Anda di halaman 1dari 6

BABAD BULELENG

Bentuk, tema dan fungsi babad buleleng


Babad buleleng adalah suatu naskah sejarah yang memuat suatu silsilah dari raja atau
penguasa Den Bukit (Lor Adri) yang merupakan keturunan dari Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Ki
Gusti Ngurah Panji Sakti mempunyai nama kecil KI Barak Panji adalah putera dari raja Gelgel
yaitu Dalem anom Sagening. Kemudian dikisahkan Ki Barak Panji diasuh oleh Ki Patih Jelantik
di Suwecapura. Kemudian ketika berumur 12 tahun diperintahkan pergi dari Suwecapura, dan
tinggal di desa asal ibunya, desa Panji, Den Bukit. Kemudian dikisahkan perjalanan Ki Barak
Panji menjadi penguasa daerah Panji yang kemudian mendapat nama Ki Gusti Ngurah Panji
Sakti.
a. Bentuk dan tema
Secara kesuluruhan babad ini memuat 21 episode, masing-masing episode termuat dalam
satu paragraph atau lebih. Dalam teks, penulis sudah jelas memberi batasan antara masingmasing episode. Setiap episode juga menggambarkan peristiwa yang dialama Panji Sakti dalam
hidupnya, dan dalah satu episode diantaranya focus menjelaskan mengenai silsilah dan keturunan
dari Panji Sakti.
Episode
1

Isi
Silsilah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dari dua garis keturunan, yaitu dari garis
keturunan kerajaan Gelgel dan dari garis keturunan Patih Jarantik.

Mengenai orang tua kandung dari Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Mengenai orang tua yang mengasuh Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Mengenai kelahiran dari Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menjadi perawakan.

Mengenai keputusan untuk mengirim Ki Gusti Ngurah Panji Sakti ke Den Bukit.

Mengenai perjalanan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menuju Den Bukit.

Mengenai terbunuhnya Ki Punaka Gendis.

Mengenai kisah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti yang menolong kapal karam milik
Ki Mpu Awwang.

10.

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menjadi penguasa desa Panji.

11

Deskripsi mengenai keris K Awak

12

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti memperluas kekuasaannya ke seluruh daerah Den


Bukit.

13

Deskripsi mengenai gong Ki Gusti Ngurah Panji Sakti

14

Mengenai hubungan antara Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dengan purohitanya.

15

Mengenai perang melawan Barangbangan.

16

Mengenai penamaan Buleleng dan mengenai keberhasilan Ki Gusti Ngurah Panji


Sakti menaklukkan Jaranbana.

17

Perang melawan Mangewi.

18

Perang melawan Banung.

19

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti membantu cucunya Ki Gusti Ngurah Jarantik


menjadi penguasa Gelgel

20

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti membantu Sri Dalem Dewagung melawan Kyayi
Agun Maruti.

21

Muksonya Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.

Jadi tema pokok dalam babad ini adalah menunjukkan kisah tentang kestabilan dan
kejayaan pemerintahan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam menguasai daerah Buleleng.
2

Fungsi Babad Buleleng


Hampir separuh dari isi Babad Buleleng ini menceritakan mengenai kehidupan Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti, karena dia merupakan penguasa pertama kerajaan Den Bukit di Bali Utara.
Cerita mengenai Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dalam babad buleleng ini yang bisa kita sebut
dengan kisah Panji Sakti.
Kita dapat melihat ada 21 episode yang terkandung dalam Babad Buleleng, semuanya
episode tersebut memiliki satu tema pokok yaitu mengenai peran Ki Gusti Ngurah Panji Sakti
sebagai raja Den Bukit. Semua itu untuk melegitimasi mengenai tahta dari Ki Gusti Ngurah Panji
Sakti. Jadi dapat kita simpulkan bahwa salah satu fungsi pokok dari Babad Bulelng ini adalah
menceritakan mengenai kisah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti dan kejayaannya dalam memimpin
Den Bukit untuk melegitimasi tahta dari Ki Gusti Ngurah Panji Sakti itu sendiri.

Pembahasan filologis Babad Buleleng


Ada empat naskah yang dijadikan objek penelitian dalam kerja filologis yang dilakukan
oleh Worsley, Pertama, disebut dengan naskah A merupakan naskah lontar yang berjudul Babad
Buleleng yang tersimpan di Gedong Kirtya di Singaraja, berkode K.Va 435/3. Naskah ini berisi
40 lembar lontar yang berukuran (50 x 3 cm), yang ditulis dalam empat baris tulisan Bali.
Naskah ini berisi naskah lengkap BB. Berdasarkan informasi yang tertulis pada sampul depan,
naskah itu merupakan salinan dari manuskrip lontar milik I Gusti Putu Djlantik. Penyalinannya
adalah I Dewa Putu Arka dari Banjar. Tanggal penyalinannya memang tidak ditulis, tetapi
menurut Worsley kemungkinan penyalinannya terjadi pada April 1929 hingga Mei 1931.
Fotokopi naskah ini kemudian disimpan di Universitas Leiden yang dibuat pada 16 Juni 1949
oleh I Mangku Resi Kadjeng. Worsley memberi dua catatan penting terkait naskah ini: (1)
transliterasi yang dibuat tidak membedakan antara konsonan t d n s dan n , yang mungkin di
dalam bahasa Bali (sebagai bahasa ibu penyalinnya) perbedaan seperti itu tidak fonemik; (2)
tanda baca tidak diberikan, padahal pada salinan pertamanya ada. Worsley sendiri membuat edisi
Babad Buleleng dengan berdasarkan foto naskah A pada Februari, 1971. Saat itu ada beberapa

lembar yang sudah terbaca (folio 29b-30b, 33b-34a, 39b-40a). Worsley pun lalu memberi catatan
yang lebih lengkap pada edisi yang dibuatnya itu (h. 118).
Kedua, disebut dengan naskah B merupakan naskah dengan kode K153/No. 287, yang
merupakan naskah lontar milik Fakultas Sastra Universitas Udayana di Denpasar Bali. Naskah
ini ditulis dalam empat baris dan menggunakan bahasa Bali. Naskah ini juga berisi teks yang
lengkap. Yang menarik, menurut Worsley (h. 118), pada bagian sampul depan tertulis
judul Babad Buleleng, sementara pada sampul belakang tertulis Babad Panji Sakti. Worsley juga
membuat edisi Babad Buleleng berdasarkan foto yang diambil pada Februari, 1971. Naskah B
merupakan salinan dari manuskrip lainnya, tetapi tidak menyebutkan asal manuskripnya. Dalam
analisis perbandingan yang dibuat oleh Worsley, diketahui bahwa Naskah B merupakan salinan
naskah A.
Ketiga, disebut naskah C adalah manuskrip yang berkode 80, yang merupakan koleksi
Berg, yang tersimpan di Universitas Leiden. Naskah ini berisi dua buku latihan yang berisi 77
halaman, berukuran 16,5 x 21 cm, yang ditulis dengan 12 baris dengan menggunakan bahasa
Bali. Judul dari manuskrip ini adalah Prasasti Buleleng. Berdasarkan catatan Pigeud, ini
merupakan salinan dari manuskrip yang berasal dari Singaradja, yang dibuat pada tahun 1928.
Pada bagian kiri atas halaman pertama tertulis catatan Berg Djl. D31. Tulisan itu mengacu
pada nomer dari mana manuskrip itu disalin. Djl. dan D mengacu pada koleksi I Gusti Putu
Djlantik, anak pertama Anak Agung Buleleng. Berg mengacu pada nomer manuskrip itu dalam
katalog manuskrip milik I Gusti Putu Djlantik dengan D 31. Ini tampaknya bahwa naskah C
merupakan salinan yang lain lagi dari manuskrip yang merupakan salinan dari manuskrip A.
Tidak hanya karena ada inskripsi Djl. D31, tetapi juga karena bila keduanya dilihat secara apa
adanya akan tampak sangat mirip.
Keempat, naskah D yang berkode CB 118 (3) pada koleksi Berg. Manuskrip ini disimpan
di Perpustakaan Universitas Leiden. Naskah ini berasal dari koleksi mengenai catatan-catatan di
Jawa, Melayu, dan Belanda pada sejarah, genealogi, dan bangsawan Bali, yang aslinya disimpan
dalam arsip Pemerintahan Belanda di Bali, yang tertanggal 1930. Naskah Babad Buleleng ini
sudah disalin dengan tulisan roman pada buku latihan yang berjumlah 56 halaman. Ia juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, yang disertai oleh tulisan tangan yang sama, dengan
tanggal 13 Mei 1932. Berdasarkan tulisan yang dibuat oleh I Gusti Ngurah Ketut Sangka pada
4

Puri Gede Saren di Krambitan, yang mungkin saja bisa menjelaskan sesuatu asal-muasal dari
manuskrip D. Berdasarkan penuturan I Gusti Ngurah Ketut Sangka, tulisan itu dialamatkan pada
ayahnya, I Gusti Ngurah Putu Oka, yang tinggal di Puri Pametjutan di Krambitan, bersama Ida
Putu Suadi, yang sekitar tahun 1932 mengajar di Sekolah Rakyat Krambitan. Berdasarkan
tulisannya, naskah itu menunjukkan bahwa I Gusti Ngurah Putu Oka meminta Ida Putu Suandi
untuk menerjemahkan Babad Buleleng dan menggambarkan genealogi untuk pemerintah
Belanda, yang dalam naskah itu diacu dengan P.K.T (Paduka Kandjeng Tuan). Identitas orang
Belanda yang dimaksud, memang tidak disebutkan oleh Ketut Sangka. Dia menyebutkan dua
orang teman bapaknya yang mungkin diacu: Dr. Hunger (pengawas Tabanan) dan Dr. V.E. Korn,
(asisten residen di Bali Selatan). Ini menunjukkan tidak mungkin menunjukkan bahwa
manuskrip D diambil dari arsip pemerintah Belanda. Jadi, kemungkinan lainnya adalah bahwa
manuskrip D merupakan salinan dari manuskrip Babad Buleleng yang disimpan Puri Pametjutan
di Krambitan yang pada 1932 tetapi Ketut Sangka tidak mengetahui keberadaan naskahnya
sekaran.
Manuskrip D sudah diromanisasi, yang umumnya berbeda isinya dengan tiga manuskrip
lainnya. Manuskrip D juga tidak menunjukkan dengan jelas perbedaan antara huruf konsonan t d
n s dengan n. Manuskrip AB dan C mengeja n, h,sementara manuskrip D pada umumnya
mengeja n. Pepetnya dan a juga sering kali ditulis dengan , yang membuat Worsly (h. 119)
merasa kesulitan untuk membedakan antara keduanya. Pembagian kata tidak bisa diandalkan.
Tanda baca, meskipun dengan jelas merefleksikan tanda baca pada AB dan C, tetapi tidak ditulis
secara konsisten. Worsley memberikan contoh, kata tjarik yang ditulis dengan koma, semi kolon,
dan fullstop, semenra tjarik kalik ditulis dengan semikolon dan fullstop. Dalam hal seperti inilah,
manuskrip D masih menyimpan beberapa pertanyaan, sehingga membuat manuskrip D ini tidak
bisa diandalkan. Selain itu, teks manuskrip D tidak lengkap dan berakhir pada bagian di mana Ki
Gusti Nrurah Ketut Jlantik disebutkan.
Dengan gambaran seperti itu, maka dapart disimpulkan bahwa seluruh manuskrip yang
ada berisi sama versi. Berdasarkan pengujian yang dibuat Worsley, dihasilkan hubungan antar
naskah. Hubungan tertutup antara A dan B ditunjukkan pada banyaknya variasi isi yang
memperlihatkan perbedaan antara dua naskah itu dengan manuskrip Babad Buleleng yang lain.
Hal itu juga, menurut Worsley (h. 121), sangat terlihat pada saat menganalisis variasi isi pada
5

tanda baca. Berdasarkan isinya, A dan B hampir 72% kasus memiliki kesamaan. Setelah itu,
barulah B dan D yang memiliki tingkat kesamaan 14%. Untuk mendukung kesimpulannya itu,
pada halaman 121 Worsley menunjukkan sejumlah bacaan yang dipilih untuk memperlihatkan
hubungan antarmanuskrip.
Worsley telah menunjukkan bahwa manuskrip Babad Buleleng yang ditemukan memiliki
keterkaitan, dan hanya berbeda versi saja. Berdasarkan analisis pada tanda baca, Worsley juga
berhasil menunjukkan perbedaan pada manuskrip-manuskrip itu, sehingga stemma bisa dibuat.
Berikut hubungan keempat naskah dalam stemma menurut Worsley:
x

Djl. D31

Atau
x

Djl. D31

Anda mungkin juga menyukai