
salah.
Sesungguhnya aku sedang menunggu wanita itu
menghubungiku. Aku menunggu ia mengirimiku pesan. Tak peduli
ia berkata atau menulis hal dusta. Aku berharap dia menyuruhku
pulang. Tapi, sampai saat ini, sampai detik ini, ponselku masih
menyala, namun masih bergeming. Tak ada pesan atau pun
panggilan darinya. Dia memang sudah tak peduli denganku
sepertinya.
Aku tersenyum sinis menatap layar ponselku yang ikut
basah terkena air hujan. Sedetik kemudian pandangan kualihkan ke
sumber tawa yang riuh. Segerombolan wanita cantik dengan baju
yang terlihat mahal serta menenteng tas bermerk keluar dengan
bahagia dari toko seberang. Mereka berulang kali mengucap terima
kasih kepada banyak pria yang mereka lepas di ambang pintu.
Aku terus memandangi mereka sampai punggungnya
berbalik dan menghilang di balik pintu toko itu. Laki-laki yang
dilepas pun terlihat bahagia usai keluar dari toko itu. aku penasaran.
Toko yang selalu aku lewati setiap hari. Toko yang selalu
sepi kala pagi. Toko yang penuh kerlap-kerlip di malam hari. Toko
macam apa itu? Apa setelah aku masuk ke sana aku akan keluar

2
dengan bahagia seperti mereka? Apa yang mereka jual? Kebahagiaan
kah?
Dengan rasa penasaran, aku mulai berjalan mendekati toko
itu. Toko dengan lampu yang sangat banyak. Toko yang memang
terlihat bahagia pada tampilan luarnya. Aku yakin, di dalam sana
banyak kebahagiaan yang ditawarkan. Aku semakin penasaran,
kebahagiaan seperti apa yang mereka punya? Wahana apa yang bisa
membuat orang-orang tadi seolah tak memiliki beban hidup.
Seseorang menghadangku ketika aku hendak masuk.
Pakaiannya seperti pelayan restoran. Apa ini toko makanan?
“Ada perlu apa nona muda?” dia bertanya dengan lembut.
“Apa yang ada di dalam tuan?” tanyaku. Dia
memandangiku dari bawah sampai puncak kepalaku. Dia tersenyum
remeh. Aku menyirit.
“Jika ingin masuk, gantilah pakaianmu dengan pakaian
yang pantas!” tukasnya. Ia pergi begitu saja meninggalkanku yang
masih berdiri di bawah kanopi toko ini.
Aku berbalik. Terpaksa menelan rasa penasaran yang amat
dalam. Aku akan kembali besok. Aku masih penasaran. Aku ingin
kebahagiaan seperti mereka yang baru saja keluar.
***
Sore ini aku kembali. Kembali dengan seragam yang masih
rapi. Aku tak ada niatan untuk kembali pulang terlebih dahulu. Aku
ingin bahagia segera. Aku ingin sakit di hati ini menguap dengan
cepat. Aku tak ingin menjadi cengeng. Aku ingin melupakan dengan
segera hal kemarin.

3
Dengan percaya diri aku melangkah menaiki tangga masuk
toko ini. Namun lagi-lagi pelayan yang menahanku. Dia
mendorongku pelan dan memberi isyarat untuk aku pergi. Aku
heran, apa aku masih terlihat kacau?
Aku pergi ke seberang jalan. Duduk memperhatikan toko
yang ingin aku masuki. Kemudian, tanpa permisi seorang perempuan
muda dan cantik duduk di sebelahku. Dia menyodorkan satu kotak
jus instan. Aku menolak. Tapi dia terus memaksaku untuk
menerimanya.
“Kenapa kau ingin masuk ke sana?”
Aku terperanjat atas pertanyaannya. Dari mana dia tahu
kalau aku ingin masuk ke toko kebahagiaan itu. Aku menoleh
mendapatinya yang tengah tersenyum ke arahku.
“Aku ingin membeli kebahagiaan,” jawabku.
“Menjual kesedihan,” dengan cepat ia mengoreksi
jawabanku.
Aku memiringkan kepala tanda tak mengerti. Dia
membuang pandangan pada toko itu. Aku menanti dia melanjutkan
ucapannya yang membuatku bingung. Apa maksudnya menjual
kesedihan? Siapa dia? Apa dia mengerti apa yang ada di dalam toko
itu?
“Perempuan seperti kita tidak membeli kebahagiaan,
melainkan menjual air mata,” aku semakin tak mengerti apa yang
dibicarakannya. Belum sempat aku bertanya apa maksud
perkataannya, dia berdiri hendak pergi.
“Jika ingin masuk ke sana, katakan sayonara pada reputasi
gadis baik yang kau miliki.”

4
Dia berlalu begitu saja. Meninggalkan kesan
membingungkan. Aku masih memikirkan ucapannya. Menjual air
mata? Reputasi baik? Apa maksudnya? Aku tak mengerti.
Aku terus berpikir di bangku ini. Berpikir, berpikir, dan
terus berpikir hingga langit menggelap dan lampu jalanan menyala.
Aku beranjak. Bukan untuk pulang atau pun kembali pada toko itu.
Melainkan membeli baju.
….
Aku berdiri pada cermin yang memantulkan wajah dan
tubuhku. Make up tebal, telah membuatku terlihat lebih dewasa. Tak
ada yang peduli lagi denganku. Jadi biarkan diriku menjadi seperti
apa yang kumau. Biarkan aku menikmati kesenangan orang dewasa.
Kesenangan yang sering dilakukan olehnya pada pria lain.
Aku tersenyum sinis pada diriku sendiri. Menyedihkan…!
Kalau ini yang akan terjadi, lebih baik aku tak tahu apa-apa. Lebih
baik aku buta agar tak melihat hal hina. Lebih baik aku tuli, agar tak
mendengar ucapan yang menyakitkan hati.
Tapi sebaliknya. Kericuhan yang ada di dalam rumah, aku
telah mengetahuinya. Kekacauan emosi Ayah, aku tahu
penyebabnya. Aku melihatnya. Aku menyaksikannya. Aku pun
merasakan sakitnya. Wanita yang aku hormati, ternyata tak punya
hati. Begitu mudahnya ia mencundangi cinta yang Ayah beri. Begitu
mudahnya ia memutus janji suci yang Ayah ucapkan untuknya.
Begitu mudahnya ia menutup pintu dan pergi dengan pria lain.
Aku tak ingin mengingat hari itu. Aku melihatnya
bercumbu di ruang tamu dengan bebasnya. Dengan bajunya yang
berantakkan, aku hanya bisa terdiam dan menyaksikan. Apa hal

5
semacam itu yang ia lakukan ketika Ayah pergi bekerja? Apa hal
semacam itu yang ia lakukan ketika aku berada di sekolah? Apa hal
itu juga yang ia lakukan ketika adik laki-lakiku tertidur dengan botol
susu?
Wanita jalang…!
Bammm…!
Aku menghantam meja rias yang ada di depanku. Sedetik
kemudian seseorang menepuk pundakku. Pantulan cermin,
memperlihatkan senyumnya yang menenangkan.
“Lakukan yang terbaik!” aku berusaha tersenyum dan
mengangguk kemudian keluar dari ruang minim cahaya ke ruang
penuh gemerlap. Terlihat kebahagiaan terpancar dari setiap sudut
ruangan ini.
Dengan mantap, aku melangkah menghampiri pembeli yang
sudah menunggu dari tadi. Aku tak lagi memikirkan Ayah, Ibu atau
pun adik laki-lakiku. Aku seperti gadis yang berdiri sendiri di sudut
bumi. Aku harus mencari kebahagiaanku sendiri. Aku harus menjual
air mata yang tak aku inginkan.
“Tolong beli air mataku,Tuan!” aku berbisik pada
pembeliku. Dia tersenyum, mengapit bahuku dan mengikis jarak di
antara kami.
“Bagaimana sistemmu?” dia berbisik juga.
“Saya kabaret1 baru. Mohon bimbingannya untuk bisnis
bantal2,” balasku malu-malu. Dia tertawa renyah.
“Tidakkah terlalu beresiko? Bar ini sangat melindungi
kabaretnya kan?” pria ini berbisik padaku.
“Saya tidak peduli.” tukasku.

6
Dia tersenyum lebar kearahku. Kemudian dia mengangkat
tangannya dan mengatakan kalau dia memilih aku. Aku tersenyum.
Benar kata perempuan muda kemarin.
Sayonara gadis baik-baik.

1
Kabaret : Wanita penghibur yang disediakan oleh bar untuk
menemani tamu pria untuk minum. Sering juga
disebut Hostess
2
Bisnis bantal : Bisnis Prostitusi

HAKUNA MATATA, FRIESKA


Diah Pratiwi
2111415032

Saat rindu tak bisa bertemu. Saat mata tak bisa beradu.
Semua yang kupikirkan terasa semu. Hidup yang kujalani terasa
sendu. Ketika semua menikmatinya, aku hanya melihat dan
memikirkannya. Tak ada gairah yang ada hanya resah. Aku memang
tertawa, namun hatiku terluka. Semua itu telah terjadi dengan
percuma. Memohon pada Tuhan untuk mengembalikan yang telah
berlalu hanyalah sia-sia. Karena aku sadar, yang telah terjadi tidak
bisa diulang. Dan aku tidak pernah tahu, kapan hari aku dimaafkan
itu datang.
Aku tidak butuh goresan penanya yang aku butuh
genggaman tangannya. Aku juga tidak butuh kabar dirinya yang aku
butuh kehadirannya. Aku yang bersalah, aku yang mengingkari

7
sumpah. Aku tak tahuharus apa, yang aku tahudia pasti kecewa. Kini
aku terduduk sendiri di rooftop yang menjadi saksi janjiku pada dia.
Janji yang kemudian menguap karena aku mengingkarinya.
“Tak ada yang perlu dikhawatirkan selama kau masih
memiliki teman.”
Aku menoleh mendapati seseorang yang tengah duduk
mengahadapku dengan senyuman. Aku hanya membalas dengan
senyum tipis. Kusandarkan punggungku pada bangku yang sedari
tadi menjadi penopang tubuh.
“Menyakitkan memang, untuk apa aku kembali jika
akhirnya hanya penyesalan yang kudapat,” ucapku. Aku menoleh,
menatap wajahnya yang masih tersenyum ringan ke arahku.
“Apa kemudian, jika kau tetap tinggal, semua akan baik-
baik saja? Kau tidak akan menyesal, begitu?” tanyanya. Aku
menundukan kepalaku. Melihat buku yang sedari tadi kubawa. Buku
yang ia berikan. Bukan, bukan dia yang langsung memberikannya.
Aku juga tak pernah berharap buku ini ada ditanganku sekarang.
Karena setiap melihat sampulnya saja membuat hatiku bagai tergores
parang. Hanya kata maaf yang berulang kali terlantun dalam hatiku
sekarang.
“Aku tak pernah berharap buku ini ada di tanganku, Mi!”
ucapku.
“Kau sudah membacanya?” tanya Naomi.
Aku tersenyum getir atas pertanyaan Naomi. Kukeluarkan
tabung kecil berisi kelopak bunga dari saku seragam sekolahku.
Menaruhnya tepat di atas buku bersampul merah dengan gambar hati
di tengahnya.

8
“Harusnya, tabung ini yang kuberikan padanya. Bukan
buku ini yang kuterima atas nama dirinya, Mi.” ucapku. Aku
menoleh ke arah Naomi. Terlihat sejenak ia menghela napas
beratnya, kemudian beranjak dan berdiri tepat di hadapanku. Ia
meraih bahuku agar aku ikut berdiri.
“Aku tahu, kau belum bisa menerima. Aku juga tahu kau
pasti terluka. Aku pun merasakan hal yang sama, Fries!” ucapnya.
Aku hanya terdiam memandang Naomi yang tengah menatapku
sendu.
“Jangan salahkan dirimu. Kau masih bisa menepati janjimu
untuk memberikan kelopak itu pada Sinka. Walau.. tidak langsung
pada dirinya.” Lanjutnya memberikan sedikit jeda pada kalimat
terakhir. Aku masih terdiam. Naomi mulai menurunkan tangannya
dan melangkah meninggalkanku di belakang. Aku menatap
punggungnya yang perlahan menjauh dari diriku. Naomi menoleh
sekilas dan tersenyum sebelum melanjutkan langkahnya
meninggalkanku sendiri di rooftop ini.
***
“Jangan khawatir, Frieska.Aku akan baik-baik saja. Justru
aku yang khawatir padamu.”
Sinka menggenggam tanganku lembut. Aku menarik
tubuhnya ke dalam pelukanku. Tubuhku bergetar, aku mulai terisak.
“Aku akan merindukanmu, Fries!” ucapnya. Dia mengusap
punggungku dan ikut terisak ringan.
“Aku janji akan membawakan kelopak Sakura untukmu,
Sin, tunggu aku ya!” aku melepaskan pelukanku, menatap matanya
yang basah. Dia mengangguk dan senyumnya mengembang. Aku

9
bahagia melihat senyumnya yang seolah tanpa beban. Walau aku
tahu, ada sakit yang ia rasakan.
“Janji?” Sinka mengacungkan jari kelingkingnya. Aku
tersenyum mengaitkan jari kelingkingku dengan kelingkingnya.
“Janji..!”
***
Aku terlalu mudah mengucapkan janji. Sampai aku sendiri
tak dapat menepati. Dulu aku yang selalu melindungi. Namun, aku
juga yang menyakiti.
Sekarang aku tengah bersimpuh di rumah Sinka.
Menumpahkan segala rasa sesalku di hadapannya. Entah berapa kali
aku mengucapkan kata maaf. Entah berapa lama aku menaruh
mukaku di atas ukiran namanya.
Sreekk
Kuangkat kepalaku mendengar lembaran kertas yang
terbuka. Buku dari Sinka yang kuletakkan di sampingku terbuka
terkena hembusan angin. Tulisan tangan yang amat kukenal terlihat
sangat jelas. Aku meraihnya, membacanya tepat pada bagian yang
terbuka.
Tak salah, Aku menobatkan dirimu sebagai kakakku, Fries.
Kau selalu melindungiku, tapi maaf, aku belum bisa membalas
melindungimu….
Srekk, srekk, srekk
Belum sempat aku membaca sampai habis, angin
membukakan lembaran kertas buku ini kearah belakang. Lembaran
kertas yang terbuka tidak urut. Mungkin Sinka ingin menunjukkan

10
sesuatu melalui buku ini dengan memerintah angin untuk
membukakannya.
Hari disaat kau akan pergi dan kita akan terpisah semakin
dekat. Meski aku tahu, entah mengapa terasa menyakitkan. Sangat
sakit memang saat kau akan tinggalkanku, Fries, tapi aku harus
menjadi lebih kuat.
Kelopak mataku agaknya sudah tak sanggup menampung
air mata yang sedari tadi terus mendesak untuk keluar.
Lagi.. lembaran kertas buku ini kembali terbuka oleh
embusan angin.
“Jangan khawatir Sinka..! semua akan baik-baik saja!”
kalimat itu yang selalu kau ucapkan padaku setiap aku kehilangan
keberanianku. Kau yang mengatakan kalau aku tak boleh kalah
dengan rasa cemas dan rasa sakitku.
Kututup paksa buku ini. Aku tak sanggup lagi membacanya.
Aku merindukannya, aku tak butuh buku ini. Aku butuh sahabatku
kembali. Aku butuh Sinka kembali.
Kembali, kembali aku tertunduk di atas ukiran nama Sinka.
Sejenak aku diam, sebelum suara lembaran kertas kembali terbuka.
Angin suruhan Sinka membuka lembaran-lembaran kertasnya, dan
kali ini terbuka pada halaman hampir akhir.
“Sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan padaku Sin?”
aku bertanya seolah Sinka akan menjawab. Kuembuskan napas
kasar, dan memaksakan diri membaca kembali buku ini.
Sebelum senja berubah menjadi malam yang kelam, aku
akan kembali mengingat seluruh kejadian yang telah kita lalui
bersama, Fries. Semua keputusan yang kita pilih masing-masing,

11
adalah apa yang akan kita jalani esok. Aku juga harus menjadi lebih
kuat. Agar aku dapat melihatmu kembali. Jangan terlalu
mengkhawatirkanku, Frieska. Karena aku ingin membuatmu
tersenyum sama seperti saat kau menghiburku di samping bangsal.
Jangan tanggung bebanmu sendirian, masih ada teman. Bukankah
memiliki orang-orang dalam kehidupanmu, yang memikirkanmu, itu
adalah kebahagiaan yang sebenarnya? Jangan takut Frieska,
jangan takut untuk memulai sesuatu, termasuk pertemanan baru.
Aku masih sahabatmu, aku masih di hatimu, bukan? Kalau kau
merasa cemas atau takut, ingat aku! Itu juga kan yang selalu kau
katakan padaku? Aku masih disini, masih menunggumu kembali.
Hakuna Matata1, Frieska! Semua akan baik-baik saja.
“Maaf, Sinka!” hanya itu yang bisa kuucapkan setelah
membaca halaman hampir akhir buku yang ia berikan. Kuambil
tabung kecil berisi kelopak bunga Sakura dan membukanya.
“Maaf, dengan caraku menepati janji. Aku juga tak
mengharapkan janjiku kutepati dengan cara seperti ini. Sekali lagi
maafkan aku Sinka,” ucapku pada pusara Sinka. Kutaburkan kelopak
bunga Sakura di atasnya. Berharap Sinka dapat melihatnya meskipun
tak dapat menyentuhnya.
Apa yang dituliskannya bukan hanya kecintaannya pada
teman. Namun, juga sebuah kesungguhan. Menoleh ke belakang
hanya akan membuatku kesepian. Jejak kakipun akan segera
menghilang. Tapi, bayang penyesalan itu akan tetap terkenang.
Lebih baik aku menatap ke depan, ke masa yang akan datang. Apa
yang dituliskan Sinka adalah apa yang harus aku terapkan dari
sekarang.

12
“Hakuna Matata, Frieska. Semua akan baik-baik saja.”

1
Hakuna Matata : Sebuah perkataan dalam bahasa Swahili yang
biasanya diterjemahkan menjadi “Jangan Khawatir.”

13
TerlibatSingkat
Dina Kristiani
2111415039

Zenna, nama yang indah,seindahwajah-wajahnya yang


sendu. Perempuan yang sering tersenyum itu sangatlah menarik.
Banyak kaumadam yang meliriknya.
Entahsekadaruntukmemandangdanmengagumi. Ketikaiaberjalan,
banyakpasangmata yang melihatnya. Hal
itusudahmenjadibiasabaginya.
Kejadiansiangitumasihteringatjelas di pikiranku. Aku
ingatbagaimanapertama kali
akubertemudenganZenna.Waktuituakuberniatmengembalikan bola
basket keruangperlengkapanolahraga.TaksengajaakumelihatZenna
yang sedangmerapikanrak bola voli.
“Zenna?”
tanpasadarakumengeluarkansuaradanmenyebutnamanya.Matakutida
ksedikitpun
berpalingdaridirinya.Seketikaitujugaiaberbalikmencariarahsuara
yang memanggilnamanya.
Zennamenatapkudanmelemparsenyumsambilmengerutkansedikitalis
nya yang tebal.Sepertibertanya-tanyasiapalelaki yang
bertubuhtinggikurus yang berdiri di depannya.
“Oh, ma..ma.. maaf,” sambilterbata-
batakualihkanpandanganlalumeletakkan bola basket kekeranjang
bola

14
danpergimeninggalkanZennasendirian.Padahalinginrasanyaakumene
maninya agar iataksendirian. Namun aku hanyalah seorang pengecut.

“Hai!”suara yang sangatlembutmembuyarkanlamunanku.
“Kamu yang kemarin di
gudang?”perempuanitubertanyauntukmeyakinkan.
Akutakkuatmenatapwajahnya yang sangatsendu.Begitucantik,
inginrasanyamemandanginyadenganpuas. “I..iya..”
akumenjawablirihpenuhmalu.
“Kenapakamumemanggilku?”tanyanyadenganlembut.Waja
hnyamenunjukkan rasa penasaran.Seakan-
akaninginmengetahuisesuatu.
“Kita belumberkenalan,” ia melemparsenyum. Seperti
member isyaratkepadaku agar menjelaskansikapkuwaktuitu.
Akumembalassenyumannyadanmenjawabpertanyaannyaden
ganjujur.
“Akuhanyamalu.Pertamakaliakumelihatmusangatdekat.Ka
musangatcantikdanramah,” akutersipumaludanmengalihkan
pandangan. Ia masihmenatapkutanpajeda.
Kami pun berkenalan.
Di bawahpohonberingin yang rindangkami resmi
berkenalan.Pohonberinginmenjadisaksibisuperkenalankudengannyas
iangitu.Wanita yang akukagumidarijauh.Mengagumisosoknya yang
begituramahkepadasemua orang.Entah yang dikenalnyaatau pun
yang belumdikenalnya.Takpernahkulihatiamurung,
wajahnyaselalumemancarkan aura keceriaan. Seakan-
akanhidupnyadipenuhidengankebahagiaan.

15

Selesaikuliahakumenujukantinuntukmengisiperut yang
sedaritadikeroncongan.Sesampainya di
kantinkulihatZennaduduksedangmenikmaties jus
manggakesukaannya.Iamelihatkudansegeramenyuruhkududuk.
Tanpapikir panjangaku pun
langsungdudukdanmemesanmakanankesukaanku,
yaitusiomay.Takmenunggu lama, siomaypesanankudatang
dansiapuntukdisantap.
Tiba-tibaZennamembukapembicaraan.
“Dito, malaminiadaacara?” tanya Zennakepadaku. Aku
yang sedangmemakansiomayseketikaberhentimengunyahsiomay
yang ada di
dalammulutku.SambilberpikirakumelihatkearahZenna.Apamaksuddi
amenanyakanhalitu? Pikirankukemana-
manadanmengharapkansesuatu yang
mengejutkan.BerpikirapakahZennaakanmengajakkujalanmalamini.
Kulanjutkanmengunyahsiomaynamundengangerakanpelan.
MencobamenjawabpertanyaanZenna yang
membuatkusedikitbingungharusdijawabbagaimana.
“Emm… gaadaZe. Paling cuma main game di
rumahsamakakak,”kujawabseadanyakarnamemangakulebihseringme
nghabiskanwaktu di rumah.
Sembariakumemandangsiomay yang
siapmasukkedalammulutku.AkumendesakZenna,
mengapaiamenanyakanhalitu. Takterdengarjawaban yang
keluardaribibirtipisnyaitu.Iahanyatersenyumlembut.

16

Kriiiing… kriiing… kriiiiiing…
Handphoneyang
sedaritadiakuabaikanberdering.TandapesanWhatsApp.Kuambilbenda
persegipanjangitudariatasmeja di
sebelahkutanpamengalihkanpandangankudarilayar
TV.SetelahkulihatlayarhandphoneternyataadapesandarikakLeeno.Ya
ng berisi…
- Jemputgue di klubbintang.
- Guemabokparah, pusing.
- Buruan!
Setelahkubacapesanitu,akuhanyabisamengerutkanalis.
Kakak yang dulunyaakubanggakankarenasegudangprestasinya di
akademikmaupun non-akademik, sekarangbegituberantakanhidup
yang dijalaninya.Entahapapenyebabnya, masihmenjaditeka-teki di
pikiranku.Tanpaberpikirpanjang,aku pun
bergegasuntukmenjemputkakLeeno.
Setelahnaikojekmenempuhwaktutigapuluhmenitan,akhirnyasampaik
eklub yang dimaksudkan.Kulihatsana-sinitakkutemukankakLeeno.
Tepatdi depanpintuklubakuberdirimenunggunya.
Kukeluarkanponseldanmencobamenghubunginya.Namun,
tidakadajawaban.
“Sial,” gumamkujengkel.
Taklama
kemudianakumelihatkakLeenosedangsempoyonganberjalankearahku
.Dengandibantukeduatemanwanitanya,iamenyapakudengan vodka
yang sedangdigenggamnya.

17
“Lamabangetsih, lo!” tegurnyadengan nada keras.
Akuhanyabisaterdiamdantakbisaberbuatapa-apa.Satu kata yang
dapatkuutarakandalamhati ‘kecewa’.Akusangatkecewapadakakakku.
Aku pun
membawakakLeenomenujumobil.Dengansetengahsadar,kakLeenome
manggil-manggilnamaseorangperempuan. Nama yang
sangattidakasing di telingaku.Nama yang selamainiakukagumidalam
diam.
Hatikuberdegupsangatkencang.Inginsekaliakubertanyapadanya,
kaukenaldia,kak?
Kacaupikiranku.Bagaimana bias kakLeenomengenalZenna?
Kami pun
pulangbersama.Akumengendaraimobildengansangattakterkendali.Ing
inrasanyacepat-cepatbertemuZenna. Ada
hubunganapasampaikakakkubisamengetahuiZenna?
Apawanita yang bernamaZennaadabanyak di kotahujanini?

Kampusterasasangatsepi.Ya,
karnamasihamatpagi.Sekitarpukul 6 pagi, akusudahberada di
kampus.Akuingincepat-
cepatsampai.Entahkenapaakuini.Taksepertibiasanya.Mungkinkarnaa
da yang
mengusikpikiranku.InginsekaliakumenanyakanhalitupadakakLeenota
pisepertinyapercuma.Akutakterlaluakrabdengankakakkuitu.
Akududuk di
bawahpohonberingindanmemandangkedepanmenatapkemanasaja.Ud
arapagiitusangatlahsejuk,

18
namunhatikuberkecamuk.Tapiakutahandanmencobatakmempedulika
nnya.Kurasakanponselkubergetardaridalamsakucelanaku.Segeraaku
mengambilnyasebelumgetarannyaberhenti.Kulihatlayarponselbertuli
skan ‘ZennaAziarMemanggil’.Akutakburu-
buruuntukmenjawabpanggilannya.Sejenakakuberpikir:akumerinduka
nnya.
“Halo!”
akumenjawabdenganmenundukkanwajahdanmelihatsepasangsepatu
yang kukenakan.
“Akumelihatmutadimalam, Dit,”
entahkenapaZennamemberitahukuhalitu.Diaada di
manasaatmelihatku:akubertanya-tanyadalamhati.
“Kamu di mana?”tanyaku.
“Aku di klub.Maaf, Dit,
akutidakmemberitahumusoalkehidupanku di duniamalam.
Terimakasihsudahmenjaditeman yang
baikbeberapahariini.Kamutakbanyakbicara,
tapiakutahusemuanyadarimatamu.Kamumenyukaiku, aku pun
menyukaimu.Perasaan yang anehakurasakan saatbersamamu,
Dit.Tapiakusadar,akutakpantasuntukmu.Kamulaki-lakibaik yang
pernahakutemui.Sangatberbedadenganlaki-laki di luarsana. Kita
sudahisegalanya.Kamutaksepantasnyamengenallebihdalamtentangku
.Akuwanitamalam.”

PenjelasanZennapagiitumembuatbatinkuterguncang.Takkus
angkaselamainiakumengagumiwanita yang mempunyaikehidupan
yang takpernahsekalipunterpikirkan di

19
benakku.Akutakmempercayainya.Inginsekaliakumembuktikansendiri
apa yang dikatakannyaitubenar. Apaselamainisenyumanitupalsu.
Semuanyahanyaukiran yang
sengajaZennabuat.Akumengertiselamainisikapia yang
ramahternyatasudahtuntutanpekerjaannyasebagaiwanita malam.Agar
iamudahmencarimangsanyauntukdiambiluangnya.
Tapimengapaiabersikapbedadenganku?

20
Kama yang Sebenarnya
Dina Kristiani
2111415039

Tahun selalu berganti tiap 365 hari. Satu-dua-tiga tahun


terlewati. Umur pasti bertambah. Dari anak-anak menuju remaja lalu
menginjak masa dewasa. Di saat itulah, aku mengetahui bagaimana
rasanya benar-benar jatuh cinta. Saat menduduki bangku kuliah
semester akhir, aku memberanikan diri untuk membawa teman
dekatku pulang ke rumah. Seorang laki-laki yang entah bagaimana,
bisa mencuri hatiku. Aku pun bingung, bagaimana bisa aku
menyukainya. Mencintainya. Entahlah.
Namanya Rehan. Selama tiga tahun lamanya aku menjalin
hubungan dengannya. Meskipun terkadang aku sangat tidak
menyukai sifatnya yang keras kepala dan pemaksa. Satu hal lagi. Ia
hanya lulusan SMP. Tapi, aku mencintainya.Hubungan kami tidak
semata-mata indah saat dijalani. Banyak sekali cek-cok. Kami sering
bertengkar. Beberapa kali putus. Tapi kembali lagi bersama.
Seterusnya juga begitu. Banyak hal yang bertentangan di antara kami
berdua. Perbedaan pendapat yang sering membuat aku dan Rehan
bertengkar. Rehan bukan laki-laki yang senantiasa mengalah.
...
“Falla!” seorang perempuan dengan wajah sumringah dan
tangannya diangkat ke atas melambai-lambai seakan ia menyapaku
dari jarak jauh. Namun ia berlari mendekat.
“Kamu jadi ngenalin Rehan ke ortu?” pertanyaan itu
membuatku berdecak kaget. Ada sesuatu yang menancap di hatiku.

21
Aku merasa gundah. Aku menjawab pertanyaan Erlin teman baikku,
“Sepertinya...,” aku menjawab dengan ragu, “...iya Er.”
Sambil berjalan menuju kantin kampus, kami masih
melanjutkan pembicaraan.
“Hm... menurut aku ya Fal, Ibugak bakalan setuju sama
Rehan,” erlin melontarkan kalimat itu sambil menatap kakinya yang
berjalan menginjak rerumputan dan sesekali menatap wajahku yang
hanya bisa tersenyum. Seakan ia menjawab pertanyaanku selama ini.
Jawaban yang sudah jelas aku ketahui. Ibuku pasti tidak menyukai
Rehan.
Hari Sabtu. Hari di mana para muda-mudi yang
berpasangan pasti mengumbar kemesraan. Entah di kafe, mal,
pinggir jalan, atau di mana saja. Serasa dunia hanya milik para kaum
muda. Jam menunjukkan pukul 19.15. Aku menunggu Rehan datang.
Namun tidak kunjung datang. Ibu menegurku, “Kamu nungguin
siapa Fal?” aku menatap Ibu lalu menjawabnya, “Rehan, Bu,” Ibu
pun langsung melanjutkan pekerjaan yang sedang ia kerjakan, yaitu
menjahit.
Aku berjalan mendekati meja jahit Ibu dan membuka
pembicaraan. “Aku mau ngenalin Rehan ke Ibu,” sambil kutatap
wajah Ibu yang sama sekali tidak menatap wajahku karna terlalu
fokus menatap kain yang sedang dijahitnya.
“Rehan itu siapa Fal?” Ibu membalas pernyataanku. Dengan
cepat aku menjawabnya “Pacarku Bu, aku sudah tiga tahun sama
dia,” sontak Ibu menghentikan aktivitasnya itu.
“Anak mana dia? Kenal darimana kamu? Kok sudah lama
kamu pacaran sama dia? Kuliah juga? Di mana kampusnya?” Ibu

22
melontarkan banyak pertanyaan tentang Rehan sambil menatapku
penuh tanya. Seakan-akan Ibu ingin mengetahui bibit-bebet-
bobotnya. Lantas aku menceritakannya dari awal. Bagaimana aku
bertemu Rehan pertama kali. Bagaimana ia bisa menjadi pacarku.
Tak lupa aku menceritakan latar belakang orang tuanya yang hanya
bekerja serabutan. Dan yang terakhir aku menceritakan Rehan yang
tak tamat sekolah SMA karena ia pernah membunuh orang karna
tawuran antar sekolah. Sejak itu, ia dikeluarkan dari sekolah dan
mendekam dipenjara selama beberapa tahun. Ibu sontak kaget. Ia
pasti bingung bagaimana bisa aku berpacaran dengan seseorang yang
berlatar belakang seperti itu.
“Bagaimana bisa kamu menyukai orang seperti itu?” Ibu
menanyaiku dengan penuh penasaran. Sangat terlihat di antara
kerutan di wajahnya.
“Aku nyaman sama dia Bu,” aku menjawab dengan nada
lirih. Aku pun bingung, bagaimana bisa aku mencintai orang seperti
dia. Terkadang aku memikirkan apakah bisa aku bersatu dengan
orang seperti Rehan. Tapi saat bersamanya aku merasakan hal yang
sangat berbeda. Aku menyukai hal itu. Kebersamaan dengannya.
Aku tak bisa menjelaskan bagaimana bisa senyaman ini dengannya.
Sebelum Ibu menanyaiku lebih lanjut dengan pertanyaan-
pertanyaan yang memojokkanku, bel pun berbunyi beberapa kali.
Pertanda Rehan sudah di depan rumah. Aku pun menatap Ibu. Dan
sebaliknya. Ibu menatapku penuh keheranan. Kulihat jam
menunjukkan pukul 19.45. Aku bergegas berlari kecil untuk
menyambut Rehan yang sudah datang. Saat akan membukakan pintu

23
gerbang untuk Rehan aku merasa terkejut dengan apa yang
dikatakannya.
“Aku takut.” dengan wajah datar tanpa ekspresi Rehan
mengungkapkan apa yang ia rasakan. Sontak aku kaget. Bagaimana
bisa orang seperti dia bisa merasa takut hanya karna akan
kuperkenalkan dengan kedua orang tuaku. Padahal dia seorang
mantan narapidana.
“Tidak apa-apa, masuklah dulu,” aku menenangkannya.
“Ibu sudah menunggu di dalam.”
Keheningan menyelimuti ruang tamu. Rehan tak
mengeluarkan sepatah katapun.
“Mau minum apa?” aku mencoba membuka pembicaraan.
Sebelum sempat dijawabnya, Ibu datang menghampiri kami berdua.
Kening Ibu berkerut. Sepertinya kaget saat pertama kali melihat
Rehan. Penampilannya malam ini tidak menunjukkan keformalan
maupun kesopanan. Ia hanya menggunakan celana pendek jeans
selutut, dan kaos oblongtanpa gambar berwarna coklat tua. Aku
sudah terbiasa dengan caranya berpakaian. Karena memang
begitulah dia. Apa adanya. Tapi kupikir malam ini dia seperti tidak
ada niat baik untuk bertemu orang tuaku. Aku menyadarinya.
Aku kaget. Bagaimana bisa dia tidak menyalami atau
berbasa-basi dengan Ibuku. Dia hanya diam dan menatap Ibuku
dengan wajah biasa saja. Ibuku pun yang pertama mengulurkan
tangannya untuk bersalaman dengan Rehan. Aku memahami apa
maksud Ibu. Di mana sebuah kesantunan dan kesopanan adalah hal
yang utama. Ibu hanya ingin memperlihatkan sikap sopan saat

24
menyambut seorang tamu yang datang ke rumah. Rehan dan Ibu pun
bersalaman. Mereka saling membalas senyum.
“Temannya Falla?” Ibu membuka percakapan terlebih
dahulu.
“Ya Bu, saya Rehan,” dibalasnya pertanyaan Ibu dengan
nada datar.
Ibu mengodeku untuk mengambilkan minuman dan
makanan ringan. Aku bergegas menuju dapur dengan cemas.
Pikiranku kalut. Memikirkan tentang apa saja yang akan mereka
bicarakan. Saat itu Ayah sedang tidak ada di rumah. Setiap hari
Sabtu, pasti Ayah pergi ke luar kota untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan. Bahkan jika Ayah ada, mungkin Rehan tidak
dipersilahkan masuk.
Saat aku datang membawakan minum dan makanan ringan,
Ibu masuk ke dalam dan memegang pundakku dengan tangan kanan
lalu berlalu pergi masuk ke kamarnya. Aku mengerutkan kening.
Lalu aku berjalan dan meletakkan minuman dan makanan di atas
meja.
“Tadi membicarakan apa saja? Ibu menanyaimu macam-
macam?” sambil melontarkan pertanyaan itu, aku melihat wajah
Rehan tersenyum sinis. Entah apa yang ia rasakan. Aku tak dapat
menebaknya.
“Kamu sudah menceritakan semuanya pada Ibumu?” Rehan
menatapku sambil mengambil gelas yang berisi teh di atas meja tepat
di depannya. Sontak aku terkejut dengan pertanyaannya. Aku diam
saja dan menatapnya penuh tanya. Mengapa ia bertanya seperti itu.
Kupikir pembicaraan Rehan dan Ibu tidak seserius kelihatannya.

25
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Rehan pun sudah tahu
jawabannya. Jam menunjukkan pukul 21.30 dan Rehan pamit
pulang. Tanpa berkata apapun. Dia hanya menatapku dalam dan
sangat tajam, ia keluar dari pintu gerbang.
...
“Fal. Falla!” suara Ibu memanggilku dari dalam kamarnya.
Aku pun bergegas menghampiri Ibu yang saat itu sedang duduk di
bangku yang ada di depan tempat tidurnya. Aku lihat wajah Ibu sayu
seperti menahan sesuatu. Kupikir itu bukan air mata yang akan jatuh
membasahi pipinya. Bukan. Ibuku bukan orang yang mudah
menangis.
“Ibu,” aku menatap wajah Ibu dengan sedih. Aku bingung.
Perasaanku berkata ada sesuatu dengan Ibu saat ini. Mata Ibu beda
dari biasanya. Ada kesedihan yang mendalam saat aku memandang
mata sayu itu.
“Ibu mau memberitahumu sesuatu,” nada berbicara Ibu
amatlah serius. Aku menjadi takut. Kenapa Ibu tiba-tiba seperti ini.
Jarang sekali Ibu berbicara serius padaku. Karna aku mengenal Ibu,
sosok Ibu yang sangat santai dalam hal apapun.
“Fal, Falla tahu kenapa Ayah setiap hari Sabtu tidak berada
di rumah bersama kita?” tangan Ibu memegang tanganku lembut.
Sangat lembut.
“Ayah ada pekerjaan di luar kota,Bu,” Aku menjawab apa
adanya. Karena memang itu yang aku ketahui.
“Falla sekarang sudah dewasa, sudah berumur dua puluh
satu tahun. Ibu pikir Falla perlu tahu semua hal yang belum Falla
ketahui selama ini,” Ibu menatapku dengan senyuman.

26
Keningku berkerut. Alis kanan kiri hampir menyatu jadi
satu. “Apa maksud Ibu?”.
...
Ibu menceritakan semuanya saat umurku genap dua puluh
satu tahun pada bulan Januari. Diceritakannya bagaimana saat Ibu
bertemu dengan Ayah. Lalu Ibu dan Ayah menikah. Pernikahan
berjalan selama 5 tahun. Dan saat itulah permasalahan dimulai. Ayah
bingung mengapa Ibu tidak kunjung hamil. Ayah dan Ibu
mengunjungi dokter dan berkonsultasi. Pernyataan dokter membuat
Ayah sangat terpukul. Apalagi Ibu. Rasanya saat itu,Ibu ingin
mengakhiri hidupnya. Tapi Ayah menguatkan Ibu. Ayah percaya
bahwa Tuhan akan mempercayakan buah hati jika waktunya sudah
tepat. Tahun demi tahun. Ayah dan Ibu tetap menanti hadirnya buah
hati. Namun takdir berkata lain saat Ibu divonis tidak bisa
mengandung. Hati Ibu hancur. Serasa dibom begitu kuat. Demikian
dengan Ayah. Harapannya pupus untuk memiliki keturunan. Delapan
tahun berjalan. Ibu pasrah saat Ayah menikah lagi dengan wanita
yang lebih muda. Pada saat itu Ibu mengizinkan Ayah untuk
menikah lagi demi mendapatkan buah hati.
Pada tahun 1992 saat itulah aku bertemu dengan Ibu. Pada
saat itu Ibu pergi ke pasar untuk berbelanja. Pasar Sayungan
namanya. Di mana tempat Ibu selalu berbelanja tiap minggunya. Ibu
masih ingat betul hari dan tanggalnya. Saat itu hari Minggu tanggal
18 September tahun 1992. Ibu mantap mengadopsiku dari seorang
nenek tua yang umurnya sekitar 60-an yang sedang berjualan
kelepon ala kadarnya. Nenek tua itu bernama Yamin.
Diungkapkannya saat Ibu pertama kali melihatku. Cantik, bersih,

27
putih, lucu, dan tidak rewel. Karna pada saat itu nenek Yamin sedang
melayani pembeli. Saat dagangannya sepi pembeli barulah Ibu
mengobrol dengan nenek Yamin.
“Anak siapa ini, Mbah?”Ibu bertanya pada nenek Yamin.
Saat itu nenek Yamin sedang duduk di kursi kecil tepat di depan
dagangannya. Nenek Yamin menjawab “Putune kulo, Bu,” sambil
mengangkat kepalanya ke arah wajah Ibuku yang menatapnya penuh
harap.
“Ibune lungo, Bapake mpun seda. Nggeh mung kula sing
ngrawat, kepekso kulo ajak ning pasar. Mboten enten seng jogo.
Alhamdulillah anake mboten rewel,” Nenek itu menjelaskan sebegitu
detailnya kepada Ibu pada saat itu. Hati Ibu seketika iba padaku.
Masih bayi, berumur sembilan bulan sudah berada di pasar. Bukan
tempat yang cocok untuk seorang bayi yang masih umur bulanan.
Menghirup bau pasar yang tak karuan, panasnya pasar yang sangat
panas karna sinar matahari yang senantiasa memancarkan
cahayanya. Pantaslah seorang wanita yang ke-ibu-an merasa sangat
iba. Dan di saat itu jugaIbu memutuskan untuk membawaku pulang
ke rumah dan diadopsinya. Nenek Yamin yang ada di pasar merasa
bahagia, kata Ibu. Ya, dia adalah nenekku yang entah sekarang dia
ada di mana, masih sehatkah beliau. Aku tidak mengetahuinya. Ibu
tak habis pikir bagaimana bisa ia memutuskan untuk mengangkatku.
Tapi setelah Ibu membawaku pulang ke rumah, Ayah amat senang
saat melihatku pertama kali. Ibu sangat bahagia. Meskipun bukan
anak dari rahim, Ayah tetap menerimaku dan menyayangiku. Entah
itu benar atau tidak yang Ibu katakan tentang Ayah yang
menyambutku dengan bahagia. Karna aku sangat terpukul saat

28
mendengar Ayah menikah lagi dengan wanita yang lebih muda.
Ayah yang selama ini aku banggakan bukanlah Ayah kandungku.
Tangisku pecah. Merasa tak percaya akan semua hal yang
Ibu katakan padaku. Tapi di sisi lain aku merasa bahagia. Aku
merasa beruntung. Kalau bukan keputusan Ibu yang memutuskan
untuk membawaku pulang ke rumahnya, mungkin aku tidak akan
jadi seperti sekarang ini. Menjadi seorang wanita yang
berpendidikan, dan memiliki keluarga yang lengkap. Lalu aku
bertanya.
“Mengapa Ibu baru mengatakan padaku soal kebenaran
itu?” aku menatap Ibu penuh tanya. Ibu dengan tegarnya
menceritakan semuanya. Tanpa setetes air mata.
...
Sepertinya aku tahu apa maksud Ibu menceritakan semua
itu. Aku mengerti. Ibu tidak rela jika aku bersama pria yang tidak
jelas masa depannya. Ibu sudah menganggapku anak kandungnya.
Apalagi aku dirawat sedari bayi. Pastilah seorang Ibu ingin anaknya
mendapatkan yang terbaik.
Orang tua mana yang rela anaknya memiliki hal yang
sangat tidak pantas untuk dimiliki. Meskipun aku bukan anak
kandung. Bukan anak yang lahir dari rahim Ibu. Bukan darah daging
Ibu. Tapi, Ibu sudah merelakan segalanya demi aku. Merawatku
dengan penuh kasih dan sayang.
Aku sadar cinta yang sesungguhnya adalah cintaku pada
Ibu.
Semenjak saat itu, aku meninggalkan dan melupakan
semuanya tentang Rehan. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk

29
berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Terakhir, tentang Ayah
yang kini tetap menjadi Ayah terhebat yang pernah aku miliki. Cinta
kedua orang tua adalah cinta yang mampu mengalahkan segalanya.

30
KartuKematian
Febylyan Puti Anjani
2111415016

Dunia berduka cita.Laut dan langit melebur dalam warna


kelabu.Langit yang biasanya cerah berhiaskan bintang bertaburan
seketika musnah.Suasana malam yang mencekam membuat tidur
panjang seorang pria yang terbaring itu semakin tak
nyenyak.Malam-malam penuh kegelisahan semakin terasa dengan
dingin yang menusuk tulang.
***
Seketika ketakutan merundung pemuda berusia 23 tahun
itu.Dia semakinfrustrasi ketika dihantui bayang-bayang seseorang
yang selalu mendatanginya di dalam mimpi.Seseorang yang tampak
menyeramkan dengan jubah hitam yang menutupi seluruh wajah,
sehingga sulit untuk mengenali wajanya.Pertama kali sosok itu
muncul,saat dia koma di rumah sakit.Sosok itu mendekatinya,namun
tiba-tiba sesaat kemudian mengeluarkan sebuah tombak yang
seakan-akan hendak dihujamkan tepat ke jantung.
“Kau harus membayar semua perbuatanmu selama
ini!”Kata sosok itu seraya mendekati pemuda yang berwajah pucat
itu.
“Si…siapa kau? a-pa maumu?” jawabnya dengan terbata-
bata.

31
“Kau harus membayar dosa-dosamu!”Dengan suara lantang
yang menggema kepenjuru ruangan gelap, yang hanya bercahayakan
sebuah bohlam kuning membuat suasana sangat mencekam.
“Tidak! Jangan dekati aku!” Pemuda itu perlahan
melangkah mundur,keringat mengucur sangat deras.
“Kau harus mati!”Teriak sosok itu diiringi dengan
melemparkan tombak ke arah pemuda itu.
“TIDAK!”Teriak pemuda.
Pemuda itu terbangun dari mimpinya, terbangun dari tidur
panjangnya dan sangat ketakutan.
***
Sebulan berlalu, keadaan tak berubah.Ketakutan tetap
menyelimuti hidupnya.Dia semakin depresi,pemuda dengan tinggi
170cm itu kini tak lagi setampan dulu. Tubuhnya makin kurus dan
matanya yang cekung berwarna hitam,tulang pipinyapun semakin
menonjol,wajahnya lebih seperti tengkorak yang dilapisi kulit,
membuat dia terlihat lebih tua 10 tahun. Dia memutuskan untuk
pergi dari rumah karena mulai tak tahan dengan bayang-bayang yang
selalu menghantui. Pemuda itu ingin mencari obat untuk
ketakutannya, ia berniat untuk pergi ke kota mencari psikiater atau
dokter jiwa agar dapat hidup dengan tenang. Ditengah perjalanan, ia
melihat sebuah masjid yang amat indah dan besar, kubah yang
berlapis emas nan mewah serta tiang-tiang besar berwana putih
tampak gagah dan kokoh,kakinya yang dulu sangat enggan untuk
menginjakkan tempat itu,tiba-tiba tergerak. Langkah kaki pemuda itu
sedikit ragu. Perlahan-lahan mendekat dan melihat seorang pria
berpakaian putih berwajah sejuk bercahaya sedang memberikan

32
ceramah yang menenangkan jiwa berdiri di atas podium yang terbuat
dari kayu jati, tak lupa dengan ukiran kaligrafi dan dipernis sangat
mengkilap.Dia berniat untuk berbicara kepada pria itu karena dia
yakin bahwa Kyai itu dapat menjawab pertanyaan dan meredakan
ketakutannya selama ini.
***
Dia menunggu di serambi masjid sampai acara pengajian itu
berakhir.Dia ingin mencegat dan membujuk Kyai itu agar mau
menolong dirinya yang sangat sengsara.Namun,ketika acara
usai,Kyai itu telah dikerubungi oleh banyak orang di luar.Orang
yang tadinya di dalam buru-buru keluar untuk mengantar Kyai itu
pulang.Dengan tubuhnya yang kecil dia tak mampu melawan
rombongan orang yang seperti gajah yang berebut makanan lezat.
Lari kocar kacir berebut untuk bersalaman dan sekadar
menyapa,mereka mengelu-elukan namanya dan sangat mengagumi
dia. Tiba saatnya pemuda itu dihadapan sang kyai dan hendak
menyapanya.
“Assalamu’alaikum, Pak Kyai.”Terdengar sapaan dari pria
yang meneyela sapaan dari pemuda itu dan langsung berjabat tangan
dengan Kyai itu sambil tersenyum.
“Wa’alaikumsalam,” sahut Kyai dengan ramah dan tak lupa
menghiasi wajah dengan senyuman khas.
Dia gagal untuk mendekati pria itu,namun tak disengaja
terdengar pembicaraan beberapa orang tengah memperbincangkan
betapa hebat,sakti,dan mulia akhlak Kyai itu. Pemuda yang saat itu
dilanda gejolak yang sangat hebat langsung mencari tahu dan berniat
untuk mendatangi kediaman Kyai untuk meminta pertolongan.

33
***
Pada sebuah perjalanan, ketika menemui Kyai
Besar,pemuda itu bertemu dengan seorang pedagang asongan sedang
duduk melamun di tepi rel kereta denganmengalungkan barang
dagangan.Dia mencoba untuk mendekati dan berniat membeli barang
dagangannya.Si pedagang menyambut dengan ramah dan senyum
lebar. Dengan melemparkan senyuman, si pedagang menyodorkan
sebotol minuman kepada pemuda itu seolah dia membaca pikiran
sang pemuda yang tengah kelelahan.
“Apakah itu dapat menyegarkaan kerongkonganmu?”
Tanya pedagang itu.
“Iya, lumayan,” sahut pemudadengan wajah lelah serta
dipenuhi peluh.
“Kemana tujuanmu?”
“Ke rumah Kyai besar yang terkenalkesaktiannya itu.”
Si pemuda memandang wajah si penjual asongan yang
kasihan dan membandingkan dengan dirinya sebelum dibayang-
bayangi mimpi-mimpi seram itu, mereka seumuran namun
kehidupan penjual itu begitu berat sehingga harus berjualan di bawah
terik matahari sampai-sampai dia duduk di rel yang panas untuk
beristirahat, berbeda dengan dia yang sarjana dan berpendidikan.
“Em… aku Dimas, siapa namamu?”Si pemuda
menyodorkan tangan sambil memperkenalkan diri.
“Joko.”
“Menurutmu,apa itu kematian?” Tanya pemuda itu dengan
serius.

34
“Mati adalah perjalanan hidup yang lebih panjang dan
abadi,” sahut penjual itu dengan tersenyum.
“Apa kau tak takut mati?” Tanya si pemuda dengan
menatap penjual itu dengan tajam
“Untuk apa takut?Semua orang pasti akan mati.Dan itu
harus dihadapi kapanpun datangnya.”
“Namun aku sangat takut akan kematian. Sebab aku belum
siap.”
“Siap tak siap kartu kematianmu telah terbuka.”
Seketika wajah pemuda itu pucat dan tertunduktakut
mendengar kata pedagang itu tentang kematiannya.Sebelumnya pun
dia bertemu laki-laki tua yang berkata kartu kematian atas namanya
telah terbuka.Bahkan sebelum laki-laki tua itu menghilang secara
tiba-tiba, ia berkata bahwa amalnya tidak cukup untuk masuk ke
surga.Untuk masuk surga dia harus bertaubat untuk mendapatkan
ampunan dari Tuhan.Tiba-tiba pemuda itu histeris karena muncul
bayang-bayang ketika dia bertengkar dengan ayahnya, menghina
ibunya yang cacat dengan kata-kata kotor,memerkosa teman semasa
SMA-nya yang mengakibatkan seorang gadis bunuh diri,
danpencurian yang dilakukan untuk mabuk-mabukan.Dia bukan
seorang yang bodoh,dia seorang yang jenius,berbagai kejuaraan dia
menangkan dengan mudah. Bahkan dia menjadi bintang di sekolah
dengan menjadi siswa berprestasi dalam 3 tahun berturut-turut serta
lulus kuliah cepat dan menyandang sebagai wisudawan cumlaude
dengan nilai nyaris sempurna. Sebab gengsi terhadap teman-temanya
dan keterbatasan materi membuatnya menjadi orang yang serakah,
tak bermoral dan gelap mata.

35
***
Ketika sedikit tenang dia sadar bahwa pedagang tadi sudah
hilang, hanya beberapa menit fokusnya teralihkan,orang itu hilang
tanpa jejak dan membuatnya semakin pucat.Penyebab ketakutan
yang sangat berlebihan itu adalah mimpi yang dialami saat
koma.Melihat tubuhnya disiksa didalam neraka dengan berbagai
macam siksaan. Tubuh yang hangus karena api yang sangat besar.
Badan yang dihujam oleh besi panas dari mulut sampai tembus ke
lubang dubur. Badan yang berlumuran darah yang sangat menjijikan.
Kedua bola matanya hampir copot semakin membuatnya sangat
ketakutan dan mual. Tiba-tiba ada sosok berjubah hitam yang persis
di dalam mimpinya akhir-akhir ini menghampirinya dan
mengatakan.
“Balasan inilah yang akan kau dapatkan saat mati!”
Sehingga saat bangun dia mengalami ketakutan dan dihantui siksaan-
siksaan yang akan dia dapat.
Dia berlari dan berharap cepat bertemu sang kyai, dia kini
tak berpikir untuk berhenti dan beristirahat.
***
Sesampainya di rumah Kyai itu, dia telah disambut oleh
Kyai yang berdiri di serambi rumahnya seakan sudah tahu akan
kehadiran pemuda itu. Dia menatap Kyai itu dengan mata berkaca-
kaca seolah banyak pertanyaan yang ingin dia ungkapkan. Dia
berharap semua masalahnya terselesaikan dan dia dapat terhindar
dari kematian serta siksaan yang akan diterima.
“Yang mulia Kyai tolonglah aku.”
“Apa yang hendak kau minta?”

36
“Biarkan aku tetap hidup dan terhindar dari kematian”,
pintanya dengan berlinang air mata.
“Kau tak bisa memintanya padaku. Karena aku hanyalah
manusia biasa yang tak bisa ikut campur dalam urusan hidup mati
seseorang. Tuhanlah yang mengatur kartu kematian seseorang.”
“Baiklah kalau begitu kumohon, katakan pada Tuhanmu
bagaimana cara aku dapat masuk ke surge-Nya!” katanya angkuh.
“Kau sudah mendapat jawaban atas pertanyaanmu dari laki-
laki tua yang kau temui sebelumnya.Dan sebenarnya pertanyaanmu
sudah terungkap sebelum kau datang ke sini.Laki-laki tua dan
penjual asongan yang kau temui, kuutus untuk menemui dan
menjawab semua pertanyaanmu. Jika kau masih ingat saat orang-
orang di masjid tak ada yang menyadari keberadaanmu, sedangkan
mereka berdua memperhatikanmu tanpa terkejut dengan bentuk
fisikmu. Karena mereka arwah seperti halnya dirimu.”
***
Pemuda itu kaget memikirkan kejadian yang dialami
sebelumnya dan tak mampu berkata-kata. Dia hanya mampu
menangis, sangat ketakutan.Tak lagi histeris namun dia kini hanya
menangis lirih dan menyesali semua yang telah dia perbuat.
Badannya lemas tak mampu lagi menyangga kepala, dia kini hanya
tertunduk. Pelan-pelan tubuhnya terjatuh ketanah.
“Bantulah…bantulah aku untuk bertaubat.Kumohon…,”
katanya lirih.
“Sudah terlambat.Kau telah meninggal sebulan yang lalu
setelah kecelakaan yang kau alami. Bahkan diakhir hidupmu kau
telah membunuh seorang penyebrang jalan hanya karena

37
menghalangi jalanmu kau menabraknya.Sekarang kau dapat pergi
karena pertanyaanmu telah terjawab!”Katanya tegas kepada pemuda
dihadapannya.
Tiba-tiba sosok dalam mimpinya benar-benar datang di
hadapannya dan kini dia benar-benar menombak tepat dijantung
pemuda itu dan seketika tubuhnya hangus terbakar oleh api yang
entah dari mana asalnya. Badannya kini hangus bahkan menjadi
butiran abu yang tak berbentuk. Tak terdengar lagi suara tangis
maupun jerit seperti sebelumnya,dia kini telah hilang benar-benar
hilang ke alam baka yang selama ini dia takuti.
****

38
Miss Brory dan Mr Pingky
Febylyan Puti Anjani/2111415016

Sore yang cerah. Langit biru berhiaskan awan.Cahaya


matahari berwarna jingga mengelilingi cakrwala. Angin membelai
rambut. Lembut. Menenangkan. Burung berkicau riang di balik
pohon-pohon mangga kuweni itu. Suasana yang cocok untuk
menyapukan kuas ke kanvas. Melukis mahakarya Tuhan yang dibuat
se-detail mungkin. Aku sengaja memilih tempat ini untuk
melancarkan imajinasiku dalam melukis, entah kapan tepatnya aku
memiliki hobi ini, tapi aku yakin bakat ini warisan dari ibu yang
seorang pelukis ternama di kotaku.
***
Sore ini adalah saat yang ditunggu banyak orang. Waktu yang
aku tunggu. Tim Anak Bangsa FC, tim Singo Barong FC, juga
seluruh orang yang ada di lapangan ini. Begitu ajaib rasanya melihat
euforia penonton dalam menyaksikan pertandingan sepak bola
antarkampung ini. Suara komentator terdengar ke seluruh lapangan
melalui mik andalan desa ini, mik hasil iuran kas warga desa. Aku
merasa darah berdesir sangat cepat, bunyi degup jantung berdentum
tidak beraturan. Pertandingan belum dimulai tapi keringat sudah
mengucur dari pelipis. Seluruh anggota tim melakukan pemanasan
kecil lalu berdoa bersama. Saat memasuki lapangan perasaan gugup
perlahan mereda dan kepercayaan diriku mulai pulih , seperti
pertandingan kemarin saat babak penyisihan. Pertandingan semi final
kali ini lawan kami cukup tangguh karena kampung sebelah adalah
juara tiga musim berturut-turut.

39
***
Tiba-tiba ketenangan sore ini terganggu. Dari balik tembok itu
terdengar teriakan dan ocehan semacam penyiar radio yang sedang
membawakan acara bola yang setiap pagi didengar Pak Yadi supir
ayah. Di balik tembok itu terdapat pembatas antara kompleks
perumahanku dengan kampung seberang. Aku mulai penasaran suara
apa yang sedari tadi merusak konsentrasi. Kupanjat tembok yang
tidak terlalu tinggi itu dengan menaiki sandaran kursi taman yang
sengaja diletakkan mepet.
Ternyata di balik tembok itu terdapat sebuah lapangan bola. Di
sana terdapat kerumunan orang berjejer dan bersorak menyerukan
nama klub yang mereka dukung. Di kanan lapangan dengan
gerombolan berseragam hijau itu berdendang lagu dangdut yang dulu
pernah ngetren namun diganti lirik dan sesekali berteriak “Singo
Barong!”. Di sebelah kiri dari tim lawan dengan berseragam merah
putih menyerukan lagu Gebyar-gebyar. Suasana sangat riuh.
Bergemuruh. Semua seakan menumpahkan tenagan dengan teriakan-
teriakan semangat yang menurutku sangat mengganggu.
Kuperhatikan satu persatu pemain bola yang sedang berlari dan
berebut bola, aneh bagiku melihat orang yang rela berkeringat dan
kotor demi merebut sebuah bola. Menurutku, daripada berkeringat
lebih baik aku melukis sambil menikmati secangkir teh manis
dengan kue-kue kering atau merajut sebuah syal kalau tidak sweter.
Meski berkeringat dan kotor, wajah mereka sangat gembira.
Mereka bekerjasama untuk mencetak gol. Seketika wajah lelah
mereka akan berubah menjadi wajah puas. Berbeda dengan diriku
yang selalu tertekan dengan aturan-aturan dari Ayah. Walaupun

40
hidupku berkecukupan tapi aku merasa kesepian. “Brory! Ayahmu
pulang!” Tiba-tiba suara dari bawah memanggilku, segera aku
berlari dan menitipkan semua alat lukis pada Dio.
***
“Pingky!”
Aku terkejut saat seseorang tiba-tiba memukul pundak sambil
menyerukan namaku.
“Kau kemarin sangat hebat, aku saja sampai bingung bedain
kamu sama Ronaldo,” oceh Dina sambil cengengesan,
memerlihatkan gigi-giginya yang kecil dan putih.
“Ya jelas. Pingky!” Sahutku dengan percaya diri. Ya, itulah
namaku. Entah darimana orangtuaku menemukan nama itu. Selama
17 tahun aku masih bertanya-tanya mengapa namaku tak
menggambarkan sifatku. Hampir setiap hari aku selalu diledek
teman-teman karena namaku yang terlalu feminin sedangkan aku
berpenampilan seperti laki-laki. Jangan tanya warna favoritku. Jelas
bukan pink. Hitam, aku sangat menyukai warna yang garang dan
misterius itu. Tak habis pikir mengapa namaku bukan Ariel, Eka,
Dinda, Reza, atau apalah yang sedikit laki. Kenapa dari ribuan nama
di dunia harus memilih Pingky? Sungguh menyebalkan.
***
Melukis merupakan keahlianku semenjak TK. Entah mengapa
saat aku menyentuh krayon-krayon, spontan tanganku bergerak
sesuai suasana hati yang ku rasakan. Namun, semenjak Ibu berpisah
dengan Ayah karena alasan kebebasan, aku merasa semangatku
perlahan mengendur. Apalagi melihat ayah yang tidak pernah setuju
dengan hobiku. Ayah menganggap hobiku tak bermanfaat. Menurutn

41
dia belajar dan masuk ke perguruan tinggi favorit adalah yang
terpenting. Baginya laki-laki sepertiku tak pantas untuk melukis,
karena kelak aku harus jadi pengusaha seperti dia agar dapat
bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga.
Hingga suatu saat aku mendapat nilai ulangan di bawah rata-rata,
Ayah sangat marah. Ia mengambil semua alat gambar dan
membakarnya. Apalagi saat tahu aku masih menyimpan alat lukis
peninggalan dari Ibu. Sampai akhirnya aku mengumpulkan uang
untuk membeli alat-alat lukis baru, dan diam-diam di luar rumah aku
sesekali masih melanjutkan hobiku, hingga beberapa kali aku
membolos les tambahan. Tanpa curiga Ayah mengizinkan aku untuk
keluar rumah. Tak habis akal semua alat lukisku kutitipkan di rumah
Dio, sahabatku sedari SD.
***
Setiap hari tak habis-habis aku kena omel dari Bapak maupun
Ibu. Mereka selalu mengeluh dengan sifatku yang cenderung seperti
seorang lak-laki ketimbang perempuan. Sifat pemberontakku,
petakilan, dan jorokku bagi mereka sangat mengganggu. Memang
aku ini jarang mandi, bahkan untuk bersisir pun aku malas. Aku
merasa kegiatan itu sangat membuang-buang waktun, toh pada
akhirnya aku akan berkeringat lagi. Mensisir rambut? Itu hal yang
paling menjengkelkan ketika rambutku terasa terjambak dan terikat
di sisir. Sehingga membuat kepala jadi pusing.
Ibu pernah membelikanku rok tapi berakhir menjadi lap sepeda
gunungku. Bapak selalu mengatakan: “Nduk,bapak kasih kamu nama
Pingky biar seperti cah wadon yang halus,manis,dan kenes seperti

42
Barbie. Bukan brutal kaya gini! Bapak sama Ibu dari dulu pengen
punya anak perempuan yang bisa ngopeni kami saat sudah tua.”
Dasarnya aku anak bebal, kata-kata Bapak tak mempan
membuat aku berubah. Aku tetap bergaul dengan laki-laki.
Berdandan seperti layaknya laki-laki. Bermain bola yang pada
umumnya hobi laki-laki. Dan pada akhirnya aku memutuskan
memotong pendek rambut agar menyerupai seorang laki-laki.
***
Aku pastikan rumah sepi. Ayah yang setiap hari libur,
menghabiskan waktu dengan duduk di kursi goyang sambil
membaca koran dan menikmati pemandangan taman belakang rumah
hingga terlelap. Hari ini tak ada tanda-tanda Ayah di gazebo kecil
yang berisi kursi goyang dan meja kecil itu. Sudah kupastikan Ayah
pergi, sengaja aku menyelinap dari pagar belakang rumah yang
tembus langsung dengan taman kompleks rumah supaya tak ada
yang menyadari kepergianku. Selama ini setiap liburan aku hanya
termenung di jendela kamar sambil bermain dengan boneka
pemberian Ayah ketika aku masih balita.
Aku bermain seperti layaknya bermain bersama teman. Karena
selama ini temanku hanyalah Dio. Setelah lulus SMP aku dan Dio
diarahkan orangtua kami untuk Home schooling sehingga kami tak
memliki teman lain. Aku berimajinasi bahwa boneka beruang, gajah,
dan yang berbentuk anak kecil berkaki panjang itu sebagai manusia
yang dapat mendengarkan keluh kesahku. Ayah yang selalu
mengekang membuatku sulit untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Sebelum aku sampai di taman ternyata sudah ada Dio di sana sambil
menata alat lukis kami. Sebelumnya aku memang sudah ada janji

43
dengan Dio untuk melukis seperti biasa. Ditemani gemericik air
mancur dan dahan yang bercerita tentang kesunyianaku.
Ku goreskan perlahan kuas pada kanvas yang kosong itu.
Seketika tanganku mengikuti irama matahari yang mulai berubah
warna jadi jingga. Desir angin mencolek daun pohon mangga
kuweni. Anak kecil mendorong bangku ayunan agar bergoyang naik,
turun, ke depan dan belakang. Sampai pada goresan terakhir
segarnya rumput hijau bagai karpet menjadi dasar lukisan itu.
Tampak adanya kesepian dan kegelisahan ketika memandangi
lukisan itu. Sampai pada akhirnya terdengar suara teriakan dari
belakang.
“Brory!Apa yang sedang kau lakukan?” Matanya melotot
padaku.
“Sudah berapa kali Ayah katakana padamu, tak ada gunaya
melukis! Kenapa kau masih melukis?” Bentaknya sambil merampas
semua alat lukisku dan merobek hasil lukisan. Ayah tampak marah
besar, kemarahan dia kini lebih hebat dari sebelumnya.
“Kenapa, Yah? Apa salahnya aku melukis? Jangan jadikan
perpisahan Ayah dan Ibu menjadi sebuah alasan untuk melarangku
melukis! Jika Ayah pernah terluka karena seorang pelukis bukan
berari aku juga harus benci kan? Kumohon, Yah. Jangan larang aku
untuk melukis karena aku berbeda dengan Ibu yang tega pergi
meninggalkan kita hanya karena ingin mengejar impiannya untuk
menjadi pelukis Internasional!” sangkalku dengan nada tinggi.
Tiba-tiba di puncak kemarahan, Ayah berhenti marah, wajahnya
berubah merah. Nafasnya mulai tak beraturan hingga akhirnya
badannya tersungkur di tanah. Seketika aku menangis. Dio yang

44
sedari tadi bersembunyi di balik pohon lari membantu mengangkat
Ayah ke mobil untuk dilarikan ke Rumah sakit. Aku sangat
ketakutan, air mataku tak terbendung lagi. Dalam hati aku berjanji
tak akan melukis lagi demi Ayah. Aku tak ingin mengecewakannya
lagi. Tiba-tiba seorang perawat datang menghampiriku, memintaku
menemui Ayah yang semenjak tadi memanggil namaku.
Aku masuk ke ruangan Ayah dan memeluknya erat.
“Melukislah, Nak! Ayah tak akan melarangmu, Ayah ingin kau
bahagia.” Kata Ayah lemas. Aku tak mengiyakan, aku hanya
menangis sambil menggenggam erat tangan Ayah.
***
Setelah aku lulus kuliah manajemen bisnis, aku memutuskan
menikah dengan teman sekampus. Dia adalah wanita yang lemah
lembut. Parasnya yang ayu membuatku terpesona. Sebenarnya kami
sudah kenal semasa SMA ketika Ayahku dirawat di Rumah Sakit
yang sama dengannya dulu. Kami bertemu dan saling bercerita.
Bertukar informasi dan bertukar pengalaman. Kuajarkan dia
mengenai kelembutan, kasih sayang, dan hobi baru. Dia juga
menyadarkan aku tentang artinya perjuangan, kesederhanaan, dan
kekuatan. Aku mengagumi caranya tersenyum di tengah rasa pilu.
Semangat yang tiada padam walau fisiknya tak mampu. Dia pula
yang mengajariku untuk bersosialisasi dan membawaku berkenalan
dengan teman-temannya.
Dulu dia adalah wanita yang sangat tomboy dan beringas.
Berbeda jauh dengan saat ini. Dulu, wanita itu kutemui sedang
memukul-mukul tembok lorong rumah sakit. Wajahnya kusam,
rambutnya acak-acakan seperti tak pernah disisir, dan badan yang

45
kekar membuatku penasaran hingga aku mendekatinya. Awalnya
aku takut, namun karena tak tega melihat tangannya terluka akhirnya
kuulurkan tangan dan membuatnya tersenyum kembali.
Pingky Ayuningtyas. Gadis berkaki satu itu kini menjadi istriku.
Perempuan yang diamputasi kakinya karena terlindas mobil saat
kecelakaan enam tahun lalu . Ia rela melepas hobinya sebagai
pemain sepak bola, dan kini menjadi seorang perempuan seutuhnya.
****

46
Budaya Mati Muda ala Pemuda

Pagi bukan Hanya Kafein


Hidup memang bukan hanya 90 menit seperti pertandingan
sepakbola, namun pasti ada saatnya fase dalam permainan sepakbola
itu terjadi dalam hidup Peksu, pemuda berambut kribo dengan berat
badan yang sangat-sangat tidak ideal. Kick off. Half time. Dan full
time. Istilah itu menggambarkan bagaimana kehidupan yang terjadi
kapankah kita harus memulai sebuah pertandingan, dan bagaimana
kita memanfaatkan paruh waktu atau half time, meracik strategi ala
Sir Alex Ferguson dan bagaimana mengelolah strategi itu menjadi
kemenangan, itulah filosofi hidup Peksu yang memiliki nama asli
Rizal.
Hidup dalam dunia gelap nan gemerlap masa muda yang
penuh tantangan dihadapinya dari berkelahi atas nama cinta untuk
mendapatkan pujaannya hingga berkelahi dengan waktu yang terus
menerkam usia. Ia memang bukan mafia kelas kakap untuk urusan
cinta. Tubuh yang penguk akibat sering menenggak miras, ya selain
membuat pikiran melayang ternyata miras juga mempunyai reaksi
untuk menimbulkan bau badan tak sedap.
Weoewengg tuutsss tuuts
Suara petikan gitar Rizal memainkan lagu Radiohead
berjudul No Surprise. Saat ini memang ia tak mempunyai uang sama
sekali. Sering mengumpat ‘aaah sistem dunia ini anjing!’ atau ‘ah
uang-uang kenapa selalu hadir tak kau lihat akar dari semua konflik
di dunia ini berawal dari uang?’
Hahahahaha

47
Sambil terus memainkan gitar, Rizal Peksu berteriak dalam
salah satu bait lagu tersebut.
“A job that slowly kills you.” Dengan suara cempreng yang
tak enak didengar
“Ok ok.” Suara Liong Kaw mengagetkan Rizal.
Kabut yang ada di depan teras itu bukanlah dari gunung dan
hutan-hutan, namun polusi dari pabrik-pabrik. Juga ada sampah
rumah tangga yang menumpuk setinggi satu meter persis di depan
kursi dari bambu. Ekspresi langit dan matahari yang datar tak
menunjukkan sinar atau lembayung. Rumah-rumah dipayungi beton-
beton yang berlomba-lomba menjual panorama. Makin tinggi makin
untung. Itulah slogan para pemodal yang tak pernah mau tahu apa
yang terjadi di belakang gedung .
“Ahhh persetan dengan lagumu itu, A job that slowly kill
you? bukan zamannya idealis atau hari ini kita harus realistis,“
bantah ling-ling atas teriakan Rizal Peksu.
Ya idealis boleh-boleh saja, “Akulah pemuda tak pernah
takut tak mempunyai uang, bukankah hidup ini sebuah paradoks? “
dengan nada kalem datar Rizal Peksu menjawab.
**
Permukiman yang sangat padat merayap bak hutan-hutan
liar di Kalimantan, namun yang subur bukanlah oksigen hasil pohon-
pohon, pengapnya lingkungan telah menjadi habitat alami bagi
pemuda dan lansia suka ngopi di pagi hari, menawarkan kopi hitam
pahit kesukaan Rizal Peksu, untuk dunia yang pahit juga demikian
jargon *Kopi hitam untuk dunia yang pahit* suka diperdendangkan

48
dalam speaker di ruang tamu Rizal alunan lagu untuh menambah
kemelankolian pagi hari.
Ia memang tak mempunyai kesibukan di pagi hari,
memikirkan hal yang tak menjadi keuntungan baginya, toh hidup ini
gak harus terus menerus terjebak dalam keuntungan. Memikirkan
bunuh diri mungkin hal yang sangat hina dalam diri Peksu, jika
kemungkinan beberapa orang yang sudah tak mempunyai gairah
kehidupan maka bunuh dirilah nomor satu.
Ayah dan Ibu terus menerus menyemangati agar Rizal mau
bekerja, berbagai usaha ayah dan Ibunya untuk menawarkan Rizal
kepada teman-temannya yang bekerja di manapun agar memasukkan
ia ke sebuah instansi tertentu untuk bekerja, beberapa teman orang
tuanya sekali waktu menyetujui untuk menerima si kopi pahit
tersebut. Toh setelah ditanya mau apa tidak untuk bekerja tetap saja
hidup hanya terkekang di belakang tembok beton.
“Lalu apa inginmu, mas?” tanya ibu yang selalu sabar
mengahadapi anaknya yang keras kepala tersebut .
“Ingin menemani anak-anak di panti asuhan, Bu. Gak punya
uang tak apalah namun bila hati merasa ada kenikmatan sendiri toh
kenapa tidak?” jawab Peksu berapi-api.
Kopi hitam pahit belum juga habis diseruputnya. Perlahan,
setetes demi setetes pun dinikmatinya kopi tersebut. Merenungkan
jawaban yang ia sampaikan kepada Ibunya.
Liang Kow yang sedang memanasi motor bebek yang
terlihat selalu mengkilap berteriak “Cuy jangan lupa nanti malem
nonton bareng pertandingan sepakbola!”

49
“Siap bos!” tukas Rizal yang masih terjebak dalam lamunan
memandangi beton-beton yang menghalangi sinar matahari pagi.
Jreengg..jreeenggg. tuts tutsss
Suara starter motor dan klakson di depan rumah terdengar
sangat kentara. Rizal yang sedang menyisir rambutnya pun bergegas
melangkah mrnghampiri Putra pengusaha lumpia tersebut.
**
“A job that slowly kill you!“
Ia mengumpat dalam hati sambil berjalan menyusuri jalan
kecil yang hanya bisa dilalui satu sepeda motor saja. Pak Sigit
terlihat menikmati paginya dengan kopi, rokok sambil menyirami
tanamannya, lalu ada Pak Sugeng dengan gitar dan segelas kopinya
bermain gitar, berlatih lagu-lagu koes plus untuk pertunjukan malam
ini, dan sebelum melangkah keluar dari gang sempit itu ia melihat
gadis dengan anggun memegang senjata pagi hari yaitu sapu. Ia
masih terus berjalan memikirkan momen-momen pagi hari mereka
yang nyaman, tanpa pekerjaan yang pelan-pelan membunuh.
“Ya aku memang utopis, aku ini siapa? bertahan hidup dari
ke hari ke hari selalu terbayang-bayang entah sampai kapan? Untuk
makan saja kenapa harus merelakan delapan jam sialan ini?“
pertanyaan-pertanyaan itu muncul selalu dalam benak Rizal.
Akhirnya uis yang ditunggu tiba juga. Menerobos padatnya
lalu lintas untuk menuju halte tetap yang disediakan pemerintah.
“Selamat bekerja, nak! Semoga berhasil menjadi orang
sukses dan banyak uang!” ucap Ayah dari teras rumah dengan
mengalunkan lagu Sepanjang Jalan Kenangan.
**

50
Rizal yang kini tak idealis tak memikirkan A job that slowly
kill you telah berubah menjadi apa yang dilakukan sebagian besar
masyarakat yang tinggal di perkotaan, Liang Kow pun sekarang tak
dipedulikan ketika mengajak untuk menonton pertandingan bola,
foya-foya yang tak pernah berhenti dari satu malam ke malam,
meskipun hanya bekerja di bagian logistik namun untuk ukuran pria
lajang gaji sangatlah lebih dari cukup.
Orang tuanya juga tak perlu dikasih, masih sanggup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari meski hanya berjualan warung di
sudut bangunan megah yang terlihat kontras merusak estetika
bangunan akan hadirnya warung tersebut.
Hari demi hari dunia malam telah menjadi candu bagi si
kopi pahit tersebut, dunia tak lagi pahit , dunia menjadi manis akan
hadirnya uang, predikat cowok metroseksual telah terpatri dalam
dirinya, bau harum parfum melati hasil racikan toko parfum seberang
jalan minimarket modern.
Pagi hari yang sangat menyiksa kehidupan belakang gedung
tanpa adanya sinar matahari kembali ke dalam melankoli, tik tik tik
suara Rizal mengaduk kopi, bersiap menyambut dunia yang baru di
pagi ini, lelah akan kecanduan terhadap dunia malam berjoget ria
tanpa kesadaran, tawa yang tak pernah henti malam itu, hanya kafein
yang sanggup mengobati lelahnya pagi.
Dentuman euforia yang masih melekat dalam ingatan, telah
menimbulkan suasana yang begitu tenang, basian kalo dalam kamus
pecandu, ampas-ampas semalam suntuk, tak ada keluhan pagi, tak
ada umpatan untuk dunia yang pahit, manusia harus terus hidup
untuk bertahan hidup entah bagaimana dalam prosesnya menikmati

51
kehidupan itu sendiri, lamunan pagi hari telah menumbuhkant
tindakan kecil yang kadang tak pernah berarti, melawan masa
lalunya sendiri.
“Masih pengen menemani anak-anak di anti asuhan cacat
ganda nak?” tanya ibu sembari mencari sapu yang ada di sudut teras.
Rizal hanya terdiam, masih menikmati basian.
*

52
Dua Go-Go
Harga es dawet itu go-jeng per bungkusnya, harga baju itu
pek-go satuannya, harga permen berwarna pink berbentuk hati itu
go-pek harganya, ungkapan go itu identik dengan bocah tengil
berambut semi kuning akibat panas matahari di bangjo-tanpa-ning.
Bibir hitam legam yang terlihat kekurangan mineral hingga terlihat
pecah-pecah, apalagi kulitnya yang menjadi pelarian bakteri-bakteri
karbon dioksida dari asap solar. Di depan jalanan itu, dia yang tidak
bisa baca tulis sangat senang dengan ungkapan go dalam kamus
bahasanya sehari-hari. Aji namanya, namun hari yang telah menjadi
gini tak punya nama beken ya kurang keren. Teman-teman
sebayanya memanggil namanya dengan sebutan Peksu, nama yang
terdengar lekat dengan budaya Tiongkok. Wajar saja daerah kumuh
ini banyak terdapat kelenteng dan tak jauh dari permukiman warga
Peranakan. Lingkungan sangat memengaruhi teman-teman sebaya
Aji Peksu. Dalam ranah nama beken, semua orang-orang setempat di
kampung tersebut mempunyai nama beken bermacam-macam. Ada
Arif Hongkong anak pak RT, lalu ada Mandra Su-Cheng, karena dia
sangat bijak dalam berbagai masalah yang dihadapi kelompoknya.
Lalu, ada ustaz Dwik Yang-Co tokoh masyarakat yang sangat
dikagumi oleh orang-orang setempat karena sebelum perjalanan
panjang menuju gelar ustaz, Ustaz Dwik Yang-Co sebelum taubat
dia pernah berjualan minuman alkohol khas Semarang di rumahnya
yang tertutup oleh banyaknya krat-krat botol kaca daur ulang dan
menjadi pecandu narkoba hingga pernah dua kali dibui. Sementara
sahabat karib yang bernasib sama dengan Aji Peksu yang sama-sama

53
tidak bisa baca tulis , kulit pun sama-sama menjadi pelampiasan
solar Adi Che-Lenk namanya.
**
Adi Che-Lenk melihat jam tangan mati yang nemu di
jalanan dekat taman tawa itu sedang dipakai oleh Aji Peksu, merek
Rolex 17 Rubis Panerai 3636, entah siapa yang meninggalkan di
bangku taman berlumut merchantiophyta, bermodal kotak kayu,
berukuran 60x60cm itu. Mereka berdua bergantian membawa barang
dagangan dari permen karet hingga rokok tanpa cukai. Mereka
menjual dagangan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk mengetahui bahwa mereka berjualan, mereka memakai kaos
yang dilukis sendiri, bertuliskan jual rokok dengan warna jingga, jual
pulsa dengan warna kuning, dan murah meriah dengaan warna pink,
mereka meminta tolong untuk menuliskan kaos itu dengan salah satu
seniman yang akan menyelenggarakan pameran tunggal saat
seniman itu membeli rokok dari Aji Peksu dan Adi Che-Lenk
mereka berkata dengan santai seakan-akan sudah menjadi sahabat
karib.
Mereka berdua berjualan di depan sebuah galeri milik
pemerintah kota. Setiap ada pameran yang akan berlangsung,
dagangan dua sahabat itu selalu ramai pembeli hingga habis tak
tersisa. Mereka bisa memenuhi nafsu untuk mabuknya jika
dagangannya habis, itupun kalau ada pameran seni yang berlangsung
di galeri itu. Mereka pecandu cairan hasil ide kreatif seorang
masyarakat pinggiran.

54
Mereka dijuluki oleh pengurus galeri itu duo gogo, tak
peduli dengan apa yang di dalam gedung itu, pikiran mereka yang
penting dagangan ini habis dan ingin menikmati sepinya kota
bersama sahabatnya itu. Namun angin pada malam itu sangat
kencang daun-daun jatuh, debu pasir melayang memutar kerikil-
kerikil bergesar 10 cm dari tempatnya, angin masuk ke dalam
gedung yang ber-AC, malam semakin dingin, tiba-tiba ada ruh-ruh
dari warna-warna di dalam gedung yang menyebar di udara malam
itu. Aji Peksu dan Adi Che-Lenk yang sedang duduk di depan galeri
itu terlihat bersin tiga belas kali, Aji Peksu bersin enam kali
sedangkan Adi Che-Lenk bersin tujuh kali. Mereka resah saling
berpandangan akankah demam akan menyerangnya atau apa, barang
dagangan yang hanya tersisa 2 pak rokok dan 4 botol air mineral
menunggu pembeli datang.
Datang tiga pengunjung laki-laki berpakaian ala Ramones
keluar dari gedung. Mereka mencari Adi Ce-Lenk dan Aji Peksu
untuk membeli rokok dan air mineral, mulut tiga pria itu seakan-
akan sudah ingin merokok, lalu dengan tergesa-gesa membeli rokok
dari Aji Peksu. Membeli semua yang tersisa.
Barang dagangan sudah habis. Aji Peksu Dan Adi Che-
Lenk senang bukan kepalang mereka berlari-lari menuju penjual
miras ilegal resep sendiri. Di sebuah pedestrian diterangi lampu
kuning, ditemani bunga-bunga yang tak mau bermekaran lagi, tanpa
tulisan promo dan identitas akan hadirnya sebagai sebuah warung

55
mereka sampai menemui pemilik warung tanpa identitas itu dengan
napas terengah-engah.
**

Ajik Peksu dan Adi Che-Lenk terlihat sedang meminum


minuman khas buatan pinggiran orang-orang yang tak peduli dengan
cukai dan pajak, karena menurut mereka pajak hanya membebani
kehidupan mereka. Berkali-kali diciduk oleh polisi karena berjualan
minum keras tanpa cukai dan izin Negara. Tampang-tampang seram
dengan tato tak beraturan dan goresan keriput tanpa cerita sebab, tak
perlu mendokumentasikan cerita hidup mereka biar orang-orang
yang ahli saja yang menulis ceritaku. Pikir Yo-Yoko penjual miras
pinggiran yang suka membaca majalah bekas dan membeli koran-
koran pagi yang dijual oleh sahabatnya Po-Hung.
Dibawah pohon kresen bagai garda depan sebuah gang di
perkampungan. Mereka membangun tempat duduk dari bambu yang
didapatnya dari tanah yang ditumbuhi besi bertuliskan ‘tanah ini
milik TNI-AD’. Buah kresen yang memerah sering diambil hanya
sekadar menambah rasa untuk membuat mulut dan tenggorokan
menjadi manis. Hanya itu buah-buahan gratis masa kini. Bisa
diminum dengan miras yang pahit, orang setempat bilang sebagai
surungan. Warna-warna lembayung yang menghiasi bumi panas dan
tubuh panas terlihat merenggut cahaya putih berganti dengan
kekuningan, waktu tak pernah memberi ampun untuk mundur

56
sedetikpun. Waktu selalu maju tanpa berpikir dua kali. Karena waktu
tidak punya nyawa.
“Enak ya Lenk, go-ban udah bisA melayang kaya gini!”
seru Ajik Peksu dengan bagian wajahnya yang samar-samar
berwarna merah tertutup oleh kulit hitam berdebu.
Terdengar lagu dari band papan atas dunia. Jimmy Page
sedang mengocok senar-senar gitarnya .Ustaz Yang-Co yang
menyetel lagu Stairway to Heaven, pada menit ke 05.55, Yang-Co
bergerak kesetanan bagai rockstar, manggut-manggut, loncat-loncat
sambil bermain gitar khayalan. Ustaz yang sering menjadi panutan
warga-warga sekitar itu berubah drastis jika pada menit tersebut
Jimmy Page memainkan melodinya tersebut. Tersihir oleh
permainan gitar, meskipun seorang ustaz namun jiwa muda Dwik
Yang-Co sangatlah kentara. Bak rockstar, konon katanya waktu
merantau di Bali pada tahun 80-an, ustaz Yang-co suka manggung
dengan band rocknya yang gila akan kostum pada setiap
penampilan,selektif memilih kostum agar orang gampang
mengingatnya.
Adi Che-Lenk yang menenggak minuman berbahasa
Tiongkok itu pun tersihir juga oleh melodi gitar Jimmy Page. Sambil
merem melek dengan wajah memerah bagai besi yang dipanaskan.
Tubuh yang panas itu pun menari-nari bak performa Jim Morrison di
atas panggung, jatuh bangun dan berguling-guling di tanah.
Aji Peksu berseru dengan wajah memerah dan bicara yang
agak cadel berkata “ riwa-riwi wira-wiri wara-wiri aja kamu Lenk.
Mabuk atau kesurupan!!?”

57
“Mantra yang hebat Pek, dapat darimana mantra itu? ‘’
merem-melek Che-Lenk berseru.
Aji Peksu menjawab dengan tegas bak tentara yang sedang
memimpin jalannya upacara 17 Agustus di Istana merdeka
“Matamu!!”
Lagu itu kembali terdengar pada menit ke 05.55 lagi.
Korban selanjutnya adalah Aji Peksu itu sendiri setelah melontarkan
beberapa makian kepada sahabatnya yang kesurupan lagu itu.
Aji Peksu meloncat-loncat tanpa henti dengan gitar
khayalannya, sedangkan Adi Che-Lenk bertindak sebagai penggebuk
drum. Mereka berdua tak henti-hentinya menjadikan tempat
tongkrong bawah pohon kresen sebagai panggung dengan spektrum
cahaya.
Sihir yang menjadi-jadi.
Arif Hongkong lewat di depan mereka berdua yang sedang
mabuk kepayang dengan melodi gitar Jimmy Page. Menghampiri
dua sahabat gila itu, Arif Hongkong yang sedang dalam pengaruh
ganja itu tertawa dengan sekeras-kerasnya, Hongkong melihat
mereka berdua bagai burung jalak kebo yang sedang menari dan
mengoceh tanpa estetika.
Awan gelap telah datang, sinar bulan telah merenggut
keduanya menjadi siluet-siluet wajah yang bercampur debu seakan
sirna ditelan cahaya, namun semburat wajah memerah itu tetap
terlihat, semburat warna merah dingin bak lukisan Srihadi
Soedharsono, warna-warna estetis yang hadir dalam lukisanya hadir
dalam diri Ajik Peksu dan Adi Che-Lenk, tanpa cahaya kualitas
estetis mereka bertambah indah. Azan magrib telah berkumandang.

58
Namun ustaz Dwik Yang-Co yang masih kesetanan lagu Stairway to
Heaven pada menit ke 05.55 tak memedulikan azan magrib. Entah
siapa yang akan menjadi imam kali ini, mungkin Luthfi Giyong atau
Yogi Aseng, masjid di sebelah kelenteng Semar Buddha itu memang
tak pernah mempermasalahkan umur untuk menjadi imam, Luthfi
Giyong dan Yogi Aseng yang masih berumur dua puluh lima tahun
tetap menjadi imam masjid.
Gelap semakin menjadi-jadi, pemadaman listrik bergiliran
tak bisa dielakan oleh warga sepanjang jalan Sir Alex Ferguson,
nama jalan itu diberi nama sendiri oleh kesepakatan beberapa tetua
kampung tersebut. Namun cahaya gelap itu pun tak menyurutkan
tiga orang tersebut untuk menari-nari di panggung bawah kresen
tersebut. Setiap mereka bergerak tanpa koreografi. Gerakan
tubuhnya bagai para penari di nirwana, sesekali mereka meludah
akibat kelebihan alkohol namun yang terjadi ludah mereka
bercahaya, tanpa makan cat fosfor, ludah mereka berkilau-kilau yang
melayang-layang hingga menjadi bintang-bintang di angkasa, sambil
komat-kamit membaca mantra-mantra yang terdengar suci, seperti
ucapan-ucapan Sidharta saat bertemu Govinda di hutan itu, namun
sebenarnya mereka berdua hanya mengucapkan
Gocap,Capp aaaappp…….
Gopek,pek epek epeekk………
gomban,mban amban amban……..
pekgo,gaba gaba…….
gopek su peksupeksupeksu……….
Sementara Arif Hongkong yang mengisap ganja masih terus
tertawa tanpa henti melihat dua bocah tengil itu berkhayal bagai

59
rockstar. Salat maghrib telah usai, para warga berjalan sambil
mengobrol tentang hal yang terjadi di televisi. Luthfi Giyong dan
Yogi Aseng melewati pohon kresen itu mereka tersihir oleh manusia
tengil bukan nabi dan bukan dewa. Luthfi Giyong dan Yogi Aseng
diam berlinangan air mata, perasaan mereka dilanda euforia
berlebihan.

Semarang 19 Agustus 2016


Kickap

60
Bedanya Aku
Hafiluddin Dzihab
2111415046

Biasanya seseorang lebih ingin menonjolkan kelebihan


daripada kekurangannya, Tidak sedikit orang yang ingin selalu
tampil sempurna di hadapan orang lain. Di sisi lain tidak semua
orang tampil sempurna. Seperti halnya aku. Perkenalkan namaku
Lisa Amri. Aku adalah gadis yang menganggap semua itu hanyalah
pencitraan belaka, Aku punya teman bernama Reza, Dia adalah
seorang yang memiliki kepekaan terhadap penampilan yang sangat
tinggi, Dari ujung rambut sampai ujung kaki harus tampak sempurna
di hadapan semua orang. Reza mudah bergaul dengan semua orang,
sehingga banyak orang yang menyukai karena keramahan dan
penampilanya. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Reza.
Teringat saat aku bersama Reza dan teman-teman
menghadiri suatu acara di sekolah. Dia berpenampilan bagaikan
seorang yang mempunyai wibawa dan karisma.
“Hai Reza…,“ sapaku.
“Hai Lisa, kamu nggak ada bedanya ya, selalu aja
berpenampilan itu-itu aja. Nggak bosan apa kamu berpenampilan
seperti itu terus?“ sindir Reza.
“Apaan sih kamu Za… memangnya kenapa kalau aku selalu
berpenampilan seperti ini? Nggak ada salahnya, kan? Lagi pula aku
lebih nyaman berpenampilan seperti ini,” jawabku.

61
“Lihat dong penampilanku selalu berbeda di setiap acara,
dan semua orang menyukai setiap penampilanku, tidak seperti kamu
yang selalu berpenampilan itu-itu aja,” ucap Reza sambil tertawa.
“Haha…sudahlah, semua orang kan mempunyai pemikiran
dan penampilan yang berbeda-beda, jadi aku ya ini dengan
penampilanku sekarang,”sahutku.
Kemudian Reza hanya tersenyum kecil, lalu mengajakku
pergi untuk mengambil minuman di dekat pintu.
Sebenarnya aku adalah seorang yang hanya ingin tampil
sederhana, bahkan waktu bepergian aku tidak pernah memakai
aksesoris apapun, hanya memakai celana jeans hitam dan kemeja
merah lengan panjang. Rambutku yang panjang hanya aku ikat
dengan pengikat rambut.
Tetapi sejak aku kuliah hidupku mulai berubah. Sekarang
aku menjadi wanita yang lebih memperhatikan penampilan. Dan aku
rasa perubahan itu sangat membantu dalam kehidupanku. Benar apa
kata Reza dulu, bahwa berpenampilan itu juga mempengaruhi
karakter seseorang.
Karena penampilan, aku lebih bisa percaya diri di hadapan
semua orang. Perubahanku terjadi karena pengalaman burukku dari
berpenampilan yang sama di setiap acara. Banyak orang yang tidak
suka dengan penampilanku. Itu terjadi karena pakaian yang selalu
aku pakai selalu sama sehingga orang yang melihatku menjadi
bosan dan tidak mau berkumpul denganku.
Maka dari itu aku sadar penampilan sangat berpengaruh
terhadapku. Apalagi aku sekarang sudah kuliah, jadi sebisa mungkin

62
aku harus bisa menyeimbangi teman-temanku yang berpenampilan
menarik.

63
Perempuan Pembuat Stress Tapi Aneh
Hafiludin Dzihab
2111415046

Pada hari Kamis ketika jam menunjukkan pukul yang sama


di ruangan dengan meja yang bergabung dengan kursinya. Ada yang
berwarna cokelat dan hitam. Kursi hitam dengan alas yang terbuat
dari busa empuk yang nyaman untuk bokong. Satu paket dengan
meja kecil yang pas untuk menulis. Sedangkan kursi coklat yang
menunjukkan kesenjangan yang jelas di ruangan tersebut. Kursi
cokelat dengan kelusuhannya dan kekerasan yang menampakkan
ketuannya yang khas.
Kursi cokelat yang kuat kokoh meski kelihatan tua dan
kuno banyak pengalaman yang ia perlihatkan dari ketenangan, serta
tambahan corak yang ia dapatkan sehingga memperjelas bahwa
dirinya adalah kuat. Kekuatan itu memang terlihat dari dirinya.
Asam garam orang yang resek sudah ia dapatkan untuk membentuk
generasi muda yang budiman dan berpengalaman.
Modern memang terkesan lebih menarik dan terlihat elok
untuk dipandang. Namun kamu tahu dia adalah anak muda dengan
tidak ada terpaan sehingga terkesan lembek. Tanpa dan kesan dia
jelas atau adanya keteguhan kata dan idiologiku adalah warna dan
hasil dari keterpengaruhan. Masih terbentuk belum kukuh. Kalau
generasi muda aku rasa belum terasa jika hanya satu ras.
Dia datang dengan ciri khas yang sama belum jelas apa
yang dia ucapkan, tetapi terkesan kamu adalah bawahan diterpa
dengan omongan yang memengaruhi. Aneh memang, tetapi kami

64
mengikuti dan mengiyakan apa yang ia katakan. Bodoh memang
jelas tampak dari muka-muka kami yang jelas dengan kepolosan dari
poles gincu atau bedak yang tertata rapi oleh pensil alis. Rambut-
rambut berminyak dengan pomade yang bersinar oleh matahari
memang gambaran jelas kalau kamu memang anak muda dengan
selalu mencoba sesuatu yang diinginkan.
Entah kenapa saya hari ini bercerita mengenai hari Kamis
yang memang seharusnya manis. Aku bertemu dengan dia yang
bukan tokoh yang saya ceritakan tadi. Tokoh tua yang memengaruhi
kami, sosok muka polos tanpa ada idealis. Sosok tua yang disebut
dosen hanya salah satu tokoh tambahan dalam pandangan saya pada
ruangan itu. Ruangan kuliah yang memang berwarna dengan
pelengkap orang-orang maupun benda yang menghiasi. Sesosok
perempuan memang selayaknya perempuan dengan memiliki sifat
feminisme yang ia bawakan. Merubah kasarnya aku menjadi
manjanya laki-laki yang memang sudah rasa dia adalah nyaman.
Kodrat perempuan memang terpancar dari wajah yang ia
peragakan. Gendut, jangan ucapkan kata itu ketika kamu berinteraksi
dengan perempuan. Entah kenapa ketika bilang kata gendut, seperti
masuk dalam sarang singa betina yang lapar dan mencari makan
untuk anaknya. Katakan saja badanmu kok bagus, ideal banget
dengan berat badan sama tinggi tubuhmu. Kata lain, IMT-nya pas
tidak kurang tidak lebih. Ingat pantangan dari apa yang kamu
katakan akan menjaga keselamatanmu.
Pertengkaran sehari-hari memang menimbulkan stress.
Rutinitas dari respon lingkungan yang diciptakan dari hari-hari yang
menyerang sacara psikologis, fisiologis, dan perilaku yang memang

65
dasarnya sebagai bentuk stres. Sudah cukup stres dengan kebodohan
yang membuat kita mengiyakan tugas yang memang tidak kita
pahami dari omongan yang disampaikan. Tapi mau gimana lagi,
memang harus diiyakan, kan memang dia berbicara sebagai
fasilitator, itulah model yang dia bentuk.
Perempuan tadi juga penyebab stres yang lucu. Dia lucu
dengan tindakan yang diperbuat. Perempuan memang sama dengan
statistik yang membingungkan dunia ini. Malam berjalan ketika
siang tadi sudah lusuh pikiran ini dengan tugas dari dosen yang
belum jelas tapi harus diselesaikan. Kamu di mana? Keluar yuh,
laper eg. Ke mana dia bertanya dengan nada ingin tahu. Seperti biasa
ya. Iya boleh lah, setelah dia bilang seperti itu kenapa stres yang dia
ciptakan hilang. Aneh memang Tuhan menciptakan makhluk yang
satu ini. Dia bercerita panjang lebar mengenai apa yang dia alami
dalam hidupnya. Jangan pernah mencoba untuk memotong
omongannya kalau kamu tidak ingin tambah stres lagi. Jadilah
pendengar yang baik meski kamu tidak tertarik untuk mendengarkan
apa yang dia katakan.
Jangan lupa ekspos terus tindakan yang dia lakukan. Secara
tidak langsung saya senyum gemas dengan mimik muka yang dia
ciptakan. Lucu ya dia aneh juga sih kalau kamu bilang seperti itu.
Perempuan jangan kamu pikirkan tentang apa yang akan dia lakukan,
tambah stres yakinlah. Duduk saja di sampingnya dengarkan apa
yang dia katakan cukup kamu perhatikan dan kasih perhatian dengan
melihat matanya. Malam memang cepat jika kamu lagi senang
seperti kamu lupa dengan Tuhan, jika kamu sehat dan bahagia.
Sudahlah, malam jangan tambah malam lagi, aku masih ingin duduk

66
di sebelahnya lebih lama lagi, bukan hanya sekadar ini. Sudahlah
malam, jangan kamu semakin dingin aku ingin kenyamanan ini
berjalan terus. Tapi apa daya kamu manusia dibantai waktu. Siapa
yang kamu ajak adalah tanggung jawabmu apa lagi ini dia
perempuan kamu harus memulangkannya. Selamat malam di depan
gerbangmu aku pulang dulu ya.

67
SAAT HUJAN TURUN
Istiqbalul Fritria
2111415012
Kau masih saja menunduk dengan mata yang sayu. Nanyian
gerimis masih nananina menari di telinga kami. Aku duduk paling
ujung di dekat pintu kafe. Punggungku agak basah karena ludahan-
ludahan gerimis yang menyiprat—dingin. Kau duduk di bangku
seberang. Seperti biasa, tubuhmu tertutup rapat dengan baju longgar
yang menjuntai hingga ujung kaki.
“Jika Tuhan memang benar lelaki yang dibocorkan oleh
beberapa kitab suci yang cenderung maskulin, apakah Tuhan pernah
cemburu dengan makhluk-Nya yang perempuan?” Suaramu lirih
namun terasa menusuk lebih terasa dibandingkan dinginnya malam
yang larut. Kami tersentak. Bagaimana mungkin calon bidadari surga
macam dirimu berani mengulak-ulik Tuhan?
Tujuh laki-laki dihadapanmu—termasuk aku—tidak berani
angkat bicara. Mereka hanya menghantarkan kebisuan. Entah karena
tak ada kata yang pantas diucapkan, atau karena malam yang kian
dingin lengang. Seperti seorang penyair yang tengah bersendiri
bersama puisi, kucoba mencuri pandang wajahmu yang kini tak bisa
lagi kunikmati karena terhalang oleh tudung cadar. Hanya dua bola
mata bulat yang mampu kuselami hingga aku tak ingin selamat jika
aku tenggelam di dalamnya. Kau masih menunduk. Dan aku berani
bertaruh demi apapun kalau kau tengah menggigit dua katup bibirmu
yang siapapun akan khilaf jika memandangnya.

68
“Hati dengan maha hati sama kan? Cemburu dengan maha
cemburu pun agaknya sama. Jika berbeda, apa yang membedakan?
Ini hanya soal pembuat dan buatan.”
Akhirnya salah satu diantara kami membuka pintu untuk
menjawab—lirih. Aku masih saja menerka-nerka maksud dari yang
kau ungkapkan. Agaknya gerimis kini mulai mengganas dan berubah
menjadi hujan lebat. Aku berpindah tempat, karena ludahan hujan
membuat kemeja kumalku basah benar. Kau tersenyum, nyaris
tertawa. Aku tahu dari perubahan bola matamu yang menyempit. Ah,
pinjamkanlah kupingmu kepadaku, tidak akan kupagut apalagi
kusakiti, tapi untuk kubisiki. Dengarkanlah, ingin sekali aku
menjawab pertanyaanmu yang di luar dugaan itu dengan satu
hentakan nafas.
Kau memperbaiki posisi duduk, matamu berlarian sesekali
memandang kami yang masih khusyuk dengan kebisuan dan hujan
yang riuh dengan pasukan rintik yang mirip seperti jarum-jarum
panjang nan tajam menghujam bumi.
“Kenapa orang cenderung menjadi melow saat hujan turun?
Karena saat hujan menggugurkan tetes rintik menggambarkan betapa
keikhlasan akan jatuh. Dan entah siapa yang memulai, kenangan-
kenangan akan mabuk di kepala kita. Kemudian menyeret kita untuk
merenung kembali masa-masa yang lalu untuk ikhlas atau bahkan
merayakan kehilangan meski itu suatu hal yang paling
menyakitkan,”ucapmu sore itu. Saat itu kau menggigil setelah puas
bermain-main di bawah hujan lebat sambil melahap es krim.
Sungguh wajahmu begitu lucu saat kau berlomba menghabiskan es
krim dengan hujan.

69
“Kenapa kau bisa sebegitu yakin, kalau rintik itu ikhlas
untuk jatuh?” Tanyaku sambil menikmati wajahmu saat itu.
“Entahlah. Itu seperti sebuah nasib yang buntu. Tapi kau
tahu, luruhnya rintik ke bumi membawa banyak manfaat. Bisa
membuat tanah menjadi gembur, pohon-pohon sehat, dan tentu
manusia bisa memetik buahnya dan membuat kita senang dan
kenyang,” jawabmu ditutup dengan gelak tawa yang lepas.
“Kau ini, selalu saja begitu.”
“Selalu apa?”
“Tak apa,” jawabku buru-buru membuang muka saat
matamu benar menyorot ke mataku. Aku masih merasakan debar
degup dada yang tak bisa aku kendalikan sampai-sampai aku
khawatir kau mendengarnya.
Suara petir membangunkan lamunanku. Kawan kami yang
sedari tadi membaca buku menutup bukunya dan memandangmu
lekat-lekat. Ia mengacuhkan buku Rumah Kaca karya Pramoedya
yang legendaris dengan meletakannya di meja diantara cangkir-
cangkir kopi dan asbak keramik berbentuk kura-kura lucu.
“Hati itu bening dan lembut. Tak ada yang lebih jujur dari
hati. Dan tak ada yang lebih bening sekalipun itu air sungai surga.
Dan hati yang bening itu kun fa yakun,”timpalnya sambil mengambil
buku yang barusan ia acuhkan, kembali membuka, dan kembali
membaca.
Teman kami yang lain membakar sebatang rokok.
Menghisapnya dengan penuh penghayatan, satu tarikan, dua tarikan,
dan menghembuskan asap rokok yang sepersekian detik kemudian
menghilang membaur dengan udara dingin. Aku masih saja diam.

70
Dan entah apa yang terjadi, aku juga ikut berfikir hingga keringat
membanjiri tubuhku. Dalam Kafe yang berpendingin ruangan dan di
luar hujan pun aku merasa kepanasan? Sungguh itu semua karena
kau. Kau seorang dan tak ada seorang lain selain dirimu.
Kau membenarkan kerudungmu meski tidak ada yang perlu
dibenarkan. Lalu kau berganti pose dengan mempergunakan
tanganmu sebagai penyangga kepala meskipun tidak akan jatuh
meski tak disangga. Kami duduk melingkar pada sebuah meja yang
tidak bundar. Kau duduk di seberang sana, disusul dengan kawan
kami yang membaca buku sambil menyandar, dan empat lelaki lain
yang tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, serta aku
yang juga tenggelam memikirkan dirimu.
“Hati itu didiami oleh dua hal. Illahiyah dan setaniah,” ujar
teman kami yang tadi membakar rokok.
“Ya, dan jika yang mengusai adalah illahiyah, maka seluruh
anggota badan pun akan melakukan hal-hal yang selalu dikaitkan
dengan illahi,” jawabmu cepat.
“Asu!”Umpat kami hampir berbarengan. Kau hanya
menyudutkan mata lebarmu yang menandakan senyuman.
Aku terbang pada ingatan kenangan dahulu. Saat kau dan
aku masih suka bermain lomba menghabiskan es krim dengan hujan.
Dan saat malam itu, ketika pintu rumahmu menjerit kasar ketika kau
buka saat aku datang berkunjung.
“Mulai sekarang, jangan terlalu sering untuk
mengunjungiku ya. Bukan mukhrim,” katamu lirih setengah berbisik.
Aku kaget mendengar ucapanmu yang sangat tiba-tiba sekali,
bagiku. Terlebih ketika aku menyadari bahwa kini aku tak lagi bisa

71
membelai rambut panjang yang berbau sampo, menikmati wajah
ayumu, juga bermain-main bersama dibawah hujan.
“Aku mengerti.” Hanya itu yang mampu kuucapkan sesaat
sebelum aku pulang meski belum sempat mencicipi kopi hangat
buatan tanganmu yang tak ada duanya. Aku pulang dengan langkah
yang berat, namun tetap mengikhlaskan untuk jatuh seperti rintik
yang pernah kau ceritakan padaku. Aku menghargai keputusanmu
untuk hijrah dan lebih dekat dengan Tuhan. Aku senang, meskipun
dengan begitu aku harus cepat-cepat melamarmu agar dapat
menikmati wajahmu lagi.
Ya, Tuhan memang pernah patah hati, bahkan cemburu.
Tapi bukan hanya dengan perempuan, melainkan dengan seluruh
hamba-Nya yang telah lalai dan telah lupa tentang kordinatnya
sebagai hamba. Seperti aku yang pernah cemburu denganmu saat kau
lebih memilih Tuhan, tapi buru-buru aku tepiskan karena Tuhan
tidak mungkin mengambilmu, apalagi jatuh cinta kepadamu.
Aku mereka-reka, sambil membuka kaleng minuman soda
lalu mengoper ke teman yang lain, kemudian membuka kaleng
minuman soda untuk diriku sendiri.
Kau menghela nafas panjang. Aku tahu, ada kegetiran yang
coba kau tuangkan namun kau ragu. Seperti seorang pelayan yang
ingin meracik kopi untuk pelanggannya namun ragu kalau-kalau
racikannya tidak pas.
“Kemarin ada yang datang melamarku, namun kutolak.
Karena alasannya melamarku tidak masuk akal,” sontak kami beralih
pandangan hampir bersamaan kearahmu. Badanku seperti tak
memiliki rangka.

72
“Saya merasa Tuhan kecewa, memberikan namun tak
kuterima,” lanjutnya.
“Kenapa kau tak menerimanya?” Tanyaku penasaran,
mencoba untuk mengendalikan diri.
“Karena kau seorang lelaki!” Timpal kawan kami yang lain.
Kamipun tertawa riuh memecah sunyi. Kau cemberut. Matamu
menyala-nyala dan posemu berubah menjadi setengah tegap dalam
duduk.
“Punyaku vagina, woy! Bukan testis,” kau protes. Tudung
cadarmu agak terbuka sedikit saat angin mengelusnya.
“Santai tho. Kami hanya bercanda, men ra spaneng ngene
loh,” timpal teman kami yang lain. Kembali gelak tawa pecah.
Kaupun ikut tertawa. Belum pernah kulihat kau tertawa lepas seperti
ini setelah perubahanmu.
Hanya aku yang diam.
“Kau sudah melakukan hal yang benar, tak usah cemas.
Agama itu tidak menuntut. Lagi, kau sudah gunakan akalmu, itu
sudah cukup,” jawab teman kami yang lain.
Kau berhenti tertawa, lalu berdiri.
“Aku hanya ingin menikah dengan salah satu diantara
kalian, dengan mahar sehimpun puisi buatan kalian sendiri yang kau
bacakan bersandingan dengan bacaan ayat Al quran,” ucapmu
mantap.
Sontak aku langsung berdiri dan memegang ubun-ubunmu
sambil berkata, “Dengan ini, Kau Aisyah binti Qodimi. Akan aku
nikahi kau subuh nanti dengan mahar yang kau tentukan. Dan duhur
nanti kita ke KUA untuk meresmikan pernikahan kita. Barakallah,”

73
ucapku lantang disambut dengan sorak sorai teman-teman. Kau
mengangguk dan sungguh aku bahagia. Dari matamu aku tahu kalau
kau tersenyum. Teman-teman kami langsung bangkit dan
mengumumkan ke semua orang perihal pernikahan kami. Mereka
mengetok-ngetok dari pintu ke pintu tetangga yang tengah terlelap,
tak peduli malam yang makin kedinginan. Hujan sudah mulai reda.
Dan kau mengucapkan terimakasih kepaku berkali-kali. Berkali-kali.
Tiba-tiba saat kami bersama-sama berjalan menuju mushola
sambil menunggu azan subuh, berdiri seorang lelaki yang berumur
dibawah enam puluh tahun bersama bapak-bapak yang lain serta
seorang ibu bercadar dengan mata basah seperti habis menangis
dengan wajah yang garang. Kopiah hitam dengan sorban putih dan
sarung yang menjuntai hingga ke tanah. Lelaki itu menggenggam
tanganmu dan menariknya secara paksa.
“Hei, jangan bawa calon istriku!” Jeritku. Teman-teman
kami yang lain bingung tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Maaf,kami buru-buru,” jawab laki-laki itu yang kutahu
ayahmu.
“Tolong, izinkan kami menikah. Setidaknya izinkan kami
solat subuh berjamaah,” aku memohon, namun tak dihiraukan. Aku
merasa terhimpit. Orang-orang menjadi ramai datang untuk
memastikan apa yang terjadi. Suasana menjadi tegang.
“Maaf,” katamu sesaat sebelum akhirnya pergi ke pelukan
ayahmu.
Aku mencoba mengejarmu, namun terhalang oleh orang-
orang suruhan ayahmu. Rambut gimbalku terasa ditarik-tarik, sedang
kau semakin menghilang dari pandangan.

74
***
Hujan turun deras sekali. Aku melangkah agak berjungkit
melewati kubangan-kubangan yang penuh dengan air hujan dengan
kaki telanjang.
Aku membawakan seikat mawar merah dengan memakan
es krim dihujan tepat di depanmu.
“Kau masih ingat? Saat hujan kita sering berlomba
menghabiskan es krim dengan hujan,” ungkapku. Kau diam. Dan
kuletakan seikat mawar ini di atas pusaramu sesaat setelah es
krimnya habis.

Semarang, 24 April 2017

75
GADIS KECIL DAN POHON MAHONI
Istiqbalul Fitria
2111415012
“Ada mayat,” ucapnya pelan setengah berbisik. Ada
kegetiran yang begitu mendalam dalam pita suara yang setengah
tersendak menahan isak. Beberapa daun menguning meranggas ke
tanah yang letih. Tanah yang haus akan guyuran rintik. Yang selalu
basah dan becek ketika hujan berguguran. Dan akan selalu kering
membentuk petak-petak menimbulkan debu-debu yang terbang bila
tersingkap angin saat musim panas seperti ini.
Gadis kecil itu mendengarkan keluhannya sambil
menyandarkan kepala pada sejuntai tali yang terikat dengan ban
bekas lusuh yang diduduki. Tangannya melingkar pada sejuntai tali
—tersambung kuat dengan tangan dahan Pohon Mahoni tua yang
rindang. Ban bekas mulai terayun. Lama kelamaan ayunan menjadi
nyaman dan ia larut dalam kenyamanan. Bukan sebab hentakan
kakinya atau sapuan angin yang membuat ban bekas itu berayun,
melainkan tangan dahan Pohon Mahoni yang menggerakannya ke
depan dan kebelakang—berayun. Vi, gadis kecil itu sering sekali
duduk di ayunan dahan Pohon Mahoni yang tumbuh rendah.
Percakapan Pohon Mahoni dengan teman-teman penghuni rimba,
jika tak boleh disebutkan selalu—Vi menjamin, hampir semuanya
didengarkan.
“Mereka benar-benar membakar semuanya. Asap tebal
benar-benar menyelimuti rimba. Sungguh kami benar-benar sekarat
dan tak mampu bernafas dengan bebas,”tukas Pohon Mangga.

76
Mengeluh. Pasrah. Kecewa. Daun-daunnya pun ikut berguguran ke
sungai yang sedikit airnya.
Vi masih saja diam. Ia merasa oksigen pergi menjauh dari
jangkauan hidung, mulut, dan paru-parunya. Gadis kecil itu tidak
tahu benar apa yang meski dikatakan pada mereka yang terus saja
menyudutkan manusia—makhluk yang sering dicibir juga dicela.
Angin datang mengusir asap hasil pembakaran lahan sesekali.
Namun, pembakaran itu seakan tak pernah bosan –seperti tikus kecil
yang selalu datang mencuri dan menggerogoti pakaian di almari
meski tertangkap sering—sehingga angin benar-benar kewalahan
menghadapinya. Kebingungan Vi mencuat—pergi berlarian kecil
hingga nafasnya tak mampu menemukannya—setelah Pak Pohon
Mahoni mengatakan ada kekawan mereka yang mati. Tentang
pembakaran lahan dan penggusuran rumah-rumah mereka untuk
keperluan pembuatan pabrik-pabrik atau gedung-gedung pencakar
langit lainnya milik manusia. Tentang aroma daging bakar dan anyir
darah hewan-hewan tak berdosa yang tercecer di sekitar rongsokan-
rongsokan bekas pembakaran hutan, tentang sungai yang ikannya
mati dan memilih hidup berpindah karena insang mereka berdarah.
Keresahan-keresahan itu benar-benar menyergap. Apa yang
bisa aku perbuat? Batinnya menjerit dalam lautan lamunan yang
membuatnya semakin tenggelam. Ia menunduk memandang
kakiyang selalu telanjang.
“Manusia itu memiliki segalanya. Bukankah kita diciptakan
juga untuk mengabdi kepada manusia?” Ujar Burung Pipit sambil
membereskan sarangnya yang berantakan karena sapuan angin yang
kencang.

77
Gadis kecil itu semakin gusar. Ia paham betul kalau rimba
adalah paru-paru bumi yang meski dijaga. Tapi, pernyataan Burung
Pipit lebih membuat hatinya semakin gusar. Entah seberapa lama ia
diam hingga merasa waktu ikut duduk termenung di sampingnya.
Vi adalah gadis kecil kesepian yang merasa ramai kembali
ketika bisa bercakap dan mendengar percakapan Pohon Mahoni
dengan kekawan rimba. Entah itu semua hanya halusinasi ataupun
euforia belaka, bagi Vi ini adalah kehidupan yang sempurna.
Sebelum akhirnya gadis kecil itu duduk disini, sekitar tiga
atau empat tahun yang lalu, Vi masih bisa mendengar teriakan-
teriakan manusia di televisi untuk terus melestarikan alam. Saat itu,
Vi masih belum tahu dan mungkin tidak tahu atau tidak akan pernah
tahu kalau sesungguhnya teriakan-teriakan itu bisa jadi sebuah
omong kosong—bagi sebagian manusia. Bahwasanya, justru
binatanglah dengan nalurinya terkesan manusiawi. Seperti pagi yang
selalu menyuarakan harap baru, bak tangis pertama bayi lahir yang
membuat ibunya tersenyum dengan harap baru, Vi pun selalu
memiliki harap bahwasanya akan ada dan selalu ada dan pasti ada
manusia-manusia lain yang lebih manusiawi.
“Vi, maafkan kami. Bukan maksud kami untuk—”
“Tak apa Pak Pohon Mahoni. Toh, memang manusia
begitulah adanya. Aku pernah mendengarnya dari radio yang kucuri,
kalau pembakaran lahan sebenarnya banyak yang menentang.
Besabarlah sebentar lagi,” sial. Hanya itu saja yang mampu Vi
ucapkan. Adakah kata-kata bijak yang seharusnya mampu dituang
lebih dalam secangkir pembicaraan singkat kami? Vi takut
melemparkan pengharapan palsu pada mereka. Sama halnya jika

78
seekor ikan yang coba melompat-lompat dan mendapati dirinya
terlempar di daratan—cemas.
“Akhirnya, Ayah menemukan Ibu baru untukmu Vi,” kata
Ayah malam itu. Dan Ayah persilahkan masuk begitu pintu rumah
berdecit menimbukan nada kasar setelah gadis kecil itu membuka.
“Vi, ini adalah Ibumu. Sekarang ia menjadi Ibumu,” ujar
Ayah setengah merayu. Ia mengelus rambut panjangnya yang
terjuntai. Matanya menyala, menandakan harapan besar agar Vi
menerima.
“Duduklah sini sayang, sapa anak kita,” gumam Ayah pada
wanita cantik yang berdiri di belakangnya yang ia sebut-sebut
sebagai Ibu. Matanya lebar dengan bulu mata lentik, badannya
langsing, tinggi, dan porposional. Hidungnya kecil namun tetap
terlihat mancung dengan wajah lonjong dan kulit putih seputih salju.
Senyumnya sungguh manis sekali. Ia melempar senyum kepada Vi,
dan mencoba meraih untuk memeluk Vi dengan sedikit agak
jongkok. Vi membuang muka. Acuh.
“Aku tak ingin memiliki ibu tiri,”ucapnya pada Ayah.
Baginya, Ibu adalah Ibu. Bukan dia ataupun mereka pilihan Ayah
yang dengan seenaknya menyebutkan sebagai Ibu.
“Hus, jangan bicara macam itu, tidak ada ibu tiri. Ibumu
sudah tenang duduk manis dengan Tuhan. Sekarang dialah yang
memerankan sebagai Ibumu,”katanya. Tatapannya melirik kepada
gadis kecil itu dan bergantian pada wanita yang tiba-tiba wajahnya
setengah agak sedih. Ayah memeluknya didepan Vi. Wanita itu balik
tersenyum manja.

79
Itulah awal dimana Vi memutuskan untuk kabur dan pergi
ke Rimba. Vi tak ingin hidup susah karena ibu tiri yang jahat seperti
yang selalu ditayangkan di televisi. Rambutnya yang panjang
menjuntai nan bersih, berubah kumal dan menjadi rumah yang
nyaman bagi kutu. Kulitnya menjadi gelap. Matanya juga gelap,
bahkan lebih gelap dari langit malam yang mendung. Badannya
semakin tak terurus dengan beberapa kotoran yang menempel dan
memeluk. Pakaiannya kucel dikoyak angin dan debu. Tapi kakinya
menjadi sangat kuat seperti kaki kijang.
Sebelum pelarian, Ayah mencoba meraihnya dan memeluk
bertiga bersama wanita tak jelas—wanita yang diinginkan Ayahnya
menjadi Ibunya. Vi berontak menjelang tubuh Ayah yang geming.
Hingga beberapa air matanya jatuh tanpa suara.
“Vi, hanya kaulah yang mampu menolong kami,”rintih
Pohon Mangga. Vi tersentak. Rintihan Pohon Mangga menariknya
dari kedalaman lamunan menuju permukaan—kesadaran.
“Vi memang manusia. Tapi bagaimanapun, dia tetaplah
anak kecil!”
Gadis kecil itu tahu jelas watak Pohon Mahoni tua. Ia
membela Vi. Sesaat Vi membenarkan lengan baju yang beringsut
yang bertahun-tahun lalu merupakan hadiah dari Ayah. Vi melihat
sekeliling. Pohon Mangga dengan wajahnya yang cemas, Burung
pipit yang sedari tadi sibuk membetulkan sarangnya, dan tentu pohon
besar tua yang tengah mengayunkan lengan dahannya untuk
membuat gerakan ayunan—Pohon Mahoni.
Kasus pembakaran lahan di Pulau Kalimantan sebenarnya,
gadis kecil itu—sebagai manusia—tak tahu benar bagaimana duduk

80
persoalannya. Sepertinya setiap beberapa tahun sekali memang harus
ada pembakaran lahan yang menyebabkan asap tebal.
“Baik. Akan aku matikan sumber api agar tak ada asap
lagi,”ucapnya mantap. Dengan pemikirannya yang masih kanak-
kanak, ia berfikir bisa menghentikan pembakaran ini dengan
mematikan sumber api? Sungguh konyol.
Pohon Mahoni menunduk dengan ceruk bulan sabit di
wajahnya. Ia menggugurkan daunnya banyak sekali.
“Kenapa?” tanya Vi dengan mata yang berbinar.
Pohon Mahoni sedih. Ia mematahkan beberapa ranting dan
melemparnya ke Pohon Mangga. Ia sungguh tak tahu bagaimana ia
menjelaskan kepada Vi kalau masalah ini bukan sesederhana itu.
“Vi, pembakaran di hutan ini besar. Sungguh. Kau lihat jika
sumber api sudah padam, jilatan api lain akan menimbulkan sumber
api yang baru,”seru Pohon Mangga yang kesal karena dilempari
ranting-ranting patah oleh Pohon Mahoni. Ia takut, buahnya rusak.
“Kalau begitu, suruh katak untuk memanggil hujan yang
besar. Hujan yang tumpah ruah sehingga membuat manusia usil itu
takut,” usul Vi.
Pohon Mahoni dan Pohon Mangga hanya diam. Terdengar
Pohon Mahoni menghela nafas panjang.Tirai malam kini mulai
terbuka. Senja dengan semburat kuning tembaga menimbulkan siluet
Vi yang tengah duduk di ayunan. Matanya masih saja menyala-
menyala mencoba meyakinkan Pohon Mahoni akan idenya yang
cemerlang.
“Kalau begitu, coba kau berlari di pintu rimba ini. Bujuk
manusia dewasa itu untuk menghentikan pembakaran,” kata Burung

81
Pipit dengan merebahkan tubuhnya ke sarang yang selesai ia
bersihkan. Sontak Pohon Mahoni langsung menatapnya tajam. Ada
sedikit kemarahan dalam batinnya. Sebenarnya, ia cemas kalau-kalau
manusia itu juga menyiksa Vi, seperti menyiksa penghuni rimba
dengan pembakaran lahan dan asap hasil pembakaran yang kian
meresahkan.
“Sudahlah mahoni, toh gadis kecil itu juga manusia kan?
Bukankah manusia hanya akan mendengarkan manusia?” Jelas
Pohon Kelapa yang sedari tadi hanya diam.
Vi pun beranjak. Ia pamit pada Pohon Mahoni—ayah
angkatnya. Tepat ketika cahaya benar-benar tertelan oleh malam, ia
berlari. Langkahnya menghempaskan daun-daun yang sengaja
digugurkan oleh Pohon Mahoni. Gadis kecil itu semakin mengecil
dari pandangan. Ia semakin jauh dan menghilang menuju pintu rimba
yang kian gelap.
Kami mengharapkan kabar baik darimu, Vi. Bisik Pohon
Mahoni dalam hati.

Semarang, 17
April 2017

Nafsu Menuhankan Nafsu


Oleh: Junaidi
(13 November 2016)

Dengan ini hamba menarik diri untuk tidak mengikuti titah-Mu,

82
Keputusan yang mengejutkan keluar dari kebijaksanaan
seorang ulama besar berasal dari desa dengan keagungan alam yang
tak bisa dibantah kesuciannya. Temanku pernah mendengar ia
bercerita tentang desa suci itu, bahwa kebajikan di sana akan
langsung terbalas dengan kebajikan, begitu juga kebatilan akan
terbalas dengan kebatilan.
Ulama besar berasal dari desa suci ?.Ya. Dari desa indah
dan suci itu ulama besar berasal. Ulama besar dari desa suci memang
tergolong ulama nyentrik dengan wawasan keagamaan agak sedikit
membingungkan. Karomahnya bukan lagi luar biasa tapi menggila.
Keputusan dia sangat mencengangkan. Seseorang yang berseru
kemuliaan dan keesaan Tuhan telah memutuskan tali ikatan aqkidah
hatinya dengan jelas dan terang di muka seluruh jemaah pengajian
malam Jumat. Mengejutkan!. Ia membuka sorban putih yang selalu
melilit di kepala kemudian membuang dan menginjak-injak kain
panjang berwarna putih itu dengan penuh kebencian. Jemaah
pengajian menganga melihat kejadian yang itu. \Mereka menangis
dan berteriak penuh cinta dengan sisa-sisa ketidakpercayaan
“K... Kyai.. Apa yang Kyai lakukan?” Seorang jemaah yang
paling setia pada sang ulama protes dengan hati-hati.
Sang panutan tersebut masih saja bergeming. Ia lalu berlari
dengan tergopoh-gopoh hanya dengan memakai celana pendek dan
kaus oblong berwarna putih.
Sejak kejadian itu, tak ada kabar lagi tentang sang kyai
panutan desa. Terhitung sudah sewindu ia menghilang tanpa
meninggalkan jawaban atas kebingungan para jamaah atas sikap dia
sebelum menghilang.

83
Selama sewindu ini jemaah setia sang panutan hidup
dengan terkaan-terkaan pandangan mereka sendiri. Tidak lagi ada
sang panutan di tengah-tengah mereka, yang mengajari tentang
berketuhanan kepada Tuhan dan berkemanusiaan kepada manusia,
serta bernegosiasi dengan sesama makhluk hidup.
Kini manusia hanya bersekongkol dengan manusia dan
binatang buas bersekongkol dengan jenis-jenis mereka. Sedangkan
tumbuhan dan keindahan alam yang menjadi corak paling berharga
di desa itu menjadi sasaran kesesatan manusia. Keberadaan tujuh
keindahan desa suci yang dahulu kala melangit hampir di seluruh
perasa manusia di luar penduduk desa suci. Keindahan-keindahan itu
berupa malam yang tak satu pun insan jelita keluar, tak seekor
serigala pun mengaung atas hadirnya kecaman malam pada
umumnya. Juga malam tanpa tangisan perawan yang hamil karena
ketakutan dan kekecewaan, berganti pagi tanpa uapan seorang
remaja beranjak dewasa dengan mengutuk hidupnya, siang tanpa
terik matahari yang begitu menyengat, serta senja dengan tanpa
sebuah penyesalan menyedihkan bagi kaum berambut putih, bergigi
gusi dan berkulit keriput tanda penuaan. Tujuh keindahan yang
sering membuat iri desa lain, tidak lain tujuh keindahan tersebut
ialah buah hasil dari kepatuhan para pengikut setia kepada sang
panutan dari desa suci itu.
Bahwa hanya dengan menurutlah keindahan itu tercipta,
sebuah kebiasaan pola pikir yang tertanam menghujam terdasar otak
dan hati para pengikut setia sang panutan, namun kini mereka
kehilangan sang panutan sementara ketergantungan atas wibawa

84
sang panutan telah menjadi oksigen bagi keberlangsungan kehidupan
indah di desa suci tersebut.
***
Di tengah sepetak kebun anggur, sang panutan tertawa.
“Aku sang panutan?, benarkah demikian,, hahaha.” ia
melanjutkan menengguk anggur hingga habis dan tertidur sekian
tahun.
Disebuah desa suci bekas keindahan mengalami kekacauan
besar. Sendi-sendi kehidupan sudah berangsur-angsur hilang dari
peradaban agung sewindu silam.
“Ke mana perginya sang kyai?” sebuah pertanyaan paling
klise yang sering berada di benak para pengikut setia sang panutan,
terutama seseorang yang pernah protes atas perilaku sang panutan
saat pengajian malam terakhir sebelum sang panutan menghilang.
“Hanya tersisa kamu, Lim!”
“Apa maksudmu, Kang?”
“Hanya tersisa kamu yang sampai saat ini masih
mempergunakan loncatan-loncatan pengetahuan berketuhanan,
berkemanusiaan dan bertoleran dengan sesame. Rasanya aku makin
tua setelah sewindu kurang sebulan ini kuhabiskan untuk merenungi
kejadian malam itu. Malam yang kukira sebuah kejadian akhir dari
semua keindahan dan keagungan tatanan kehidupan kita ini. Apa
sebenarnya yang terjadi dengan panutan kita itu? Tapi tidakkah
terlalu aneh jika dia tidak memberikan sepatah kata pun sebelum
meninggalkan desa ini.”
“Kang, berat rasanya menjelaskan semua ini di hadapanmu.
Namun sekarang sampean telah kembali dan sadar. Selekas sang

85
panutan pergi ditengah kita malam lalu, sampyan tak sedikit pun
beranjak di samping kursi rotan kesukaan sang panutan. Dari mana
sampean tahu tentang kerusakan sendi-sendi kehidupan di kampung
ini? Sementara sampean hanya duduk memejamkan mata sambil
mengetuk-ngetukkan jari telunjuk pada kening. Apa yang sedang
sampean sembunyikan dari desa kita ini? Ada apa, Kang? Tolong
segera selamatkan desa kita ini, Aku sudah tidak tahan melihat desa
ini bertambah hancur.”
“Kang!, jangan kembali terpejam!
***
”Di semak belukar bawah pohon anggur, aku merasakan
kehadiranmu. Aku menemukanmu kasihku! Aku tak sanggup jika
engkau menjauh lagi dari hidupku. Sang panutanku, apa yang
terjadi? Sehingga panjenengan tega melakukan ini pada kami,
apakah kami kurang taklim ? atau kami bukan tujuan akhir dari
pengembaraan kebenaranmu?. Tuanku, jawablah kerisauan ruhku
ini. Semua pengikut setia jemaah pengajian telah merindukanmu.
Sebagian besar dari mereka telah membelok ke jalan sesat.”
Sementara tujuh keindahan desa suci telah lama mati. Aku
korbankan nyawaku untuk menebus penyebab kemurkaanmu pada
desa suci kami, Tuanku.
“Bergegaslah !, Tinggalkan tempat ini,”.
Lim, menyusulku. Disebuah persimpangan sebelum pohon
anggur kutemui ia.
“Lim, aku pamit. Ikhlaskan aku. Aku titip desa suci dan
indah ini kepadamu. Pulanglah! Jangan menemui dia. Sebentar lagi
mungkin dia akan memperbaiki kerusakan di desa kita.”

86
Lim tak mendengarku, ia tetap melanjutkan langkahnya.
Ternyata aku telah mati sehari setelah pujaanku pergi. Dan kejadian-
kejadian yang aku alami ialah belas kasih kekasihku, sang panutan
desa suci nan indahku. Lim tetap menemuinya. Ia meneteskan darah
segar dari mata, setelah air matanya terkuras habis selama hampir
sewindu melihat pelbagai kerusakan desa suci yang indah
“Berakhirlah kau Lim!”.
Ia jatuh dan menimpa jubah yang kubawa untuk pujaanku,
untuk sang panutan desa suci nan indah. Sementara kekehan tawa
yang pernah aku dengar pada malam Jumat terkahir pengajian di
desa suci nan indah kudengar kembali. Ya. Itu suara tawa kekasihku!
Benar Ia telah kembali.
Pada sebuah padang ilalang aku dipertemukan dengan Lim.
Kali ini ia melihat dan mengajakku tertawa bersama-sama
merayakan kemenangan atas berakhirnya paceklik moral di desa suci
nan indah kami. Aku melihat dia dengan jelas. Dia memakai jubah
yang kubawa di bawah pohon anggur, lalu memakai sorban yang
dibawa oleh Lim untuknya. Dia tersenyum pada kami lalu
mengawali pembicaraan tentang Tuhan.
Dia tersenyum kembali, lalu menghilang dengan
dihantarkan cahaya terang lalu redup dan mati. Ia kembali pada
dirinya. Lim benar, akulah penyebab kehancuran desa suciku, karena
dia bukanlah Tuhan. Dia hanyalah utusan Tuhan yang selama ini aku
bunuh. Dengan kepercayaanku menyembahnya, maka ia
menghendaki atas permohonannya dengan Tuhannya untuk
menghancurkan desa suci nan indah kami dan tujuh keindahannya.
Atas teguran kemusyrikan kami, menyekutukan Tuhan dengan nafsu

87
dan kegilaan cinta kami yang berlebihan dengan desa suci nan indah
yang fana.
Tuhan mengutus cahaya menjadi sang panutan yang aku
Tuhankan untuk menguji akidah hamba desa yang di anugerahi
kesucian dan keindahan. khusuhnya akulah yang mengikrarkan
Tuhan kepadanya, atas perintah nafsuku mencintai desa suciku dan
merasa dicintai keindahan cahaya yang menggiurkanku, hingga
mendatangkanku sebuah penyesalan, kehancuran desa suciku telah
ku simpulkan adanya nafsu angkara murka, dan jerat bisikan setan
untuk mencintai keindahan menipu imanku, melupakan Tuhanku,
ampunilah aku, Tuhan azza wajalla!
Dengan ini hamba menarik diri untuk tidak mengikuti
titahmu, Nafsu!

88
T(OBAT)
Oleh: Junaidi

Kututup mataku. Kuhembuskan napas yang entah tinggal


berapa jengkal. Dalam keadaan sekarat ini, aku masih mengingatmu
sebagai kecintaan dalam setiap keagungan.
Sekian waktu aku menurut pada semua titah yang kau
gariskan sebagai takdirku menjadi pengikutmu, aku merasakan pula
cinta itu tumbuh dihatiku. Kata orang-orang yang turut mencintaimu,
aku adalah orang yang beruntung. Aku sangat bangga ketika pujian
mengucur padaku karena aku menjadi pengikut setiamu. Setiap yang
mengakuimu, pun mengakui adanya aku. Bukan sebagai budak,
hanya sebagai pengikut yang harus manut pada apa yang kau tuntut.
Aku tidak kau perkenankan membangkang, bahkan hanya pada
sesuatu kecil yang kau larang. Sungguh, kau benar-benar penguasa
yang semena-mena berkuasa. Namun bagaimana bisa mereka
menjadi penganut yang patuh pada kehendakmu?
Seperti apa yang aku lihat, maka lihatlah pula mereka.
Lihat! mereka adalah para kacung yang kau kehendaki menjadi
kacung selama waktu yang kau tentukan. Mereka menurut begitu
saja, dan justru bangga. Dalam setiap rasa bahagia mereka, tak lupa
namamu disebutkan pula, dielu-elukan sebagai penyebab
kekacungan mereka. Tapi aku yakin, mereka sejatinya lupa bahwa
kau adalah penguasa mereka yang sebenarnya. Aku heran, mengapa
bisa demikian. Pekerjaan sebagai pesuruh diperebutkan dan
dibangga-banggakan. Bahkan pada setiap pemilihan, selalu

89
dimeriahkan dengan janji-janji yang kapan akan mereka wujudkan,
mereka pun tak bisa menentukan.
Hahahaa, apa hanya di sini saja? Apa hanya di alamku saja?
Kacung menjadi sesuatu yang diperebutkan, bahkan tak jarang
menjadi penyebab pertikaian sesama sanak saudara. Telah banyak
sekali cerita yang mengisahkan tentang kelucuan ini. Pesuruh yang
semestinya banyak dihinakan orang, di negeriku di idam-idamkan.
Mereka lupa bahwa sejatinya pesuruh itu bekerja untuk majikannya,
bukan menindas dan memakan hak sang majikan. Seperti penjilat
saja. Kacung-kacung di alamku sungguh sangat pelupa. Aku masih
heran, mengapa penguasaku tetap diam.
Tak tahu diri memang mereka itu. Kacung tak tahu diri.
Pantasnya memang kusebut seperti itu. Tapi penguasaku, kenapa kau
biarkan itu? Lihat, mereka begitu semena-mena melebihi semena-
menanya kau. Tapi kenapa tak kau lakukan sesuatu yang buat
mereka ingat, bahwa mereka hanyalah kacungmu, sama seperti aku?
Ah penguasaku, jangan mau dilemahkan seperti itu, bersikaplah adil
seperti syair-syair yang telah diciptakan orang-orang untuk
memujimu, bahwa kau adalah penguasa yang adil. Aku telah lama
menurut padamu, tidakkah kau hargai raunganku? Barang
sedikitpun, agar aku juga merasakan bahwa kekuasaanmu melebihi
raja-raja ampuh yang dahulu dikisahkan pernah dihidupkan waktu.
Ketika para kacung itu masih tertawa-tawa dengan
kecongakan atas kekacungan mereka, aku masih merana karena
ketidakadilan, namun begitu aku masih tetap mengikutimu. Aku
tetap yakin, bahwa kekuasaan mereka tak akan melebihi

90
kemampuanmu atas pengendalian segala hidup. Baik itu milikku,
milikmu, ataupun mereka.
***
Penguasaku aku tau kau mengerti, bahwa ibu dan bapakku
juga penganut setiamu, mereka selalu melakukan apa yang kau
suruh, mereka pun selalu berpayah untuk menjaga diri agar tak
melakukan yang tak kau bolehi. Namun bagaiman bias, oh
penguasa? Kehidupan kami menjadi begini sulit. Adakah kau
memberi hanya pada yang kau ingini saja? Seperti para kacung yang
bangga dengan kekacungan mereka. Bahkan mereka bukan penurut
padamu, bahkan mereka adalah pembangkang setia, yang berusaha
mengambil alih kuasa darimu. Apa yang kau mau, penguasaku? Apa
yang sebenarnya kau kehendaki dari kami para pengikutmu?
Demikian aku menjadi seorang yang bukan aku yang
menurut lagi padamu, karena aku dengan sedikit demi sedikit
memilih untuk memutus tali kepatuhan pada yang kau inginkan. Aku
menjadi aku yang aku mau, bukan atas kehendakmu. Perintah yang
kau titahkan dan dijadikan pedoman ibu serta bapakku bertahun-
tahun lalu, kutinggalkan seenak jidatku. Kukira tak apa aku
membangkang padamu sesekali waktu. Toh patuh pun tak
memberiku jaminan tersenyum sewaktu-waktu.
Pertanyaan-pertanyaan kemudian muncul di benakku.
Benarkah kau memang ada untuk selalu kupatuhi atas segala yang
kau perintahkan? Ataukah aku yang bersalah jika menjauhimu untuk
kebahagiaanku, yang bahkan tak pernah kau berikan sesuai dengan
kehendakku. Orang-orang bilang, kau baik dan mau memberi apa
yang diminta. Hanya dengan menengadahkan tangan dan menunduk

91
sujud, maka semua yang orang-orang harapkan kau kabulkan.
Namun, kenapa tidak padaku? Padahal aku sudah selalu menurut
pada semua perintahmu.
Dengan berbagai anggapan tentang cintaku yang tak kau
balas dan rasa sakit hatiku karena sikap ketidakadilanmu, aku
putuskan mundur dari ikatan kekuasaanmu. Besar rasaku tak kau
balas dengan pantas, sehingga rasa-rasanya aku menjadi korban
ketidakadilan atas kesemena-menaanmu. Aku tau diriku hanyalah
pengikut setiamu, namun apakah tidak semestinya kau pun tau
tentang perasaanku? Sedikit pun. Paling tidak, balaslah rasa itu
dengan perlakuan adil yang tidak menyebabkan kecemburuan antara
aku dan kacung-kacung itu.
***
Malam ketika bulan pada bukit mawar bersinar tepat di atas
kepala, kupersembahkan cinta dan ketulusanku pada makhluk
selainmu. Kulampiaskan cinta tak terbalasku padanya. Kutatap
dalam remang, dibawah pohon pinus yang menjulang ke langit
penuh bintang. Sinaran bulan itu semakin menusuk mata. Kurasakan
hadirmu, turut dalam pelampiasan cintaku. Apa yang kau mau?
Ketika kau tau aku mencintaimu, tak kau perlakukan dengan adil
seperti waktu lalu. Namun kini, ketika aku tengah bercinta bukan
denganmu, matamu mengikutiku. Apa sikap semena-menamu tak
cukup hanya jika mengikat mereka yang terlalu suka untuk patuh
padamu?
Seketika kulihat kilatan sinar di samping padang rembulan.
Seolah kau kedipkan matamu penuh isyarat. Membangunkanku dari
kecongkakan atas cintaku yang berharap keadilan darimu, padahal

92
aku hanya pengikut dan kau adalah penguasaku. Demikian kau
katakan dalam bahasa kalbu, yang dapat kuterjemahkan adalah aku
yang kau kehendaki ikut denganmu, sebagai pembuktian
kesungguhan cintaku.
Nadi dalam darahku tak terasa mengalir. Detak dalam
jantungku melemah dan bahkan untuk menatap pohon pinus yang
menaungiku, satu sudut mataku telah layu. Paru-paruku sudah tak
dapat menukar oksigen menjadi karbodioksida. Pinus-pinus yang
menjulang di antaraku hanya mampu memandang, bahwa Izrail telah
mendatangiku. Gemertak gigi-gigiku tak mungkin dapat kututupi
lagi. Makhluk seram itu melolok tepat di hadapanku. Sontak aku
berteriak dan terbangun dari komaku yang sepersekian detik lalu
kurasakan memenuhi jiwa.
Kuungkapkan dengan lirih dan perasaan penuh salah,
bahwa aku mengaku masih mencintaimu, dan aku tau kau pun
mencintaiku. Namun ambisi dan kesombonganku mengantarkan aku
pada pembangkangan yang tak semestinya pantas kulakukan. Dalam
setiap jengkal nafas, kupersembahkan pujian cinta padamu. Dan
dalam setiap tetes nadi, kurasakan besar keagungan cintamu padaku
melebihi yang aku miliki untukmu. Aku masih sangat kecil untuk tau
kuasamu lebih. Kerena kebodohanku memutuskan membangkang
dari titahmu, kini aku menjadi tahu bahwa yang sejatinya cinta
adalah kau. Bukan apapun dan siapapun selain kamu.
Ampunkan kecongakanku atas ambisi keduniaan yang aku
tau itu justru membunuhku sebelum aku mati. Maka penguasa
cintaku, terimalah pengakuan dan permohonan ampunku.

93
Kudus, April ‘17

94
Gadis Kecil dan Kisah yang Ia Bawa dari Masa Depan
Nanda Aziz Rahmawan
2111415031

Pagi-pagi benar pintu kamar Bad diketuk dengan keras.


Matanya masih sayup dan organ-organ tertentu di tubuhnya masih
belum berfungsi dengan baik. Beberapa posjaringan tubuh masih
bergerak lamban untuk menerima perintah dari otak, tapi pintu
kamarnya makin keras diketuk. Sungguh, perkara semacam ini
cukup kecil, namun hal ini bisa saja menjadi pemicu terjadinya hari
terburuk sepanjang masa seseorang, berkat mood awal hari yang
terganggu.
Lalu, dengan langkah setengah menyeret yang terbunyi
suara decit cukup konstan di lantai, Bad menuju pintu yang di
baliknya terdapat makhluk keparat pengganggu tidurnya pagi
ini.Sambil memikirkan—dengan lamban—hadiah pukulan macam
apa yang pantas diberikan kepada makhluk itu.
Penglihatan Bad masih samar-samar ketika sampai di pintu.
Ia buka dan ada gadis kecil di sana. Rencana memukul ia urungkan.
Bad tanya, siapa? Dan ada apa? Gadis kecil tetap bergeming.
Mungkin saja sedang tersesat, pikir Bad.
“Aku anakmu di masa depan,” ungkap gadis kecil tiba-tiba
dengan raut wajah datar.
Alih-alih mengonfirmasi kebenaran informasi itu, Bad
justru menyilakannya masuk, duduk lesehan di kamar kosnya yang
seukuran toilet mewah hotel bintang empat.

95
Kantuk Bad hilang sekejap. Ia lihat muka dan raut wajah si
gadis kecil. Benar saja dia mirip denganku, pikir Bad. Hidungnya
yang cukup mengembung dan bundar, mata yang sebesar biji salak,
sertatelingayang cukup mungil seperti sarang lebah di asbes depan
pintu kamar kosnya. Semua nyaris sama. Gaya bicaranya yang sok
besar dan angkuh juga menekankan keabsahan perkataannya.
Seakan-akan Bad melihat versi perempuandaridirinya.
“Maaf berantakan. Aku belum kepikiran untuk
membereskannya. Kau tahu, lelaki buruk dalam hal ini,” ungkap Bad
untuk mengurangi kegugupan akibat mendapati kesamaan struktur
wajah dan gaya bicara gadiskecilitu.
Gadis kecil masih bergeming. Matanya kemudian menyisir
ke seluruh sudut kamar Bad. Pandangannya berhenti pada sepenggal
foto perempuan di meja belajar. Foto pacar Bad. Aku belum tanya
siapa istriku, mungkin saja ia menerka dan menyelaraskan wajah
Ibunya dengan foto itu, pikir Bad.
Ekspresigadiskecilituperlahan berubah. Iamelipatwajahya
menjadi satu menuju pusat –di mata. Air matanya keluar. Ia
menangis. Suara paraunya keluar. Mulanya ia mengisak pelan. Kini
berubah menjadi tangisan keras –nyaris menjerit.
Bad panik bukan main. Daripada bertanya kenapa, Bad
langsung beranjak ke dapur. Menyiapkan secangkir coklat panas.
Orang bilang, cara terbaik menenangkan anak adalah dengan coklat
panas, akhirnya langsung coba Bad praktikkan saja.
Bad sodorkan coklat panas itu. Alih-alih diam dan
menyeruputnya, gadis itu justru menambah keras volume suara
tangisnya. Bodohnya aku. Dia kan dari masa depan, mungkin saja,

96
berkat perkembangan budaya dan teknologi di masa depan, cara
terbaik menenangkan anak bukan lagi dengan coklat panas,
melainkan hal yang sama sekali tidak kuketahui, pikir Bad
kelimpungan.
Kali ini coba Bad goyangkan tubuh si gadis dan tanyakan
mengapa ia menangis. Si gadis masih mengisak keras.
Bad memegang kepala sambil memutar otak. Mencari cara
bagaimana menenangkan gadis kecil. Atau paling tidak tahu
penyebab gadis kecil itu menangis. DahiBad tidaklah berkerut, tapi
Tuhan tahu bahwa Bad sedang memikirkan dengan keras cara
terbaik untuk itu, bahkan seolah tidak ada lagi hal yang layak dia
pikirkan di kemudian hari.
Lima belas menit berlalu, air mata gadis itu tak kunjung
habis. Kegiatan pemerasan otak Bad juga tak kunjung selesai.
“Kenapa? Perlu uang jajan?” Akhirnya Bad mencoba
membuka pertanyaan kembali dengan sedikit memancing. Gadisitu
menggeleng.
“Minta boneka?”
Ia masih bergeming.
“Coklatnya terlalu panas?”
Ia tetap bergeming.
Keparat! Pagiku telah diganggu dua kali. Pertama ketukkan
pintu yang keras dan memaksaku untuk terjaga. Kedua oleh
tangisannya. Terlebih hanya oleh satu gadis, yang mengaku anakku
di masa depan, pikir Bad. Oh! Sungguh perempuan, dengan cara
tertentu dunia bisa tunduk terhadapnya, harimau jantan yang ganas
bisa dijadikan seperti kucing betina penurut, atau lebih empiris dan

97
praktisnya, Adam bisa turun ke bumi dari surga ya berkat tabiat
Hawa itu. Sejarah mencatat banyak lelaki hebat yang kemudian
gagal dan jatuh berkat tabiat seorang perempuan. Rasyid Khalifa
dalam Haroun and the Sea of Stories kepunyaan Salman Rushdie
juga kehilangan kemampuan mendongengoleh sebab ditinggalkan
istrinya.
Bad coba menenangkandiri. Sebagai orang tua, aku harus
jadi contoh yang baik, pikir Bad.
***
Sepuluh tahun setelah kejadian tadi, gadis kecil duduk di
depan meja. Di atas meja, di antara kedua tangannya terdapat buku
tipis terbuka. Buku pelajaran. Ia sedang mengerjakan PR. Tangannya
ia gunakan untuk menyangga kepala. Keningnya berkerut. Ia tampak
kebingungan dengan soal yang ada di buku pelajaran itu –mungkin
saja.
Boleh jadi di masa depan, utamanya di era anak Bad
sekolah, kurikulum yang cukup gila dengan berbagai indikasi
ketimpangan kebutuhan sebenarnya bagi seorang anak, lebih
merajalela, bahkan mungkin sudah terang-terangan menganggap
subjek belajar sebagai kelinci percobaan. Tapi tentu itu barangkali
saja. Bisa saja di masa yang akan datang, justru kemampuan otak
manusia lah yang berkurang, maka itu diajak berpikir sedikit susah
saja kening sudah berkernyit sedemikian pucatnya.
Namun begitu, tak usahlah dipikirkan lebih jauh, toh jarak
waktu antara pertemuan Bad dengan anak gadisnya dengan kejadian
ini hanya terlampau sepuluh tahun. Tentu dua fenomena yang sudah
disebutkan di atas punya kesempatan lebih kecil untuk terjadi.

98
Kembali ke cerita, gadis kecil yang mengaku anak Bad itu
kali ini sedang menulis di halaman belakang buku pelajarannya.
Mama, kenapa matahari di malam hari lebih gelap?Mama, kenapa
es krimcoklat warnanya coklat?
Kita lihat ada tulisan itu di halaman belakang buku
pelajaran si gadis, dan kita lihat pula mata gadis itu sendu dan
berkaca-kaca, menahan air matayang siap tumpah kapan saja. Tapi
sayang, dia hanya sendirian, tidak ada seseorang yang bisa jadi
tempat ia mengadu, menangis pilu, tidak ada tangan yang
mengulurkannya es krim coklat kesukaannya, atau paling tidak tisu.
Ia kesepian.
***
Hampir satu jam berlalu, isakannya sudah mulai mereda
kala seorang tetangga kamar Bad menggedor pintu kamar kosnya
yang sudah ditutup oleh Bad beberapa saat setelah ia mengambil
coklat panas tadi.
Seolah ide bisa dicuri di udara, mendadak Bad
menemukaan cara menenangkan sigadis kecil. Ia memeluk gadis itu
cukup erat, membisikan beberapa kata. Rupanya metode itu cukup
efektif melihat si gadis yang sudah cukup tenang.
“Sayang, kenapa? Jangan nangis, sini cerita sama Papa,”
bisik Bad selanjutnya dan gadis kecil itutelah benar-benar selesai
mengeluarkan air mata.
Si gadis mengusap air matayang masih tersisa di muka.
Cukup lama ia mengusap, sebelum ditunjuknya foto yang ia lihat
sebelum menangis tadi.

99
“Kenapa, sayang? Ada perlu apa menemui Papa? Mencari
foto itu?” tanya Bad cukup cerewet.
“Papa janji ya, jaga Mama sampai aku besar?” ucapnya
menurunkan tangan dan balik memeluk Bad. Kali ini suaranya
terdengar sangat menenangkan, sungguh jauh berbeda dengan awal
perkataannya tadi, pikir Bad.
Bad kemudian balik menangis. Dipeluknya lebih erat gadis
kecil.Tidak pernah ia merasa sebahagia ini. Seharusnya, mentari
terbit sangat cerah pagi ini, pikir Bad.
***Selesai***

100
Penganut Humor Garis Keras dan Temannya Yang Lupa Cara
Tongkrongan
Nanda Aziz Rahmawan
2111415031

Alkisah, hiduplah seorang pemuda dengan tampang aneh —


kalau dipikir wajahnya mirip dengan ikan gabus meski tidak sejelek
itu— dan kepala yang isinya hanya sebesar butir jagung. Tentu
kalian tahu itu tidak diartikan secara gamblang dan denotatif. Untuk
alasan eleganitas, juru cerita sengaja membubuhi kata-kata hiperbol
dan majas lain yang mungkin saja muncul pada cerita ini nanti.
Lanjut saja ke cerita. Pemuda itu gemar dan pandai
bercanda, bahkan tak ada yang yakin kalau dia tahu definisi serius.
Untuk sedikit meyakinkan ada satu fakta medis yang cukup
membuktikan, yakni kejadian lima tahun lalu selepas diberi tes
kejiwaan atau psikologis oleh ahli, data mendaku Indeks
Kelucuannya berada pada angka yang fantastis. 8,3 dari 10. Namun
jangan salah, sejarah mencatat bahwa pemuda itu berada di angka
tertinggi pada indeks tersebut di negerinya —menurut psikolognya—
dan ini cukup masuk akal mengingat siapa pun yang senang pada dia
pasti tahu bagaimana perangainya, selain itu fakta ini juga membuat
kita tahu alasan mengapa negeri ini begitu kaku dan rentan terjadi
konflik. Kebanyakan orang punya selera humor rendah.
"Angka yang fantastis! Baru pertama angka tersebut muncul
di negeri ini untuk indeks tersebut. Mungkin saja Anda akan jadi

101
orang penting suatu hari," ucap psikolog itu menggebu sewaktu si
pemuda menanyakan hasilnya.
Dan momen itu sampai sekarang masih teringat di
keningnya. Dengan pikiran yang sedikit nakal kadang ia mengira-ira,
bidang apa yang nanti mungkin saja bisa membuatnya melejit
menjadi orang penting seperti kata psikolog itu. Ekstrimnya bahkan
ia berpikir boleh jadi ia malah bisa memimpin negeri ini.
Mengentaskan kemiskinan, memeratakan dan menegakkan keadilan
sosial, membasmi korupsi, mendaulatkan pangan, memberdayakan
kemaritiman dan aneka sikap heroik lain. Tapi bayangan itu segera ia
hentikan setelah dengan tawadhu menerima sentuhan rohaniah dari
salah seorang guru ngaji di dusunnya,
"Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi, artinya tanpa
embel-embel raja, presiden, sultan dan lain sebagainya, kita tetaplah
seorang pemimpin untuk diri kita dan makhluk lain. Justru kadang
embel-embel itulah yg malah membuat kita lupa akan hakikat
manusia. Ingat satu hal, pemimpin itu bukan tentang yang melekat di
atas kepala kita, tapi apa yang ada di dada semua orang," ujar sang
guru pedoman di suatu kultum yang langsung diterima oleh akal
sehatnya.
***
Di suatu malam ia duduk termangu di kamar kosnya.
Matanya tampak nyalang, ekpresinya gagu, di sisi lain tangannya
meremas ponsel erat dan jemarinya sesekali mengetuk layar sebelum
kemudian menyala dan membuat matanya lebih nyalang kala melihat
notifikasi yang ajeg. Ia pemuda yang beruntung, tentu, di sisi lain
punya indeks kelucuan yang tinggi, ia termasuk pemuda yang lahir

102
di era warna-warni, era aneka informasi, era media ekspresi, era
permainan, era multi-realitas, dan sejumlah era-era lain yang bisa
didapatkan hanya dari satu genggam perangkat seukuran saku
celana.
Tapi saat ini ia sama sekali tidak memikirkan hal itu.
Dengan gerakan memutar, matanya tampak bosan lantas beranjak
dari tempat ia duduk yang empuknya melebihi rumput sintetis di
lapangan olahraga mana pun. Ia melangkah ke meja di pojok
ruangan, tak ada semenit berlalu dan ia sudah sampai ke tujuan,
tangannya menyambar setoples kacang polong. Ia mencengkeram
tutup toples itu erat. Dengan gerakan cepat ia putar dan terbukalah
tutup toples itu. Sambil melangkah kembali ke tempat duduk ia
mencuil dan menikmati kacang polong itu. Sungguh, harusnya ia
benar-benar sadar dan bersyukur bahwa ia termasuk salah satu dari
sekian banyak orang beruntung yang masih diberi kesempatan
makan kacang polong selezat itu.
Sepintas, malam ini dan cara ia membuka toples serta
makan kacang polong itu biasa saja, seperti malam-malam
sebelumnya, barangkali juga sama seperti malam-malam yang akan
datang, kecuali suasana di luar yang benar-benar lebih basah dari
keringat dan air mata bayi di perkotaan kumuh atau pendeknya di
luar sedang hujan deras. Namun tidak bagi orang-orang yang sudah
mengenalnya, ada semacam perasaan gelisah atau bahkan galau yang
ia simpan, terlihat dari cara ia mengunyah kacang polong itu.
Kita tak usah menerka jauh-jauh kegalauan apa yang sedang
dirasakan pemuda itu. Kita pastilah tahu tidak ada alasan biasa-biasa

103
saja yang bisa membuat pemuda pecandu humor seperti dia bisa
sedemikian gelisah.
“Tidak ada perubahan dunia yang terjadi di kamar tidur!”
Kalimat teman karib yang katanya ia kutip dari Eka
Kurniawan itu masih terasa di pucuk telinga seperti ada lalat yang
membuat tempat tinggal di sana. Dan makin ke sini ia makin tak tahu
maksud perkataan itu. Atau pendeknya, ia tidak terima kalau teman
karibnya mengejek dan mengajak ia bertengkar untuk pertama kali.
Kalau dipikir, salah juga menyebut ia sebagai teman karib
pemuda itu. Di mana-mana yang dinamakan teman karib pasti
pernah melakukan pertengkaran yang membuat hubungan malah
makin kuat. Naruto sekalipun bisa sedemikian dekat dengan Sasuke
karena ada pertengkaran besar yang bahkan mengancam dunia.
Soraya dan Rasyid bisa kembali membangun keluarga yang lebih
bahagia lantaran perpisahannya yang mendadak dan membuat
Harun rela berpetualang di dunia yang menembus realitas untuk
kembali menyatukan mereka. Atau tentang perselisihan politik di
belahan dunia mana pun, mungkin saja terjadi karena sebenarnya
kedua pihak-selisih itu adalah teman karib. Singkatnya, pemuda dan
temannya bukanlah teman karib, boleh jadi hanya sepasang lelaki
yang sering bertemu dan bertukar pendapat.
Tapi, apa pun itu terserah lah, toh saya sebagai juru cerita
dan Anda selaku pembaca tidak benar-benar peduli, yang terpenting
adalah, mengapa pemuda humor itu bisa sedemikian gelisah hanya
karena kalimat unconfrontative dari temannya itu? Bahkan bagi
Anda yang sudah mengenal dekat dia pasti tahu kegelisahan itu
seperti kegelisahan pejabat publik yang tak kunjung mendapat

104
proyek besar untuk membangun fasilitas layanan masyarakat baru,
atau seperti mahasiswa yang berkali-kali ditagih uang sewa kos oleh
ibu pemilik, sedang uang pemberian orangtua sudah ludes untuk
pacaran.
Untuk mengetahui apa yang terjadi, kita harus kembali ke
masa lalu, dan beginilah enaknya cerita fiksi, kita bisa seenak jidat
membuat kilas balik serinci apapun, dengan syarat masuk kaidah
logis sebab-akibat atau unsur kausalitas yang bisa diterima akal.

Beberapa jam lalu


Pemuda itu sedang mengetik di laptopnya, suara ‘tik’
cenderung monoton terurai dari tiap tekanan-tekanan jemari, huruf-
huruf baru berderet muncul di layar, membentuk suatu jalinan
gagasan yang utuh. Beberapa saat kemudian aktivitas yang ia mulai
dengan susah payah itu dihentikan di tengah perjalanan.
Tok.. tok.. tok...
Pemuda itu mandeg dan mulutnya terlihat memoncong,
seperti yang biasa dilakukan ikan lohan di belahan dunia mana pun.
Itu adalah reaksi alami lelaki yang tiba-tiba diganggu pekerjaannya.
Namun, sejujurnya ia ingin sekali balik mengejutkan si pengetuk
pintu dengan menyambut dan membuka pintu kamarnya lantas
melemparkan laptop. Tapi niat itu ia urungkan barangkali laptopnya
rusak karena terjatuh sehabis menabrak objek lemparan.
Dengan gerakan malas, pemuda itu beranjak sembari
menahan diri untuk setidaknya tidak menghadiahi tamparan pada si
pengetuk pintu. Kemudian, tanpa ada suara –baik decit pintu yang
dibuka pemuda itu maupun interaksi yang ia lakukan dengan si

105
pengetuk pintu- pertemuan yang menegangkan itu berlangsung
cepat. Dan kebetulan saat itu kita sedang melamunkan pekerjaan kita
sendiri sehingga tanpa kita sadari sudah melewatkan satu percakapan
mereka.
Sebenarnya keputusan yang benar juga apabila memikirkan
pekerjaan kita dan melewatkan satu bahkan setiap momen dalam
cerita ini, toh membaca cerita ini tidak akan benar-benar membuat
kita paham terlebih kandungannya sangat minim untuk diserap.
Kembali ke pertemuan itu, si pemuda menggeleng dan si
pengetuk pintu—yang kita tahu ialah teman karib pemuda— tampak
menggoyang-goyangkan telapak tangan di depan muka si pemuda.
Akhirnya percakapan selesai, si pengetuk pintu berlalu pergi dan si
pemuda kembali menghadap laptop dan kembali melanjutkan
pekerjaannya.
Itulah kilas balik yang terjadi. Saya tahu betul Anda pasti
kecewa dengan kilas balik ini. Tapi mau bagaimana lagi. Saya selaku
juru cerita tidak bisa seenaknya menambahkan cerita—eh tunggu
sebentar—coba kita lihat layar ponsel yang baru dibuka oleh pemuda
itu. Di layar tersebut tertera:
Seperti yang kubilang, aku tidak suka dengan tulisanmu di
facebook. Konfrontatif, subjektif, dan diskriminatif. Kau
terlalu memojokkan orang-orang kota.
Begitu kalimat pada gelembung berwarna putih.

Terserah. Itu kan esai, kau bisa berkomentar apapun. Yang


jelas itu pendapat pribadiku disertai alasan-alasan
konkritnya.

106
Bunyi kalimat di bawahnya bergelembung hijau.

Justru karena itu, lihat komentar di postinganmu itu.


Mereka tidak tahu kebenarannya dan kau menyebarkan
yang tidak-tidak. Kau kehilangan integritas sebagai
penulis, kawan.

Setelahnya tulisan itu kabur. Tidak, lebih tepatnya lantaran


pemuda itu sudah cukup muak, ia memutuskan menutup ponselnya.
Sungguh, ia tak habis pikir, masih saja ada orang yang
serius menanggapi tulisan di faceebook. Terlebih itu tulisan teman
sendiri. Hey kawan, ini era kebebasan informasi, kau bisa
menyebarkan informasi apa saja kepada siapa saja. Pun memilih
dan menyerap informasi bagaimana saja. Tentu sebagai orang bijak
kita musti tahu mana informasi yang benar-benar perlu kita serap.
Jangan sedikit-sedikit nyinyir, sedikit-sedikit sungut-sungut.
Rupanya kau perlu banyak tongkrongan, kawan. Nyinyirnya dalam
hati. Serius.
Pemuda itu seperti membayangkan sesuatu setelah kata
‘serius’ tadi. Kemudian dengan cepat ia beranjak menuju lemarinya
yang penuh dengan tumpukan buku. Dipilahnya satu persatu, hingga
telunjuknya berhenti pada satu buku dengan kover berwarna merah.
******************** sebuah kumpulan cerita. Begitu judulnya.
Ia lantas coba membuka daftar isi. Dan ditunjuknya satu judul cerpen
di halaman 33. Penganut Humor Garis Keras dan Temannya Yang
Lupa Cara Tongkrongan. Ia kemudian membuka halaman 33 itu.
Dan memang benar ia sedang mengingat sesuatu. Lantas dengan

107
senyum yang tersimpul di bibirnya, ia baca lirih: “Alkisah, hiduplah
seorang pemuda dengan tampang aneh —kalau dipikir wajahnya
mirip dengan ikan gabus... ”

108
PULANG TAK UNTUK KEMBALI
Ovilia Putri Hastiti
2111415003

Tepat pukul tiga pagi aku selalu terbangun karena mimpi


yang aku alami selama seminggu ini. Mimpi yang telah mengganggu
dan merubah kehidupanku. Aku menjadi seorang yang pemurung,
penakut, bahkan menjauhkan diri dari kehidupan luar. Tentu
bukanlah seperti diriku yang biasanya.Aku selalu menyendiri,
memikirkan mimpi-mimpi hingga semua pekerjaan terbengkalai.
Saat itu sehari sebelum aku merayakan ulang tahun ke-24,
terik matahari menyengat kulit membuatku enggan untuk keluar
kantor. Jam dinding menunjukkan pukul 12.30, waktu makan siang
telah tiba. Aku memutuskan untuk makan siang di meja kerjaku.
Sudah seminggu ini aku membawa makan siang buatan Bunda.
Bunda memang pintar sekali memasak. Sejak kecil aku dan Kakak
selalu membawa bekal makanan masakan Bunda, tetapi setelah kami
lulus kuliah dan mulai bekerja sudah tidak lagi membawa bekal dari
Bunda. Aku adalah anak ke dua dari dua bersaudara, Kakakku
bernama Rina yang kini mengelola toko roti milik keluarga.
Sore itu saat aku pulang kerja, aku mendapat pesan singkat
dari Ayah yang mengatakan bahwa ia akan pulang besok pagi. Ayah
bekerja di Bandung, sedangkan aku tinggal bersama Bunda dan Kak
Rina di Solo. Ayah pulang ke Solo tiap sebulan bahkan dua bulan
sekali. Mendapat kabar bahwa Ayah akan pulang karena ingin
merayakan ulang tahunku bersama keluarga kecil ini,aku bergegas
pulang. Hari itu salah seorang teman kantorku mengajak hang out

109
bersama teman kantor lainnya tetapi aku menolak ajakannya. Aku
hanya ingin cepat sampai dirumah, memberitahukan kabar gembira
kepada Bunda dan Kak Rina.Sesampainya di rumah aku melihat
Bunda dan Kak Rina sedang mengobrol di teras depan. Aku
bersalaman dan memberitahukan kabar itu kepada Bunda dan Kak
Rina. Saat itu aku benar-benar lelah dan memutuskan untuk istirahat
sejenak. Aku terlelapdankembali bermimpi. Aku selalu bermimpi
sedang berada di taman dan bertemu orang-orang yang sudah
terlebih dahulu pergi dari dunia ini. Hari pertama aku bermimpi
bertemu dengan Kakek yang meninggal lima tahun lalu.Kakek selalu
tersenyum dan mengajakku bermain seperti saat aku masih kecil
dulu. Dalam mimpi itu Kakek berkata,
“Kamu kuat Mona, kamu tidak sendiri, tapi ia akan pulang.”
Kakek menghilang, aku pun terbangun.Hari kedua, aku
bermimpi bertemu dengan sahabatku Alena yang meninggal dua
tahun lalu di tempat yang sama seperti saat aku bertemu Kakek
dalam mimpi. Alena memelukku, memberiku seikat bunga dan
berkata hal serupa dengan Kakek.
“Kamu kuat Mona, kamu tidak sendiri, tapi ia akan pulang.”
Alena tersenyum dan menghilang, aku terbangun melihat
jam dinding menunjukkan pukul 3 dini hari.Mimpi berikutnya, masih
ditempat yang sama aku bertemu dengan Nenek. Nenek memintaku
duduk dikursi taman bersamanya, lalu ia menyanyikan lagu
penghantar tidurku sewaktu kecil. Setelah nyanyian itu selesai nenek
berkata sama seperti yang dikatakan Kakek dan Alena.
“Kamu kuat Mona, kamu tidak sendiri, tapi ia akan pulang.”

110
Nenek pun menghilang, dan aku terbangun. Selanjutnya aku
bertemu dengan Paman Berto, ia meninggal karena kecelakaan satu
setengah tahun yang lalu. Paman Berto selalu memberiku cokelat
saat ia berkunjung kerumah. Dalam mimpi itu pun ia memberi coklat
kesukaanku. Paman tertawa melihatku senang mendapatkan coklat,
ia pun berkata hal yang sama pula.
“Kamu kuat Mona, kamu tidak sendiri, tapi ia akan pulang.”
Paman pergi, aku terbangun dan mendapati jarum jam
menunjukkan pukul 3 dini hari. Di hari ke lima mimpi serupa masih
saja terjadi padaku. Kini Ditto sepupu yang tumbuh besar
bersamaku, ia meninggal bersama Paman Berto, ayahnya, dalam
kecelakaan tunggal. Ditto hanya duduk memandangku dan berkata.
“Kamu kuat Mona, kamu tidak sendiri, tapi ia akan pulang.”
Ditto berlari dan menghilang, seperti biasa aku terbangun dan
melihat jam dinding menunjukan pukul 3 dini hari. Selama aku
mendapatkan mimpi-mimpi itu aku tidak pernah memberi tahu
kepada Bunda maupun Kak Rina. Tak seorang pun tahu akan hal itu.
Tetapi aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa maksud
mimpi-mimpi itu, dan siapa “ia” yang mereka maksud. Itulah
mengapa aku selalu ingin sendiri, menjadi seorang yang pemurung
dan penakut.
Hari ini aku telah dua kali mengalami mimpi yang sama,
hanya saja dalam mimpi itu aku tak menduga, jika aku bertemu
dengan Bunda. Bukankah aku selalu memimpikan orang-orang yang
telah pergi dari hidupku? Lalu mengapa Bunda? Sedangkan tempat
ini, tempat yang sama saat aku bertemu kembali dengan mereka.
Aku terbangun dan langsung mencari Bunda. Aku menemukan

111
Bunda sedang menyiapkan makan malam bersama Kak Rina. Aku
senang melihat Bunda dihadapanku, tapi aku bingung kenapa ada
Bunda dalam mimpiku?
Masih kusimpan mimpi itu sendiri, tapi kecurigaan Bunda
dan Kak Rina terhadap sikapku mulai terlihat. Setelah makan malam
aku bersama Bunda dan Kak Rina menonton televisi di ruang
keluarga. Telepon rumah berbunyi, ternyata Ayah yang menelepon.
Ayah hanya berkata bahwa sudah dalam perjalanan pulang, lalu
telepon ditutup. Malam semakin larut tapi aku belum juga merasakan
kantuk. Aku masih memikirkan mimpi yang kualami hari ini yang
justru aku bertemu Bunda, sedangkan Bunda ada bersamaku
dirumah. Aku tertidur begitu saja saat aku sedang memikirkan mimpi
tadi. Sekali lagi, aku memimpikan mimpi yang serupa. Aku berada
disebuah taman yang sama seperti mimpiku sebelumnya dan aku
masih bersama Bunda. Hanya saja, dalam mimpi itu Bunda berkata,
“Bunda sayang Kak Rina dan Mona. Mona kuat, Mona
nggak sendiri. Bunda dan Kak Rina selalu ada buat Mona. Ayah
akan pulang,” aku memeluk Bunda.
“Mona sayang Bunda, Kak Rina juga sayang sama Bunda,
kita akan berkumpul besok kan Bun?”
Bunda hanya tersenyum, tetapi ada yang berbeda dari
senyuman Bunda saat itu. Kulihat dari kejauhan ada Ayah.
“Bun, itu Ayah,” aku tersenyum senang melihat Ayah,
Ayah mendekatiku dan Bunda.
“Jaga anak-anak Bun.”
“Mona, selamat ulang tahun nak, Ayah sayang Mona. Mona
kuat, Mona nggak akan sendiri, ada Bunda, ada Kak Rina

112
yang selalu temani Mona. Ayah akan pulang,”Ayah
tersenyum lalu pergi meninggalkanku dan Bunda.
“Ayah mau kemana? Bun, Ayah pergi kemana?” Aku hanya
bisa memandang punggung Ayah yang semakin jauh.
Tepat pukul 3 pagi aku bangun, bukan tanpa sengaja seperti
biasanya, aku dibangunkan oleh Kak Rina. Suara Kak Rina yang
memendam tangis membuatku terbangun dan kebingungan.
“Kakak kenapa?”
Kak Rina memelukku dan menangis, entah apa yang
membuat Kak Rina seperti ini tapi aku merasa ada yang hilang
dalam diriku. Hatiku terasa sangat sakit hingga aku tak bisa menahan
air mata yang tiba-tiba menetes.
“Kak jawab Kak, ada apa sebenarnya?”
Kak Rina mengajakku keluar kamar, aku melihat banyak
orang sibuk mempersiapkan suatu hal yang aku belum mengerti,
terlihat banyak orang membaca Yassin didalam rumahku. Ada apa
ini sebenarnya? Aku bertanya dalam hati. Beberapa orang
menghampiriku dan mendekapku.
“Mona yang sabar ya, yang tabah. Ikhlaskan kepergian
Ayahmu sekarang,”masih berfikir dan bertanya pada diri sendiri,
kepergian Ayah? Apa yang mereka maksud? Dimana Bunda, dari
tadi aku tidak melihat keberadaan Bunda.
“Kak ada apa sebenarnya ini semua, apa yang mereka
lakukan disini? Mana Bunda? Apa yang mereka katakan tentang
Ayah?’

113
Kak Rina menghela nafas, air mata masih saja membanjiri
pipinya, matanya merah, muka Kakakku sudah tidak karuan
sekarang.
“Mon, tadi Kakak mendapat telepon dari kepolisian, telah
terjadi tabrakan antara truk pengangkut barang dan sebuah
mobil..”
“Lalu?”
“Mobil itu mobil Ayah, Mon.”
“Kakak bohong!” Aku lemas, air mata mulai membasahi
pipiku.
“Ayah meninggal saat dibawa ke Rumahsakit”
Kak Rina memeluk aku yang telah jatuh keubin. Beberapa
tetanggaku membantu menguatkanku. Aku hanya menangis,
memanggil Ayah, berteriak, terisak. Aku melihat Bunda berada
tergolek lemas didalam kamar ditemani oleh beberapa tetangga.
Tepat di hari ulang tahunku yang ke-24, Ayah pergi
meninggalkan kami semua. Kami menunggu jenazah Ayah dibawa
kerumah. Kini aku mengerti apa maksud dari mimpi-mimpiku ini,
siapa “ia” yang mereka maksud, “pulang” yang mereka katakan. Itu
adalah Ayah. Ayah memang pulang, tapi tak akan pernah kembali
lagi.

114
Teror Si Misterius
Ovillia Putri Hastiti
2111415003

Kriiiiiing. Suara telepon kembali berdering, Osi berlari


untuk mengangkat telepon itu. Lagi-lagi tak ada suara terdengar dari
balik telepon diseberang sana. Osi merasa ketakutan karena telepon
yang baru saja ia terima merupakan telepon keempat yang ia terima
hari ini. Waktu telah menunjukkan pukul 23.00, Osi masih saja
memikirkan siapa orang yang meneleponnya malam-malam begini.
Rasa kantuk mulai menghampirinya. Ia tertidur dengan kekhawatiran
dan perasaan takut.
Keesokan harinya, pukul 06.25, Mama memanggil Osi
untuk sarapan bersama. Di ruang makan terlihat Rayland sudah
menunggu makanan yang sedang dipersiapkan Mama.
“ Selamat pagi,” sapanya kepada Mama dan Rayland,
adiknya.
“ Papa di mana, Ma?” Kata Osi sambil mengecek isi tasnya.
“ Sedang membaca koran di teras, tolong panggilkan, kita
sarapan bersama.”
Osi berjalan menuju teras untuk memanggil Ayah, saat
melewati ruang tengah kembali telepon berdering. Osi
mengangkatnya dan tak ada suara keluar dari telepon itu seperti
kemarin. Sesaat telepon itu kembali diletakkannya, ia lalu
memanggil Ayahnya di teras. Setelah memanggil Ayahnya, ia
melihat seorang laki-laki berada tak jauh dari rumahnya. Laki-laki

115
berpawakan tinggi itu melihat kearah rumah Osi, lalu pergi setelah
Osi melihatnya.
Suasana hangat menyelimuti kebersamaan keluarga
Hendawan pagi itu. Mereka sarapan bersama seperti biasa. Tiba-tiba
Mama menanyakan kepada Osi siapa yang tadi menelepon.
“ Tadi Mama dengar ada suara telepon, siapa, Si?”
“Entah, Ma. Dari kemarin ada telepon misterius, saat
kuangkat tak ada suaranya.” Osi menceritakan dengan rasa takut
yang masih mengganggunya.
“ Sudah dari kemarin? Kenapa kamu tidak bilang ke
Mama dan Ayah? Apa maksud orang itu menelepon? Siapa dia?”
Sahut Ayah.
“ Kemarin siang saat kak Osi pulang sekolah, aku
mengangkat telepon dari seseorang, dia hanya menyebut nama kak
Osi saja. Saat akutanya siapa yang menelepon, dia tetap memanggil
nama kakak saja. Karena aku takut jadi, kututup saja
teleponnya,”kata Rayland dengan wajah ketakutan.
Suasana hangat berubah menjadi keheningan setelah
pembicaraan itu. Selesai sarapan, Osi dan Rayland berpamitan untuk
berangkat sekolah, Ayah juga langsung berangkat ke kantornya.
Di sekolah Osi sangat disenangi oleh para guru dan teman-
temannya. Osi termasuk murid yang populer di sekolahnya.
Kepribadian yang santun dan sopan kepada guru, parasnya yang
cantik banyak menarik perhatian laki-laki di sekolahnya, terutama
kakak kelasnya. Osi dikenal periang dan pintar dibidang
akademiknya. Sebab itu ia memiliki banyak teman. Tapi hanya
Kamma, sahabatnya dari kecil. Mereka mulai berteman sejak Osi

116
pindah ke rumah barunya di Bandung. Mereka bertetangga dan orang
tua mereka mulai merintis bisnis bersama.
Memiliki kepopuleran di sekolah tidak selamanya
menyenangkan, begitulah yang dirasakan Osi. Walaupun banyak
disenangi oleh guru dan teman-temannya, ada beberapa temannya
yang tidak menyukainya, terutama Moya. Moya adalah teman
sekelas Osi yang memiliki kepopuleran tidak jauh dari Osi. Sama
dengan Osi, Moya memiliki paras yang cantik dan menarik pula.
Walau begitu, Moya memiliki hati yang tidak sama dengan
wajahnya. Hampir setiap hari Moya dan teman-teman gengnya
mengejek siswa lain di sekolah. Moya tidak menyukai Osi karena
tidak ingin kepopulerannya di sekolah tersaingi, dan juga Moya
sangat menyukai Kamma, tetapi Kamma lebih memilih bersama Osi.
Sebelum pulang sekolah, kepala sekolah mengumumkan
bahwa akan diadakan lomba membaca puisi tingkat Nasional di
kotanya dan sekolah akan diwakili oleh Larosita Putri Hendawan
(Osi). Saat pulang sekolah dukungan dan semangat dari teman-
temannya mengalir satu persatu.
“ Osi semangat ya, kamu pasti menang,” kata salah satu
temannya saat pulang sekolah.
Dari kejauhan Kamma melambaikan tangan dan berlari menghampiri
Osi yang menunggunya di parkiran sekolah.
“ Lama banget ngapain aja sih?” Omel Osi pada sahabatnya
itu.
“Biasa Moya, ada-ada aja kelakuannya. Yaudah nggak usah
cemberut gitu, ayo pulang, aku ambil motor dulu sebentar,”jawab
Kamma yang bergegas mengambil motornya.

117
Saat melewati gerbang sekolah, Osi melihat laki-laki
misterius yang ia lihat di dekatrumahnya pagi tadi. Mendadak Osi
merasa takut dan diam selama perjalanan pulang. Sesampainya di
rumah, Kamma khawatir melihat muka Osi yang terlihat pucat.
“ Kamu kenapa, Si? Sakit? Kok mukamu pucat banget?”
Tanya Kamma.
“ Aku gapapa kok, kecapekan aja mungkin.”
“ Yaudah buruan masuk, istirahat aja.”
“ Kamu nggak mau mampir?”
“ Nggak usah deh, aku ada janji sama temen.”
“ Yaudah, makasih ya.”
Osi masuk ke rumah dan melihat Rayland dengan muka
ketakutan di dekat telepon. Ternyata Rayland kembali menerima
telepon misterius tadi dan hanya menyebut nama Osi. Rayland
khawatir kepada kakaknya dan takut jika terjadi sesuatu terhadap
Osi.
Sore hari setelah Osi selesai menyiram tanaman di depan
rumah, ia melihat laki-laki misterius itu lagi di dekat rumah. Osi
ketakutan dan berlari masuk kedalam rumah. Mama yang melihat
anaknya pucat karena ketakutan itu menyuruh Osi untuk istirahat di
kamar saja. Mama khawatir akan terjadi sesuatu terhadap anaknya.
Keesokan harinya, Osi tidak masuk sekolah karena sakit.
Badannya panas, mukanya pucat dan ia terlihat gelisah. Selama
berada dirumah, Osi mendengar bunyi telepon berdering berkali-kali.
Sebelumnya Ayah meminta siapa saja untuk tidak menerima telepon
tersebut,Ayah juga menambah satpam untuk menjaga rumah. Dari
jendela kamar, Osi melihat sosok laki-laki misterius berada didekat

118
rumahnya dari pagi hingga sore. Sepulang sekolah, Kamma
mendatangi rumah Osi untuk melihat keadaan sahabatnya itu. Osi
menceritakan apa yang ia alami beberapa hari ini kepada Kamma.
Kamma tidak menyangka bahwa apa yang Osi alami juga dialami
olehnya. Beberapa hari yang lalu Kamma mendapatkan telepon dari
orang misterius yang menyebut nama Osi, lalu Kamma mendatangi
rumah Osi untuk menanyakan keadaan Osi kepada Mamanya, dan
kata Mama Osi baik-baik saja. Sejak itu Kamma mengabaikan
telepon misterius dan merasa cemas terhadap Osi.
Hari selanjutnya, Ayah memutuskan untuk meminta
bantuan kepada kenalannya untuk menyelidiki siapa penelpon dan
laki-laki misterius yang selalu berada di dekat rumahnya beberapa
hai ini. Ayah semakin khawatir dengan keadaan anak perempuannya
itu.
Osi kembali bersekolah setelah tiga hari absen karena sakit.
Teman-temannya senang melihat Osi kembali bersekolah dengan
keadaan baik-baik saja. Para gurupun senang karena akhirnya Osi
kembali bersekolah. Lomba baca puisi tingkat Nasional akan
diselenggarakan beberapa hari lagi, guru dan kepala sekolah
khawatir, jika Osi tidak dapat mewakili sekolah. Tapi Osi
menyanggupinya dengan senang hati. Kebencian Moya semakin
bertambah melihat teman dan para guru selalu memperhatikan Osi
terutama Kamma.
Dua hari berlalu, telepon misterius dan laki-laki misterius
itu masih saja ada. Hari yang telah dinantikan pun tiba, lomba baca
puisi dimulai. Osi gugup menanti gilirannya, walaupun ia sering
menjuarai lomba-lomba serupa. Osi cemas, ia hanya takut karena

119
masih memikirkan laki-laki misterius itu. Saat giliran Osi dipanggil.
Diatas panggung, ia melihat laki-laki tinggi itu berdiri di belakang
penonton lain. Osi ketakutan, tapi ia menahan dan menenangkan
dirinya sendiri. Ia menampilkan sebisa mungkin demi tidak
mengecewakan sekolah, teman, dan keluarganya. Selesai tampil, ia
melihat laki-laki itu tidak ada ditempat tadi. Osi melihat-lihat sekitar
mencari keberadaan laki-laki misterius itu. Sampai pada
pengumuman pemenang lomba dibacakan. Rasa senang dan haru
dirasakan oleh Osi, ia kembali memenangkan lomba tersebut dengan
membawa pulang piala dan penghargaan lain. Sesaat Osi lupa akan
sosok misterius karena suka cita yang tengah ia rasakan.
Selesai acara, Osi ingin cepat pulang. Dalam perjalanan ke
rumah kembali ia memikirkan laki-laki misterius tadi.
“Tadi di tempat lomba aku melihatnya, Yah. Laki-laki
misterius itu ada di sana, bagaimana bisa?” Osi bercerita kepada
Ayah.
“Sudah tenang saja, jangan lagi memikirkan hal itu,”kata
Ayah menenangkan anaknya.
Sesampainya dirumah, Osi melihat banyak orang berbadan
besar berada didepan rumahya. Ia pun terkejut melihat laki-laki
misteriusitu juga berada di rumahnya bersama orang-orang berbadan
besar ini. Ayah berbicara dengan salah satu orang berbadan besar
yang mereka tahu merupakan kenalan Ayah. Kemudian mereka
menjelaskan siapa dan apa tujuan laki-laki misterius selama ini. Osi
tidak menyangka mendengar penjelasan orang berbadan besar
kenalan Ayah tadi.

120
Betapa tidak, ternyata laki-laki misterius dan orang dibalik
telepon misterius yang menerornya selama ini merupakan orang
yang sama. Laki-laki itu ternyata kakak Moya. dia bercerita bahwa
semua ini ia lakukan demi Moya dan tidak bermaksud mencelakai
Osi. Ia hanya ingin Moya bahagia, sudah lima tahun terakhir Moya
menderita kanker ganas.
“Maafkan aku Osi, aku tak ingin mencelakaimu. Aku hanya
ingin melihat Moya senang.Kata Dokter, umurnya tak lama lagi. Aku
hanya ingin melihat dia senang di saat-saat terakhirnya, itu
saja,”jelas laki-laki itu kepada Osi.
Mendengar itu Osi teringat bahwa selama ini Moya
menyukai Kamma sahabatnya. Mungkin itu sebabnya kenapa kakak
Moya sampai melakukan hal ini kepadanya. Laki-laki itu ingin agar
Moya mendapatkan perhatian dari orang yang dia suka. Salah
satunya dengan meneror Osi agar menjauh dari Kamma. Ia
menjelaskan sebenarnya dia tidak ingin membuat Osi takut, tapi
apaboleh buat demi adiknya ia ingin membuat cemas Osi,
membuatnya tidak memenangkan lomba agar Osi tidak lagi menjadi
perhatian di sekolah. Mendengar cerita itu Osi dan keluarganya
memutuskan untuk memaafkan laki-laki tersebut. Di sekolah, Moya
mulai menyadari perbuatannya yang salah dan meminta maaf kepada
Osi. Karena malu atas perbuatannya, Moya memutuskan untuk
pindah ke luar kota dan menjauh dari Osi dan Kamma.
Setelah kejadian itu, kehidupan Osi berjalan seperti
sebelumnya, tetap menjadi popular dan menjadi lebih berprestasi
disekolahnya.

121
Kakakku Bukan Idiot
Quintana Balqis Kapindo
2111415043
Sakti duduk berdiam diri disebuah ruang tamu dengan
pandangan kosong. Matanya menatap lurus seolah mengamati
aktivitas luar jendela. Sakti, seorang pria yang berumur 25 tahun.
Sakti anak pertama dari empat bersaudara dan memiliki tiga orang
adik. Namun, karena keterbatasan pada dirinya, Sakti sering
dianggap sebagai anak terakhir. Sejak kecil Sakti sakit, bahkan
karena sakitnya itu Sakti tidak mengenyam pendidikan layaknya
anak-anak seusianya. Pertengahan tahun 2016, Sakti dan
keluarganya pindah dari Papua ke Jawa, yaitu kota Semarang, karena
Ayah Sakti telah pensiun dari pekerjaannya. Sementara sang Bunda
sebagai ibu rumah tangga. Adik pertama Sakti yang telah lama
tinggal di Jawa karena melanjutkan pendidikan sejak SMA di kota
Semarang hingga lanjut ke perguruan tinggi, telah terbiasa dengan
lingkungan lamanya di kota Semarang. Sementara dua adiknya yang
duduk di bangku kelas 4 SD dan kelas 9 SMP juga pindah sekolah ke
Semarang dan harus adaptasi dengan lingkungan barunya. Sakti yang
memiliki penyakit sejak ia berumur 9 bulan, penyakit yang bersarang
di otaknya. Yang membuat Sakti terlihat seperti anak kecil, bukan
bodoh, hanya saja ia agak lama untuk merespon lawan bicaranya.
Melihat kondisi Kakak pertamanya yang tak kunjung sembuh dalam
waktu puluhan tahun, bahkan sejak sebelum adik-adik Sakti lahir
hingga mereka lahir dan tumbuh dewasa, kedua orang tua Sakti
sangat sedih. Bahkan, Ayah dan Bunda Sakti tak tanggung-tanggung
untuk mengeluarkan biaya untuk anak pertamanya. Namun,

122
terkadang adik pertama Sakti yang bernama Rista agak mencemburui
Kakaknya karena menurutnya kedua orangtuanya terlalu berlebihan
mengurus Sakti, Kakaknya.
“Sakti ayo mandi, sudah sore,” bujuk Ayah kepada Sakti.
“Nanti dulu, Yah. Sakti masih pengen duduk disini,” ucap
Sakti dengan ucapan lambat.
“Ya sudah, Ayah tunggu sampai jam lima ya,” kata Ayah.
“Iya Yah,” ucap Sakti.
Sakti bukanlah orang bodoh bahkan idiot seperti yang
dikatakan orang-orang diluar sana, hanya saja Sakti lamban ketika
berpikir, susah mengingat-ingat sesuatu. Bahkan Sakti sering kejang
jika ia melamun. Saat sebelum Sakti dioperasi, Sakti sering sekali
mengalami kejang bahkan ketika malam hari. Sakti hanya butuh
teman mengobrol, karena ia tidak keluar rumah bahkan bergaul
dengan teman-teman sebayanya, Sakti merasa tidak memiliki teman
mengobrol. Hanya keluarga dekat saja yang mengajak ia mengobrol
ketika Sakti dijenguk. Kadang Sakti juga merasa jenuh, ingin
berpergian, tapi memang keadaan seperti inilah yang membuat Sakti
harus menghabiskan hari-harinya berada didalam rumah. Sakti
merasa bosan dengan kegiatannya yang hanya diatas kasur, mandi,
makan, dan bahkan minum obat yang sudah menjadi prioritas utama
untuk tubuh Sakti.
***
Seperti biasa, hari-hari Sakti hanya dihabiskan diatas kasur
dan tempat duduk di ruang tamu. Mungkin Sakti sudah mulai berada
di titik jenuh, Sehingga Sakti mogok makan selama beberapa hari.
Sakti tidak mungkin minum obat jika perut Sakti tidak diisi dengan

123
dua atau tiga sendok nasi. Sakti yang tiba-tiba ingin berpergian ke
desa dimana Kakeknya tinggal. Disanalah Sakti merasa lebih tenang
dilingkungan baru, dibandingkan setiap hari melihat pemandangan
kota yang sangat bising. Akhirnya, Ayah Sakti pun menuruti
kemauan Sakti. Ketika hari Minggu, Sakti dan sekeluarga pergi ke
desa untuk menemui Kakeknya. Adik Sakti paling kecil yang
bernama Tita juga begitu antusias untuk liburan ke rumah Kakeknya
yang berada di desa. Namun berbeda dengan Rista, adik pertama
Sakti.Dengan wajah kusam terpaksa harus ikut ke desa untuk
mengikuti permintaan Kakaknya itu.
“Kak Sakti terus,”ucap Rista dengan wajah cemberut.
“Kamu nggak boleh begitu, Kak Sakti itu Kakakmu,” ucap
Bunda dengan nada lembut.
“Tapi kan yang perlu Bunda urus nggak hanya Kak Sakti,
Bun.Aku juga pengen diturutin,” ucap Rista.
“Kamu ini Bunda anggap sebagai anak pertama Bunda dan
Ayah, melihat kondisi Kakak yang seperti ini, harusnya kamu
mengerti,” ucap Bunda dengan nada agak jengkel.
“Iyaiya Bun, maaf,” ucap Rista.
***
Akhir pekan telah berlalu. Akhirnya memulai aktivitas
kembali. Namun berbeda dengan Sakti, Sakti merasakan sakit yang
sangat luar biasa, lalu ia dibawa ke rumah sakit oleh keluarganya.
Sakti lemah tak berdaya, kedua orangtua Sakti menghubungi adik-
adiknya yang sedang bersekolah untuk menyusul ke rumah sakit.
Dengan sisa-sisa napas Sakti yang masih ada, ayah dan bunda Sakti
menangis, kedua orangtua Sakti merasa bahwa Sakti akan pergi

124
untuk selama-lamanya. Tak lama kemudian, ketiga adiknya datang
menghampiri masuk ruangan. Mereka tak menyangka, ternyata
keinginan Kakak laki-laki satu-satunya itu untuk pergi liburan ke
rumah Kakek yang tempatnya berada di desa adalah permintaan
terkahir Sakti. Kemudian Sakti menghembuskan napas terakhir
ketika adik pertamanya yang bernama Rista meminta maaf kepada
Kakaknya Sakti. Pelan-pelan Sakti menutup mata, tubuhnya tak lagi
bernyawa, ruangan rumah sakit yang ditempati oleh Sakti sekejap
menjadi suasana duka. Rista tak lagi bisa membendung air matanya,
ia merasa menyesal karena merasa telah menyia-nyiakan kakaknya.
“Bunda,Kak Sakti Bun,” ucap Rista dengan menangis
tersedu-sedu.
“Kakak udah pergi, maafkan kakakmu, nak,” ucap Bunda
sambil mengusap air mata.
Orangtua dan ketiga adik Sakti adalah orang-orang yang
tegar, bahkan sabar merawat selama bertahun-tahun. Tita, adik Sakti
paling kecil pun juga sangat merasakan kehilangan Kakak
pertamanya itu, karena baginya, siapapun ia tetaplah kakak laki-laki
yang paling ia sayangi. Hal serupa pun sama seperti yang dialami
oleh Tita, yaitu Bella, adik kedua Sakti. Mereka sangat-sangat
kehilangan. Kedua orangtua Sakti mencoba ikhlas dengan kepergian
Sakti, bagi mereka mungkin ini memang cara Tuhan untuk
keluarganya, sekaligus untuk Sakti.

125
Perempuan Masa Kini
Quintana Balqis Kapindo
2111415043
Dahi Risa berkerut menatap layar laptop semalaman,
matanya mulai terlihat ada kantung mata yang membengkak. Risa
yang mengejar deadline skripsi yang harus selesai tahun ini pun ia
lakoni. Demi mempejuangkan karirnya yang bakal ia targetkan pada
awal Agustus mendatang. Dengan tekad Risa yang kuat, sampai-
sampai Risa mengabaikan kesehatan, dari pola makan, olahraga, dan
tidur, yang seharusnya menjadi rutinitas Risa sehari-hari. Namun,
karena Risa ingin segera lulus dari kuliahnya, rutinitas Risa yang
biasa dilakukan menjadi terabaikan. Risa memiliki cita-cita menjadi
seorang jurnalis. Dari impian Risa untuk menjadi salah satu
wartawan di salah satu stasiun tv swasta di Indonesia belum kunjung
diraihnya, mungkin karena Risa masih berstatus mahasiswa di salah
satu Perguruan Tinggi Negeri di Semarang. Cita-cita Risa untuk
menjadi jurnalis berawal ketika Risa SMA. Risa sempat melihat
seorang wartawan laki-laki ketika meliput event yang berada di
sekolahnya, menurutnya wartawan itu begitu keren, dengan
menggunakan kamera di lengan kanannya, kemudian membawa
pakaian ala kadarnya, membuat Risa tertarik untuk menjadi seorang
wartawan. Namun, Risa merasa bahwa dia perempuan, ia merasa
minder, bahkan Risa sempat berpikir, apakah ia bakal bisa jadi
wartawan seperti itu? Mengejar-ngejar narasumber yang mungkin
sulit untuk ditemui, dituntut untuk mencari sumber berita. Tapi, Risa
tak mau rasa minder yang dipikirkannya menjadi halangan untuk
menjadi jurnalis. Impian Risa untuk menjadi jurnalis bertahan hingga

126
ia kuliah. Namun, impian Risa sempat tidak disetujui oleh kedua
orang tuanya, kedua orang tua Risa merasa bahwa Risa seorang anak
perempuan satu-satunya. Ayah dan Ibu Risa tak ingin Risa kenapa-
kenapa ketika nanti jika Risa terjun menjadi seorang wartawan dan
terjadi sesuatu di lapangan. Namun tekad Risa masih kuat. Ia selalu
menyakinkan kepada kedua orang tuanya bahwa ia bisa. Padahal
kedua orang tua Risa ingin Risa menjadi pengusaha, yang mungkin
pekerjaannya tidak terlalu jatuh ditenaga yang lari kesana kemari
mengejar narasumber.
Risa yang hampir seharian menghabiskan waktunya
didepan layar laptop ternyata tak sia-sia. Ia berhasil menyelesaikan
skripsinya sesuai target yang ditentukan oleh Risa sebelumnya.
***
“Wah, ini udah bulan April aja, kurang empat bulan lagi
wisuda,” gumam Risa tak sabar.
“Cie yang bentar lagi wisuda nih,” sahut Loli teman
sekamar Risa.
“Kamu kapan nyusul ?” Tanya Risa meledek.
“Doakan aja lah biar cepet nyusul,” sahut Loli.
Kebahagiaan Risa terbungkus oleh kegelisahan dirinya.
Mengingat kedua orang tuanya yang tak pernah menyetujui putri
satu-satunya bekerja untuk menjadi seorang wartawan.
“Yang bentar lagi dapet gelar kok cemberut gini,” kata Loli.
“Hhhmmmm,” jawab Risa singkat.
“Cerita lah,” sahut Loli singkat.
Pada akhirnya Risa menceritakan kegelisahan yang ada
pada dirinya. Kegelisahan dari impian Risa yang ingin menjadi

127
seorang jurnalis, menjadi seorang wartawan perempuan di salah satu
stasiun tv di Indonesia. Risa ingin mengejar cita-citanya, tapi ia pun
tak ingin melawan kedua orang tuanya, Risa gelisah. Risa tak ingin
menjalani karirnya tanpa mendapatkan restu dari kedua orang
tuanya.
Risa yang selalu aktif dalam kegiatan jurnalistik di
kampusnya, selalu mendapatkan apresiasi dari teman bahkan
dosennya. Bakat Risa dalam dunia jurnalis memang tak bisa
diragukan lagi. Risa pun sering mengikuti lomba-lomba yang selalu
ada kaitannya dengan jurnalistik. Bahkan seminar tentang jurnalistik
pun tak pernah terlewatkan satu pun. Kegelisahan bahkan
kebimbangan Risa pun masih berlanjut hingga larut malam. Jam
menunjukkan pukul 23:00 tepat, Risa masih tak kunjung tidur.
Lamunan Risa terpecah ketika bunyi ponsel Risa berdering, ternyata
sms dari operator yang didapatnya.
“Shit, mengganggu saja!” Ucap Risa gemas.
Risa yang akhirnya membuka media sosial facebooknya,
lalu ia menemukan lomba kartini dengan tema ‘perempuan masa
kini’. Risa mulai tertarik dengan lomba tersebut karena didalam
lomba tersebut juga mengangkat tentang jurnalistik. Lalu Risa segera
bergegas mengambil buku agenda di atas meja belajarnya, ia mulai
mencatat tanggalnya.
***
Risa memanfaatkan moment tersebut, ia akan membuktikan
kepada kedua orang tuanya bahwa seorang jurnalis tidak se-
mainstream seperti kedua orangtuanya pikirkan. Ternyata benar,
hasil tak akan mengkhianati usaha. Usaha yang sangat ditekadi oleh

128
Risa berbuah manis. Ia memenangkan lomba kartini tersebut dengan
mengambil salah satu lomba yaitu lomba jurnalis, menjadi wartawan.
Tidak sedikit yang mengikuti lomba tersebut, bahkan kedua
orangtua Risa tercengang bahkan heran, ternyata tidak sedikit yang
berminat menjadi seorang wartawan perempuan. Kedua orang tua
Risa mulai bangga, karena Risa berhasil mengalahkan ratusan
pesaingnya. Pada akhirnya kedua orang tua Risa mulai optimis dan
mendukung semua keinginan Risa.

129
Tak Ada KataPerceraian dalam Pertemanan
Renovenda Wildan A.S.
2111415047

Sahabat adalah teman yang selalu ada. Apapun, kapanpun,


dan dimanapun. ketika cinta menjadikan pertentangan,
persahabatanlah yang menyatukan pertentangan dan mendamaikan
segala urusan.
Itulah yang terjadi pada kedua anak laki-laki yang
dipersatukan dalam hubungan persahabatan, Adit namanya. Ia hanya
anak dari keluarga miskin yang ibunya cuma bekerja sebagai buruh
di pabrik Garmen di kota Semarang, sedangkan bapaknya sebagai
supir angkot di kota Semarang. Adit yang memiliki sahabat bernama
Aryo terlahir sedikit beruntung dibanding dia. Aryo anak orang kaya
hidup dikeluarga yang toleran terhadap apapun stigma sosial asal
tidak melanggar atau melampaui norma-norma yang telah ada di
lingkungan sekitar dan agamanya.
Keduanya bersahabat sejak SMP dan sekarang mereka
juga satu kelas diSMA yg sama di kota Semarang. Adit yang tak
seberuntung Aryo, lahir di keluarga sederhana, tetapi keduanya bisa
dibilang tak mempermasalahkan si kaya dan si miskin tetapi tak
dipungkiri terkadang unek-unek mereka berdua seakan
dicampuradukan dalam percakapan ”Yo, kamu enak ya apa-apa
minta dituruti sama orang tuamu,” ujar Adit sedikit menghakimi
keadaan.
“Enggak juga ah, kamu juga enak kok, Dit. Setiap hari
kamu bisa ketemu sama keluargamu kan? Lah aku boro-boro

130
ketemu, diSMS aja kadang gak dibales sama orang tuaku. Entah
sesibuk apa orang dewasa dengan pekerjaanya itu,” jawab Aryo.
Hingga suatu hari kedua sahabat karib ini sedang
menyiapkan diri untuk ujian nasional, mereka belajar bersama
dengan teman-teman sekelasnya di ruang kelas seusai jam sekolah.
Banyak gadis cantik dan menarik tapi ada satu gadis yang wajahnya
selalu memancarkan cahaya. Bukanya fokus belajar, Aryo selalu
memandangi Rismasigadis yang wajahnya selalu memancarkan
cahaya itu tak lain dan tak bukan adalah teman sekelas mereka
berdua yang menjadi primadona di kelas.
Ternyata bukan saja Aryo yang memendam rasa sahabat
karibnya, Adit juga diam-diam telah lama memiliki rasa kepada
primadona kelasnya itu dan semakin menjadi-jadi rasa itu.Semakin
di pendam semakin meluap kepermukaan dan rasa kekagumannya
itu.
“Ris, seumpama kalau besok hasil nilai ujianmu bagus
kamu mau nerusin kuliah dimana ?” tanya Aryo.
“Duuh, Yo aku aja belum ada pikiran kesitu, fokus ke ujian
nasional dulu aja lah kalau masalah kuliah nanti aja biarin ngalir
hehehe,” jawab Risma sambil tersenyum. Sementara Aryo bercakap
dengan Risma, diam-diam Adit curi-curi pandang melihat Risma, tak
terkira cantiknya menurut penglihatan Adit.
Persahabatan Aryo dan Adit masih sama seperti biasa,
hanya satu yang menjadi pembeda. Adit hatinya sedang cemas dan
dilumuti rasa gelisah setelah mendengar kabar dari sahabatnya yang
sedangmembicarakan tentang si gadis idaman, “Dit menurutmu

131
Risma sama aku cocok gak kalau pacaran gitu?” ucap Aryo yang
sedang dimabuk kasmaran.
“Iya kayaknya cocok Yo kalau sama kamu,“Adit
mengucapkanya tetapi hatinya semakin cemas karena jawabanya.
“Ngelamun aja, yuk ke kantin.”
“Ayuk,” ucap Adit menerima ajakan sahabatnya dengan
melas .
Adit hanya diam, bingung harus bersikap seperti apa
dihadapan sahabatnya. Dilain sisi Adit tak rela kalau harus membagi
rasa tapi mau dikemanakan persahabatan yang telah terjalin begitu
lama.
Sementara itu Aryo selalu bercerita tentang Risma, Adit
hanya bisa menggumam “Kalau saja roti pasti sudah
kubelah jadi dua, dan kubagi untuk sahabatku ini.”
“Karena sedari tadi cuman diem aja sebenarnya kamu ada
masalah apa yang kamu sembunyiin dariku Dit?” Tanya Aryo
dengan heran kenapa sahabatnya berprilaku tidak seperti biasanya.
“Hehehe aku gak papa kok, cuma bayangin kalau nanti kita
lulus bareng,terus coret-coret baju SMA lalu kita konvoi bareng
sama temen-temen pasti seru ya?” Kata Adit bohong, untuk
menutupi hatinya yang sebenarnya hancur.
Seusai ujian nasional SMA yang telah tertempuh.
3minggu kemudian.
Mereka akhirnya bergembira karena hasil pengumuman
kelulusan tak ada yang tertinggal dikelas 12 dan itu artinya semua
lulus. Sehabis suka cita dengan kelulusannya itu dan begitu pula
menyambut hari baru tanpa masa putih abu-abu yang

132
tertinggalkan.Hari demi hari tak selalu bersama. Karena kedua
sahabat ini memiliki kesibukan masing-masing, Aryo meneruskan
perguruan tinggi di luar negeri persis permintaan bapaknya,
sementara Adit menggantungkan keinginannya meneruskan
keperguruan tinggi.
Satu tahun berlalu,Adit akhirnya mengikuti pendaftaran
mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi di kotanya yang
terbiayai hasil pekerjaannya setahun penuh sebagai pelayan di
restoran makanan siap saji, berbeda dengan sahabat karibnya yang
kuliah di luar negeri dengan biaya orang tua. Tapi keduanya masih
tetap saling berkomunikasi lewat ponsel saling menanyakan kabar,
keadaan dan kesibukan baru setelah dua tahun berlalu seusai lulus
dari SMA.
Hari itu kuliah perdana bagi Adit yang telah diterima di
perguruan tinggi. Di kampus barunya, setelah dua minggu kuliahnya
terlalui. Tak disangka-sangka begitu beruntungnya Adit, karena
melihat Risma juga kuliah di tempat yang sama. Tak sengaja
merekabertemu.
“Ris! Rismaa!” Dengan nada kencang Adit memanggilnya.
Menolehlah gadis cantik pujaanya dulu.
“Iyaa.”
“Masih ingat sama aku gak Ris?” Tanya Adit.
“Oalah kamu to Dit, tadi dari jauh aku kira kamu siapa...
hehehe” Jawab Risma sambil tertawa.
“Gak nyesel aku masuk kuliah disini, bisa ketemu sama
kamu,”\ujar Adit.

133
“Iya, Dit. Kok aku baru lihat kamu sekarang Dit kemarin-
kemarin kamu kok gak nongol?”
“Aku baru masuk tahun ini kok Ris, kemaren-kemaren aku
kerja dulu buat bayar kuliah .“
“Walah hebat kamu Dit, biaya kuliah kamu tanggung
sendiri, tetep semangat ya Dit semoga sukses pokoknya!” Kata
Risma sambil memberi semangat kepada teman lamanya.
“Heheh iya, Ris.”
“Ya udah ya Dit aku pulang dulu, besok-besok kita ngobrol-
ngobrol lagi,” pamit Risma pulang.
Bunga mawar pun mulai mekar dan semakin pekat warna
merahnya, hari demi hari dari yang sebelumnya hanya tangkai
berduri. Mengisyaratkan keindahan bunga mawar sebagai tanda
cintadipetik.Adit mengharapkan setangkai bunga mawar untuk
mengisyaratkan cinta kepada Risma berharap akan tersampai dengan
indah dan wangi bagai bunga mawar.
Tanpa berpikir panjang Adit ingin memberikan bunga
mawar itu kepada Risma yang telah disisipi kata-kata manis yang
sudah dia rangkai semalaman suntuk. Keesokan hari Adit dengan
semangat melangkahkan kaki menuju kampus mengendarai
motornya yang jarang di service, lajunya pelan tapi
pasti.Sesampainya di parkiran kampus matanya mulai mencari sosok
pujaan di tangga, kantin kampus, dan juga di kelas.
Ternyata gadis yang dicari-cari sedang duduk sendirian di
taman dengan buku di pangkuan. Tanpa berpikir panjang Adit
menghampirinya. Tak ada basa-basi Adit mengutarakan maksudnya
“Ris Risma,” panggil Adit untuk gadisnya itu.

134
“Iya Dit ada apa ya?”
“Tujuanku kesini untuk membicarakan sesuatu, dan sesuatu
itu adalah kamu Ris.”
“Maksudnya apa Dit kok sesuatu?”
“Sesuatu itu adalah perasaanku yang sudah lama aku
pendam dari dulu sampai sekarang, aku suka sama kamu, aku cinta
sama kamu.”
Risma mulai bingung mengawali penjelasan kalau dirinya
telah memiliki pasangan yang tak lain ialah Aryo sahabat.
“Maaf, Dit aku sudah sama Aryo sahabatmu itu.”
“Maksudnya Ris?” tanya Adit.
“Aku sudah jadi milik Aryo dan kami juga sudah
merencanakan untuk bertunangan bulan depan saat libur kuliah
setelah UAS.”
Apa daya cintanya bertepuk sebelah tangan dan ternyata
sang pujaan hati telah menjalin kasih dengan sahabatnya, Aryo yang
sedang berada jauh di luar negeri. Tidak disangka sebelumnya bahwa
gadis idaman dia itu telah lama menjalin kasih dengan sahabatnya
tanpa dia ketahui.
“Kalau begitu iya udah Ris, gapapayang penting perasaanku
dari dulu sudah tersampaikan sekarang. Aku punya satu permintaan
Ris.”
“Permintaan apa Dit kalau aku mampu pasti kupenuhi.”
“Jangan pernah tinggalin Aryo untuk laki-laki lain, dan
jangan pernah bilang soal ini ke Aryo ya Ris, pliss.”
“Baiklah kalau itu permintaanmu akan kujaga dan selalu
terjaga untuk kebaikan kita bertiga.”

135
Kini hari-hari Adit dipenuhi rasa suram dan bingung
sekaligus gelisah tak tau harus bagaimana pada awalnya, karena
sahabat tetaplah sahabat dan cinta takmungkin dipaksakan.Bukan
karena yang kaya yang selalu menang dan yang miskin selalu
tersingkirkan tetapi yang Adit tau tak ada kata perceraian dalam
pertemanan dan hidupnya tetap berlangsung apa adanya.
Seperti lilin yang menyala, rela terbakar habis demi
menerangi dunia untuk sebuah alasan yang bernama cinta.

136
Biji Bunga Oleander
Renovenda Wildan A.S.
2111415047

Namaku Santi, usiaku 20 tahun, baru saja lulus dari sekolah


menengah atas. Aku terlahir dari keluarga petani yang memiliki
nasib kurang mujur, bisa dibilang sangat kekurangan. Usai lulus
SMA, akutak bisa meneruskan ke jenjang Perguruan Tinggi
danakhirnya memutuskan untuk menikah. Pilihanku tak banyak,
karena dari keluarga miskin sepertiku tak mungkin diperebutkan
banyak pria yang mau meminang. Tetapi ada satu pria yang
mengharapkanku lulus dari SMA. Yang kukenal sudah lama,karena
rumah kami kebetulan masih satu kampung dan dulu dimasa kecil
kami teman sepermainan, mungkin terkesan terlalu terburu-buru
untuk memutuskan menikah. Tapi sangat logiskarena aku telah
mengenal sekali siapa pria yang ingin menikahiku ini.
Pria ini melamarku dengan kesederhanaannya. Pria yang
berencana ingin menikahiku ini bukan anak dari orang kaya, ia
bernama Faisal usianya 25 tahun.
Tanggal telah di tentukan, hari telah terpilih. Ijab qabul
telah di sahkan, perjalanan yang mujur kami harapkan untuk
keberlangsungan hidup kami ke depan.Hari pertama pernikahan

137
hanya manis yang kami rasakan, senyum bertebaran kemana-mana,
dari kamar tidur, dapur bahkan sampai ke kamar mandi sekalipun.
Perjalanan baru segera dimulai, berbeda dengan masa
kesendirianku dulu. Walau aku memutuskan bekerja untuk
membantu ekonomi keluarga, hanya berpegangan dengan ijazah
SMA sulit bagiku untuk menentukan pekerjaan yang kuinginkan dan
juga suamiku, Faisal. Faisal memilih menjadi buruh tani yang
harapanya terlalu tinggi terhadap ladang di pekarangan dekat rumah
yang satu petak berukuran 7X9 meter persegi.
Itu saja bukan ladang kami, suamiku hanya buruh tani yang
diamanahi pemilik ladang untuk sekadar menggarap. Suamiku
berharap batangan emas akan tumbuh dari tanah yang subur.Satu
tahun telah berlalu, dari hari pernikahan yang awalnya terlalu manis
itulahirlah anak laki-laki manis, seperti perpaduan dua fisik manusia,
wajah dari suamiku dan kulitnya putih seperti kulitku, matanya juga
terlihat sangat jernih.
“Terimakasih ya niss, kamu telah melahirkan anak yang
tampan dan sehat,” kata Faisal sembari menimang-nimang anak laki-
lakinya.
“Iya, Mas. Aku juga senang karena sekarang menjadi ibu
dari anakmu yang tampan ini.” Aku tersenyumsambil memegang
tangan mungil anak laki-lakiku ini. Kebahagiaan memenuhi relung
hati kami berdua .
Masa-masa manis telah usai. Kini rintangan baru dimulai
untuk membesarkan Adit, anak laki-lakiku itu.
3 tahun kemudian

138
Sampailah pada mala petaka yang tak sengaja kami
ciptakan, sesuau tak kami inginkan dan harapkan. Dan tak pernah
terpikir sebelumnya.
Mestinya hari itu merupakan salah satu hari yang sangat
membahagiakan bagi kami berdua. Hari disuatu pagi di bulan Mei,
matahari bersinar dan rayuan suamiku Faisal “Kamu tetap saja
langsing dan menarik kendati sedang hamil tua”. Walaupun sedang
menggeram kesakitan di gubuk yang terbuat dari lmpur dan ilalang.
Beberapa menit lagi anak keduaku akan lahir. Anak sulungku laki-
laki yang berumur tiga tahun, sedang bermain di luar.
Akhirnya anak keduaku lahir, menangis dengan kuat begitu
lepas dari rahimku. Tampan sekali, wajahnya bersih.Matanya
memicing karena sinar matahari menerobos masuk, aku melirik
kebayi yang terlahir baru saja itu. Air mataku jatuh, tetapi bukan air
mata kebahagiaan. Akupun telah melihat jenis kelamin anakku itu
laki-laki. Yang kemudian terlintas dalam pikiran bukanlah
kebahagiaan seorang ibu, tetapi cobaan yang menghadang.
Bagaimana mungkin kami yang hanya sekedar buruh tani mampu
membesarkan dan mengawinkan dua orang anak laki-laki.
Bagaimana kami bisa? Bila emas kawin yang dituntut pihak
pengantin perempuan selalu melangit.
Dan sebenarnya kami berharap anak kedua kami adalah
perempuan. Tetapi di hari cerah itu, impian kami hancur lebur.
Hanya ada satu cara untuk menghindari beban hidup
membesarkan dua anak laki-laki. Dan suamiku Faisal memutuskan
yang harus diputuskan.

139
“Apakah kamu yakin dengan keputusan ini? Coba pikirkan
lagi dengan rencana untuk memutuskan penderitaan anak kita,” ucap
Faisal dengan gelisah.
“Mau bagaimana lagi, Mas. Keadaan kita saja begini.
Apakah mas mau kalau anak kita ini hidup dengan kesengsaraan
karena orang tuanya miskin dan mengalami beratnya derita kelak
nanti?” Jawabku karena keterpaksaan dan perasaan yang sebetulnya
tak rela berucap seperti itu.
“Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu.” Faisalpun bergegas
pergi.
Sore itu ia berangkat dengan lunglai keladang terdekat,
memetik biji bunga oleander yang racunnya terkenal mematikan, lalu
ia kembali kerumah.
“Ini biji bunga oleandernya, Niss. Maafkan aku yang
membuatmu sengsara dan anak-anak kita yang menanggung derita
karena ayahnya seorang pecundang." Faisal mengucap kata. Air
matanya menetes dengan penuh penyesalan dan kesedihan yang
teramat dalam.
Aku pun bergegas menumbuk biji oleander menjadi tepung
basah dan menyuapkan ke mulut bayiku yang menangis tak berdosa.
Bayi kecil tampan yang indah, dan sebagai seorang ibu seharusnya ia
adalah anugrah dari sang pencipta. Kami menunggu racun itu
melakukan tugasnya.
Dalam satu jam si bayi mulai meregang dan menggelepar
hebat, pelan-pelan darah mulai keluar dari mulut dan hidungnya.
Beberapa menit kemudian tenang kembali, semuanya telah
selesai .Diam-diam aku berjalan dalam dosa sebagai pembunuh

140
karena kegelisahanku atas masa depan bayiku menuju gubuk ibuku
yang tidak jauh dari gubukku. Kugali lubang kecil didalamnya dan
menguburkan mayat bayiku di sana.
“Saya membunuh anak saya untuk menyelamatkannya dari
penderitaan membayar emas kawin yang pantas”
Saya berpalih “Tapi sama saja, sungguh sulit bagi saya
melakukan itu. Coba? Ibu manakah yang bisa tega melihat bayinya
menderita walau sejenak? Dan saya harus membunuh bayi itu. Tapi
itu harus saya lakukan, suami saya dan saya sendiri telah
memutuskan lebih baik membiarkan anak kami menderita satu dua
jam lalu mati daripada menderita seumur hidupnya.”
Kesengsaraan hanyalah milik orang miskin yang tak
mungkin bisa ditolak keberadaanya atau mungkin birokrasi yang
salah di cerita saya ini .

141
RUMAH NENEK
Oleh: Sarifudin/ 2111415041

Kali ini ia memandangku dengan lebih bahagia, seolah dia


telah melihat cahaya dalam kegelapan, setiap pagi yang selalu aku
lewat depan rumahnya ketika berangkat kerja. Aku melihatnya hanya
duduk di teras rumahnya sambil memegang setangkai bunga, entah
itu bunga asli atau hanya bunga plastik yang dipajang di meja tamu.
Rumah cukup besar dengan tembok putih kusam dan sudah
mulai mengelupas dan rontok di beberapa bagian. Dengan
menghitung satu persatu bunga setangkai ia menggerakan bibir dan
entah apa yang dibicarakannya seperti orang-orang yang kehilangan
cinta. Atau barangkali ia ditinggal suaminya kawin lagi. ya begitulah
pikirku.
Aku menepis jauh-jauh pikiran itu, biarlah, biarlah ia
menjalani hidupnya seperti itu. Di hari berikutnya dengan jam yang
sama ia juga duduk di depan teras rumah besar yang cukup muat tiga
mobil . Tampaknya kali ini ia tidak sendirian, tetapi ditemani orang
tua barangkali ibunya, tapi anehnya mereka hanya berdiam diri tanpa
ada gerakan dari keduanya, seperti rumah itu telah dihentikan oleh
waktu.
Saat aku di tempat kerja tidak takut, atau malah kadang
sering terpikir dengan kejadian aneh rumah itu. Rumah itu selalu
menjadi perhatianku ketika melewatinya.
Di hari-hari berikutnya selalu ada kejadian aneh di teras
rumah besar itu, kadang terlihat bahagia, sering terlihat mencekam,
tapi wanita itu selalu pada tempat yang sama dan ditemani orang

142
yang berbeda setiap harinya. Pernah suatu ketika aku melewatinya,
ia memandangiku dengan tajam, kosong, mencekam tanpa ada
harapan dari dalam matanya. Ia melambai seperti memanggil untuk
menikmati waktu dengannya. Takut, iya aku merasa takut. Denga
umurku yang sudah hampir tiga puluh tahun, takut dengan cewek
yang duduk di depan teras, dengan tatapan kosong.
Aku mulai mendekat menuju gerbang, dan tidak bisa
dipungkiri aku memang takut. Aku melangkah perlahan menuju
teras. Dia hanya memandangiku dengan senyum kosong. Lima
langkahku terasa berat di halaman rumahnya.
Dengan jarak yang sudah lumayan dekat, atau barangkali ia
bisa memandangku dengan leluasa.
“Duduklah disini, Mas, akan kuceritakan sesuatu.”
Aku duduk disampingnya dengan kursi yang memang
sudah ada sejak pertama kali aku melihatnya.
“Aku dulu punya nenek yang dihukum 5 tahun penjara
karena mengambil pelepah pisang di kebun tetangga dulu waktu di
kampong.”
Ia mulai percakapannya dan entah kenapa aku tidak
menolak mendengarkan ceritanya dan bahkan aku tertarik dengan
ceritanya, seperti terjerat dengan kata-kata yang lembut dan tersusun
rapi dan keluar dengan khidmadnya.
Aku mengira jam berlalu akan segera masuk, tapi entah
kenapa aku seperti terperangkap dan tidak ingin pergi darinya.
Ah, sudahlah, bolos sehari juga gak papa, pikirku dalam
hati.

143
“Waktu itu kami sangat miskin, jangankan buat beli pakaian
dapat makan sehari sekali sudah sangat untung.”
Seperti yang dibicarakannya, ia hanya menceritakan tentang
nenek dan masa lalunya, sudah dua jam lewat, ia masih asyik saja
menceritakan yang tidak jauh dari kedua topik itu.
Ketika aku ingin berpamitan kakiku terasa berat, bahkan
untuk melangkah, untuk bergerak saja tidak bisa, pantatku yang
masih menempel di kursi seakan merekatkan lem sudah sangat
mengering.
Seluruh tubuhku kaku, satu-satunya yang masih bisa
bergerak adalah kedua mataku, kau melirik kanan kiri semua seperti
berhenti. Wanita yang duduk di sampingku juga terpaku diam. Aku
tak tahu kapan ia berhenti bercerita, semua terjadi tanpa aku sadari.

144
LELAKI YANG MENETESKAN EMBUN MERAH
Oleh: Sarifudin/ 2111415041

Ada hati pagi ini, hati meramu dengan rindu, aku duduk di
meja panjang dengan bangku berjajar sepanjang mata memandang.
“Bu, teh hangat satu.”
Seteguk teh hangat melewati tenggorokan, sehangat mentari
pagi yang menyusup lewat celah jendela dan menembus kaca bening
berhadapan dengannya.
Pagi, ,matahari mulai menyapa dengan sengatan yang
mewarnai kulit sawo matangnya semakin terlihat pekat.
Dengan mata yang setengah terpejam, aku menikmati
dengan aroma teh yang khas. Seteguk demi seteguk aku mencium
ujung bibir gelas, seakan manis dan bibirnya, lama aku
menikmatinya, lebih dari dua jam segelas teh manis itu tak kunjung
habis, seperti terus-terusan dituang dari teko yang terisi penuh. Aneh
juga, sepanjang aku meminumnya seperti gelas itu kembali terisi,
dan tak ingin habis oleh bibirku.
Tiga jam berlalu dan habis. Sekeras itu aku meminumnya
seperti habis maraton. Keringat bercucuran sekujur tubuh , oleh
hangatnya teh dan cara menghabiskannya.
“Berapa Bu?”
“Dua ribu.”

145
Aku sodorkan pecahan dua ribuan dan pergi meninggalkan
warung itu untuk kembali ke kemudi truk pasir yang aku kemudikan
mengambil jatah jam dua pagi.
Aku menelan teh seperti biasa, perlahan namun pasti aku
menenggak teh yang memang sudah menggoda dari tadi, belum ada
lima belas menit, teh habis dengan cepat. Apakah cuma perasaanku
atau memang teh ini berbeda dengan warung kemarin.
Hari berikutnya lagi, mungkin sudah seminggu tidak
mampir di warung yang pertama, namun rasa penasaran masih
bergelut di pikiranku.
Aku mampir di warung yang pertama, memesan minuman
yang sama. Teh yang sama, kali ini kupasang gadget disamping dan
kurekam minum teh seperti acara traveler kuliner. Meminum dengan
nyaman, melewati tenggorokan dan manis, makin enak lagi.
Kehangatan itu terus menjalar ke seluruh tubuh kehangatannya.
Hal yang sama terjadi, satu jam pertama lewat, dan gelas
masih saja terisi. Terus meminumnya, jam kedua ini masih tinggal
setengah.
Kenapa teh ini tidak habis seperti di warung sebelah yang
sangat sebentar untuk menikmatinya.
Jam ketiga pun habis. Lega rasanya bisa habiskan segelas
teh dan tentu dengan beberapa potong gorengan.
Aku mengambil gadget dari tadi merekam, namun hasil
rekaman menunjukkan sepuluh menit terekam dan habis.

146
Potongan Kisah Pada Sebuah Film
Shavika Rizqi Amalia
2111415027

Di luar hujan masih saja deras, aku dan Aslan masih saja
duduk menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kopi. Aku tahu
meskipun sudah minum kopi tapi tetap saja Aslan terlihat mengantuk
karena bosan
“Aku teringat akan adegan di suatu film, ketika seorang ratu
merasa bersalah dan meminta maaf kepada seorang rakyatnya yang
berprofesi sebagai seorang pencuri!”
Aku memulai topik pembicaraan yang baru. Setelah sekian
menit aku dan Aslan diam. Sebelum diam kami jelas sudah berbicara
banyak hal, dan sekarang aku yang membuka topik baru untuk
dibicarakan.
“Sepertinya kau akan mulai bercerita, apa yang akan kau
ceritakan sekarang, An?” tanya Aslan, jelas dari nada pertanyaan
Aslan, yang terdengar enggan untuk mendengarkan ceritaku. Dia
jelas bosan.
“Kau tau Lan kenapa ratu itu meminta maaf?” aku tak
menghiraukan Aslan yang merasa bosan.
“Jangan bicara masalah ratu dan rakyatnya, seolah-olah
kamu akan bercerita tentang pemerintahan, yang katanya pemerintah
itu selalu benar, hahaha kau tahu kata pemerintah selalu benar itu
aku ambil dari kata-kata di sebuah cerpen yang aku baca, jadi apa
yang ingin kau ceritakan, An?” Aslan bertanya penuh rasa penasaran

147
………..
Apakah anak-anak mu bahagia dengan uang hasil
curianmu? Bagaimana pun juga akulah yang harus minta maaf,
maafkan aku sebagi seorang ratu kerajaan. Aku bahkan tak tahu
ada rakyatku yang menderita sepertimu, kekhawatiranmu dan
penderitaanmu benar-benar membuatku sedih!
Sejenak aku berhenti, untuk mengingat-ingat kata-kata sang
ratu di adegan film yang sangat aku ingat itu, tapi aku harus tetap
berusaha mengingat setiap kata-kata sang ratu agar aku selalu
mengingatnya.
“Kau pasti menderita melakukan semua ini,
Itu kata sang ratu dan si pencuri membalasnya;
Sebenarnya aku tak ingin melakukan ini, tapi tak ada
pilihan lain bagiku semua daganganku terbakar habis. Seseorang
telah membakarnya dan mencuri semua uangku. Aku kehilangan
pekerjaan, dan beban ku semakin besar dan lebih menyedihkan
anak-anak ku kelaparan,
“Begitulah kata pencuri itu setelah itu ratu bicara apa ya?
Sebentar Lan aku agak lupa, coba ku ingat lagi,” sejenak aku
berhenti, untuk mengingat-ingat kata-kata sang ratu di adegan film
yang sangat aku ingat itu, tapi aku harus tetap berusaha mengingat
setiap kata-kata sang ratu agar aku selalu mengingatnya.
“Oh iya sang ratu bilang seperti ini jadi karna itu semua
kau melakukan ini, aku mengerti tapi kau tak boleh melakukannya,
tapi maafkan aku, kami keluarga kerajaan tak bisa menjadi harapan
baik bagi kalian. Nah Lan, jadi seperti itu adegan film yang aku
suka,” aku mulai berhenti bicara. Sekarang giliran Aslan berbicara,

148
aku hanya ingin mendengar tanggapan Aslan setelah mendengarkan
ceritaku.
Hujan makin deras. Tapi setidaknya kopi kami masih
hangat dan masih nikmat diminum. Entah disengaja atau tidak aku
dan Aslan meminum kopi secara bersamaan, dari jendela, kota tak
terlihat sepi.
“Aku hanya akan menarik kesimpulan dari ceritamu
barusan An, aku berpendapat dari ceritamu itu bahwa pencuri itu tak
benar-benar bersalah, terkadang seseorang melakukan hal semacam
itu karena suatu alasan tertentu, dan terkadang orang atas maksudku
dalam ceritamu itu sang ratu juga bersalah karena keluarga kerajaan,
tak bisa menjadi harapan yang baik untuk rakyatnya, sehingga
rakyatnya melakuka hal semacam itu. Coba saja jika keluarga
kerajaan sebagai pemimpin mereka bisa mendengar jerit kemiskinan
rakyatnya dan peduli terhadap rakyatnya? Mungkin tak ada orang
yang akan mencuri atau hidup miskin, begitu An?” itulah tanggapan
Aslan.
“Itu bagian film yang paling aku ingat Lan” Jawabku
seakan aku tak menghiraukan pendapat Aslan.
“Jika pencuri itu tak sepenuhnya bersalah, bagaimana
dengan para tikus pemerintah yang memakan uang rakyat? Apakah
mereka tak sepenuhnya bersalah juga, mereka juga termasuk pencuri
kan An?” tanya Aslan, sekarang dia mulai tertarik akan ceritaku,
kurasa.
“Hahahaha, kau lucu Aslan, memang mereka pencuri tapi
mereka lebih ke orang yang rakus. Kau tahu orang yang rakus kan?
Mau dibayar seberapa pun, tetap saja mereka merasa kurang, padahal

149
mereka bukan orang miskin. Gimana mau dibilang miskin gaji
mereka gede, mereka saja tak pandai bersyukur, ya tikus-tikus itu
yang kau maksud Aslan jelas berdosa,” jawabku.
Aku mulai meminum kopi lagi, kopiku sekarang mulai
dingin tapi masih ada saja kehangatan yang bisa kurasakan dari kopi
ini. Jelas kopi ini masih nikmat kuminum.
“Anna, kau tahu? Terkadang pemerintah tak selalu salah,
masih banyak contoh di sekeliling kita bahwa pemerintah itu benar
atau lebih tepatnya program pemerintah sudah benar tapi rakyat tak
mau mengikutinya, jangan salah Anna! Ini pendapatku sendiri. Aku
tak menjiplak di suatu cerpen lagi, semua orang bebas berpendapat
kan, An?” Aslan mulai meneguk kopinya sampai habis.
“Hahaha memang benar Lan, kita tak boleh hanya
memandang dari satu sisi, terkadang pemerintah sudah benar rakyat
yang tak mau diatur, atau sebaliknya pemerintah tak mau
mendengarkan suara-suara jeritan rakyatnya, kan Lan?” aku pun
menyerukan pendapatku, pendapat yang sama dengan pendapat
Aslan.
Jarum jam pendek pada jam berhenti di angka lima,
sedangkan jarum yang lebih panjang sudah di depan meninggalkan
jarum pendek tepatnya di angka enam, tapi ada satu jarum yang
sedari tadi telah memutari semua angka, ya jarum itu berwarna
merah dengan mengeluarkan bunyi yang khas “tik tik tik tik”.
“Setengah enam!” suaraku dari dalam hati jelas Aslan tak
akan mendengarnya.
“Habiskan cepat kopimu!” perintah Aslan padaku.

150
Hujan mulai reda, tapi udara masih saja dingin, meski
dingin suasan sehabis hujan selalu memberi kenikmatan sendiri
bagiku.
“Kopi ini sudah dingin, Aslan!”

151
Persidangan
Shavika Rizqi Amalia
2111415027
Aku duduk di antara banyak orang, saksi, pengacara, hakim
sebagai Tuhan di dunia. Bahkan terdengar isak tangis dari beberapa
orang di belakangku. Baju tahanan, borgol di tangan lengkap sudah,
sekarang aku tampak seperti seorang tersangka, bukan seperti tapi
aku memang seorang tersangka. Kasus pembunuhan, ya akulah yang
telah membunuuh suamiku sendiri.
“Saudari Yara! Apakah benar Anda yang membunuh suami
anda sendiri yakni saudara Salim?” pertanyaan dari hakim selaku
Tuhan di dunia mulai menghampiriku seolah-olah aku harus segera
menjawab.
“Ya benar!” jawabku.
Apa? Memang benar aku yang membunuh suamiku toh aku
sekarang sungguh tak peduli jika harus hidup di jeruji besi
selamanya, karena apa? Bukankah jelas untuk apa aku hidup, jika
sosok yang aku cintai kini telah mati, iya mati di hatiku karena
kesalahanya berkhianat.
………..
“Biadab kau, kenapa? Kenapa kau tega berselingkuh
dengan wanita jalang itu!”
“Jaga mulutmu sayang, jangan bicara kasar! Biar
kujelaskan”
“Kukira kau tak perlu penjelasan, dari kata-katamu tadi
sudah cukup menjelaskan, kau memang mencintainya, tapi kenapa?”
“Sayang aku jelaskan!”

152
“Apa? Apa karena aku tak bisa memberimu anak, jadi kau
mencari wanita lain, iya begitu?”
………….
“Apa motif Anda membunuh suami Anda sendiri?” sebuah
pertanyaan terdengar lagi, sang Tuhan dunia terasa ingin lebih tahu,
pertanyaannya membuatku tersadar dari lamunanku.
“Cemburu!” jawabku dingin.
Memang benar aku cemburu dengan lelaki yang dulu
kusebut suamiku, wanita mana yang tak cemburu ketika tahu
lelakinya mulai jatuh cinta terhadap wanita lain, ketika lelakinya
bergandeng mesra dengan wanita jalang di tengah jalan.
…………..
“Sayang, kumohon maafkan aku!” rengek suamiku, dari
kata-katanya saja sudah jelas dia mengaku kesalahanya dengan
meminta maaf kan?
“Jangan mendekat! Kau mendekat pisau ini, di tangan ini
akan berpindah tempat tepat di jantungmu!” ancamku, aku ingin
segera menghabisi suamiku. Dosa? Aku sudah tak peduli.
“Setan apa yang merasukimu?”
“Setan? Setan yang sama merasuki dan menghasutmu untuk
berkhianat”
“Kumohon maafkan aku!”
“Kenapa rasa cemburu begitu sakit?” aku mulai merasakan
betapa benar sakitnya rasa cemburu, ingin aku membunuh lelaki di
depanku ini.
“Sayang, aku mohon maafkan aku!”

153
Lelaki brengsek ini mulai mendekat, di pikirannya aku tak
akan berani untuk menikamnya, dia mulai mendekat dan aku
merasakan darah membasahi tanganku, disertai suara rengekan
kesakitan.
“Sa… sa… sa… sayang”
“Aaaaaaaaa!!” aku menjerit! Aku berlari ke luar rumah.
Bulan purnama terlihat begitu indah, tapi di langit tak
menggambarkan sedikit pun rasa sakit di hati ini. Di mata ini jelas
yang terlihat sekarang hanyalah darah merah segar yang berbau
amis. Merah darah masih saja tak bisa menggambarkan rasa marah
di hati, tapi untuk apa aku marah, suamiku kini mungkin sudah
kehabisan darah, dan merintih bertemu malaikat maut, kupikir dia
akan bernegosiasi dengan malaikat maut untuk jangan mencabut
nyawanya terlebih dahulu, aku masih berlari sampai akhirnya aku
jatuh dan menangis, menangis karena takut malaikat maut juga akan
mengambil nyawaku, menangis karna senang, karena sanggup
menghabisi suamiku sendiri yang telah menyakiti hati ini. Tapi tetap
saja ada sedikit rasa cemburu yang tak akan pernah hilang, dan aku
juga menyesal karena aku akan hidup sendiri tanpa ditemani dengan
seseorang yang telah aku cintai bertahun-tahun. Tapi rasa bahagiaku
lebih besar menggerogoti hati dan jiwa ini.
…………
“Bisakah Saudari menjelaskan bagaimana kronologi dari
kasus pembunuhan yang saudari perbuat terhadap suami Anda?”
pertanyaan dari sang Tuhan di dunia mulai memuaskan karena lagi-
lagi membuatku terbangun dari lamunanku.

154
“Aku cemburu, aku membunuh dengan pisau, pisau tajam,
karena tajam lelaki brengsek itu mati” jawabku dengan senyuman!”

…………

Dengan tangan berlumuran darah, amis sangat amis bau


darah ini aku ingin cepat-cepat membersihkan darah ini, tapi aku tak
ingin darah ini pergi dengan sia-sia karena aku bersihkan dengan air,
darah ini sebagai bukti aku seorang pembunuh dan aku bahagia
ketika aku dapat membunuh lelaki berengsek.
“Aku…aku.. aku membunuh suamiku, suamiku si lelaki
brengsek biadab!” aku menjerit, menangis, takut, dan sangat bahagia.

“10 tahun penjara!” sang Tuhan dunia mulai membuat


keputusan.
“Maaf pak Hakim, saya ingin mengajukan keringanan
masa tahanan” suara sang pengacara yang aku tunjuk sebagai
pengacaraku mulai terdengar.
“Saya ingin meminta keringan masa tahanan bagi tersangka,
dari 10 tahun menjadi 5 tahun, tersangka mengalami gangguan
jiwa!”
Sialan pengacara satu ini, gangguan jiwa katanya? Tapi aku
memang membayarnya untuk selalu membelaku, pengacara rela
membela seseorang pembunuh hanya untuk uang yang tak akan
dibawa mati, aku jadi penasaran apakah pengacaraku ini dapat
bertemu aku di neraka nanti, atau hanya dia yang akan bertemu
dengan suamiku di neraka, lebih dosa mana? Aku yang seorang

155
pembunuh atau pengacara yang berkata bohong, dan tetap membela
orang yang bersalah dan jelas dia tahu bahwa orang yang dibelanya
itu bersalah, atau sang hakim yang bertindak seolah–olah Tuhan di
dunia ini dengan segala keputusanya, dan terkadang sang hakim
salah memberi keputusan hanya karena tergiur uang yang tak
seberapa, yang dengan mudah menyuapi setiap lubang agar lubang
itu tak menyerukan kebenaran terhadap orang-orang yang haus akan
kebenaran.
“8 tahun penjara!” keputusan sang Tuhan.
Sang Tuhan atau sang hakim memukul palunya tanda
sidang ditutup.
Siapa yang lebih dosa? Suamiku kah karena membuat rasa
cemburu ini?

Semarang, maret 2017

KelaminSalibukanSeli
Staniyaturrohamah
2111415042

Diamembukacelananya,melihatkelaminnya dengan
seksamasepertibelumpernahdilihatsebelumnya. Kemudianditutup,
lengkapdenganmembuatsimpul pita
padatalicelanakoloritu.Dibukalagi, ditutup, dibukalagi, kali
iniiamerabanya. Laluditutuplagi.NamanyaSali,

156
pandangnyapenuhamarahsembari tak
lupamenangkupkantangannyatepat di kelaminnya.
“Inikesalahanemak!” jeritnyakemudian.
SudahsemingguiniSalimembisupadaemaknya.Ditanyatakdijawab,
disapatakbergeming.Sudahsemingguiniia- yang
sejatinyaterlahirsebagaiseoranglaki-laki –
menolakkerasdipanggilSali.Padaemaknyaiamarah,
menuduhbahwaemaknya yang
menempelkankelaminbarupadatubuhnya.
“Jelaskesalahanemak, sejakkapanSelijadilaki-laki!Emak yang
selalumenyuruhSelimemakaibajulaki-laki, yang
selalumembelikanSelibajulaki-laki! Selibukanlaki-laki!”
Emaknya diam. TangannyasibukmenanaknasibuatSali.
Emaknyadiamselaludiam, namun di
dalambenaknyatakpernahlepasdaribayang-
bayangsuaminya.Sebabsuaminyatelahmeninggalsetahun yang lalu,
tertabrak bus saatmelarikandiridarikejaranSatuanPolisiPamongPraja.
Emaktelahmemendamsesal, benci, tapi jugacintadalamwaktu yang
cukup lama, pun sendiriantanpaada yang tahu.
Iatidakbisaberceritabegitusajakepadaibu-
ibujengsepertipadaumumnya, padakeluarganya sendiripun tidak.
Bahwaiamempunyaikeluarga yang cacat, yang
siapapuntahuakanmenilainyarendah. Bahwasuaminyabanci,
suaminyapenyukasesamajenis,suaminya yang
memilihterlihatsepertiwanitaketimbanglelaki.

157
“EmakbukankesayanganSeli,
Emakjugabukankesayangandaddy.Emakbukanibu yang baik!
Selibenciemak,”jeritSalilagi, membuyarkanlamunanemaknya.
Emaknya diam. Buru-buruiamasukdalamkamar
melanjutkanlamunannya. Salitakdigubrisnya,
iasudahbiasatidakmenghiraukannyasemenjakSalitaklagimenurutpada
nya. Emakkembalimerasakansesal, benci,tapicinta.
Kembaliterbayangsuaminya.
***
“Sudahmenujuusia 29 tahunkamubelumnikahjuga.Bapakibu yang
menanggungmalupadatetanggadikiranyakamutidaklaku.Perempuana
padikiranyakalausampaitidaklaku. carilahseoranglelaki yang
maumenikahikamuatauterpaksabapakcarikan
pasangandankamuharusmaumenikah,” kata bapaknyadulu.
***
Emakbukantipikalwanita yang
bisadekatdenganseorangpria.Terlebihmencaripasanganhidup.
Buatnya,sepertimencarijarumdalamtumpukanjerami.Tapiemak diam.
Diamemangseorangpendiam. Pun
ketikawaktutelahmempertemukanemakdengansuaminya,
emakmemilih diam. Hal yang sampaisaatiniiasesalkan.
Mengapamestidiamkalaubisaberbicara?Mengapatakmenolak kalau
memangtaksuka?Mengapajugaharusada yang berbohong?
Katanyapadadirinyasendiri.Iatelah lama tahulaki-laki yang
akandinikahinyaadalahbanci di jembatanperiketikapukulsatupagi,
tapikeluarganyatidakpernahtahu.

158
Emakcukupmemahamisuaminya,
iatetapberusahamenjadiistri yang
baikwalaubahkansuaminyalebihtelatendalamurusanpekerjaanrumahta
nggamaupunberdandan. Emaktelahberulang kali mengajakbicara,
menuntunnyamenjadiseoranglelakilalumengandungSalihasilpersetub
uhanterpaksaolehsuaminya.Emakmenaruhperhatianpenuhpadasuami
nya.Menjagabajunya, tubuhnya, menciumnya, memanjakannya,
menghormatinya.Namunsuaminyamasihkemayu,seberapabesarsuami
nyapuninginberubahuntukmembahagiakanemak. Tidakada yang
berubah.Hanyasajaperasaanemak yang berubah,
kebenciannyaberubahmenjadisimpati, emakibapadasuaminya,
iamengakumencintaisuaminya. Emaktelahmengalami dilema
besarantarasesal, benci, tapicinta.
“Emakjahat!Selibenciemak!“jeritSalitepat di hadapanemaknya.
Iamenangis,emakjugatidaksadartelahberurai air mata.
SesekaliSalimenarikingusnyamasuklagi.Mata yang
menangisitusalingbertatap.
“Selibenciemak…”
TangisSalimakinkeras.Emaktidaktahuharustersenyumataumenangisk
arenaiamerasaSalisangatmenyayanginya. Namundisisilain,
Salitakhenti-hentinyamengatakanbahwaiamembenciEmak.
Salibenar, inimemangsalahnya. Salah
emaktidakmenjagaSalidenganbaik,
membiarkansuaminyamenyentuhanaknyadengancarayangsalah pula.
Salah emak yang
tidakdapatsedikittegasatausedikitsajalebihperhatianpadaSali.Salah
emakjugamembiarkanSaliterusmendengarkanucapansuaminyatanpa

159
mendampingi.Salah emaktelahmelahirkan,
salahemaktelahmenikahdengansuamisepertiitu.Saliterlahirsebagaiseo
ranglaki-
lakidandenganbanggaiamemberinamaSali,namaseorangpangerandala
m sebuah cerita yang pernahiabaca. Sali yang
tumbuhtampansepertibapaknyadancerdassepertiemaknya. Yang
kemudianteracuniolehsuamiemak, yang
bersikerasSaliharusmenjadiSeli.Suamiemaktidakinginmempunyaiana
klaki-laki. Salimenurutsuamiemakadalah anak yang
cantikdenganseambrekbajuperempuanyang mahal,
beberapaperalatanmake up yang
disiapkanuntukSalijikamaubelajarmake up.Sali yang
selaludimandikanbapaknya, yang rambutnyadibiarkanpanjang agar
bisadipakaikanjepitrambut.Sali yang
cantik,jauhdarigambaranpangeran yang diharapkanemaknya.
Semuaituadalahkesalahanemak.
“EmakjangantinggalkanSeli.Selitakutsendiri.Selisayang Emak,
jangantinggalSeli,”ujarSelimasihdengantangis.DidekapnyaSalikepelu
kanEmak.
“EmakjugaSali,lebihdari yang Salitahu,
setiaphariEmakmendoakankeselamatanmu, Emakmenjagamu agar
kamutidaksakit.EmakselalusayangSali.”
“TapikenapaemakjahatpadaSeli.EmakselaluinginmerubahSeli.Seliper
empuanbukanlaki-laki!”
Salikembalimenghardik.DitatapnyamataSalidalam-
dalamolehEmak.Dalamtangis, merekaberbicaradalamhati.

160
“KauseoranglelakiSali, kauadalahpangerangagah yang
akanmembuatsetiap orang
bangga.KaupangeranEmak.DengarkanemakSali, kauseoranglelaki
yang tampandangagah.Di
duniainihanyaadaduamacammanusiaanakku,
lelakidanperempuan.Dan
kautelahmelihatpadaalatkelaminmubahwakauterlahirsebagaiseorangl
elaki.Kaupangerantampan nan gagahanakku.”
Saliterdiamsejenak, mencobamemahamiperkataanEmaknya yang
sepenuhnyatidakiapahami. NamunSalitelahmenemukandirinya yang
selamainiiapertanyakan. Diaadalahseoranglaki-
lakidantakperluragulagiakanitu. KemudianSalimenangislagi.
“Emakjahat!Kenapaemaktidakmemotongrambutkusepertipangeran di
tv.”
Emaktersenyum.
***
“Jadilahsuamikumas,yakinkankauitusuami,”ujarnyasebelumsuami
emak berangkatpadawaktuitu.
Suaminyatelahmenjadiwanitacantikpadapukulsatupagi.Siapmenjajak
andiri di jembatanperi.
“Maafkanaku,
tapiakusudahmenemukancintaku.Malaminiakuakanberkencandengan
nya. Maafkanakutidakbisasesetia yang kamuharapkan,
maafkanjugaaku yang
tidakbisamenjadisuamimuataupundaddybuatSeli.Akupamit.”
BanciitumengecupkeningSeliuntukterakhirkalinya,
meninggalkanemak yang penuhdenganderai air

161
mata.Sampaikemudianmerekabertemulagidengantubuhberbalutdarah.
Suaminyatelahmeninggal.

162
MenantiPacarku Dina, di Taman TuguMuda
Staniyaturrohmah
2111415042

Jadi di siniakumasihberdiri, di
pinggirankolamdengantugumuda yang berdirigagah di
tengahnya.Menungguperempuan yang membuatkujatuhhati,
namanya
Dina.Diatakpernahkembalisejakterakhirmemberikukadosepatuloakan
,
taklagimaukembali.Menghilangtanpamenyisakanjejak.Akumenunug
guselamakuranglebihlimabelastahunan.
Waktuituusiakusepuluhtahun,kelas 4 SD. Sekarang,berapaumurku?
Ah ya, mungkinmemangduapuluhlimakalautidaksalah. Pertemuan-
pertemuankudengan Dina,
akuanggapsebagaikencan.Menyenangkandanselaluinginkuulangi.
“Siapakamu?”
tanyanyawaktuitu.Akuingattepatnyapadapukulduabelasmalamketikaa
kumenjual koran yang sebenarnyasudahmasukkategori koran bekas,
karenamenitberikutnyasudahbergantiharibukan? Aku bungkam.
Pura-pura tak mendengar apa yang ia tanyakan. Lalu kembali Aku
merengek.
“ Mbak, mas” Kala itudiasedangbersamaseoranglaki-laki “ ayo dong
dibelikorannya, duaribuaja. Akuudahcapeknihmautidur,”
tawarkulagi, memelas.
“Kalomautiduryatinggaltidurdek,” sautmasnya,
“Emangbesokkamundaksekolahapa?” pertanyaan yang sudahbiasa.

163
Aku pun menjawabsepertibiasanya, sepertisebuahprosedur yang
berkali-kali dilakukan, akuhafalsekalikalimatini.
“Sekolah mas, tapi koran iniharushabis,
kalauenggaknantiakudimarahi”
Perempuanitumenatapku,
kemudiantersenyum.Tangannyamenyanggadagu,
rambutnyasebahu.Sesekaliangin membuatrambutnyabergerak,
menambahcantiknya di
malamhari.Kemudianiamenjulurkantangannya.
“ Namaku Dina. Diingat, jangansampailupa.Kamusiapanamanya?”
“AkuRianmbak,”
jawabkukalemsangkingterpesonanya.Iaberanjakdariduduknya,
menariklenganlaki-laki yang akusangkapastipacarnya.
“ Mbakbeli korannyadulu, ayolahmbakdibeli, udahngantuk,”
rengekkulebihmemelas, lalukuselipkan koran itu di
kantongdepantastentengnya. Akumengumpatdalamhati,
mengapaiamasihsajatersenyumcantik. Diambilnya Koran
itudandiletakkan di tumpukankoranku.
“SeorangmanusiadilarangTuhanuntukberbohong,
kalaukamumengakumanusiatahukanharus bagaimana?
Kalaungantuk, tidur.Kalaucapek, istirahat. Kalaugakadapembeli,
belajarsajabuatsekolahbesok.Jalanihidupmu seperti yang kamuingini,
jangandengarkanorang lain. Cukuppercayalakukan yang terbaik,”
ujarnyasembariberjalanmenjauhiku.Sepertiitulahkesanpertama
bertemudengancintapertamaku. Dina, Mahasiswi UniversitasNegeri
Semarang yang usianyajauhdiatasku.

164
Selanjutnyaiaselalumenjelmasepertibidadari.
Disaatakumerasabosanuntukhidup, sakit, marah, pun
ketikaakumalasmandidansekedarmemaksakumembacabuku,
diaselalutiba-tibadatang. Dina yang membuatkumengenang kisah
hidup yang
kelamsekaligusmenyadarkankubahwakisahkelamkubukansatu-
satunya di duniaini.
Akusebatangkara. Takpunya orang tua, tinggal di
gubuktuabersamalelakituadanjelek yang entahsejakkapansudahada di
sana. Denganbeberapaanaklainnya yang
tentusajanasibnyatakjauhbeda –menjualkoran, mengamen,
memulung- kami rancang kata-kata untukmenarikpembeli,
“ Kak, pak, buk, belikorannya, kasihuangnya, kasianiaku,
buatmakan, buatsekolahkak, pak, buk, “
denganwajahmemelasdanbajucompang-camping tentunya.
Semuaitukuceritakanpadanya, hal yang
sangatterlarangdilakukansebetulnya.Aku rasa akuterlalumembukadiri
demi setiap rasa puas yang akuinginlihat di
wajahcantiknya.Tapisepertitakterbalas, akutakpernah tau
sepertiapapujaanhatikuini. Diabaik, diatulus, dandiacantik.
Mengulangsemuaceritaitumembuatotakkuterkocok,
rasanyainginmuntah.Seperdetikpunakutakbisamenghilangkanpikiran
kudarisosokbidadariitu.Diabelumjugakembali, kemanadia?Taman
tugumudamulairamaipengunjung. Berpasang, rombongan, atau
sendiri, sepertiaku.Lagi-lagi pikirankutanpamengertisakitnyahatiku,
memutarkembalimasa-masaakubersama Dina.

165
Hariituakubertemudengannya.Sepertiwaktu-waktusebelumya,
akuselalutampakbahagia.Apalagimalamitu Dina
membawasepatusebagaihadiahkarenanilaimatematikakumencapai 80
–meskidiabilangitusepatuloak.Dimalam yang
takpernahkusangkamenjadipertemuanterakhiritu, Dina bercerita,
“Masakecilkutakjauhmengerikan.Ibukupelacur,
mengusirkulantarantidakmaujadipelacur.Tapiakutakmengapa,
mungkinhidupkumemangtidaksedangberuntung.AkusadarsajaRian,
akutakbisamengubahnasib yang sudahterjadikan? Suatuhal yang
sudahremuktakbisalagidiremukkan.Yang
kulakukancukupmenyusunkepinganituperlahan.Meskitakjadisempur
nasetidaknyataklagiremuk.Kalausudahtahurusakjangandirusaklagi.”
Dina menatapmatakulekat.
“ Berjanjilahuntukmelakukan yang terbaikuntukhidupmuRian,
perjalananmasihpanjang. Janganmudahputusasa,”
ujarnya.Matanyaberair.Setelahituiatakpernahdatang lagi.
sampaidetikiniakumasihberdirimenunggunya, entahsampaikapan.
***
Sepertibiasatamantugumudaselaluramaiketikamalamdatang.
Dari yang bersamateman-temannya, keluarga, dan yang
takpernahmauketinggalankesempatan, pemuda-pemudiyang
dimabukasmara. Terlihatduaperempuan yang
sedangmengolahekpresinyadi depankamera, tepatnya di pinggiran air
mancur yang tengahnyaberdirigagahTuguMuda. Cekrek, cekrek.
“Wah, bagus Res. Ayo cariview yang baguslagi!”

166
Namanya Tares danBimbim.Tares berambutpanjangdanbertubuh
ramping dan yang satunya, Bimbim,
rambutnyaikaldantubuhnyaberisi.
Tiba-tiba...duk!
“Au!” seruBimbim.Iamembalikbadannya, ditemuinyalelaki.
Bimbimtercengangsejenak, begitujuga Tares.Lelakiitubrewokan,
rambutnyagondrong, bajunyacompang-camping, dicelananya yang
kotormengikattalibesertakalengbekas.Sepertiadegan film yang
dimodeslowmotion, Tares
danBimbimmembukamulutlebarmemasangkode-kodeakanmenjauh.
“Hua…orang gila….,” teriakmerekaberduasembariberlari.
LelakigilaitudipanggilRian.

GunungPati, 05 Maret 2017

167
Hilang
Tabita Nugrahani Putri
2111415034

Bandung kala itu terlihat ramai dengan hiruk pikuk kota


yang menghiasinya, namun tidak dengan hati Rina. Perpisahan
dengan Milan sangat berpengaruh dalam dirinya. Hari demi hari
yang biasa Rina dan Milan lalui berduaharus pupus ditengah jalan
lantaran perbedaan yang terjadi di antara mereka. Mungkin beberapa
orang boleh beranggapan bahwa berbeda kota tidak apa-apa dalam
menjalin suatu hubungan tapi berbeda tempat ibadah, apakah masih
menjadi tidak apa-apa?
Itulah yang menjadi dilema di hati Rina dan Milan kala itu.
Dua sejoli yang sudah berpacaran hampir lima tahun harus pupus
ditengah jalan lantaran perbedaan yang terjadi di antara mereka.
Komitmen yang mereka bangun harus berakhir, itu sudah menjadi
kesepakatan mereka berdua.
“Rin, bengong mulu kesambet baru tau rasa,” ucap Frida,
teman Rina.
“Bukan bengong sih, cuma lagi mikirin masa depanku aja,”
kata Rina dengan nada tenangnya.
“Udah dong Rin, jangan sedih terus, bagaimanapun ini udah
jadi keputusan kalian kan?Mau gak mau ya kalian harus jalani ini.
Menurutku ini sudah jadi keputusan terbaik, daripada kalian terus
jalan berdua tapi kalian udah tau endingnya seperti gimana, apa
nggak malah lebih sakit hati kamu?” tegas Frida memberi nasehat
kepada Rina.

168
Semenjak berpisah denganku, Milan memutuskan untuk
melanjutkan kuliah di Jakarta sedang aku di Bandung. Hal tersebut
semakin meyakinkanku untuk tidak terus berharap kepada
Milan.Namun, tak bisa dipungkiri aku masih sangat
menginginkannya. Hari demi hari, bulan demi bulan, kulewati
sendiri di kota Bandung. Entah mengapa semenjak kepergiannya ke
Jakarta, aku merasakan sepi walaupun di tengah keramaian. Sudah
hampir tiga bulan, Milan belum juga kembali dari Jakarta. Tak ada
kabar apapun darinya. Lamunanku mulai berubah menjadi
kegelisahan yang sepertinya sudah tiga hari terakhir ini kurasakan.
Disaat itu juga aku terus memanggil namanya, tapi apa yang
terjadi? Tak ada bayangan yang seharusnya membawa kabar bahwa
dia baik-baik saja meskipun kita telah berpisah. Inginku hanya kita
akan selalu baik-baik walaupun telah berpisah.
Dengan pikiranku yang sangat kacau, kucoba
membaringkan badanku di tempat tidur, menutup mata dan berusaha
untuk sedikit menenangkan kegelisahanku.
“Rina?” sapa Frida lagi.
“Hmm?” sahutku santai.Kembali, kububarkan kejadian
yang sedari tadi aku ulang di pikiranku. Aku membuka mataku dan
menatap Frida.
“Apakah kau tak lapar? Kita sudah hampir satu jam disini
dan hanya berdiam diri saja. Ini membuatku lapar, bagaimana jika
kita pergi makan?” ungkap Frida dengan wajahmemelaskasihan.
“Baiklah, setelah makan temani aku ke rumah Milan ya.
Sudah lama kita tak menjenguk mamanya Milan,” ujar ku terhadap
Frida.

169
Setiap alunan di restoran tempat kami makan,
mengingatkanku berbagai kisah yang kurasakan selama ini bersama
Milan. Ya, karena ini adalah restaurant favoritku dan Milan.
“Siang tante,”sapaku kepada ibunda Milan, yang sedang
duduk di teras.
“Eh, nak Rina, masuk nak,”sambut ibunda Milan
terhadapku dan Frida.
“Tante aku gak boleh masuk dong?” ujar seseorang dari
belakangku yang tak lain adalah Frida.
“Eh maaf, tante tidak melihatmu nak, ayo Frida ikut masuk
juga,” ujar ibunda Milan sambil tersenyum.
Setelah masuk dan duduk, tiba-tiba tante Mira menangis.
Entah kenapa, tetapi tangisan tante Mira saat itu terlihat benar-benar
tangisan seorang ibu yang sangat merindukan anaknya. Lebih
tepatnya anak kesayangan yang sedang merantau di Jakarta.
Aku berdiri dari tempat duduk dan melihat beberapa fotoku
bersama Milan yang terletak rapi di atas meja sudut ruangan itu. Aku
juga sangat merindukan Milan tante, bisikku dalam hati.Percakapan
dengan tante Mira pun tak berlangsung lama karena sebelumnya
Frida sudah berpesan kepadaku bahwa ia harus pulang kerumah
eyangnya di Bogor. Saat aku sudah kembali ke rumah, tak bisa aku
pungkiri bahwa dalam kesepian sekalipun aku sangat teramat
merindukannya. Kembali aku mengingatnya, kulanjutkan lamunanku
tentang Milan.
Tidur pulasku saat itu terganggu oleh suara
teleponberbunyi. Saat kuangkat itu adalah suara tante Mira.

170
“Prakk!!”Telepon yang kugenggam jatuh ke bawah,
pandanganku gelap. Di luar kaca kulihat langit pun menjadi gelap,
suara petir yang terasa akan memecahkan kaca rumahku, membuat
jantung ini semakin cepat berdetak. Kulihat bayangan Milan yang
sedari tadi kutunggu-tunggu, dia tersenyum padaku, melambaikan
tangannya dan hilang dalam sekejap.
“Milan!!!” teriakku dalam kamar yang hening itu. Terjatuh
ku ke lantai, dan mulai terasa sakit di dadaku.
Ternyata sudah lama Milan mengedap penyakit kanker
kelenjargetah bening. Namun tante Mira tidak tau menau akan hal itu
karena Milan sendiri menyembunyikan hal tersebut dari tante Mira.
Setelah mendapat telepon dari teman Milan di Jakarta, akhirnya tante
Mira pun tak kuasa meneteskan air mata dan langsung
menghubungiku bahwa Milan telah tiada. Dengan keadaan yang
benar-benar tidak baik,aku perlahan bangkit dan bergegas ke rumah
tante Mira.
Ramai, kali ini benar-benar ramai. Di setiap sudut ruangan
kudengar suara isakan tangis, entah apa ini. Otakku saat itu benar-
benar tidak membuatku bergerak atauberbicara satu patah katapun.
Berdirilah aku di depan pintu masuk, dan apa yang kulihat saat itu
benar-benar membuatku meneteskan air mataku. Kulihat Frida dan
kawan-kawan lain menangis juga, perlahan kuberanikan diri masuk
ke dalam rumah itu. Badanku terasa dingin, jantung yang serasa akan
berhenti mulai kurasakan, kututup mulutku, aku berteriak, dan aku
terjatuh di samping seseorang yang sangat aku kenal. Yang kulihat
saat itu adalah seorang pria, dengan tubuh kaku, pucat dan sudah
tidak bernyawa.

171
“Milan!!!” teriakku dan menangis saat itu, sudah tak bisa
kutahan lagi, dia benar-benar sudah pergi. Pergi untuk selama-
lamanya. Aku terpaku, terdiam, dan membisu. Tak bisa ku berkata-
kata lagi. Frida memelukku dengan erat, air mataku sudah enggan
untuk jatuh. Kulihat, tante Mira yang sedari tadi histeris membuatku
semakin tertekan. Pemakaman yang berlangsung keesokan paginya
membuatku semakin yakin, bahwa ini bukanlah mimipi. Inilah
kenyataan dan jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaanku waktu
itu.
“Semua sudah terjawab, walaupun tidak sesuai dengan yang
aku inginkan, kau benar Milan, kau kembali lagi, tapi kau kembali
kepada YangKuasa. Semua yang kurasakan kini sudah jelas. Aku
akan mengikhlaskanmu. Tapi kumohon jangan hapus senyummu dari
ingatanku. Terimakasih untuk semuanya Milan,” ungkapku dalam
hati sambil melihat pemakaman pagi itu.Menetes airmataku melihat
foto itu, kupegang dan kupeluk foto itu. Tante Mira dan
Fridalangsung memelukku dari belakang.
“Dia pasti tersenyum melihat kita kan tan?” tanyaku pada
Tante Mira.
“Iya nak, dia pasti tersenyum,” jawab singkat tante Mira.
Tujuh hari setelah kepergian Milan,acara berlangsung
lancar. Ini adalah acara tujuh hari Milan meninggal, dan ini yang
pertama kalinya berlangsung tanpa air mata. Seusai acara, aku pergi
ke bukit dekat rumah Milan. Di sini bisa terlihat jelas langit dan laut.
Aku tersenyum lagi sambil menatap lurus ke depan dan berkata.
“Sedang aku usahakan untuk melupakanmu, tapi tidak
membuangmu dari ingatan. Aku sadar sekarang, dunia kita berbeda.

172
Aku tak mau terus larut dalam kesedihan dan tak membuka hatiku
untuk siapapun, mungkin Allah tidak menyatukan kita di dunia. Tapi
aku selalu berdoa, semoga Allah mempertemukan dan menyatukan
kita di akhirat nanti.”
“Bahagia itu sederhana Milan. Disaat kita bisa melepaskan
semua kenangan yang bisa membuat kita terpuruk dengan sedikit
senyuman saja. Bahagia itu sederhana, disaat aku selalu
mengingatmu yang membuatku menjadi wanita yang kuat dan tegar.
Kamulah yang selalu menyuruhku tersenyum dalam kondisi apapun,
yang bisa membuatku menjadi wanita paling tangguh.”
Ku tutup mataku sebentar, kurasakan hembusan angin yang
sungguh sejuk sore itu. Canda tawa, pelukanmu, airmataku, takkan
tergantikan. Cinta selembut awan sampai kini masih tersimpan di
hati. Suara ombak dan angin sepoi-sepoi menjadi saksi bahwa
sampai saat ini, aku masih menunggumu, menunggu senyuman yang
tak pernah hilang dalam benakku. Karena kamu adalah sumber
kebahagiaan dan kesedihanku. Kubuka mata dan kulihat wajah
Milan yang sedang tersenyum padaku dari langit yang biru itu.

173
Bayang Kelam
Tabita Nugrahani Putri
2111415034

Namaku Melinda Pasca Buana Sihombing, lahir di Medan


1997. Aku anak semata wayang. Orang tuaku bernama Joy Buana
Sihombing dan Erika Putri Silaben. Mungkin sebagian dari anda
berfikir aku adalah anak yang sangat beruntung dan bahagia karena
aku merupakan anak satu-satunya dalam keluargaku. Namun
nyatanya aku tidak seperti apa yang kalian fikirkan. Sejak kecil aku
sudah terbiasa melihat orang tuaku berhubungan seksual di depan
anak satu-satunya. Hingga saat ini pun perasaan itu masih sering
muncul, ada rasa sedih, kesal namun ada rasa simpati karena dia
adalah orang tuaku. Pengalaman buruk yang aku terima sejak kecil
ternyata sangat berpengaruh dalam pergaulanku dan inilah kisah
yang aku jalani.
Jakarta, 2015. Tepat pada tahun ini aku berpindah rumah,
orang tuaku harus dipindah tugas karena pekerjaan. Aku kuliah
disalah satu Universitas Negeri di Jakarta. Kehidupan di sini
memaksaku untuk terjun dalam pergaulan yang sangat luas, bebas,
dan penuh dengan kontroversi. Saat aku memasuki awal perkuliahan,
disitulah rasa senang, sedih, minder, dan lain sebagainya bersatu.
Aku hanya berfikir bagaimana supaya aku bisa diterima oleh
lingkungan baruku.
Hari demi hari berganti aku mulai menjalani dengan
percaya diri. Hari ini kebetulan jadwal kuliah kosong dan aku hanya
datang ke kampus untuk mengerjakan tugas.

174
“Hey Melinda,” terdengar suara dari dekat perpustakan
memanggil namaku, ternyata itu Shella, dia merupakan kakak
kelasku saat aku di Medan.
“YaTuhan, Kak Shella? Sejak kapan kuliah di sini? Kok
aku sama sekali gak tau kalo kakak di Jakarta, sempet mikir kalo
cuma aku yang merantau sejauh ini di Jakarta hahaha.”
“Aku udah dua tahun disini Mel, yahgimana mau tau kalo
aku kuliah di Jakarta orang kamu aja tanya juga enggak,” ujar Shella.
“Wah gila, dua tahun di Jakarta, ngomong logat sini udah lancar
ajakak hahaha.”
Percakapan pun berlangsung sangat lama, dulu Shella
adalah kapten futsal putri di mana aku juga pernah mengikuti
ekstrakulikuler di sekolah.Aku pun sangat menikmati percakapan itu
karena aku tak menyangka ternyata aku bukanlah manusia satu-
satunya dariMedan yang merantau ke Jakarta. Hingga pada akhirnya,
aku dan Shella memutuskan untuk bertemu kembali di sebuah cafe
terkenal di Jakarta.
Keesokan harinya kebetulan hari Sabtu, jadi otomatis kuliah
libur. Aku juga tidak ada tanggungan tugas, tepat hari ini aku ada
janjian samaShella, kakak seniorku. Setibanya di café, tempat kita
bertemu, aku melihat kanan kiri belum ada sosok Shella, dapat di
pastikan bahwa ia belum datang akhirnya aku menunggu kurang
lebih lima belas menit hingga akhirnya ia datang.
“Hey Melinda.”
“Kakak sini,” ujarku sambil melambaikan tangan memberi
kode untuk segera menuju tempat duduk disampingku.

175
“Kenalin temen kakak namanya Adit nih dek, kamu udah
pesen minum? Bentar ya aku nitip Adit, mau pesen minum dulu.”
“Iya kak siap,” kataku dengan mantap.
Saat Shella sedang memesan minuman dengan cepatnya
Adit merespon keberadaanku dengan baik, dia memperkenalkan
namanya tanpa rasa canggung karena baru pertama berjumpa.
“Adit ,“ ujar Adit memperkenalkan diri dengan
menjulurkan tangannya padaku.
“Aku Melinda, kamu pacarnya kak Shela ya? Hahahaha.”
“Haha menurutmu?” pandangan nya kepadaku seolah
memberikan isyarat untuk aku menebak-nebak apakah benar Shela
dan Adit berpacaran.
“Enggak kok, aku sama Shella cuma temen.Kebetulan kita
dari kampus ketemu temen-temen lain mau bahas soal muncak
bareng, kamu mau ikut?” ujar Adit.
“Wah muncak! Kelihatannya seru, kak jujur aku belum
pernah muncak bareng temen-temen gitu hehe maklum di Medan
aku cuma jadi anak rumahan,” kataku pada Adit.
“Rencananya kita mau muncak ke Semeru, kalau kamu ikut
ya nanti aku bilangin Shella deh jangan khawatir,” tegas Adit.
Entah kenapa dari percakapan singkat itu aku menilai Adit
merupakan sosok lelaki baik yang pernah aku kenal, ramah, dan
secara keseluruhan dia tampan bagiku, berperawakan tinggi,
menggunakan kaos branded dan sepatu converse berbentuk warior.
Ah perempuan mana yang tak suka lelaki berperawakan tinggi dan
tampan.

176
Dari situlah aku kenal Adit, dia salah satu teman pencinta
alam Shella di kampus.Hari demi hari aku lewati bersama dengan
Adit hingga pada akhirnya aku merasa nyaman dengan dia dan kita
memutuskan untuk berpacaran. Hampir setiap hari aku lalui
dengannya hingga pada suatu hari.
“Nanti mampir ke kontrakan kakak bentar ya?Aku ada perlu
sama temen di kontrakan,” kata Adit kepadaku.
Jujur aku tak pernah datang ke kontrakan laki-laki
sebelumnya. Namun kucoba beranikan diri untuk datang kesana
karena aku beranggapan bahwa aku datang kesana dengan pacarku
jadi aku sedikit merasa aman, batinku dalam hati.
Namun siapa yang menduga dari awal yang seperti itu, aku
terjerumus dalam pergaulan bebas dimana aku menjadikan orang
tuaku sebagai panutan untuk berani melakukan hubungan seksual di
luar nikah.Bahkan aku mulai menjadi pecandu alkohol, entah kenapa
aku merasa tak perlu khawatir karena Adit selalu berada di sisi
ku.Aku menyerahkan semua pada Adit, setiap hari sehabis kuliah
aku ke kontrakannya untuk makan, tidur, bahkan berpesta alkohol
pun dengan Adit dan teman-temannya.
Secara tidak sengaja peristiwa masa kecil yang aku alami
sangat berpengaruh pada ku.Aku bahkan merasa tak takut melakukan
itu semua karena sejak kecil aku terus di hadapkan pada kenyaataan
hidup yang keras. Aku memberikan kepercayaanku seutuhnya
kepada Adit, namun pada suatu hari saat aku tidak ke kontrakan Adit
seperti biasanya, tiba-tiba dia mengirimkan pesan singkat kepadaku.

177
“Aku minta maaf kalau selama ini aku salah sama kamu,
aku sangat menyanyangimu namun aku tau aku hanya lelaki
brengsek, maaf aku harus meninggalkanmu,” ujar Adit melalui sms.
Rasanya baru kemarin dunia milik kita berdua namun entah
kenapa tiba-tiba Adit memutuskanku dengan sepihak. Rasanya
sungguh sangat tidak rela karena aku hanya memiliki Adit di
duniaku yang sekarang ini. Bahkan segalanya telah aku berikan
padanya, lantas apakah ini balasannya?
Pada saat itu juga aku langsung bergegas ke kontrakan di
mana Adit singgah.Namun pada saat sampai di depan kontrakan,
teman-teman Adit tidak memperbolehkanku masuk dengan alasan
daripada aku tambah sakit hati. Sungguh alasan seperti itu adalah
alasan yang memuakkan bagiku.
“Adit mana aku mau ketemu sama dia, aku mau nyelesaiin
masalah sama dia.Tolong jangan halangin aku,” ujarku sembari
menangis memohon untuk masuk kedalam.
“Mel, mendingan kamu pulang aja deh, aku sayang sama
kamu Mel tolong ngerti, jadi aku gak tega kalo kamu liat Adit
sekarang ini, aku takut kamu tambah sakit hati,” ujar Bramastyo,
salah satu teman Adit yang aku kenal baik selama ini.
Namun ucapan Bram saat itu membuatku merasa sangat
penasaran, aku bergegas lari melewati pintu belakang dan saat
membuka pintu kamar Adit ternyata dia sedang tidur bersama
seorang perempuan.
“Dasar lelaki jalang! Baru beberapa waktu yang lalu kamu
mengucap kata putus denganku lalu sekarang kamu udah tidur sama
cewek lain Dit? Apa salahku sama kamu? Kurang apa Dit aku sama

178
kamu? Tega kamu sama aku!” Ujarku sembari menangis tak kuasa
menahan air mata yang seketika deras mengucur di pipiku.
“Maafkan aku Melinda ini semua kesalahanku, aku tau
kamu orang baik. Aku yang brengsek, saat aku berpacaran
denganmu kamu tak pernah sekalipun melukai aku. Ini semua
berawal saat aku berpesta alkohol dengan Mia dan teman-teman.Saat
kamu kembali pulang kerumah, aku mabuk berat.Aku bahkan
melihat Mia seperti melihat kamu Melindaku. Akhirnya sesuatu yang
tidak diinginkan pun terjadi.Sekarang, Mia tiba-tiba datang lalu
bilang kepadaku bahwa dia sedang hamil anakku akibat kejadian
waktu itu, maafkan aku Melinda,” kata Adit dengan raut wajah
nampak sedih melihatku menangis di depannya.
“Brengsek kamu ya Dit, kayak gini yang namanya cinta?
Tega banget kamu sama aku Dit. Jahat kamu!” Ujarku berteriak
sembari menangis, lalu tiba-tibaBram membawa aku keluar dan
mengantarkanku pulang dengan perasaan tak menentu.
Aku tak tau apa yang sedang terjadi, aku merasa duniaku
yang aku bangun sendiri seolah rontok tak berbekas, rasa sakit dan
kecewaku yang teramat dalam membuatku frustasi akan hari-hari
yang aku lewati.
Semenjak kejadian itu aku merasa aku tak punya siapa-
siapa. Namun tiba-tiba aku ingat akan pembelajaran rohani yang aku
terima dari kecil tentang “Barang siapa yang menampar pipi kirimu
maka berikanlah juga pipi kananmu” yang artinya saat orang lain
berbuat jahat terhadap kita maka yang harus kita lakukan yaitu tidak
membalas kejahatan dengan kejahatan melainkan kita harus
memaafkan dan mendoakan nya.

179
Mulai saat itu aku bahkan meninggalkan duniaku yang
kelam. Aku berusaha fokus mengejar masa depanku, fokus
memperbaiki diri dan berusaha membuat orang tuaku bahagia.
Walaupun secara tidak langsung kejadian masa kecil yang aku alami
sangat mempengaruhi psikologiku. Namun bagaimanapun mereka
adalah orang tuaku yang harus aku bahagiakan.

180
Menjelang Senja
Umi Rahayu
2111415032

Lingsir wengi....
Mendengar sebaris lagu itu, aku langsung menutup telinga. Sial! Aku
mengumpat kesal pada diri sendiri yang begitu parno ketika
mendengar lagu yang kata orang-orang adalah lagu pengundang
setan. Bukan hanya karena lagu itu, tapi aku tidak tahan dengan
suasana di rumah nenek yang sepi, sunyi, dan riuh suara jangkrik.
Sungguh terpaksa, terpaksa sekali aku datang ke rumah nenek yang
berbeda kabupaten ini. Heran. Nenekku tidak ada rasa takut
menyanyi lagu lingsir wengi, padahal jika aku mendengar sebaris
saja seakan bumi ini akan runtuh. Ingin sekali aku menegur nenek,
tapi terlalu tidak berani.
Ah, perlu kau tahu sedikit tentang nenekku. Wanita tua
yang sedang duduk di kursi goyang di dekat radio butut itu adalah
nenek-nenek tercerewet yang pernah ada. Dia ibu dari ayahku.
Nenekku masih sangat menjunjung adat jawa. Bahkan di era modern
ini, nenek masih mengenakan kebaya dan jarik, rambutnya digulung
menyerupai sanggul, dan paling menyebalkan adalah dia menginang
sehingga dapur yang berlantai tanah sering kudapati ludah berwarna
merah berserakan. Tinggal di rumah nenek beberapa hari sungguh
seperti hukuman.
“Heh! Siapa kau?”
Aku ternganga ketika aku datang beberapa hari yang lalu. Ingin
rasanya kutanya balik “Anda nenek saya bukan?” Tapi untung Tuhan

181
masih memberikanku kewarasan, dan dengan hati-hati serta tutur
kata yang paling lembut aku menjawab bahwa aku adalah cucunya.
Anak dari pria bernama Haryono.
“Wening, Nek.”
“Loh? Yuni ke mana?”
Pertanyaan nenek tidak ingin kujawab, tapi ingin kutanya balik.
“Yuni itu siapa?” Tapi sekali lagi, Tuhan memberikanku ingatan.
Karena Yunilah aku datang ke sini.
“Tante Yuni akan menikah lagi, berikan dia waktu untuk
berdua saja sama suaminya. Kamu sementara waktu di rumah nenek
dulu ya,” kata ibu dengan penuh harap. Dengan besar hati aku
mengangguk saja. Tidak ada hal terbaik selain mengabulkan
permohonan ibu. Tentu saja semua karena ibu. Soal Tante Yuni, juga
bolehlah aku masukan sebagai alasan mengapa aku kini berada di
rumah nenek. Tante Yuni adalah tanteku yang paling muda, meski
begitu sebenarnya dia sudah berumur, hanya saja Tante Yuni
melajang sudah lama dan juga sibuk mengurus nenek. Bisa
kusimpulkan, bahwa seorang anak memang selalu ingin berbakti
kepada orangtua, jika ada yang durhaka, berarti mungkin bukan
orangtuanya.
“Tante Yuni pergi, ada urusan,” jawabku saat ada jeda
beberapa saat. Terpaksa aku berbohong. Kata ibu, nenek jangan
diberi tahu soal pernikahan Tante Yuni. Konon nenek selalu
menangis ketika mendengar Tante Yuni akan menikah. Aku setuju
jika cucu-cucu nenek banyak mengatakan nenek kita sangat
merepotkan, ya.

182
Malam ini aku benar-benar tidak bisa tidur karena nenek
selalu bersenandung. Lingsir wengi selesai, ganti tembang jawa yang
nyaris membuatku menyanyi pulangkan saja, aku pada ibuku, atau
ayahku. Betul-betul seperti berada di film horor. Kursi goyang yang
berderit-derit, tembang jawa yang rasanya membuat mahluk halus
bermunculan, dan sosok nenek terkantuk-kantuk sambil menyulam.
“Nek, saya pergi dulu ya ke kamar. Saya mengantuk. Dan
sebaiknya Nenek juga tidur, sudah malam,” dengan nada super halus
akhirnya aku membuka suara. Hampir terlonjak saat nenek
menatapku tajam.
“Jangan dulu, masih jam delapan. Nenek bosan sendirian,
kau sebaiknya belajar menyulam juga biar bisa adu sulam sama
Nenek, hihihi.”
Aku hanya tersenyum manis. Tidak beranjak dan juga tidak
menjawab. Nenek bersenandung kembali.
҉
Jika ada orang mengatakan bahwa yang pelupa adalah mirip
nenek-nenek, aku akan membenarkan. Alasanku tak lain tak bukan
adalah karena nenek. Dia begitu amat menyebalkan ketika lupa.
“Wening, kau taruh mana tempat kinangku?”
“Tadi ada di dekat TV.”
“Tapi tidak ada. Coba cari lagi! Gigiku mau lepas rasanya.”
Tanpa membantah dan bicara banyak, aku segara menyusuri setiap
ruangan. Di meja, kursi, dekat benda-benda yang di pajang di almari
bufet, hingga kolong-kolong. Nihil. Aku segera melapor kepada
nenek yang sedang sibuk mengumpani ayam di kandang dekat dapur.

183
Jika memang hilang, biar siang ini aku meluncur ke pasar untuk
membeli seperangkat nenek menginang.
“Nek, tempat kinangnya tidak kete...” ucapanku tak
kuteruskan saat aku melihat nenek sedang asyik mengunyak sirih
lalu melirik padaku dengan wajah tak berdosa.
“Heh! Malam nanti adalah malam Jumat kliwon, jangan
lupa untuk menumbuk dringo bangle, jangan keluar rumah jelang
Magrib. Cuih!”
Aku mengernyitkan kening dan perutku terasa mual. Ludah merah
muncrat dari mulut nenek dan tercecer di dekat kandang ayam.
Sebelum aku benar-benar muntah, aku mundur dari hadapan nenek.
Tidak serta merta aku kabur, aku harus mencari keberadaan dringo
bangle. Dringo bangle adalah tanaman obat-obatan yang memiliki
bau menyengat, dan dipercayai bisa mengusir jin dan makhluk halus.
Menurutku, bau dringo bangle lebih menjijikan dari kunyahan
kinang nenek. Pantas saja jika jin dan makhluk halus tidak suka.
“Dringo dan bangle ditumbuk lalu sebar di depan rumah,
malam ini malam Jumat kliwon,” ucap nenek ketika aku sedang
sibuk memilah dringo bangle yang tercampur dengan tanaman obat
yang lain.
“Nanti malam Jumat kliwon, cari dringo dan bangle di
dapur,” ucap nenek saat aku menyuguhkan teh untuknya.
“Yuni!” teriak nenek. Aku melempar lipstik dan cepat
menghadap nenek.
“Nama saya Wening, Nek,” ucapku sedikit ketus. Nenek
tertawa hingga terbatuk-batuk. Tidak ada yang lucu! Sungguh!

184
Selama aku di sini satu minggu, tujuh kali aku dipanggil dengan
nama Yuni.
“Wening, ambilkan rajutan warna merah di almari Nenek.”
Heran. Sudah kucari-cari hingga tingga kali, rajutan berwarna merah
tidak kutemukan. Hal itu membuatku bertanya-tanya, apakah aku
buta warna? Tapi aku sangat mengenal warna, apalagi aku hobi
melukis. Mana mungkin? Aku berusaha mencari kembali, tapi tidak
ada.
“Wening! Mana rajutan warna hijaunya?!” teriak nenek
dengan suara melengking.
Di dalam kamar nenek aku mengurut dada. Kusabetkan syal
berwarna hijau ke badan almari. Nenekku rupanya pelupa parah.
Tapi kepada waktu dia selalu ingat. padahal aku yang memiliki
kalender tidak hafal soal kliwon, pahing, dan sejenisnya itu.
“Kalau perempuan zaman dulu, bisa merajut dan menyulam
itu berarti perempuan yang pantas dipilih menjadi istri,” celoteh
nenek sambil mengelus-elus rajutan syal hijaunya.
“Bisa tidak kau?” kerling nenek. Aku menggelengkan
kepala.
“Bah! Kalau tinggal bersamaku harus bisa yang seperti ini.
Yuni bisa, meski masih bagus punya Nenek, hihihi,” kekeh nenek.
Aku hanya tersenyum.
“Ini buat kau,” nenek mengulurkan tangannya. Syal
berwarna hijau itu dengan senang hati kuterima. Senyum nenek
mengembang.

185
“Itu buatan Nenek yang terakhir,” ucap nenek sambil
terkekeh. Aku ikut tersenyum, meski tidak ingin. Benar-benar masih
kuingat, nenek merajut syal terakhir kali adalah berwarna jingga.
Sembari menunggu senja dan melepas penat di dalam
rumah, aku duduk di depan rumah. Syal hijau dari nenek aku lilitkan
di leher. Hangat betul. Ternyata nenek memang sangat pandai
merajut. Angin sore semilir mengibaskan rambut panjangku yang
kucat pirang. Bau dringo bangle menusuk hidung. Kadang aku
terbatuk dan ingin muntah. Tapi tempat terbaik di sore hari adalah
depan rumah nenek, memandang nun di sana. Bukit dan pepohonan.
Aku merindukan rumah. Di rumah nenek aku merasa harus
meningkatkan kadar sabarku hingga berpuluh-puluh persen.
Sungguh senja ini aku berdoa agar Tante Yuni segera pulang.
“Heh! Heh!”
Lamunanku buyar ketika suara nenek memekik di belakangku. Aku
menoleh dan melihat nenek berdiri tepat di belakangku.
“Jangan duduk di depan pintu! Duh Gusti!”
“Kamu ini! Duh Gusti....”
Aku tidak bisa berkata-kata ketika nenek tiba-tiba melipat-lipat
wajahnya. Dia seperti marah padaku. Tapi aku tidak merasa bersalah.
Jadi, kutunggu saja ucapan berikutnya.
“Perempuan di depan pintu, nanti bakal sulit jodoh!”
Nenek meremas-remas jariknya. Namun dia bertambah kesal
rupanya, saat melihat aku tak juga beranjak.
“Eladalah! Dibilangin sama orang tua tidak nurut!”

186
“Tapi, Nek... saya sudah menikah,” ucapku dengan nada
super halus. Tampak wajah nenek terkaget. Wajahnya berubah
seperti baru disetrika, namun sedikit memerah.
“Loh? Kapan? Oh jadi kau sudah menikah? Oh!” Nenek
mundur dari hadapanku. Aku mengernyitkan kening. Selama ini
nenek melihatku sebagai siapa? Waktu aku menikah satu bulan yang
lalu, nenek dan Tante Yuni datang. Aku menghela napas panjang.
Sungguh heran, betapa sabarnya Tante Yuni menghadapi nenek yang
bagiku amat ribet. Seingatku nenek tak begitu ribet ketika aku masih
kecil, atau ketika aku masih kecil memang aku bukan seorang
pemikir? ║

Banjarnegara, 26 Januari 2017


23.03
Nur Ingin Pergi ke Jakarta
Umi Rahayu
2111415040

Februari tak mau menyisakan kering. Jelang magrib,


gerimis mulai turun. Untung saja bus antarprovinsi tujuan ke Kali
Deres menepi seratus meter dari loket pembelian tiket. Orang-orang
berebut masuk, termasuk istri Ruslam yang tak ingin bayi dalam
dekapannya terkena tetesan gerimis. Setelah semua orang masuk ke
dalam bus, Ruslam baru menyusul sang istri di jok nomor tujuh. Jok
bagian depan. Ia bersyukur karena mendapat jok di sana, sebab jika
di bagian belakang guncangan bus akan lebih terasa dan khawatir

187
membuat anaknya yang masih enam bulan itu tidak nyenyak dan
susah kalau sedang diteteki.
Bus melaju. Gerimis menderas menjadi hujan. Ruslam terus
diam. Sejak istrinya merajuk ingin ikut ke Jakarta, Ruslam menjadi
lebih dingin. Melalui sudut matanya terlihat perempuan yang amat
dicintainya itu mulai lelap juga dengan bayi yang didekap hangat.
Sementara Ruslam harus merasakan kecamuk dalam hati.
Jakarta. Ah! Ruslam menghela napas. Ia teringat
percakapan istirnya dan Siti seminggu yang lalu.
“Nur, pinjami uang dulu buat bayar LKS Juki. Nanti dia tak
bisa belajar dengan baik kalau tidak beli LKS,” rajuk Siti. Pada awal
semester saudara jauh Ruslam itu memang beberapa kali ke
rumahnya untuk meminjam uang. Dan tak disangka kini ia datang
lagi.
“Ruslam kan habis dari Jakarta, pasti duitnya banyak!
Bukankah Maripah juga katamu bertambah kaya setelah bekerja di
Jakarta?” Meski Siti setengah berbisik, tetap Ruslam mendengar
ucapan perempuan pemilik tahi lalat besar di atas bibir itu.
“Maripah memang pantas jadi orang kaya. Tapi Mas
Ruslam sekarang tidak ada duit, semua sudah digunakan untuk biaya
kelahiran dan acara pemotongan rambut bayi,” jawab Nur ketus. Istri
Ruslam itu berwajah masam. Siti akhirnya pulang dengan wajah tak
kalah masam. Usai Siti pergi, Nur menghampiri Ruslam yang tengah
memperbaiki saklar lampu dapur.
“Gila Siti itu! Berani sekali minta utang ke sini! Padahal dia
tidak memberi apa-apa untuk kelahiran bayi kita!Tidak ada gula atau

188
sembako yang tercatat di buku sumbangan atas namanya!” Ujar Nur
berapi-api.
“Dia pikir dengan cuma membantu masak-masak di dapur,
bakal dapat duit cuma-cuma?!” Tampak sekali kekesalan Nur kepada
Siti.Ruslam memutar-mutar baut dengan cepat. Tanpa menyahut,
Ruslam pergi dari dapur.
Kejadian satu minggu lalu itu membuat Ruslam tak enak
hati selama berhari-hari, bahkan sampai ia kini dalam perjalanan
menuju perantauan. Siti sudah seperti adiknya. Dan ia tahu, nasib
Siti tak lebih buruk dari nasibnya. Apalagi Siti sudah memiliki
tanggungan dua anak yang sedang sekolah di SD dan SMP.
Kebutuhan dia pasti lebih banyak dan suami Siti hanyalah pekerja
serabutan yang pendapatannya mungkin jauh lebih sedikit dari
Ruslam. Tapi di tengah-tengah rasa prihatin, Ruslam sebenarnya
sedikit kesal kepada Siti yang telah mengungkit-ungkit soal Maripah,
sebab sejak saat itu Nur bertambah akrab dengan Maripah. Padahal,
semenjak Maripah ke Jakarta mereka tak lagi saling menghubungi.
Celakanya, makin sering bertemu Maripah, Nur makin sering
merengek minta ikut ke Jakarta.
“Aku ini kepingin juga ke Jakarta. Kata Maripah di sana
semua ada. Banyak artis TV juga.”
“Alah kau ini. Maripah tak tahu apa-apa. Dia baru kemarin
ke Jakarta,” ucap Ruslam. Ia ingin menjelaskan lebih lanjut soal
Jakarta yang ia temui. Tapi ia tahu penjelasannya hanya berujung
pada kesia-siaan.Nur tetap tidak akan mendengarkan.
“Pokoknya aku juga mau ke Jakarta seperti Maripah!”

189
Rasanya Ruslam ingin mengatakan Maripah yang nyinyir
itu pasti melebih-lebihkan cerita. Tapi ia lagi-lagi tak bisa
mengatakan itu dan jika kata-kata itu keluar, siap-siap saja mendapat
semprotan dari Nur. Istrinya itu memang tak suka jika ada yang
mengejek sahabat karibnya itu.
Gerimis mereda ketika bus tiba di Purwokerto. Ruslam
masih tetap memikirkan istri dan anaknya yang tampak semakin
lelap. Kalau bisa, ia benar-benar ingin mengarungi isi kepala Nur.
Ingin tahu Jakarta yang ada di kepala Nur. Ingin tahu apa yang
meracuninya hingga ngotot ikut ke Jakarta. Dan angan-angan macam
apa yang tengah menyelubungi otaknya.
“Di Jakarta itu keras!” Ucap Ruslam semalam.
“Aku tahu. Maripah juga bilang begitu,” Nur
menyingsingkan lengan daster kemudian melanjutkan melipat
pakaian untuk dikemas ke tas besar yang akan ia bawa ke Jakarta.
“Banyak orang jahat.”
“Aku tahu. Maripah juga bilang begitu.”
“Di sana tidak boleh menganggur.”
“Mas kan bekerja. Semua yang ke sana pasti untuk
bekerja.”
“Mas belum punya tempat tinggal.”
“Ya pokoknya Nur mau ikut ke mana saja Mas pergi. Nur
tidak mau tinggal sama mertua. Titik!” Dalam hati Nur tersenyum. Ia
merasa menang. Tidak mungkin Mas Ruslam tidak punya tempat
tinggal, wong kataMaripah saja semua kuli bangunan pasti dikasih
tempat tinggal, pikir Nur bangga telah mengenal baik Maripah. Dan
malam itu Ruslam memilih diam.

190
Jika menyangkut soal tinggal dengan siapa, ia tidak bisa
berkata-kata lagi. Ia maklum perempuan sulit tinggal bersama
mertua.Meski bagi Ruslam ibunya adalah ibu terbaik dan juga
mertua terbaik. Ibunya tidak pernah minta macam-macam atau
menyuruh ini-itu. Awal pernikahan ia memang ragu untuk mengajak
Nur satu rumah dengan ibunya.Tapi mustahil jika ia harus ikut ibu
Nur, sebab adik Nur ada lima dan rupa-rupa wataknya. Nur juga
menyatakan tidak sanggup satu rumah dengan sang ibu dan kelima
adiknya. Tapi, benar pada akhirnya. Ruslam harus menanggung
dilema ketika sifat asli Nur keluar tanpa ancang-ancang. Bikin
Ruslam sering ngelus dada.
Pernikahan Ruslam dan Nur memang baru seumur jagung,
tapi rasanya Ruslam sudah merasakan puluhan tahun. Ia merasa
menua secara dini. Dan kejadian istrinya ikut ke Jakarta hari ini juga
termasuk dari proses penuaan diri Ruslam.
Sampai hampir jam duabelas malam, Ruslam tak bisa
memejamkan mata. Pikirannya kian menit kian ruwet. Untung saja
anaknya tidak menangis. Kasihan benar bayi itu. Terguncang-
guncang dalam bus ekonomi yang tak sedikit pun terasa nyaman.
Joknya keras dan kotor penuh coretan bolpoin dan tip-x. I love you.
Tomi love Yuri. Call me 08978392999. Coretan-coretan itu membuat
Ruslam sedikit terhibur. Dalam waktu hampir tujuh jam ini, Nur baru
terlihat melek dua kali. Ketika bus terguncang hebat karena jalanan
sangat rusak dan bus mengerem mendadak di tanjakan arah
Bandung. Setelahnya, ia tidur sampai matahari menerobos kaca bus.
“Sampai mana, Mas?” tanya Nur sembari mengerjap-
ngerjapkan mata. Wajahnya yang tak pernah kena polesan bedak

191
atau krim terlihat semakin kusut. Rambut ikalnya sudah tak rapi lagi.
Morat-marit karena karetnya putus. Bayi digendongannya masih
terpejam.
“Sebentar lagi kita sampai.” Ruslam berusaha memberikan
senyuman pada istrinya. Ia ingin sekali melupakan kejadian di rumah
dan juga ingin cepat menuntaskan keinginan Nur.
“Kali Deres! Kali Deres! Kali Deres!” Kondektur bus
berteriak keras. Nur merapikan rambut, menyambung tali rambut
yang sudah putus agar dapat kembali mengikat rambutnya.
Terminal Kali Deres amat ramai dan melebihi bising
Terminal Wonosobo. Semua toko dan warung makan dekat terminal
penuh. Nur mengibas-ngibaskan tangan untuk mengusir panas.
Tubuhnya terasa lengket dan pegal. Perjalanan semalam membuat ia
ingin cepat-cepat mandi.
“Kita naik angkot ini,” ucap Ruslam yang kemudian
melambai-lambai menyetop angkot. Ruslam siap-siap menjinjing tas
besar dan satu kardus bekas mi instan yang berisi oleh-oleh dari
kampung. Rasanya belum pernah seperti ini, pikir Ruslam. Tentu
saja. Setiap pergi merantau, Ruslam cukup membawa satu ransel
besar yang isinya tak kalah lengkap. Pakaian, oleh-oleh, dan cemilan
untuk di bus supaya tak mengeluarkan uang untuk tukang asongan.
Nur mengelap keringat yang mulai mengucur di dahi. Ia
sedikit tak percaya kota metropolitan yang diagungkan Maripah
ternyata demikian gersang. Padahal di Wonosobo hujan setiap hari
turun dan dingin setiap hari menusuk.
“Mas, kita harus jalan berapa jauh lagi?” tanya Nur. Ia
mulai kelelahan setelah lima menit berjalan.

192
“Kau lihat di depan kita itu?”
“Ya.”
“Nah, itu tidak jauh dari sini, lima menit lagi.”
Nur menurut saja. Mereka berjalan beriringan. Ruslam tahu
istrinya banyak menggerutu di belakang. Pagi itu memang sangat
terik.
Memang benar yang dikatakan Ruslam. Tidak sampai lima
menit mereka sudah sampai di sebuah proyek perumahan yang
setengah jadi. Kira-kira limaratus rumah berdiri di sana. Ruslam
mengajak istrinya masuk ke sebuah bedeng yang dibuat dari tenda
biru. Mirip kemah, hanya saja berukuran raksasa.
“Mas, kok ke sini sih? Aku ini sumuk! Panas!”
Ruslam menggigit bibir bawah, tapi dengan tegas dan tatapan tajam
kemudian ia berkata“Ini tempat tinggalku, Nur.”

Semarang, 03 Maret 2017


11.29

193
194
Melupakan Yang Terlupakan
Zakia Liszamah
2111415033

Angin berhembus sepoi-sepoi, menyibakkan rambutnya


yang tergerai indah. Waktu itu langit berwarna jingga. Sangat indah
jika dilihat dari bola mata wanita itu. Tapi sayang, keindahan itu tak
bertahan lama. Matanya perlahan menutup, dahinya berkerut. Lama
ia memejamkan mata. Entah apa yang sedang berkecamuk di dalam
batin dan pikirannya. Hingga setetes dua tetes air mata mengalir di
pipinya. Hiruk pikuk kota tak dihiraukannya lagi. Lama ia berdiri di
sana, sendirian, berteman sunyi. Ya, ia memang menyukai
kesunyian. Sampai-sampai ia harus pergi ke atap gedung tempatnya
bekerja agar dapat bertemu dengan temannya, kesunyian. Di dalam
gedung terlalu ramai, suara keyboardyang ditekan terus menerus,
dering telepon yang tak berjeda, dan suara orang-orang yang
menjawab telepon, bahkan bunyi sepatu karyawan yang modar-
mondar mandir dari ruangan satu ke ruangan lainnya terasa begitu
mengganggunya, membuatnya tak fokus untuk mengingat-ingat apa
yang sangat ingin diingatnya.
Namanya Rena, sebagai wanita yang usianya sudah
memasuki kepala tiga, ia terlihat begitu kesepian dan menyedihkan.
Sering ia tiba-tiba menangis tanpa sebab, tak peduli kapanpun
waktunya dan dimanapun tempatnya. Di rumah, di jalan, di kantor,
saat malam, pagi, siang, dan sore, selalu saja tangis itu datang,
membuatnya merasa begitu terpukul. Dan semakin terpukul karena
ia tak tahu sebabnya. Di atap gedung itu Rena mencoba mencari tahu

195
lagi apa yang sudah membuatnya begitu bersedih dan terpukul. Ia
baru turun setelah satu jam, saat perasaanya sudah kembali tenang.
“Ren, kamu baik-baik aja?” tanya Finka begitu melihat Rena masuk
ruang kerja dengan mata sembab. Tapi Rena hanya menjawab
dengan senyuman sambil berlalu menuju ruang kerjanya.
Finka tahu, pasti sesuatu sedang terjadi pada sahabatnya.
Cukup lama ia mengenal Rena, sehingga ia pandai membaca suasana
hati yang tengah dirasakan sahabatnya itu. Mereka bertemu setahun
yang lalu. Saat itu Rena adalah karyawan baru di perusahaan tempat
Finka bekerja. Sejak hari pertama Rena bekerja disitu, Finka lah
yang begitu welcomepadanya. Hari-hari berikutnya mereka menjadi
lebih dekat, sangat dekat, hingga tak ada yang tak diceritakan satu
sama lain. Finka bercerita tentang keluarganya, teman-temannya,
kebiasaannya, kampusnya dulu, dan tentunya ia menceritakan lelaki
yang begitu ia cintai saat ini. Lelaki yang ia harapkan bisa menjadi
imam yang baik baginya, lelaki yang sebentar lagi akan hidup satu
atap dengannya. Calon suaminya. Begitu pun dengan Rena, ia selalu
menceritakan apapun pada Finka. Tentang dirinya, tempat kerjanya
yang dulu, teman-temannya, bahkan tentang orang-orang yang tak
menyukainya. Tapi ia tak pernah menceritakan tentang masalahnya
yang satu ini. Masalah serius yang tak pernah ia anggap serius.
Sehingga ia lebih memilih memendamnya sendiri. Atau mungkin ia
belum siap menceritakan pada Finka.
Pukul 02.00 dini hari, Rena terbangun. Sekujur tubuhnya
berkeringat, tiba-tiba saja badannya terasa begitu lelah. Ia mencoba
mengingat-ingat apa yang baru saja dimimpikannya. Tapi sia-sia saja
ia mencoba mengingat. Yang ada, pipinya mulai basah karena air

196
mata yang tiba-tiba saja mengalir. Badannya ia sandarkan pada
kepala tempat tidur. Dengan kaki yang ditekuk, keningnya bertumpu
pada lutut, tangannya ia lingkarkan hingga memeluk kakinya sendiri.
Ia menangis sejadi-jadinya, sekeras-kerasnya, agar dapat meluapkan
semua kesedihannya. Rena pikir dengan begitu setelahnya ia akan
merasa lega dan tenang. Tapi bagaimana mungkin ia akan merasa
tenang jika belum tahu juga alasan apa yang membuatnya ingin
merasa tenang.
Satu jam Rena menangis. Ia putuskan untuk menceritakan
masalahnya pada Finka. Tentu saja ia tak langsung bercerita saat itu.
Masih pukul 03.00 pagi, Rena tak mau mengganggu tidur Finka.
Pastilah Finka sangat kelelahan, kerjaan kantor begitu banyak.
Apalagi Finkamembantu mengerjakan sisa pekerjaannya. Kemarin
Rena sedang tak enak badan, begitu banyak pikiran. Ia tak konsen
mengerjakan tugas kantor, pekerjaannya berantakan. Finka sangat
paham, jika Rena sudah seperti itu, maka ia tak boleh dibiarkan
menyelesaikan semua pekerjaan itu sendirian atau ia akan jatuh sakit
berhari-hari. Dan Finka juga sangat paham mengapa Rena seperti itu,
apalagi mata Rena lebih sering terlihat sembab. Finka tahu Rena
sering menangis. Hanya saja ia tak tahu mengapa sahabatnya itu
sering menangis.
“Ren, kamu nangis lagi?” Begitu tanya Finka setiap kali melihat
mata Rena yag sembab.
“Nggak kok Fin, akhir-akhir ini aku begadang terus, makanya
mataku makin gini aja.”
“Yakin nih, kamu nggak kenapa-kenapa?”

197
“Nggak apa-apa Finka...sayang banget si sama aku ya? Sampe-
sampe aku diperhatiin terus nih. Haaahaaha”
“Awas yaa kalo ada apa-apa aku nggak mau nolongin!!” jawab Finka
dengan nada tinggi yang dibuat-buat.
“Duhh..jangan marah dong, nanti tambah banyak tuh keriputnya.”
Balas Rena dengan nada yang dibuat-buat pula.
Finka selalu bertanya seperti itu jika melihat temannya itu
menekuk muka dan menatap layar komputer dengan tatapan kosong.
Namun kepribadian Rena yang periang selalu saja bisa membuatnya
menutupi kesedihan yang tengah dialami. Ia selalu saja berkilah,
selalu saja menjawab pertanyaan Finka seperti itu. Sebenarnya Finka
sudah lama menaruh curiga, tapi ia memilih menunggu Rena yang
bercerita sendiri padanya. Ia yakin, suatu saat rena akan bercerita
padanya.
Benarlah pemikiran Finka. Rena akhirnya bercerita
padanya. Hari ini hari libur. Tapi pagi-pagi betul Rena sudah
menghubungi Finka lewat telepon.
“Selamat paaaagiii finkaaa. Calon istri yang baik nggak boleh
bangun kesiangan looh.” Belum sempat Finka mengucapkan salam,
suara Rena sudah cukup membuat Finka menjauhkan telepon dari
telinganya. Rena memang sangat ceria, pandai menutup-nutupi
masalah. Tapi Finka lebih pandai membaca kalau Rena sedang ada
masalah.
“Aduuh brisik deh, heboh banget si pagi-pagi gini udah nelfon aku.
Nggak penting banget si ah! Ganggun orang tidur aja deh. Calon
suamiku aja nggak pernah tuh bangunin aku sepagi ini.”

198
“Iyaalaaah dia nggak pernah bangunin kamu orang dia aja masih
tidur. Nah kamu tuh yang kudunya bangunin dia. Ehh nanti jalan-
jalan yuk. Ada yang pengen aku ceritain. Sekalian tuhh ajakin calon
suamimu, masa iya selama ini aku nggak pernah lihat orangnya. Kan
bosen kalo cuma dengerin ceritanya doang dari kamu, liat orangnya
aja cuma di foto, itupun berdua bareng kamu. Nggak ada foto yang
sendirian, di sosmed juga nggak pernah update sama sekali.
Pokoknya nanti aku jemput jam 9 di rumahmu. Sekarang mandi dan
siap-siap sana!” Rena terus berbicara tanpa memberikan jeda pada
Finka untuk menjawab.
“Mas Azka di luar kota Ren, nggak bisa ikuutt” belum selesai
menjawab tiba-tiba terdengar bunyi “tuut tuut tuut”. Rupanya rena
sudah mematikan teleponnya.
Belum ada jam 9 Rena sudah di depan rumah Finka.
Membunyikan klakson mobil beberapa kali sambil berteriak
memanggil manggil Finka.
“Fiiiin, Finkaaaa buruan dong, aku udah siap nih.”
“Aduuh nggak di telfon, nggak di aslinya, selalu aja bikin kuping
budek deh cewek satu ini. Masuk dulu deh Ren...bentar lagi kelar
kok dandannya.”
Tepat pukul 09.00 mereka berangkat. Mereka langsung
menuju ke cafe di salah satu mall, sarapan disana, dan Rena mulai
bercerita.
“Fin, pernah nggak kamu tiba-tiba ngrasa sedih?”
“Ya pernah lah Ren. Kenapa emang?”
“Sampe nangis nggak?”
“Emmm kalo aku si nggak Ren. Kenapa?”

199
“Aku sering begitu Fin,”
Rena menceritakan semuanya pada Finka. Mereka
membicarakan hal itu cukup lama. Sampai akhirnya Rena
meneteskan air matanya lagi. Finka memeluk Rena, mencoba
menenangkannya.
“Ren, kadang aku ngrasa tiba-tiba sedih itu karena inget sesuatu.
Entah itu peristiwa, atau seseorang. Apa kamu pernah ngalamin
kejadian yang begitu menyedihkan?”
“Nggak Fin, aku nggk pernah ngalamin kejadian yang sampai
sesedih itu. Kalaupun pernah, pasti aku tahu dan ingat kejadiannya.”
“Yaudah, gimana kalau kita pergi ke pskiater aja? Kebetulan aku
punya kenalan pskiater.”
Siang itu mereka berdua sudah berada di tempat praktek
pskiater. Rena merasa seperti sudah pernah bertemu dengan wanita
itu.
***
Bayi itu tertidur lelap di gendongan seorang wanita. Wanita
muda berumur 24 tahun. Wanita muda, yangbaru saja menjadi ibu
muda. Wanita itu menimang-nimang bayinya sambil menyanyikan
lagu tidur, juga sambil menepuk-nepuk pantatnya. Ia tampak sangat
bahagia melihat putranya tertidur lelap. Itu adalah anak pertama dari
pernikahannya. Di sampingnya, suaminya memandangi anak dan
istrinya sembari tersenyum. Senyum itu begitu tulus.
Keluarga kecil itu tampak sangat bahagia. Beberapa kali
sang suami terlihat menunjukkan kemesraannya pada istrinya.
Mengecup keningnya, membelai rambutnya, dan memeluknya
bersama dengan bayinya. Sang istri pun terlihat begitu bahagia. Saat

200
suaminya hendak berangkat kerja, ia mencium tangan suaminya,
memberikan bekal buatannya untuk dimakan di kantor, dan
tersenyum saat mendapat kecupan di keningnya dari suaminya,
dibarengi dengan mengelus kepala sang istri.
Namun setelahnya terlihat pemandangan yang tak
menyenangkan. Mereka bertengkar. Pertengkaran hebat tepatnya.
Perempuan itu mengetahui suaminya berselingkuh dengan temannya.
Bayinya sudah tak bernyawa. Karena tak bisa mengontrol
emosi, tanpa sadar perempuan itu menghabisi bayinya sendiri.
Suaminya sudah pergi dari rumah sejak tadi. Ia bingung, ia menangis
sejadi-jadinya.
Perempuan itu lari dari rumah. Ia pergi ke suatu tempat.
Tempat itu sama persis dengan yang saat ini ia datangi.
Pertempuan yang sedari tadi ia lihat dalam pikirannya
adalah dirinya sendiri. Rena. Ia melihat bayangan dirinya sendiri.
Sekarang, Rena ingat semuanya. Waktu itu ia berlari ke
tempat ini, ia ingin menghapus kenangan tentang seseorang. Tentang
suaminya. dan karena ia telah menghapus semua kenangan tentang
suaminya, segala sesuatu yang berhubungan dengan suaminya ikut
terhapus juga, termasuk anaknya. Semua kenangan buruk hilang, tak
diingatnya lagi. Begitu juga dengan kenangan indahnya. Semua
hilang. Terlupakan.
Rena menangis lagi. Kali ini tangisnya sampai tak bersuara.
Tangis yang amat menyakitkan. Bagaimana tidak. Laki-laki yang ia
lihat dalam bayangannya, laki-laki yang menjadi bapak dari anaknya,
sama persis dengan calon suami Finka. Rena sangat yakin itu,
walaupun ia hanya melihatnya di foto yang sering Finka tunjukkan

201
padanya. Rena menangis, lama. Dan sangat lama. Rena menangis
tanpa mengucapkan kata-kata. Sesekali ia melihat Finka. Dan itu
membuatnya semakin tersakiti. Sehingga ia kembali menunduk.
Tangannya mengepal di depan dada. Tangan yang satunya
memegang keningnya sambil sesekali mengusap air mata yang tak
berhenti mengalir.
Kepada pskiater, Rena mengatakan, saat itu ia ingin
melupakan segalanya yang sudah tertinggal di belakang. “Aku ingin
melupakan apa yang sudah kulupakan. Tolong bantu aku.”

202
Sepucuk Surat Untuk Emak
(Zakia Liszamah, 2111415033)

Pagi ini dusun Klengan dihebohkan oleh kematian seorang


gadis. Sebenarnya bukanlah hal yang aneh karena setiap yang hidup
pasti akan mati. Namun kabar kematian kali ini begitu mengejutkan.
Pasalnya gadis itu mati secara tak wajar. Mayatnya ditemukan
menggantung di dalam kamar dengan kain jarit, yang diikatkan ke
kerangka atap gubuknya yang sudah reyot, hampir rubuh. Seketika
gubuk itu ramai didatangi para warga yang ingin melihat mayat si
gadis yang membunuh dirinya sendiri. Kebayakan dari mereka tak
menyangka seorang Tunjung melakukan bunuh diri. Gadis cantik
nan anggun, berperawakan proporsional,dengan kepribadian lemah
lembut dan ramah. Begitulah sosok Tunjung yang dikenal warga
dusun Klengan, dusun kecil yang dihuni kurang dari dua puluh
rumah.
Di pojok bale rumah, seorang wanita tua menangis
sesenggukan. Air matanya terus mengalir melewati pipi yang sudah
tak kencang lagi. Sesekali ia menyeka air mata yang keluar dengan
tangan keriputnya. Tangan yang setiap hari mencuci pakaian milik
orang-orang dusun seberang, maklum di dusunnyatak ada yang
membutuhkan jasa cuci. Bukan karena mereka lebih menyukai
mencuci denganmesin, tetapi karena mereka tak mampu membayar
jasa wanita tua itu. Jangankan untuk membayar jasa cuci baju, untuk
makan sehari-hari saja mereka hanya mengandalkan hasil ladang
yang tak menentu. Dengan mencuci, Emak bisa membeli beras untuk
anak kesayangannya, anak satu-satunya, Tunjung. Tunjunglah yang

203
membuat Emak hidup tak sebatang kara. Tentu, Emak sangat
terpukul dengan kepergian anaknya. Hanya Tunjung yang disayangi
dan menyayanginya.
Sudah tiga hari Emak tidur sendirian di gubuk reyot itu, di
atas dipan yang keropos dimakan rayap. Sudah tiga hari pula Emak
menangisi kepergian anak satu-satunya. Emak terus menyebut-
nyebut nama Tunjung sambil mendekap erat sebuah surat. Surat
yang ditinggalkan Tunjung sebelum kematiannya. Emak hanya bisa
memandangi sambil membolak balik surat itu. Emak buta huruf.
Emak paham betul, hanya dirinya yang buta huruf. Surat itu
bukanlah surat pertama yang ditulis Tunjung untuk Emak. Selama
Tunjung diJakarta, ia kerap menulis surat untuk Emak paling tidak
sebulan sekali. Sati selalu membacakan suratnya, setelah itu barulah
Emak bisa bernafas lega sebab telah mengetahui kabar anak
kersayangannya. Tapi kali ini Emak sangat kebingungan, pastilah
Sati tak mau membacakan surat jika tak diberi upah. Tak ada uang di
dalam amplop surat itu. Surat terakhir dari Tunjung.
Setelah kepergian Tunjung, hari-hari Emak terasa sangat
membosankan. Setiap pagi hingga duhur Emak pergi ke ladang. Sisa
waktunya ia gunakan untuk menyibukkan diri dengan menganyam
tikar dari pelepah pisang yang sudah dikeringkan. Namun sesibuk
apapun wanita tua itu, ia tak bisa menghilangkan Tunjung dari
pikirannya walau sebentar. Emak tak habis pikir kenapa anaknya
sampai berani menjemput ajalnya sendiri. “Apa yang membuatmu
seperti inindung? Siapa yang telah menyakitimu? Apa kasih Emak
padamu masih kurang ndung?” Pertanyaan seperti itu selalu

204
dilontarkan dalam hati. Jika mengingat Tunjung, ia teringat pula
pada satu sosok lelaki. Bapak dari anak satu-satunya itu.
***

“Mis..mau kemana kau setelah ini? Apa kau mau njoget lagi di
tempat lain?”suara laki-laki itu membuat Misni celingukan mencari
dari mana sumber suara tersebut.
“Heyy dimana kau mas Tarjo? Kemarilah..aku tak punya banyak
waktu untuk bertemu denganmu, aku harus bergegas ke dusun lain
jadi tak usah menggodaku bermain petak umpet” matanya tak
kunjung menjumpai sosok Tarjo sampai-sampai Misni harus
berteriak beberapa kali.
“Baiklah nona, tak usah berteriak seperti itu nanti putus pita
suaramu.” jawab Tarjo sambil berjalan menuju Misni. Mereka adalah
sepasang muda mudi yang sedang dimabuk cinta.
Mereka bertemu dua bulan yang lalu. Saat menghadiri acara
pernikahan salah seorang anak perangkat desa, Tarjo melihat Misni
yang sedang menari tarian lengger. Misni adalah penari lengger yang
sangat terkenal, sejak kecil ia memang sudah bisa menari lengger
dengan sangat luwes. Selain itu Misni juga memiliki wajah yang ayu,
tak heran jika ia selalu dibanjiri tawaran lenggeran bahkan sampai ke
luar kota. Wajah ayu yang dimiliki Misni membuat Tarjo menaruh
hati padanya. Saat lenggeran selesai, Tarjo buru-buru menghampiri
Misni dan berkenalan. Sejak saat itu mereka berdua saling bertukar
kabar, sering bertemu, dan akhirnya berpacaran.
Sebenarnya banyak laki-laki yang jatuh cinta pada Misni.
Kebanyakan dari mereka tak benar-benar menaruh hati, melainkan

205
jatuh cinta pada paras dan tubuh Misni. Sebagai pemain lengger,
Misni sering diperlakukan tidak senonoh. Terutama saat para lelaki
mulai memberikan saweran padanya. Awalnya Misni merasa sangat
risih. Tapi lama kelamaan ia menjadi terbiasa. Semakin dewasa, ia
semakin mengerti. Mungkin sudah menjadi tradisi, penari lengger
diperlakukan seperti itu.
“Mis! Kenapa melamun saja?” bentak Tarjo membangunkan Misni
dari lamunannya.
“Aku punya kejutan untukmu Mis, kau pasti akan terkejut
mendengarnya.” Sambar Tarjo sebelum Misni sempat menjawab
pertanyaannya.
“Tunggu dulu mas, aku juga ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
Misni tampaknya tak tertarik mendengar kejutan dari kekasihnya itu.
“Katakanlah..Mis,” jawab Tarjo dengan lembut.
“Aku telah mengandung mas, di dalam sini ada darah daging mas
Tarjo. Apa yang harus aku lakukan mas?” Ungkap Misni sambil
memegangi perutnya.
Tarjo sangat terkejut mendengar ucapan Misni. “Baiklah, tak usah
khawatir Mis..aku akan menikahimu. Tapi...”.
“Tapi apa mas?” sela Misni memotong.
“Tapi aku baru saja dipindahtugaskan ke luar kota, jadi bersabarlah
sebentar, dua minggu lagi aku akan pulang dan menikahimu.” Di
tengah keterkejutannya, Tarjo masih bisa menjawab kegelisahan
Misni dengan tenang.
Berkat janji Tarjo yang akan segera menikahinya, Misni tak
menggugurkan kandungannya. Dengan setia ia menunggu
kepulangan Tarjo dari luar kota. Berbulan-bulan sudah Misni

206
menunggu kekasihnya itu. Namun tak pernah sekalipun Tarjo
mengirim kabar. Rasanya mustahil Tarjo akan pulang untuk
menikahinya. Benar saja, hingga anaknya lahir, Tarjo tak menepati
janji untuk menikahi Misni. Dengan terpaksa misni merelakan
anaknya lahir tanpa seorang bapak. Misni melahirkan anak yang
lucu, wajah ayunya menurun pada anaknya, yang kemudian diberi
nama Tunjung.
***

Misni kembali menangis sesenggukan di samping makam


sang putri, Tunjung. Misni menangis karena teringat kata-kata yang
ditulis Tunjung dalam suratnya. Melihat keputusasaan Emak Misni,
Sati akhirnya tergerak untuk membacakan surat dari Tunjung untuk
Emak.
Mak, maafkan Tunjung. Tunjung pasti telah
mempermalukan Emak. Tunjung sangat menyayangi Emak. Mak,
apakah Emak sudah mengganti kusen yang bolong? Apakah Emak
sudah menjahit selimut yag robek agar Emak tidak kedinginan
sewaktu tidur? Apakah Emak sudah menanak nasi? Mak, maafkan
Tunjung karena sudah tak bisa membantu dan menemani Emak
disini. Emak tentu bertanya-tanya kan mengapa Tunjung melakukan
ini? Maafkan Tunjung mak, Tunjung telah mengandung. Tapi lelaki
itu tak mau bertanggungjawab mak. Tunjung malu mak, Tunjung tak
mau Emak juga menanggung malu karena hal ini. Tunjung tak mau
menyusahkan Emak, karena itu Tunjung melakukan ini. Sekali lagi
maafkan tunjung mak, Tunjung sangat menyayangi Emak. Tunjung
yakin Emak menangis saat dibacakan surat ini. Menangislah mak,

207
menagislah sekali ini saja. Tapi Emak harus berjanji, tak akan
menangis lagi setelah ini. Emak harus mengikhlaskan kepergianku.
Emak tak boleh bersedih. Emak harus bahagia.
Dari anak
Emak yang
begitu
menyayangimu
.

Emak masih menangis sambil memeluk pusara anaknya.


“Ndung, kenapa kau melakukan ini? Jikapun lelaki itu tak mau
bertaggungjawab, dunia belum berakhir ndung, lihatlah Emak,
meskipun bapakmu tak bertaggung jawab, Emak masih bisa bertahan
sampai setua ini bahkan emak bisa membesarkanmu sendirian.”

208

Anda mungkin juga menyukai