Anda di halaman 1dari 5

Kunjarakarna

5. Ilmu dan Kesemenaan


Dalam bab sebelumnya sudah dipaparkan mengenai permulaan filologi Jawa yang hampir
selalu menggunakan metode rekonstruksi kritis yang sama. Pada bagian ini Van Der Molen
menujukkan metode yang berbeda dengan metode-metode sebelumnya, Van der Molen bermula
dari metode yang ditunjukkan Gonda pada tahun 1932. Gonda mengkritik bahwa metode yang
selama ini dipakai sama sekali tidak memberi pemahaman mengenai nilai masing-masing salinan
untuk pemulihan teks.

Gonda telah menerbitkan tiga buah teks, yaitu Brahmanda Purana,

Agastya Parwa dan Bisma Parwa.


Gonda membedakan dua tahap dalam penelitian ke arah pemulihan teks seperti yang
dimaksudkan oleh pengarang. Pada tahap pertama dia mencoba memulihkan teks kepada stadium
yang seawal mungkin, sejauh itu dapat dijangkau dengan bantuan naskah-naskah yang masih
tersimpan. Pada tahap kedua ia mencoba memperbaiki lahi teks yang terpugar dengan sarana
bantu lain. Perbedaannya Gonda dengan pendahulunya adalah menunjukkan bahwa tempat yang
diduduki naskah dalam hubungan kekerabatanya degan naskah lain menentukan ilainya bagi
pemulihan yang menjadi tujuan. Kekerabatan dsmpulkan dari kesalahan yang sama, dan sifat
kekerabatan dicermati oleh kesalahan yang unik dan tidak dimiliki bersama. Prinsip yang
melandasi metode Gonda adalah kesalahan mempunyai peran penentu dalam usaha filologi.
Sehingga dengan cara demikian Gonda membicarakan hubungan genealogi kelompokkelompok dan naskah demi naskah. Akhirnya hasila analisisnya dirangkum secara menyeluruh
dalam gambar sisilah naskah. Itulah garis besar metode yang ditunjukkan Gonda, sumbangan
pembaharuan Gonda adalah cara ia melibatkan naskah dalam edisi teks, ia tidak memperlakukan
semua naskah sebagai penyumbang teks yang setara, tetapi ia memberi peran yang bergantung
pada hubungan antar naskah. Makin terpusat kedudukan suatu naskah dalam hubugan silsilah
suatu naskah makin penting pula peranannya dalam rekonstruksi naskah asli.

6. Reaksi
Dalam pengantarnya menegenai metode stema ini Gonda menunkkan alternatif baru bagi
filolog sebelumnya. Disini Van Der Molen menunjukkan reaksi para filolog pada saat itu dalam
penelitiannya dalam menanggapi alternatif baru yang Gonda tunjukkan. Van der Molen melihat
dengan cara seberapa pengaruh metode Gonda ini dalam penelian filologi pada saat itu.
Ada tiga filolog yang ditunjukkan Van der Molen disini yaitu Prijohoetomo, J.L
Swellengrebel dan Prijono. Yang pertama yaitu Prijohoetomo, dia menerbitkan teks Nawaruci
dan Bimasuci dalam satu jilid pada tahun 1934. Ini merupakan sebuah desertasi yang dibimbing
langsung oleh Gonda. Pengaruh Gonda yang terlihat pada penelitian ini adalah cara
Prijohoetomo mendeskripsikan naskah-naskah. Seperti Gonda, ia memisahkan segi tekstual dan
material. Dalam deskripsi segi material dikemukakan unsur yang sama seperti pada Gonda.
Pengaruh Gonda selanjutnya terlihat pada cara penyajian variae lectiones dalam aparat kritik.
Pengaruh Gonda dalam penelitian ini haya sebatas itu, dalam penataan naskah sebagai landasan
edisi, Prijohoetomo kembali ke metode lama yang justru ditentang oleh Gonda. Dia mengambil
satu naskah sebagai landasan dan dalam penentuan naskah landasanpun bukan hal yang baru
yaitu berdasarkan usia naskah, kelengkapan teks dan usia bahasa.
Yang kedua adalah J.L Swellengrebel, dia mengedisikan Korawasrama pada tahun 1936.
Dalam penelitian ini pegaruh Gonda lebih banyak terlihat, J.L Swellengrebel sudah
membuktikan diturunkannya satu naskah dari naskah lain yang masih ada dan dia menata
naskah-nakah sama seperti dengan cara Gonda yaitu melalui berdasarkan varian, kekosongan,
dan kerusakan. Akan tetapi pada akhirnya J.L Swellengrebel mencampurkan dua metode dalam
edisinya. Sebelumnya ia memilih naskah dengan teks yang terbaik atau metode landasan dan
kemudian ia menghemat ruang pada waktu mencetak bacaan varian dengan berpaling kepada
metode stema yang dia buat. Dia mengabaikan argumen Gonda untuk meninggalkan metode
landasan dan dia juga memikirkan lebih dalam tentang kemungkinan dampak stemanya atas edisi
teksnya, sekalipun stema itu sudah ada. Yang ketiga adalah Prijono, percampuran seperti yang
terdapat pada edisi Korawasrama kita temukan juga pada Sri Tanjung edisi Prijono pada tahun
1938. Perbrdaannya pada edisi teks Prijono lebih sedikit lagi prinsip dasar yang masih terlihat.

Edisi teks dari ketiga filolog diatas sama-sama menyatakan adanya pengetahuan Gonda
walaupun sedikit yang dimafaatkan. Yang paling banyak menggunakan pengetahuan Gonda
adalah J.L Swellengrebel yang membuat penataan naskah sama seperti Gonda. Kemudian
memudar lagi pada penelitian Prijono. Pada tahun 1938 Fokker mengedisikan ulang teks Wirata
Parwa yang pernah diedisikan Juynboll pada tahun 1912. Tetapi dia hanya mengusahakan edisi
yaang lebih baik dalam kerangka metode landasan, naskah yang lebih baik sebagai landasan.
Dengan edisi Fokker ini filologi Jawa kembali ke alur tradisi pra-Gonda, keadaan ini bertahan
sampai tahun 1969.
7. Para penyunting di seputar Siwaratrikalpa.
Edisi Wirataparwa Fokker menandai saat filologi Jawa secara definitif menolak
masuknya gagasanGonda. Selama kekosongan selama sepuluh tahun, karena perang yang terjadi,
mulai awal tahun 50 an teks-teks diterbitkan lagi secara teratur. Tetapi pada tahun 1970 timbul
rasa kurang puas dari para peneliti karena edisi teks yang diterbitkan tidak menggunakan cara
tradisional begiti saja. Dari situ Teeuw, Robson dan Worsley bersama dengan beberapa orang
lainnya menerbitkan sebuah tulisan bersama ataupun pribadi.
Dari sini Van der Molen menunjukkan perkembangan filologi Jawa yang terjadi dari
berbagai tulisan tersebut, seperti diantaranya edisi Siwaratrikalpa pada tahun 1969 yang
diedisikan bersama oleh Teew, Robson, Galestin, Worsley dan Zoetmulder. Kemudian Robson
mengedisikan pribadi wangbang wideya pada tahun 1971, dan Worsley yang mengedisika babad
buleleng pada tahun 1970. Dari situ terlihat perkembangan filologi Jawa, S.O Robson
memperkenalkan metode filologi klasik kepada filologi Jawa, itu karena persamaan antara
Gonda dan Robson yang sama-sama mengalami kesulitan dalam menerapkan metode stema. Dan
cara penyelesaian dari masalah itupun juga sama, yaitu comparative realibility pada Robson
sama dengan urutan bertingkat pada Gonda.
P.J Worsley membangkitkan kembali mengenai kesalahan penyalinan, ini mengingatkan
penelitian Palmer Van Den Broek dan juga Wuuf yang sudah mengarahkan penelitian kesana,
hal ini juga berlaku untuk penelitian ejaannya yang sudah lebih dulu dilakukan oleh Kern,
menurut Worsley kedua bentuk penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi tradisitradisi penyalinan naskah. Kesimpulannya adalah nilai pekerjaan Robson, Worsley dan Teeuw

adalah usaha mereka untuk akhirnya memberi landasan ilmiah terhadap filologi Jawa. Mereka
berusaha untuk memenuhi tuntutan yang mereka tetapkan sendiri.
8. Evaluasi atas Metode
Sebelumnya telah dibicarakan mengenai sarana-sarana yang tersedia bagi seorang
penyunting teks Jawa. Perhatian hanya terpaku pada masalah-masalah teknis

tanpa

memperhatikan peranan metode-metode yang bersangkutan dalam filologi Jawa sebagai suatu
keseluruhan. Disini Van Der Molen menunjukkan kecocokan sarana-sarana filologi tersebut serta
hasil yang dapat diharapkan.
Dari pengamatan yang dilakukan Molen dia menarik kesimpulan bahwa dalam filologi
Jawa ada ketertinggalan dalam beberapa segi yang harus dikejar. Hal yang terpenting yang perlu
disadari adalah tidak hanya dalam bentuk aslinya suatu teks perlu diperhatikan melainkan juga
bentuk-bentuk yang memperlihatkan tradisi dalam tahap-tahap yang lebih muda. Rekonstruksi
teks asli harus diangani lebih hati-hati lagi, harus diteliti sejauh mana rekonstruksi diizinkan oleh
sifat teks asli dan suasana penggunaan. Mengenai metode stema yang tidak akan dimungkinkan
karena kerangnya saksi, dan juga alternatif Gonda dan Robson yang ada kebaikan dan
kerugiannya. Kerugiannya adalah bahwa bacaan dari berbagai naskah dicampurkan tanpa
didukung oleh sejarah penurunan. Lagipula ia bukanlah alternatif dalam arti metode
rekonstruksi. Alternatif sebenarnya adalah yang dilakukan oleh Worsley, pendeketan Jones
merupakan titik tolak yang ideal apabila yang menjadi tujuan adalah edisi yang titik beratnya
adalah sumber sendiri sebagai objek studi. Hambatan juga ditemui karena kurang dan belum
berkembangnya ilmu bantu yang diperlukan seperti kodikologi dan paleografi dalam Javanologi.
Akhirnya Van der Molen mengemukakan mengenai edisi diplomatik. Dengan
menyajikan teks naskah tertentu dalam transkripsi dan transliterasi serta melaporkan apa yang
dibacanya, seorang penyunting memberi peluang kepada pembacayang tidak akrab dengan
tulisan yang kuno atau sukar dibaca untuk juga dapat bekerja dekat dengan sumber, pendirian
Kern mengenai manfaat dan cara pelaksanaan tetap berlaku tanpa dikurangi. Ini yang akan
dibuktikan Van der Molen melalui edisinya pada naskah Kunjarakarna.

BAB II
1. Deskripsi Naskah
Dalam penelitian mengenai teks prosa kunjarakarna ini ditemukan tiga naskah manuskrip
yang akan disebut naskah A, H dan K. Naskah A tersipan di Uninersitas Leiden dengan nama
codex Lor 2266, merupakan naskah nipah yang bertuliskan tinta dengan jumlah lempir 53,
berukuran 30 x 3,5 cm.
Naskah H adalah naskah lontar, tersimpan di Museum Nasional di Jakarta dengan nomor
187. Van der Molen hanya bisa membaca melalui mikrofilm, keterangan tentang keadaan
sebenarnya naskah dikutip dari katalog yang ada. Naskah mempunyai 36 lempir dengan teks
yang ditulis dengan pisau. Menurut Cohen Stuart panjangnya 47,5 cm, Poerbatjaraka
memberikan ukuran 42 x 3 cm.
Naskah K juga tersimapan di Museumkan Nasional di Jakarta sebagai naskah lontar 53.
Sama dengan naskah H keterangan mengenai naskah didapat dari katalog yang ada. Jumlah
lempirnya ada 39 lempir dengan teks yang digoreskan. Menurut Cogen Stuart jumlah lempirnya
ada 47, Ukuran panjang antara 47 sampai dengan 49 cm. Menurut Poebatjaraka ukurannya 43 x
3,5 cm.

Ikhtisar Isi
Van Der Molen memberikan ikhtisar isi dari naskah prosa Kunjarakarna pada bukunya
halaman 88 sampai dengan 93.

Anda mungkin juga menyukai