Lilis Restinaningsih
Undang A. Darsa
Titin Nurhayati Ma’mun
Konsentrasi Filologi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
email: restinalee@gmail.com
Naskah Diterima: 14 Januari 2016 Naskah Direvisi:16 Februari 2016 Naskah Disetujui:24 Februari 2016
Abstrak
Raspatikalpa merupakan naskah Merapi-Merbabu yang menjadi koleksi dari PNRI yang
tergolong naskah jamak dengan 16 judul naskah yang sama dan satu judul berbeda yaitu
Basundarikalpa.Naskah ini berasal dari abad 16-18 dan memiliki sistem aksara dan bahasa yang
unik.Raspatikalpa memuat perwatakan manusia berdasarkan saptawara.Penelitian secara
filologis harus dilakukan agar naskah Raspatikalpa dapat dibaca oleh masyarakat luas.Prinsip
edisi teks naskah Raspatikalpa dilakukan dengan menggunakan prinsip kerja metode landasan
(legger).Hasil penelitian menunjukan naskah Raspatikalpa dengan nomer koleksi 131 merupakan
naskah dasar edisi teks.secara pragmatik raspatikalpa pada masanya berfungsi sebagai falsafah
hidup; bagian dari religiusitas; bagian dari proses inisiasi; dan sebagai jimat.
Kata kunci: Raspatikalpa, manuskrip, filologi, saptawara, watak, urip, daur hidup.
Abstract
Raspatikalpa is the Merapi-Merbabu’s manuscript that became a PNRI collection of
manuscripts which can only be classified as plural with 16 titles the same script and a different
title that comes from Basundarikalpa centuries. The text was made at sixteenth to eighteenth
centuries and has a script system and unique language. Raspatikalpa containing the human
disposition by Saptawara. The philological research must be done so that the text can be read
widely by the public of Raspatikalpa. The principal edition of the manuscript text Raspatikalpa
done by use the Working Principle Grounding Method (Legger). The results show that the
Raspatikalpa manuscript collection at number 131 is the basic text edition. Pragmatically,
Raspatikalpa serves as a philosophy of life in his time; part of religiosity; part of the initiation
process; and as a talisman.
Keywords: Raspatikalpa, manuscript, philological, saptawara, character, urip, life cycles.
Wewaran, wuku, pranata mangsa dengan saptawara. Dari ke-18 naskah ini
tertuang dalam naskah tulisan tangan di hanya beberapa naskah yang kondisinya
berbagai daerah, mulai dari Jawa, Sunda dikatakan baik, sebagian besar naskah
dan Bali.Salah satu naskah yang memuat dalam kondisi rusak dan cacat karena
mengenai wewaran adalah naskah dimakan usia.
Raspatikalpa.Naskah ini merupakan Naskah Raspatikalpa ditulis di atas
naskah jamak dengan jumlah 18 naskah lontar dengan menggunakan aksara buda4
dengan 1 naskah berjudul berbeda yaitu atau gunung dalam penulisannya,
Basundarikalpa.Naskah ini berisikan bahasanya menggunakan ragam bahasa
tentang wewaran dalam siklus tujuh hari tengahan5. Naskah tertua yang ditemukan
dalam satu pekan atau lebih dikenal ditulis pada tahun 1570 Tahun Jawa MM6.
Aksara yang berbeda, ragam bahasa yang
sudah tidak dikenali lagi, membuat isi
atas 30 minggu atau 210 hari.Wuku terbagi
dalam 30 wuku yaitu (1) Sinta; (2) Landep; (3) naskah Raspatikalpa tidak dapat dijangkau
Wukir; (4) Kurantil; (5) Tolu; (6) Gumbreng; oleh masyarakat luas. Apalagi mengingat
(7) Warigalit; (8) Warigagung; (9) usia naskah yang sudah begitu tua dan
Julungwangi; (10) Sungsang; (11) Galungan; kondisi naskah yang sudah hampir rusak,
(12) Kuningan; (13) Langkir; (14) Mondosiya; perlu dilakukan penyelamatan agar isi
(15) Julungpujut; (16) Pahang; (17) naskah dapat dinikmati oleh khalayak
Kuruwelut; (18) Marakeh; (19) Tambir; (20) banyak. Untuk itu penelitian terhadap
Madangkungan; (21) Maktal; (22) Wuye; (23) naskah ini penting untuk dilakukan.
Manail; (24) Prangbakat; (25) Bala; (26) Pengkajian naskah dilakukan dengan
Wugu; (27) Wayang; (28) Kulawu; (29)
menggunakan ilmu bantu filologi mutlak
Dhukut; dan (30) Watugunung (Hadikoesoema,
1985: 19-20). dilakukan. Hal ini untuk mendapatkan
naskah yang bersih dari kesalahan,
3
Pranata mangsa merupakan penanggalan sehingga bisa dibaca oleh khalayak umum.
yang dihitung berdasarkan peredaran matahari.
Dalam 1 siklus berusia 365 hari.Penanggalan B. METODE PENELITIAN
ini digunakan dalam bidang pertanian.Satu Penelitian ini merupakan jenis
tahun terbagi kedalam empat musim utama penelitian pustaka (library research), yang
yaitu ketiga / kemarau (88 hari), labuh (musim
pancaroba menjelang hujan, 95 hari), rendheng
4
/ penghujan (95 hari), dan marĕng (pacararoba Aksara buda atau dikenal dengan aksara
akhir musim hujan, 86 hari). Dalam pembagian gunung, menurut Ranggawarsito merupakan
yang lebih rinci satu tahun dibagi kedalam 12 aksara yang digunakan oleh para kawi yang
musim dalam rentang waktu yang bervariasi tinggal digunung.Aksara ini memiliki
yaitu kasa/kartika 41 hari, karo/pusa 23 hari, karakteristik yang menarik, dan berbeda
katelu/manggasri 24 hari, kapat/sitra 25 hari, dengan aksara Jawa (hanacaraka).
5
kalima/manggakala 27 hari, kanem/naya 43 Ragam bahasa Jawa dibedakan menjadi 3
hari, kapitu/palguna 43 hari, kawolu/wisaka yaitu bahasa Jawa Kuna, Jawa Tengahan dan
26-29 hari, kasanga/jita 25 hari, Jawa Baru. Ragam Jawa Kuna digunakan untuk
kasepuluh/srawana 24 hari, desta/padrawana penulisan kakawin diperkirakan digunakan
23 hari, sada/asuji 41 hari. Pranata mangsa pada abad 9-14 M, bahasa Jawa Tengahan
digunakan di wilayah Gunung Merapi, Gunung digunakan dalam penulisan kidung
Merbabu, sampai Gunung Lawu jauh sebelum diperkirakan digunakan pada abad 14-16, dan
kedatangan pengaruh India.Prinsip-prinsip bahasa Jawa Baru digunakan dalam penulisan
pranata mangsa berbasis pada peredaran sastra keraton pada abad 16-sekarang.
matahari dan rasi bintang Waluku
6
(Orion).Pengetahuan ini diperkirakan telah Tahun Jawa Merapi-Merbabu, hingga saat ini
diwariskan secara turun-menurun sejak periode belum ditentukan dengan pasti apakah sistem
Kerajaan Medang (lihat Hien, 1922: 310-355; kalender yang digunakan dalam Naskah
Daldjoeni, 1984: 15-18). Merapi-Merbabu apakah kalender Çaka atau
kalender Sultan Agung.
120 Patanjala Vol. 8 No. 1 Maret 2016: 117 - 132
131. Penulisan naskah tersebar dari lereng disebabkan oleh kemiripan ejaan atau pun
Gunung Karurungan, Gunung Merapi, huruf); Omisi (kasus salah tulis yang
Gunung Merbabu, Gunung Darmadan terjadi karena hilangnya atau tidak
Gunung Pamrihan. tercantumnya huruf, suku kata, atau pun
Untuk menentukan pertalian antar- kata); Adisi (kasus salah tulis yang
naskah dilakukan perbandingan pada ke-18 disebabkan karena kelebihan huruf, suku
naskah di atas yang meliputi perbandingan kata ata pun kata); dan Transposisi (kasus
bahasa, episode, ilustrasi, dan kelengkapan salah tulis yang terjadi karena pertukaran
isi setiap episodenya. Berikut adalah bagan posisi urutan huruf pada tataran kata, kata
pertalian antarnaskah: dalam tataran klausa atau kalimat, kalimat
dalam tataran paragraf. (Darsa, 1998: 97-
126; Raynold & Wilson 158-159; Partini,
1986: 164).
Kasus subtitusi terjadi pada naskah
A, B, dan C. Pada naskah A dan B kasus
subtitusi didominasi oleh kesalahan tulis
akibat kemiripan huruf terutama pada
huruf Ta ↔ Ka , Wa ↔ Ga ,
Da ↔ Ja , Ba ↔ ŋa
(nga) ,dan Ha ↔ La . Pada
naskah C didominasi dengan pertukaran
konsonan Ha ↔ Ya ↔ Wa ,
pertukaran ini karena ketiga huruf tersebut
masih dianggap dalam ejaan yang sama.
Kasus subtitusi paling banyak terjadi pada
naskah C yaitu sebanyak 97 kasus,
kemudian diikuti naskah B 33 kasus dan
naskah A 26 kasus. Pada naskah C
penyalin banyak melakukan pergantian
Bagan 1. Pertalian Antarnaskah konsonan w ↔ y, yaitu akhiran –nya
ditulis dengan –nwa. Naskah B dan
Sumber: Tesis Horoskop Jawa pada Abad 16 naskah A mengalami kasus pergantian
dalam Naskah Raspatikalpa oleh Lilis huruf yang lebih variatif. Penyalin naskah
Restinaningsih. A, B, C ada kecenderungan
melakukanpertukaran y ↔ w untuk kata
Dari pertalian naskah di atas diketahui swahah ditulis dengan syahah. Dalam
bahwa kedelapan belas naskah tersebut naskah A penyalin tidak konsisten dalam
merupakan naskah seversi namun memiliki penulisan taniha ataupun wehanya, yang
induk naskah yang berbeda. Untuk terkadang ditulis dengan taniya atau
menentukan naskah sumber edisi weyanya (y ↔ h).
dilakukan perbandingan kembali terhadap Kasus pertukaran y ↔ w ↔ h
tiga naskah yang memiliki kualitas terbaik adalah hal lumrah digunakan dalam teks
yaitu naskah A, B dan C. Perbandingan Merapi-Merbabu hal ini disebabkan
yang dilakukan berupa perbandingan kasus penggunaan ketiganya dianggap benar
salah tulis. pada masa itu.
Kasus salah tulis dalam filologi Kasus Omisi terbagi menjadi 3 yaitu
terbagi menjadi 4 kasus utama yaitu haplografi, lakuna, dan saut de méme au
Subtitusi (kasus salah tulis yang méme.Haplografi keterlampauan dalam
122 Patanjala Vol. 8 No. 1 Maret 2016: 117 - 132
manala); pancawara (perhitungan hari ruang untuk wadah alam semesta. Dimensi
dengan siklus 5 harian: kliwon, legi/manis, ruang itu lalu disimbolkan dengan bumi
pahing, pon, dan wage); sadwara menjadi tempat makhluk hidup. Kelima
(perhitungan hari dengan siklus 6 harian: adalah raspati, ketika tuhan menciptakan
tunglĕ, aryang, warukung, paningron, panas yang menyalakan kehidupan. Panas
uwas, dan mawulu); saptawara yang menyala itu lalu disimbolkan dengan
(perhitungan hari dengan siklus 7 harian: angin yang bergerak dan petir yang
radite, soma, anggara, buda, raspati, menyambar. Keenam adalah sukra, ketika
sukra, dan saniscara); hastawara tuhan menciptakan air yang dingin. Air
(perhitungan hari dengan siklus 8 harian: yang dingin itu lalu disimbolkan dengan
sri, indra, guru, uma, yama, rudra, brahma bintang yang mirip titik-titik air yang
dan kala); nawawara (perhitungan hari menyejukkan. Ketujuh adalah saniscara,
dengan siklus 9 harian: urungan, tulus, ketika Tuhan menciptakan unsur materi
dadi, dangu, jangur, gigis, nohan, ogan, kasar sebagai dasar pembentuk kehidupan.
dan erangan); dan dasawara (perhitungan Materi kasar itu lalu disimbolkan dengan
hari dengan siklus 10 harian: pandita, pati, air sebagai sumber kehidupan
suka, duka, sri, manut, manusa, eraja, (Ranoewidjojo, 2009: 3-30).
dewa, dan raksasa). Perwatakan manusia dipengaruhi
Siklus hari yang masih digunakan oleh padewaan dan unsur-unsur alam
hingga saat ini adalah siklus 5 harian dan yang menaungi. Unsur dewa
siklus 7 harian. Kedua siklus hari tersebut memengaruhi warna, bunga, arah, syarat
digunakan untuk menghitung hari baik ruwatan, mantra, dan pancawara.Unsur
untuk keperluan daur hidup, seperti dewa pula yang memengaruhi urip, yang
perjodohan, menentukan tempat usaha dimiliki setiap hari lahir. Dalam mitologi
yang baik, menentukan waktu bercocok wewaran, urip berkaitan dengan
tanam, membangun ataupun pindah rumah, pertarungan dewa dan kala, dimana dewa
menghitung pekerjaan yang cocok, dan merupakan manifestasi kebaikan dan kala
menghitung nama yang baik untuk anak merupakan manifestasi hal-hal buruk.
yang baru lahir. Keberadaan hari bagi Dalam peperangan dewa tidak selamanya
masyarakat Jawa, memiliki arti penting menang, dewa bisa kalah dan dihidupkan
tersendiri. Hari dipandang sebagai kembali. Karena kekalahan dewa akan
manifestasi dari jagad besar (alam melakukan yoga untuk lebih mendekatkan
semesta) dan jagad kecil (diri manusia). diri pada Hyang Widi. Hari-hari dimana
Penciptaan alam semesta dalam dewa beryoga inilah yang kemudian
kepercayaan orang Jawa terjadi dalam dianggap sebagai hari baik dan hari-hari
tujuh tahapan. Pertama adalah radite, dimana dewa kalah dianggap sebagai hari
ketika Tuhan memiliki kehendak ingin buruk (Namayudha, 1993:39).
menciptakan dunia. Kehendak Tuhan ini Setiap hari lahir memiliki urip atau
lalu disimbolkan dengan matahari yang neptu yaitu nilai angka yang disematkan
bersinar sebagai sumber kehidupan. Kedua pada tiap-tiap hari atau pasaran
adalah soma, ketika Tuhan menurunkan (Ranoewidjojo, 2009: 26).Urip atau neptu
kekuatan-Nya untuk menciptakan dunia. inilah yang digunakan untuk menghitung
Kekuatan Tuhan itu lalu disimbolkan hari baik. Nilai urip atau neptu dipengaruhi
dengan bulan yang bercahaya tanpa oleh padewaan yang menaungi.
menyilaukan. Ketiga adalah anggara, Padewaanini juga yang memengaruhi
ketika kekuatan Tuhan tadi mulai arah, warna dan pancawara yang sesuai
menyebarkan percik-percik sinar Tuhan. berdasarkan hari lahir.
Percik sinar Tuhan itu lalu disimbolkan
dengan api yang berpijar. Keempat adalah
buda, ketika Tuhan menciptakan dimensi
Perwatakan Manusia .... (Lilis Restinaningsih) 125
Pancawara
yaitu sunatan pada lelaki, dan pangkur gigi
Warna
Dewa
Arah
Hari
Urip
pada perempuan. Upacara kematian
dimulai dari nelung dina (tiga hari), pitung
Radite Iswara 5 Timur Putih Manis dina (tujuh hari), patang puluh (empat
puluh hari), nyatus (seratus hari), mendhak
Soma Giri 4 Utara Hi-tam Wage pisan (satu tahun), mendhak pindo (dua
tahun), nyewu dina (seribu hari), hingga
Anggara Rudra 3 Barat daya Jing-ga nyewindu (8 tahun)
Pelaksanaan daur hidup tidak bisa
Mahade Ku-
Buda 7 Barat Pon dilakukan dengan begitu saja.
wa ning
Pelaksaannya harus dilaksanakan pada hari
Mahesw Saliwa Kli-
yang dianggap baik. Pemilihan hari
Raspati
ara
8 Teng-gara
h won
pelaksanaan daur hidup harus didasarkan
pada weton 9 yang dimiliki orang yang
Abu- memiliki daur hidup tersebut. Pada daur
Sukra Wis-nu 6 Timur laut Wage
abu hidup masa dalam kandungan, perhitungan
hari baik dihitung berdasarkan perkiraan
Sanis-cara Durga 9 Sela-tan Me-rah
Pa- usia kandungan. Pada saat daur hidup
hing kelahiran, puput puser dan selapanan,
dilakukan dengan berdasarkan pada hari
lahir si bayi. Begitu juga pada daur hidup
Konsep hari dalam kebudayaan masa remaja, pelaksanaan sunatan dipilih
Jawa selalu berkaitan dengan upacara hari baik berdasarkan weton yang akan
daur hidup manusia. Upacara adalah disunat. Pada daur hidup pernikahan10,
tanda-tanda kebesaran; peralatan
9
(menurut adat istiadat); rangkaian Weton merupakan perhitungan hari
tindakan atau perbuatan yang terikat pada berdasarkan gabungan antara pekan lima harian
aturan tertentu menurut adat dan agama; dan minggu tujuh harian, misalnya Selasa
perbuatan atau perayaan yang dilakukan Wage. Perhitungan dilakukan dengan cara
atau diadakan sehubungan dengan menjumlahkan neptu (urip) dari hari yang
berasal dari pekan ke-5 dan minggu ke-7.
peristiwa penting (Hasan, 1995:1108). 10
Pada upacara pernikahan dihitung weton dari
Daur hidup manusia adalah rangkaian mempelai lelaki dan perempuan.Perhitungan
tahapan yang dilalui manusia dari lahir, weton biasanya didasarkan pada hari lahir
remaja, dewasa, hingga kembali ke sang gabungan antara saptawara dan pancawara
pencipta. Upacara daur hidup manusia (misal Senin Kliwon).Jumlah weton kedua
dapat disimpulkan sebagai rangkaian mempelai dihitung, ditambahkan kemudian
ritual yang dilalui manusia untuk dibagi oleh bilangan tertentu.Sisa bilangan
menandai tingkat kedewasaannya pembagian ini nanti yang akan menentukan
seseorang. baik tidaknya pernikahan dilaksanakan. Jika
Upacara daur hidup dalam perhitungan dibagi 5 maka jika sisa 1 disebut
sri, sisa 2 disebut dana, sisa 3 disebut lara, sisa
masyakarat Jawa dimulai dari upacara
4 disebut pati dan sisa 5 disebut lungguh. Jika
manusia saat didalam kandungan, hitungan jatuh pada sri, dana dan lungguh itu
kemudian saat manusia lahir, masa remaja, dianggap baik, dan jika perhitungan jatuh pada
perkawinan hingga kematian.Upacara saat lara atau pati maka artinya tidak baik.Tapi
dalam kandungan dimulai dari empat biasanya perhitungan tidak hanya didasarkan
bulanan, kemudian dilanjutkan tujuh dengan satu perhitungan saja, biasanya
bulanan atau tingkeban. Upacara kelahiran digunakan lebih dari 3 rumus untuk
menghitung perjodohan.Jika hasilnya dominan
126 Patanjala Vol. 8 No. 1 Maret 2016: 117 - 132
7) Mereka yang lahir di hari Sabtu mulutnya tajam. Penuh kasih sayang
berada di bawah naungan Dewi dan mencintai keluarganya…)
Durga dengan neptu 9. Pekerjaan yang cocok menurut teks
‘…watĕk saniscara Bhatara Yama adalah pedagang, petani, guru atau
dumadi janma 9 wewehan Bhatari pendeta, dan juga penulis.
Durga. Rasaksi yoninya.Mayanya
angin.Kayunya kĕrĕh. Manuknya 4. Aspek Pragmatis Raspatikalpa
dok...’ Raspatikalpa pada masanya memiliki
(…golongan hari Sabtu Dewa Yama kedudukan yang penting. Hal ini dilihat
menjelma menjadi manusia 9 kali atas sering naskah ini disalin. Rasa ingin
perintah Dewi Durga.Rasaksi memiliki dan nilai yang terkandung naskah
yoninya.Mayanya angin. Kayunya Raspatikalpa membuat masyarakat pada
kĕrĕh. Burungnya burung hantu…) masanya, mendudukan naskah ini dalam
Ia memiliki dualisme sifat, yaitu baik kedudukan yang tinggi. Raspatikalpa
dan buruk. Dimana sifat buruknya dianggap sebagai bagian dari tradisi dan
muncul terlebih dahulu setelah religi oleh masyarakat pada masa itu. Jika
menjalani ruwatan barulah Durga ditinjau dari aspek pragmatiknya secara
kembali ke wujud aslinya sebagai garis besar naskah Raspatikalpa memiliki
Uma. Mereka yang lahir di hari Sabtu fungsi:
memiliki sifat egois dan individualis 1) Raspatikalpa sebagai bagian dari
yang tinggi. Wayang dilĕm, bermakna falsafah hidup, Raspatikalpa
bahwa jika seorang yang lahir hari mengandung sejumlah nilai,
Sabtu marah, maka pelampiasan norma, aturan yang dapat
marahnya tidak melihat situasi dan dijadikan sebagai falsafah hidup.
kondisi. Burungnya burung hantu, Rasapatikalpa dijadikan sebagai
biasanya mereka yang lahir di hari alat bantu dalam kehidupan untuk
Sabtu senang menyendiri dan menentukan arah hidup lebih baik.
memiliki firasat yang tajam. 2) Raspatikalpa bagian dari
Kebimbangan sering meliputi hatinya, religiusitas, Sebagai penganut
pikirannya sering tak menentu karena agama pra-Islam, masyarakat
sering bertentangan dengan hatinya. Merapi-Merbabu menganggap
Biasa mereka teguh dalam memegang dengan memiliki atau menyalin
kata-katanya.Sering kali kata yang naskah merupakan bagian dari
dilontarkan tajam, sehingga orang religiusitas. Pada masyarakat masa
yang mendengar merasa segan. itu menyalin atau menulis naskah
Mereka yang lahir di hari Sabtu sebagai bagian untuk mendapatkan
menyayangi keluarganya, sahabatnya, berkah dari yang maha kuasa.
dan anak-anaknya. Sayangnya mereka 3) Raspatikalpa bagian dari proses
yang lahir di hari Sabtu banyak inisiasi dalam fase kehidupan
keinginannya dan boros dalam manusia, Raspatikalpa berisikan
mengelola keuangan. mengenai tata upacara ruwat yang
‘…Bawuh ambĕknya, wracita wiwiti. menjadi bagian dari proses inisiasi
Humikan bara sapata. Wisaya dalam fase kehidupan manusia.
sayangsara sĕngĕn tuli maredunya Begitu juga dengan nilai urip atau
tani tĕguh sahujarnya.Terajalan neptu digunakan untuk melakukan
hasyĕtan hajroning karmanya perhitungan dalam proses-proses
kawalonbakti.akasing prih, akasing daur hidup hingga manusia
rare…’ kembali ke sang pencipta
(… pikiranya tidak menentu. Teguh 4) Raspatikalpa sebagai jimat
kata-katanya.Kata yang keluar dari Masyarakat Merapi-Merbabu saat
Perwatakan Manusia .... (Lilis Restinaningsih) 131