Kata kunci: Kearifan Lokal, Konsep Pengembangan Kawasan, Kawasan Adat Ammatoa
1. PENDAHULUAN
Suku Kajang merupakan salah satu suku yang tinggal di pedalaman secara turun
temurun, tepatnya di desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kab. Bulukumba. Masyarakatnya lebih
dikenal dengan nama masyarakat ammatoa kajang. ammatoa adalah sebutan bagi pemimpin adat
mereka yang diperoleh secara turun temurun. Amma artinya Bapak, sedangkan Toa berarti yang
di Tuakan (Heryati, 2013). Masyarakat ammatoa Kajang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
rilalang embayya (Tanah Kamase-masea) lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam yang dikenal
sebagai kawasan adat ammatoa dan ipantarang embayya (Tanah Kausayya) atau lebih dikenal
dengan nama Kajang Luar (Aminah dalam Heryati, 2013). Yang membedakan diantara keduanya
adalah modernitas, di kajang dalam masih sangat memegang teguh adat dan tradisi dan menolak
modernisasi yang dianggap dapat merusak tatanan norma kehidupan mereka.
Dalam pasang terdapat amanah untuk selalu hidup sederhana, selaras dan menjaga alam,
khususnya hutan, karena dari alam tersebutlah mereka mendapatkan sumber kehidupan.
Masyarakat masih sangat memegang kuat tradisi dan pola hidup yang senantiasa harmonis
dengan alam, dan memiliki sistem sosial dan juga budaya yang unik serta berbeda dari yang
lainnya. Mulai dari kepercayaan, tradisi, adat, sistem sosial, hingga kehuniannya sangat
dipengaruhi oleh alam, bahkan dikawasan ini masyarakat tidak menggunakan teknologi yang ada
sekarang, seperti listrik dan barang-barang elektronik. Semua rumah warga dibangun dengan
bentuk yang sama, konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol keseragaman.
Dalam keseharian tidak pernah menggunakan alas kaki dan selalu menggunakan pakaian yang
berwarna hitam. Meski terlihat sangat primitif, namun mereka juga mengenal teknologi yang meski
masih sangat sederhana. Selain itu, masyarakat suku kajang dalam kesehariaanya senantiasa
berpegang teguh terhadap apa yang didapatkan dari alam tempat mereka hidup.
1
Ajaran para leluhur memiliki arti penting bagi masyarakat ammatoa kajang. Sehingga
mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan berdasarkan tradisi leluhur. Semua aturan
adat dari yang mengikat setiap kegiatan mereka bersumber dari pasang dan berisi amanah atau
pesan yang dituangkan dalam 4 sendi kehidupan mereka yaitu mengenai ketuhanan,
kemasyarakatan, pemerintahan, dan pelestarian alam (hutan).
Kearifan lokal dianggap oleh masyarakat setempat sebagai pemikiran arif bijaksana yang
sifatnya setempat pula, tapi diharapkan mempunyai pengaruh positif ke daerah lainnya sebagai
salah-satu bentuk solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul akibat pengaruh dari
pemikiran global (Pawitro, 2011).
Dari berbagai macam pemahaman yang muncul, secara garis besar memahami bahwa
lokal wisdom berasal dari nilai budaya (tradisi, adat istiadat, sistem kemasyarakatan) yang
diciptakan oleh individu maupun kelompok berdasarkan pertimbangan lingkungan dan
kepercayaan masyarakat itu sendiri. Pada akhirnya menghasilkan sebuah nilai kearifan lokal yang
berwujud nyata (tangible) dan yang tak berwujud (intangible). Nilai kearifan itulah yang kemudian
secara terus-menerus dijalankan dan mampu bertahan hingga sekarang.
Kearifan lokal pasang ri-kajang ini merupakan kearifan lokal yang tak berwujud (intangible)
namun mempengaruhi kondisi fisik lingkungan kawasan adat ammatoa suku kajang ini. Pasang
merupakan pesan-pesan yang berisi pengetahuan hidup yang harus ditaati. Jika tidak ditaati maka
akan terjadi hal-hal buruk. Secara harfiah, Pasang berarti Pesan yang merupakan sebuah
amanat yang sifatnya sakral dan wajib hukumnya untuk dituruti, dipatuhi dan dilaksanakan, yang
bila tidak dilaksanakan, akan berakibat munculnya hal-hal yang tidak diinginkan seperti rusaknya
keseimbangan sistem sosial dan ekologis antara lain berwujud penyakit tertentu pada yang
bersangkutan maupun terhadap keseluruhan warga, (Hijjang, 2005).
Berikut ini merupakan beberapa materi Pasang, sebagai berikut, (Akib, 2003):
a. Anne Linoa pammari mariangji ahera pammantangang satuli-tuli. Artinya Dunia ini
hanya terminal sementara, akhiratlah tempat yang abadi.
b. Tu Rie Arakna ammantangi ri pangngarakanna artinya Tu Rie Arakna (Tuhan)
berbuat sesuai kehendaknya.
Butir Pasang tersebut di atas mengandung ajaran tentang religi/ Ketuhanan, yang
bermakna harus melakukan perintahnya dan menghindari larangan-Nya. Manusia juga harus
berusaha mencari nilai kebajikan demi kehidupan di hari kemudian. Secara umum dan
administrasi masyarakat adat ammatoa beragama Islam namun mereka masih memegang teguh
kepercayaan leluhur mereka yang bernama Patuntung yang berarti sumber kebenaran.
a. Ako naha-nahai lanupunnai numaeng taua napattiki songo artinya Jangan berniat
memiliki sesuatu yang berasal dari tetesan keringat orang lain. Ini merupakan nasehat agar
jangan mengambil hak orang lain.
b. Ako appadai tummue parring artinya jangan seperti orang membelah bambu.
Ini bermakna anjuran untuk berlaku adil.
2
ditanggalkan, jaga dirimu kasihani lututmu, yang dikatakan kekuasaan mengalir bagai darah .
Pasang ini memberikan peringatan kepada pemimpin, bahwa kekuasaan itu tidak selamanya
dimiliki. Kekuasaan itu akan berpindah seperti darah yang mengalir dalam tubuh. Ini merupakan
anjuran kepada pemegang kekuasaan agar selalu melaksanakan amanah.
Selain itu terdapat pula prinsip kesederhanaan yang diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat mereka yang juga bersumber dari pasang:
Dari prinsip kesederhanaan inilah muncul beberapa norma adat yang berlaku dalam
lingkungan kawasan adat yaitu pakaian adat dan pakaian sehari-hari berwarna hitam, tidak
menggunakan alas kaki, tidak menggunakan teknologi yang ada sekarang, seperti listrik dan
barang-barang elektronik serta perabot-perabot dalam rumah tangga, dan rumah dibuat dalam
bentuk yang sama.
Tata ruang desa : rehabilitasi, rekonstruksi dan pengembangan desa. Selain itu, juga
mampu menampung pertumbuhan ruang di masa datang secara fleksibel dan mampu
menampung kebutuhan perbaikan struktur tata ruang desa melalui konsolidasi lahan (jika
diperlukan). Konsep ini sesuai dengan muatan PP no 2 tahun 2005.
Sosial Budaya Desa : pembangunan pendidikan, sosial dan penguatan adat istiadat
setempat dalam rangka pengembangan partisipasi masyarakat yang melibatkan segenap lapisan
masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok anak-anak pemuda dan wanita.
3
Mitigasi bencana : penataan ruang desa dengan fungsi khusus yaitu mitigasi bencana,
berupa pembangunan daerah daerah yang rawan bencana dan tempat tempat yang digunakan
untuk penampungan evakuasi warga ketika terjadi bencana.
Prinsip ini memuat sikap dan pandangan tentang cara mengembangkan program
pembangunan yang bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan menghormati
sesama. Melalui pemberdayaan potensi masyarakat, yaitu penguatan kemampuan yang telah ada
dan pengalihan kemampuan baru kepada masyarakat. Penguatan masyarakat dilakukan dengan
cara mendorong mereka melaksanakan semua tahap kegiatan sebagai proses saling belajar.
Masyarakat sebagai pelaku utama dan pihak luar sebagai fasilitator, bahwa pihak luar
memfasilitasi dan saling bertukar pengalaman dengan masyarakat, bukan mengajari, menggurui,
menyuruh dan mendominasi kegiatan. Peran pihak luar akan berkurang secara bertahap.
Saling belajar dan menghargai perbedaan, bahwa semua pihak dapat saling
menyampaikan pengetahuan dan pengalamannya untuk mengkaji pemecahan masalah yang tepat
guna. Mengakui nilai pengetahuan tradisional, dan pihak luar juga terbuka untuk belajar dari cara
masyarakat memecahkan masalah.
Mengoptimalkan hasil, yaitu terus menerus memperbaiki lingkup dan mutu kajian informasi
melalui pemahaman optimal dan kecermatan yang memadai. Pemahaman optimal dipahami,
bahwa informasi yang dikumpulkan dianggap cukup menggambarkan keadaan waktu. Orientasi
praktis, bahwa penerapan prinsip ini bukan hanya untuk menggali informasi, melainkan juga untuk
merancang program bersama yang ditekankan pada penguatan kemampuan swadaya
masyarakat.
Pembahasan dilakukan secara kualitatif dalam bentuk deskriptif analisis dari data dan
referensi sumber yang didapatkan, yaitu dengan mendiskripsikan kemudian memberikan
penafsiran-penafsiran dengan interpretasi rasional yang memadai terhadap fakta-fakta yang
diperoleh. Proses analisis mengenai potensi sumber daya kawasan dilakukan untuk mendapatkan
sebuah kesimpulan dan juga rekomendasi mengenai arah pengembangan kawasan adat ammatoa
suku kajang. Karena kawasan merupakan desa adat yang masih mempertahankan tradisinya
sehingga perlu dikaitkan antara potensi sumber daya kawasan dengan norma-norma adat yang
berlaku di dalam kawasan sehingga tidak menyalahi aturan-aturan adat yang berlaku.
2. PEMBAHASAN
2.1. Lingkungan Fisik dan Demografis Kawasan
Kawasan adat ammatoa kajang berada Lokasi Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang,
Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan yang berada sekitar 250 km dari kota Makassar,
Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Dati II Bulukumba,
terletak di bagian utara Kecamatan Kajang, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Dati II Sinjai.
Luas wilayah Desa Tana Towa 1.820 ha, ketinggian 75 m sampai 155 m Dipl, terdiri atas sembilan
dusun, yaitu : (1) Dusun Balagana, (2) Dusun Jannayya, (3) Dusun Bantalang, (4) Dusun Pangi,
(5) Dusun Sobbu, (6) Dusun Balambina, (7) Dusun Benteng, (8) Dusun Luraya, dan (9) Dusun
Tombolo, dengan pusat kawasan adat berada di dusun benteng dan dusun jannayya sebagai
4
wilayah kajang dalam dan sisanya merupakan wilayah kajang luar. Yang membedakan kajang
dalam dan luar adalah modernisasi, hal mengenai modernisasi hanya boleh sampai di kajang luar.
Jumlah penduduk yaitu 3.900 dengan jumlah laki-laki sebanyak 1850 dan jumlah
perempuan sebanyak 2.050. Jumlah keluarga 833 kepada keluarga dan rumah sebanyak 730
buah. Penduduk dari kawasan adat ini homogen yaitu satu sub suku Makassar yang bernama
Konjo, dalam hal agama yang diresmikan mereka digolongkan kedalam Islam. Kawasan adat
dipimpin oleh seorang ammtoa beserta kabinetnya, seorang ammtoa memiliki menteri yang
mengurusi bidangnya masing-masing seperti urusan adat dan pemerintahan.
Pendidikan warga jarang yang pernah mengecap pendidikan formal, dan karena itu sangat
sedikit diantara mereka yang tahu tulis- baca, terutama di kalangan orang dewasa. Persoalan ini
sebenarnya tidak sesederhana seperti yang dibayangkan oleh pemerintah bahwa masyarakat
kajang khusunya yang didalam kawasan tidak sekolah karena kurangnya pemahaman mereka
dan juga bukan karena factor ekonomi, tetapi ini berkait erat dengan soal keyakinan dan
pandangan hidup masyarakat Kajang.
Adapun mata pencaharian bertumpu pada pertanian di sawah dan ladang, dan usaha
perkebunan. Jagung dan padi adalah tanaman pangan utama yang menjadi sumber penghidupan
masyarakat adat. Sebagai tambahan mereka juga membudidayakan bahan makanan dan
pendapatan lain, seperti ubi kayu, ubi jalar, dan kacang-kacangan untuk tanaman jangka pendek;
sedangkan tanaman jangka panjang terdapat kelapa, kemiri, kopi, kapok, durian, langsat.
Disamping bertani, mereka juga beternak sapi, kerbau dan kuda adalah yang paling
banyak diternakkan oleh komunitas ini. Selain itu untuk menambah penghasilan, mereka juga
membuat tope yaitu sarung hitam yang mereka tenung sendiri dan digarusu yaitu di lamuri dengan
pewarna dari tumbuh-tumbuhan tertentu.
Peninggalan kebudayaan oleh para leluhur yang sangat mereka jaga dan kemudian
mereka lestarikan yaitu kesenian dan alat industri rumah tangga berupa alat tenun
(Pattannungang) dan alat pertanian tradisional. Adapun kesenian tersebut antara lain Tari Pabitte
Passapu : untuk acara kegembiraan seperti acara pernikahan, penjemputan tamu, dll.Tari Pabitte
Passapu ditampilkan pada acara-acara adat, acara penjemputan tamu yang dihormati. Tarian ini
sering ditampilkan di luar kawasan adat dan diberikan imbalan sesuai kemampuan orang yang
mengundang para penari.
Gambar 2. Pembuatan Kain Tenun Gambar 3. Tarian Pabitte Passapu Gambar 4. Membawa Hasil Panen
(Sumber: titiw.com) (Sumber: rca-fm.com) (Sumber: kabupatenbulukumba.com)
2.2.2. Kemasyarakatan
Hal yang hal hubungannya dengan kemasyarakatan, adalah erat hubungannya dengan
kegiatan sosial keseharian mereka. Yang sangat di pengaruhi oleh prinsip kesederhanaan
(kamase-masea). Mulai cara berpakaian, hunian, cara bertani, peralatan, kesenian semuanya
sangat sederhana. Bahkan perabot yang berteknologi modern tidak dipergunakan di dalam
kawasan ada. Ketaatan mereka dalam menjalankan prinsip kamase-masea disebabkan oleh,
adanya imbalan kekayaan tiada taranya dari segi keyakinan dan adanya sanksi bagi yang tidak
menjalankannya. Sanksi yang dijatuhkan berupa sanksi biasa (pengusiran dari wilayah tanah
kamase-masea atau pengucilan dari semua kegiatan masyarakat) dan yang lebih berat lagi adalah
sanksi adat.
Kearifan lokal tersebut perlu dipertahankan keberadaannya, karena telah menjadi ciri khas
adat dan budaya setempat. Sehingga kearifan tersebut tetap dapat bertahan dan sejalan dengan
pesan pasang. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan pendekatan untuk pengembangan kawasan
demi peningkatan kualitas maupun penghasilan masyarakat setempat tetapi tidak memunculkan
hal yang dapat merusak keseimbangan maupun kondisi sosial budaya setempat.
Dari segi pengembangan fisik yang mengandung unsur modernisasi cukup dibangun
dikawasan kajang luar saja, karena dikawasan kajang luar sudah menerima modernisasi.
Sedangkan dikawasan kajang dalam difokuskan pada pengembangan non fisik jika mengacu pada
pasang, namun pengembangan secara fisik juga bisa dilakukan dengan cara konsep Pangemanan
yang mempertahankan kondisi asli kawasan tanpa harus menggunakan unsur-unsur modern.
2.2.2. Pemerintahan
Sistem pemerintahan kawasan adat memiliki struktur tersendiri yang dipimpin oleh
seorang ammatoa yang terdiri dari kabinet dengan beberapa menteri yang mengurusi berbagai
bidang. Karena di dalam pasang disebutkan bahwa ammatoa: Amma mana ada (Amma
melahirkan adat) dan Amma mana karaeng (Amma melahirkan pemerintahan). Sehingga struktur
pemerintahan terbentuk untuk untuk menjaga keberlangsungan adat di dalam kawasan.
6
pohon sampai tumbuh dengan baik. Pesan pasang untuk menjaga dan melestarikan alam dapat
dijadikan konsep pengembangan kawasan adat yang berwawasan lingkungan karena hal tersebut
sudah sejalan dengan amanah yang ada dalam pasang itu sendiri.
Potensi pengembangan kawasan adat ditinjau dari 5 potensi pengembangan utama yaitu:
Tata ruang kawasan : dari segi tata ruang desa pengembangan secara fisik hanya dapat
dilakukan hingga pada batas perbatasan antara kajang dalam dan kajang luar, dengan kata lain
fokus pengembangan kawasan secara fisik difokuskan pada kawasan kajang luar. Hal tersebut
bertujuan untuk tetap mempertahankan keaslian kondisi kawasan adat di kajang dalam sesuai
dengan isi pasang. Penataan kondisi lingkungan dalam kawasan adat kajang dalam juga dapat
dilakukan dengan syarat memperhatikan dan menggunakan material-material dari alam sesuai
dengan kondisi aslinya.
Sosial Budaya : sosial budaya secara keseluruhan dapat dijadikan potensi wisata adat.
Ciri khas fisik maupun nonfisik lingkungan kawasan telah menjadi salah satu daya tarik wisatawan,
hal tersebut perlu dijaga keasliannya. Untuk mendukung potensi wisata tersebut diperlukan
pengembangan management dan pusat pengembangan dan informasi kawasan adat, tentunya
dari segi tata ruang fisik dikembangkan diwilayah kajang luar. Selain itu, juga berfungsi sebagai
wadah pemasaran untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Untuk mendukung kondisi sosial
budaya masyarakat dalam bidang pendidikan, perlu dibangun sarana untuk itu. Pengembangan
sosial dan penguatan adat istiadat setempat dalam rangka pengembangan partisipasi masyarakat
yang melibatkan segenap lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok anak-anak
pemuda dan wanita.
Mitigasi bencana : sebagai kawasan yang terus dijaga keasliannya menjadi salah satu
amanah yang pasang yang terus dijalankan oleh masyarakat setempat dengan tujuan untuk
menghindari bencana yang ditimbulkan dari kerusakan alam. Hutan adat maupun hutan
masyarakat yang dijaga harus tetap dipertahankan sebagai paru-paru alam dan juga meresap
serta menahan air hujan. Pesan dari pasang tersebutlah yang hingga saat ini menjadikan kawasan
adat terhindar dari bencana alam, karena mereka senang-tiasa menjaga alam mereka khususnya
hutan. Dengan berbagai cara untuk menjaga itu semua, seperti dengan memberikan hukuman
adat maupun hukuman denda, bahkan jika perlu masyarakat akan mengusir orang yang bersalah
jika terbukti melakukan kesalahan yang sangat berat.
7
Sebagai kawasan adat yang memiliki tradisi yang kuat dan juga sumber pedoman hidup
pasang yang terus dipegang teguh. Tentunya segala potensi terbut harus disingkronkan dengan
adat dan norma-norma yang berlaku. Terwujudnya potensi tersebut seharusnya ditentukan oleh
masyarakat dalam kawasan adat itu sendiri. Agar segala hal yang dikembangkan dalam wilayah
mereka tidak menyimpang dari adat, norma dan tradisi yang ada didalamnya. Maka dari
keseluruhan potensi diatas perlu dilakukan penataan kawasan berupa zonasi lahan sesuai dengan
fungsinya, dilengkapi dengan aturan, serta sistem peradilan yang diterapkan bagi yang melanggar
zonasi tersebut.
8
3. KESIMPULAN
Kekuatan kearifan lokal berasal dari pemikiran yang sudah ada sejak dulu dan bersifat
lokal, tidak terbatas pada wilayah geografis, masing-masing memiliki nilai kearifan lokal sesuai
dengan kondisi budaya dan alam setempat. Begitupun wujud kearifan lokal intangibel pasang ri-
kajang yang mampu mempengaruhi kondisi lokal sosial-budaya yang ada dikawasan adat
ammaota suku kajang.
Sebagai kawasan adat yang bersumber dari ajaran pasang, adat, norma, dan tradisinya
masih terus dipertahankan menurut kepercayaan yang dipegang teguh oleh masyarakat. Sehingga
pengaruh-pengaruh yang dianggap dapat merusak adat dan bertentangan dengan pasang akan
ditolak. Namun untuk tujuan pengembangan kawasan adat yang lebih terencana dan tertata
dengan baik tentunya perlu sebuah konsep yang bersumber dari potensi masyarakat setempat
tanpa harus meruba kondisi yang sudah ada. Dengan demikian, untuk kasus kawasan adat
ammatoa suku kajang ini perlu direncanakan berdasarkan adat dan aturan yang ada di dalam
kawasan dengan prinsip partisipasi masyarakat secara langsung.
4. REFERENSI
Aminah, Sitti. 1989. Nilai-nilai Luhur Budaya Spritual Masyarakat Ammatoa Kajang.
Departemen P & K Sulawesi Selatan.
Ernawi, 2010. Harmonisasi Kearifan Lokal Dalam Regulasi Penataan Ruang. Makalah pada
Seminar Nasional Urban Culture, Urban Future : Harmonisasi Penataan Ruang dan Budaya
Untuk Mengoptimalkan Potensi Kota.
Gising, 2012. Simbolisme Dalam Tradisi Lisan Pasang Ri-Kajang: Tinjauan Semiotik. Universitas
Hasanuddin. BAHASA DAN SENI, Tahun 40, Nomor 2, Agustus 2012.
Heryati, 2013. Menguak Nilai-nilai Tradisi Pada Rumah Tinggal Masyarakat Ammatoa-Tanatoa
Kajang di Sulawesi Selatan
Pawitro, 2011. Prinsip-Prinsip Kearifan Lokal Dan Kemandirian Berhunipada Arsitektur Rumah
Tinggal Suku Sasak Di Lombok Barat. Simposium Nasional RAPI X FT UMS 2011