Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH RUWATAN

Ruwatan, sebagai salah satu warisan upacara tradisional Jawa sampai sekarang masih
terlestarikan. Terlestarikannya upacara ini oleh karena keberadaaannya memang dianggap masih
bermanfaat bagi pelestarinya.
Lepas dari itu, menurut beberapa ahli Ruwatan semula berkembang di dalam suatu cerita Jawa kuno yang
pada pokoknya memuat masalah penyucian. Penyucian ini menyangkut pembebasan para dewa yang
terkena kutukan atau tidak suci (diturunkan derajadnya) menjadi binatang, raksasa, manusia, dan
sebagainya. Ruwatan ini dilakukan untuk membebaskan dewa-dewa bernoda itu agar menjadi dewa
kembali.
Ruwat juga sering diartikan sebagai upaya untuk mengatasi atau menghindarkan sesuatu kesulitan
(batin) yang mungkin akan diterima seseorang di dalam mengarungi kehidupannya. Ruwatan biasanya
selalu diikuti dengan pertunjukan wayang kulit yang mengambil lakon tertentu (misalnya Murwakala atau
Sudamala). Munculnya Ruwatan juga disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa manusia yang dianggap
cacad keberadaannya (karena kelahirannya atau kesalahannya dalam berperilaku) perlu “ditempatkan”
atau dikembalikan dalam tata kosmis yang benar agar perjalanan hidupnya menjadi lebih tenang,
tenteram, sehat, sejahtera, dan bahagia. Orang yang dianggap cacad karena kelahiran dan juga karena
kesalahannya dalam bertindak dalam masyarakat Jawa disebut sebagai wong sukerta. Dalam keyakinan
Jawa wong sukerta ini kalau tidak diruwat akan menjadi mangsa Batara Kala.
Batara Kala adalah putra Batara Guru yang lahir karena nafsu yang tidak terkendalikan.
Ceritanya, waktu itu Batara Guru dan Dewi Uma sedang bercengkerama dengan menaiki seekor lembu
melintas di atas samudera. Tiba-tiba hasrat seksual Batara Guru timbul. Ia ingin menyetubuhi istrinya di
atsa punggung Lembu Andini. Dewi Uma menolaknya. Akhirnya sperma Batara Guru pun terjatuh ke
tengah samudera. Sperma ini kemudian menjelma menjadi raksasa yang dikenal bernama Batara Kala.
Sperma yang jatuh tidak pada tempatnya ini dalam bahasa Jawa disebut sebagai kama salah kendhang
gemulung. Jadi Batara Kala ini merupakan perwujudkan dari kama salah itu.
Dalam perkembangannya, Batara Kala minta makanan yang berwujud manusia kepada Batara
Guru. Batara Guru mengijinkan asal yang dimakannya itu adalah manusia yang digolongkan dalam
kategori wong sukerta. Wong sukerta atau orang-orang yang digolongkan sebagai wong sukerta ini
ternyata memiliki beberapa versi pula. Salah satu versi menyatakan bawah golongan wong sukerta ada 19
jenis, ada pula sumber yang menyatakan bahwa jenis wong sukerta ada 60 macam, 147, 136, dan
sebagainya.
Untuk melaksanakan Ruwatan ini orang yang menyelenggarakan biasanya akan melengkapi syarat-
syarat yang diperlukan, di antaranya adalah sajen. Sajen untuk upacara Ruwatan secara garis besar terdiri
atas: tuwuhan, ratus/kemenyan wangi, kain mori putih dengan panjang sekitar 3 meter, kain batik 5 (lima)
helai), padi segedeng (4 ikat sebelah-menyebelah ujung gawang kelir), bermacam-macam nasi,
bermacam-macam jenang, jajan pasar, benang lawe, berbagai unggas sepasang-sepasang, aneka rujak,
sajen buangan, air tujuh sumber, aneka umbi-umbian, aneka peralatan pertukangan, aneka peralatan
pertanian, dan sebagainya.

WAYANG
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi.
Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang
yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.

Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa
dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003,
sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang
indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal
sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan
oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang
golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan
Ramayana.

Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan
demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya
dan dalang yang luar biasa. Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita
Islam) dipentaskan pula.

Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam.
Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di
Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di
Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang
Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang
Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".
RUWATAN
Dalam rangka memperingati Hari Jadi Lumajang (HARJALU) ke 755 tahun 2010. Serta
sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah diberikannya Kabupaten
Lumajang aman, tentram, dan damai. Masyarakat Lumajang yang tergabung dalam Paguyuban
Sabdaaji Lumajang akan mengadakan kegiatan gelar budaya Ruwatan Nagri dan Ruwatan
Sukerto.

Ruwatan mengandung makna mengevaluasi diri atas segala kesalahan yang disadari
maupun tidak disadari di masa yang telah lalu. Sehingga dalam acara ruwatan memiliki makna
untuk membersihkan diri, tidak hanya sekedar pembersihan lahir, lebih utama adalah
membersihkan batin, membersihkan sengkala (penghalang diri) dan sukerta (kotoran dalam diri).
Yang berakibat sering mengalami sebel-sial.

Kegiatan gelar budaya tak sekedear latah, namun di dalamnya terkandung nilai sosial,
edukatif, rasa kebersamaan dalam banyak ragam perbedaan. Dan pemberdayaan terhadap nilai-
nilai potensi sumberdaya, kreatifitas manusia serta ikut melestarikan budaya bangsa khususnya
budaya Ruwatan.

MAKSUD DAN TUJUAN RUWATAN MASSAL

Kegiatan gelar budaya ruwatan tidak sekedar latah, namun di dalamnya terkandung nilai
sosial, edukatif, rasa kebersamaan dalam banyak ragam perbedaan. Dan pemberdayaan terhadap
nilai-nilai potensi sumberdaya, kreatifitas manusia serta ikut melestarikan budaya bangsa
khususnya budaya Ruwatan. Ruwatan mengandung makna mengevaluasi diri atas segala
kesalahan yang disadari maupun tidak disadari di masa yang telah lalu. Sehingga dalam acara
ruwatan memiliki makna untuk membersihkan diri, tidak hanya sekedar pembersihan lahir, lebih
utama adalah membersihkan batin, membersihkan sengkala (penghalang diri) dan sukerta
(kotoran dalam diri). Yang berakibat sering mengalami sebel-sial karena sengkolo dan sukerto.
Maksud diadakannya ruwatan massal ini untuk meringankan beban peserta sukerto yang mampu
maupun tidak mampu, yang tidak dapat melaksanakan sendiri. Artinya, ruwatan massal
dilakukan untuk meringankan beban masyarakat Kabupaten Lumajang. Tujuan pokok ruwatan,
adalah untuk membuang kesialan hidup orang-orang yang sedang dalam sukerta (susah). Orang-
orang sukerta ini, menurut cerita adalah orang-orang yang akan dimangsa oleh Bathara Kala
sebagai kekuatan penyeimbang hukum alam, karena orang-orang sukerta tidak selaras atau
harmonis dengan hukum alam yang sangat adil (prinsip Tuhan yang Mahaadil). Dengan kata
lain, para sukerta mengalami suatu peristiwa tidak sengaja, dan perbuatan yang disengaja yang
tidak sesuai dengan kodrat alam yang semestinya. Prosesi spiritual ruwatan, juga sebagai upaya
melestarikan tradisi dan budaya nenek moyang masyarakat Jawa yang sudah turun temurun
ribuan tahun silam. Sebagai khasanah pelestarian kekayaan ragam budaya di tanah air. Ruwatan
masih merupakan bagian dari prosesi adat Jawa. Ruwatan itu adalah prosesi penyucian diri
seorang manusia agar kelak dirinya terbebas dari malapetaka. Tapi hanya orang-orang tertentu
yang menyandang predikat Sukerta saja yang diwajibkan untuk diruwat. Asal-muasul prosesi
ruwatan diceritakan dalam kisah pewayangan lakon Murwakala, yaitu lahirnya Bathara Kala.

Aporisma Jawa

Orang Jawa cenderung untuk mempunyai kesadaran tinggi terhadap keberadaan orang –
orang lain. Bagi orang jawa, dalam hidup tidaklah sendiri, orang – orang terus bergerak kedalam
dan keluar dari ruang pribadi masing – masing, dan hanya bijaksanalah yang menjaga konmtak –
kontak semacam dapat Ajeg tanpa percekcokan dan menyenangkan dengan mengakui secara
sopan kehadiran orang lain.
Dengan Memiliki kesadaran tinggi mengenai keberadaan orang – orang lai, ditumbuhkan
hubungan – hubungan antar pribadiyang lebih baik dan lancar, sehingga bermanfaat untuk
kepentingan pemeliharaan diri dalam suatu tatanan yang teratur baik. Ini adalah suatu cara yang
pragmatis untuk membagi ruang, ritual, dan sumber – sumber ekonomi. Karena itu adalah masuk
alak untuk mempertahankan hubungan – hubungan yang rukun dan melaksanakan asas timbal
balik, saling menghormati dan slaing mengerti satu sama lain, dan berbuat sesuai dengan harapan
– harapan masyarakat.
Karena nilai untuk mempertahankan kehidupan dari kewajiban – kewajiban ini atau
nilainya untuk lingkungan damai yang sangat dihargai itu maka orang termotivasi menaruh
perhatian kepada hubungan – hubungan mereka dengan kesadaran bahwa mereka saling
tergantung atas dasar kemauan baik. Akibatnya adalah bijaksana untuk berpegang Teguh kepada
aturan – aturan yang benar mengenai tatanan dan kesopanan
( tata cara ) sebagaimana ditetapkan oleh tradisi setempat ( tata – adat ), dan bersikap sangat hati
– hati terhadap maksud orang – orang lain sambil menyerah pada tekanan lingkungan. Saling
menghormati berarti saling menerima dan berfungsi mempertahankan tatanan yang baik sambil
mencapai, secara individual kelangsungan tak terganggu ( tata – tentrem ).

MITOLOGI JAWA
Sejak dahulu orang Jawa telah mempunyai “ perhitungan “ ( petung Jawa ) tentang
pasaran, hari, bulan dan lain sebagainya. Perhitungan itu meliputi baik buruknya pasaran, hari,
bulan dan lain sebagainya. Khusus tentang hari dan pasaran terdapat di dalam mitologi sebagai
berikut .
1. Batara Surya ( Dewa Matahari ) turun ke bumi menjelma menjadi Brahmana Raddhi di
gunung tasik. Ia menggubah hitungan yang disebut Pancawara ( lima bilangan ) yang sekarang
disebut Pasaran yakni : Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon nama kunonya : Manis, Pethak ( an )
Abrit ( an ) Jene ( an ) Cemeng ( an ), kasih. ( Ranggowarsito R.NG.I : 228 )
2. Kemudian Brahmana Raddhi diboyong dijadikan penasehat Prabu Selacala di Gilingwesi sang
Brahmana membuat sesaji, yakni sajian untuk dewa-dewa selama 7 hari berturut-turut dan tiap
kali habis sesaji, hari itu diberinya nama sebagai berikut
a. Sesaji Emas, yang dipuja Matahari. Hari itu diberinya nama Radite, nama sekarang : Ahad.
b. Sesaji Perak, yang dipuja bulan. Hari itu diberinya nama : Soma, nama sekarang : Senen.
c. Sesaji Gangsa ( bahan membuat gamelan, perunggu ) yang dipuja api, hari itu diberinya nama
: Anggara, nama sekarang Selasa.
d. Sesaji Besi, yang dipuja bumi, hari itu diberinya nama : buda, nama sekarang : Rebo.
e. Sesaji Perunggu, yang dipuja petir. Hari itu diberinya nama : Respati, nama sekarang : Kemis.
f. Sesaji Tembaga, yang dipuja Air. Hari itu diberinya nama : Sukra, nama sekarang : Jumat
g. Sesaji Timah, yang dipuja Angin. Hari itu diberinya nama : Saniscara disebut pula : Tumpak,
nama sekarang : Sabtu.
Nama sekarang hari-hari tersebut adalah nama hari-hari dalam Kalender Sultan Agung,
yang berasal dari kata-kata Arab ( Akhad, Isnain, Tslasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabt ) nama-
nama sekarang itu dipakai sejak pergantian Kalender Jawa – Asli yang disebut Saka menjadi
kalender Jawa / Sultan Agung yang nama ilmiahnya Anno Javanico ( AJ ). Pergantian kalender
itu mulai 1 sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada 1 Muharam 1042 = Kalender masehi 8 Juli
1633. Itu hasil perpaduan agama Islam dan kebudayaan Jawa.
Angka tahun AJ itu meneruskan angka tahun saka yang waktu itu sampai tahun 1554, sejak itu
tahun saka tidak dipakai lagi di Jawa, tetapi hingga kini masih digunakan di Bali. Rangkaian
kalender saka seperti : Nawawara ( hitungan 9 atau pedewaan ) Paringkelan ( kelemahan
makhluk ) Wuku ( 30 macam a’7 hati, satu siklus 210 hari ) dll.
Dipadukan dengan kalender Sultan Agung ( AJ ) tersebut, keseluruhan merupakan
petungan ( perhitungan ) Jawa yang dicatat dalam Primbon. Dikalangan suku Jawa, sekalipun di
lingkungan kaum terpelajar, tidak sedikit yang hingga kini masih menggunakannya ( baca :
mempercayai ) primbon.
Sadulur Papat Kalima Pancer
Hitungan Pasaran yang berjumlah lima itu menurut kepercayaan Jawa adalah sejalan
dengan ajaran “ Sedulur papat, kalima pancer “ empat saudara sekelahiran, kelimanya pusat.
Ajaran ini mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau
jasad lahir bersama empat unsur atau roh yang berasal dari, tanah, air, api dan udara. Empat
unsur itu masing-masing mempunyai tempat di kiblat empat. Faktor yang kelima bertempat di
pusat, yakni di tengah.
Lima tempat itu adalah juga tempat lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat
unsur dan kelimanya pusat itu adalah sebagai berikut :
1. Pasaran Legi bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar ( aura )
putih.
2. Pasaran Paing bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsur Api, memancarkan sinar
merah.
3. Pasaran Pon bertempat di barat, satu temapt dengan unsur air, memancarakan sinar kuning.
4. Pasaran Wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam
5. Kelima di pusat atau di tengah, adalah tempat Sukma atau Jiwa, memancarkan sinar manca
warna ( bermacam-macam )
Dari ajaran sadulur papat, kalima pancer dapat diketahui betapa pentingnya Pasaran Kliwon
yang tempatnya ditengah atau pusat ( sentrum ) tengah atau pusat itu tempat jiwa atau sukma
yang memancarkan daya – perbawa atau pengaruh kepada “ Sadulu Papat atau Empat Saudara
( unsur ) sekelahiran.

Anda mungkin juga menyukai