Anda di halaman 1dari 5

Pelangi di Batas Mimpi Bermimpilah menjadi orang besar, hebat, pandai dan sempurna, karena belum tentu esok

kamu bisa sukses tanpa sebuah mimpi Kilauan Pelangi selepas hujan di langit utara sore itu, melengkapi segarnya udara di sekeliling. Tanda tanda cahaya pendar senja berusaha menerobos sisa sisa mendung memasuki jendela kamarku. Dari kamarku, pelangi nampak indah dalam pandangan. Selalu saja, aku suka melihat pelangi. Karena pelangi selalu mengingatkanku akan dia. Pelangi selalu memantulkan bayang senyumnya. Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Ungu yang nampak sama seperti beberapa tahun silam tatkala aku dan dia melihatnya sama sama di gazebo tua. Dia, sosok yang hampir 5 tahun ini kurindukan. Yang aku kenal 1 Windu silam saat hari pertama kami menjejakkan kaki dibangku SMP. Lukman Arif Sulistiyo akrab kupanggil Lukas. Panggilan Lukas kuambil dari singkatan namanya Lukman A.S. Dia sosok yang sampai detik ini masih menggelayut manja dalam pikiranku. Dia adalah panutan yang membantuku menemukan harapan dan cita-citaku. Dia Selalu bisa membuat aku iri, kagum juga bangga karena pengetahuan dan kemampuan berfikirnya yang bagus. 3 tahun waktu SMP berlalu, persahabatan kami semakin erat. Perlahan ia meyakinkan akan mimpi yang tak kuyakini. Saat itu, sebuah gazebo tua menjadi saksi akan sebuah mimpi, mimpi seorang bocah SMP. Lukas ingin masuk kuliah jurusan Ekonomi untuk meneruskan perusahaan keluarganya. Sedangkan aku kala itu ingin menjadi seorang pengacara. Usai pengumuman kelulusan SMP, aku tahu Lukas dan keluarganya pindah dan akan melanjutkan kehidupannya di Jogjakarta, tempat neneknya tinggal. Aku sempat kecewa karena Lukas tak pernah pernah membicarakan hal itu sebelumnya. Sepucuk surat terakhirnya kala itu, membuatku harus rela melepas Lukas. Hari hariku terlewati dengan sepi. Sepi tanpa kehadiran Lukas. Namun, tanpa Lukas aku sadar bahwa aku harus tetap melanjutkan apa yang aku inginkan. Setahun belakangan aku baru mengetahui kabar Lukas melalui teman SMAku yang kuliah di Jogjakarta. Lukman Arif Sulistiyo, mahasiswa terbaik jurusan Akuntansi di UGM, waktu SMA mengikuti kelas akselerasi dan sekarang baru saja menyelesaikan studi S-1 nya hanya 3 tahun. Mendengar berita itu aku bangga sekali, dia memang pintar. Padahal aku baru semester 4 di sebuah universitas jurusan Hukum.

Dengan berbagai cara, temanku berusaha mendapatkan nomor telepon Lukas untukku. Jemariku tak henti hentinya menekan nomor telepon Lukas, tapi tak pernah sekalipun dering telponku didengar olehnya. Entah dia sudah lupa atau memang tak lagi peduli padaku. Namun pagi tadi semua berubah. Senyum mengembang dari sudut bibirku saat

sebuah pesan singkat muncul dilayar ponselku. Aku akan pulang ke Surabaya besok pagi. Aku tunggu di taman dekat SMP jam 10 (Lukas) Aku tertegun dalam ketidakpercayaan, kelebat bayang peristiwa masa lalu yang terekam muncul silih berganti seperti slide presentasi di depan mata. 5 tahun, bukan waktu yang singkat. Selama 5 tahun itu aku merindukannya, merindukan segala tuturan yang selalu penuh makna dan menginspirasi orang lain. Aku ingat saat dia berkata Bermimpilah menjadi orang besar, hebat, pandai dan sempurna, karena belum tentu esok kamu bisa sukses tanpa sebuah mimpi. Kata-kata itulah yang selalu membuatku ingin terus bermimpi ***** Setelah 5 Tahun berlalu, taman ini tak banyak berubah. Masih sama seperti dahulu. Termasuk sebuah gazebo tua tempat favorit aku dan Lukas. Tempat aku dan Lukas menghabiskan waktu, bercengkeramah, belajar, berbagi tawa dan mimpi serta tempat kita sama sama mengintip pelangi diatas sana sehabis hujan. Aku menunggunya disini. Seolah kembali kurasakan bekas bau harum tubuh Lukas di tempat ini. Semua masih sama, kecuali kehadiran Lukas. Sejam, dua jam, hingga 5 jam aku menunggu kehadiran Lukas di taman yang dia janjikan. Akan tetapi tanda kemunculannya tak kunjung ada. Cemas mulai menjalar dalam jiwaku. Seingatku Lukas adalah orang yang tepat waktu dan tak pernah ingkar janji. Tapi sekarang, kenapa ia malah mengingkari janjinya. Mendadak layar ponselku berkedip, nomor Lukas memanggil. Bagai disambar petir mendengar suara di seberang. Bukan Lukas, melainkan mamanya. Lukas dilarikan ke Rumah Sakit Haji karena mamanya mendapati Lukas tak sadarkan diri di kamarnya. ***** Dengan kecepatan abnormal aku melarikan motorku menuju Rumah Sakit Haji, berlarian menabrak palang parkir, suster suster untuk sampai ke kamar Lukas dirawat.

Mama Lukas, Tante Ema mempersilahkan aku masuk. Kulihat seseorang yang selama ini ingin aku temui terbaring lemah di pesakitan. Tanpa memperdulikan sekeliling, aku menghambur dalam pelukan Lukas. Afiza.. suara Lukas lemah Jangan bicara apa apa Lukas ucapku lirih. Tak kuasa ku menahan air mataku Nggak Za aku taka pa, Cuma kecapekan. Maafkan aku yang dulu meninggalkanmu. Aku sayang sama kamu Za. Dari dulu, sekarang dan selamanya. Detik berlalu dalam setiap detak, tanpa terasa 2 Jam sudah aku mengobrol bersama Lukas. Banyak hal yang kami bicarakan termasuk mimpi yang mulai kutapaki kini. Dokter kemudian meminta agar Lukas istirahat. Perbincanganku dengan sosok yang selalu membuatku terkagum berakhir begitu saja. Kini aku yakin, Lukas tak pernah berniat benar benar meninggalkanku. Dia hanya ingin aku meraih cita-cita tanpa terganggu olehnya. ***** Lukman Arif Sulistyo Lahir, 20 Mei 1993 Wafat 5 juli 2013 Air mataku menetes tepat diatas pusara Lukas. Dia meninggal sehari setelah pertemuan singkat itu. Tak pernah kusangka akan secepat ini dia pergi meninggalkanku. Rupanya, pertemuanku dua jam dengannya , merupakan pertemuanku yang terakhir. Dua jam yang singkat untuk selamanya. Dua jam yang tak akan pernah bisa kembali lagi. Dari Tante Ema aku mengerti, sudah lama Lukas mengidap kanker ganas yang melemahkan tubuhnya. Dulu ia meminta pindah ke Jogja karena tak ingin melihat kamu sedih. Ia ingin kamu bahagia dan meraih cita-citamu tanpa dia. Kondisi Lukas setiap hari semakin menurun, setelah ia menyelesaikan kuliahnya, ia memaksa untuk pulang ke Surabaya dan menemui kamu. Tante akhirnya mengizinkan ia kesini. Mungkin itu keinginan terakhirnya sebelum meninggal tutur Tante Ema yang terlihat tegar.

Dia menitipkan ini untuk kamu, dia bilang agar tante menyerahkannya saat ia sudah tak ada Tante Ema menyerahkan sebuah buku tebal berwarna hitam kepadaku. Teruntuk Pelangiku, Afiza Anastasya Begitu tulisan di halaman pertama buku milik Lukas tersebut. Aku tak sanggup membaca kalimat kalimat yang terangkai indah di dalam buku tersebut. Ukiran tentang masa lalu yang pernah kita lewati bersama tersusun rapi disetiap halaman . Banyak foto foto kita berdua didalamnya juga kalimat kalimat peyemangat yang dulu selalu ia ucapkan untukku. Terselip sebuah lipatan kertas bermotif pelangi di halaman belakang buku tersebut. Pelangiku, Afiza,, Saat kamu membaca setiap goresan tinta dalam buku ini, itu berarti aku telah tiada. Tapi meski aku telah tiada, percayalah aku akan selalu menjagamu, karena aku adalah pelangi hatimu dan kaulah pelangi hatiku. Sampai kapanpun. Setiap memandang pelangi aku selalu teringat kamu Afiza. Aku meninggalkanmu dahulu bukan karena aku tak menyayangimu,bukan karena aku tak ingin bersamamu, tapi aku hanya tak ingin kamu bersedih melihat keadaanku Aku ingin kamu bahagia meraih mimpi dan cita-citamu. Afiza, aku yakin kamu bisa tanpa aku. Sama seperti dahulu, 5 tahun ini kamu masih pelangiku, meski aku tak pernah menyatakannya. Setiap pelangi ada , aku selalu membayangkan itu adalah dirimu yang tengah tersenyum untukku. Kamu tetaplah merah,jingga,kuning,hijau,biru,nila dan unguku. Kamu adalah pelangi terindah yang pernah aku lihat. Aku yakin suatu saat nanti kamu mampu meraih cita-citamu tidak seperti diriku. Mungkin Tuhan belum mengizinkan kita meraih mimpi bersama, Tuhan hanya ingin salah satu di antara kita. Afiza, berjanjilah untuk terus bermimpi dan mewujudkannya. Cita-citamu harus terus hidup agar aku dapat selalu tersenyum melihatmu. Bukankah saat ini kamu sudah kuliah di jurusan Hukum? Kamu masih ingin jadi pengacara, kan? Jangan bersedih lagi atas kepergianku, kamu harus bisa melepasku dengan ikhlas sama seperti saat aku tak ada 5 tahun ini. Karena aku tahu, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Aku yakin, kamu akan menjadi orang hebat suatu saat nanti.

Pelangiku, kutitipkan buku ini untukmu. Pergunakanlah sebaik-baiknya untuk dirimu sendiri, sebagai janji kebahagiaanmu kelak. Euforia kebersamaan kita dahulu juga akan selalu hidup dalam buku ini Jogjakarta , 29 Juni 2013 -Lukman Arif Sulistyo***** 10 tahun kemudian.. Dr. Afiza Karina, S.H, M.H. Begitulah tulisan papan nama di depan pintu di dalam kantor pengadilan tinggi. Aku Afiza, di umur yang baru menginjak 30 tahun, aku telah menjadi seorang kepala pengacara publik (pengacara umum) yang menangani kasus-kasus pidana secara umum. Keberhasilanku menjadi seorang pengacara tak lepas dari harapan yang pernah dititipkan Lukas. Meski kini ia telah tiada, namun harapan, semangatnya untuk bermimpi dan bercita-cita akan selalu hidup dalam diriku. Kesuksesan ini, berawal dari sebuah mimpi yang terus tumbuh diiringi doa dari dia yang selalu mendukungku.

Anda mungkin juga menyukai