Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah
peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang
dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di
rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat
jihad menentang penjajah kepada masyarakat.
Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik
perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin
oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama di desa Lampuyang, Pontang yang kegiatan
sehari-harinya mengadakan pengajaran agama pada masyarakat di daerahnya.
Kegiatan pengajian Kiayi ini semakin berkembang terutama setelah ia kembali dari
Mekkah tahun 1872.
Haji Abdul Karim mendirikan pesantren di Tanahara, yang dalam waktu singkat
mendapat banyak murid dan pengaruh terhadap penguasa pribumi, seperti bupati,
penghulu kepala di Serang serta Haji R.A. Prawiranegara, pensiunan patih Serang.
Begitu besar pengaruhnya di kalangan rakyat dan pejabat pemerintah sehingga
dikenal pula sebagai “Kiyai Agung” bahkan dianggap sebagai “Wali Allah”.
Dalam mengadakan acara dzikiran di rumah-rumah tertentu, langgar atau masjid,
Haji Abdul Karim selalu menganjurkan tentang perlunya perang sabil terhadap
pemerintah kolonial yang kafir.
Ketika Kiyai Haji Abdul Karim akan ke Mekkah untuk kedua kalinya pada tanggal 13
Pebruari 1876, banyak kiyai, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah yang datang
untuk mengucapkan selamat jalan. Rakyat dari Tanahara, Tangerang dan sekitarnya
berbondong-bondong menunggu di pinggir jalan yang akan dilaluinya. Khawatir
akan terjadi huru-hara, pemerintah kolonial minta supaya Kiyai Haji Abdul Karim
berangkat langsung menggunakan kapal laut dari Tanahara ke Batavia.
Bersama kawan seperjuangannya: Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji
Arsad Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail, mereka menyebarkan pokok-pokok
ajaran Islam itu kepada masyarakat.
Dengan memahami tiga pokok ajaran Islam ini diharapkan, murid-muridnya, akan
menjadi muslim yang baik dan taat dalam menjalankan semua perintah agama serta
menjauhi segala yang dilarang-Nya.
Dalam pada itu, antara tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di
Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes)
binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga
tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat.
Untuk menggambarkan keadaan rakyat Banten pada saat itu, PAA. Djajadiningrat,
menyaksikan bahwa di pasar Kramatwatu, Cilegon, hampir sering menemukan bayi
di pojokan pasar yang ditutupi selembar daun pisang, sekedar untuk menjaga dari
teriknya matahari. Bayi-bayi ini sengaja ditinggalkan ibunya karena ia tidak mampu
lagi memberinya makan, dan mengharapkan nanti ada yang mengambil untuk
memeliharanya; atau karena ibunya tiba-tiba terkena demam dan meninggal tidak
lama kemudian. Istri wedana Kramatwatu, ibunya PAA. Djajadiningrat, berhasil
mengumpulkan sampai 20 orang anak yang kemudian dipeliharanya di
Kawedanaan.
Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang
menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan
cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan
mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana
terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain. Dengan
demikian, kerbau yang tidak terkena penyakit pun turut dibunuh pula.
Bagi rakyat petani, ternak kerbau bukan hanya dianggap sebagai hewan peliharaan
tapi juga teman/sahabat yang banyak membantu pekerjaannya di sawah, sehingga
perlakuan demikian membuat tambah sedih, dianggap suatu kekejian dan
kesewenang-wenangan yang membuat makin besar kebencian kepada Belanda dan
anteknya; walaupun mereka tidak bisa berbuat apa-apa, pasrah dengan perlakuan
itu.
Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena
banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di
mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa.
Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000
penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan
menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).
Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau
di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), ─ yang menimbulkan gelombang laut
setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak,
Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut
korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu
luluh lantak tersapu gelombang pasang.
Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak
tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak
jiwa ─ yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak
mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut ─
menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Dalam keadaan penderitaan rakyat yang bertumpuk ini, banyak di antara mereka
yang lari ke klenik (tahayul). Mereka lebih mempercayai dukun dan benda-benda
yang dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah.
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa terdapat sebatang pohon kepuh besar yang oleh
sebagian penduduk dianggap keramat, dapat memunahkan bala bencana dan
meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon
itu.
Keadaan inilah yang membawa Haji Wasid ke depan pengadilan kolonial pada
tanggal 18 Nopember 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga
dikenakan denda 7,50 gulden. Dendaan yang dijatuhkan kepada kiyai ini,
menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri murid dan pengikutnya.
Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan ini adalah dirubuhkannya menara
langgar (musholla) di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels.
Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu
shalat, mengganggu ketenangan “masyarakat” kerena kerasnya suara, apalagi waktu
azan shalat subuh.
Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang isinya
supaya shalawat, tarhim dan azan jangan dilakukan dengan suara keras, karena
‘Tuhan tidak tuli’. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan
budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda ini berbaur dengan
penderitaan rakyat yang sudah tidak tertakarkan menumbuhkan perlawanan
bersenjata.
2. Jalannya “Pemberontakan”
Secara kronologis, persiapan-persiapan menuju “pembe-rontakan” di Cilegon,
mungkin dapat diurutkan sebagai berikut:
Akhir Juni berlangsung perhelatan besar, yakni perkawinan antara putra Bupati
Pandeglang dan putri Bupati Serang, di mana banyak hadir para pejabat,
Awal Juli, Residen Banten, Asisten Residen Anyer disertai bawahan Eropa dan
pribumi melakukan inspeksi di afdeling Anyer,
Adanya desas-desus munculnya naga besar pertanda akan datangnya musibah di
kalangan penduduk,
Dalam waktu dekat K.H. Wasid akan dipanggil ke pengadilan untuk penyelesaian
suatu perkara,
Beredarnya desas-desus larangan berdo’a dzikir, pesta dengan gamelan, tayuban,
pesta perkawinan dan khitanan.
Pada hari Sabtu, tanggal 7 Juli 1888, diadakanlah pertemuan para kiyai untuk
persiapan terakhir/pematangan gerakan di rumah Haji Akhia di Jombang Wetan.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Haji Sa’id dari Jaha, Haji Sapiuddin dari
Leuwibeureum, Haji Madani dari Ciora, Haji Halim dari Cibeber, Haji Mahmud dari
Tarate Udik, Haji Iskak dari Seneja, Haji Muhammad Arsad (penghulu kepala di
Serang) dan Haji Tubagus Kusen (penghulu di Cilegon).
Untuk menutupi kecurigaan Belanda atas pertemuan itu diadakan suatu kenduri
besar. Sekitar jam 23.00, datang Nyi Kamsidah, istri Haji Iskak, memberitahukan
bahwa Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ingin bertemu dengan para kiyai yang
hadir.
Maka setelah lewat tengah malam para kiyai segera berangkat ke Saneja untuk
mengadakan pertemuan kedua di rumahnya Haji Ishak. Dalam pertemuan ini hadir
pula Haji Abubakar, Haji Muhiddin, Haji Asnawi, Haji Sarman dari Bengkung, dan
Haji Akhmad, penghulu Tanara. Haji Ashik dari Bendung, dan kiyai-kiyai dari
Trumbu, tidak hadir dalam pertemuan ini karena sudah dipastikan bahwa mereka
akan memulai pemberontakan pada hari Senin tanggal 29 Syawal atau 9 Juli 1888.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Haji Wasid dan Haji Ismail pergi ke Wanasaba
untuk mengadakan pembicaraan dengan murid-muridnya, di antaranya Haji Sadeli
dari Kaloran. Dari sana, keduanya pergi ke Gulacir, ke rumah Haji Ismail; selesai
shalat magrib dengan dikawal sejumlah muridnya Haji Wasid berangkat ke Cibeber
untuk kembali mengadakan pertemuan dengan murid-muridnya yang lain.
Sementara itu, setelah pertemuan di rumah Haji Ishak, beberapa kiyai kembali lagi
ke pesta di rumah Haji Akhiya, yang pada keesokan harinya, Minggu, 8 Juli 1888,
diadakan arak-arakan sambil meneriakkan takbir dan kasidahan yang dimulai dari
rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir di rumah Haji Tubagus Kusen,
penghulu Cilegon.
Para kiyai dan murid-murid mereka memakai pakaian putih-putih dengan ikat
kepala dari kain putih pula sambil membawa pedang dan tombak. Pada malam
harinya barisan bertambah panjang bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin
langsung oleh Haji Wasid dan Haji Tubagus Ismail ─ yang kemudian dijadikan
sebagai pusat penyerangan.
Malam itu juga, dari Saneja, Haji Tubagus Ismail memimpin pengikut-pengikutnya
dari Arjawinangun, Gulacir dan Cibeber bergerak menuju Cilegon untuk menyerang
para pejabat pemerintah kolonial.
Pada hari Senin malam tanggal 9 Juli 1888, diadakanlah serangan umum ke
Cilegon. Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Arjawinangun dan pengikutnya
menyerang dari arah selatan, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Kiyai Haji
Wasid, Kiyai Haji Usman dari Tunggak, Haji Abdul Gani dan Beji dan Haji Nuriman
dari Kaligandu menyerang dari arah utara.
Dengan memekikkan kalimat takbir mereka menyerbu beberapa tempat di Cilegon.
Pasukan dibagi dalam beberapa kelompok: kelompok pertama dipimpin oleh Lurah
Jasim, Jaro Kajuruan, menyerbu penjara untuk membebaskan para tahanan;
kelompok kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari
Arjawinangun menyerbu kepatihan, dan kelompok ketiga dipimpin oleh Kiyai Haji
Tubagus Ismail dan Haji Usman dari Tunggak menyerang rumah Asisten Residen.
Dalam keadaan yang kacau itu, Henri Francois Dumas, juru tulis di kantor Asisten
Residen, dapat dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail, demikian juga Raden
Purwadiningrat, ajun kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubbels, asisten residen
Anyer, Mas Kramadireja, sipir penjara Cilegon, dan Ulric Bachet, kepala penjualan
garam ─ semuanya adalah orang-orang yang tidak disenangi rakyat.
Sehari semalam kekacauan tidak dapat diatasi, Cilegon dapat dikuasai sepenuhnya
oleh pasukan “pemberontak”. Tetapi seorang babu (pembantu rumah tangga)
Gubbel dapat melarikan diri ke Serang membawa kabar kejadian di Cilegon itu.
Maka Bupati bersama Kontrolir dengan 40 orang serdadu yang dipimpin oleh
Letnan I Bartlemy berangkat ke Cilegon.
Kejadian “Geger Cilegon” itu mempunyai arti penting dalam sejarah pergerakan
nasional, karena setelah kejadian itu Belanda menginstruksikan supaya semua
peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan hendaknya jangan menyinggung
perasaan keagamaan rakyat jajahan. Walau pun akhirnya pemberontakan itu
mengalami kegagalan secara fisik, namun sangat bermakna sebagai sebuah
gambaran dari rasa ketidakpuasan dan kebencian seluruh rakyat terhadap penjajah.
Rakyat kebetulan tidak memiliki pemimpin formal untuk menyalurkan aspirasinya
sehingga untuk menyalurkan ketidakpuasan itu, dalam bentuk pemberontakan,
kepemimpinannya dipercayakan kepada pemimpin kharismatik yakni para kiyai dan
ulama.
Dalam tahun-tahun berikutnya, bekas dan akibat pemberontakan Cilegon ini cukup
mendalam di kedua belah pihak. Rakyat Banten sangat benci kepada penjajah
Belanda dan pamongpraja yang menjadi kaki-tangannya; sebaliknya pihak penjajah
juga menaruh kewaspadaan tinggi untuk daerah Banten dengan rakyatnya sangat
militan itu.
Banyaknya pemberontakan rakyat yang dipimpin para ulama Islam ini erat juga
kaitannya dengan politik keagamaan yang diterapkan kaum penjajah. Di samping
mereka terlalu meng-eksploitir tanah jajahan tanpa dibatasi rasa kemanusiaan, juga
pemerintah kolonial “merambah” dalam kehidupan keagamaan masyarakat;
masalah yang dianggap paling mendasar dalam kehidupan manusia.
Hal ini tidak lepas dari motivasi pertama pengembaraan orang-orang Eropa, di
samping untuk mencari keuntungan perdagangan juga dilandasi oleh rasa benci dan
permusuhan kepada orang-orang yang beragama Islam. Sehingga dapat dikatakan
bahwa ekspansi Portugis harus dilihat sebagai kelanjutan dari Perang Salib.
VOC, sebagai perusahaan dagang milik Belanda pun tidak lepas dari tugas
penghancuran umat Islam dan penyebaran agama Kristen kepada penduduk di
Nusantara (Suminto, 1985: 17). Keadaan demikian terlihat juga pada abad ke-19 dan
ke-20, melalui beberapa peraturan dan pelaksanaan yang dibuat pemerintah Hindia
Belanda.
Pada dasawarsa terakhir abad ke-19 kelompok non agama memperoleh kemenangan
dalam parlemen. Namun pada peralihan abad ke-20 kemenangan beralih kepada
kelompok agama. Dengan keadaan ini pemerintah Hindia Belanda haruslah
mendukung sebanyak mungkin usaha kristenisasi yang banyak dilakukan organisasi
swasta.
Masalah kristenisasi di Hindia Belanda ini erat juga kaitannya dengan masalah
menghadapi pemberontakan yang dilakukan umat Islam. Dengan mengkristenkan
sebanyak mungkin penduduk di Nusantara maka pemberontakan akan semakin
berkurang.
Karena itulah “zending Kristen harus dianggap sebagai faktor penting bagi proses
penjajahan, bahkan perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala
simbiose yang saling menunjang”. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa apabila
bangsa Indonesia ini memeluk agama Kristen, yakni menjadi seagama dengan
penjajahnya, maka berarti mereka tidak akan lagi membahayakan bagi
pemerintahan Belanda.
Tetapi dalam kenyataannya, justru karena tekanan kegiatan missi penyebaran agama
Kristen yang menggebu-gebu ini reaksi perlawanan dari rakyat Indonesia makin
lebih militan lagi menentang penjajah Belanda. Sehingga orang Indonesia dalam
menyebut orang-orang Belanda sebagai “setan”, “kapir landa” ─ sebutan yang di
samping menggambarkan kebencian mendalam juga menganggap mereka itu
adalam musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.
Tidaklah mengherankan apabila orang Islam yang mengirimkan anaknya untuk
belajar di sekolah Belanda, ataupun sekolah Jawa/Melayu yang didirikan Belanda,
sering dituduh menyuruh anak-anaknya masuk agama Kristen. Maka tidak jarang
seorang kiyai atau seorang guru mengaji mengeluarkan fatwa bahwa memasuki
sekolah-sekolah Belanda adalah haram, atau sekurang-kurangnya menyalahi Islam.
Bahkan beredar fatwa yang menyatakan bahwa berpakaian ala Eropa ─ lebih-lebih
memakai dasi, celana pantalon dan topi ala Eropa ─ dihukumi haram, dan
pemakainya dikatakan kafir. Demikian juga dengan orang Islam yang bekerja
menjadi pegawai di kantor pemerintah Belanda, misalnya sebagai pamongpraja,
masyarakat mencemooh mereka sebagai “anjing belanda”.
Keyakinan yang memandang rendah semacam itulah yang mendasari kenapa
penduduk asli Banten yang bersedia bekerja menjadi pamongpraja pada masa
pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Keadaan semacam ini pun membuat
pemerintah Belanda mengalami kesulitan mengangkat pejabat pamongpraja asli dari
Banten yang cakap (baca: pernah belajar di sekolah Belanda).
Ketakutan yang didasari kecurigaan ini pula yang menyebabkan banyaknya pegawai
asal Priyangan yang ikut melarikan diri ketika pasukan Jepang keluar dari Banten.
Imbas dari keadaan ini masih terasa sampai pasca kemerdekaan. Rupanya,
walaupun memang kebanyakan rakyat Banten bukan orang yang mempunyai
pemahaman mendalam tentang keislaman, bahkan mungkin bukan termasuk orang
yang taat menjalankan agamanya, namun dalam hal rasa sentimen keagamaan
mereka cukup tinggi…..