BAB I
PENDAHULUAN
Pembukaan teks Dwijendra Tattwa, yang tidak saya ketahui siapa pengarangnya, saya
pinjam untuk memulai Bab Pendahuluan dari Buku ini. Alasannya sederhana, karena
menarik! Seperti berikut ini tertulis di dalam pembukaan Dwijendra Tattwa.
“Diceritakan setelah lenyapnya masa Dwapara Yuga, kemudian tibalah masa Kali Yuga.
Adapun Sri Maharaja Sri Harsawijaya, pindahlah beliau dari Daha, lalu membuat istana di
Wilatikta, bernama Wawospahit. Di sanalah Sang Raja memerintah kerajaan. Entah berapa
lamanya beliau memerintah dan dipuja oleh masyarakat, sangatlah mengesankan keindahan dan
kemeriahan kerajaan Wilatikta, tersiar sampai jauh ke seberang kerajaan. Ketika Sang Raja
memerintah kemudian tampaklah pengaruh masa Kali Yuga, yaitu berupa kerusakan yang
menimpa pulau Jawa, serta masuklah agama Islam. Kesimpulannya, waktu itu kebiasaan yang
dipeluk oleh orang-orang Jawa tidak membedakan aspek pradhana (keperempuanan) dan aspek
purusa (kelaki-lakian), sekali pun akal budinya tetap satu. Adapun perbedaan tingkah lakunya
dalam hal tatacara, tata upacara semuanya tidak sesuai lagi, yang menyebabkan keributan.
Setelah itu kalahlah pulau Jawa oleh agama Islam, oleh karena masa Dwapara Yuga diganti oleh
masa Kali Yuga. Kemudian muncullah Sang Hyang Arupa Kala bermata satu, suaranya
bergema melontarkan kata “suwung-suwung” setiap malam. Setiap yang mendengar kata-kata
itu menemui ajalnya. Kalau terus begitu tentu akan habis rakyat Wilatikta, akibat pengaruh
masa Kali Yuga. Oleh karena itu Sang Raja Wilatikta pindah ke Pasuruan. Ada juga ke
Blambangan, terlebih lagi yang ke Bali, dengan membawa segala macam pasukannya.”
Seperti itulah penggalan dari pembukaan Dwijendra Tattwa. Apa yang menarik dari
sepenggal pembukaan itu?
Dwijendra Tattwa adalah salah satu dari sedikit sumber tertulis yang menyatakan dengan
gamblang bahwa “ekspansi majapahit ke Bali karena kehancuran dari dalam Majapahit
sendiri”. Dwijendra Tattwa berbeda dengan kebanyakan babad-babad Bali yang
mengatakan bahwa ekspansi Majapahit ke Bali antara lain karena:
1
Shastra Wangsa
Kita tidak berbicara tentang Benar atauSalah di sini. Karena kita pun tidak akan bisa tahu,
apa sebenarnya yang benar-benar terjadi. Dwijendra Tattwa memberikan dimensi lain. Jika
kebanyakan babad menjawab pertanyaan “untuk apa Majapahit ke Bali”, Dwijendra Tattwa
menjawab pertanyaan “mengapa Majapahit pergi dari Jawa”. Itu adalah dua pertanyaan
dengan dua pijakan yang berbeda. Dan jawabannya pun pasti tidak sama. Yang satu
berbicara tentang apa yang akan dicari (di depan). Yang satunya lagi berbicara tentang apa
yang hendak ditinggalkan (di belakang).
Tidak ada yang salah dengan kedua pertanyaan berbeda itu. Sekali lagi, kedua pertanyaan
itu malahan saling melengkapi satu sama lainnya. Itulah segi yang di atas saya sebut
“menarik”. Itulah alasan mengapa Bab Pendahuluan dari Buku ini saya mulai dengan
pembukaan teks Dwijendra Tattwa. Tujuannya, selain mengajak pembaca memandang
dari sudut yang lain,juga mengajak pembaca “membuat jarak” antara diri yang ingin
memahami dengan objek yang ingin dipahami. Karena bagaimana pun juga, jarak itu harus
diadakan secara proporsional. Bukankah memandang terlalu dekat dan memandang terlalu
jauh sama-sama tidak akan berhasil melihat objek dengan jelas. Contoh memandang terlalu
dekat adalah penganut, pengikut, penyembah. Contoh memandang dari jauh adalah
perasaan sama sekali tidak ada hubungan dengan apa yang diceritakan babad. Cara
pandang secara proporsional itulah yang perlu diadakan dan dijaga konsistensinya.
2
Shastra Wangsa
Kali Yuga! Itulah setting menurut Dwijendra Tattwa. Apa ciri-ciri Kali Yuga itu? Ciri
pertama adalah munculnya Sang Arupa Kala yang bermata satu. Apa maksudnya?
Bhuwana Agung memiliki sepasang mata mistis, yaitu Surya dan Candra. Bila salah satu
mata itu tidak ada, terjadilah ketidakseimbangan. Rupa Bhuwana Agung akan menjadi
seperti Kala bermata satu. Mata yang mana hilang, Surya atau Candra? Jawabannya
tersembunyi di balik penanda malam hari dan penanda suwung-suwung.
Pertanda apakah malam hari itu? Malam adalah bayu dari Bhuwana Agung. Penanda
apakah suwung itu? Suwung adalah keadaan ketika bayu seakan sudah tidak lagi ada.
Istilah lain dari bayu adalah pramana. Istilah lain dari pramana adalah hurip.Jiwa dari
kehidupan itulah yang dinamakan Hurip. Jadi, teriakan “suwung-suwung” pada malam hari
berarti sedang berlalunya Hurip dari Kehidupan. Bila hurip kehidupan perlahan-lahan
berlalu, maka secara perlahan-lahan pula datanglah Kematian. Hal itu disebutkan dalam
Dwijendra Tattwa, bahwa siapa saja yang mendengar suara suwung-suwung itu, maka
keesokan paginya orang itu akan menemui kematiannya. Karena “mendengar suara” berarti
suara itu ada di dalam pikiran. Pikiran adalah hidep. Suara adalah sabda. Malam adalah
bayu. Jadi, yang dimaksudkannya adalah bayu-sabda-hidep. Ketiganya itu adalah hurip
atau jiwa kehidupan.Jiwa dari kehidupan itulah yang sedang mengalami keguncangan.
Keguncangan jiwa itu dihubungkan dengan terminologi Kali Yuga!
Dwijendra Tattwa dipastikan adalah teks produk Bali. Bukan kebetulan teks ini dibuka
dengan lukisan Kali Yuga di Majapahit. Karena tentulah ada maksud terselubung dari
pengarangnya. Apakah maksud pengarangnya? Untuk menemukan maksud terselubung itu,
kembali kita baca pernyataan dalam pembukaan teks, yang berbunyi seperti ini: “Ketika
Sang Raja memerintah kemudian tampaklah pengaruh masa Kali Yuga, yaitu berupa
kerusakan yang menimpa pulau Jawa, serta masuklah agama Islam”.
Pernyataan itu mengisyaratkan tiga hal yang saling kait mengkait. Yang pertama adalah
adanya pengaruhKali Yuga.Yang kedua, akibat Kaliyuga terjadilah kerusakan tatanan
nilai-nilai (di) Jawa. Yang ketiga, karena rusaknya tatanan nilai maka masuklah Islam.
Begitulah urutannya sangat jelas. Kali Yuga adalah sebab umum. Kerusakan tatanan nilai
adalah sebab dari dalam. Masuknya Islam adalah sebab dari luar. Yang datang dari luar
3
Shastra Wangsa
hanya bisa masuk apabila ada sebab-sebab dari dalam yang “membukakan pintu”. Maksud
pengarang, barangkali, kehancuran sesungguhnya datang dari dalam, bukan dari luar.
Itulah pesan pengarang kepada pembacanya. Karena Dwijendra Tattwa adalah teks produk
Bali ditujukan kepada audiens orang Bali, maka pesan itu adalah pesan kepada orang Bali
pada umumnya. Jadi inti pesannya, pada Kali Yuga janganlah akar perasalahan dicari dan
divonis datang di luar, tapi temukanlah di dalam. Apabila kelak Bali mengalami Kali Yuga
seperti Majapahit, maka cari dan temukanlah sebab-sebabnya di dalam Bali itu sendiri.
Belajar dari pengarang Dwijendra Tattwa, buku ini pun mencari penjelasan-penjelasan
tentang Wangsa-Wangsa di Bali dari dalam Wangsa itu sendiri. Yang dimaksud penjelasan
dari dalam Wangsa adalah Shastra. Karena Shastra itulah sari-sari pikiran kolektif yang
menciptakan (utpati), memelihara (sthiti), dan pada akhirnya akan melebur Wangsa itu
(pralina).
Kali Yuga adalah masa kedatangan Majapahit di Bali, menurut Dwijendra Tattwa. Kali
Yuga adalah masa ketika terpecah-belahnya Bali menjadi kerajaan-kerajaan kecil, menurut
banyak babad. Kali Yuga adalah masa ketika masuknya Belanda, menurut teks Bhuwana
Winasa dan banyak teks lainnya. Bahkan jauh sebelumnya, Kali Yuga adalah juga jaman
ketika mulai masuknya agama Islam di Jawa [BBCD]. Lalu bagaimana halnya dengan
Wangsa, adakah Wangsa itu berhubungan dengan Kali Yuga?
Bila sepakat dengan pandangan pengarang Dwijendra Tattwa bahwa Kali Yuga adalah
sebab kedatangan Majapahit ke Bali, maka konsekuensinya, topik Wangsa ini pun ada di
dalam periode Kali Yuga itu. Mengapa seperti itu? Karena pada periode kedatangan
Majapahit itulah cikal-bakal Wangsa-Wangsa yang ada di Bali sebelumnya dilembagakan
sedemikian sistematis. Maka sekarang “pil pahit pikiran” mesti kita telan, bahwa
pelembagaan Wangsa-Wangsa secara sitematis terjadi dengan latar belakang Kali Yuga.
Inilah pil pahit yang diberikan oleh pengarang Dwijendra Tattwa yang dikemas dengan
bahasa shastra. Saya dalam buku ini hanya membukakan kemasan dari pil itu. Saya berani
membukanya, karena saya yakin kebanyakan penganut Wangsa sebenarnya sudah
mengetahui hal itu.
4
Shastra Wangsa
Namun demikian, tidak adil menilai Wangsa hanya dari kerangka pikiran kita sekarang.
Mesti kita dudukkan Wangsa pada teks dan konteksnya. Berdasarkan teks dan konteksnya,
kita “diberitahu” bahwa Wangsa adalah “jawaban” untuk Jaman Kali itu. Jawaban ini
tidaklah datang secara tiba-tiba. Wangsa adalah keputusan para intelektual [pendeta] dan
penguasa [raja] yang sudah pasti dilahirkan melalui proses panjang sejarah. Keputusan ini
terbukti selama berabad-abad telah membangun peradaban batin dan peradaban fisik Bali.
Jadi, sekali lagi, Buku ini berpandangan bahwa Wangsa adalah sebuah strategi peradaban
yang diadakan untuk “mengarungi” Jaman Kali.
Mempelajari wangsa tidak akan ada sarinya bila tidak tahu shastranya. Karena di dalam
shastra itulah sari pikiran tentang wangsa bisa ditemukan. Sari pikiran tentang wangsa
adalah sejumlah pikiran dari para pendahulu yang kita sebut leluhur. Jadi, mempelajari
shastra tentang wangsa adalah usaha untuk memahami pikiran-pikiran para leluhur.
Apabila telah paham kerangka pikiran leluhur yang ada di dalam shastra, maka kita akan
mengerti pilihan-pilihan leluhur di masa lalu. Pengertian yang benar adalah dasar mengapa
pemujaan pada leluhur menjadi sangat penting dalam peradaban Bali.
Wangsa adalah pilihan “jalan” oleh leluhur untuk menempuh jaman Kali. Shastra adalah
hulu dari jalan itu. Dengan memasuki shastra tentang wangsa itu, kita dimungkinkan
mengadakan “komunikasi” dengan para pelaku di masa lalu. Jadi, memahami wangsa
adalah memahami shastranya.
Sebelum membicarakan Wangsa, terlebih dahulu kita bicarakan sedikit tentang shastra.
Bali adalah tanah yang subur bagi tumbuhnya bermacam shastra tentang hidup dan mati.
Masa paling subur adalah periode dari Mpu Bharadah-Mpu Kuturan sampai masa Dang
Hyang Nirartha dan sesudahnya. Sebelum masa itu, Bali memang sudah didatangi oleh
para pendeta dari Jawa. Sebut saja pada periode datangnya Rsi Markandeya sampai pada
masa raja Mayadanawa, dan sampai masa akhir raja Sri Astasura Ratna Bhumi Banten.
Walaupun sudah dihuni oleh para pendeta, namun tidak ditemukan petunjuk tentang karya
5
Shastra Wangsa
shastra mereka. Begitu pula tidak ditemukan petunjuk tentang shastra orang-orang Bali
Aga, yaitu penduduk yang sudah menghuni Bali sebelum datangnya pengaruh-pengaruh
Jawa itu. Yang ditemukan terbatas pada keterangan tentang keberadaan mereka di tanah
Bali. Keterangan itupun sangat terbatas adanya. Sudah jelas ada banyak faktor yang
menyebabkan, mengapa nyaris tidak ada petunjuk tentang karya shastra mereka. Namun
sebab dan faktor itu tidak akan dibicarakan dalam Buku ini. Karena akan terlalu melebar
bila hal itu dibicarakan di sini.
Suburnya kehidupan shastra pada periode Mpu Bharadah-Kuturan sampai masa Dang
Hyang Nirartha dan sesudahnya, dibuktikan dari banyaknya karya shastra yang sampai
kepada kita sekarang ini, yang berasal dari periode itu. Dari warisan shastra itu kita bisa
mengetahui bahwa pada periode itu penyebaran shastra tidak terbatas pada kalangan
pendeta. Sebaliknya, shastra sudah menjadi wilayah yang terbuka untuk dimasuki oleh
kalangan di luar para pendeta. Sebut saja nama-nama besar seperti Dauh Baleagung yang
menulis belasan karya shastra. Ada pula nama Pande Bhasa, Dukuh Jumpungan, Dukuh
Suladri, Balian Batur. Karya shastra periode itu mencerminkan adanya pikiran kolektif
yang berkembang pada masa itu. Pada jaman keemasan shastra itulah tumbuh apa disebut
wangsa. Jadi, Shastra dan Wangsa memiliki hubungan dekat satu sama lainnya. Dari
Wangsa diadakanlah pustaka-pustaka tentangWangsa. Pustaka tentang wangsa itu beragam
jenisnya, antara lain: tattwa, tutur, sasana, babad, palalintih, piagam, piteket, pangeling-
eling, dan sebagainya. Selain beragam jenisnya, juga sangat banyak jumlahnya. Pustaka-
pustaka itu beranak-cucu karena terus menerus disalin oleh para penganutnya. Di dalam
pustaka-pustaka itulah wangsa mengatakan jati dirinya. Apa yang “dikatakan” belum tentu
sama dengan apa yang “dimaksudkan”. Itulah sebabnya, tidak mudah membaca shastra
tentang wangsa.
Kita mensyukuri adanya pustaka-pustaka yang tak terhitung jumlahnya itu. Karena selain
berbicara tentang a-b-c-d-nya wangsa-wangsa, pustaka-pustaka tentang wangsa itu juga
memberi petunjuk tentang adanya shastra yang lain. Sebut saja, shastra di luar wangsa.
Inilah permasalahannya sekarang. Bagaimana kita bisa mengungkap pikiran kolektif yang
ada di dalam pustaka-pustaka, baik pustaka tentang wangsa maupun pustaka di luar wangsa
itu. Betapa pun sulitya, karena tidak semua pustaka itu tersedia, semestinya kita mulai
6
Shastra Wangsa
menggalinya. Karena dari sanalah kita akan “memikirkan” pikiran-pikiran yang ada di
balik bangunan kokoh bernama Wangsa itu.
Itulah antara lain latar belakang pemikiran, mengapa setelah “Bab I Pendahuluan”, Buku
ini membicarakan “Wangsa Dalam Shastra” pada Bab II. Pembicaraan wangsa dalam
shastra dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang bagaimana wangsa itu
dibicarakan di dalam shastra. Selain itu juga untuk membantu pembaca agar memiliki
bekal referensi yang memadai tentang wangsa. Dari penelitian ini, ada tiga kelompok
shastra: kelompok shastra melepas wangsa, shastra mempertahankan wangsa, dan shastra
di luar wangsa.
Pertama adalah kelompok shastra yang berisi gagasan melepaskan wangsa sebagai syarat
untuk mencapai tahapan spiritual yang lebih tinggi, sampai akhirnya pada tahap kelepasan,
moksa. Contoh shastra seperti ini cukup banyak. Intinya, sastra ini adalah ajaran pendakian
spiritual dari bawah ke atas, atau dari ramai ke sepi, atau dari keadaan terikat kekelepasan,
dari jauh menjadi semakin dekat pada Asal, dari manusia wangsa menjadi manusia
melampaui wangsa, dari manusia “papa” ke manusia “supunya”, dari gelap menuju terang,
dari sarwatattwa menuju shunyatattwa. Pembicaraan tentang shastra melepaskan wangsa
ini ditempatkan pada “Bab III Shastra Melepas Wangsa”. DalamBuku ini, ditampilkan dua
pustaka yang masing-masing berisi ajaran melepaskan Wangsa. Yang pertama adalah
pustaka dari para Brahmana Shiwa, berjudul Tingkahing Adiksani. Yang kedua adalah
pustaka dari Brahmana Buddha, berjudul Buddhaprani, atau Shastra Gajendra Mahayu
Ning Rat.
Kedua, adalah kelompok shastra yang berisi perintah, himbauan, saran, tekanan agar
setiap keturunan mempertahankan wangsanya, dan bila perlu mempererat dan memperkuat
ikatan tali kewangsaan. Contoh shastra seperti ini adalah babad, pamancangah, palalintih,
bhisama, pangeling-eling, prasasti, dan sebagainya yang sangat banyak jumlahnya, bahkan
susah untuk menghitungnya. Intinya, shastra kelompok ini adalah suara dari atas ke bawah,
atau dari leluhur kepada keturunan, atau dari masa lalu ke masa sekarang, atau dari yang
sudah “tidak ada” kepada yang “masih ada”. Hampir semua shastra kelompok kedua ini
berisi pesan yang sama, agar keturunan mempertahankan wangsa masing-masing. Belum
ditemukan pustaka babad yang berisi pesan kepada keturunannya, agar dalam hidup ini
7
Shastra Wangsa
Ketiga adalah shastra yang berisi ajaran personal tentang hidup dan mati. Isi shastra
kelompok ketiga ini tidak ada hubungan langsung dengan pikiran kolektif tentang wangsa
dan kewangsaan. Walaupun demikian, shastra kelompok ketiga ini dimasukkan dalam
pembicaraan Buku ini, karena shastra tersebut menurut sumbernya dihubungkan dengan
nama-nama tokoh yang berpengaruh dalam dunia wangsa Bali. Nama tokoh tersebut belum
tentu sebagai pengarang shastra yang dimaksud, tapi sebagai pemegang otoritas ajarannya.
Misalnya ada nama Dukuh Suladri, Dukuh Jumpungan, Dauh Baleagung, Dayu
Swabhawa, Balian Batur, dan seterusnya. Contoh shastra seperti ini juga sangat banyak
tersebar di masyarakat. Kelompok shastra ini tidak ditempatkan dalam Bab tersendiri,
melainkan tersebar di dalam berbagai entri “Kamus IstilahWangsa Bali: Pustaka, Pusaka,
Manusia” pada Bab VI, sebagai Bab terakhir Buku ini.
Bab terakhir dari buku ini adalah bab terbesar dari seluruh bab buku ini. Kamus istilah
Wangsa Bali ini disusun dengan tujuan memudahkan pembaca mengenali dunia Wangsa
Bali melalui nama-nama baik pustaka, pusaka, maupun tokoh-tokoh manusianya.
Demikianlah penjelasan tentang sistematisasi buku ini. Sistematisasi itu mencerminkan
kerangka pikiran penulis.@
8
Shastra Wangsa
BAB II
Wiksu Pungu adalah judul sebuah teks yang berisi ajaran tentang kependetaan. Teks
Wiksu Pungu penting diperhatikan karena di dalamnya ada penjelasan tentang apa yang
disebut “manusa tunggal”, atau “manusia satu”. Gagasan tentang manusia tunggal itu
disebutkan di dalam wacana Bhatara Shiwa Guru Tunggal. Agar lebih jelas, seperti berikut
inilah wacana Bhatara Shiwa Guru Tunggal yang berkedudukandi puncak Gunung Sumeru
pada saat awal mulanya ada makhluk bernama manusia:
“Hai Kamu para manusia! Dengarkanlah ini pesan dari diriku kepada diri kalian.
Hendaknya diingat semua “janji” antara diriku dengan anakku sekalian, mulai dari
sekarang sampai pada akhirnya nanti. Sehingga dengan demikian tidak akan
menyimpang antara perilaku, pikiran kalian dengan diriku. Sehingga berhasil
menyatukan ketiganya itu di bumi mandala. Yang bernama tiga bhuwana, dilebur
menjadi rasashunya, menjadi satu. Itulah sebabnya ada sebutan “manusa tunggal” atau
manusia satu, yaitu ketika dirimu sanggup menyatukan tubuh dengan “ITU” yang ada
pada diri sesamamu, juga dengan segala isi bumi. Karena sudah sesuai dengan perilaku
Hyang Tunggal, sebutannya adalah “orang yang tidak ada perbedaannya” di seluruh
dunia. [WP] [Lihat, Lampiran Teks: Manusa Tunggal]
Paling tidak ada dua pengertian Manusia Tunggal dalam kutipan teks Wiksu Pungu di
atas. Pertama, Manusia Tunggal adalah manusia yang berhasil melebur Tiga Bhuwana
yang ada di dalam dirinya, dunia bawah, dunia tengah, dunia atas. Ketiga Bhuwana itu
dilebur menjadi apa yang disebut rasa shunya. Yang kedua, manusia tunggal adalah orang
yang berhasil menyatukan rasa shunya pada dirinya dengan rasa shunya yang ada pada
sesama manusia, dan termasuk menyatukan rasa shunya dengan seluruh isi bumi. Dengan
demikian, yang dimaksud Manusia Tunggal adalah manusia yang tidak lagi ada perbedaan
9
Shastra Wangsa
dengan sesamanya di dunia ini, karena Manusia Tunggal itu berada di level rasa shunya.
Seperti itulah penjelasan tentang manusia tunggal.
Manusia Tunggal adalah salah satu butir pikiran kolektif yang dituliskan di dalam teks
Wiksu Pungu. Tentu masih ada pikiran-pikiran yang bersifat universal lainnya, baik
tentang manusia pada umumnya maupun tentang wangsa pada khususnya. Kutipan teks
Wiksu Pungu di atas masih ada kelanjutannya, seperti berikut ini:
“Itulah sebabnya ada yang patut dituruti oleh dirimu sekarang, yaitu bhakti kepada
Hyang. Aku dan dirimu sampai sekarang diikuti oleh lokacara, tidak jauh dari sifat-sifat
Sang Hyang. Perilaku seperti itu dinamakan manusia keturunan Hyang, karena sebagai
anak-anak dari Hyang Shiwa Guru Tunggal, dan Hyang Sasuhunan Dewa Guru
dijadikannya sebagai kulagotra. Kulagotra artinya putra-dharma dari Bhatara Shiwa.
Seperti itulah keadaan orang yang bhakti kepada Hyang. Itu namanya tidak lupa pada
“kesadaran tentang asal”. Hyang itu adalah asal, dan Hyang itu adalah wangsanya para
manusia, ia adalah awal yang tidak berubah dari kawangsaan. Karena menurut orang
yang tahu, asal dari manusia sebumi sesungguhnya adalah satu. Oleh karena itu, segala
sesuatu adalah satu di seluruh dunia. [WP]
Kutipan di atas secara tidak langsung menghimbau para pembaca untuk mengubah cara
pandang tentang wangsa. Yang dimaksudkan dengan cara pandang adalah darshana.
Darshana itu adalah tattwa. Tattwa itu adalah tat. Tat berarti “Yang Itu”. Yang
dimaksudkan dengan “Yang Itu” adalah tingkat kesadaran yang hendak dituju. Ke
tingkatan itulah kesadaran kita diarahkan. Dengan kata lain, itulah yang menjadi tujuan
dari kesadaran kita. Ringkasnya, memahami wangsa dari tattwa-nya.
Manusia yang memiliki sifat-sifat Hyang adalah manusia keturunan Hyang Shiwa Guru
Tunggal. Sebagai keturunan Hyang Shiwa, maka dewa-dewa yang ada di bawah Shiwa
adalah “saudara seperguruan” [sameton ring dharma], karena sama-sama sebagai putra
dharma Bhatara Shiwa. Manusia dan Dewa sama-sama menjadi murid Shiwa. Inilah
namanya manusia yang sadar dengan asalnya. Karena Hyang adalah asalnya, maka Hyang
itu adalah kewangsaannya. Begitulah menurut pendapat dan kesaksian orang yang sudah
mengetahui [ling sang wruh]. Maksudnya, orang yang sudah tuntas memahamitattwa-nya.
10
Shastra Wangsa
Karena kalau belum memahami tattwanya, maka orang cenderung akan tersesat dalam
pemahaman yang tidak jelas. Tidak akan dilihatnya mana utara, selatan, timur, barat, atas,
bawahnya.Seperti itulah konteks dari kutipan teks di atas. Seperti itu pulalah sedikit
tentang wangsa di dalam teks Wiksu Pungu.
Wiksu Pungu berarti pendeta yang telah bangkit kesadaran atau ingatannya. Disebutkan
bahwa Wiksu Pungu adalah anak dari Wiku Tutur. Wiku Tutur artinya pendeta yang tutur
atau kesadarannya telah berhasil ia kembalikan pada kesejatiannya melalui apa yang
disebut samyajnana. Jnana yang utuh itulah disebut samyajnana. Yang dimaksudkan
dengan jnana yang utuh adalah jnana yang didapatkan melalui ketiga jalan, yaitu
pratyaksa, anumana, dan agama. Jnana yang didapatkan tidak melalui ketiga jalan itu,
melainkan melalui salah satu jalan saja, bukanlah samyajnana namanya. Hanya Wikuyang
kesadarannya mencapai level samyajnana itulah yang disebut orang yang sudah tuntas
mengetahui atau disebut sang wruh. Menurut ajaran sang wruh, asal manusia sebumi
adalah satu.
Namun apabila manusia tidak memiliki sifat-sifat Hyang, selain tidak akan mencapai
apa yang disebut “manusia tunggal,” juga akan mengalami kemerosotan kualitasnya
sebagai manusia. Tentang kemerosotan kualitas kemanusiaan itu dengan jelas disebutkan
di dalam teks Wiksu Pungu, seperti dikutip di bawah ini:
“Setiap orang yang tidak ingin mengikuti sifat-sifat Hyang, seperti berikut ini
keadaannya. Sudah pasti akan mendapatkan kesengsaraan, selalu tersesat bolak-balik.
Tidak pernah mendapatkan rasa senang baik secara sakala maupun niskala. Orang yang
memiliki budhi bingung, tidak ubahnya seperti kumpulan kawah. Penampakan mukanya
tidak berbahagia, tidurnya seperti tidur ayam, tidak memiliki tujuan, tidak ubahnya
seperti mendapatkan kutukan karena tidak seiring dengan Hyang. Adalah dosa apabila
tidak ingat pada asal mula ke-orangan-nya (ke-wang-an) dulu pada saat
penjelmaannya.” [WP][Lihat, Lampiran Teks: ka-wang-an]
Kutipan di atas memberikan contoh cara pandang bahwa manusia itu sesungguhnya
sama berdasarkan tattwanya. Manusia itu akan kelihatan sama, apabila kita mengarahkan
pandangan ke atas, atau kepada Asal. Asal (sangkan) itulah yang dijadikan Tujuan
11
Shastra Wangsa
(paran).Apa yang akan kelihatan apabila sebaliknya pandangan kita arahkan ke bawah?
Itulah yang akan dibicarakan di bawah ini.
Wrehaspatitattwa dan Tattwajnana adalah dua contoh teks tattwa yang menjelaskan
mengapa dari asal yang sama manusia bisa menjadi berbeda satu sama lainnya.
Jawabannya adalah Yoni. Karena Yoni yang ada pada diri manusia itulah yang
menyebabkan manusia menjadi tidak sama. Apakah yang dimaksudkan dengan Yoni?
seperti dikutip berikut inilah teks Wrehaspati Tattwa menjelaskannya:
“Sebabnya aku memberikan banyak shastra kepada para dewa semuanya, karena
banyaknya Yoni yang mendasari penjelmaan. Apa sebabnya banyak ada Yoni? Karena
ada banyak sekali apa yang disebut wasana. Yang disebut wasana adalah karma yang
dilakukan manusia terdahulu, pahalanya dinikmati sekarang pada saat penjelmaannya,
baik itu wasana dari karma yang baik, maupun wasana dari karma yang buruk, pendek
kata, setiap karma yang diperbuatnya.” [WT] [Lihat, Lampiran Teks: yoni]
Kutipan di atas menyatakan bahwa Yoni itulah yang menyebabkan mengapa akhirnya
manusia itu menjadi tidak sama. Yang disebut Yoni adalah kumpulan dari sisa-sisa
perbuatan yang melekat pada Atma. Daya lekatnya demikian hebat, sehingga seakan-akan
tidak bisa lagi dipisahkan antara mana yang melekati dan mana yang dilekati. Wrehaspati
Tattwa menjelaskan tentang wasana dengan metafora sebuah kendi berisi air cuka. Walau
air cuka sudah dibuang habis, dan kendi itu telah digosok berkali-kali, lalu dijemur di
bawah panas matahari, namun yang namanya bau cuka itu tetap saja menempel di kendi
itu. Seperti itulah wasana itu menjadi pembungkus Atma. Bungkusan wasana pada Atma
itulah yang menyebabkan manusia memiliki pancaran warna halus yang berbeda-beda.
“Yang namanya wasana itulah sebagai hiasan yang menempel pada atma. Wasana itulah
yang menyebabkan atma kembali pada karma dan akhirnya lagi dilekati karmawasana,
itulah sebabnya manusia itu berbeda. Ada manusia-dewa, ada manusia-widhyadara, ada
12
Shastra Wangsa
Jadi, manusia itu berbeda karena Yoni. Wrehaspati Tattwa menggambarkan seperti
sebuah gunung. Kesadaran Parama Shiwa yang bersifat shunya ada di puncak gunung. Dari
puncak itulah asal kesadaran manusia. Semakin manusia itu bergerak ke bawah, maka
kesadarannya akan semakin menjauh dari Asal. Di tingkat paling bawah, yaitu tingkat
sarwatattwa, sudah bermacam-macam jenis manusia, dan tidak lagi manusia itu bisa
dikatakan sama antara satu dengan yang lainnya. Jadi, semakin berbeda level kesadaran
manusia, semakin ia berbeda satu sama lainnya. Semakin jauh kesadaran itu dari asal,
maka semakin panjang jalan yang harus ditempuh kembali ke asal. Yang dimaksudkan
“kembali ke asal” adalah perjalanan meningkatkan kesadaran dari level sarwatattwa
menuju kesadaran level Shiwa yang shunya. Jadi Yoni adalah juga level kesadaran yang
menentukan jauh dekatnya posisi seseorang dari Asalnya. Misalnya, manusia dengan yoni
dewa lebih dekat ke asal dari pada manusia yoni raksasa. Jadi, ringkasnya, manusia itu
tidak sama.
Penjelasan lebih lengkap tentang jenis-jenis yoni ada di dalam teks Tattwajnana. Dalam
buku “Brahmawidya: Teks Tattwa Jnana [Sukayasa & Sarjana, 2011], yoni manusia
dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama adalah yoni yang dominan sifat-siat sattwa.
Yang kedua adalah yoni yang dominan sifat-sifat rajah. Yang ketiga adalah yoni yang
dominan sifat-sifat tamah. Berdasarkan perbedaan triguna itulah penulis buku itu
kemudian membuat urutan yoni seperti yang dikembangkan di bawah ini.
5. Yoni Dewa. Orang yang dari dalam hatinya merasa tertarik dengan sendirinya pada
ajaran dharma, senang melakukan jasa, dan memberi.
6. Yoni Widhyadara. Orang yang dari dalam hatinya merasa tertarik dengan sendirinya
pada ilmu kanuragan, rela mempertaruhkan jiwa, berketetapan hati yang keras.
7. Yoni Gandharwa. Orang yang dari dalam hatinya merasa senang dengan sendirinya
pada pada keindahan, kesenian, dan mengembara ke alam.
14
Shastra Wangsa
Demikianlah penjelasan tentang yoni yang menyebabkan manusia itu tidak sama, alias
berbeda. Dalam sumber tertulis lainnya, selain Wrehaspati Tattwa dan Tattwa Jnana, masih
ada lagi berbagai sumber yang berisi penjelasan tentang Yoni. Namun tidak akan
diperpanjang di sini, agar tidak menyimpang dari tema pokok Buku ini, yaitu Shastra dan
Wangsa.
Brahma Wangsa Tattwa adalah sebuah teks berbahasa Jawa Kuno berisi penjelasan
tentang wangsa yang diciptakan oleh Bhatara Brahma. Teks Brahma Wangsa Tattwa yang
tidak panjang itu, penting untuk dibaca dan dipahami karena di dalamnya berisi aspek-
aspek tattwa dari wangsa. Tattwa memberikan petunjuk tentang apa yang sejati di balik
berbagai rupa dan warna. Dan untuk menemukan yang sejatinya itu harus mampu
mengupas kulit-kulit pembungkus, seperti bahasa, shastra, budaya. Kita mulai dari kutipan
teks berikut ini, tentang adanya Brahmana:
15
Shastra Wangsa
Dari aktivitas yoga muncullah rasa panas. Dari rasa panas kemudian muncullah asap.
Dari asap lalu muncullah api. Dari api muncul air kehidupan bernama Amerta Kamandalu.
Dari Amerta Kamandalu muncullah Ongkara Sandhi. Dari Ongkara Sandhi lahirlah
Brahmana berupa bayi. Bayi itu bernama Bhatara Dwijendra [bukan dang hyang nirartha].
Semua tahapan itu adalah tahapan yoga. Dan semua itu adalah kunci pengetahuan menuju
Brahma. Di sini tidak akan dibicarakan tentang tahapan-tahapan yoga tersebut. Kembali
Bhatara Brahma menggelar yoga:
16
Shastra Wangsa
Bhagawan Dwijendra menyucikan jagat, Hyang Ratnabhumi menjaga jagat. Seperti itu
isi keputusan Bhatara Brahma. Bhagawan Dwijendra kemudian bergelar Sang Wiku
Rajakerta. Bhagawan Ratnabhumi bergelar Bhagawan Indraloka. Ketika keduanya berada
di Jambhudwipa Keling, merekalah yang menyucikan baik yang hidup maupun yang mati.
Kutipan panjang berikut ini diambil dari teks Brahma Wangsa Tattwa. Isi kutipan teks
adalah kisah kelahiran dan pertapaan Bubuksah dan Gagakaking. Kisah ini penting
diketahui, karena dari dua figur mitologis itulah kemudian lahir dan berkembang apa yang
sekarang menjadi Brahmana Shiwa dan Brahmana Buddha di Bali. Seperti berikut inilah
ringkasan kisah kelahiran Bubuksah dan Gagakaking, sebagaimana diceritakan di dalam
teks Brahma Wangsa Tattwa:
“Ada keinginan Bhatara Dwijendra menciptakan putra shakti dua orang. Yang pertama
seorang putra yang memiliki sifat-sifat dharma, sebagai penyucian segala yang harum,
dharma dalam bidang kaparamarthan, dan berkegiatan di langit. Yang kedua adalah
putra yang dharma shakti dalam bidang sarwa bhuta, berkegiatan di tanah. Seperti itulah
keinginan Bhatara Dwijendra. Maka dengan sarana Homa Widdhi Shakti beryogalah
Bhatara Dwijendra, seperti Bhatara Shiwa yang berlengan empat. Muncullah Sang
Hyang Ongkara dari langit melayang-layang, suaranya seperti bunyi genta yang diputar.
Ongkara itu sampai di depan Bhatara Dwijendra, berubah menjadi Windu. Windu itu
berubah menjadi kendi permata yang berisi amerta Kamandalu. Dipujalah oleh Bhatara
Dwijendra amerta Kamandalu itu, diisilah dengan Yoga Kamamretti, dibungkus di
dalam periuk emas, diisi huti wedya suci tarpana, beserta dupa dan dipa,
gandhaksatagulgala, mrik, ambe ning homa. Sampai matang yoga santinya, muncullah
api dari dalam kendi periuk. Setelah nyala api itu sirna, berubah menjadi air yang
berbau harum. Serta merta muncullah dua manusia bayi berkata “Bapa Ibu”. Bayi
Sulung berkata kepada adiknya. “Ih, adikku, pergilah bertapa ke gunung Rengga
Ratnamaya, agar bisa bertemu dengan Yang Menciptakan kakak dan adik.” Begitulah
kata kakaknya. Sang adik tidak membantah kehendak kakaknya. Dengan cepat
17
Shastra Wangsa
keduanya berjalan. Sampailah di dasar gunung, kemudian segera mencari tempat untuk
bertapa. Sang Kakak berkata, “Memuja Bhatara Akasa tidak dihalangi oleh perasaan
letih”. Sahut adiknya: “Adik bertapa di tanah, di bawah, sampai tercapai
keinginan”.Sang Kakak berbesar hati naik ke puncak gunung di sana ia beryoga. Di
dasar gunung adiknya beryoga. Setelah lama bertapa di puncak gunung, tidak makan
tidak minum, kuruslah badannya. Sang adik bertapa di bawah, sekehendak hatinya
makan dan minum, namun tambunlah badannya. Sehingga merasa kasihan Bhatara Kaki
Hyang Brahma, dan Hyang Dwijendra turun memberikan anugerah kepada putranya
masing-masing. Ada ucapan Bhatara: “E Ih cucuku Sang bersaudara dua, dengan
senang diri kalian bertapa, Kakek welas asih menganugerahkan cucuku berdua. Semoga
menemukan keparamarthan, menjadi guru loka di jagat, shakti tidak ada yang
menyamai. Menjadi jiwanya jagat, yang merupakan tertinggi dari Wangsa Catur Jadma,
sebagai pucuknya dunia, karena cucuku bertapa di gunung bagian puncak, Kakek
menamai cucuku Sang Gagak Aking namamu Cucuku. Takutlah segala yang kotor.”
Begitulah ucapan Bhatara Brahma. Lagi Bhatara Brahma memberikan anugerahkepada
cucunya yang bertapa di dasar gunung, berkatalah Bhatara: “E Ih cucuku yang bertapa
memakan segala, shakti tidak ada yang memadai, segala macam Bhuta menjadi takut,
semoga cucuku menjadi penyucian dunia, dan Kakek menamai cucuku dengan julukan
Bubuksah karena dirimu memakan segala. Dan wangsa cucuku Si Gagakaking adalah
wangsa Brahmana Shiwa. Dan Sang Bukbuksah menjadi Brahmana Wangsa Budha.
Sama-sama menjadi Shiwanya jagat. Lahir pada awal adanya brahmana wangsa Shiwa-
Buddha di jagat Keling Majapahit.” [BWT][Lihat, Lampiran Teks: Bubuksah
Gagakaking].
Berikut ini ringkasan teks diambil dari teks Brahma Wangsa Tattwa. Isi ringkasan teks
adalah kisah kelahiran Brahmana Resi dari Ksatrya Wangsa. Kisah ini penting diketahui,
karena dari kisah ini bisa diketahui latar belakang adanya Brahmana Resi dalam sistem
kependetaan di Bali.
18
Shastra Wangsa
19
Shastra Wangsa
Ishwara Tattwa adalah salah satu pustaka kuno yang memuat penjelasan tentang homa
traya. Yang dimaksudkan dengan homa traya adalah Sadhaka Tri, atau umumnya
dikatakan Tri Sadhaka. Tri Sadhaka berarti „tiga sadhaka‟. Sadhaka adalah orang
berpegangan pada sadhana. Sedangkan sadhana adalah yoga itu sendiri. Jadi Tri Sadhaka
adalah tiga orang yang berpegangan pada ajaran yoga. Konsep Tri Sadhaka direalisasikan
dalam wujud tiga pendeta, sebagai tri tunggal, yaitu pendeta brahmana Shiwa, pendeta
brahmana Budha, dan pendeta brahmana Resi. Lebih jelasnya kita baca teks kutipan dari
Ishwara Tattwa, di bawah ini:
“Sekarang bicarakan Sri Bhanoraja menjadi seorang pendeta yang bertindak sebagai
Guru Nabhenya adalah Bhagawan Purbhasomi, seorang brahmana sejak dari bayi. Dua
sebagai purohitanya, yaitu Shiwa dan Buddha sebagai purohita. Yang Buddha bernama
Bhagawan Romacchana. Tidak ubahnya seperti Sang Hyang Tri Purusa kelihatannya
mereka itu. Seperti Bhatara Shiwa Sadashiwa Paramashiwa. Merekalah Sang Tiga
Wisesa. Tidak ubahnya Sang Hyang Brahma WisnuIswara yang bersthana di ketiga
jagat. Sekarang Sri Bhanoraja bergelar Bhagawan Dharmaraja. Sekarang ia hendak
melaksanakan yajnya Homatraya Wisesa guna membakar habis mala yang ada di dunia.
Apa macamnya. Traya berarti tiga. Homa berarti Yoga shakti. Yang mana yang tiga itu:
Brahmana Shiwa, Buddha, Satriya putus. Itulah yang bernama Homa Tiga, karena tiga
jumlah yang melakukan yoga. Maka bersiap-siaplah beliau melaksanakan yajna
itu.”[IT][Lihat, Lampiran Teks: homa tiga]
Kutipan dan terjemahan di atas memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa adanya
konsep Tri Sadhaka karena berkaitan dengan konsep Tri Purusha (Shiwa, Sadashiwa,
Paramashiwa), konsep Sang Hyang Tiga Shakti (Brahma, Wisnu, Iswara), Homatraya
Wisesa (Tiga Homa, brahmana Shiwa, brahmana Buddha, Satriya Putus. Itulah yang
bernama Homa Tiga, karena tiga jumlah yang melakukan yoga), dan Tri Kundha (tiga
tempat melakukan Homa, atau yoga). Semua itulah yang ada di dalam upacara Homa untuk
membakar habis mala yang ada di bhuwana. Di mana tempat upacara Homa itu dilakukan?
20
Shastra Wangsa
“Di sana di perempatan jalan besar, di halaman depan Carangcang membangun Kundha
Api, yaitu Tri Kunda, Sembilan depa melingkar panjangnya masing-masing. Setelah
persiapan yajna itu semuanya selesai, dilanjutkan Sang Tri Sadhaka melalukan Homa
bertempat di tengah-tengah kunda, duduk di atas padma bata merah seutuhnya. Di atas
itulah mereka duduk, amusti, anggrana pada Shiwa Tiga. Beryogalah mereka.” [IT]
[Lihat Lampiran Teks, Homa 1]
Ada beberapa kata kunci dalam kutipan di atas sebagai penanda, yaitu perempatan,
trikunda, sembilan depa, tri sadhaka, padma bata merah. Semua pananda itu apabila
dimaknai dan dirangkai sedemikian rupa akan menghasilkan gambar atau konsep yang
jelas. Padma Bang atau padma berwarna merah adalah Padma yang ada di dalam Nabhi,
atau pusar. Dalam konteks ini adalah pusarnya bhuwana agung. Padma Bang itu memiliki
empat kelopak yang masing-masing menghadap ke empat penjuru mata angin. Itulah yang
dimaksudkan dengan penanda “perempatan” atau digambarkan sebagai segi empat. Di
dalam segi empat itulah terdapat trikona yang berwujud segitiga yang tidak lain adalah
trikunda, karena pada masing-masing sudut terdapat satu kunda, tempat masing-masing Tri
Sadhaka melakukan Homa atau yoga pembangkitan agni rahasya. Yang disebut agni
rahasya, atau api rahasia, adalah pertemuan Sadashiwa dengan Gayatri. Tri Sadhaka adalah
representasi Sadashiwa. Tri Kona adalah Gayatri.Tri Sadhaka dan Tri Kona itulah yang
diimplisitkan oleh penanda “sembilan depa”. Itulah gambaran tempat upacara Homa di
bhuwana agung. Sedangkan tempatnya di bhuwana alit, ada pada masing-masing diri Tri
Sadhaka itu. Bagaimana Homa itu dilaksanakan oleh Sang Tri Sadhaka sehingga
memunculkan agni rahasya pembakar segala mala? Seperti berikut ini dijelaskan oleh teks
Iswara Tattwa:
“Tidak lama Sang Tri Sadhaka melakukan yoga, maka pertama-tama ke luarlah asap
dari dalam tubuh mereka. Setelah asap itu menjadi jernih, keluarlah api sekecil kunang-
kunang dari seluruh persendian tubuh beliau. Tak lama kemudian api itu membesar.
Itulah tanda keberhasilan yoga, yang beryoga merasa seolah dirinya sudah tidak ada
lagi. Yang ada hanya api halus yang sesungguhnya bisa disaksikan oleh mata orang
yang sudah terlatih”. [IT] [Lihat Lampiran Teks, Homa 2]
21
Shastra Wangsa
Lalu, bagaimana caranya “mala” yang ada di jagat ini dibakar oleh api rahasia itu?
Seperti inilah penjelasannya:
Pada saat api itu berkobar, kelihatan ada yang bergulung-gulung posisi terbalik jatuh ke
dalam api, ada yang berwarna hitam seperti mendung segunung, ada yang seperti awan
putih segunung besarnya, sama-sama posisinya terbalik pada api. Ada pula seperti
harimau, ada seperti gajah, ada seperti kuda, ada yang melayang-layang seperti
kumpulan burung, ada seperti embun yang tidak terhitung jumlahnya, entah berapa tetes
hujan banyaknya tidak dapat dihitung banyaknya. Sekarang hampir terbenam matahari,
seluruh mala di dunia telah habis jatuh di dalam tungku api. Dimusnahkan oleh mantra-
mantra Sang Tiga Wisesa. [IT] [Lihat Lampiran Teks, Homa 3]
Mala yang ada di jagat ini dalam bahasa shastra dibayangkan dalam berbagai bentuk
yang ada di alam ini. Kutipan di atas mencontohkan, ada mala yang nampak seperti
mendung berwarna hitam, ada yang putih, dan beberapa mala nampak seperti wajah-wajah
binatang. Semua itu datang seperti disedot melayang-layang dalam posisi terbalik satu
persatu jatuh ke dalam kunda yang sedang menyala-nyala apinya. Api membakar habis
mala tersebut. Sedangkan mantra-mantra Sang Tri Sadhaka terus menjaga nyala api itu.
Bagaimana setelah upacara Homa Sang Tri Sadaka itu selesai?
“Sesudah upacara Homa itu selesai, ke luarlah yang melakukan Homa dari dalam
Tungku Api diikuti asap, sempurna seperti dahulu, tidak terasa panas api itu. sekarang
berbahagialah segala yang hidup di dunia, memuji-muji keshaktian Sang Tiga, tidak
ubahnya dewata yang turun. Setelah selesai yajna Homa itu, seluruh lara manusia di
bawah langit, edan buyan sangar udug rumpuh, kepek dopang, bedug, wegah busung,
segala macam lara di dunia, seperti disapu bersih tanpa obat menjadi sembuh, itulah
shaktinya ia yang menjaga dunia. Tri Shakti: Shiwa Buddha Satriya putus. Mereka
mampu menghilangkan kekotoran seluruh jagat.” [IT] [Lihat Lampiran Teks, Homa 4]
Setelah kita membicarakan siapa Tri Sadhaka tersebut, melalui pelaksanaan Homayajna,
mari sekarang kita pahami apa saja tugas kewenangan mereka, sebagaimana yang
tercantum di dalam pustaka Iswara Tattwa. Kita mulai dengan membaca bagian teks yang
dikutip di bawah ini:
22
Shastra Wangsa
“Baiklah Sang Guru Nabhe, tidak durhaka pada ucapan Sang Guru Nabhe, sudah
memberikan anugerah kepada Sang Tiga kewenangan mengentaskan atma orang yang
meninggal, sehingga bisa berbahagialah Atma orang yang meninggal, tidak lagi ada
masalah di alamnya. Apabila brahmana Shiwa Buddha memberikan pelepasan kepada
atma orang yang meninggal, namun Sang Satriya Putus tidak turut menyucikan Atma
dengan cara memberikan tirtha pengelepas Atma, rusaklah jagat ini, penyakit, wabah
dan merana banyak. Dan segala atma orang-orang tidak mendapatkan jalan yang baik,
23
Shastra Wangsa
Demikianlah Tri Sadhaka di dalam teks Iswara Tattwa. Sebelum tulisan ini diakhiri kita
tengok sebentar bagaimana Tri Sadhaka itu dimaknai di dalam teks yang lain. Kita
perhatikan apa yang tertulis di dalam teks Tattwa Catur Bumi.
Tattwa Catur Bumi adalah sebuah teks berisi pandangan Bali tentang penciptaan bumi
dan isinya, termasuk manusia. Saya katakan pandangan Bali, bukan karena teks ini
berbahasa Bali, tapi karena teori penciptaan yang “diajarkan” dalam teks-teks tattwa
berbahasa Jawa Kuno sudah dipindahkan ke setting Bali. Ada yang menarik dari narasi
teks ini. Pada mulanya para dewa menciptakan 8 matahari. Setelah terciptanya matahari
barulah diciptakan manusia berbagai wateknya. Setelah itu kembali surya itu dilebur
sehingga tersisa satu matahari. Bagaimana pun juga ini adalah sebuah narasi yang sangat
simbolis. Yang tidak bisa ditafsirkan apabila belum memahami teks dan konteks, sebelum
tahu apa yang dikatakan dan mengerti apa yang dimaksudkan. Apa saja delapan matahari
itu? Seperti berikut ini urutannya:
24
Shastra Wangsa
Itulah kedelapan matahari yang diciptakan oleh para Dewata Nawa Sangha, kecuali
Rudra. Tidak ada disebutkan Rudra membuat matahari di barat daya. Matahari inilah yang
nantinya akan dilebur kembali setelah para Dewata Nawa Sangha menciptakan manusia.
Oleh karena itu sekarang kita bicarakan terlebih dahulu, bagaimana proses penciptaan
manusia-manusia Bali oleh Dewata Nawa Sangha. Kita mulai dengan kutipan teks berikut
ini:
“Ada lagi cerita, oleh karena sudah lama hutan menjadi dunia, kuranglah manusia untuk
menghuninya. Saat itulah para Dewa berunding, semua rapat. Kemudian berbicaralah
Bhatara Guru, hendak menciptakan manusia. Kemudian beryogalah Bhatara Iswara
menciptakan manusia, tidak terhitung jumlah yang muncul dari dalam diri beliau
menjadi manusia Prabali Bandesa. Kemudian beryogalah Bhatara Mahesora, muncullah
manusia tidak bisa dihitung jumlahnya yang muncul dari diri beliau, itu menjadi Prabali
Pasek. Kemudian beryogalah Bhatara Indra, muncullah manusia tidak terhitung yang
muncul dari dalam diri beliau, itu menjadi Prabali Gaduh. Kembali beryoga Bhatara
Mahadewa muncullah manusia tidak bisa dihitung yang ke luar dari diri beliau, itu
menjadi Prabali Dangka. Kemudian beryogalah Bhatara Sangkara, muncullah manusia
tidak terhitung dari dalam diri beliau, menjadi Prabali Ngukuhin. Kemudian beryogalah
Bhatara Wisnu, muncullah manusia tidak terhitung yang muncul dari diri beliau,
menjadi Prabali Kabayan. Kemudian beryogalah Bhatara Sambu, lahirlah manusia
tidak bisa dihitung yang lahir dari diri beliau, itu menjadi Prabali Tangkas.”
[TCB][Lihat, Lampiran: penciptaan manusia Bali]
Maka terciptalah sudah tujuh watek Prabali sebagai penghuni pulau Bali. Ketujuh watek
Prabali tersebut diciptakan oleh masing-masing dewa kelompok Dewata Nawa Sangha,
kecuali Brahma dan Shiwa. Penciptaan watek Prabali itu dimulai dari timur mengikuti arah
perputaran jarum jam. Itu adalah perputaran menuju bumi. Agar lebih terperinci penciptaan
watek Prabali itu diurut seperti berikut ini:
25
Shastra Wangsa
“Maka gelaplah dunia, pulau Bali tidak ubahnya seperti bungbung kelihatannya.
Kemudian muncullah manusia dari ubun-ubun beliau laki perempuan. Itu yang menjadi
para brahmana. Yang ke luar dari mata, laki perempuan menjadi brahmana Buddha.
Yang muncul dari dari dalam mulut, itu yang menjadi satriya. Yang muncul dari dalam
hidung, itu menjadi ksatriya sakehet. Yang muncul dari telinga kanan menjadi
Pungakan Para Sangiang. Yang muncul dari telinga kiri, menjadi Gusti Agung. Yang
muncul dari bahu kanan menjadi sudra. Yang muncul dari dalam tubuh menjadi
manusia beratus-ratus ribu. Maka menjadi penuhlah jagat Bali. Setelah itu Bhatara
Brahma menutup yoganya. Hentikan cerita sejenak!” [TCB] [Lihat, Lampiran Teks:
penciptaan manusia Bali 2]
Entah apa maksud ungkapan “pulau Bali seperti bungbung”. Apakah kemudian dari
dalam bungbung itu muncul manusia ciptaan dewa Brahma? Barangkali. Agar lebih
sistematis manusia ciptaan Brahma itu diurut kembali seperti berikut ini:
Brahmana Shiwa dari ubun-ubun
26
Shastra Wangsa
Yang tidak dilebur adalah matahari yang ada di tengah-tengah. Itulah sebabnya hanya
ada satu matahari di atas. Satu lagi yang perlu digarisbawahi dari teks Tattwa Catur Bumi
ini, tentang apa yang disebut manusia “tan pawangsa”. Seperti ditunjukkan kutipan berikut
inilah konteksnya.
Yang lahir dari pinggang itu adalah manusia tanpa wangsa. Pada saat meninggal,
dibenarkan menek warna, dibenarkan memakai kayu, naik pada bale Tumpang Salu di
wadah, mamangle mapalendo mapontang ratna, Tidak dibenarkan memakai tatakan
baha, tidak dibenarkan memanah toya. Kemudian yang lahir dari pergelangan kaki
Bhatara Brahma menjadi manusia juru tegen namanya, pada saat meninggal dibenarkan
memakai bale-balean tiying, tan wenang nganggo kayu, mapiringin pugpug, tan
wenang ngangge pawarnan, tan wenang matatakan baha, tan wenang mamanah toya.
Yang lahir dari telapak kedua kaki, menjadi manusia tanpa wangsa, namanya juru tegen,
pada saat meninggal tidak dibenarkan mempergunakan wewarnan, wadahnya papaga,
tan wenang mamanah toya. Yang lahir dari bawah pusar itu manusia tanpa wangsa
27
Shastra Wangsa
namanya. Apabila lahir dari telapak kedua kaki, itu namanya nyuung-nyuung, yaitu
pamatelan, itu adalah manusia tanpa wangsa namanya. Sudah banyak manusia tercipta
dari yoganya Bhatara Brahma, kemudian beliau menyudahi yoganya. Hentikan cerita
sejenak! [TCB][Lihat, lampiran: manusa tan pawangsa]
Siapa yang dimaksudkan manusia tanpa wangsa itu? Kutipan di atas dan juga pada
keseluruhan teks tidak ada penjelasan selain apa yang dikutip di atas. Ada beberapa kata
kunci disebutkan: di bawah pusar, wangkong, pergelangan kaki, telapak kaki, juru tegen.
Dengan kunci itulah dapat dipahami apa itu manusia tanpa wangsa. Selanjutnya, sebagai
penutup, disebutkan tentang “perguruan” para Prabali, seperti berikut ini:
Ngukuhin, Kebayan, Tangkas, itu yang sepatutnya berguru kepada Shiwa. Apabila tidak
demikian, papa neraka Sang Pitra menurut ajarannya. Kalau memohon air penyucian,
kepada Budha dan Bhujangga. Yang berguru kepada Bhujangga, sepatutnya ngaskara
pada Bhujangga. Yang berguru kepada Bodha, sepatutnya ngaskara kepada Bodha.
Yang berguru pada brahmana Shiwa, sepatutnya ngaskara pada Shiwa. Apabila tidak
seperti itu, maka dunia akan panas. Dikutuk oleh Bhatara Brahma, Wisnu, Iswara.
[TCB] [Lihat, Lampiran Teks: perguruan para prabali] @
28
Shastra Wangsa
BAB III
“Tatacara melakukan Diksa. Pada saat melakukan Ndilah, kalau secara niskala Sang
Guru Nabhe sebagai Ongkara Merta, kalau secara niskala di dalam Sang Guru Nabhe
sebagai perasaan bahagia. Sang Murid kalau secara sakala adalah Ongkara Gni, kalau
secara niskala di dalam Sang Murid sebagai perasaan yang terang benderang. Begitulah
pada saat Ndilah, menghilangkan wangsa sudra”.
[Tingkahing adiksa, yan di ndilahe. Yan di sakala sang adi maraga ongkara mreta, yan
di niskala di jro sang adi maraga rasa liyang. Sang sisya yan di sakala maraga ongkara
gni, yan di niskala di jro sang sisya maraga rasa galang. Keto di ndilahe ngilangang
wangsasudrane][BPS].
Kutipan di atas dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan Ndilah dalam
upacara Diksa, adalah menghilangkan wangsa sudra. Wangsa sudra yang dihilangkan
adalah wangsa sudra yang ada pada Sang Murid. Sarana untuk menghilangkan wangsa
sudra itu adalah Ongkara Gni, atau Ongkara api. Jadi, Yang namanya wangsa sudra itu
dibakar oleh kekuatan api dari Ongkara.
Setelah tahapan Ndilah dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut Nuhun Pada.
Dalam penjelasan tentang Nuhun Pada juga terdapat ucapan tentang menghilangkan
wangsa. Seperti berikut ini terjemahan dan kutipan teksnya:
“Pada saat tahapan Nuhun Pada, secara sakala Sang Guru Nabhe sebagai perwujudan
Windu Gni, kalau secara niskala di dalam Sang Guru Nabhe merupakan rasa pikiran
29
Shastra Wangsa
yang tenang. Sang Murid apabila secara sakala merupakan perwujudan Windu Amerta,
kalau secara niskala di dalam Sang Murid merupakan rasa sejuk dari pikiran yang suci.
Seperti itulah pada saat tahapan Nuhun Pada, menghilangkan Wangsa Wesya” .
[Di nuhun padane yan di sakala sang adi maraga windu gni, yan di niskala di jro sang
adi maraga rasan kahyune tĕgtĕg. Sang sisya yan di sakala maraga windu mrĕta, yan di
niskala di jro sang sisya maraga tis kahyune suddha. Keto di nuhun padane, ngilangang
wangsa wesyane][BPS].
Kutipan di atas dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan Nuhun Pada
dalam upacara Diksa, adalah menghilangkan wangsa wesya. Wangsa Wesya yang
dihilangkan adalah wangsa wesya yang ada pada Sang Murid, yang sebelumnya dalam
tahapan Ndilah telah juga menghilangkan wangsa sudra yang ada pada dirinya. Sarana
untuk menghilangkan wangsa sudra itu adalah Windu Amerta, atau Windu Air. Jadi,
wangsa wesya itu dihanyutkan oleh aliran air dari Windu.
Setelah tahapan Nuhun Pada dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut
matirtha. Dalam penjelasan tentang tahapan matirtha juga terdapat ucapan tentang
menghilangkan wangsa. Seperti berikut ini terjemahan dan kutipan dan teksnya.
“Saat pemercikan air suci, Sang Murid sebagai Parama Acintya, yaitu rasa tanpa mala,
Sang Guru Nabhe sebagai Acintya Paramashunya Nirbhana. Seperti itulah pada saat
pemercikan air suci, menghilangkan wangsa ksatrya”.
[Di matirthane sang sisya maraga parama acintya, rasa nirmala, sang adi maraga acintya
paramashunya nirbhana, keto di matirthane, ngilangan wangsa ksatryane][BPS].
Kutipan di atas juga dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan matirtha
dalam upacara diksa, adalah menghilangkan wangsa ksatrya. Wangsa ksatrya yang
dihilangkan adalah wangsa ksatrya yang ada pada Sang Murid, yang dalam dua tahapan
sebelumnya telah juga menghilangkan wangsa sudra dan wangsa wesya yang ada pada
dirinya. Sarana untuk menghilangkan wangsa ksatrya itu adalah Tirtha Acintya
Paramashunya Nirbhana.
30
Shastra Wangsa
Apa jadinya Sang Murid setelah melepaskan tiga wangsa dalam satu rangkaian upacara
Diksa? Seperti berikut ini jawabannya:
[Rasane lĕyĕp kewala wangsa pandita dewatane hĕnĕrakĕt. Di njaya-jayane sang sisya
maraga windu dewa, rasa kawikune, sang adi maraga paramashunya suci nirmala tan
patalĕtĕh, rasane shunya hĕning][BPS].
Kutipan di atas dengan jelas menyebutkan bahwa Sang Murid akhirnya dilekati oleh
Wangsa Pandita Dewata. Tidak dijelaskan apa sebenarnya Wangsa Pandita Dewata itu.
Hanya ada keterangan bahwa pada saat upacara Jaya-Jaya, Sang Murid menjadi
perwujudan dari Windu Dewa. Yang dimaksudkan dengan Windu Dewa adalah rasa
kewikuan, atau rasa menjadi seorang wiku.
Begitulah isi salah satu lontar tentang shastra menghilangkan wangsa. Penghilangan
wangsa itu ada dalam sebuah upacara Diksa. Sebagaimana umumnya upacara, Diksa itu
adalah sebuah tindak simbolis-mistis. Penghilangan wangsa itu adalah sebuah pemaknaan.
Makna itu diberikan oleh Tradisi.
Wangsa itu benar-benar dipandang sebagai kulit. Melewati tahapan pertama, seorang
murid melepaskan sendiri kulit terluarnya. Untuk melewati tahapan kedua, seorang murid
kembali melepaskan kulit di dalamnya. Begitu seterusnya sampai akhirnya ia seakan-akan
tanpa kulit. Keadaan tanpa kulititulah yang disebut Wangsa Pandita-Dewata, atau Windu
Dewa, atau itulah sejatinya seorang wiku. Jadi, wiku artinya orang yang telah melepaskan
kulit-kulitnya.
Menghilangkan wangsa adalah sebuah pendakian dari bawah ke atas, atau sebuah
penyusupan dari luar ke dalam, atau dari kulit ke isi. Yang mana kulit? Wangsa. Yang
mana isi, keadaan lepas atau bebas dari wangsa.
31
Shastra Wangsa
Di dalam lontar Buddha Prani terdapat bagian teks, yang penting untuk dipahami
dengan benar, karena memuat pandangan tentang wangsa dari “ketinggian” Tattwa. Karena
bagian teks tersebut tidak panjang, dan bahasanya tidak sulit dimengerti, maka berikut ini
teks itu dikutip seutuhnya.
“Ini pula dengarkan, sesungguhnya tidak ada brahmana, ksatriya, wesya, sudra.
Sebabnya tidak ada, sebab sesungguhnya ada tiga di Tri Bhuwana, yaitu: niskala,
pertengahan niskala-sakala, dan sakala. Selanjutnya, yang bernama niskala adalah dewa.
Yang namanya pertengahan antara niskala-sakala adalah manusia. Yang bernama sakala
adalah binatang. Selanjutnya yang bernama binatang diperintah oleh manusia. Manusia
itu diperintah oleh dewa. Seperti itulah sejatinya yang ada di dalam Tri Bhuwana, yang
disebutkan di dalam Shastra Gajendra Mahayuning Rat ini, yaitu Buddhaprani namanya.
Itulah sebabnya tidak ada brahmana, ksatriya, wesya, sudra. Disanalah kembali
tanyakan pada ajaran yang berjudul Sri Raja Bang Panas, pada Tutur Gohya Wijaya
Duratmaka, pada Tutur Busanane, pada Tutur Tawang Suwunge, pada Tutur
Buddhapranine, pada Tutur Raja Diraja. Pahalanya akan jelas dirimu mengetahui.
Sesungguhnya ketika dirimu ingin mengetahui, karena Shastra Gajendra Mahayu Ning
Rat, adalah otoritas dari Bhatara Buddha. Selanjutnya bila mempergunakan shastra ini,
hidupnya akan mendapatkan sorga utama. Demikianlah, jangan lupa. Janganlah takut
pada miskin, jangan takut pada mati, jangan takut pada sakit, jangan takut pada perasaan
jengah, jangan takut pada jelek, jangan takut pada paran-paran, kalau sudah tiba
saatnya. Pada saat dirimu mati, akan memasuki sorga tingkatan shunya. Seperti itulah
dikatakan di dalam Shastra Gajendra Mahayu Ning Rat, yang bernama Budhaprani.
Inilah dharmanya Sang Buddhaprani, karena satu urip manusia itu, satu dewa satu
manusia, dan satu bhuta, Tapi sesungguhnya tunggal dewa dengan manusia dengan
bhuta. Demikianlah orang yang menjalani Shastra Gajendra Mahayu Ning Rat.
Janganlah sampai membuat orang celaka, mati, sengsara, miskin, malu, cemas dan mati.
Janganlah dirimu seperti itu. Menurut ajaran ini dirimu tidak berhak melakukan itu.
seperti itulah yang dikatakan di dalam Tutur Kadharman Buddhaprani ini. [BPR] [Lihat,
Lampiran Teks: Shastra Gajendra Mahayu Ning Rat].
32
Shastra Wangsa
Yang ada adalah satu atau tunggal. Itulah inti yang disampaikan kutipan panjang di atas.
Tidak ada dewa manusia bhuta, melainkan penunggalan dari ketiganya itu. Begitu pula
tidak ada brahmana, ksatrya, wesya, sudra, melainkan penunggalan semua itu. Oleh karena
itu maka setiap orang hendaknya berpegangan pada satu landasan moral. Teks di atas
mengajarkan landasan moral Shastra Gajendra Mahayu Ning Rat, yang tidak lain adalah
Tutur Kadharman Buddhaprani.
Konteks ajaran di atas ada pada level tattwa, atau tutur. Tutur artinya „sadar‟ atau
„ingat‟. Ingat pada Asal. Karena Asal itu adalah tujuan hidup. Perjalanan kembali ke Asal
dibayangkan seperti perjalanan bertahap dari ramai ke sunyi, dari bawah ke atas, dari
banyak ke sedikit, dari sedikit akhirnya menjadi satu, dan dari satu menuju nol. Dengan
kata lain disebutkan perjalanan panjang dari sarwatattwa ke shunyatattwa, dari ada
menjadi tidak ada. Semua ini adalah pendakian spiritual menuju Asal. Di sinilah konteks
pernyataan, bahwa tidak ada brahmana ksatrya wesya sudra itu. Jangankan keempat
wangsa yang bersifat duniawi itu, bahkan tubuh ini pun dibayangkan tidak ada.
Pendakian spiritual dengan meniadakan apa yang “ada” setahap demi setahap,
membutuhkan landasan moral yang kuat, yaitu Kadharman Buddhaprani. Itulah isi filosofis
dan konteks kutipan teks di atas.@
33
Shastra Wangsa
BAB IV
Bab ini berisi uraian tentang gagasan mempertahankan wangsa, guna melengkapi bab
sebelumnya yang berbicara tentang gagasan melepaskan wangsa. Untuk uraian bab ini,
saya mempelajari beberapa contoh “pesan leluhur” yang ada pada beberapa sumber
tertulis. Sumber tertulis tersebut, antara lain: Pesan Mpu Kuturan Kepada para Bhujangga
Bali [BWST], Pesan Aji Brahma Purwana Tattwa Kepada para Raja [SPT], Pesan Mpu
Gnijaya Kepada Keturunan di Jawa dan Bali [RAK, KNPG], Pesan Bhatara Subali dan
Sang Anom Kepada Keturunan Satrya Taman Bali [BKTB], Pesan Mpu Sedah Kepada
Keuturunan Wangbang Pinatih [BMA], Pesan Ki Bandesa Mas Kepada Keturunan [PDK,
DT], Pesan Mpu Saguna Kepada Keturunan Pande [PBP], Pesan Babad Bandesa Kepada
Keturunan Pasek Bandesa [BB].
Seperti itulah pola umum yang dipergunakan penulis babad menyampaikan pesan para
leluhur agar wangsa dan kewangsaan dipertahankan. Pola penyampaian pesan tesebut
sangat kental sebagai “suara” yang datang dari “atas” ditujukan kepada mereka yang ada
“di bawah”. Sepintas lalu seperti suara dari langit yang terdengar oleh manusia di bumi.
34
Shastra Wangsa
“Wahai Engkau Bujangga Bali semuanya, janganlah Engkau sampai tidak ingat pada
silsilah dirimu. Karena yang bernama Tri Wisesa itu sebagai penjaga dirimu semua.
Apabila Engkau sampai tidak ingat, maka salahlah dirimu. Karena Engkau juga akan
dilupakan oleh Sang Tri Wisesa. Engkau akan menjadi kebingungan. Karena Engkau
adalah asal dari semua manusia, yang bernama Tri Wisesa. Demikianlah supaya Engkau
semua tahu. Begitu pula apabila ada kekotoran-kekotoran di bumi ini, wajib
dibersihkan, dilebur, disucikan oleh Sang Bhujangga. Kalau bukan Sang Bhujangga
yang membersihkan menyucikan, kekotoran-kekotoran di bumi ini, di perumahan,
pekarangan dan segalanya, maka upacara tidak akan berhasil. Itulah wewenang Sang
Bhujangga.” [BWST] [Lihat, Lampiran Teks: Pesan Mpu Kuturan]
Tujuan Mpu Kuturan memberikan pesan, agar para Bhujangga tidak lupa pada Asal,
atau silsilah dari mana mereka berasal. Secara implisit ada hubungan antara keturunan
yang masih hidup dengan leluhur yang sudah meninggal. Hubungan itu tersirat dalam
ucapan, bahwa bila keturunan sampai lupa maka mereka juga akan dilupakan oleh “Sang
Tri Wisesa” yang disebut sebagai asal dan sekaligus penjaga mereka di dunia. Jadi jawaban
atas pertanyaan untuk apa mempertahankan wangsa, menurut Mpu Kuturan, agar
keturunan tidak lupa pada asal. Dengan kata lain, asal itulah yang menjadi dan dijadikan
sebagai Tujuan.
Ada dua pesan saling berkaitan di dalam Brahma Purwana Tattwa. Yang pertama adalah
pesan agar Sang Raja menunjuk Brahmana yang benar untuk menyelesaikan upacara Panca
Walikrama pada saat jagat terkena Kali Sanghara. Beginilah bunyi pesan yang pertama:
35
Shastra Wangsa
“Pada saat jagat terkena Kali Sanghara, janganlah Sang Raja sampai memberikan
kepada orang lain menjadi pemimpin Puja Walikrama. Brahmana itulah mohonkan
untuk menyucikan jagat. Pahalanya, akan hilang kekotoran jagat, dan Sang Raja
mencapai umur panjang, dikasihi Dewa, segala Bhuta menjadi pudar. Seperti itulah
ajaran Bhatara Brahma yang tercantum di dalam Aji Brahma Purwana Tattwa. Dan
kehidupan dunia akan kembali seperti bayi, ketika baru tahap berselaput
Badhawangnala. Dan Sang Hyang Anantabhogapun kembali menjadi bayi.”
Seperti itulah inti pesannya. Siapakah Brahmana yang direkomendasikan oleh teks
Brahma Purwana Tattwa itu? Jawabannya ada pada pesan kedua. Pesan kedua berisi
petunjuk apa yang harus dilakukan oleh seorang penguasa dunia pada saat Kali Sanghara.
Pada pembicaraan tentang Kali Sanghara inilah disebutkan tentang siapa Brahmana yang
direkomendasikan itu. Seperti berikut ini bunyi pesan kedua:
“Guncanglah jagat. Kaum Sudra menyamai bhusana Sang Raja, para Walaka congkak
kepada para pendeta, menghina wangsa sang wiku, mencela mengatakan tidak ada yang
namanya Brahmana sedari dulu. Demikian pula apabila ada pendeta yang “Sisu Paling”,
banyaklah mala dari diri Pendeta itu yang tumbuh. Pendeta itu kelihatannya suci di luar,
di dalamnya bohong, serakah, dan irihati. Raja bermusuhan dengan sesama raja.
Namun, kalau ada Brahmana asal kemunculannya dari Teja, maka Brahmana itulah
mohon sebagai pemimpin upacara menyucikan Sanggar-nya jagat. Demikian pula yang
namanya berbagai macam penyakit, luar biasa beresikonya penyakit dunia, sehingga
akan rusak dunia ini. Sedangkan Sang Sadhaka dari segala jenis Weda tidak lagi
mumpuni, obat-obatan tidak mujarab, Dewa-Dewa akhirnya sirna, Sarwa Bhutha bumi
menyebar, menyusup tidak kelihatan di dalam diri manusia. Maka pantaslah Sang Raja
mem-“pingit”-kan diri, agar tidak terkena kekotoran dunia. Tidak diperkenankan
manusia Cuntaka datang menghadap kepada Sang Raja. Sehingga dengan demikian
Sang Raja terlindungi dari mala petaka, sehingga bisalah Sang Ratu melakukan
pemujaan pada Matahari pada saat Purnama Tilem. Begitulah anugerah Bhatara Brahma
kepada Sang Raja. Ini adalah Purwana Wangsa Tattwa dari ajaran Bhatara Dwijendra,
tentang tatakrama Wangsa Brahmana, patut dijadikan pedoman oleh orang yang
memerintah dunia.”[SPT][Lihat Lampiran Teks: wangsa brahmana].
36
Shastra Wangsa
Begitulah isi pesan kedua. Yang direkomendasikan adalah brahmana yang lahir dari teja,
atau sinar. Siapakah yang dimaksudkan dengan Brahmana yang lahir dari teja atau Sinar
itu? Kutipan pesan di atas tidak menjelaskan siapa brahmana teja itu. Maka penjelasan kita
cari pada sumber yang lain. Teks Shastra Purwana Tattwaberisi penjelasan tentang
kelahiran brahmana dengan cara berbeda-beda:
“Karena ada berbagai kelahiran Wangsa Brahmana itu, ada yang lahir dari badan
Bhatara, ada yang lahir dari sinar Bhatara Brahma, ada yang lahir dari Air, sama
keutaman wangsa kebrahmanaan, ada yang lahir dari batu, ada yang lahir dari buluh,
ada yang lahir dari yoga, ada yang lahir di dalam sinar Bhatara Brahma.” [SPT][Lihat
Lampiran Teks: kamijilaning wangsa brahmana].
“Ada Brahmana lahir dari Teja. Sebabnya manusia di dunia dimakan oleh Kala
Mayapati, ia Sang Brahmana yang keluar dari Teja diutus untuk membunuh Kala itu,
setelah Kala itu mati, kembali desa itu hidup. Pesan Bhatara Brahma, buatlah Shastra
sebagai Prasasti sebagai panji, maka akan didapatkan kebaikan di kemudian hari.”
[TKL] [Lihat Lampiran Teks: brahmana metu saking teja].
Menurut teks Tingkahing Kaparamartha Lima, brahmana yang lahir dari sinar adalah
brahmana yang mampu membunuh apa yang disebut sebagai Kala Mayapati.Kala
Mayapati adalah “Waktu” sebagai wujud kematian itu sendiri. Berkaitan dengan brahmana
yang lahir dari sinar ini, disebutkan bahwa “shastra” adalah sebagai panjinya. Jadi,
brahmana yang lahir dari sinar adalah brahmana yang menjadikan shastra sebagai
benderanya. Adakah contoh yang ditunjukkan oleh shastra tentang sosok brahmana yang
lahir dari Teja ini? Beginilah teksWidhi Shastra menunjukkannya:
“Tatakrama brahmana yang lahir dari sinar, bernama Ida Telaga. Ia tahu segala dewa.
Ia dipuji dan dijadikan sebagai penyucian oleh Bhatara Pashupati yang berkedudukan di
Rekagumi. Sampai nantinya apabila ada keturunannya menjadi tempat penyucian
seluruh jagat, sampai rajanya, maka sebagai pahalanya akan rahayulah jagat sampai
37
Shastra Wangsa
raja-rajanya. Ida Talaga itu adalah Brahmana Utama, putra Bhatara Brahma. Begitulah
wacana Bhatara Brahma. Apabila ada raja mengetahui tattwa ini, maka akan
dianugerahi oleh Bhatara Putranjaya yang ada di Besakih. Ida Telaga sampai
keturunannya nanti, patut dijadikan Shiwanya jagat, pahalanya akan rahayu jagat
beserta rajanya. Bhatara Putranjaya menjiwai setiap anugerah berupa kesiddhian
mantra. Demikian ucap bhatara yang tercakup dalam Widhishastra. Janganlah seorang
raja penguasa dunia, dan para pendeta Brahmana, menghina wangsa Ida Telaga yang
lahir dari sinar. Apabila menghina akan kena kutukan Bhatara Pashupati dan Bhatara
Putranjaya yang ada di Besakih. Tidak akan menjadi manusia kembali. Ini Widhi
Shastra.” [SPT] [Lihat, Lampiran: Ida Talaga].
Seperti itulah secara umum pesan yang terdapat di dalam Aji Brahma Purwana Tattwa
Kepada Para Raja. Kesimpulannya, pada jaman Kali Sanghara hendaklah seorang
penguasa dunia menjadikan brahmana yang lahir dari sinar sebagai pimpinan upacara
Panca Walikrama.
Mengapa teks Brahma Purwana Tattwa berpesan seperti itu? Alasan yang disebutkan di
dalam teks adalah pada jaman Kali Sanghara berbagai penyakit luar biasa beresikonya bagi
dunia.Sedangkan pendeta dari segala jenis Weda dikatakan tidak lagi mumpuni, obat-
obatan tidak mujarab, Dewa-Dewa akhirnya sirna. Segala bhutha bhumi menyebar,
menyusup tidak kelihatan di dalam diri setiap manusia.
Konon sebelum berangkat ke Bali, Mpu Gnijaya berpesan kepada keturunannya yang
terhimpun dalam Sapta Resi yang menetap di Jawa. Isi pesan tidak berbeda dengan pesan
seseorang Ayah kepada anak-anaknya yang akan ditinggalkan. Kita tidak bisa mengetahui
isi pesan sesungguhnya. Yang kita ketahui adalah pesan yang sudah disalin dari satu masa
ke masa yang lain. Perpindahan pesan dari satu jaman ke jaman lain tentulah beresiko pada
perubahan bentuk dan isi. Keadaan itu perlu disadari, sehingga kita bisa menyimaknya
dalam konteks yang luas. Begini inti pesan Mpu Gnijaya sebagaimana yang tercantum di
dalam sumbernya.
38
Shastra Wangsa
Selanjutnya, seperti berikut inilah isi pesan Mpu Gnijaya kepada keturunannya yang ada
di Bali menurut teks Kawitaning Pasek Gelgel:
“Wahai kau orang Bali, jangan kamu tidak percaya, karena aku adalah puteranya
Bhatara Ghana, muncul dari gunung Sumeru, aku bernama Hyang Gnijaya, tiba di Bali
Majapahit, membawa ajaran, yaitu tata tertib dan tatacara manusia di gunung Sumeru.
Bhatara di Mahameru menginginkan aku memberikan wejangan. Hai para bhujangga di
pulau Bali, ingatlah dengan tugas kewajiban sebagai pandita, pegang baik-baik atau
teguhkan jiwa dan hatimu semua, tentang ajaran kamoksan dan ajaran baik buruk,
intisari tentang shunya, sampai kepada ajaran dan pengetahuan tentang yasa, ajaran
39
Shastra Wangsa
kepemimpinan yang disebut astha brata semua, ajaran kerohanian sebagai seorang
pandita, janganlah lupa dengan sabdaku ini. Keturunan semua, kalau kau ingkar,
menjadilah seorang arya, menjadi tani, sudra sepenuhnya.Kemudian keturunanku, kamu
semua kalau ada hanya melihat saja kepadaku, tidak mengikuti ajaran atau ilmu
pengetahuan, itu bukanlah keturunanku. Kalau turunanku melanggar sabdaku, mudah-
mudahan tidak menentu jalan hidupnya, banyak rintangannya, ada begini ada begitu,
semua Wedanya menjadi hambar. Dan sebagai tingkah laku seorang pandita, tidak
boleh terikat oleh rajah tamah, dan tidak boleh dipengaruhi oleh panca indriya, tidak
boleh terpengaruh oleh harta benda, tidak boleh cemburu, iri hati serta selalu berbuat
marah. Itulah tingkah laku seorang yang terkenal di dunia, semua kata-katanya dituruti.
Kalau ada orang berbuat jahat kepadanya, dapat pahala kurang baik oleh keampuhan
dan kesaktianku Hyang Gnijaya.Demikian harus selalu diingat sabdaku.Mudah-
mudahan kamu orang Bali, kalau kamu melupakan kahyanganku, Hyang Widhi, tidak
melakukan persembahyangan sampai sepuluh tahun lamanya, mudah-mudahan kamu
menemui jalan nyasar, dan kamu tidak menjadi manusia sebagaimana mestinya. Kamu
Pasek Gelgel, Denpasar, Tangkas, Nongan, Tohjiwa, Prateka, dan Bandesa, Dangka,
Gaduh, Ngukuhin, Kubayan, Salahin, peringatanku yang ketiga kalinya, kamu Pasek
semua, di mana pun kamu berada, harus selalu ingat dengan amanatku dahulu, jangan
sampai kamu putus dalam hal kekeluargaan, kamu saling sembah adalah sama-sama
dari pihak laki-laki, di dalam hubungan kekeluargaan ini supaya merasa paling jauh
sepupu dua kali, demikianlah hendaknya.” [KNPG]
Demikianlah dua pesan Mpu Gnijaya kepada keturunannya baik yang ketika itu ada di
Jawa maupun yang dalam perjalanan waktu kemudianada di Bali. Kedua pesan tersebut
tidaklah berbeda intinya. Perbedaannya hanya pada tata redaksional. Sehingga muncul
dugaan bahwa sesungguhnya pesan itu satu, namun perjalanan waktu menyebabkan
terjadikan pengurangan dan penambahan sesuai dengan karakter jaman.
Selain adanya sangsi dan anugerah kepada keturunan yang melanggar dan keturunan
yang taat, pesan di atas menarik disimak karena pada periode Mpu Gnijaya sudah ada
gagasan tentang penurunan derajat wangsa. Hal tersebut nampak jelas pada ucapan “kalau
kau ingkar, menjadilah seorang arya, menjadi tani, sudra sepenuhnya”. Bukan hanya
40
Shastra Wangsa
penurunan derajat wangsa, bahkan tidak lagi diakui sebagai keturunan Mpu Gnijaya. Hal
itu nampak jelas pada ucapan: “Kemudian keturunanku, kamu semua kalau hanya melihat
saja kepadaku, tidak mengikuti ajaran atau ilmu pengetahuan, itu bukanlah keturunanku.”
Terlebih dahulu ada sebuah fragmen menarik. Setelah mengetahui apa yang diceritakan,
pahamilah apa yang dimaksudkan. Padanda Shakti Wawu Rawuh menuruni jurang
Malangit mencari sumber air. Karena yang dicarinya tidak ditemukan, maka terjadilah
seperti yang sering terjadi di dalam cerita. Ia menancapkan tongkat bukan di tanah, tapi di
atas batu cadas. Dua keajaiban pun terjadi. Pertama, muncrat air deras berbau harum.
Kedua, seorang perempuan muncul dari balik air muncrat itu. Ia bukan manusia tapi Dewi
Air. Keharuman air itu menembus alam Dewa. Wisnu pun turun. Dilihatnyalah Sang Dewi.
Walau hanya sekelebat, hati Wisnu terpesona. Asmaranya bergejolak. Bangkitlah
birahinya. Muncrat meleleh sperma di atas batu. Sang Dewi ke luar dari dalam gua setelah
Wisnu pergi. Dilihatnya sperma segar itu. Diambilnya. Ditelannya habis. Sang Dewi pun
hamil! Ketika Wisnu kembali ke tempat itu, dilihatnya Sang Dewi sedang bunting. Maka
terjadilah dialog tegur sapa. Tahulah Wisnu bahwa dirinya adalah sebab hamilnya Sang
Dewi. Sadarlah Sang Dewi bahwa Wisnu adalah pemilik sperma yang terlanjur ditelannya.
Setelah saling mengetahui dan diketahui, singkat cerita, Wisnu memboyong Sang
Dewibunting ke alam dewa. Selesai? Tidak! Karena cerita sesungguhnya baru dimulai
setelah lahir seorang bayi manusia dari kandungan Sang Dewi. Bayi manusia anak Dewa
Wisnu itulah yang menjadi generasi pertama dari Ksatrya Tamanbali. Ia adalah yang
pertama kali menerima pesan mempertahankan wangsa dari Bhatara Subali ayah asuhnya
di dunia, yang memberinya nama Sang Anom. Kepada Sang Anom inilah Bhatara Subali
berpesan. Seperti berikut inilah bunyi salah satu pesannya. Dengarkan apa yang dikatakan,
pahamilah apa yang dimaksudkan:
41
Shastra Wangsa
Seperti itulah kata-kata Bhatara Subali kepada puteranya, Sang Anom. Pertama,
janganlah keliru memahami wangsa. Kedua, hendaknya terus menjelaskan wangsa kepada
keturunan. Ketiga, mengokohkan kedudukan leluhur dengan berbagai cara. Keempat,
ganjaran baik didapatkan bila patuh. Kelima, kalau ada keturunan paham akan isi shastra
utama, pantas diberi gelar bhagawan. Keenam, kalau tidak patuh akan kena sangsi kutukan
sangat berat. Seperti itulah antara lain.
42
Shastra Wangsa
Apabila kita konsisten terhadap teks, maka kita akan menemukan bahwa pembebasan
leluhur itulah motif yang ada di balik pesan itu. Maksud pernyataan itu, adalah tugas
generasi di bawah untuk membebaskan generasi di atas dari neraka. Dengan cara lain,
pernyataan itu dapat dibahasakan seperti ini: “bebaskan aku dari neraka, maka akan
kutunjukkan jalan yang benar menuju tujuan (sehingga kamu tidak masuk neraka seperti
aku)”.
Sepintas lalu seperti tidak masuk akal. Bagaimana mungkin orang di neraka bisa
menunjukkan jalan yang benar menuju tujuan. Kalau direnung-renungkan, mengapa tidak?
Bukankah dari tempat yang gelap gulita orang bisa tahu di mana ada terang? Paling tidak,
dari dalam neraka orang bisa berpesan agar yang lain jangan pergi ke tempat sama.
Begitukah?
Yang jelas hingga saat ini belum pernah ada babad atau prasasti dan sejenisnya yang
mengatakan “jangan ikuti kesalahan leluhurmu”. Sebaliknya nyaris semua babad
mengatakan “lakukanlah ini, kalau tidak kamu akan saya begitukan, kalau patuh kamu
akan saya beginikan”.
43
Shastra Wangsa
Pada gilirannya Sang Anom pun kemudian meneruskan pesan itu kepada puteranya.
Bahkan pesan itu disampaikan ketika puteranya masih ada dalam kandungan ibunya.
Seperti ini katanya:
Sebelum lahir sudah dititipi pesan kewangsaan. Begitu lahir disambut dengan pesan
wangsa. Setelah besar pesan itu diulang kembali. Setelah dewasa diceritakan bahwa putera
Sang Anom itu mengunjungi ayahnya di tempatnya bertapa:
Demikianlah sebuah contoh kasus yang diambil dari buku Babad Ksatrya Tamanbali.
Apa yang dapat kita pahami dari suara-suara itu? Menjaga Wangsa adalah suara dari atas
ke bawah, dari leluhur kepada para keturunannya. Luhur memang berarti atas. Warih
berarti air kencing. Bukan hanya secara alamiah air kencing mengalir dari atas ke bawah,
44
Shastra Wangsa
tapi juga secara tekstual pesan menjaga wangsa itu mengalir seperti air tak putus-putus dari
satu generasi leluhur kepada generasi leluhur berikutnya. Dan ternyata bukan hanya itu.
Bahkan yang belum berstatus leluhur pun, yaitu yang masih hidup, ikut-ikutan
menyuarakan pesan menjaga wangsa itu.
Pesan Mpu sedah ini disampaikan kepada Wangbang Banyak Wide yang berubah
kewangsaannya dari brahmana menjadi ksatriya. Wangbang Banyak Wide adalah anak dari
Manik Angkeran yang tinggal di Bali, atau cucu dari Dang Hyang Siddhimantra yang
tinggal di Daha. Seperti dituturkan dalam babadnya, Wangbang Banyak Wide pergi ke
Jawa untuk bertemu dengan kakyang-nya, seorang mahapendeta yang sangat sakti. Di
Daha ia bertemu dengan Mpu Sedah yang kemudian memberitahunya bahwa kakeknya
telah moksa. Selanjutnya Wangbang Banyak Wide menjadi anak angkat Mpu Sedah. Di
Daha Wangbang Banyak Wide bertemu dengan I Gusti Ayu Pinatih, putri tunggal Arya
Buleteng yang menjadi patih di Daha. Arya Buleteng memberi syarat apabila Wangbang
Wide ingin menikahi puterinya: terlebih dahulu ia mesti menjadi anak angkatnya. Kalau
tidak maka tidak akan ada yang melanjutkan keturunannya, mengingat putrinya semata
wayang. Ikatan cinta ternyata lebih kuat daripada ikatan wangsa. Wangbang Wide bersedia
menjadi anak angkat Arya Buleteng. Itu berarti ia siap mengubah kewangsaan dari
keturunan brahmana menjadi seorang ksatriya, namanya Arya Wangbang Pinatih. Kepada
Arya Wangbang Pinatih yang baru inilah Mpu Sedah memberikan pesan kewangsaan.
45
Shastra Wangsa
Sebagaimana umumnya bhisama, yang satu ini pun berisi anugerah bagi yang menjalankan
dan sangsi kutukan bagi yang mengingkari.
“Apabila kelak ada orang nista-madhya-utama menyatakan diri sebagai turunan Arya
Wangbang Pinatih dan ingin ikut menyembah pusaka Ki Brahmana dan
Shiwopakarananya, janganlah Anaknda terburu-buru menerimanya. Perhatikan terlebih
dahulu, jikalau tidak mau anapak sahupajanjian Sang Hyang Kawitan”[BMA]
Ki Bandesa Mas menurut silsilahnya adalah putra dari I Dewa Kramas dari
perkawinannya dengan putri Ki Bandesa Taro. I Dewa Kramas adalah anak dari Sri Aji
Dalem Keramas. Sedangkan Sri Aji Dalem Kramas adalah keturunan dari Sri Dalem Wira
Kesari di Kadiri Jawa Timur. Dari silsilah ini, Ki Bandesa Mas adalah turunan ksatrya.
Kedudukannya menjadi bandesa ada kaitannya dengan sejarah pemerintahan raja Dalem di
Gelgel.
Ki Bandesa Mas bersaudara dengan Ki Bandesa Gading Wani yang menetap di desa
Wani Tegeh, Jemberana. Ki Bandesa Mas memiliki seorang adik perempuan bernama Ni
Luh Ayu Rukmi yang dikawini oleh Ki Pasek Pasar Badung. Dari perkawinan itu lahirlah
Ki Bandesa Manikan dan Ki Pasek Manik Mas.
Ki Bandesa Mas memiliki hubungan sangat dekat dengan Dang Hyang Nirartha.
Kedekatan hubungan mereka dapat dijelaskan seperti berikut ini. Pertama, Ki Bandesa Mas
adalah orang yang mengundang Dang Hyang Nirartha ke desa Mas. Kedua, kakak Ki
Bandesa Mas yang bernama Ki Bandesa Gading Wani adalah orang pertama yang didiksa
oleh Dang Hyang Nirartha di Bali. Ketiga, Dang Hyang Nirartha adalah guru nabhe yang
telah menjadikan Ki Bandesa Mas seorang pendeta. Keempat, Dang Hyang Nirartha adalah
menantu, karena menerima putrinya yang bernama I Gusti Ayu Kancana sebagai istri.
Kelima, Ki Bandesa Mas adalah orang yang memimpin pembangunan Pura Mas Pule dan
Pura Bukcabe di desa Mas. Seperti itulah latar belakang Ki Bandesa Mas. Sebenarnya
hubungan antara mereka berdua lebih dalam lagi. Latar belakang tersebut penting diketahui
untuk bisa memahami secara proporsional pesan-pesan Ki Bandesa Mas kepada
46
Shastra Wangsa
“Ini adalah anugerah berupa pawisik, berisi pesan beliau Pangeran Bandesa Mas kepada
seluruh keturunannya, agar sampai kapan pun tidak lupa pada asal-usul titisan dari Sri
Dalem Keramas. Lahir di bumi Keramas menghaturkan bakti di Pura Padharman di
Besakih, juga di Pamerajan Agung terdahulu di bumi Keramas, juga di Pura Taman
Pule, sampai di Pura Parhyangan Bukcabe. Apabila kalian lupa, semoga kalian tidak
menemukan kebahagiaan, banyak bekerja tapi kekurangan makanan. Apabila kalian
bakti pada kawitan semoga kalian semua menemukan kebahagiaan, disegani di dalam
masyarakat, banyak keturunan, panjang umur, sentosa berkecukupan, tidak kekurangan
makanan dan sarana lainnya, terbukti dalam berkata-kata, menemukan kewibawaan
sampai kelak di kemudian hari. Demikianlah bhisama yang sudah tercantum di dalam
prasasti yang diwarisi oleh keturunan Pangeran Bandesa Mas, yang tertancap dengan
kokoh di kerajaan Bali. Walaupun menjadi kepala desa, maupun berkedudukan sebagai
jaksa di Dalem, menjadi pemangku di parhyangan, janganlah sampai lupa pada agama,
dan kepada leluhur. Ingat-ingatlah dengan seksama!” [PDK]
Demikianlah antara lain pesan Ki Bandesa Mas kepada seluruh keturunannya. Pesan itu
selain tercantum di dalam Pamancangan Dalem Keramas [PDK] juga sebagian disebutkan
di dalam Dwijendra Tattwa [DT].Seperti berikut inilah pesan itu disebutkan di dalam teks
Dwijendratattwa:
“Kalau ada keturunanku Ki Bandesa Mas yang tidak menuruti apa yang tersurat dalam
prasasti ini, tidak ingat menyelenggarakan Pura Pule dan di Bhukcabe, semoga
seketurunanku Bandesa Mas tidak menemui kerahayuan, kurang kesenangannya,
pendek umur, salah tingkah, bingung, bertengkar dengan saudara. Ingatlah semua
pesanku ini. Jangan sekali-sekali melupakannya”. Demikian pesan Pangeran Mas
kepada seketurunan sampai kelak. [DT]
47
Shastra Wangsa
Mpu Saguna bersaudara dengan Mpu Gandring. Keduanya sama-sama tinggal di Jawa.
Mereka berdua adalah anak dari Brahma Wisesa. Selanjutnya Mpu Saguna mempunyai
anak bernama Mpu Kapandeyan. Kemudian Mpu Kapandeyan memiliki anak bernama
Lurah Kapandeyan. Dari Lurah Kapandeyan inilah asal mula warga Pande di Bali
[SPSS].Jadi Mpu Saguna adalah leluhur para Pande di Bali. Menurut sumbernya Mpu
Saguna meninggalkan beberapa pesan kepada keturunannya. Seperti berikut inilah bunyi
salah satu pesannya:
“Seperti itu hendaknya diingat oleh dirimu, jangan sampai lupa, ketahuilah seluruh
sanak keluargamu. Kalian semua jangan sampai lupa kepada jati diri kalian ketika
masih ada di Jambudwipa, kemudian turun ke Jambudwipa, bahwa tidak lain adalah
Mpu Brahma Wisesa asal-usul diri Pande yang ada di pulau Bali. Kalian semua
sekarang bersanak-saudara dengan semua Pande, jangan dikatakan sampai sepupu jauh,
sejauh-jauhnya sepupu dekat, tidak ada bawah tidak ada atas, karena tunggal asalnya
dahulu, tidak ubahnya seperti cabang pohon kesejatian diri kalian, ada cabang yang
berbuah dan ada cabang yang tidak berbuah. Seperti itulah diri kalian bersanak-saudara,
tidak boleh sampai “menjual kerabat”, jangan berperilaku menyimpang, janganlah
bercampur dengan orang yang berperilaku jahat.” [PBP]
Pesan tersebut mengajak para keturunan agar mengingat jatidiri mereka, baik ketika
masih ada di Jawa maupun ketika masih ada di Bali. Intinya, mereka semua adalah
keturunan dari seorang Mpu bernama Brahma Wisesa. Ingat kepada asal itulah maksudnya.
Ingat kepada asal artinya mengidentifikasikan diri dengan menjadikan Mpu Brahma
Wisesa sebagai ideal. Oleh karena itu dipesankan agar jangan berperilaku jahat. Sampai
48
Shastra Wangsa
tahap ini, pesan Mpu Saguna masih mengikuti pola umum. Tapi tidak demikian halnya
dengan pesan lainnya, yang dikutip di bawah ini:
“Apabila kalian mengupacarai mayat, jangan kalian sampai meminta tirtha pada
brahmana pandita, aku inilah yang akan memberikan anugerah kepada kalian nantinya,
agar kalian tidak menemukan neraka. Begitu pula kalau kalian melakukan upacara baik
suka maupun duka, janganlah hendaknya menurunkan tirtha brahmana. Dahulu leluhur
kalian ini melaksanakan upacara diksa-widhi, langsung memohon kepada Ida Bhatara.
Ingatlah hal itu jangan sampai lupa. Beritahukanlah kepada seluruh sanak-saudaramu.
Kalian semua jangan lupa pada ajaran Dharma Kapandeyan. Jangan kalian lupa pada
jatidiri.” [PBP]
Pesan yang dikutip di atas berbeda dengan pesan pola umum babad. Pesan tersebut di
atas berupa larangan yang tegas. Keturunan Pande tidak dibenarkan memohon tirtha pada
brahmana baik untuk keperluan upacara suka maupun duka. Alasannya, ada dua. Pertama,
Mpu Sagunalah yang akan langsung memberikan anugerah kepada mereka. Kedua, karena
leluhur Pande pada jaman dahulu melakukan diksa widhi. Maksudnya, mereka berguru
langsung kepada Sang Hyang Widhi atau Ida Bhatara. Atau, tidak memiliki guru berwujud
manusia.
Mengingat Mpu Saguna tinggal di Jawa dan hidup pada masa yang jauh silam,
kemungkinan pesan di atas adalah produk Bali yang memakai nama Mpu Saguna sebagai
legitimasinya. Terlebih lagi tidak didapatkan keterangan bahwa Mpu Saguna pernah
tinggal di Bali.
Sebuah lontar Babad Bandesa tersimpan di Fakultas Sastra Unud. Lontar itu dimulai
dengan pernyataan yang tegas: Apabila I Bandesa tidak mengetahui asal-usul, ini adalah
asal-usulmu, inilah yang menurunkan dirimu [Yaning I Bandesa tan uninga ring kawitan,
iki kawitanta, ne nyantanayang kita].
49
Shastra Wangsa
Siapakah I Bandesa itu? I Bandesa adalah anak dari I Pasek Gelgel, cucu dari I Langon,
kumpi dari Ki Semar, dan seterusnya sampai pada Mpu Witadharma. Begitulah menurut
silsilahnya. Namun silsilah hanyalah menjelaskan dari mana seseorang berasal secara
genealogis. Silsilah tidak cukup untuk menjelaskan kualitas diri [guna] seseorang. Karena
kualitas diri seseorang akan nampak dari apa yang menjadi pilihannya dan apa yang
kemudian dilakukannya. Barangkali untuk menjelaskan aspek kualitas itulah, maka penulis
Babad Bandesa yang tidak diketahui siapa orangnya, berpesan kepada I Bandesa
seketurunan. Penulis Babad Bandesa, yang membahasakan dirinya dengan kata ingsun,
berpesan seperti berikut ini:
“Seperti itulah yang tercantum di dalam prasasti. Benar apa yang dikatakan Shastra,
yang wajib disungsung oleh seketurunanku, yang Pasek yang Bandesa. Jangan sampai
merosot kewangsaan, jangan merendahkan diri kepada sesama manusia, karena berasal
dari pandita brahmana, dan kalian semua adalah kerabatku. Ingatlah pesanku kepada
kalian, jangan lupa dengan kawitan, aku inilah kawitanmu, aku ini wangsa brahmana,
seorang pandita jati, sungguh seperti itu yang menurunkan I Pasek Bandesa, Bila tidak
mengindahkan pesanku ini, kalian bukanlah Pasek, kalian bukanlah Bandesa, bukan
keturunanku, bukan kelahiran Majapahit. Demikian pesanku kepada seketurunanku,
keturunan I Pasek Gelgel, seketurunan Bandesa, menemukan bahagia di tempat masing-
masing, tidak kekurangan makanan sepanjang hidup, panjang umur, banyak pasukan,
melimpah harta, kaya, sehat. Demikianlah peringatanku kepada kalian semuanya.[BB]
Demikianlah beberapa contoh pesan leluhur di dalam berbagai sumber tertulis yang
dengan jelas bertujuan mempertahankan wangsa. Uraian ini tentu masih bisa diperluas
karena gagasan mempertahankan wangsa selain bersifat sangat umum di dalam babad, juga
menjadi gagasan utama hampir setiap prasasti, pamancangah, piagam, palalintih, dan
bahkan dalam cerita-cerita oral yang berkembang di masyarakat.
50
Shastra Wangsa
Mempertahankan wangsa adalah suara dari atas ke bawah. Atau, suara dari leluhur
kepada keturunannya. Di tingkat keturunan di bawah, berkembang pandangan bahwa
dengan menjalankan pesan leluhur berarti menjadi keturunan yang baik. Demikian pula,
menyimpang dari pesan leluhur, berarti gagal menjadi keturunan yang baik. Pandangan
seperti ini mengakar sangat. Sehingga sampai batas ini, terjadi komunikasi yang sangat
efektif antara leluhur di atas dengan keturunan di bawah.
Menjadi keturunan yang baik tidaklah sama artinya dengan menjadi keturunan yang
benar. Tidak dijelaskan bagaimana konsep keturunan yang benar. Sumber tertulis yang ada
menekankan pada keturunan yang baik. Keturunan yang baik mendapatkan anugerah.
Keturunan yang tidak baik, yaitu yang tidak melaksanakan pesan leluhur, mendapatkan
sangsi yang tidak main-main, yaitu kutukan.
Sepintas lalu gagasan mempertahankan wangsa nampak bertolak belakang dengan
gagasan melepaskan wangsa yang menjadi topik pada Bab III. Sesungguhnya tidaklah
demikian. Mempertahankan atau pun melepaskan adalah dua sisi berbeda dari tattwa yang
sejatinya sama. Mempertahankan wangsa adalah “gerakan” dari langit ke bumi. Sedangkan
melepaskan wangsa adalah gerakan dari bumi ke langit. Yang pertama adalah proses
penciptaan. Yang kedua adalah proses pelepasan atau peleburan. Bisa pula dibayangkan
seperti perjalanan Atma. Ketika memasuki tubuh, Atma mengalami proses ikatan yang
menguatkan atau mengokohkan keberadaan Atma di dalam Tubuh. Ketika akan lepas dari
tubuh, Atma mengalami proses pelepasan satu demi satu ikatannya di dalam tubuh. Begitu
pula halnya dengan wangsa. Wangsa ada pada level sarwatattwa di bumi. Untuk mencapai
tujuan spiritual, ikatan wangsa tersebut satu demi satu dilepaskan.
Jadi dengan demikian, mempertahankan wangsa adalah gerakan evolusi dari atas ke
bawah. Sedangkan melepaskan wangsa adalah pendakian spiritual dari bawah ke atas. @
51
Shastra Wangsa
BAB V
KEPUTUSAN SHASTRA-WANGSA
DI MASA LALU
Yang dimaksud keputusan shastra dalam Bab V ini adalah keputusan yang didasarkan
atas shastra. Tidak semua keputusan yang diambil di masa lalu, baik oleh pemimpin politik
maupun pemimpin agama adalah keputusan besar. Ketika sebuah keputusan diambil,
barangkali orang tidak mengetahui apakah itu sebuah keputusan besar atau keputusan
kecil. Karena besar kecilnya keputusan memang tidak bisa ditentukan pada saat ketika
keputusan dibuat. Lama kemudian barulah orang tahu apakah sebuah keputusan itu besar
atau kecil, tergantung sejauh mana keputusan itu membawa perubahan pada jaman dan
generasi penerusnya.
Di masa lalu banyak keputusan politis dan keputusan agama telah dibuat oleh para
pemimpin. Untuk mengetahui keputusan-keputusan apa yang yang menyebabkan
terjadinya perubahan pada tatanan hidup orang Bali, dalam Bab V ini akan ditampilkan
beberapa di antaranya. Tujuan Bab V ini adalah memberikan gambaran lebih lengkap
tentang dunia wangsa, setelah pada dua Bab sebelumnya dibicarakan gagasan melepaskan
dan mempertahankan wangsa.
Bab V ini menggaris-bawahi bahwa keputusan politik di masa lalu besar pengaruhnya
pada dunia wangsa. Ada beberapa keputusan politik yang akan dibicarakan secara singkat,
antara lain: Keputusan Raja Gajah Waktra, Keputusan Sri Kreshna Kepakisan Tentang
Pasek, Pemisahan Kewenangan Brahmana Shiwa, Keputusan Waturenggong Pada Anak-
Ksatrya-Wesya, Keputusan Waturenggong Tentang Bandesa Manik Mas, dan Keputusan
Widdhi Shastra.
Raja Gajah Waktra mengadakan rapat besar di Gelgel pada hari Senin, Umanis,
Sungsang, tahun 1337M. Dalam rapat yang dihadiri segenap patih, mantri, dan pejabat
52
Shastra Wangsa
kerajaan lainnya, diambil beberapa keputusan penting. Butir-butir keputusan itu dicatat
dalam Rajapurana dan penggalan-penggalannya tersebar dalam beberapa babad.
a. Ki Pasek Tohjiwa dengan anugerah gelar Kyayi I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa
sebagai pemacekan jagat (amancabhumi), berkedudukan di Kejiwa, menguasai
daerah sebelah barat Bukit Penyu dan sebelah timur desa Bajing.
b. Ki Pasek Gelgel dengan anugerah gelar Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel
sebagai pemacekan jagat, berkedudukan di Gelgel, menguasai wilayah sebelah
barat Batulahak sampai dengan desa Takmung dan Nusa Penida.
c. Kyayi Bandesa Manik Mas sebagai pemacekan jagat berkedudukan di desa Mas,
menguasai desa Mas dan sekitarnya.
d. I Gusti Pasek Prateka dan Ki Pasek Kubakal sebagai pemacekan jagat,
berkedudukan di Kubakal dan Bangli serta sekitarnya.
e. Ki Pasek Dangka sebagai pemacekan jagat berkedudukan di Banjarangkan, di
Selisihan, di Taro, menguasai daerah-derah tersebut dan sekitarnya,
f. I Gusti Agung Padang Subadra ditugaskan sebagai pengempon Pura Silayukti.
g. Wira Sang Kulputih, Mangku Sang Kulputih, dan Dukuh Sorga sebagai
penanggung jawab dan penyelenggara upacara di Pura Besakih.
h. I Gusti Pasek Panataran dan Kyayi Agung Smaranatha sebagai penanggung-jawab
dan penyelenggaran upacacara di Pura Gelgel.
i. Kiyai Agung Kubayan bertugas sebagai kubayan di Pura Batukaru dan Pura
Panulisan, Songan.
Demikianlah antara lain keputusan Raja Gajah Waktra [RAK], alias Sri Astasura
Ratnabumi Banten, alias Gajah Wahana yang ketika rapat itu didampingi oleh Mahapatih
Pasunggrigis dan Mantri Patih Wulung. Inti keputusan itu adalah menata kehidupan sosial
politik dan agama di Bali. Keturunan Sapta Resi diberi fungsi sesuai dengan kualitas
masing-masing dan disebarkan di berbagai wilayah. Fungsi mereka adalah sebagai
amancabhumi, atau sebagai pasek atau tiang pancang jagat yang tidak lain adalah
pemimpin di masing-masing wilayah, baik pemimpin desa maupun pemimpin upacara di
pura-pura.
53
Shastra Wangsa
Sesudah beberapa lama keputusan itu dijalankan, dan seperti dicatat oleh babad, Raja
Gajah Waktra dikalahkan oleh pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada. Kekuasaan
pun berganti sampai akhirnya Majapahit menempatkan Sri Krehsna Kapakisan menjadi
Raja Bali.
Konon Patih Gajah Mada pernah mengirim surat kepada Sri Kreshna Kapakisan yang
telah menjadi seorang raja di Bali. Isi surat tersebut menyarankan Sang Raja agar jangan
sampai tidak melibatkan kepemimpinan keluargaKyayi Patih Wulung di dalam
pemerintahannya. Sri Kreshna Kapakisan pun kemudian membuat beberapa keputusan
yang berlaku turun temurun.
54
Shastra Wangsa
Entah sudah berapa lamanya Sri Maharaja Kreshna Kapakisan sebagai pucuk tertinggi
pulau Bali, kemudian ia memerintahkan mengundang Mpu Dwijaksara dan segenap
keturunannya, supaya bersama-sama menghadap ke puri Samprangan. Tidak diceritakan
perjalanan orang yang menjadi utusan, ceritakan sudah datang mereka yang diundang
itu. Semuanya menghadap Dalem.Pada saat itulah mereka diberi wejangan oleh Sri
Maharaja Dalem Kreshna Kapakisan: “Kalian keturunan dari Mpu Sanak Pitu,
dengarkanlah kata-kataku. Sekarang baru sampai di mana oleh dirimu menjalankan
kewajiban dari para leluhurmu dahulu, sesuai dengan pesan patih Gajah Mada, sebagai
penyelamat pulau Bali adalah Bale Agung di desa-desa, terutamanya di Besakih,
cobalah beritahukan kepada diriku, apa yang sudah berhasil dilaksanakan oleh dirimu.”
Dijawablah oleh anaknya Mpu Dwijaksara beserta segenap kerabatnya. “Baiklah
Paduka yang menjadi payungnya jagat, maafkanlah diri kami Pangeran. Belum ada
yang dapat kami selesaikan tentang masalah Bale Agung tersebut. Sebabnya belum
selesai, karena rakyat Bali rupanya belum sepakat dengan diri kami, sebab kami
dianggap oleh mereka belum dapat menobatkan seorang raja Bali. Itulah sebabnya
belum ada yang kami selesaikan, hanya sebatas babaturan dan panganggih yang dapat
kami selesaikan”. Oleh karena itu, kembali Dalem berkata. “Apabila demikian seperti
perkataan dirimu tadi, sekarang diriku ini sudah selesai dinobatkan sebagai raja
ditugaskan sebagai pucuk Bali oleh Rakryan Mangku Negara yang bernama Gajah
Mada atas nama Bhatara yang ada di Majapahit dengan kewenangan menentukan mana
boleh dan mana tidak boleh, dan lain sebagainya. Karena dirimu dahulu diperintahkan
untuk mempersatukan rakyat Bali, mengapa sekarang dirimu membantah diri sendiri
55
Shastra Wangsa
dengan alasan belum adanya raja yang sah, itu dijadikan alasan tidak bisa
mempersatukan Bali. Karena dirimu telah meninggalkan tugas kewajiban dirimu, hal
itu tentu ada akibatnya, sekarang Patih Wulung adalah namamu yang kuberikan.
Bukanlah diriku ini menurunkan statusmu. Dirimulah yang memerosotkan diri sendiri.
Dahulu dirimu adalah keturunan brahmana, sekarang wesya jadinya. Tujuanmu dahulu
didatangkan dari Majapahit ke Bali Aga oleh patih Gajah Mada tidak lain dirimu
memimpin di desa-desa. Hal itu tidak boleh tidak ditaati. Dan sekarang Ki Bandesa
adalah nama sebutanmu dan sanak saudaramu, ditugaskan memimpin pada Sad
Kahyangan desa-desa Bale Agung. Oleh karena dirimu tidak setia dengan tugas-tugas
yang diberikan dahulu, sebagaimana diingatkan oleh patih Gajah Mada, yaitu menjadi
sebagai pemimpin di desa-desa Bale Agung. Dahulu dirimu menyanggupi, sekarang
mengapa tidak dilaksanakan. Karena itu tidak boleh menolak lagi. Dirimu harus
kembali menjadi pemimpin di desa-desa Bale Agung, bernama Pasek. Sekarang ini
Pasek adalah namamu, karena dirimu kutugaskan menjadi pemimpin di setiap desa,
sebagaimana jaman dahulu yang termaktub di dalam purana, prasasti, shastra. Itulah
yang mesti dijaga oleh seluruh kerabat dirimu. Sekaranglah kelahiran dirimu sebagai
Pasek, Bandesa. Menjadi bendesa di desa-desa Bale Agung, demikian hingga pada anak
cucumu seterusnya sampai jauh di masa depan.” Seperti itulah perkataan Dalem.
Adapun Patih Wulung dan segenap keluarganya, dengan menghaturkan sembah tidak
berani durhaka lagi, mengikuti segala perkataan Sang Maharaja. [RAK][Lihat
Lampiran: Keputusan Sri Kreshna Kepakisan,1]
Semenjak itu maka seketurunan Sapta Resi dari Jawa yang berkembang di Bali secara
resmi menjadi Pasek dan Bandesa yang bertugas sebagai pemimpin di desa-desa.
Bersamaan dengan keputusan itu, maka tidak lagi ada sebutan pangeran, i gusti, kyayi,
arya, dan sebagainya, tapi semuanya bergelar Ki Pasek dan Ki Bandesa.Keputusan Dalem
tersebut di atas juga dicatat dalam lontar Tattwa Catur Bumi. Bagian teks tentang
keputusan Dalem tersebut akan dikutip di bawah ini agar dapat diketahui isi dan
konteksnya:
Ada lagi cerita, diceritakan Ida Dalem sedang menerima rakyat Bali yang
menghadapnya. Pada kesempatan itu Ida Dalem berkata kepada I Bandesa - Pasek:
56
Shastra Wangsa
“Wahai Prabali sekalian, kalian adalah watek Prabali sekarang sudah lama kuajak
bersama menjaga jagat di sini. Sekarang kalian para Prabali, kuperintahkan di sini
menjadi pemuka jagat Bali seluruhnya, bersama dengan seluruh keluarga Prabali.
Kalian bertujuh sekarang kuharapkan menjadi satu. Tunggal seperti sebelumnya. Saling
ambil, saling sembah, agar diri kalian sama, watek Prabali namanya, turun ke Bali
mengiringi diriku, kalian adalah bersaudara. Jadikanlah diri kalian, sejauh-jauh
tempatnya, sampai nanti ke anak cucu, supaya saling mengakui sebagai sepupu dekat
sepupu jauh. Ada pula lunturannya, termasuk dari brahmana Shiwa Bodha dan Satriya,
yang luntur kewangsaannya menjadi Bandesa dan Pasek, juga watek Prabali namanya.
Mereka boleh diajak sebagai kerabat, saling jungjung, tunggal seperti sebelumnya.”
Seperti itulah perkataan Bhatara Dalem. kemudian menjawablah I Bandesa. “Hamba
taat pada kehendak Bhatara Dalem. Sekarang Hamba bertanya, karena Hamba ini watek
Prabali namanya, sampai nanti, pada saat Hamba diupacarai, apa saja sebagai pegangan
Hamba?” Kemudian Ida Dalem menjawab: “Baiklah aku akan menganugerahimu.
Kalian boleh memakai wadah madasar bade, mekapas wewarnan, menek karang boma
wenang, makampid wenang, menek uncal wenang, salwiring mas-masan wenang,
matatakan baha wenang, mangkana mangaskara kajang sinom wenang, madamar
kurung wenang, mapemalungan wenang!” seperti itu anugerah Ida Dalem. kembali I
bandesa berkata: “Baiklah Ratu Bhatara Dalem, Hamba menyampaikan dengan para
saksi di hadapan Bhatara Dalem, supaya tetap mengayomi kami, termasuk kewangsaan
kami, apabila Bhatara Dalem ingkar, berubah pikiran mengayomi kami, semoga Bhatara
Dalem menjadi celaka. Sebaliknya apabila kami yang ingkar berbhakti kepada paduka
Dalem, semogalah kami semua menerima hukuman oleh Bhatara Dalem sampai ke anak
cucu keturunan kami.” Seperti itu isi perkataan I Bandesa Pasek semuanya. Kembali Ida
Dalem menjawab: “Baiklah, apabila seperti itu janjimu kepada diriku, aku akan tetap
mengayomi kalian, sekarang buatlah sebuah piagam, yaitu prasasti kawitan watek
Prabali yang berjulukan Bandesa, Pasek, Gaduh, Ngukuhin, Kebayan, Tangkas, Salain,
inilah yang ditatah di dalam tambagawasa, agar tercantum satu, sebagai anugerah
Bhatara Dalem yang menjadi raja di Gelgel!”Setelah itu dibuatkanlah prasasti kawitan I
Prabali bertujuh menjadi satu, tersebutkan pada hari Kamis, Kliwon, Merakih, bulan ke-
5, Rah 10, tenggek 8, hari pananggal ke-13, pada hari itulah saatnya Ida Dalem selesai
57
Shastra Wangsa
berbicara menganugrahkan Bandesa Pasek membuat piagam, agar satu piagam, bisa
dipergunakan oleh ketujuh bersaudara, sebutannya boleh saling mengakui, Bandesa
mengaku Pasek boleh, Pasek mengaku Bandesa boleh. Sebutan ketujuhnya boleh saling
mengakui, seluruh kalumpuran dari Pasek boleh mengakui piagam kawitan ini. Karena
watek Prabali itu sama, asal-usulnya brahmana. Sasaran brahmana menjadiDukuh.
Sasaran Arya menjadi bandesa turunan Penatih. Sasaran arya tan mundur menjadi
Prabali Wonan. Sasaran Arya Tan Kober menjadi Prabali Cemeng. Sasaran Arya
Kuthawaringin menjadi Prabali Tangkas. Sasaran Arya Tan Kawur menjadi Prabali
Pagatepan. Ketattwan Prabali Majapahit mengikuti Ida Dalem pergi ke Bali. Karena
sudah selesai Dalem memberikan anugerah kepada Bandesa Pasek, kemudian para
Prabali semua itu menjadi pemuka di Bali. Sudah bagus oleh Bandesa Pasek
menjalankan tata krama di Bali, termasuk membuat sad kahyangan, sungguh tenteram
Bali itu. [TCB][Lihat Lampiran Teks: Keputusan Sri Kreshna Kepakisan, 2]
Setelah keempat putera Dang Hyang Nirartha didiksa, diadakanlah acara pembagian
warisan Dang Hyang Nirartha, bertempat di halaman depan kediaman Dang Hyang
Nirartha di desa Mas. Acara ini tidak ubahnya seperti sebuah upacara yang sakral. Acara
ini dipimpin oleh Raja Waturenggong, dibantu oleh patih Arya Kenceng, Dauh Baleagung,
Ki Pande Gelang, serta seluruh rakyat. Terlepas dari jenis harta peninggalan yang dibagi,
yang penting diperhatikan adalah bagaimana pembagian itu dilakukan. Pertama, untuk
keenam orang puteranya, seluruh harta warisan itu dibagi menjadi lima bagian. Masing-
masing bagian di tempatkan di masing-masing arah mata angin, yaitu di Timur, Selatan,
Barat, Utara, dan di Tengah. Kedua, urutan mengambil bagian warisan dimulai dari Ida
Kulwan (Barat), selanjutnya Ida Lor (Utara), Ida Wetan (Timur), Ida Kidul (Selatan). [DT]
Penamaan putera Dang Hyang Nirartha dimulai dari Kulwan yang berarti Barat.
Kemudian Lor yang berarti Utara. Selanjutnya Wetan yang berarti Timur. Terus Kidul
yang berarti Selatan.
“Inilah wujud halus dari Panca Dewa Resi di dalam bhuwana sharira. Ong Ung Mang
Ang Yang. Ini boleh resapkan di dalam bhuwana shariramu, yaitu: Ong adalah Sang
Hyang Mahadewa, Ung adalah Sang Hyang Wisnu, Mang adalah Sang Hyang Iswara,
Ang adalah Sang Hyang Brahma, Yang adalah Sang Hyang Shiwa” [Nyan
panuksmaning panca dewa resi ring bhuwana sharira, Ong Ung Mang Ang Yang, ne
wenang resepen ring bhuwana shariranta, lwirnya: Ong Sang Hyang Mahadewa, Ung
Sang Hyang Wisnu, Mang Sang Hyang Iswara, Ang Sang Hyang Brahma, Yang Sang
Hyang Shiwa][SSS]
Konsep Panca Dewa Resi apabila dipasangkan di Bhuwana Agung, maka akan nampak
seperti sebuah lingkaran besar yang ditarik mulai dari titik Barat [Mahadewa], terus ke
Utara [Wisnu], terus ke Timur [Iswara], terus ke Selatan [Brahma], dan masuk ke tengah
[Shiwa]. Itulah arah pergerakan dari Panca Dewa Resi berwujud lima bija-mantra Ong Ung
Mang Ang Yang.
Konsep Panca Dewa Residiterapkan dalam penamaan putra-putra Dang Hyang Nirartha.
Putarannya mulai dari barat, dengan menamai putra dari istri pertama Kulwan atau Kulon
yang berarti Barat. Dari Barat bergerak ke Utara, maka putra dari istri kedua dinamakan
Lor dan Ler yang sama-sama berarti Utara, Dari utara berputar ke timur, maka putra dari
59
Shastra Wangsa
istri ketiga dinamakan Wetan yang berarti timur. Dari Timur bergerak ke Selatan, maka
putra dari istri keempat dinamakan Kidul, yang berarti Selatan. Siapa yang ada di tengah?
Dang Hyang Nirartha sendirilah yang ada di tengah-tengah sebagai “yang tidak kelihatan.”
Berikut ini Daftar Sisya Para Mpu Keturunan Dang Hyang Nirartha
Mpu Kulwan Arya Buringkit, Arya Kepakisan, Arya Gajahpara, Arya Tambahan, DT
Arya Tegehkori
Mpu Lor Arya Cacaha, Arya Pagatepan, Arya Jlantik, Arya Batanjeruk, DT
Abyantubuh, Gadhuh, Arya Belog
Mpu Wetan Pangeran Dauh, Arya Batulepang, Keluarga Pasung Grigis, Arya DT
Pinatih, Dangka Ngukuhin, Brangsingha, Patandakan, Timbah,
Tembuku
Mpu Kidul Arya Batuparasm Arya Pacung, Arya Caraga, Bandesa Mas, Pasek
Kamasan, keluarga Arya Tegeh Kori, keluarga Pangeran Dauh
Ida Sangsi Arya Nengah Pande, Arya Tonja, keluarga Arya Belog DT
Ida Bindu Arya Nengah Pande, Arya Tonja, keluarga Arya Belog DT
60
Shastra Wangsa
Keputusan Raja Waturenggong tidak berbeda dengan isi keputusan Dang Hyang
Nirartha ketika di tempat perjamuan makan bersama keenam orang putranya. Ketika itu
Dang Hyang Nirartha membuat garis pemisah yang jelas antara kelompok Ida Sangsi dan
Ida Temesi dengan kelompok Ida Kulwan, Ida Lor, Ida Wetan, Ida Kidul. Keputusan ini
juga diberlakukan oleh Dang Hyang Nirartha ketika upacara pembagian warisan
peninggalan yang dipimpin oleh Raja Waturenggong dan disaksikan para patih dan seluruh
rakyat. Pada gilirannya Raja Watureggong pun mengikuti keputusan ini. Seperti disebutkan
di dalam kutipan di atas, Raja Waturenggong memberlakukan keputusan itu selain kepada
turunan biologisnya, juga kepada seluruh ksatrya dan wesya yang disebutnya “adik-
adikku”.
5.5. Keputusan Raja Waturenggong Tentang Bandesa Mas & Pasek Gelgel
Raja Waturenggong memberikan anugerah kepada Ki Gede Bandesa Manik Mas, dan
Ki Gede Pasek Gelgel, setelah mereka memperoleh kemenangan mengalahkan Pasuruhan
mengikuti Ki Patih Ularan. Raja Pasuruhan ketika itu masih ada hubungan saudara sepupu
jauh (mindon) dengan Raja Waturenggong. Raja Pasuruhan berhasil dipenggal lehernya
oleh para perwira Bali waktu itu. Oleh karena keberanian mereka bertiga, yaitu Ki Patih
Ularan, Ki Bandesa Manik Mas, dan Ki Pasek Gelgel, mereka mendapatkan anugerah.
Inilah anugerah Raja Waturenggong kepada Ki Bandesa Manik Mas.
“Ih Kamu Bandesa, karena Engkau memperoleh Manik Pancajnyadi puncaknya Gopura,
semoga Engkau bernama Ki Pangeran Desa Manik Mas sejak saat ini sampai kelak. Dan
ada lagi anugerahku kepadamu, rakyat sebanyak 200, sawah seluas 100 benih, ladang
100 sukat, dan seluruh anak keturunanmu tidak akan kena hukuman rampasan maupun
dalam kehidupan dan kematian, tentang pemindahan secara paksa. Kalau besar dosanya,
misalnya membunuh, ia dapat di asingkan. Kalau dosanya sedang-sedang, ia dapat
61
Shastra Wangsa
Tidak berbeda anugerah Raja Waturenggong kepada Ki Bandesa Manik Mas dan
kepada Ki Gede Pasek Gelgel yang sejak itu bergelar Ki Pangeran Pasek Gelgel. Keduanya
sejak itu menyandang gelar Pangeran. Menurut Dwijendra Tattwa, anugerah atau
keputusan Raja Waturenggong ini juga sama-sama sudah tertulis di dalam Babad Bandesa
Mas dan Babad Pasek.
Para pemimpin Bali datangdi Swecapura menghadap Raja Waturenggong, karena sangat
susahnya keadaan pulau Bali ketika itu. Semuanya mengingatkan Raja supaya
membahas masalah wabah yang sangat besar. Sebaiknya segera dipermaklumkan ke
Huluwatu, kehadapan Hyang Wawu Rawuh, karena beliau bagaikan dewa dalam
kenyataan, yang dapat mengobati dunia dan juga menghancurkannya, sebagai bukti
kejadian di Gadingwani. Demikian pendapat orang yang menghadap raja, menghimbau
Sang Raja supaya segera mengutus orang menghadap ke Huluwatu. Singkat cerita, Si
Utusan segera berangkat ke Huluwatu. Tidak diceritakan dalam perjalanan, ceritakan ia
telah menghadap pada Hyang Wawu Rawuh. Si Utusan menyembah dan menyampaikan
sebagaimana sabda raja, kerajaan rusak, banyak yang mati karena sakit. Dang Hyang
mendengarkan lalu bersabda pelan. “Nah Tunggu dulu di sini”. Dang Hyang Nirartha
segera beryoga memusatkan pikiran, mengucapkan Weda Mantra, ditujukan kepada
Sang Hyang Surya. Sungguh beliau memiliki batin yang tinggi. Sang Hyang Surya
bagaikan datang dari langit. Hal itu terlihat jelas. Dang Hyang Wawu Rawuh
menanyakan sebab musabab penyakit yang tengah menyerang, dan kematian yang tidak
bisa ditolak. Sabda Sang Surya: “Yang menyebabkan ada penyakit di Bali ini, adalah
62
Shastra Wangsa
63
Shastra Wangsa
64
Shastra Wangsa
BAB VI
Pengantar
Kamus istilah Wangsa Bali berisi nama-nama orang ataupun benda, konkret maupun
abstrak, yang berhubungan dengan Wangsa dan Shastra, soroh, watek, treh, kawitan,
keleluhuran, palalintih, dan sejenisnya. Seluruh entri yang ada pada Kamus istilah Wangsa
Bali ini berasal dari sumber tertulis seperti babad, prasasti, piagam, dan jenis pustaka
lainnya seperti Tutur, Tattwa, Keputusan.
Sebagaimana umumnya sebuah Kamus Istilah, seluruh entri disusun secara alfabetis.
Setiap entri diberikan penjelasan singkat. Penjelasan itu diambil dari sumber masing-
masing. Keterangan tentang sumber dicantumkan pada akhir penjelasan setiap entri dalam
bentuk singkatan di dalam kurung. Kepanjangan singkatan tersebut bisa ditemukan dalam
Daftar Singkatan. Misalnya tertulis “[BDJ]”, kepanjangan dari BDJ tersebut dapat
dicaripada Daftar Singkatan: “Babad Dukuh Jumpungan”.
Kamus istilah Wangsa ini diharapkan bisa menjadi jalan ke luar bagi banyak orang yang
menemukan berbagaikendala di dalam membaca babad. Kesulitan membaca babad adalah
hal yang sangat wajar dan dimaklumi. Selain karena faktor bahasa dalam Babad, juga
karena masalah-masalah teknis penulisan yang terkesan tidak benar-benar “digarap” oleh
kebanyakan penulis atau penyusun Babad. Masalah teknis penulisan tersebut berhubungan
dengan teknik bercerita, struktur teks, penamaan dan deskripsi tokoh, alur cerita, setting,
dan seterusnya. Selain masalah bahasa dan masalah teknis penulisan, sering terjadi
keterangan satu babab berbeda dengan babad lainnya. Selain karena subjektivitas penulis
babad, perbedaan keterangan itu juga karena penulis babad sendiri terkesan tidak
melakukan “studi” yang luas sebelum menulis babad. Itulah beberapa sebab mengapa
babad sebagai sebuah bacaan tidak memiliki banyak “penggemar”. Semoga Kamus Istilah
65
Shastra Wangsa
Wangsa ini dapat membantu mereka yang menemui kesulitan membaca babad. Selain itu,
Kamus Istilah Wangsa ini adalah miniatur dunia wangsa di Bali. *
66
Shastra Wangsa
[A]
67
Shastra Wangsa
Kuturan di Dirah. Selain berbesanan, mereka berdua ternyata juga bersaudara kandung.
Pada saat pertemuan dua pendeta super shakti di Silayukti itulah terjadi adu kesaktian yang
oleh beberapa penulis babad dilukiskan seolah-olah mereka berdua seperti anak kecil
sedang bermain tebak-tebakan. Pada peristiwa adu kesaktian itulah disebutkan bahwa Aji
Antasiksa Guhyawijaya adalah salah satu ilmu andalannya Mpu Kuturan.Babad tidak
menjelaskan ilmu jenis apakah itu?
Sumber di luar babad menerangkan Guhyawijaya adalah sebutan untuk “gua rahasia”
yang ada di pucuk jantung (tungtunging hredaya). Disana Sang Hyang Shiwa
berkedudukan dengan gelar Sang Hyang Lokanatha. Selain sebagai nama sebuah gua
rahasia, Guhyawijaya adalah juga nama ajaran untuk membangkitkan kekuatan Sang
Hyang Lokanatha yang ada di dalam diri. Antasiksa berarti siksa yang terakhir atau
tertinggi [Lihat, aswasiksa, kretasiksa]. Sampai di sini bisa dijelaskan tempat Antasiksa
Guhyawijaya di dalam peta ajaran kadhyatmikan atau kebatinan.
68
Shastra Wangsa
tempel lawan kala, ngaran kali, matemu ring pukuhing jihwa, dadi pangringkesan
tryaksara]. Tri Aksara adalah Ang Ung Mang, atau Brahma WisnuIswara. Ketiga Datu
inilah yang dijumpai oleh Dang Hyang Nirartha di dalam “perut Naga” itu.
Brahma di hati, warna merah, posisi mistisnya di kirinya bhuwana (kiwaning bhuwana).
Wisnu di empedu, warna hitam, posisinya mistisnya di kanannya bhuwana (tengening
bhuwana).Iswara di jantung, putih, posisi mistisnya timur. Kedudukan Brahma
WisnuIswara itulah yang dibahasakan sebagaisekuntum bunga teratai merah (padma
bang), teratai hitam (padma ireng), teratai putih (padma petak). Apabila ditarik garis
melengkung dari ketiga arah mata angin itu, dari selatan ke timur terus ke utara, maka akan
tercipta goresangaris setengah lingaran, Arddhacandra namanya. Di mana posisi Sang
Pendeta? Tentulah di Barat. Menghadap ke mana? Pastilah menghadap ke Timur.
Begitulah, karena matahari ada di Barat, maka Tri Datu menjadi merah putih hitam.
Sebaliknya, apabila matahari di Timur, Tri Datu menjadi merah kuning hitam. Brahma
WisnuIswara itulah Tri Datu.
Ajaran apakah yang sedang diperagakan oleh Dang Hyang Nirartha? Penjelasan di atas
menunjuk pada penunggalan Tri Aksara. Namun keterangan itu tidaklah cukup untuk
memahami mengapa dampaknya begitu hebat. Menurut babadnya, setelah Dang Hyang
Nirartha ke luar dari mulut Naga, anak istrinya berlarian ketakutan melihat perubahan
warna pada diri Sang Pendeta. Apakah ada hubungannya dengan Aji Pancasona, atau Aji
Pancarsona, sebagaimana ada kemiripan antara peristiwa itu dengan salah satu versi dari
teks Aji Pancasona? Fenomena ini masih perlu kajian lebih lanjut. [DT]
70
Shastra Wangsa
dan Shiwa dirasakan di pertengahan antara ruangdan waktu, di antara Bhuta dan Kala.
Seperti itulah isi teks Aji Pangukiran. [DT. AP]
71
Shastra Wangsa
Menurut keterangan babad, Aji Sara diberikan oleh Dang Hyang Nirartha kepada Cokorda
Shakti Blambangan untuk mengalahkan murid-murid Ki Balian Batur.[DT, AS. BMW-1].
Apakah Sara itu? Ada yang menjelaskan seperti ini: “Gawangan di bawah jantung-hati,
itu yang bernama Shunya Adi Murti, itulah sebabnya ia disebut tidak di Timur, tidak di
Selatan, tidak di Barat, tidak di Utara, tidak di atas, tidak di bawah, tidak ada di tengah, ia
itu adalah perwujudan Sara”(Gawangan ing sor ning tutud, yeka shunyadi murti ngaran,
sangkan ingaran sira tan wetan, tan kidul, tan kulon, tan lor, tan luhur, tan isor, tan
haneng tengah, ya pangawak Sara). [BS]
72
Shastra Wangsa
73
Shastra Wangsa
nama pemegang otoritas ajarannya. Asumsi penulis naskah Aji Wekasing Pati memang
ada. [DT]
74
Shastra Wangsa
Dwijendra ini. Yang jelas, ajaran-ajaran tersebut telah menyebar di dalam masyarakat, dan
menjadi isi pikiran dari banyak penekun shastra. [AD]
Aksara Makutha
Salah satu penjelasan dari apa yang disebut aksara makutha terdapat di dalam lontar
Krakah Durdrakah. Sebagaimana tersirat dalam judulnya, lontar ini berisi ajaran tentang
aksara Modre. Pada umumnya Modre diartikan sebagai aksara suci. Disebut suci, karena
pada modre itulah linggih, atau kedudukan Bhatara. Secara konsepsional, Modre bisa
disamakan dengan pelinggih atau pura. Modre adalah puranya aksara. Seperti berikut inilah
penjelasan Krakah Durdrakah tentang Aksara Makutha. “Ketahuilah ini, Aksara Makutha
sampai pada bhusananya. Ma berarti menyatu. Kutha berarti kubu. Kubu berarti rumah.
Rumahkanlah Sang Hyang Aji semuanya. Bu artinya budhi. Sa artinya sungguh-sungguh
niatkan. Na, artinya melaksanakan. Apabila sudah dilakukan dengan rasa sungguh-
sungguh, dan menghitungnya, sampai pada suaranya, itulah manusia yang paham
ngawiswara namanya. Su artinya jaga dengan seksama. Wa artinya hasil perbuatan. Ra,
artinya cari terus siang malam. Abdikanlah kepada Sang Hyang Shastra. Apabila tidak
diabdikan, pelajarilah pada orang-orang yang sudah mendapatkan dan melampaui sari-
sari.” Begitulah penjelasan tentang Aksara Makutha. Mengapa aksara makutha ini penting
dibicarakan di sini? Karena Aksara Makutha ini disebutkan di dalam pustaka Budha Prani
atau Shastra Gajendra Mahayu Ning Rat. [KD] [Lihat, Budha Prani]
75
Shastra Wangsa
politik dan agama di Bali. Keturunan Sapta Resi diberi fungsi sesuai dengan kualitas
masing-masing dan disebarkan di berbagai wilayah. Fungsi mereka adalah sebagai
amancabhumi, atau sebagai pasek atau tiang pancang jagat yang tidak lain adalah
pemimpin di masing-masing wilayah, baik pemimpin desa maupun pemimpin upacara di
pura-pura di lingkungan desa masing-masing. Salah satu keturunan dari Sapta Resi
menjadi mantri bernama Patih Wulung.[RAK]
76
Shastra Wangsa
lenyap bersama waktu, atau telah berubah judul sebagai akibat dari proses penyalinan?
Penulis tidak memiliki asumsi apa pun. Oleh karena itu, biarlah kelak Waktu akan
menjawabnya.[DT]
Anak Agung Ngurah Gede Kaba-Kaba Teges(1): adu kebal kulit kerasnya tulang
Anak Agung Ngurah Gede Kaba-Kaba Teges adalah anak raja Kaba-Kaba yang bernama
Arya Anglurah Sena Teges. Pada waktunya Sang Anak menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai raja. Ada dua orang anaknya: I Gusti Ngurah Gede dan I Gusti Agung Ayu Oka.
Menurut babadnya, ada peristiwa unik yang mengubah sejarah pada masa itu. Diceritakan
Sang Raja ditantang oleh raja Mengwi, Ki Gusti Agung Putu Agung, mengadu
ketangkasan memainkan senjata, mengadu kekebalan kulit, dan kekerasan tulang. Raja
Kaba-Kaba ini tidak menolak undangan maut itu. Berangkatlah Sang Raja menuju Mengwi
diiringi oleh keempat istri dan para pengawalnya. Tak lupa dibawanya keris pemberian
Dalem Smara Kapakisan terdahulu pada jaman leluhurnya. Tidak diceritakan di dalam
perjalanan, sesampai di Mengwi langsung disambut oleh raja Mengwi. Raja Kaba-Kaba
duduk berdampingan dengan para istrinya. Laskar duduk sesuai dengan aturan protokoler
masa itu. Semua duduk berderet di atas tanah halaman. Setelah upacara penyambutan dan
perjamuan selesai, mulailah pada pokok acara mengadu kesaktian. Ada kesepakatan, kedua
raja sama-sama tidak menginginkan memiliki negara satu sama lain. Siapa yang kalah
menjadi “saudara muda”. Kedua raja pindah ke halaman tempat pertarungan. Keduanya
mengetatkan ikatan kain. Setelah keduanya mencabut keris hendak mengadu kekebalan
kulit dan kekerasan tulang, tiba-tiba keempat istri raja Kaba-Kaba bangkit seraya memeluk
kaki suami mereka. Bagaikan orang kesurupan para istri meminta agar Sang Suami
mengurungkan niat mengadu keshaktian.Para istri mengaku “melihat” raja Mengwi akan
menang, dan menurut mereka kemenangan itu sudah titah Hyang Widhi. Singkat cerita,
adu keshaktian batal tidak dilanjutkan. Raja Kaba-Kaba sejak itu menjadi saudara muda
Raja Mengwi. Keturunan raja Kaba-Kaba tetap menjadi raja di Kaba-Kaba, tapi tidak
boleh menetang raja Mengwi. Seorang putri anak Agung Ngurah Gede Teges bernama Ki
Gusti Agung Ayu Oka dihaturkan sebagai istri Raja Mengwi. Begitulah kisah unik yang
mengubah sejarah antara dua kerajaan kecil yang bertetangga. Sejak itu Kaba-Kaba
menjadi bawahan Mengwi. [BKK]
77
Shastra Wangsa
Anak Agung Ngurah Gede Kaba-Kaba Teges (II): moksa dengan Padanda Dawuh
Anak Agung Ngurah Gede Kaba-Kaba Teges II adalah anak raja Kaba-Kaba yang
bernama sama dengan dirinya. Setelah ayahnya mangkat, ia dinobatkan menjadi raja. Ia
kawin dengan Ki Gusti Ayu Rai mempunya tiga orang anak laki perempuan: I Gusti
Ngurah Gede, I Gusti Ngurah Rai, Ki Gusti Agung Ayu Ngurah (kawin dengan Anak
Agung Made Agung di Mengwi). Menurut babadnya, raja yang satu ini menguasai shastra
kalepasan, sehingga ia tahu kapan dirinya akan meninggal. Maka diundanglah para
padanda yang ada di wilayah Kaba-Kaba. Kepada para padanda disampaikan rencananya
akan kembali ke alam shunya. Ia memohon salah satu dari padanda yang hadir agar
“mengantarnya” ke alam shunya itu. Maksudnya, ikut bersama-sama meninggal.
Menjawablah Padanda Ketut Dawuh dari Griya Dalem bahwa ia siap mengantarnya ke
alam shunya. Mendengar ayahnya akan melepas atma, anak sulungnya bernama I Gusti
Ngurah Gede menangis berguling-guling di tanah. Itulah sebabnya ia tidak diizinkan
bertemu dengan ayahnya yang sedang bersiap-siap moksa. Hanya adiknya, I Gusti Ngurah
Rai yang boleh menghadap ayahnya. Seperti sudah kehendak Hyang Widhi, anak bungsu
itulah yang akhirnya diberikan tahta kerajaan. Kepadanya Sang Ayah memberikan pesan-
pesan singkat yang bersifat rahasia. Inilah yang terjadi kemudian: Sang Raja melepas
atmanya benar-benar dalam waktu yang sama dengan Padanda Ketut Dawuh. Sebagaimana
78
Shastra Wangsa
kesepakatan sebelumnya, Padanda Ketut Dawuh mengantar Sang Raja kembali ke alam
shunya. Selanjutnya tidak ada cerita bagaimana atma raja dan atma padanda itu menempuh
perjalanan. [BKK]
Anak Agung Shakti Kaleran: raja Kaba-Kaba pertama kali bergelar shakti
Anak Agung Shakti Kaleran adalah I Gusti Ngurah Rai anak kedua raja Kaba-Kaba,
Anak Agung Ngurah Gede Kaba-Kaba Teges (II) yang moksa bersama-sama dengan
Padanda Ketut Dawuh. Inilah raja Kaba-Kaba pertama yang memakai gelar shakti. Ia
sering dilibatkan oleh raja Mengwi dalam pertemuan para agung di Mengwi. [BKK]
Angga Tirtha
Angga Tirtha adalah putra mitologis antara Bhatara Wisnu dengan Dewi Njung Asti.
Siapakah Dewi Njung Asti? Ia adalah nama seorang putri yang muncul dari balik mata air
79
Shastra Wangsa
tancapan tongkat Dang Hyang Nirartha pada sebuah batu karang di Tukad Melangit. Dewi
Njung Asti ditugaskan menjaga kesucian mata air yang kemudian dinamakan Tirtha Arum,
karena mata air itu mengeluarkan bau harum sampai di kahyangan Bhatara Wisnu.
Perkawinan Dewi Njung Asti dengan Bhatara Wisnu melahirkan anak yang kemudian
dinamakan Sang Angga Tirtha setelah dijadikan anak angkat oleh Bhatara Subali yang
tinggal di Gunung Agung. Sang Angga Tirtha inilah yang kemudian menurunkan Ksatrya
Tamanbali. Demikian mitologinya tertulis di dalam babad. Para sejarawan menafsir ayah
biologis Sang Angga Tirtha adalah Raden Sri Wijaya, yang konon pernah “bertugas” di
Bali selama kurang lebih sembilan tahun sebelum akhirnya kembali ke Majapahit.
Sejarawan menyimpulkan bahwa selama sekian tahun di Bali, Sri Wijaya sempat menikahi
seorang putri dari daerah sekitar Tirtha Arum. [BKTB, DKW]
80
Shastra Wangsa
mereka tinggal di Mas. Mereka menyebar di berbagai desa. Kutukan itu diucapkan karena
keturunan Bandesa Mas meninggalkan Padanda sendirian di medan perang. [PDK]
pergi ke dunia oleh Manik Angkeran, kekasih Apsari itu menyusul turun ke dunia mencari
Manik Angkeran. Di dunia Apsari itu bertemu dengan Manik Angkeran. Namun ketika
pertemuan itu terjadi, Manik Angkeran sudah memiliki seorang istri, yaitu puteri dari
Dukuh Belatung. Lain di sorga lain di dunia. Di sorga Apsari itu adalah kekasih tunggal, di
dunia ia rela menjadi isteri kedua. Perkawinan Manik Angkeran dengan keturunan Apsari
itu melahirkan seorang anak yang diberi nama Ida Wang Bang Tulusdewa. Ida Wangbang
Tulus Dewa inilah yang kemudian menurunkan Anglurah Sidemen, atau yang juga dijuluki
Wang Bang Sidemen. [BMA].
82
Shastra Wangsa
Padanda Shakti Manuabha, yaitu Pasudukswari. Dengan cara yang sama seperti di atas,
kita bisa mengetahui bahwa ajaran Pasudukswari juga dihubungkan dengan nama Padanda
Shakti Manuabha, dengan tambahan keterangan “babaktan saking Majapahit”.
Pasudukswari intinya adalah Ang-kara adu-muka. Di bawah ini adalah beberapa pengertian
tentang Anungswari dan Sudukswari yang dirangkum dari berbagai sumber:
Aksara cecek itu disebut Anungshwara, Anung berarti api, Swara berarti bunyi, tempat
Swara di tengah api, api itu disebut Urip; Anungshwara namanya Ang, ia disebut api di
dalam pusar tempatnya; Rwa Bhineddha, Ang Ah, satu wujudnya, tapi Anungshwara
pembedanya dengan Wisarga, Wisarga itu angin, Anungswara itu api, di mana tempat api,
di pusar, di mana tempat bayu, di ujung hidung [BS]; penunggalan panca tirtha disebut
anungshwari tempatnya di dahi; Windu Ameteng disimpan di dalam Ongkara Mretasari,
Sudukswari namanya. Bila pertemuannya di Pulo Manjeti bernama Anungshwari, yaitu
Licin [KK].
Anyang Nirartha
Anyang Nirarta adalah sebuah karya shastra berbentuk kakawin gubahan Dang Hyang
Nirartha. Keterangan tentang judul dan pengarang ini disebutkan di dalam teks Dwijendra
Tattwa. Karya ini diciptakan ketika Dang Hyang Nirartha sedang berada di daerah Nusa
Dua dan sekitarnya. Kata anyang berarti perjalanan, pengembaraan.[DT]
83
Shastra Wangsa
84
Shastra Wangsa
kepadaku. Sekarang boleh kamu bawa istrimu kembali”. Setelah itu menyembahlah Arya
Anglurah Kaba-Kaba bersama istrinya yang telah hamil, lantas berpamitan pulang. Setelah
bayi itu lahir, dilaporkanlah kepada Dalem. Berangkatlah Dalem ke Kaba-Kaba diiringi
konvoi pengiringnya. Di sana Dalem menguji kemurnian benihnya pada si bayi dengan dua
cara: Pertama-tama, bayi itu diletakkan di atas tanah dikitari dengan nasi dan ikan, lalu
dilepaskan anjing-anjing, semuanya amat galak, sama-sama mendekat dan berebutan
makanan. Anehnya, tidak ada anjing berkelahi, tidak ada yang berani mengusik si bayi.
Selanjutnya, bayi itu ditaruh di atas lubang semut, di sampingnya ditaburkan makanan.
Keluar semut dari lubangnya, semua semut takut berpencar tidak ada yang berani
mengusik si bayi.
Menurut Dalem sudah terbukti Arya Anglurah Kaba-Kaba II tidak memasukkan benih
dirinya ke dalam rahim istrinya. Karena itu si bayi diberi nama Arya Anglurah Agung
Putra Teges. Diperintahkan oleh Dalem agar bayi itulah kelak menggantikan kedudukan
Arya Anglurah Kaba-Kaba sebagai raja di Kaba-Kaba. Sebagai tanda cinta Dalem pada
Kaba-Kaba maka diberikanlah beberapa anugerah yang berlaku sampai pada anak cucu
kelak. Anugerah itu berupa kewenangan, Arya Anglurah Kaba-Kaba berhak memakai
gopura tiga tutup, berhak membuat pamrajan ayun, berisi babatur ibu yang ditempatkan di
utara babatur yang sudah ada. Selain kewenangan itu, ada pula anugerah berupa sebilah
keris dan kentongan berisi tanda cinta Dalem, windu sapta anaru wulan, 1370 (1448 M).
Diberikan pengiring yang berasal dari keturunan Ki Pasek lima kelompok: Tangkas,
Gelgel, Gadhuh, Dahualing, Kadangkan.Seperti itulah cerita di balik kelahiran anak Arya
Anglurah Kaba-Kaba II, yang bernama Arya Anglurah Agung Putra Teges. Menurut
babadnya ada lagi anak Arya Anglurah Kaba-Kaba II yang lahir dari istrinya yang lain,
bernama Kiyai Ngurah Keladyan. [BKK]
asal desa Tegal Kepuh yang “sempat dijamah” (kena jinamah) oleh Sang Raja. Anak itu
diberi nama I Gusti Gunung yang selanjutnya ditempatkan di Jero Gunung. Kemudian I
Gusti Gunung diserahkan kepada I Gusti Keladyan sebagai anak angkat. Bertindak sebagai
purohita adalah Padanda Mas Timbul atas petunjuk dari Dalem di Gelgel. Sang Padanda
dibuatkan tempat tinggal di pinggir Pura Gunung Agung, bernama Griya Kawishunya.
[BKK]
86
Shastra Wangsa
Mula yang ada di Buik. Keris itu diberi nama Ki Baru Naga. Dengan membawa keris itu
Sang Raja kemudian ke luar ke halaman. Terlihat para pemberontak itu bertekuk lutut,
tidak bisa bergerak, termasuk kedua adik tirinya terlihat seperti terikat badannya. Kedua
otak dari gerakan itu diberisangsi dengan menurunkan derajat wangsanya. Peristiwa itu
terjadi pada tahun shuddhaning panca mahabhuta ngeka, 1550 (1628 M). Menurut
babadnya, Arya Anglurah Kaba-Kaba Yuddha Teges memiliki seorang putra bernama
Arya Anglurah Sena Teges. [BKK]
Arya Belog
Nama lain dari Arya Belog adalah Arya Pudak. Tidak diketahui kejadian apa yang
menyebabkan Arya Pudak mendapatkan gelar kehormatan Arya Belog. Dalam Bahasa Bali
kata bĕlog itu berarti bodoh. Tentu saja gelar itu tidak sesuai dengan keperwiraannya.
Barangkali itulah sebabnya gelar itu kemudian diperhalus dengan mengubah kata belog
dengan kata tan wikan yang berarti tidak pandai. Siapakah tokoh Arya Belog ini? Arya
Belog adalah keturunan raja Janggala, atau Kahuripan di Jawa. Ia juga disebut Ksatrya
Kahuripan yang konon masih bersaudara dengan Arya Damar, Arya Kenceng, Arya
Sentong, dan Arya Kutha Waringin. Arya Belog turut ambil bagian dalam penyerbuan
Gajah Mada ke Bali, sebagai balasan atas sikap raja Bali Sri Asura Ratna Bumi Banten
alias Gajah Waktra yang ingin merdeka dari Majapahit. Setelah Bali dinyatakan kalah, dan
diangkatnya raja Jawa di Bali, Arya Belog pun mendapatkan tempatnya di daerah Kaba-
87
Shastra Wangsa
Kaba, Tabanan.Setelah lanjut usia dan meninggal dunia, selanjutnya mendiang Arya Belog
disebut Bhatara Arya Belog di dalam pustaka babadnya. Arya Belog menurunkan seorang
putra bergelar Arya Anglurah Kaba-Kaba. Putra inilah yang menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai penguasa di daerah Kaba-Kaba.[BKK]
Arya Damar(2)
Arya Damar adalah keturunan raja Janggala, atau Kahuripan. Ia disebut Ksatrya
Kahuripan masih bersaudara dengan Arya Kenceng, Arya Kuthawaringin, Arya Sentong
dan Arya Pudak atau Arya Belog, atau Arya Tanwikan. Arya Damar turut ambil bagian
dalam penyerbuan Gajah Mada ke Bali. Divisi yang dipimpin Arya Damar memasuki Bali
melalui pintu laut selatan. Begitu mendarat di Jimbaran, rombongan mereka dihadang oleh
pasukan Bali dipimpin Ki Tambyak dan Ki Gudug Basur. Setelah Bali kalah, dan
diangkatnya raja Jawa di Bali, Arya Damar pun mendapatkan tempatnya di Tabanan.
[BAT, BRT]
88
Shastra Wangsa
Arya Kenceng. Ada pula pendapat bahwa Arya Damar adalah kakak dari Arya Kenceng.
Ada lagi pendapat bahwa Arya Damar adalah ayah dari Arya Kenceng. Menyikapi
kerancauan itu, penyusun buku Sejarah Kiyai Anglurah Tegeh Kori, berpendapat bahwa
Arya Damar adalah ayah dari Arya Kenceng. Pendapatnya itu didasarkan atas keterangan
yang tercantum di dalam Usana Jawa, Purana Balidwipa. [SKTK]
Arya Dawuh
Arya Dauh adalah keturunan kesekian dari Ida Bang Manik Angkeran. Menurut
babadnya, ada beberapa tingkat di atas Arya Dawuh untuk sampai pada Manik Angkeran.
Arya Dauh adalah anak dari I Gusti Byasama. I Gusti Byasama adalah anak dari I Gusti
Hyang Taluh atau I Gusti Kacang Dimade. I Gusti Kacang Dimade adalah anak dari Ida
Panataran. Ida Panataran adalah anak dari Ida Wangbang Tulusdewa. Wang Bang
Tulusdewa adalah anak dari Manik Angkeran. [BMA]. Keterangan tambahan tentang Arya
Dawuh seperti berikut ini. Ida Tulus Dewa menurunkan I Gusti Made Karang, atau Kiyai
Anglurah Kacang Dimade, alias I Gusti Hyang Taluh, sebagai pendiri kerajaan Sidemen,
sekitar 1445 Shaka atau tahun 1524 Masehi. I memiliki dua orang anak. Yang sulung I
Gusti Gunung Agung. Yang bungsu I Gusti Ayu Singharsa. Hyang Taluh inilah yang
selanjutnya menurunkan Arya Wang Bang Sidemen. Sedangkan I Gusti Ayu Singharsa
setelah dewasa dinikahi oleh I Gusti Byasama, yang selanjutnya menurunkan Arya Dawuh
[RAK]. Arya Dawuh inilah (atau keturunannya) yang mengiringi Padanda Bukyan putra
Padanda Bukcabe menetap di Abiansemal (bukan Padanda Bukyan putera Dang Hyang
Wiragasandhi, dan bukan Padanda Bukcabe yang bergelar Mpu Kidul).
Arya Kanuruhan
Mpu Shiwagandu atau Mpu Yajnaswara juga mempunyai putera bernama Mpu Keling.
Mpu Keling menurunkan seorang putra bernama Dalem Mangosari. Dari Dalem Mangosari
inilah lahir Arya Kanuruhan. Kemudian Arya Kanuruhan mempunyai 3 orang putera: I
Gusti Pangeran Tangkas, I Gusti Brangsinga, I Gusti Pagatepan [BAKN].
Sira Arya Kanuruhan mempunyai tiga orang putra yang bernama Kyayi Brangsinga,
Kiyai Tangkas dan Kiyai Pagatepan [RAK]. Sri Jayakatha mempunyai tiga orang putra
yaitu Arya Wayahan Dalem Manyeneng, Arya Katanggaran, dan Arya Nuddhata. Arya
Wayahan Dalem Manyeneng yang nantinya menurunkan Arya Gajah Para, Sirarya Getas.
89
Shastra Wangsa
Sirarya Katanggaran mengambil istri putra I Kebo Ijo yang menurunkan Sira Kebo
Anabrang. Kemudian beliau mengambil istri dari Singasari yang nantinya menurunkan
Kebo Taruna atau Sirarya Singha Sarddhula. Sirarya Singha Sarddhula ini yang datang ke
Bali menjadi Kanuruhan. [BAKN]
Kemudian diceritakan Ki Gusti Singha Kanuruhan mengambil istri dari Padangrata yang
menurunkan Ki Gusti Brangsinga, I Gusti Luh Padangrata, dan I Gusti Singha Padangrata.
Ki Gusti Madya Kanuruhan menjadi panyarikan Kanuruhan dari Dalem Bekung, Beliau ini
menurunkan Ki Gusti Gede Singha Kanuruhan, Ki Gusti Madhya Abra Singasari dan Ki
Gusti Ayu Brangsinga yang kawin dengan I Gusti Ngurah Jlantik, dan selanjutnya
menurunkan Kiyai Ngurah Jlantik Bogol. Ki Gusti Bhra Singasari menurunkan Ni Gusti
Luh Padang Galak, Ki Gusti Singha Lodra dan Ki Gusti Kesari Dimade [BSKN]. Anak
dari Arya Kanuruhan yang bernama Kiyai Brangsinga, Kiyai Tangkas, Kiyai Pagatepan.
[BSH]
Arya Kapakisan
Arya Kapakisan adalah patih agung pada jaman raja Sri Aji Kreshna Kapakisan. Perlu
dibedakan, ada Kapakisan sebagai patih bergelar arya, dan ada Kapakisan sebagai raja
bergelar dalem. Siapakah Arya Kapakisan yang menjadi patih Gelgel itu?
Raja Udayana berputra Erlangga dan Anakwungsu. Erlangga menjadi raja di Kadiri, Jawa
Timur (1019). Anakketurunan Erlangga bernama Jayasabha dan Jayasabhaya (Aryaburu,
putra ketiga?). Jayasabha berputra Arya Kadiri. Jayasabhaya berputra Prabhu Dangdang
Gendis. Arya Kadiri berputra Arya Kapakisan. Inilah Arya Kapakisan yang pergi ke Bali
dan menjadi patih agung, atau perdana menteri.
Ada keterangan bahwa kata kapakisan itu sendiri konon berasal dari katapakis, yaitu
nama daerah tempat tinggalnya di Jawa Timur. Arya Kapakisan menurunkan dua orang
putra, yaitu Kiyai Nyuhaya dan Kiyai Made Asak. Dua bersaudara inilah cikal bakal para
arya Kapakisan yang menyebar di Bali.Setelah Arya Kapakisan mangkat, kedudukannya
sebagai patih agung digantikan oleh putra sulungnya, yang kemudian bergelar Kiyai
Agung Nyuhaya.[BN] [Lihat Kiyai Nyuhaya]
90
Shastra Wangsa
Arya Kapasekan
Arya Kapasekan adalah adik dari Sang Hyang Pamacekan. Mereka berdua adalah anak
dari Mpu Ketek, yang tertua dari Saptaresi yang tinggal di Jawa, dari perkawinannya
dengan Dewi Dwararika. Sedangkan Mpu Ketek adalah anak dari Mpu Gnijaya. Jadi Arya
Kapasekan ini adalah cucu dari Mpu Gnijaya. Menurut silsilahnya, Arya Kapasekan ini
memiliki tiga orang anak. Yang sulung adalah Kiyai Agung Pamacekan. Yang kedua
bernama Ni Luh Pasek. Yang bungsu Pasek Padang Subadra. Dari ketiga anaknya, tercatat
hanya yang sulung memiliki keturunan. Ada dua orang anaknya, yaitu: Ki Pasek Gelgel
dan Ki Pasek Denpasar. [SPSS]
Arya Kenceng(1)
Suatu ketika raja membuat persidangan, dalam persidangan itu baginda mengganti nama
Sang Arya Damar menjadi Sang Arya Kenceng, memberikan mandat dan tanggung jawab
untuk mengatur Pulau Bali. Agar selalu menjamin dan menjalin kerja sama yang baik
antara patih dengan raja. Sang Arya Kenceng ditempatkan di Tabanan dengan rakyat
berjumlah 40,000. Raja menasihati para Arya yang lain agar tidak timbul kesalahpahaman,
karena anugrah raja itu yang ternyata agak berbeda, sampai dengan masalah penggunaan
bade. Para Arya yang lain tunduk kepada sabda raja. Sang Arya Kenceng diperintahkan
agar mengatur menempatkan para Arya yang lain. Brahmana di Katepeng Reges
mempunyai tigaorang putri. Yang tertua dijadikan permaisuri raja, yang kedua diperistri
oleh Arya Kenceng, yang ketiga diperistri oleh Arya Sentong. Semuanya berada di pulau
Bali. Kemudian, ketiganya mempunyai putra. Sang raja putra diberikan gelar Sang Ratu
Anom. [BUJ]
91
Shastra Wangsa
92
Shastra Wangsa
Arya Kenceng Tegeh Kori: anak angkat Arya Kenceng di Buahan Tabanan
Arya Kenceng Tegeh Kori adalah sebutan untuk salah satu putra Dalem Kreshna
Kapakisan yang diasuh oleh Arya Kenceng. Sebab putra Dalem itu kemudian menjadi
Arya Kenceng Tegeh Kori menurut babadnya adalah seperti berikut ini. Dalam sebuah
persidangan di istana Gelgel, Arya Kenceng hadir mengenakan bunga cempaka wilis di
telinganya. Menurut aturan bunga cempaka wilis hanya boleh dipakai oleh Dalem. Arya
Kenceng pun diberi sangsi. Ia ditugaskan mengasuh salah seorang anak Dalem yang masih
kecil. Maka tinggallah Arya Kenceng di istana Gelgel, meninggalkan rumahnya di desa
Buahan, Tabanan. Ternyata lagi Arya Kenceng membuat kesalahan anak Dalem yang
diasuhnya lepas dan naik ke ruang persidangan. Saat itu Kreshna Kapakisan sedang
memimpin rapat. Anak itu bahkan naik ke bahunya Kreshna Kapakisan yang kala itu
berbusana raja lengkap. Marahlah Sang Raja karena hal itu tidak boleh terjadi. Saking
marahnya anak itu diserahkan kepada Arya Kenceng untuk dijadikan sebagai anak angkat.
Setelah resmi menjadi anak angkat Arya Kenceng, anak itu diberi nama Arya Kenceng
Tegeh Kori. Arya Kenceng senang hatinya, selain bebas dari hukuman mengasuh anak,
malah mendapatkan anak angkat. Ketika itu Arya Kenceng sudah punya seorang anak di
bernama Sira Arya Ngurah Tabanan. [BGT]
Arya Kepasekan
Ketika Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan datang ke Bali atas
undangan raja Udayana, keturunan mereka tetap tinggal di Pasuruhan, Jawa Timur.
Sebagian keturunan ada yang turut mengiringi ke Bali pada saat itu, dan ada pula yang
menyusul kemudian. Dengan demikian para Mpu tersebut memiliki keturunan yang
berkembang di Jawa dan berkembang di Bali. Arya Kepasekan adalah salah satu keturunan
yang berkembang di Bali. Menurut keterangan babad, Arya Kepasekan kawin dengan Ni
Swrareka dan menurunkan anak Kiyai Agung Pamacekan. [RAK]
93
Shastra Wangsa
digantikan oleh Sirarya Ngurah Agung Rangwang dengan gelar Ida Cokorda Rangwang.
Setelah bermukim di Matengguh Sri Magadha Natha memperoleh seorang putra dari istri
Ni Luh Bandesa, diberi nama Kyayi Ketut Bandesa, yang selanjutnya diajak oleh kakaknya
di istana Buwahan. Arya Ketut Bandesa, mempunyai ciri-ciri keluarbiasaan. Maka ia tidak
diperhatikan lagi oleh Cokorda Rangwang dan saudara-saudaranya, karena takut kalah
wibawa. Arya Ketut Bandesa mengetahui, dan mengerti akan hal itu, maka ia pun
menyusup ke desa-desa menghibur dirinya. Kemudian Arya Ketut Bandesa diuji
kebolehannya, oleh Cokorda Rangwang dengan tugas memangkas pohon beringin yang
dianggap angker. Hal itu dilaksanakan dengan baik. Akhirnya diberi nama Arya Ketut
Notor Wandira, dan hadiah sebilah keris bernama Ki Cekle. Arya Ketut Notor Waringin
berputra dua orang. Tetapi tetap kurang mendapat perhatian dari Cokorda Rangwang.
Maka ia pun mengembara untuk memperoleh wahyu. Di desa Tambyak ia dapat memungut
seorang anak diberi nama Ki Tambyak (bukan Ki Tambyak patih Gajah Waktra) langsung
dibawa ke rumahnya dijadikan abdi. Suatu saat beryoga di Pura Danau Batur, diikuti oleh
Ki Tambyak. Di sana ia memperoleh wahyu dari Bhatari Danu, agar segera menghadap
Anglurah Tegeh Kori di Badung sebagai awal untuk memperoleh kewibawaan, Entah
berapa lama berselang, Arya Ketut Notor Waringin pun pergi ke Badung bersama anak
istri dan Ki Tambyak. [BPB]
Arya Kubontingguh
Arya Pucangan menurunkan Arya Notor Wandira, yang selanjutnya menurunkan Sang
Arya Kubon Tingguh, dan adiknya membangun Tabanan. Kemudian putri Kebon Tingguh
diambil oleh Arya Pucangan yang bertempat di Istana Tabanan. Begitu juga AryengKubon
Tingguh menurunkan Nararya Bandana. Kiyai Nengah Samping Boni dan Kiyai Nyoman
Batan Ancak dan Kiyai Ketut Lebah. [BRT]
Arya Kuthawaringin
Erlangga memiliki empat orang anak, yaitu: Sri Dewi Kili Endang Suci, Sri Jayabaya,
Jayasaba, dan Arya Buru. Sri Jayabaya selanjutnya memiliki tiga orang anak, yaitu: Sri
Dangdang Gendis, Sri Shiwa Wandira, Sri Jaya Kusuma. Sri Dangdang Gendis
mempunyai anak bernama Sri Jayakatong. Sri Jayakatong mempunyai anak bernama Sri
Jaya Kata. Sri Jaya Kata mempunyai anak bernama Arya Wayahan Dalem Manyeneng
94
Shastra Wangsa
(cikal bakal Arya Gajah Para dan Getas), Arya Katanggaran (cikal bakal Arya Kanuruhan)
dan Arya Nudata. Sri Shiwa Wandira berputra Sri Jaya Waringin. Terjadi kesalah-pahaman
antara Prabu Dangdang Gendis dengan para pendeta, para pendeta mengungsi ke Tumapel
mohon bantuan Ken Arok, raja Singasari. Ken Arok menggempur Kediri, akhirnya Kediri
dikuasai Singasari. Keturunan Dangdang Gendis, Jaya Kata dan Jaya Waringin ditawan di
Tumapel, di sana Jaya Kata mengadakan keturunan. Jaya Waringin kawin dengan warga
Kebo Ijo bernama Gandhi Gari berputra Arya Kutewandira, Arya Kutewandira berputra
Arya Kutawaringin yang kemudian turun ke Bali. [BAKW]
Terjadi ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) ke Bali. Penyerangan dari tiga jurusan. Dari
timur: Gajah Mada dibantu oleh patih yang lain berlabuh di Tianyar. Dari arah utara, Arya
Damar, Arya Sentong, Arya Kutawaringin berlabuh di Ularan. Dari selatan, Arya Kenceng,
Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di Kuta. Terjadi pertempuran
antara pasukan Majapahit dengan Bali, banyak korban jatuh di pihak pasukan Bali,
terutama para patih raja-raja Bali yang bermukim di desa-desa. Hanya tinggal Ki Pasung
Grigis bertahan di desa Tengkulak, Raja Bedahulu telah gugur lebih dulu.Pada saat Bali
ditaklukkan oleh Majapahit, bertahta Raja Kala Gemet. Patih Gajah Mada merasa cemas
melihat pulau Bali yang belum ada kepala pemerintahannya. Apalagi rakyat Bali telah
mengirim utusan agar segera ditetapkan seorang pemimpin. Kemudian Maha Patih Gajah
Mada mengirim seorang adipati untuk memimpin pulau Bali bernama Dalem Ketut Kresna
Kapakisan tahun Ishaka 1274 atau tahun Masehi 1352, Patih Agung Sirarya Kapakisan,
orang kedua Sirarya Kutawaringin, tangan kanan Sirarya Kanuruhan dibantu oleh para
Arya yang lain. Arya Kutewaringin yang juga menjabat Tumenggung amat besar jasanya
dalam menciptakan keamanan, kemakmuran, dan kesentosaan negara. Beliau berputra
empat orang, pria dan wanita. Yang pria bernama Kyayi Klapodyana, Kyayi Parembu, dan
Kyayi Cenda. Sedangkan yang wanita, seorang, bernama I Gusti Ayu Kutawaringin,
kemudian menjadi permaisuri Dalem Ketut Kresna Kapakisan. Setelah Arya Kutewaringin
lanjut usia, beliau digantikan oleh putranya yang sulung Kyayi Klapodyana yang bergelar
Kyayi Gusti Agung Bandesa Gelgel [BAKW]. Arya Kuta Waringin menurunkan Kryan
Kebon Tubuh. [BSH]
95
Shastra Wangsa
96
Shastra Wangsa
Arya Pamacekan
Arya Pamacekan adalah anak dari Mpu Pamacekan dari perkawinannya dengan Ni Ayu
Swani. Sedangkan Mpu Pamacekan adalah anak dari Sang Hyang Pamacekan, atau cucu
dari Mpu Gnijaya. Jadi Arya Pamacekan ini adalah kumpi dari Mpu Gnijaya. Menurut
silsilahnya, Arya Pamacekan kawin dengan seorang perempuan bernama Ni Swarareka.
Dari perkawinan ini lahir dua anak laki perempuan. Yang Laki bernama Kiyai Agung
Pamacekan. Adik perempuannya bernama Ni Luh Pasek. Selanjutnya tidak ada keterangan
tentang kehidupan Ni Luh Pasek baik dalam babadnya maupun dalam babad lain.
Sedangkan Kiyai Agung Pamacekan disebutkan memiliki seorang anak laki yang juga
dinamakan Kiyai Agung Pamacekan. Yang disebutkan terakhir ini tidak ada keturunannya.
[SPSS]
Arya Pamacekan
Arya Pamacekan, yang setelah menjadi pendeta bernama Mpu Jiwanatha ini, adalah adik
kandung dari Arya Pamacekan (nama sama) dan kakak dari Ni Luh Ler. Tiga bersaudara
ini adalah anak dari Mpu Pamacekan dariperkawinannya dengan Ni Ayu Swani.Menurut
silsilahnya, ia adalah anak dari Mpu Pamacekan, cucu dari Sang Hyang Pamacekan, kumpi
dari Mpu Gnijaya. Arya Pamacekan ini setelah dewasa kawin dengan seorang perempuan
bernama Ni Swaradangkya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak bernama Kiyai Gusti
Agung Subadra. [SPSS]
Arya Paminggir
Arya Manguri berputeri Ni Gusti Luh Pinggir dilarikan oleh I Dewa Dharma. Ketika
sedang hamil 7 bulan ditinggal mati suami. Ni Gusti Luh Pinggir tinggal bersama ayahnya
Arya Manguri. Setelah sebulan lamanya bersama Arya Manguri lalu lahirlah putranya itu,
dan tiga bulan sesudahnya Ni Gusti Luh Pinggir meninggal. Bayi itu dipelihara oleh Arya
Manguri sampai dewasa,ia diberikan nama I Gusti Ngurah Paminggir.
Kemudian I Gusti Ngurah Paminggir menghamba Dalem Gelgel. Setelah itu keadaan
Dalem mendapat tantangan dari Desa Abang yang selalu menentang, I Gusti Ngurah
Paminggir salah satu yang diutus menyerang desa-desa seperti: Trunyan, Kedisan,
Buwahan, Songan, Batur, Pinggan, Kintamani, Bantang, Dawusa. I Gusti Paminggir
diberikan pasukan sebanyak 700 orang. I Gusti Paminggir menyerang dari arah selatan.
97
Shastra Wangsa
Para Perbekel diikat dan dihadapkan kepada Dalem. Kemudian I Gusti Paminggir
dikaruniai rakyat sebanyak 200 orang dan sawah seluas 50 Ha, tegalan seluas 2
cutak.[BAPM]
Arya Patandakan
Kiyai Agung Patandakan adalah putra dari Kiyai Agung Nyuhaya, cucu dari Arya
Kapakisan, yang menjadi patih agungnya Sri Aji Kresna Kapakisan. Kedudukan Arya
Kapakisan setelah mangkat digantikan oleh putranya Kiyai Agung Nyuhaya. Begitu pula
setelah Kiyai Agung Nyuhaya mangkat, kedudukannya sebagai patih digantikan oleh putra
sulungnya, yaitu Kiyai Agung Patandakan. Tercatat Kiyai Agung Patandakan memiliki
empat orang putra, masing-masing adalah I Gusti Batan Jeruk, I Gusti Bebengan, I Gusti
Tusan, I Gusti Gunung Nangka. Demikian seterusnya, setelah Kiyai Agung Patandakan
mangkat, kedudukannya sebagai patih agung digantikan oleh I Gusti Batan Jeruk.Arya
Patandakan menurunkan Kiyai Batan Jeruk dan Kiyai Nginte, yang tinggal di desa
Bungaya Karangasem. [BSH]
Arya Pinatih
Ida Manik Angkeran berputra Ida Tulusdewa dan Ida Kacang Paos. Ida Tulusdewa
berputra Ida Banyakwide dan Arya Sidemen. Ida Banyakwide menurunkan Arya Pinatih
atau Arya Wang Bang[BPBN]. Ketika Dalem memerintah dengan bijaksana, kemudian
didatangi oleh I Gusti Ngurah Penatih hendak mengabdikan diri. Dalem menerima dengan
senang hati, seraya menempatkan I Gusti Ngurah Pinatih di Badung dengan pengiring
Warga Pasek Kayu Selem dan Kayu Putih. Setelah beberapa lama kemudian I Gusti
Ngurah Penatih mempersunting putri Ki Dukuh Suladri dari Talangu. [KPKS]
98
Shastra Wangsa
di Bali diberikan julukan Arya Belog, alias Arya Tan Wikan. [Lihat, Dyah Kili Suci, Arya
Belog]
Arya Sentong(1)
Arya Sentong adalah keturunan raja Janggala, atau Kahuripan di Jawa. Ia juga disebut
Ksatrya Kahuripan yang konon masih bersaudara dengan Arya Damar, Arya Kenceng,
Arya Kutha Waringin, dan Arya Pudak, atau Arya Belog, atau Arya Tanwikan. Arya
Sentong turut ambil bagian dalam penyerbuan Gajah Mada ke Bali, sebagai balasan atas
sikap raja Bali Sri Asura Ratna Bumi Banten alias Gajah Waktra yang ingin merdeka dari
Majapahit. Divisi yang salah satunya diperwirai oleh Arya Sentong masuk melalui pantai
utara Bali, yaitu melalui pantai Ularan. Di sana ia dihadang oleh perwira Bali bernama Ki
Girikmana dan Ki Buah. Setelah Bali dinyatakan kalah, dan diangkatnya raja Jawa di Bali.
Arya Sentong diangkat menjadi Anglurah di Carangsari, Badung. [BGT]
Arya Sentong(2)
Ida Arya Sentong beristana di Pacung bergelar Kiyai Ngurah Pacung, Ida berputra
Sirarya Putu. Keturunan beliau ada dua orang yaitu Kiyai Ngurah Ayunan dan Kiyai
Ngurah Tamu. Kiyai Ngurah Ayunan pindah ke Perean dan Kiyai Ngurah Tamu tetap
tinggal di Pacung. Sepeninggal Kiyai Ngurah Tamu semua pusaka di boyong ke Perean
oleh Kiyai Ngurah Ayunan dan juga diiringi oleh Kiyai Ngurah Pupuan. Setelah lama di
Perean Kiyai Ngurah Pacung mengambil istri yang bernama I Gusti Luh Pacekan, dan
menurunkan I Gusti Ngurah Batanduren. [BPBL]
Arya Sukahet
Tersebutlah seorang Arya bernama Sri Arya Wangbang yang diturunkan dari
kebrahmanaannya sehingga menjadi Patih Arya Wangbang oleh Sri Aji Kresna Kapakisan.
Arya Wangbang ini ditugaskan menjadi Lurah di Desa Sukahet dengan mengambil istri
“orang berit” serta nantinya menurunkan I Abug Maong. Antara Arya Wangbang dengan I
Gusti Ngurah Sukahet adalah satu wangsa. [BAS]
99
Shastra Wangsa
Arya Timbul
Sri Aji Erlangga berburu ke tengah hutan. Ia bertemu dengan seorang gadis berambut
keriting, bernama Si Rara Barak. Prabu Erlangga kawin dengan Si Rara Barak dan dari
perkawinan itu lahirlah Arya Buru. Arya Buru kemudian mempunyai putra bernama Arya
Timbul. Arya Timbul menurunkan puteri Ni Gunaraksa. Arya Timbul bersama putrinya
pergi ke Bali (Gelgel). Ida Dalem memberikan tempat pada Arya Timbul di Desa Bukit
Buluh. Ni Gunaraksa diambil oleh I Gusti Ngurah Tutuwan, dengan perjanjian bila Arya
Buru meninggal agar Ngurah Tutuwan bersedia menyembahnya. I Gusti Smaranatha
bersama para keluarganya mempersoalkan Ngurah Tutuwan menyembah mertuanya
turunan dari Ni Berit. Kemudian Pangeran Tohjiwa memutuskan hubungan dengan Ngurah
Tutuwan dan karena itulah adanya Bale Pegat. [BUB]
Arya Wiraraja
Arya Wiraraja adalah gelar dari Wangbang Banyak Wide, putra dari Manik Angkeran
yang dari tempat kelahirannya di Bali pergi ke Daha, Jawa, untuk bertemu dengan
kakeknya Dang Hyang Siddhimantra. Perkawinannya dengan I Gusti Ayu Pinatih puteri
Arya Buleteng, seorang patih Daha menyebabkan ia mengubah kewangsaannya dari
100
Shastra Wangsa
brahmana menjadi ksatriya dengan sebutan Arya Wangbang Pinatih. Gelar Arya Wiraraja
diberikan kepadanya setelah ia menjadi raja di Sumenep, Madura. [BMA]
101
Shastra Wangsa
102
Shastra Wangsa
Aswasiksa (2)
Ada pengertian lain dari Aswasiksa, disebutkan di dalam teks Bhuwana Suksma. Seperti
berikut ini terjemahan dan kutipan teksnya: “Apabila Angwisesa namanya, mampu olehmu
mengeluarkan sifat-sifat kawisesaan, mengeluarkan sifat-sifat wisesa dari catur candranta,
yaitu, selesaikan kemelekatan matamu pada objeknya, kemelekatan hidungmu pada
objeknya, kemelekatan kupingmu pada objeknya, keterikatan mulutmu pada objeknya”
(Yan angwisesa ngaran, dadi pwa denira amedalaken kawisesan, aswasiksanen gunaning
catur candranta, ngaran, kapurnaning wisayan tinggalta, wisayaning irungta, wisayaning
karnanta, wisayaning cangkemta). [BS]
103
Shastra Wangsa
[B]
Badeg Dukuh
Badeg Dukuh adalah julukan bagi Dukuh Ambengan ketika melakukan yoga-samadhi.
Siapa Badeg Dukuh alias Dukuh Ambengan itu? Diceriterakan Gurun Pasek Gelgel
ditugaskan menguasai Baleagung, dan adiknya Pasek Togog ditugaskan di Besakih dan
bertempat di Muntig. Setelah lama ia mempunyai putra tiga orang yang bernama De
Dukuh Ambengan, De Dukuh Subudi, dan De Dukuh Bunga. Dukuh Ambengan beryoga
samadhi bergelar Badeg Dukuh. Ia menurunkan Dukuh Prawangsa. [BPSK]
Bale Agung
Kembali ia mengembara ke perempatan jalan, berkumpul kembali ia mengadakan Catur
Bhuta yaitu Sang Drembhamoha, Sang Kalangadhang, Sang Kalawingsa, Sang
Kalakatung. Kembali ia berada di Bale Agung, berganti nama beliau Bhatari Durga,
dengan sebutan Sang Kalika Maya, Bhatara Kalarudra dengan nama Sang Jutisrana,
berkumpul mereka di sana, muncullah Sang Kala Tiga, diiringi oleh Sang Bhutaraja, Sang
Kala Putih, Sang Kala Bang, Sang Kala Kuning, Sang Kala Ireng, dan Sang Bhuta Pelung,
Sang Bhuta Dadu, Sang Bhuta Kwanta, Sang Bhuta Ijo, dan Sang Bhuta Swat, Bhuta
Walangkrik, dan Bhuta Sanjaya, banyak apabila diceritakan. [PGS]
104
Shastra Wangsa
satuadanya. Sampai pada jaman Udayana dan Gunapriya Dharmapatni tercatat ada
beberapa sekte, seperti sekte Indra, Bayu, Kala, Brahma, Wisnu, dan Sambhu. Sekte-sekte
yang saling bersinggungan dan sering menyebabkan konflik horizontal itulah yang hendak
ditata ulang oleh raja Udayana dan istrinya. Mereka para penganut sekte-sekteitu disebut
orang-orang Bali Aga, campuran para pengiring Rsi Markandeya dan orang-orang yang
sudah menghuni Bali lebih dahulu.[RAK]
Balian Batur(1)
Konon Cokorda Shakti Blambangan raja Mengwi tidak ada keinginan mengabdi kepada
raja Dalem di Gelgel. Oleh karena itu Hyang yang bersthana di Ulun Danu, hendak
memberi cobaan kepada Cokorda Shakti Blambangan.Diciptakanlah manusia amat shakti
bernama Ki Balian Batur, seorang keturunan Sengguhu dari Bintang Dhanu. Ki Balian
Baturdikenal sangat ahli dalam hal ilmudesti, teluh, taranjana, serta ilmu siluman.Hyang
Ulun Danu memerintahkan Ki Balian Baturagar mengacaukan wilayah kekuasaan Mengwi
di desa Taro. Setibanya di desa Taro, ia langsung menyebarkan penyakit, sehingga banyak
orang sakit dan mati. Itulah sebabnya dengan cepat Anglurah Taro melaporkan hal itu
kepada raja Mengwi. Kepada Anglurah Taro diperintahkan menjauhkan Balian Baturke
hutan Mrecika, Karang Teledu Nginyah, di sebelah barat desa Cawu. Sepak terjang Ki
Balian Batur semakin menjadi-jadi saja. Bersama sekitar 5 orang muridnya,
iamenyebarkan wabah mematikan di desa Cawu. Sampai di Kuramas (Marga) terkena
wabah mematikan. Itu sebabnya I Gusti Agung di Kuramas mengirim utusan melaporkan
keadaan tersebut kepada raja Mengwi. Mendengar perihal itu, raja Mengwi segera memilih
pasukan sebanyak 200 orang. Semuanya tahu ilmu “kiri kanan” (kiwa tengen),termasuk
ilmu siluman lainnya. Yang menjadi pimpinan pasukan adalah I Bendesa Gelgel. Ia
diperintahkan membinasakan Ki Balian Batur, sampai dengan murid-muridnya semua.
Raja Mengwi mempunyai sebilah pedang buatan Banjar (buatan Padanda Shakti Lalandep)
bernama Si Brahmana.Pedang itu diberikan kepada Ki Bandesa Gelgel.Ada janji raja
Mengwi kepada Ki Bandesa Gelgel dan pasukannya.Apabila berhasil membunuh Ki Balian
Batur beserta murid-muridnya, seluruh keturunan Ki Bandesa, serta seluruh yang
membantunya, tidak akan pernah dikenakan hukuman pejah panjing (dihukum mati, dan
dirampas). Maka Pasukan itu pun segera berangkat. Cokorda shakti berada di belakang.
Banyak menteri dan pemuka mengiringi, serta rakyat yang tidak terhitung jumlahnya.
105
Shastra Wangsa
106
Shastra Wangsa
(pradhana), karena Dewa Gunung Agung adalah purusha. Nama lain Maya Danawa
adalah Sri Ugrasena Tabendra. Dari mana ia berasal? Para ahli memberitahu, ia adalah
keturunan wangsa keling dalam arti Kalingga.
108
Shastra Wangsa
Berit (1)
Adapun tatkala Sang Pendeta menganugerahkan ajaran rahasia kepada putrinya,
didengarkanlah ajaran Sang Pendeta oleh seekor Tembuati Kalung (cacing tanah) yang
menyebabkan tertebuslah semua kepapaannya. Tiba-tiba Tembuati Kalung itu berubah
wujud menjadi seorang perempuan, yang langsung menyembah di hadapan Sang Pendeta.
Karena ia berasal dari makhluk papa, maka ia kemudian diberi nama Ni Berit. Dalam
bahasa Bali, berit berarti keriting. [DT]
110
Shastra Wangsa
persembahan kepada dewa. Karena itu Bhagawan Salukat disuruh menyembah. Berkatalah
Sang Bheksakarma alias Bhagawan Salukat: “Saya tidak boleh menyembah Dewa!”.
Menyahutlah orang Melayu: “Orang apa kamu ini? Berbeda-beda, semuanya serba tidak
boleh!”. Tidak urung Bhagawan Salukat pun lantas dikerubung oleh orang-orang Melayu.
Dipaksalah ia disuruh menyembah. Akhirnya ia mau menyembah. Baru saja ia akan
menyembah, guruh bergetar tak putus-putusnya. Gempalah bumi, hancur rebahlah tanpa
kecuali semua bangunan. Menangislah semuanya orang-orang Melayu itu, tersedu-sedu
melapor kepada Sang Mantri Agung. [PGS]
Bhairawa (3): I Gede Macaling & Dalem Dukut makan daging manusia
I Gede Macaling dan Dalem Dukutberdiskusi, bagaimana kalau mencoba memakan
daging manusia. Bukankah di jalanan sering ada anak-anak bermain di bawah pohon
Bunut, bagaimana kalau dicomot satu orang lalu dimasak. Begitu topik diskusi mereka.
Para hari Soma Kajeng Kliwon, I Gede Macaling teringat dengan topik diskusi tersebut,
maka dicomotnya seorang anak pada saat matahari terbenam di barat di bawah pohon
Bunut yang tumbuh di pinggir jalan. Malam harinya ia memasak dan berpesta bersama
111
Shastra Wangsa
Dalem Dukut. Karena menyenangkan maka pesta itu diulang setiap hari Senen (Soma)
Kajeng Kliwon, lima belas hari sekali. Itulah sebabnya, setiap lima belas hari sekali satu
orang anak di Nusa Penida hilang misterius. Keadaan yang mencekam ini kemudian
dilaporkan kepada Dalem Waturenggong di Bali. Dalem memutuskan turun langsung ke
Nusa Penida.
Setelah bertemu muka, maka raja Waturenggong berkata kepada Dalem Dukut: “Adikku
Dalem Dukut, apakah dirimu ini bukan titisan dewa?Apakah dirimu ini penjelmaan
binatang hutan? Tidak patut manusia memakan manusia. Besar sekali kesalahanmu, maka
dirimu sepantasnya mati, karena lupa pada asal-usul, tidak ingat dengan kedudukan, tidak
paham dengan tutur aji. Bukan manusia namanya kalau menjalankan dharma raksasa.
Kalau begini tabiatmu, maka kakak akan menghabisi nyawamu!” Begitu perkataan Dalem
Waturenggong.
Dalem Dukut tidak mengelak, karena merasa diri salah terlanjur tahu bagaimana enaknya
minum darah mentah manusia. Maka ada permintaannya apabila dirinya sudah mati nanti.
Permintaannya, pada setiap upacara pujawali baik di kahyangan maupun dan di
perumahan, agar dirinya dibuatkan urab darah babi mentah sebagai pengganti darah
manusia. Itulah isi permohonannya. Lantas ia mati ditikam dengan keris oleh Dalem
Waturenggong. Rohnya dibuatkan pelinggih di bawah pohon Bunut itu.
Kemudian Dalem Waturenggong hendak memotong taring I Gede Macaling. Karena ada
permohonan dari I Gede Macaling, maka Dalem memberikan kelonggaran, bahwa I Gede
Macaling boleh memakan orang hanya pada bulan (sasih) 6, 7, 8. Namun apabila ada tanda
(sawen) pandan berduri bertorehkan kapur putih bertangkai bambu runcing (mapati buluh
tajep) di depan pintu gerbang pekarangan, I Gede Macaling tidak boleh memakan manusia
yang ada di dalam pekarangan tersebut [BNP][Lihat, Ida Ratu Ayu Mas Maketel).
Paham Bhairawa membenarkan manusia memakan daging manusia. Sehingga kisah I
Gede Macaling dan Dalem Dukut dapat dipahami bahwa Nusa Penida pernah menjadi
tempat berkembangnya paham Bhairawa. Barangkali karena paham Bhairawa itu terdesak
di Bali, maka kemudian paham kiri itu berkembang di Nusa Penida.
112
Shastra Wangsa
antara Bebandem-Ababi, Dang Hyang Astapaka melihat sinar di atas daerah Taman Sari.
Di sana ia kemudian membuat tempat pemujaan yang kemudian menjadi Pura Taman Sari.
Di dekatnya dibangun tempat tinggal, yang kemudian juga menjadi pura bernama Taman
Tanjung. Konon baik di Bali maupun ketika di Madura, tempat tinggal Dang Hyang
Astapaka selalu dibangun dekat kuburan.
Mengapa dekat kuburan? Ia adalah penganut Buddha Bhairawa. Cucu Dang Hyang
Astapaka yang meneruskan “sekolah” Budha Bhairawa bernama Pedanda Wayan
Tangeb.Padanda Budha Bhairawa ini hidup sekitar tahun 1616. Pada saat itu Gunung
Agung meletus. Keluarga Padanda Wayan Tangeb pindah ke Puncak Sari. Di sebelah barat
aliran lahar gunung Agung kemudian dibangun tempat tinggal dinamakan Griya Alit.
Menurut keterangan, di pamerajan Griya Alit itulah tersimpan tiga pusaka Dang Hyang
Astapaka berupa keris masing-masing bernama Keris Brahma, Keris Shiwa, dan Keris
Wisnu. [PBP] [Lihat, pusaka Dang Hyang Astapaka].
Bhairawa (5)
Di tengah kuburan Mpu Bharang membangun pertapaan. Ia mengikuti aliran Bhairawa.
Mayat-mayat orang dimakannya, ia melakukan brata pantang berbicara (mona brata), dan
juga berpantang memakan mayat manusia pada saat siang hari. Hanya pada malam harilah
ia memakan mayat. Sebagai piringnya adalah tengkorak kepala manusia yang sudah mati.
Ia membawa Kantona, sebagai alatnya menghancurkan daging orang yang sudah mati.
Setiap mayat manusia yang dimakan olehnya, maka atma yang bersangkutan akan
mendapatkan kemoksaan. Semua atma yang telah dimakan jasadnya akan mendapatkan
kebebasan terakhir. Semua Atma itu akan kembali ke Buddhalaya. [PGS]
113
Shastra Wangsa
Sukawati berhasil “meminjam” ilmu itu dan berjanji akan mengembalikan dalam tempo
tiga hari. [Lihat, Ki Geder & Ki Seleseh].
114
Shastra Wangsa
menyebutkan bahwa Bhatara Guru bertempat di ubun-ubun. Rupa Bhatara Guru putih
bersih seperti telur bebek. Ia adalah perwujudan dari Amerta Cutabuntek tanpa asap.
(Bhatara Guru ring wunwunan, gengira santiga ning bebek, rupanira putih bresih amreta
cutabuntek tan pakukus).[SSS]
115
Shastra Wangsa
nisreyasa, dan sudah sepatutnya menuju alam acintya. Mengapa Dang Hyang masih
tinggal di Bali?”
Dang Hyang Nirartha dengan seksama mendengarkan sabda Bhatara Masceti. Dang
Hyang menjawab: “Hamba masih menunggu pemberitahuan dewata kepada Hamba.”
Bhatara kembali bersabda: “Arah Baratdaya adalah Shiwa Rudra yang bertahta. Mari
sekarang pergi ke sana menyusuri tepi pantai.”
Dang Hyang Nirartha menurut. Percakapan antara keduanya tentang ilmu pengetahuan
rahasia. Beliau berjalan bersaranakan pikiran. Segera keduanya tiba di Sakenan. Laut
bagaikan membersihkan segala kekotoran. Masyarakat Serangan melihat sepasang sinar
bagaikan Surya dan Bulan berwarna merah dan kuning disertai bau harum. Ada yang
pikirannya jujur berani mendekat menghaturkan sembah. “Siapakah Paduka?”
Dang Hyang Nirartha menjawab “Bapa adalah pendeta bernama Dang Hyang Wawu
Rawuh, menyertai Bhatara Masceti bertamasya di pantai. Tidak diduga telah tiba di sini.”
Orang Serangan yang mendengar segera menjawab. “Ya, Ratu telah berkenan turun di desa
Serangan, silahkan Ratu Bhatara tinggal di sini, yang akan senantiasa Hamba puja. Dang
Hyang Nirartha bersabda: “Ini bunga kancing gelungku, taruh di sini, buatkan sebuah
candi, sebagai tempat pemujaan seluruh masyarakat, dan buatkan sebuah gedong sebagai
tempat memuja Bhatara Masceti, karena beliau yang Bapa ikuti, itulah sebabnya Bapa
sampai di sini.” Orang Serangan menyembah dan menuruti. Betapa senang hati mereka.
Dang Hyang Nirartha bersama Bhatara Masceti meninggalkan tempat itu. Segera beliau
tiba di pesisir pantai di daerah Kerobokan. Di sana beliau samar-samar melihat bukit
menjorok ke tengah laut, bagaikan sebuah perahu besar yang akan berlayar membawa
orang-orang yang sudah sempurna menuju ujung langit, menuju acintya bhuwana,
demikian kalau dipikirkan. Dang Hyang sangat senang memandang Huluwatu. Bhatara
Masceti mengetahui keinginan Dang Hyang. Beliau lalu bersabda: “Dang Hyang saya akan
pergi, sebab sungguh tidak boleh berdua menuju tempat itu. Berdua menyebabkan
terbaginya pikiran, yang menyebabkan tidak akan tercapai apa yang dituju. Oleh
karenanya, hanya satu yang harus diingat. Demikian sabda Bhatara Masceti, segera beliau
menggaib. [DT]
116
Shastra Wangsa
Bhatara Shakti Rambut Sinungsung adalah sebutan bagi Dang Hyang Nirartha yang
diberikan oleh Ki Bandesa Mas dan keturunannya. Sebutan itu tercantum di dalam
babadnya, setelah Ki Bandesa Mas didiksa menjadi seorang pendeta dan diberikan
anugerah berbagai kewenangan, baik dalam menjalankan upacara ketika hidup maupun
sesudah mati. Sebagai seorang pendeta Ki Bandesa Mas bergelar Pandita Mas. [PDK]
118
Shastra Wangsa
119
Shastra Wangsa
Sunia Hening. Dengan kehadiran Sang Hyang Sunia Hening menjadi makmurlah konon
daerah Bali. Seperti itulah disebutkan Sang Rsi Madura. [TAK]
120
Shastra Wangsa
adalah Gni Sara-sinara, Purwabhumi Twa, Gelar Shiwalingga, Gni Sara, lengkap dengan
senjatanya. Segala kekotoran dunia dilebur dan disucikan olehnya. Itulah sebabnya sang
Bhujangga Waisnawa adalah perwujudan dari Ongkara Merta, bagaikan air sucinya dunia.
Kedudukannya di batur (tempat yang tinggi), sang Bhujangga Waisnawa tidak terkena
“cuntaka”, karena ia adalah perwujudan Suku dan Cecek, berhak “nyiwa-budha”. Dan
dalam hal kematian, sang Bhujangga Waisnawa berhak mengantarkan perjalanan roh orang
yang meninggal, berhak melakukan pembersihan, dan penyucian Negara. Jika ada orang
yang melakukan upacara “lebuh-gentuh”, pecaruan di pekarangan, ulun jurang, setra dan
sawah, sang bhujanggalah yang patut menyucikan. Dan ia pula yang berhak menyucikan
Tri Mala dan Dasa Mala, karena ia memiliki gelaran: Weda Purwabhumi Twa, Sangka,
Katipluk, Genta Urag, Bajra Padma, Bajra Uter.” [diringkas dari BWST]
121
Shastra Wangsa
Boddha Sogata
Mereka mempunyai kesusastraan Budha tersendiri, yang tertua adalah Sang Hyang
Kamahayanikan, yang lazim disebut Jina atau Jinaputra. Di Jawa dahulu dan di Bali kini
dianut Mahayana Tantris. Perbedaan yang khas dengan Budhisme di India, padanda-
padanda Buddha digolongkan wangsa brahmana. Padanda Buddha dalam doanya memakai
mantra budhanya sendiri terutama nama-nama Dhyanibuddha memainkan peranan.
Sebagaimana di Jawa, Shiwa dan Buddha sebagai agama negara yang berdampingan dan
diakui. Contoh-contoh mantra sehari-hari banyak juga dipergunakan oleh padanda Shiwa,
seperti saptagangga, wyanjana, suryastawa. Yang menarik, padanda Buddha selain
menggunakan saptagangga, masih mengenal trigangga, panca gangga, dan nawa gangga.
Selanjutnya padanda Budha menggunakan mantra yang tidak terdapat pada upacara
padanda shiwa, seperti: baruna stawa, saraswati stawa, prethiwi stawa. Satu mantra
Wisnu yang masih tersimpan dalam upacara budhis di Bali adalah Panca Narasingha.
Mantra-mantra khas buddhis adalah: Prajnaparamita, dan Bajramandala. [SSB]
Brahmana
“Apan sang brahmana kadang lawan dewa, brahmana umungguh ring lemah, padha
bhatara umungguh ring sastra, ring puja, ring wariga, ring tutur, shastrapadha dadi sawiji.”
(Karena sang brahmana berkekerabatan dengan dewa, brahmana berada di tanah, sama
dengan bhatara berada di dalam shastra, puja, wariga, tutur, shastra sama menjadi satu).
[SSS]
122
Shastra Wangsa
Brahmana Antapan
Yang dimaksudkan dengan istilah brahmana antapan adalah para brahmana keturunan
dari Ida Wayahan Sangsi, atau yang juga disebut dengan nama Ida Patapan. Salah satu
bhisama dari Dang Hyang Nirartha, kewenangan para brahmana Antapan dibedakan
dengan kewenangan empat brahmana lainnya, yaitu brahmana Kemenuh, brahmana
Manuabha, brahmana Keniten, dan brahmana Mas. [DT, DDN, BCB] [Lihat, Ida Patapan]
Brahmana Bindu
Brahmana Bindu adalah sebutan yang diberikan kepada para brahmana keturunan dari
Ida Wayahan Temesi, atau nama lainnya Ida Bindu. Ida Wayahan Temesi adalah anak
Dang Hyang Nirartha yang lahir dari perkawinannya dengan Ni Berit. Salah satu bhisama
Dang Hyang Nirartha membedakan kewenangan brahmana Bindu dengan empat kelompok
brahmana Shiwa lainnya, yaitu brahmana Kemenuh, brahmana Manuabha, brahmana
Keniten, dan brahmana Mas. Menurut keterangan Ida Wayahan Temesi didiksa menjadi
seorang padanda oleh Mpu Kidul, putra Dang Hyang Nirartha yang lahir dari ibu asal desa
Mas, puteri Bandesa Mas. [DT, DDN, BCB]
Brahmana Buddha
Mpu Bharadah memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Mpu Shiwa Gandu dan
yang bungsu bernama Mpu Bahula. Mpu Bahula berputra satu bernama Mpu Tantular.
Selanjutnya Mpu Tan Tular berputra empat orang, yaitu Mpu Panawasikan, Mpu
Siddhimantra, Mpu Smaranatha, dan Dang Hyang Kapakisan. Mpu Smaranatha berputra
dua orang, yang sulung bernama Mpu Angshoka, yang bungsu bernama Mpu Nirartha.
Mpu Angshoka berputra seorang yaitu Dang Hyang Astapaka. Dari Dang Hyang Astapaka
inilah berkembang brahmana Buddha di Bali. [DT]
.Dengan demikian, Brahmana Bhujangga Kayumanis adalah guru dari Sri Kreshna
Kepakisan. [BDKL]
Brahmana Bujanggitan
Teks Shastra Purwana Tattwa menjelaskan apa yang dimaksukan dengan istilah
brahmana bhujanggitan. Apabila seorang brahmana mengambil istri dari wangsa wesya,
kemudian mempunyai anak, dan bila anak ini mengambil istri wangsa sudra dan beranak
laki, anak laki-laki ini dinamakan Brahmana Bujanggitan. [SPT]
Brahmana di Jawa
Diceritakan tentang raja dari Medhang Alas, yang bernama Sri Wretipati Kandhahyun.
Ada anak beliau dua orang, satu laki satu perempuan. Yang menggantikannya sebagai raja
adalah Sri Kulapati, istrinya bernama Sri Kulini Dewi. Entah sudah berapa lama mereka
bersuami-istri, lahirlah puterinya berjulukan Dewi Kasingi. Ia buta semenjak lahir. Konon
karena kesalahan ayah ibunya, ketika menjelma dahulu tidak berpamitan kepada Bhatara
Guru. Ingatlah Sri Kulapati tentang asal mula dari penjelmaannya, maka ia kemudian
menghadap ke Bhatara Guru dan Bhatari Uma. Di hadapan Bhatara Guru dan Bhatari Uma,
Sri Kulapati berkata. “Tabik hamba Sri Parameswara Bhatara, diri hamba ini berdua datang
menyembah di hadapan Bhatara, memohon anugerah pengampunan atas perilaku hamba,
tidak berpamitan di hadapanmu terdahulu ketika menjelma ke jagat manusia. Sekarang
hambamu ini datang berdua memohon anugerah pembersihan, tidak lagi akan menjelma,
dan puteri kami Dewi Kasingi namanya, supaya tidak lagi buta.” Demikianlah perkataan
Sri Kulapati bersama istrinya Sri Kulini Dewi.
Welas asih perasaan Bhatara Guru atas tata laksananya. Maka berkatalah beliau. “Duhai
anakku Sang Manobhawa, sadarlah kalian berdua pada kelahiranmu terdahulu, Jatismara
namanya, ingat sekarang dirimu, pahala orang yang marah kepada dewa dan kepada Sang
Wreddha Pandhita itu menjadi manusia buta tuli, menjadi sebagai kekotoran dunia.
Sekarang ada permintaan dirimu kepada diriku tentang anakmu yang bernama Dewi
Kasangi. Aku tidak berhak memberikan anugerah, akan tetapi akan hilang jugalah
kebutaannya pada akhirnya nanti, apabila sudah menikah. Kelak ia akan menjadi seorang
pertapa, akan sempurnalah kembali. Segala macam mala pataka itu akan berubah menjadi
abu, hancur lebur terkena oleh kekuatan Cadusakti oleh gurunya, yang mengembangkan
124
Shastra Wangsa
keturunan para brahmana, yang ada di jagat pulau Jawa. Adapun anakmu, niscaya akan
menjadi sempurna cantik menawan, pandai memelihara bhuwana.” Demikian perkataan
Bhatara Guru. Berbahagialah perasaannya. Bersama istri beliau menyembah untuk kembali
pulang ke Medhang Kamulan. [PGS]
125
Shastra Wangsa
Selanjutnya Dang Hyang Smaranatha, putra ketiga Mpu Tantular, menurunkan dua orang
putra. Yang sulung bernama Mpu Angshoka, yang bungsu bernama Dang Hyang Nirartha.
Sebagaimana ayahandanya, keduanya dikenal sebagai kawi wiku legendaris yang
melahirkan banyak karya shastra monumental. Apabila Dang Hyang Angshoka
menurunkan Dang Hyang Astapaka yang selanjutnya melahirkan keturunan Brahmana
Buddha di Bali, maka Dang Hyang Nirartha menurunkan Brahmana Shiwa di Bali. Dang
Hyang Nirartha menikah dengan putri tunggal dari Dang Hyang Panawasikan. Perkawinan
tersebut menjadi awal peralihan dari agĕm-agĕman Buddhapaksa yang dilakoni Dang
Hyang Niratha menjadi agĕm-agĕman Shiwapaksa.[DT, BCB, DDN]
126
Shastra Wangsa
di Besakih. Utusan pun disebar guna mencari orang aneh itu, di mana pun ia berada.
Akhirnya ia ditemukan sedang berada di Sidhakarya. Dalem Waturenggong memohon agar
Bali dikembalikan seperti semula, yakni bebas dari hama, sehingga pelaksanaan upacara
bisa kembali berlangsung seperti sediakala. Brahmana Keling menyanggupi dan memang
terbukti hama tersebut kemudian lenyap. Warturenggong kemudian mengakuinya keluarga.
Ia dijuluki Dalem Siddhakarya. Konon ini terjadi pada tahun 1693 Masehi. Dalem
Wuturenggong membuat keputusan, agar seluruh Bali menyertakan topeng Dalem
Sidhakarya sebagai yang melengkapi upacara. [PBP]
menempuh jalur dari Gelgel ke timur dan kemudian lewat jalur utara Bali. Selain berbagai
pustaka, beliau juga membawa sejumlah pusaka, antara lain keris Ki Baru Jariji, tongkat Ki
Baru Rambat, sebuah tongkat yang pernah dipergunakan oleh Dang Hyang Nirartha
memasuki mulut naga dalam perjalanan di Purancak. Tak diceritakan suka duka dalam
perjalanan, sampailah beliau di desa Kayuputih, Buleleng. Di sana ia bertemu dengan Ki
Pasek Gobleg, keturunan I Gusti Pasek Gelgel dari banjar Pagatepan, Gelgel. Ki Pasek
Gobleg berhasil membujuk Dang Hyang Wiragasandhi agar mengurungkan niatnya
kembali ke Jawa, dan selanjutnya menetap di Kayuputih karena akan dijadikan guru
spiritual bagi masyarakat Kayu Putih dan desa-desa di sekitarnya.
Bujukan Ki Pasek Gelgel tidak sia-sia. Setelah beberapa lama menetap di Kayuputih,
Dang Hyang Wiragasandhi pun dijadikan Bhagawanta di kerajaan Buleleng. Ketika itu
rajanya adalah I Gusti Agung Panji Shakti. Putra sulungnya, yaitu Padanda Shakti Bukian
kemudian menjadi Bhagawanta kerajaan Mengwi. Kepada Padanda Shakti Bukian, Dang
Hyang Wiragasandhi memberikan keris Ki Baru Jariji dan tongkat Ki Baru Rambat, dan
sebuah cincin yang memiliki kekuatan tembus pandang. Di Mengwi Padanda Shakti
Bukian dibuatkan asrama di hutan Kekeran, sekitar Mengwitani.
Putra kedua, yaitu Padanda Shakti Ngurah Pamade selanjutnya membangun asrama di
bagian utara Buleleng, sekarang disebut Banjar Ambengan. Ia pun kemudian diangkat
menjadi Bhagawanta I Gusti Agung Panji Shakti. Kesaktian beliau terdengar sampai ke
tanah Jawa. Dalam babad diceritakan ada seorang pendeta dari Jawa yang bertandang ke
pasraman beliau, bermaksud untuk saling mengukur kedalaman batin dan ketinggian jnana.
Pendeta Jawa itu mengakui keunggulan Padanda Shakti Ngurah Pamade. Putra ketiga,
yaitu Padanda Shakti Kemenuh, selanjutnya menetap di desa Panji, Buleleng. Di desa
itulah selanjutnya beliau menurunkan Ida Kemenuh.Dari sinilah awal mula munculnya
watek Kemenuh pada brahmana Shiwa di Bali. [DT, BCB, DDN, BBUL, BMW-1]
Brahmana Keniten
Cikal bakal brahmana Keniten bermula dari keturunan Dang Hyang Nirartha asal
Blambangan. Seperti disebutkan dalam babadnya, salah seorang putra Dang Hyang
Nirartha yang lahir dari ibu bernama Dyah Patni Keniten asal Blambangan bernama Ida
Wetan. Ida Wetan memiliki dua orang saudara, yaitu Ida Talaga dan Dayu Niswabhawa.
Setelah didiksa menjadi seorang padanda langsung oleh Dang Hyang Nirartha, Ida Wetan
128
Shastra Wangsa
kemudian bergelar Mpu Wetan. Dari sinilah asal mula adanya watek keniten pada
brahmana Shiwa di Bali. [DT, BCB, DDN]
Brahmana Manuabha
Mpu Lor adalah putra Dang Hyang Nirartha beribu asal Pasuruan. Mpu Lor menikah
dengan putri I Gusti Dauh Baleagung. Dari pernikahan itu lahirlah dua orang putera. Yang
sulung Padanda Burwan berkedudukan di desa Manuaba, Gianyar. Yang bungsu Padanda
Mambal. Padanda Burwan terkenal karena kesaktiannya. Karena kesaktiannya itulah ia
diberikan gelar Padanda Shakti Manuabha. Begitu juga Padanda Shakti Mambal. Ia juga
terkenal karena kesaktiannya. Padanda Mambal berputera Padanda Singharsa yang
bertempat di Sidemen. Padanda Burwan, atau Padanda Sakti Manuaba memiliki lima orang
istri, masing-masing berasal dari keturunan Bajangan, Abah, Tianyar, Kutuh, dan terakhir
asal Sumbawa bernama Dedensari. Dari masing-masing istri tersebut lahirlah berturut-
turut: Padanda Bajangan [ibu asal Bajangan], Padanda Abah [ibu asal Abah], Padanda
Tianyar [ibu asal Tianyar], Padanda Kutuh [ibu asal Kutuh], Ida Raden [ibu asal
Sumbawa]. Nama-nama Padanda tersebut menunjukkan dari ibu asal mana ia dilahirkan.
[DT, BCB, DDN]
129
Shastra Wangsa
Brahmana Mas
Karena bhakti kepada gurunya, yaitu Padanda Shakti Wawu Rawuh, Ki Pangeran Mas
menghaturkan putrinya kepada Padanda Shakti Wawu Rawuh, yang bernama Dyah Ema,
nama lainnya Gusti Ayu Mas. Ia amatlah baik tingkah lakunya, setia dan cantik parasnya.
Ia lalu dijadikan isteri oleh Sang Pendeta. Mereka bersuami istri dengan baik. Ada seorang
putra yang dilahirkan oleh Dyah Ema bernama Ida Mas, atau Ida Kidul. Itu sebabnya ada
130
Shastra Wangsa
Brahmana Mas, karena lahir dari ibu, putri Ki Pangeran Mas. Demikian diwarisi sampai
sekarang. Setelah itu, Pangeran Mas membuat pura tempat persembahyangan Sang
Brahmana, diberi nama Pura Pule, di desa Mas, di pinggir timur, dan tempat pemujaan
beliau yang bernama Ida Bhukcabe. Demikianlah seketurunan Pangeran Mas mengerjakan
pura di desa Mas, lalu diberi nama Pura Bhukcabe, dijadikan tempat persembahyangan
catur jadma, utamanya oleh warga brahmana, disungsung oleh seketurunan Ki Gede
Bandesa Manik Mas.[DT]
Anak Dang Hyang Nirartha dari ibu asal Mas, bergelar Mpu Kidul. Mpu Kidul
menurunkan empat orang putra: Padanda Alangkajeng, Padanda Timbul atau disebut juga
Padanda Renon, Padanda Tarukan, dan Padanda Sigaran.Ada lagi keturunan Padanda
Kidul dari istri lainnya, bernama Padanda Mas yang bertempat tinggal di Sengkono,
Lombok. Padanda Mas yang tinggal di Lombok ini menurunkan tiga orang putra, yaitu
Padanda Mas (sama dengan nama ayahnya, Padanda Munang, dan Padanda Balwangan.
Menurut keterangan babad, Padanda Mas (anak) inilah yang memegang genta pusaka yang
bernama Ki Samprangan. [BCB]
Brahmanangga Kadali
Beginilah disebutkan di dalam teks Tutur Mahapadma: “Ini adalah Mahapadma Jati,
sangat rahasia ajaran ini, janganlah sembarangan, sungguh rahasia, jangan sembarangan
diberikan kalau tidak bhakti. Ini adalah anugerah dari Sang Repa Wedangga, dari Sang
Brahmana Kadali.” (Iti mahapadma jati, parama rahasya sira, haywa wera, rahasya temen,
haywa pati sinung yan tan bhakti sira, panugrahan ira sang repa wedangga, sangkeng sang
bramana kadali).
Siapakah yang dimaksudkan dengan gelar Brahmana Kadali? Penelitian ini belum
menemukan petunjuk yang berarti tentang siapa sesungguhnya sosok Brahmana Kadali itu.
Kadali adalah istilah lain untuk jantung. Misalnya dalam konteks kadalipuspa, yang
umumnya diartikan bunga jantung pisang, sebagai metafora dari jantung manusia. Istilah
kadalipuspa sangat umum dipergunakan dalam teks Tutur, teks Kalepasan, dan teks Yoga.
[TMP]
131
Shastra Wangsa
Brahmana Resi
Ceritakan Bhagawan Ratnabhumi sekarang bernama Bhagawan Indraloka. Bhagawan
Walkayana adalah guru Purohitanya, sebagai watek Brahmana Resi yang sama shaktinya,
Beryogalah Bhagawan Indraloka berkeliling di dunia. Senjata Cakra dipegangnya,
menguncarkan Weda mantra, sehingga terdengar ada suara di langit.
“E I anakku Sang Indraloka gerakkanlah cakramu, jatuhkanlah di Gunung Silasayan.”
Seperti itulah suara terdengar di langit. Maka dipanahnyalah Gunung itu. Dari dalam
gunung itu muncullah api. Api itu berubah menjadi air. Air itu berubah menjadi permata
tiga warna: merah seperti matahari baru terbit, warna hitam, dan warna putih. Dipujalah
dengan Sang Hyang Ongkara, sehingga menjadi seorang bayi. Sang Hyang Tiga menjadi
satu: Brahma Wisnu Iswara. Sekarang lahir besoknya sudah dewasa, pandai menangani
mayat, berisi surat Cakratala, bedanya di tangan, dinamakan wangsa satriya kula. Itulah
yang melahirkan Dalem Pangulu di Majapahit, saatnya ada Ksatriya wangsa sampai hari
ini. [BWT] [Lihat Lampiran Teks: Brahmana Resi]
132
Shastra Wangsa
Paramashiwa. Merekalah Sang Tiga Wisesa. Tidak ubahnya Sang Hyang Brahma
WisnuIswara yang bersthana di ketiga jagat.” [IT] [Lihat Lampiran Teks: Brahmana
Sangkan Rare]
Brahmangga
Teks Tutur Mahapadma menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan Brahmangga.
Seperti berikut ini terjemahan kutipan teksnya. “Pramananya sebagai sabda di dalam
tidurnya yang bagaikan mati. Tujuannya adalah menjadi wisesa di bhuwana agung dan
bhuwana alit. Ia muncul di dalam hari, ia terbenam di dalam hari. Itulah yang dinamakan
Brahmangga. Itu disebutkan sebagai gerbang tanpa aksara atau tanpa tulisan, dan disebut
kepala bolong). [TMP] [Lihat Lampiran Teks: Brahmangga]
133
Shastra Wangsa
Brati Sasana
Brati Sasana adalah judul karya shastra tentang ajaran sasana atau kode etik orang yang
sedang melakukan janji diri, atau brata. Judul Brati Sasana disebutkan di dalam teks
Dwijendra Tattwa sebagai salah satu karya yang otoritas ajarannya dihubungkan dengan
nama Dang Hyang Nirartha. Dalam perkembangannya kemudian, teks Brati Sasana juga
disebut atau ditulis dengan judul Wrati Sasana. [DT]
134
Shastra Wangsa
Budhakeling (1): Kaywan, Kayumas, Dang Hyang Kanaka, Dang Hyang Astapaka
Budhakeling adalah nama desa di Karangasem yang menjadi pusat pengembangan
Budhapaksa semenjak jaman Waturenggong. Dulunya tempat itu bernama Kaywan,
135
Shastra Wangsa
kemudian Dang Hyang Kanaka mengubahnya menjadi Kayumas. Setelah Dang Hyang
Astapaka kemudian menetap di sana, tempat itu selanjutnya disebut Budhakeling. Selain
untuk mengenang kedua Dang Hyang penganut Budhapaksa itu, juga mengenal asal dari
kedua Dang Hyang itu, yaitu Wanakeling, Madura. Menurut silsilahnya, kedua Dang
Hyang itu adalah anak dari Dang Hyang Angshoka yang tinggal di Daha. Dang Hyang
Angsoka adalah kakak dari Dang Hyang Nirartha yang tinggal di Bali. [BPT]
Budhapaksa
Sang Hyang Jagatpati memberi wujud pada dua sifat Sang Hyang Paramajnana. Satu
bagian adalah Siwapaksa, dengan nama Mpu Walobhawa. Bagian yang lainnya adalah
Boddhapaksa, dengan nama Mpu Bharang. Pergilah ia ke Jawa memasuki hutan Jirah. Mpu
Walobhawa pergi ke arah barat, melaksanakan pertapaan di Warug. Mpu Barang pergi ke
timur, melaksanakan pertapaan di Anggiran. Ada sebuah kuburan besar di pinggir gunung,
kuburan Kaliasem namanya. Beberapa banyaknya mayat di dalam kuburan, karena belum
ditanam sedari dahulu. Ksetra, berarti tegalan atau sawah. Setra berarti tempat. Gandha
berarti bau. Mayu berarti bangkai. Itulah sebabnya bernama Setra Gandhamayu, setra itu
sama artinya dengan tempat pemikul mayat, dari utaranya gunung sampai ke timurnya
gunung, di sanalah tempat tidur-tiduran beliau. Boddha artinya „menakutkan‟. Paksa berarti
memakan segala. [PGS]
136
Shastra Wangsa
menjadi anak. Itulah menjadi sebab Dang Hyang Nirartha berpindah dari Buddhapaksa ke
Shiwapaksa. [DT, DDN, BCB]
137
Shastra Wangsa
[C]
138
Shastra Wangsa
Calonarang, bertempat di cantik tenggorokan bagian bawah (rasa ning ratna manggali, rah
hening, dadi calonarang, magenah ring cantik kakulungan ne ring sor). [SSS]
Candi Mas
I Rare Angon bertempat di cantik tenggorokan, bernama Manusa Shakti, itu disebut
Candi Mas, dari sana keluarnya pikiran dan ucapan. (I rare angon magenah ring cantik
kakolongan, ngaran manusa shakti, ika ngaran candi mas, uli ditu pesuning manah, mwah
sabda). [KS]
Canting Mas
Canting Mas adalah judul ajian kawisesan. Canting Mas juga adalah judul sebuah lontar
yang di dalamnya berisi berbagai ajaran kawisesan. Canting Mas termasuk sangat popular
di kalangan masyarakat shastra. Ada beberapa versi Canting Mas yang diketahui. Hal itu
sangat dimungkinkan karena perjalanan waktu. Pertama kali Canting Mas itu disebutkan
sebagai anugrah Bhatari Melanting kepada seorang padanda bernama Sang Gede Tegeh
dan Jemberana. Kemudian Canting Mas disebutkan sebagai pemberian Dang Hyang
Nirarta kepada Ki Bandesa Mas, Dauh Baleagung, dan Cokorda Shakti Blambangan,
ketika yang disebutkan terakhir ini bertempur dengan tokoh shakti bernama Balian Batur.
Dalam Dwijendra Tattwa disebutkan ada keturunan Ki Bandesa Mas di Pujungan dan di
Beratan, bernama I Gede Tobya dan I Gede Jagra sangat tekun mempelajari ajian Canting
Mas, Shiwer Mas, Weda Sulambang Gni, Pashupati Rancana. [DT, BPBN]
Caru Pancasya(1)
Sesudah itu, bergeraklah Sang Hyang Tri Samaya mencari tempat Sang Sasuhunan, agar
tidak jadi memakan manusia. Dilihatnyalah Sang Hyang Kalarudra sedang berdua-duaan
dengan Bhatari, berkedudukan di balai agung yang panjang. Bhatara Kalarudra dengan
nama Sang Jutisarana, Bhatari Durga dengan nama Sang Kalikamaya. Demikianlah rahasia
Bhatara Bhatari.Sang Hyang Tri Samaya menyadari, kemudian mendekati Sri Bhatatipati,
menceritakan tentang perjalanan Sang Susuhunan disuruh oleh Sri Haji Galuh
menghaturkan persembahan sesaji, yaitu Caru Pancasya, lengkap dengan isinya baik yang
mentah maupun matang, sayur dan asem, Carbaka dan Mulaphala, dipuja oleh Sang
Mahapandita. Sebagai pahalanya tidak akan hancur kerajaan Galuh oleh Sang Kalarudra.
Ia adalah sebab musabab ada upacara caru di pulau Jawa. Sri Bhatatipati mengiyakan
139
Shastra Wangsa
sebagaimana ucapan ketiga bhatara itu. Adapun tanda-tanda seorang raja itu bijaksana dan
kuat. Bhagawan Siddhayoga sebagai pemimpin dalam upacara caru Pancasya itu.Beberapa
banyak macamnya, ditaruh di tanah,di depan balai agung dibuatkan panggung Sang Hyang
Tri Samaya, memakai kelir pementasan wayang, Bhatara Iswara dijaga oleh Sang Hyang
Brahma Wisnu, diiringi bunyi gamelan kecapi, daun yang panjang dan gula,
mencerminkan perjalanan kedua Bhatara, Sang Hyang Kalarudra dan Bhatarì Panca Durga.
Itu adalah asal mulanya ada pertunjukan wayang di pulau Jawa, ditonton oleh orang
banyak. [PGS]
140
Shastra Wangsa
keempat orang catur sanak tersebut ditambah dengan Mpu Bharadah. Karena Mpu
Bharadah tidak turut dalam kelompok itu, itulah sebabnya mereka menjadi catur sanak.
adalah delapan sifat kesiddhian Sadashiwa. Seperti itulah dijelaskan dalam teks
Wrehaspatitattwa [WT]. Dalam bahasa Bali, Cintamani disebut Manik Asthagina, yang
berarti permata delapan sifat utama. Dalam anatomi mistis manusia, permata Cintamani ini
ada di sebuah danau suci di tengah kepala. Secara geografis di Bali, Kintamani adalah
dataran tinggi di atas sebuah danau bernama Batur.
142
Shastra Wangsa
di Sayan), I Gusti Agung Ayu Suci (kawin dengan I Gusti Dawan). Ketujuh, Gusti Luh
Alangkajeng, beranak I Gusti Agung Ayu Putu Alangkajeng, kawin dengan seorang
Padanda dari Sanur, beranak Padanda Alangkajeng.
Cokorda Shakti Blambangan meninggal karena usia tua. Putra mahkota yang mestinya
menggantikan tahtanya tewas usia muda oleh I Dewa Agung Anom dari Sukawati karena
masalah perebutan seorang putri. Maka penggantinya raja Mengwi adalah Cokorda Made
Agung Banya.[BMW-1]
dalam pusat otak itulah yang disebut Cungkub Kahyangan di Bhuwana Alit. Yang
namanya Bhuta Kala disebutkan tidak bisa masuk ke dalam Cungkub Kahyangan di dalam
otak itu. Seperti kutipan berikut inilah pernyataan di dalam Krakah Sari: “Apabila di
bhuwana alit, di pusat otak adalah tempat shukla, itu bernama Tungkub Kahyangan,Bhuta
Kala tidak bisa masuk ke sana” (Yan ring bhuwana alit ring telenging untek genah ning
shukla, ika ngaran tungkub kahyangan, tan wenang bhuta kalane maparek irika).[KS]
144
Shastra Wangsa
[D]
Dadong: ongkara
Dadong dalam bahasa Bali berarti nenek dalam bahasa Indonesia. Apa hubungan nenek
dengan Ongkara? Pustaka Dwijendra Aksara menyebutkan bahwa ketika Sang Hyang
Ongkara Ngadeg berpisah dengan Sang Hyang Ongkara Sungsang, yang perempuan adalah
perwujudan Nenek. Sebagai tempat bagi Nenek adalah Ong yang dibayangkan ada di bahu
kiri. Seperti itulah dijelaskan oleh Dwijendra Aksara. [DA] [Lihat Lampiran Teks,
Dadong]
Daha-Koripan:hitam putih
Apakah yang dimaksudkan dengan Daha-Koripan di dalam Bhuwana Alit? Pustaka
Bhuwana Suksma menjelaskan bahwa yang dinamakan Daha itu berwarna hitam. Koripan
berwarna putih.Bercampur hitam dengan putih rupanya seperti intan hitam keputih-
putihan. Itu adalah penunggalan Ardhanareswara yang bertempat di pangkal rongga
jantung pisang. Yang dimaksudkan dengan jantung pisang adalah jantung itu sendiri yang
bentuknya seperti bunga pisang, atau papusuh dalam bahasa Bali. [BS] [Lihat Lampiran
Teks: Daha-Koripan]
145
Shastra Wangsa
dihindari kerajaan akan hancur, semuanya batal, penyakit merajalela, musuh pun semakin
banyak, kerajaan menjadi tidak aman lagi.”
Itulah sebabnya Sri Aji Batur Enggong menyetujui sabda Dewata Bhatara Mahadewa di
Gunung Agung. Setelah Dewata kembali ke Gunung Agung, segera Dang Hyang Nirartha
melakukan upacara diksa untuk Sri Aji Batur Enggong. Saat upacara diksa adalah purnama
bulan ke empat. Setelah didiksa, kepadanya diberikan ajaran tentang rasa kewikuan. Juga
diberikan ilmu bernama Aswasiksa. Termasuk 200 (duaratus) orang isteri Batur Enggong
ikut didiksa. Disebutkan setelah Batur Enggong menjadi seorang wiku, kerahayuan jagat
pun bertambah-tambah. [BDKL][Lihat, Lampiran Teks: Batur Enggong 200]
146
Shastra Wangsa
Tempan Kakereb Sari, kecuali yang boleh memilikinya adalah Mpu Kidul. Kalau ada
nantinya keturunannya yang “berkumis putih dan berjenggot hitam” yang memiliki ketiga
pustaka itu, maka ia akan menjadi orang yang shakti. Selain keturunan Mpu Kidul tidak
boleh memilikinya. [DT, DDN]
Dewa Agung Jambe, I Dewa Bukian, I Dewa Pacekan, I Dewa Tampuagan, I Dewa
Gianyar, I Dewa Batan Nyambu, I Dewa Budhi. Menurut keterangan, tahun 1686 Dalem
Dimade diserang oleh I Gusti Widya. Dalem Dimade menyingkir ke desa Guliang (Bangli)
bersama dengan dua orang putranya yang masih kecil-kecil. I Gusti Widya menduduki
istana Swecapura dengan gelar I Gusti Agung Maruti. Ida I Dewa Agung Jambe pindah ke
Sidemen. Setelah dewasa ia meminta bantuan kepada saudara-saudaranya, yaitu Kiyai
Anglurah Singharsa, Kiyai Jambe Pule di Badung, dan Kiyai Panji Shakti di Singaraja
untuk bersama-sama menyerang I Gusti Agung Maruti. Akhirnya I Gusti Agung Maruti
dapat dikalahkan setelah sembilan belas tahun lamanya menguasai kerajaan Gelgel. I Dewa
Agung Jambe kemudian mendirikan istana baru di Klungkung pada tahun 1710. Ia
memiliki tiga orang putra, yang sulung adalah Ida I Dewa Agung Dimade, kedua adiknya
adalah Ida I Dewa Agung Anon Sukawati, Ida I Dewa Agung Ketut Agung Puri Gelgel.
Dari keturunan Ida I Dewa Agung Dimade itulah mulai dipergunakannya sebutan cokorda
[RAK]. Setelah beberapa lama kemudian wafatlah I Dewa Sagening digantikan oleh I
Dewa Dimade, putra mahkota yang lahir dari keluarga Kiyai I Gusti Sukahet. Pada saat
terjadi keributan, Kiyai Panida digantikan oleh Sang Aji Pamade. [BRGP]
148
Shastra Wangsa
Dalem Dukut dan I Gede Macaling. Ribuan wong samar dan para bhuta peninggalan
Dalem Sawang kemudian menghamba kepada I Gede Macaling. [GGM, DJ, BNP, BDJ]
akhir kisah hidupnya, tokoh Dalem Ireng yang tidak banyak diketahui riwayatnya ini,
dikabarkan moksa di Rating Tuban. [BGT]
150
Shastra Wangsa
menjadi raja konon atas pemintaan utusan dari Bali, dan pihak Majapahit diwakili Gajah
Mada menyetujui dan memenuhi permohonan tersebut. Dikatakan bahwa patih Gajah
Mada merasa cemas melihat pulau Bali yang belum ada kepala pemerintahannya. Apalagi
rakyat Bali telah mengirim utusan agar segera ditetapkan seorang pemimpin. Itulah
sebabnya Mahapatih Gajah Mada mengangkat Kresna Kapakisan menjadi raja di Bali pada
tahun Shaka 1274 (yogan muni rwaning buana) atau tahun Masehi 1352, bekedudukan di
Samprangan. Sebagai patih agungnya adalah Sira Arya Kapakisan, sebagai orang kedua
Sira Arya Kutawaringin, sebagai tangan kanan Sira Arya Kanuruhan. Dibantu oleh para
Arya lainnya. Begitu pula para Wesya yang datang ke Bali belakangan: Tan Kober, Tan
Mundur, dan Tan Kawur.Pada periode inilah terjadi perubahan penting dan mendasar pada
peradaban Bali. Para Arya dan Wesya pengiringnya diberikan daerah kekuasaan oleh
Dalem, seperti berikut ini:
Arya Demung Wangbang asal Kediri bertempat di Kertalangu
Arya Kanuruhan bertempat di Tangkas
Arya Temenggung bertempat di Patemon
Arya Kenceng di Tabanan
Arya Dalancang di Kapal
Arya Belog di Kaba-Kaba
Arya Kutawaringin di Klungkung
Arya Gajahpara di Toya Anyar
Arya Getas (adik Gajahpara) di Toya Anyar
Arya Balentong di Pacung
Arya Sentong di Carangsari
Arya Jerudeh di Tamukti
Arya Sura Wang Bang asal Lasem bertempat di Sukahet
Arya Melel Cengkrong bertempat di Jemberana
Arya Pamacekan di Bondalem
Kriyan Punta di Mambal
Kiyai Anglurah Pinatih Mantra, di Kertalangu
Tan Kober di Pacung
Tan Kawur di Abiansemal
151
Shastra Wangsa
152
Shastra Wangsa
153
Shastra Wangsa
Tidaklah mudah sesungguhnya bagi seorang ayah biologis menggaibkan puteri kandung
sendiri. Tidaklah ringan sesungguhnya bagi seorang perempuan pindah dari alam manusia
ke alam Lelembut untuk selama-lamanya. Mengapa seorang puteri sulung seorang pendeta
shakti bernama Ida Ayu Swabhawa yang cantik jelita mesti menjalani pilihan hidup seperti
itu? Mengapa harus Dang Hyang Nirartha yang melakukan swadharma menggaibkan putri
kandung sendiri?
Kita hanya diberitahu potongan kecil dari kisah masa silam ini. Karena Shastra yang
mengajarkan kita tentang hal itu sangat terbatas. Kita hanya diberi sekelebat penjelasan,
konon Sang Hyang Mahadewa melihat ada kepribadian yang Esa pada diri Dang Hyang
Nirartha [DDN]. Atau, menurut penilaian Bhatara Masceti “Sang Hyang Brahma telah
berwujud. Sudah mencapai Nisreyasa, dan sudah sepatutnya menuju alam Acintya.” [DT].
Dalem Nusa
Dalem Nusa adalah sebutan untuk I Gede Macaling ketika menjadi penguasa Nusa
Penida, setelah tewasnya Dalem Sawang oleh Dalem Dukut. Menurut babadnya sebagai
Dalem Nusa ia berkedudukan di utara pantai Segara Nampek, Nusa Penida. I Gede
Macaling juga disebut dengan nama Ida Ratu Gede Papak Badeng Dalem Nusa Penida,
berkedudukan di jagat Ped, Nusa Penida. [BNP]
154
Shastra Wangsa
155
Shastra Wangsa
ada di Majapahit, hingga ada ksatriya wangsa sampai hari ini di Bali. Demikian dituturkan
dalam teks Brahma Wangsa Tattwa.[ BWT] [Lihat Lampiran Teks: Brahmana Resi]
Dalem Puri
Apakah yang dimaksudkan dengan istilah “dalem puri”? Seperti berikut inilah
penjelasannya menurut teks Sari Sangu Sarira. “Pu, berarti kumpulan, Ri berarti ujung
mata, di sanalah tempatnya Dalem Puri itu disucikan, di sana pertemuan dewa smara” (Pu,
ngaran pupulan, Ri, ngaran tungtunging panon, irika dalem puri kapingit, irika patemwan
smaradewa). [SSS]
Dalem Putih
Apakah yang dimaksudkan dengan istilah dalem putih? Seperti berikut inilah
penjelasannya menurut teks Sari Sangu Sarira. “Alam Madhya diisi oleh Sang Dalem
Putih, Alam Angantiga namanya, itu adalah Tiga Manjeti, yaitu tiga alam menjadi
tunggal”. Pada bagian lain dari teks, disebutkan bahwa Sang Dalem Putih bertempat di
ujung mata, yang menduduki anak-anakan mata, putih seperti embun tanpa awan, ia bisa
menjadi laki, bisa menjadi perempuan). [SSS]
Dalem Rum
Apakah yang dimaksudkan dengan istilah dalem rum? Seperti berikut inilah
penjelasannya menurut teks Krakah Sari: “Gerbang Shiwa itu adalah satu jalan di nadhi
Susumna menuju Byomantara, yaitu pusat rambut sehelai di tempat berdenyutnya ubun-
ubun. Itu namanya jalan rahasia, sebagai jalannya Dalem Rum, Brahmana Shiwa Boddha
itu namanya.” [KS][Lihat Lampiran Teks: Dalem Rum]
Dalem Sagening
Dalem Sagening adalah anak dan sekaligus pengganti kedudukan Waturenggong sebagai
raja di Gelgel. Dalem Sagening bersaudara dengan Dalem Pemayun. Dalem Sagening yang
memerintah periode 1580-1665M terkenal sebagai Dalem yang banyak punya anak, karena
banyak melakukan perkawinan. Ia tercatat menurunkan 17 orang anak. Tiga orang lahir
dari permaisuri, yaitu: I Dewa Anom Pambhayun, I Dewa Dimade, I Dewa Ayu Rani
Gowang. Selanjutnya adalah anak-anak yang lahir dari para selir, yaitu: I Dewa
Karangasem, I Dewa Belayu, I Dewa Sumertha, I Dewa Lebah, I Dewa Sidan, I Dewa
156
Shastra Wangsa
Kabetan, I Dewa Basawah, I Dewa Kulit, I Dewa Bedulu, I Dewa Pameregan, I Dewa Cau,
I Dewa Manggis, Ki Barak Panji, I Gusti Ngurah Mambal. Menurut keterangan babad,
pada masa Dalem Sagening inilah mulai muncul perbedaan nista madhya utama dalam
kewangsaan pada kelompok ksatriya[RAK, BB].Dalem Sagening adalah anak bungsu dari
Dalem Batur Enggong, cucu dari Dalem Ketut Ngulesir, kumpi dari Shri Aji Kresna
Kapakisan, buyut dari Dang Hyang Soma Kapakisan, kelab dari Dang Hyang Kapakisan.
Dalem Sagening memiliki seorang kakak bernama Dalem Bekung.Setelah beberapa lama
kemudian wafatlah I Dewa Sagening digantikan oleh I Dewa Dimade, putra mahkota yang
lahir dari keluarga Kiyai I Gusti Sukahet. [BRGP]
Dalem Sanunggal
Apakah yang dimaksudkan dengan istilah dalem sanunggal? Menurut teks Sari Sangu
Sarira, Dalem Sanunggal ada di pangkal lidah. Seperti berikut ini penjelasannya. Sang
Hyang Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhatari Durga, Bhatara Guru, Bhagawan Kasyapa,
semuanya menjadi satu di pangkal lidah, itu bernama Sang Hyang Dalem Sanunggal. Pada
bagian lain teks, disebutkan bahwa penunggalan dari Brahma Wisnu Iswara itulah yang
disebut Dalem Sanunggal. [SSS]
Dalem Sawang(1)
Dalem Sawang adalah seorang raja yang memerintah di Nusa Gede (Nusa
Penida).Dengan kesaktiannya Dalem Sawang mengubah 1500 orang pasukan I Renggan
menjadi wong samaratau makhluk halus yang menyeramkan. Seluruhwong samar itu
kemudian dijadikan pasukan khusus oleh Dalem Sawang, sehingga bertambah-tambah
kesaktian dan kekuasaannya di Nusa Penida. Sedangkan serpihan kayu bekas perahu I
Renggan tumbuh menjadi kayu angker di daerah Bodong disebut kayu perahu. Pastu
Dalem Sawang menurut sumbernya berbunyi seperti berikut ini: “Barang siapa yang ingin
menyungsung Durga Dewi, pangastawa-nya ke Dalem Nusa, sepatutnya menggunakan
kayu perahu sebagai pralingga sarwa macaling karena kayu perahu berasal dari Ida
Bhatara Shiwa yang diberikan kepada Dukuh Jumpungan. Maka siddhi, shakti, perkasalah
dia”. [BNP]
157
Shastra Wangsa
Dalem Sawang(2)
Dalem Sawang adalah suami dari Ni Tole. Ni Tole adalah adik dari I Gede Macaling dari
Nusa Penida. Sedangkan I Gede Macaling adalah cucu buyut dari Dukuh Jumpungan
leluhur orang-orang Nusa. Dalem Sawang sendiri adalah nama dari salah seorang penguasa
Nusa Penida pada periode I Gede Macaling itu. Menurut babadnya, Dalem Sawang
dilahirkan oleh perempuan bernama Dewi Rohini. Dikisahkan ia menjadi sangat marah
pada pengikut I Renggan (ayah I Gede Macaling) yang tidak mau menetap di Nusa
Lembongan. Karena kemarahannya itu, Dalem Sawang lantas melakukan samadhi
menurunkan Dewi Durga. Seketika itu pengikut I Renggan berjumlah sekitar 1500 orang
berubah menjadi wong samar yang mukanya sangat menyeramkan. Semua wong samar itu
dipekerjakan sebagai pengawal Dalem Sawang. [GGM. BNP, BDJ, DJ]
Dalem Sehang
Dalem Sehang adalah salah satu saudara I Gede Macaling di Nuda Penida. Saudaranya
yang lain ada yang bernama Ni Tolih, Ni Pari, I Angga, I Runa, semuanya tinggal di Nusa
Penida. Dalem Sehang bertempat di daerah bernama Baingin. Ketika Dalem Sehang
berkuasa di Nusa Penida, siapa saja rakyat yang mempunyai anak cantik harus
mempersembahkannya kepada Dalem Sehang baik siang maupun malam. Tabiatnya itu
menyebabkan marah I Gede Macaling. Dengan keris hendak dibunuhnya Dalem Sehang
tapi tidak berhasil. (lihat, Dalem Dukut). [BNP]
158
Shastra Wangsa
rasa (sadrasa), harum busuk, dan kesaktian.Sang Hyang Phatastra menguasainya bersama
dengan Bhatari Durga.” [SSS] [Lihat Lampiran Teks: Dalem Sema]
Dalem Tarukan
Dalem Tarukan adalah kedua dari lima orang anak Sri Aji Kresna Kapakisan. Hampir
seluruh babad tentang Dalem Tarukan menyebutkan bahwa keadaan kejiwaan Dalem
Tarukan tidak seperti umumnya manusia waras, babad menyebutnya buduh-buduhan.
Bahkan beberapa babad menceritakan, Dalem Tarukan yang “gila” ini pernah memaksa
mengawinkan seorang warga perempuan dengan seekor kuda jantan. [RAK, BPUL]
Dangdang Gendis
Dangdang Gendis adalah seorang raja berasal dari Jawa Timur yang menyerang Bali pada
masa pemerintahan raja Adidewalencana. Di antara pemimpin pasukan Dangdang Gendis
terdapat nama-nama besar seperti Kebo Anabrang, Lembu Ireng, dan Jaran Waha. Pasukan
Dangdang Gendis berhasil mengalahkan Bali.Raja Adidewalencana dijadikan sebagai
tawanan perang, yang selanjutnya dibawa ke Jawa Timur.Selanjutnya tidak diceritakan
bagaimana nasib raja Bali yang malang nasibnya itu. [RAK. BWST]
159
Shastra Wangsa
160
Shastra Wangsa
Atma. Atma itu sebagai Ibu. Ibu itu adalah api. Sari-sari api adalah air. Air itulah Ayah.”
[TPTA] [Lihat Lampiran Teks: Tutur Puspa Tan Alum1]
Yang dimaksud rwa bhineddha tan pashastra adalah ibu dan ayah. Yang dimaksud ibu
dan ayah adalah api dan air. Yang dimaksud api dan air adalah sari-sarinya. Itulah Atma.
Siapa pemegang otoritas ajaran ini?Di bagian tengah dari teks disebutkan nama Mpu
Angshoka. Nama ini disebutkan tidak dalam konteks bahwa ia adalah pengarangnya. Nama
ini “dipinjam” untuk menunjukkan bahwa brahmana yang paham akan ajaran ini adalah
perwujudan dari Mpu Angshoka. Agar lebih jelas, bacalah kutipan terjemahan teks berikut
ini:“Apabila ada orang mengetahui ajaran seperti ini, sorga tidak akan menderita. Apabila
brahmana mendapatkan sari ajaran ini, itu adalah brahmana tak lain sebagai Mpu
Angshoka. Walaupun seorang sudra mengetahui ajaran seperti ini, itu adalah brahmana
sejati. Biarpun buruk perbuatannya ketika masih hidup, biarpun ia bisa meracuni, bisa
menjadi leyak, teluh, taranjana, termasuk memperistri istri orang, membunuh orang tanpa
dosa, sorga didapatkannya tidak lagi menderita, karena ia mengetahui keluar-masuknya
Sang Hyang Atma, dan keris masuk ke dalam sarung, sarung masuk ke dalam keris”.
[TPTA][Lihat Lampiran Teks: Tutur Puspa Tan Alum 2]
Jadi dengan demikian, Mpu Angshoka adalah sebutan bagi seorang brahmana yang
berhasil mendapatkan sari-sari dari ajaran Puspa Tan Alum, atau Kembang Tak Mekar,
alias kembang kuncup, alias kembang yang seluruh kelopaknya bersatu di satu titik di
tengah-tengah. Dari kutipan di atas, kita diberitahu bahwa Mpu Angshoka sangat
berhubungan dengan ajaran Puspa Tan Alum ini.
161
Shastra Wangsa
Pada masa akhir pemerintahan Dalem Waturenggong, Dang Hyang Astapaka datang ke
Bali. Ia tinggal di tempat yang sebelumnya ditinggali oleh Dang Hyang Kanaka, kakaknya,
yaitu di Kaywan,sebuah desa yang atas petunjuk Dang Hyang Kanaka diubah menjadi
Desa Kayumas. Dari tempat itulah Dang Hyang Astapaka kemudian menyebarkan ajaran
Budhapaksa. Desa Kayumas adalah pusat pengembangan ajaran Budhapaksa. Konon untuk
mengenang Dang Hyang Astapaka dan Dang Hyang Kanaka yang berasal dari
Wanakeling, maka desa Kayumas tersebut kemudian berubah nama menjadi Buddhakeling.
Sebelum menetap di Budhakeling Dang Hyang Astapaka tinggal di Gunug Sari, Peliatan.
Pada masa peralihan dari Dalem Waturenggong ke Dalem Bekung dan Dalem Sagening,
tahun 1556, terjadi pemberontakan oleh patihnya sendiri bernama Arya Batan Jeruk.
Menurut keterangan, patih pemberontak ini adalah sisya dari Dang Hyang Astapaka. Gagal
usahanya merebut kekuasaan, Arya Batan Jeruk melarikan diri ke arah Karangasem. Dang
Hyang Astapaka menyusulnya, tapi terlambat. Sisyanya ini tewas dalam pengejaran
pasukan Dalem di Bungaya.
Konon dalam perjalanan antara Bebandem-Ababi, Dang Hyang Astapaka melihat sinar di
atas daerah Taman Sari. Di sana ia membuat tempat pemujaan yang kemudian menjadi
Pura Taman Sari. Di dekatnya dibangun tempat tinggal, yang lama kemudian juga menjadi
pura Taman Tanjung namanya. Konon baik di Bali maupun ketika di Madura, tempat
tinggal Dang Hyang Astapaka selalu dibangun dekat kuburan. Penjelasannya, ia adalah
penganut Buddha Bhairawa. Salah seorang cucu yang meneruskan “sekolah” Dang Hyang
Astapaka adalah Pedanda Wayan Tangeb, yang hidup sekitar 1616. Pada Saat itu Gunung
Agung meletus (Lihat, Padanda Wayan Tangeb). [BBB, PBP]
162
Shastra Wangsa
163
Shastra Wangsa
164
Shastra Wangsa
sama dengan Dang Hyang Tanuhun. Selanjutnya Dang Hyang Mpu Pradah diperintahkan
oleh Dang Hyang Tanuhun mengembangkan keturunannya di dunia. Maka Dang Hyang
Mpu Pradah melakukan yoga, maka munculah bayi dari keutamaan yoga beliau yang
begitu lahir langsung dewasa, yang kemudian diberi nama Dang Hyang Bahula. [BBCD]
kemudian diberi jiwa menjadi seorang bayi. Bayi itu kemudian dinamakan Dang Hyang
Mpu Pradah. [BBCD]
166
Shastra Wangsa
Penida keturunan Dukuh Jumpungan, termasuk keempat putranya Ida Kulon, Ida Lor,
Ida Wetan, Ida Kidul.
- Ia adalah pendeta penyebar Shiwapaksa, Buddhapaksa, dan Wetu Telu. Namun
demikian ia seakan berada di atas semua paham yang diajarkannya itu.
- Ia adalah seorang pendeta yang garis kependetaannya tidak putus-putus baik dari
generasi sebelumnya maupun generasi sesudahnya. Tidak pernah putusnya aliran
kependetaan disebutkan sebagai satu hal penting.
- Ia adalah pendeta yang paling banyak dibicarakan dalam hampir seluruh babad, baik
babad tentang Brahmana Shiwa, Brahmana Buddha, babad tentang para Ksatriya, babad
Pasek, babad Dukuh, babad Pande, babad Sengguhu, dan seterusnya.
- Ia pendeta yang yoganya sudah mencapai tingkat astaishwarya sehingga yang namanya
astaguna atau delapan kesiddhian Sadashiwa pun telah dicapainya. Itulah sebabnya ia
disebut Padanda Shakti.Begitulah pendeta yang satu ini ia popular dan sekaligus
misterius. Karena popular dan misterius itulah maka ia memiliki banyak nama: Mpu
Arthati, Padanda Shakti Wawu Rawuh, Tuan Sumeru, Pangeran Sangupati, Dukuh
Sumeru, Sang Sinuhun Kidul. Dang Hyang Nirartha datang ke Bali pada tahun Shaka
1411, atau 1489 Masehi. Pada tahun Candrasangkala, eka tunggal catur bhumi, yaitu
Shaka 1411 atau 1489 Masehi, sebagaimana disebutkan dalam Babad Dalem (27b),
Dang Hyang Nirartha tiba di pantai Purancak di penghujung barat pulau Bali. [DDN,
DT, BCB]
167
Shastra Wangsa
168
Shastra Wangsa
169
Shastra Wangsa
boleh kencing di air mengalir. Misalnya seorang yang menjadi wiku, semoga mantranya
tidak akan ampuh akibatnya. Orang yang mulutnya penuh dengan kunyahan sirih sambil
makan, sampai buang air besar, kencing, bukanlah perilaku seorang wiku apabila sampai
demikian. Tidak suci pikiran beliau Bhatara Gangga Dewi, kepada Sang Wiku yang
berperilaku buruk namanya.”
Berkatala Dang Hyang Teken Suwung. “Tabik Maha Pertapa, memohon hambamu ini
kesaktian jnana paduka, apabila boleh berikanlah kepada aku. Aku ini tidak berani
durhaka, akan menurut pada paduka.” Demikianlah perkataan Dhang Hyang Teken
Suwung.
Bhagawan Iswara menjawab. “Duhai anakku Dhang Hyang, janganlah dirimu sampai
salah berpikir, mengapa tidak boleh bagi diriku memberikan Sang Hyang Tatwajnana
kepada manusia sesamamu, apabila belum menjadi seorang wiku”.Seperti itu ucap
Bhagawan Iswara. Berpikir-pikirlah Dhang Hyang Teken Suwung, menyembah memohon
wisuda di hadapan Bhagawan Iswara. Berbahagialah perasaan hati Sang Hyang Guru
Iswara, ia memberikan Sang Hyang Tatwa Jnana. Tidak diceritakan bagaimana jalannya
upcara wisuda beliau, tuntas selesai diberikan nama yaitu Bhagawan Siddha Yoga. Selesai
tuntas tamat pengetahuan beliau, tidak ada yang hilang pengetahuan itu bila ditanyakan.
Disuruhlah membangun pertapaan oleh gurunya, sebagai sarana atau jalan bagi beliau
menuju jnana tingkatan shunya. Menyembahlah dan berpamitan kepada guru beliau. Tidak
diceritakan bagaimana dalam perjalanannya. [PGS]
170
Shastra Wangsa
Namun demikian ia lalai menjalankan tugas sebagai utusan Dalem. Kesalahannya ini
menimbulkan rasa tidak enak hati pada Dalem Batur Enggong. [DT. DDN, BCB]
Demung Sasabungalan
Demung Sasabungalan diangkat menjadi pelaksana tugas raja, setelah ditangkap dan
ditawannya raja Bali bernama Adidewalencana oleh pasukan Dangdang Gendis dari Jawa
Timur. Karena usianya ketika itu sudah tua, maka tak berselang lama kemudian kedudukan
Demung Sasabungalansebagai raja digantikan oleh anaknya yang bernama Kebo Parud.
[RAK, BWST]
171
Shastra Wangsa
172
Shastra Wangsa
Seperti itulah bahasa babad yang perlu dikupas agar mengerti apa maksudnya. Untuk
mengupasnya perlu referensi yang memadai tentang shakti-isme yang memposisikan
perempuan (pradhana) ada di depan, karena shakti itu adalah perempuan dan perempuan
itu adalah shakti. Apakah di Nusa Penida pusat pemujaan pada shakti, yang kemudian
dirubuhkan seperti puncak Gunung Mundi agar tidak lebih tinggi dari kedudukan dewa-
dewa di Bali? Itulah pertanyaan yang perlu dicarikan jawabannya. Begitulah pustaka
babad, lain yang dikatakan lain pula yang dimaksudkan.[BNP]
Dewi Dhanuh
Dewi Dhanuh, atau Hyang Ning Ulun Danu memberikan anugerah keshaktian kepada
Balian Batur. Sumber babad menjelaskan, Dewi Ulun Danu “sengaja” memberi keshaktian
pada Balian Batur untuk mengganggu Cokorda Shakti Blambangan, raja Mengwi, yang
tidak mau tunduk pada kekuasaan Dalem di Klungkung. Raja Mengwi itu bahkan
disebutkan hendak melakukan serangan terhadap Klungkung. [BMW-1] [Lihat, Balian
Batur]. Sumber lain menyebutkan bahwa adik dari Dewi Danuh bernama Bhatara
Mahadewa. Dewi Danuh berparhyangan di Batur, Bhatara Mahadewa berparhyangan di
Gunung Lempuyang. [BPJK]
Bharadah dan Calonarang. Ada keterangan babad bahwa Dewi Dwaranika menikah dengan
Sang Hyang Pamaca. Dari perkawinan ini lahirlah Mpu Wiradharma dan Mpu Pamacekan
serta seorang putri yang bernama Ni Ayu Subrata. Dewi Adnyani diambil oleh Mpu
Swethawijaya dan melahirkan Mpu Sang Kul Putih. [BMA, BPSK]
174
Shastra Wangsa
keturunan: Dewi Smaranika, Dewi Ajnyani, Dewi Mreta Manggali, Mpu Tantular. [BMA,
BUB, BPSK]
175
Shastra Wangsa
Baleagung, hendaknya janganlah demikian, karena Sang Hyang Dharma tidak dapat
ditetapkan datangnya.” Begitulah konteks ucapan itu, sebagaimana tersurat dalam teks
Dwijendra Tattwa. [DT]
Dharma Pitutur
Dharma Pitutur adalah judul teks yang berisi ajaran tentang tutur yang secara harfiah
berarti „ingat‟, „sadar‟. Bahwa ini adalah salah satu dari sekian banyak shastra ajaran Dang
Hyang Nirartha disebutkan di dalam teks Dwijendra Tattwa. Sang Hyang Dharma tidak
bisa ditentukan kapan datangnya. Itulah inti ajaran dharma pitutur. Salah satu contohnya
adalah nasihat Dang Hyang Nirartha kepada Raja Waturenggong, ketika Sang Raja
mengetahui bahwa Dauh Baleagung telebih dahulu menjalani diksa daripada dirinya. [DT]
176
Shastra Wangsa
177
Shastra Wangsa
disebut mulihing dadi, atau kembalinya segala ciptaan. Adapun kehebatan Sang Tatwa
Kirana, apabila ada pada seorang raja maha utama, ia bisa memunculkan Sang Hyang
Cadhu Sakti. Sang Hyang Sadyojata adalah Wibhu Sakti. Sang Hyang Bamadewa adalah
Kriya Sakti. Sang Hyang Aghra adalah Jnana Sakti. Sang Hyang Tatpurusha adalah Prabhu
Sakti. Sang Hyang Ishana adalah Guhya Wijaya. [PGS]
Dorakala
Sedangkan Sang Dorakala, diberikan untuk mempersiapkan orang membuat gerbang dan
jalan, sebagai tempat berjalannya orang ke luar masuk dan datang pergi. Dora berarti
gerbang. Kala berarti hari. Maka dengan demikian, “hari” adalah jalannya manusia pergi
datang setiap hari. Hari adalah gerbang. Sifat gerbang adalah terbuka (luang menga) dan
tertutup (luang pepet). Karena itulah hari dibagi menjadi dua, hari terbuka (menga) dan
hari tertutup (pepet). [PGS]
Dukuh Ambengan
Pasek Togog ditugaskan di Besakih dan bertempat tinggal di Muntig. Pasek Togog
mempunyai tiga orang anak. Masing-masing anaknya bernama Dukuh Ambengan, Dukuh
Subudi dan Dukuh Bunga. Disebutkan Dukuh Ambengan melakukan yoga Samadhi.
Karena keberhasilan yoganya, ia kemudian bergelar Badeg Dukuh. Badeg Dukuh inilah
konon menurut keterangan babadnya menurunkan Dukuh Prawangsa. [BPSK]
Dukuh Belatung
Dukuh Belatung adalah seorang tetua di desa Bukcabe, yang membangun padukuhan di
sekitar Besakih. Ia bersaudara dengan Dukuh Murthi yang tinggal di sebuah pedukuhan di
Alas Jehem, arah barat laut dari Bukcabe. Perjumpaan dengan Ida Bang Manik Angkeran
akhirnya mengubah jalan hidup keluarga dan seketurunan kedua dukuh shakti bersaudara
itu.
178
Shastra Wangsa
Dikisahkan Dukuh Belatung luar biasa shaktinya.Namun entah kenapa ia masih memiliki
sifat seperti anak-anak yang senang bila dipuji-puji. Demi kesenangannya itulah ia dengan
mudah memamerkan kemampuannya di tempat yang tidak benar dan pada waktu yang
tidak tepat. Namun ketika berhadapan dengan Manik Angkeran, maka kenalah batunya. Ia
menantang, apabila benar Manik Angkeran mampu membakar gunungan sampah dengan
hanya mengencinginya, maka ia akan mempersembahkan selain anak gadisnya juga
seluruh warganya menjadi abdi. Manik Angkeran yang lahir dari pemujaan Homa [api],
dan sudah mengalami mati raga bersarana seburan api Sang Nagaraja Basukih, serta
didiksa oleh ayahnya Dang Hyang Sidhimantra, dengan mudah membakar gunungan
sampah itu dengan sekali kencing. Maka sejak saat itu, sesuai dengan janjinya, Dukuh
Belatung menjadi ayah mertua setelah menyerahkan anak gadisnya. Tak tanggung-
tanggung, ia menjadi ayah mertua seorang pandita shakti bernama Ida Bang Manik
Angkeran putra Dang Hyang Sidhimantra. Sang Menantu Manik Angkeranlah yang
membuka jalan bagi Dukuh Shakti Belatung dan isterinya kembali ke alam Shunya
bersaranakan api. Semenjak itu maka Dukuh Shakti Belatung dikenal dengan julukan
Dukuh Lepas, Dukuh Sorga. Sesudah itu, tempat kejadian itu hingga sekarang disebut
Gumawang.[BMA. BPJK]
179
Shastra Wangsa
Dukuh Gamongan
I Pasek Padang Subrata setelah disucikan (di-winten) menjadi Dukuh Gamongan. Dukuh
Gamongan menjadi mangku di Lempuyang. [BPJK]
Dukuh Jumpungan(1)
Dukuh Jumpungan adalah leluhur penduduk Nusa Penida. Tentang asal-usul Dukuh
Jumpungan ada perbedaan keterangan dari beberapa sumber berbeda. Dalam Babad Dukuh
Jumpungan, disebutkan bahwa Dukuh Jumpungan adalah penjelmaan dari Bhatara Shiwa.
Demikian pula istri Dukuh Jumpungan yang benama Ni Puri adalah penjelmaan dari
Bhatari Uma. Shiwa dan Uma turun di gunung Mundi. Bersamaan dengan menjelmanya
Bhatara Shiwa dan Bhatari Uma, turun pula ke Nusa Penida, Tri Purusa, Catur Lokaphala,
dan Asta Gangga. Karena Shiwa turun ke dunia berupa seorang pendeta [dukuh], maka
pulau atau nusa tempatnya turun dinamakan Penida. Menurut babadnya keturunan Dukuh
180
Shastra Wangsa
Jumpungan tersebar di beberapa desa di Nusa Penida: Ceningan, Byas Muntig, Medahu,
Jungut Batu. [DJ]
Sedangkan di dalam Babad Nusa Penida diterangkan bahwa kakek buyut Dukuh
Jumpungan berasal dari gunung Jambudwipa (Jawa), yaitu dari Majapahit. Dukuh
Jumpungan sendiri pernah tinggal di pulau Bali. Kemudian dari Bali pindah ke Nusa
Penida. Di Nusa Penida mengembangkan keturunannya.[BNP]
Dukuh Juntal
Dukuh Juntal adalah sebutan untuk Ki Pasek Subrata. Menurut silsilahnya, Dukuh Juntal
ini adalah anak sulung dari Pasek Padang Subadra dari perkawinannya dengan Ni Luh
Pasek di desa Prasi [lihat, Kiyai Agung Pasek Padang Subrata]. Dukuh Juntal ini memiliki
empat orang anak:Pasek Subrata Baleagung, Pasek Sadra, Pasek desa Tawing, dan Pasek
Mubatan di Juntal. [SPSS, RAK]
181
Shastra Wangsa
Dukuh Murti
Dukuh Murti adalah saudara Dukuh Belatung yang menetap di daerah hutan bernama
Jehem. Pertemuan Manik Angkeran dengan Dukuh Murti terjadi setelah Dukuh Belatung
moksa. Dukuh murti mempunyai seorang anak perempuan bernama Ni Luh Canting. Tidak
berbeda dengan kakaknya, Dukuh Murthi pun akhirnya menjadi seorang mertua bagi Ida
Bang Manik Angkeran. Itu terjadi karena anak gadisnya dipersembahkannya sebagai tanda
ikatan bhakti hingga masa yang jauh ke depan, dan persembahannya itu tidak ditolak.
[BMA. BPJK][Lihat, Dukuh Belatung]
Dukuh Sampaga
Dukuh Sampaga adalah anak sulung dari Dukuh Titi Gantung, cucu dari Dukuh Pahang,
kumpi dari Dukuh Suladri. Menurut silsilahnya, Dukuh Sampaga ini memiliki dua orang
anak. Yang pertama adalah Pasek Mad Pacung di Mengwi. Yang kedua adalah Pasek
Munggu alias Dukuh Sampagi. [SPSS][Lihat, Dukuh Bukit Salulung]
182
Shastra Wangsa
itulahirlah lima orang anak. Anaknya yang nomor empat bernama Pasek Sadri, ia
kemudian berjulukan Dukuh Suladri. Dukuh Suladri ini beranak empat orang. Anak nomor
dua bernama Pasek Sadra yang kemudian bergelar Dukuh Shakti di Pahang.Selanjutnya
Dukuh Shakti Pahang memiliki empat orang anak yang salah satunya kemudian berjulukan
Dukuh Titi Gantung.[RAK]
Dukuh Sidawa
I Gusti Ngurah Mantu wafat pada tahun Ishaka 1680 (1768 M) dalam sebuah
pertempuran yang sengit antara Karangasem dengan Sibetan. Pada saat yang gawat itu, I
Pasek Tulamben dengan keturunannya mengungsi ke desa-desa ke sebelah Barat. Akhirnya
tiba di Sidemen menghambakan diri kepada Ida I Dewa Gde Dangin Jambe, ditempatkan
di desa Sanggem. I Pasek Tulamben diingatkan agar tetap mengadakan hubungan dengan I
Pasek Wayahan Sibetan di Sibetan.
Sementara itu, Ki Pasek Subrata, adik bungsu dari I Pasek Tulamben, dengan tujuh orang
pengikutnya pindah dari Sanggem ke wilayah Gianyar untuk menghambakan diri kepada
Pedanda Shakti Sidawa di Sidawa Gianyar. Di sana kemudian mendapatkan julukan Jro
Dukuh Sidawa. Dari Sidawa pindah lagi ke Gelgel menghamba pada Gusti Agung.
Kemudian diminta oleh I Dewa Manggis agar menghamba kepada beliau. Di Gianyar Ki
Pasek Subrata mempunyai anak bernama: Ki Pasek Cedok, Pasek Canting, Pasek Dangin,
Pasek Tukad. I Pasek Cedok kemudian menjadi Patih Raja Gianyar yang terkenal
kelihaiannya. [DTS]
Dukuh Sorga(1)
Dukuh Sorga adalah julukan untuk Wira Sang Kulputih yang menjalani kehidupan
spiritual sebagai seorang dukuh. Sebabnya ia dijuluki Dukuh Sorga, karena ia tinggal
menetap di daerah bernama Sorga. Menurut keterangan, Dukuh Sorga mempunyai dua
orang anak. Yang pertama juga dijuluki Wiku Sorga sama dengan julukan dirinya.
Anaknya yang kedua menjadi pemangku di Pura Besakih dengan sebutan Mangku Sang
Kulputih. [RAK]
kelepasan, berkat pertolongan spiritual dari Manik Angkeran yang sama-sama tinggal di
seputaran Besakih. Disebut Belatung karena ia tinggal sendiri di tempat bernama Belatung,
yang cukup jauh dari kediaman keluarganya di desa Sorga. Belum ditemukan petunjuk,
Dukuh Sorga yang manakah yang berjulukan Dukuh Lepas, alias Dukuh Belatung. Karena
seperti disebutkan di atas, ayah dan anak sama-sama dijuluki Dukuh Sorga oleh
masyarakat. [bandingkan, dukuh belatung]. Konon Dukuh Sorga menurunkan adanya
Pasek Sorga. [SPSS]
Dukuh Suladri(1)
Dukuh Suladri adalah anak dari Aji Jaya Rembat. [NKTB]. Dukuh Suladri bertempat
tinggal di Desa Teleng Layu.Ia mempunyai seorang putri yang kemudian dipersunting oleh
Ki Arya Pinatih. Setelah itu Ki Dukuh Suladri menyerahkan wilayah kekuasaannya di
Badung kepada menantunya, karena Ki Dukuh mengaku akan meinggalkan dunia
dengancara moksa. Tetapi Ki Arya Pinatih sangat tidak percaya dengan kata-kata Ki
Dukuh. Kerasnya tentangan Ki Arya Pinatih menyebabkan dirinya dikutuknya agar
diserang semut oleh Ki Dukuh. Terbukti Arya Pinatih diserang pasukan semut di Badung
maka ia pindah mengungsi ke arah timur sampai di Desa Tegal Penatih namun tetap
dikejar oleh wabah semut. Perjalanan beliau terlunta-lunta sampai di sebelah timur Sungai
Unda yang bernama desa Tegal Sulang.[BPN]
184
Shastra Wangsa
Suladri. Aku ini keturunan wangsa brahma dari Majapahit.” (aja pisan wera, pingita juga,
manira dukuh suladri, manira titisning wang bang majapahit.)[Lihat, Shastra Dukuh
Suladri 1, 2].
185
Shastra Wangsa
Ngurah Sidemen, serta Dalem menghadiahkan tanah untuk diambil hasilnya. [DTS][Lihat,
Dukuh Tegal Suci 1]
Dukuh Titigantung
Dukuh Titigantung adalah julukan yang disandang oleh De Pasek Made Pahang. Ia
adalah anak dari Dukuh Pahang, atau cucu dari Dukuh Suladri. Menurut silsilahnya, Dukuh
Titigantung menurunkan tiga orang anak, masing-masing adalah:Dukuh Sampaga, Dukuh
Mengwi/ Peguyangan, Dukuh Bukit Selulung [SPSS]. Dukuh Titi Gantung adalah
keturunan langsung dari Dukuh Shakti Pahang. Dukuh Titi Gantung sendiri memiliki
empat orang anak, dua di antaranya berjulukan Dukuh Sampaga dan Dukuh Bukit
Salulung. [RAK]
Dulang Mangap(2)
Dulang Mangap adalah nama pasukan khusus kerajaan Gelgel. Menurut keterangan
babad, pasukan ini diketuai oleh Ki Pasek Tohjiwa. Selain bertugas mengamankan istana,
pasukan Dulang Mangap ini juga difungsikan sebagai pasukan gerak cepat. Namun pada
saat pemberontakan Arya Batan Jeruk, terbukti Ki Pasek Tohjiwa terlibat memperkuat
barisan Arya Batan Jeruk. Akhirnya Ki Pasek Tohjiwa tewas dalam pemberontakan itu
tanpa ada luka-luka di tubuhnya. [BGT. BMW-1]
186
Shastra Wangsa
banyak diketahui tentang sosok satu ini, karena tidak banyak sumber tertulis
menyebutkannya. [BWST]
187
Shastra Wangsa
[E]
Eedan Bukur
Eedan Bukur adalah judul sebuah karya shastra gubahan Dang Hyang Nirartha.
Keterangan judul dan pengarang diperoleh dari teks Dwijendra Tattwa. Menurut
Dwijendratattwa, raja Batur Enggong berpesan kepada keturunan Dang Hyang Nirartha
tidak diperkenankan menyalin tiga buah pustaka, yang salah satunya adalah pustaka Eedan
Bukur, kecuali yang boleh memilikinya adalah Mpu Kidul. Selain keturunan Mpu Kidul
tidak boleh memilikinya. Demikian keterangan dari Dwijendratattwa. Hingga saat ini, tidak
diketahui apa isi pustaka Eedan Bukur tersebut. [DT, DDN]
- Dari perkawinanyang pertama, dengan Ni Luh Warsiki, putri Dukuh Shakti Belatung,
ia berputra Ida Wang Bang Banyak Wide.
188
Shastra Wangsa
189
Shastra Wangsa
[G]
Gajah Waktra: raja Bali yang shakti tapi kalah lawan pasukan Majapahit
Gajah Waktra disebut dengan banyak nama: Bedhahulu, Bedamukha, Sri Astasura Ratna
Bumi Banten, Gajah Wahana, Tapowulung. Siapakah dia? Kita mundur ke belakang jauh
sebelum Gajah Waktra dilahirkan entah di mana. Menurut sejarahnya, Raja Bali pertama
yang diketahui oleh sejarah adalah Mayadanawa, keturunan Wangsa Sanjaya atau
Kalingga. Raja yang sakti ini dikalahkan oleh Sri Kesari Warmadewa keturunan Wangsa
Warmadewa. Itu murni bukan perang wangsa. Selanjutnya dinasti Wangsa Warmadewa
dikalahkah oleh Singhasari. Setelah itu, raja Bali diangkat langsung dari Jawa. Yang
pertama adalah Kryan Demung Sasabungalan, yang kemudian digantikan oleh anaknya
bernama Ki Kebo Parud. Kerajaan Singhasari kemudian dikalahkan oleh Majapahit. Maka
raja Bali pun diangkat dari Majapahit. Seorang raja bergelar Maharaja Bhatara Mahaguru
diangkat oleh Kalagemet, raja Majapahit ketika itu. Yang menggantikannya sebagai raja
Bali adalah putranya sendiri bernama Sri Tarunajaya. Setelah meninggal digantikan oleh
190
Shastra Wangsa
adiknya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Ia inilah yang disebut-sebut sebagai
Gajah Waktra. Jadi, Gajah Waktra adalah orang Jawa. Kata waktra berarti mulut, gajah
waktra secara etimologis berarti “si mulut gajah”.Tidak banyakdiketahui tentang pribadi
Gajah Waktra sebagai manusia. Yang diketahui bahwa ia adalah raja Bali yang terkenal
karena kesaktiannya. Bukan hanya dirinya yang dikatakan shakti, juga ia dikelilingi oleh
patih-patihBali yang sakti, seperti:
Itulah raja shakti dan patih-mantri shakti yang semuanya kalah oleh kekuatan tanah
seberang. Seperti ini latar belakang kejadiannya menurut catatan para penulis babad.
Entah apa yang terjadi dalam pikiran Gajah Waktra, ia menyatakan diri tidak bersedia
lagi tunduk di bawah Majapahit. Pembangkangannya menyebabkan raja Majapahit murka.
Raja murka berarti perang. Gajah Mada memimpin penyerbuan ke Bali, dibantu para
perwira yang terdiri dari para Arya. Terjadilah perang Gajah melawan Gajah. Gajah Mada
berarti “gajah mabuk”. Gajah Waktra berarti “si mulut gajah”.Inti kekuatan Bali ada pada
pasukan Ki Pasung Grigis. Namun karena telah kehilangan seorang andalanbernama Kebo
Iwo dan Kebo Taruna, Pasung Grigis pun tertangkap hidup-hidup oleh pasukan Jawa. Putra
Mahkota, anak Gajah Waktra bernama Madatama tewas di tangan musuh. Pasukan Bali
191
Shastra Wangsa
kalah. Gajah Waktra pun dikabarkan menemui ajalnya. Entah karena tewas dalam perang
itu, atau barangkali karena kehilangan putra kandung menyebabkan jiwanya mati
mendahului raganya. Seperti itulah yang diketahui tentang riwayat hidup Gajah Waktra.
Karena ia seorang raja Bali, maka riwayat hidupnya sedikit tidaknya menjadi riwayat Bali
juga. [disarikan dari berbagai sumber]
Gandharwa: yoni
Gandharwa adalah salah satu Yoni kelahiran manusia. Menurut teks Tattwa Jnana,
Gandharwa adalah rasa kedamaian, sebagai rasa ketentraman, sebagai keramaian, sebagai
kesenangan, sebagai kegirangan, sebagai rasa terpesona (Gandharwa pinaka shanta, pinaka
trepti, pinaka ramya, pinaka harsa, pinaka wijah, pinaka kalangen.” [TJ]. Dari sifat-sifat
dasar itulah kemudian dalam teks-teks yang lebih “muda” usianya, digambarkan bahwa
manusia “soroh” Gandharwa ini memiliki kemampuan lebih di bidang seni seperti menari,
bernyanyi, dan ringan hatinya mengembara dari satu tempat ke tempat lain.
Genta: Nasihat Dang Hyang Nirartha pada Batur Enggong jangan memakai genta
Pada mulanya Batur Enggong ingin berguru pada Dang Hyang Nirartha. Tapi karena
didahului oleh sekretaris kerajaan bernama Dauh Baleagung, Batur Enggong
mengurungkan niatnya. Ia diam-diam menghubungi Dang Hyang Angshoka di Jawa. Tapi
Dang Hyang Angshoka tetap menyarankan agar ia berguru pada Dang Hyang Nirartha.
Batur Enggong belum terbuka hatinya, karena “kecemburuan-spiritualnya” pada Dauh
Baleagung. Sampai akhirnya Bhatara Mahadewa dari Gunung Agung turun diiringi oleh
Sang Boddha menuju ke Gelgel. Bhatara bersabda: “Puteraku Raja Batur Enggong, kalau
tidak jadi puteraku berguru pada Dang Hyang Nirartha, karena tidak ada pendeta seperti ia
lagi, tidak dapat dihindari kerajaan akan hancur, semuanya batal, penyakit merajalela,
musuh pun semakin banyak, kerajaan menjadi tidak aman lagi”. Sri Aji Batur Enggong
menuruti sabda Bhatara Mahadewa. Setelah Bhatara kembali ke Gunung Agung, segera
Batur Enggong minta didiksa oleh Dang Hyang Nirartha. Upacara diksa dilaksanakan pada
purnama bulan ke empat. Ada ajaran yang diberikan oleh Dang Hyang kepada Batur
Enggong tentang keutamaan istana. Tatkala sedang memuja, jangan membawa genta
tatkala bermantra. Terlalu berani namanya. Menyaingi Bhatara sangat berbahaya! Itulah
nasehat Dang Hyang Nirartha.
192
Shastra Wangsa
Penelitian ini belum nenemukan naskah dan teks berjudul Gugutuk Menur ini. Jadi hingga
saat ini karya ini baru dikenal judulnya saja . [DT]
194
Shastra Wangsa
Keterangan lain menyebutkan Gunung Agung meletus pada hari Kamis, Kliwon, Tolu,
Purnama ning Sasih Kasa, Rah 7, Tenggek 2, tahun Isaka 27 (105 M), dan pada hari
Selasa, Kliwon, Kulantir, Purnamaning Sasih Kalima, tahun Isaka 31 (109 M). [BGT]
195
Shastra Wangsa
Nama Gunung Mangu tidak hanya menunjuk pada gunung yang secara geografis ada di
daerah Badung Utara, Bali tengah. Nama Gunung Mangu juga disebutkan di dalam ajaran
bernama Kanda Phat Bhuta. Salah satu saksi naskah dari ajaran ini menyebutkan seperti
dikutif berikut ini: “Gunung Mangu namanya di ginjalmu, suaranya adalah Ner”(gunung
mangu ring ungsilanta ngaran, swaranya Ner). [K4B]
Gunung Watukaru:hati
Nama Gunung Watukaru tidak hanya menunjuk pada gunung yang secara geografis ada
di bagian utara wilayah kabupaten Tabanan, Bali Tengah. Nama Gunung Watukaru juga
disebutkan di dalam ajaran bernama Kanda Phat Bhuta. Salah satu saksi naskah dari ajaran
Kanda Phat Bhuta ini menyebutkan seperti dikutif berikut ini: “Gunung Watukaru
namanya ada di dalam hatimu, suaranya adalah Er” (Gunung Watukaru ring hatinta ngaran,
swaranya Er).[K4B]
196
Shastra Wangsa
[H]
sebagainya. Apabila tidak ada ketiga-tiganya, maka akan susah membuktikan kebenaran
dari kewangsaan yang diklaim seseorang. [DKW]
198
Shastra Wangsa
[Lihat Lampiran Teks: Hyang Bapa Hyang Ibu]. Jadi, Rong Tiga itu juga ada di dalam diri.
Rong Kanan adalah mata kanan, rong kiri adalah mata kiri. Pertemuan kedua mata di
pertengahan alis adalah Rong Tengah. Dengan demikian, kemana-mana orang pergi selalu
membawa rong tiga di kepalanya.
Hyang Batulumbang
Nama Hyang Batulumbang disebutkan di dalam Babad Arya Pacung. Seperti ini
ceritanya. “Tersebutlah Si Arya Sentong bertempat di Desa Pacung bergelar Kiyai Ngurah
Pacung. Ia berputra Si Arya Putu. Si Arya Putu punya anak, yaitu Kiyai Ngurah Ayunan
dan Kiyai Ngurah Tamu. Kiyai Ngurah Ayunan pindah ke Desa Perean.Kiyai Ngurah
Tamu meninggal dunia, sehingga semua pusaka diboyong ke Perean. Kiyai Ngurah Perean
bergelar Kiyai Ngurah Pacung Sakti. Permaisurinya bernama I Gusti Luh Pacekan. Ketika
I Gusti Luh Pacekan pergi ke Tirta Gangga berjumpalah ia dengan Hyang Batulumbang. I
Gusti Luh Pacekan kelihatantidak normal, karenasuaminya berhubungan dengan Ni Jepun,
hingga hamil”. [BAP, BPBL]
Seperti itulah keterangan babad, selanjutnya tidak ada lagi keterangan tentang Hyang
Batulumbang. Sehingga dari babad tersebut tidak bisa diketahui apa hubungan antara
keturunan Arya Sentong di Pacung dengan Hyang Batulumbang. Untuk diketahui, sebutan
Hyang Batulumbang berkaitan dengan seorang Padanda yang memakai nama
Batulumbang. Apakah Padanda yang memakai nama Batulumbang menjadi bhagawanta
Perean?
199
Shastra Wangsa
oleh 8000 lebih Wong Samar berasal dari penduduk sekitar Pagametan yang turut
digaibkan. Demikian berbagai sumber tertulismemberitahukan, tapi entah apa yang
sesungguhnya terjadi. Kisah ini penuh misteri. Dan hingga penelitian ini dilakukan tidak
ditemukan sumber tertulis yang mengungkapkan misteri penggaiban itu. [DT]
200
Shastra Wangsa
[I]
Ida Ayu Niswabhawa: Putri Dang Hyang Nirartha dari ibu Blambangan
Ada tiga orang putra Dang Hyang Nirartha yang lahir dari ibu bernama Sri Patni Keniten,
asal Blambangan, Jawa Timur. Sebelum menjadi pendeta, anak yang tertua bernama Ida
Ayu Niswabhawa, Ida Istri Rai adalah nama lainnya. Tingkah lakunya sangat baik, serta
pandai dalam ajaran jnana.Setelah menjadi seorang pendeta, ia bergelar Padanda Istri Rai.
Adik kandungnya bernama Ida Made Telaga, Ida Ender adalah julukannya di Bali, karena
201
Shastra Wangsa
ia mengarang kidung Ender.Yang bungsu bernama Ida Wetan, yang juga disebut Ida
Nyoman Kaniten. [DT]
202
Shastra Wangsa
api dalam dirinya itulah yang menyebabkan sosok Ida Bang Manik Angkeran terlahir
sebagai penjudi kelas berat, yang persis seperti api menghabiskan harta kekayaan ayahnya.
Bukan kebetulan bila akhirnya Manik Angkeran “mati raga” karena semburan api dari
mulut Nagaraja Basukih di Besakih. Setelah ia dihidupkan kembali oleh ayahnya, ia lantas
menjadi seorang pendeta. Manik Angkeran seakan melekat dengan api. Dalam suatu
peristiwa ia unjuk kesaktian di hadapan Dukuh Belatung, membakar gunungan sampah
hanya dengan mengencinginya. Dari kencingnya, keluar api. [BMA]
Ida Bang Pinatih, atau Ida Bang Bagus Pinatih adalah anak dari Wangbang Wide dari
perkawinannya dengan I Gusti Ayu Pinatih, puteri Arya Buleteng seorang patih di Daha.
Sedangkan Wangbang Wide adalah anak dari Manik Angkeran. Manik Angkeranadalah
anak dari Dang Hyang Siddhimantra. Jadi, Ida Bang Pinatih adalah cucu dari Manik
Angkeran, atau kumpi dari Dang Hyang Siddhimantra.Setelah dewasa Ida Bang pinatih
menikah dan mendapatkan seorang putera yang ia beri nama sama dengan nama dirinya,
Ida Bang Pinatih. dengan gelar Pangeran Anglurah Pinatih. [BMA]
Ida Keniten
Ida Keniten adalah nama lain dari Ida Wetan, anak Dang Hyang Nirartha yang lahir dari
ibu asal Blambangan, bernama Dyah Patni Keniten, adik perempuan raja Blambangan
bernama Sira Arya Buru. Ida Keniten memiliki dua orang kakak, laki dan perempuan.
Kakak perempuannya bernama Ida Ayu Niswabhawa, yang kemudian menjadi Padanda
203
Shastra Wangsa
Ida Kidul
Ida Kidul adalah anak Dang Hyang Nirartha yang lahir di Bali, dari ibu asal desa Mas,
puteri Bandesa Mas. Kata kidul berarti selatan.Setelah didiksa menjadi pendeta oleh Dang
Hyang Nirartha, pada Tilem Sasih Kelima bertempat di desa Mas, Ida Kidul kemudian
diberi gelar Mpu Kidul. Ada beberapa julukan yang diberikan kepada dirinya. Julukan
tersebut antara lain, Padanda Mas, Padanda Bukcabe (bukan Bukcabe beribu asal
Blambangan). [DT]
Ida Kulon
Ida Kulon, atau ditulis Ida Kulwan, adalah anak Dang Hyang Nirartha yang lahir dari Ibu
asal Daha, puteri Dang Hyang Panawasikan. Sebagai anak laki-laki tertua, Ida Kulon ikut
dalam perjalanan panjang ayahnya, dari Daha ke Pasuruhan, dari Pasuruhan ke
Blambangan, dan dari Blambangan menyeberang ke Bali. Ida Kulon ini juga disebut
dengan nama Dang Hyang Wiragasandhi. Setelah didiksa menjadi pendeta oleh Dang
Hyang Nirartha, pada tilem sasih kelima bertempat di desa Mas, selanjutnya ia diberi gelar
Mpu Kulon, atau ditulis Mpu Kulwan. [DT] [Lihat, Dang Hyang Wiragasandhi]
204
Shastra Wangsa
selanjutnya melahirkan Brahmana Antapan [DT]. Ada dua keterangan berbeda tentang
keturunan dari Ida Patapan. Yang pertama, Ida Patapan disebutkan mempunyai tiga orang
putra yang masing-masing bernama Ki Wayan Kukub, Sira Made Tabanan, dan Sira
Nyoman Prabangsa yang kemudian tinggal di Mas [BSWR]. Keterangan kedua, disebutkan
bahwa Ida Patapan selain berputera Ida Ketut Tabanan, Ida Kukub di Tabanan, juga
seorang keturunannya bernama Ida Ngenjung yang pindah ke Panaraga (Lombok). Ida
Ngenjung selanjutnya menurunkan seorang putera bernama Ida Patapan di Kediri
(Lombok) [RAK]. Demikian pula ada dua keterangan berbeda tentang upacara diksa Ida
Patapan. Keterangan pertama menyebutkan bahwa Ida Putu Sangsi atau Ida Patapan
berguru kepada Ida Mpu Mas. Sedangkan keterangan kedua menyatakan bahwa Ida
Patapan sama sekali tidak menjalani kehidupan sebagai pendeta. Jadi, tidak ada upacara
diksa. [DT, BSWR, RAK]
Ida Raden
Ida Raden adalah putra dari Padanda Burwan, atau Padanda Shakti Manuabha, yang lahr
dari seorang ibu berasal dari Sumbawa, bernama Denden Sari, atau juga disebut Denden
Rangi. Denden Sari ketika masih kanak-kanak ikut pergi ke Bali bersama Dang Hyang
Nirartha, setelah ia disembuhkan dari sakitnya oleh Sang Pendeta di kampung halamannya
di Sumbawa. Setelah dewasa, ia dijadikan istri oleh Ida Burwan atau Padanda Burwan.Dari
perkawinannya itulah kemudian lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Ida Raden.
Ida Raden setelah beristri menurunkan putra antara lain Ida Panji di Buleleng, Ida
Buringkit di Mengwi, Ida Abasan di pegunungan Bangli. [RAK]
Ida Ratu Ayu Mas Meketel: awal mula manusia makan manusia di Nusa Penida
Ida Ratu Ayu Mas Maketel adalah nama istri Dalem Dukut. Dari Ratu Ayu inilah awal
mulanya ada manusia makan manusia di Nusa Penida. Ceritanya panjang, berikut ini
adalah ringkasan dari sumber babadnya.
Ratu Ayu konon sedang memarut kelapa di dapur. Tangannya terluka kena parutan.
Darah menetes menyebabkan merah warna kelapa parut itu. Sebagai perempuan ia tak
mungkin naik pohon mencari kelapa pengganti. Mau tidak mau kelapa bercampur
darahnya itu dilanjutkannya menjadi sayur urab. Ketika suaminya Dalem Dukut pulang
bersama I Gede Macaling, disuguhkanlahmakanan lauk sayur urab kelapa itu. Karena enak
205
Shastra Wangsa
rasanya, urab itu habis dimakan berdua. Bertanyalah I Gede Macaling apa resepnya. Ratu
Ayu berterus terang sambil mohon maaf berkali-kali, karena bukan niatnya mencampur
darah sendiri. Dalem Dukut dan I Gede Macaling tidak marah, malahan berpikir, darah
manusiaternyata enak apalagi kalau dapat dagingnya. Berdua mereka berdiskusi bagaimana
kalau mencoba memakan daging manusia. Bukankah di jalanan sering ada anak-anak
bermain di bawah pohon Bunut, bagaimana kalau dicomot satu orang. Begitu hasil diskusi
mereka. Pada hari Soma Kajeng Kliwon I Gede Macaling teringat hasil diskusi itu, maka
dicomotnya seorang anak pada saat matahari terbenam. Malam harinya ia memasak dan
berpesta bersama Dalem Dukut. Karena menyenangkan maka pesta itu diulang setiap hari
Senen Kajeng Kliwon, lima belas hari sekali. Maka sejak itu, lima belas hari sekali satu
anak di Nusa Penida hilang. [BNP]
206
Shastra Wangsa
terkenal dengan julukan Padanda Shakti Talaga, atau Padanda Ngawi Ender karena ia
adalah pengarang Kidung Ender. [DT, BBCD] [Lihat, Padanda Shakti Talaga]
Ida Talaga(2)
Siapakah Ida Talaga? Beginilah teks Widhi Shastra menuliskannya: Tatakrama
Brahmana yang lahir dari sinar, bernama Ida Telaga. Ia tahu segala dewa. Ia dipuji dan
dijadikan sebagai penyucian oleh Bhatara Pashupati yang berkedudukan di Rekagumi.
Sampai di kelak kemudian hari, apabila ada keturunannya menjadi tempat penyucian
seluruh jagat, termasuk rajanya, maka sebagai pahalanya akan rahayulah jagat sampai raja-
rajanya. Ida Talaga itu adalah Brahmana Utama, putra Bhatara Brahma. Begitulah sabda
Bhatara Brahma. Apabila ada raja mengetahui kesujatian ini, maka akan dianugerahi oleh
Bhatara Putranjaya yang ada di Besakih. Ida Telaga sampai keturunannya nanti, patut
dijadikan Shiwanya jagat, pahalanya akan rahayu jagat beserta rajanya. Bhatara Putranjaya
menjiwai setiap anugerah berupa kesiddhian mantra. Demikian ucap Bhatara yang tercakup
dalam Widhishastra. Janganlah seorang raja penguasa dunia, dan para pendeta Brahmana,
menghina wangsa Ida Telaga yang lahir dari sinar. Apabila menghina akan kena kutukan
Bhatara Pashupati dan Bhatara Putranjaya yang ada di Besakih. Tidak akan menjadi
manusia kembali. Ini Widhi Shastra. [SPT] [Lihat, Lampiran Teks: Ida Talaga]
207
Shastra Wangsa
Ida Wetan (1): anak Dang Hyang Nirartha beribu asal Pasuruhan
Ida Wetan adalah anak Dang Hyang Nirartha yang lahir dari ibu asal Pasuruhan. Ida
Wetan adalah saudara kandung IdaLor dan Ida Ler. Setelah menjadi pendeta ia disebut
Padanda Wetan, yang berdasarkan perkembangan kemudian masuk dalam kelompok
brahmana Manuabha (beda dengan Mpu Wetan Blambangan).[DT][Lihat, Padanda Wetan]
Ida Wetan(2): anak Dang Hyang Nirartha beribu Dyah Patni Keniten
Ida Wetan adalah salah satu anak Dang Hyang Nirartha yang lahir dari ibu
asalBlambangan bernama Dyah Patni Keniten. Ia bersaudara Padanda Shakti Talaga, atau
terkenal dengan sebutan Padanda Shakti Ender. Ida Wetan memiliki seorang kakak
perempuannya bernama Ida Ayu Niswabhawa, Ida Stri Rai adalah nama lainnya.Ida Wetan
setelah didiksa menjadi padanda oleh Dang Hyang Nirartha, pada hari Tilem Kalima
bertempat di Mas, selanjutnya bergelar Mpu Wetan. Dari sosok inilah munculnya watek
Keniten pada brahmana Shiwa di Bali.[DT, DDN, BCB]
208
Shastra Wangsa
setelah Sembilan belas tahun lamanya menguasai kerajaan Gelgel. I Dewa Agung Jambe
kemudian mendirikan istana baru di Klungkung pada tahun 1710. Ia memiliki tiga orang
putra, yang sulung adalah Ida I Dewa Agung Dimade, kedua adiknya adalah Ida I Dewa
Agung Anom Sukawati, Ida I Dewa Agung Ketut Agung Puri Gelgel. Dari keturunan Ida I
Dewa Agung Dimade itulah mulai dipergunakannya sebutan cokorda.[BMW-1]
209
Shastra Wangsa
210
Shastra Wangsa
I Dewa Gede Anom Rai: raja Bangli turunan Satriya Taman Bali
I Dewa Gede Anom Rai adalah raja Bangli yang menggantikan I Dewa Prasi. Seperti ini
cerita ringkasnya. I Dewa Prasi adalah salah satu anak dari I Dewa Gede Tangkeban, atau I
Dewa Tamanbali. I Dewa Prasi pada mulanya berkedudukan di daerah Gaga. Setelah
kerajaan Tamanbali mengalahkan Bangli melalui peperangan yang sengit, dan raja Bangli
Anglurah Praupan berhasil ditewaskan, maka I Dewa Prasi akhirnya dijadikan raja di
Bangli. Menurut babadnya, Dewa Prasi memiliki hanya seorang putri, bernama I Dewa
Ayu Den Bancingah. Itulah sebabnya Dewa Prasi mengangkat putra dari keturunan
saudaranya di Tamanbali. Putra angkat itu bernama I Dewa Gede Anom Rai, yang
kemudian dikawinkan dengan puteri tunggalnya Dewa Prasi. I Dewa Gede Anom Rai
inilah yang menggantikan Dewa Prasi menjadi raja di Bangli. Ia dikabarkan memiliki ajian
Astadasa Wyara yang menyebabkan ia kebal dan sangat disegani rakyatnya.[BKTB]
I Dewa Gede Anom Teka: Raja Taman Bali yang menyerang Bangli
I Dewa Gede Anom Teka adalah adalah putra mahkota pengganti I Dewa Gede
Tangkeban, atau I Dewa Tamanbali. Setelah ayahnya meninggal, ia menggantikannya
menjadi penguasa di Tamanbali. Ia melakukan penyerangan terhadap Anglurah Praupan,
penguasa Bangli ketika itu, karena Anglulah Praupan diyakini olehnya terlibat dalam usaha
pembunuhan terhadap ayah kandungnya yang dilakukan oleh dua orang utusan.
211
Shastra Wangsa
212
Shastra Wangsa
melarikan diri, terus diburu, akhirnya nyineb wangsa. Karena menang raja Sukawati
mengambil seluruh pusaka leluhur Bandesa Mas. [SBMM]
213
Shastra Wangsa
yang diberi nama I Dewayu Mas Membah.Seperti itu disebutkan di dalam Babad Batur.
[BTUR]
214
Shastra Wangsa
215
Shastra Wangsa
216
Shastra Wangsa
Dalem Sawang. Namun setelah Dalem Sawang kalah oleh Dalem Dukut, maka yang
menjadi penguasa di Nusa Panida adalah Gede Macaling sendiri.
Menurut keterangan babad, ia menguasai sekitar 1500 wong samar, dan para bhuta
lainnya. Itulah pasukan yang menjaga Nusa Panida. Gede Macaling bergelar Papak Poleng
dan Istrinya bergelar Papak Selem. Gede Macaling menurunkan 4 orang anak, dua laki dua
perempuan. Menurut babadnya, Gede Macaling meninggal pada umur 220 tahun (?).
Istrinya meninggal pada umur 245 tahun. Gede Macaling dibuatkan pelinggih di Pura
Dalem Ped. Istrinya Sang Ayu Mas Rajeg Bhumi dibuatkan pelinggih di Pura Bias Muntik.
[DJ, BNP]
218
Shastra Wangsa
219
Shastra Wangsa
kiranya beliau mengambilnya sebagai istri. Persembahan tidak ditolak, tak diketahui entah
apa pertimbangannya. Maka pada hari yang telah ditentukan Gusti Ayu yang waras total
diupacarai menjadi pendeta-istri mendampingi pendeta-suami.[BMW-1][Lihat, Kutukan
Padanda Wanasara 2]
220
Shastra Wangsa
pada masa itu.Mendengar kabar kecantikan I Gusti Ayu Rai, Ki Gusti Ngurah Panji
langsung ingin menjadikannya istri. Maka dikirimlah utusan ke Mengwi. Utusan itu
diterima, tapi permohonannya ditolak. Penolakan itu membuat Ki Gusti Ngurah Panji
malu. Dari malu muncullah marah. Dari marah pikiran pun gelap. Dalamkegelapan
hatiyang ada adalahhasrat menghancurkan Mengwi seluruhnya. Perang Buleleng lawan
Mengwi pun terjadi tidak lama setelah penolakan harga diri yang harus dibayar mahal itu.
Masing-masing membayarnya dengan banyak nyawa manusia. Perdamaian terjadi setelah
salah satu mau mengalah untuk menang. Raja Mengwi menyerahkan adiknya kepada I
Gusti Ngurah Panji. Sebaliknya I Gusti Ngurah Panji menyerahkan daerah kekuasaan
Blambangan dan Jaranbana (Jemberana) kepada Raja Mengwi. Begitulah kesepakatan
tercantum dalam babad. Kesepakatan di luar babad tidak diketahui. I Gusti Ngurah Panji
kembali ke Sukasada didampingi I Gusti Ayu Rai.
Begitulah I Gusti Ayu Rai, dari penyebab perang kemudian menjadi sebab perdamaian,
dan akhirnya menjadi sebab hubungan kekeluargaan antara dua raja berbatas gunung
itu.Sejatinya I Gusti Ayu Rai tidak berbuat apa-apa.Semata-mata dunia di sekitarnya itulah
yang berubah karena dirinya ada. Ia menjadi istri keempat, melahirkan seorang anak
perempuan bernama I Gusti Ayu Panji, yang setelah dewasa dinikahi oleh Ki Gusti Anom
dari Kapal, Mengwi. [BBUL]
221
Shastra Wangsa
Arya Wangbang Sidemen. I Gusti Ayu Singharsa sendiri setelah dewasa menikah dengan I
Gusti Byasama, yang dalam perkembangan selanjutnya menurunkan Arya Dawuh. [BMA,
RAK]
I Gusti Bagus Jlantik Banjar: penguasa Singaraja setelah pisah dengan Sukasada
I Gusti Bagus Jlantik Banjar adalah anak tertua dari Ki Gusti Ngurah Jlantik, seorang raja
yang berkedudukan di Singaraja setelah Buleleng dibagi dua. Kakak tirinya bernama I
Gusti Ngurah Panji menjadi raja di Sukasada. Perjanjian yang dibuat raja Singaraja dengan
raja Karangasem untuk menyerang Sukasada, pada akhirnya menyebabkan seluruh
kerajaan Buleleng baik Sukasada maupun Singaraja diambil alih oleh Karangasem. Karena
itulah, I Gusti Bagus Jlantik Banjar, seorang keturunan raja akhirnya dijadikan patih oleh
Ki Gusti Nyoman Karangsem yang menjadi raja Karangasem pertama memerintah di
Buleleng. I Gusti Bagus Jlantik Banjar mendapatkan tempat di Bangkang, sebelah barat
Yeh Mala. [BBUL]
I Gusti Gede Raka:ahli wariga & asta kosala kosali turun wangsa jadi Pasek Wanagiri
I Gusti Gede Raka adalah anak I Gusti Ketut Mel yang dahulu dari Kaba-Kaba pindah ke
Bajra karena malu melihat rajanya menyerah sebelum bertarung dengan raja Mengwi
mengadu kekebalan kulit dan kekerasan tulang. Di Bajra ia membangun kekuatan dengan I
Gusti Ngurah Bajra. Ketika mereka hendak menyerang Kaba-Kaba, mereka didahului
diserang oleh Ki Pasek Wanagiri utusan Cokorda Singhasana di Tabanan. Dalam
pertempuran di sebelah timur Bajra itu, I Gusti Gede Raka ditawan oleh Ki Pasek Wanagiri
222
Shastra Wangsa
di Tabanan. Menurut babadnya ia adalah seorang ahli wariga dan asta kosala kosali. Itulah
sebabnya ia tidak dibunuh, tapi wangsanya diturunkan menjadi “saudara”nya Ki Pasek
Wanagiri. Ia diberikan tempat dan bekal oleh raja Tabanan di desa Bangsing Batuengsel
menjadi pemuka desa. [BKK]
Sidemen. Sedangkan I Gusti Ayu Singharsa setelah dewasa dinikahi oleh I Gusti Byasama,
yang selanjutnya menurunkan Arya Dawuh. [RAK, BMA]
224
Shastra Wangsa
225
Shastra Wangsa
gede teges]. Ketika itu I Gusti Alit Mustika adalah kepala prajurit. Tidak kuat menanggung
rasa malu, ia pun pindah ke Bajra wilayah kekuasaan Kaba-Kaba. Di sanalah ia berjulukan
I Gusti Ngurah Bajra. Menurut babadnya ia mendengar berita mangkatnya raja Kaba-Kaba
yang bernama Anak Agung Ngurah Gede Teges. Timbullah niatnya merebut kekuasaan
Kaba-Kaba melalui jalan perang. Rencana itu diketahui oleh raja Kaba-Kaba. Diutuslah Ki
Pasek Wanagiri oleh Cokorda Singhasana di Tabanan mendahului menyerang I Gusti
Ngurah Kaba-Kaba. Pertempuran terjadi di sebelah timur desa Bajra. Bajra kalah dan sejak
itu menjadi wilayah kekuasaan Tabanan. Tidak diketahui bagaimana nasib I Gusti Ngurah
Bajra.[BKK]
226
Shastra Wangsa
Ayu Jlantik Rawit, anaknya Ki Gusti Ngurah Panji Gede. Jadi ini adalah perkawinan dua
orang sepupu dekat. Ketika Ki Gusti Ngurah Panji Made meninggal dunia, ia
menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja di Buleleng. Jadi, I Gusti Ngurah Panji
Bali adalah raja Buleleng keempat, setelah Ki Gusti Ngurah Panji Shakti, Ki Gusti Ngurah
Panji Gede, dan Ki Gusti Ngurah Panji Made. Menurut babadnya Raja Buleleng keempat
ini memiliki dua anak laki-laki yang lahir dari ibu berbeda. Yang sulung bernama Ki Gusti
Ngurah Panji yang selanjutnya menjadi raja di Sukasada. Yang bungsu bernama I Gusti
Ngurah Jlantik sebagai raja di Singaraja.Dua bersaudara lain ibu ini tidak akur satu sama
lainnya. Pada periode inilah masuknya raja Karangasem atas permintaan dari I Gusti
Ngurah Jlantik yang berkedudukan di Singaraja. [BBUL]
I Gusti Ngurah Telabah: Raden Astaraja, anak Arya Kenceng lahir di Jawa
I Gusti Ngurah Telabah adalah nama Bali untuk Raden Astaraja, anak Arya Kenceng
yang lahir di Jawa dari seorang ibu bernama Dyah Tumapel Suli Wangi seorang putri raja
keturunan Tumapel. Raden Astaraja datang ke Bali menyusul Arya Kenceng, ayahnya.
Oleh Dalem, Raden Astaraja yang kemudian berganti nama menjadi I Gusti Ngurah
Telabah diberikan wilayah bernama Wanajati, diberikan rakyat pengiring. Lama kelamaan
daerah Wanajati berubah menjadi perkampungan yang ramai penduduknya. Di sana
didirikan sebuah istana kediaman I Gusti Ngurah Telabah. Tempat itu kemudian berubah
nama menjadi Kutaraja. I Gusti Ngurah Telabah juga dijuluki Ki Arya Pantindihan. I Gusti
Ngurah Telabah menikah dengan Gusti Luh Jimbar, keturunan Dalem Petak Jimbaran. Dari
perkawinan tersebut lahirlah empat orang putra: I Gusti Ngurah Telabah Manguri, I Gusti
Ngurah Ampel Jati, I Gusti Ngurah Telabah Kuta Sakti, dan yang bungsu bernama I Gusti
Ngurah Telabah Tambasi.[BGT]
227
Shastra Wangsa
pada jaman Ki Gusti Ngurah Panji Bali. Ki Gusti Ngurah Panji berkedudukan di Sukasada.
Ki Gusti Ngurah Jlantik berkedudukan di Singaraja. Menurut babadnya, Ki Gusti Ngurah
Jlantik bekerja sama dengan raja Amlapura, bernama Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasem,
untuk menyerang Sukasada, dengan imbalan pembagian pajak dan pembagian kekuasaan
di Buleleng. Akhirnya Ki Gusti Ngurah Jlantik berhasil menang dan Ki Gusti Ngurah Panji
berhasil ditewaskan. Tidak berselang lama setelah kemenangan itu, Ki Gusti Ngurah
Jlantik sempat menjadi raja Buleleng berkedudukan di Singaraja. Setelah tua dan wafat,
kekuasaan Buleleng akhirnya dikendalikan oleh I Gusti Nyoman Karangasem sebagai
perwakilan Karangasem di Buleleng. Sedangkan keturunan Ki Gusti Ngurah Jlantik yang
bernama I Gusti Bagus Jlantik Banjar dijadikan patih berkedudukan di Bangkang, sebelah
barat Yeh Mala. I Gusti Nyoman Karangsem pun tidak lama berkuasa di Buleleng, karena
sakit dan akhirnya meninggal. Kedudukannya sebagai raja kemudian digantikan oleh Ki
Gusti Agung Made Karangasem Sori. [BBUL]
228
Shastra Wangsa
I Gusti Pangeran Tangkas: membunuh anak kandung sendiri keliru membaca surat raja
Sira Arya Kanuruhan mempunyai tiga orang putra yang bernama Kyayi Brangsinga,
Kiyai Tangkas dan Kiyai Pagatepan. Selanjutnya Kiyai Tangkas berputera seorang laki-
laki bernama I Gusti Keluwung Shakti. Karena kekeliruan membaca surat dari Dalem
Smara Kapakisan di Gelgel, lalu I Gusti Keluwung Shakti ini dibunuh oleh ayahnya
sendiri, karena isi surat menyuruh Kiyai Tangkas membunuh si pembawa surat. Inilah
merupakan Tangkas terakhir dari keturunan Arya Kanuruhan. Karena Sang Ayah
membunuh putra tunggalnya, saking “bhaktinya” pada raja. [RAK, BAKN]
I Gusti Pranawa: adik I Gusti Agung Maruti yang memberontak pada Gelgel
I Gusti Pranawa adalah adalah adik dari I Gusti Widya alias I Gusti Agung Maruti, anak
dari Kiyai Asak, cucu dari Arya Kapakisan, patih agung Gelgel. I Gusti Pranawa
menyebarkan keturunannya di beberapa tempat di Bali, antara lain di Panida (I Gusti
Panida), di Kamasan (I Gusti Wayan Kamasan), di Sibetan (I Gusti Wayan Sibetan), di
Sampalan (I Gusti Sampalan), di Tambesi (I Gusti Tamabesi), di Teges (I Gusti Teges), di
Ubud (I Gusti Ubud), di Basang Kasa (I Gusti Basang Kasa). [RAK, BN]
229
Shastra Wangsa
I Gusti Stri Ayu Made: anak patih dari raja Dalem Dimade
I Gusti Stri Ayu Made adalah anak perempuan dari I Gusti Agung Dimade, seorang patih
pada masa pemerintahan raja Dalem Pamade. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara.
Kakak dan adiknya adalah laki-laki yang berbeda nasibnya. I Gusti Stri Ayu Made menurut
babadnya kawin dengan seorang laki-laki dijuluki Sang Pandhya Wanasara (Padanda
Wanasara). Konon perkawinan itu menyebabkan matinya Sang Pandhya Wanasara.
Kematian Sang Pandhya itu kemudian “menuntut” kematian I Gusti Stri Ayu Made. Ia
menceburkan diri ke dalam kobaran api pada saat pembakaran mayat suaminya. Tindakan
itu disebut masatya oleh tradisi pada masa itu. [BM][Lihat, I Gusti Ayu Agung Made
Nginte]
230
Shastra Wangsa
231
Shastra Wangsa
232
Shastra Wangsa
I Mraja [= I Merja]
I Mraja adalah nama anak yang lahir dari pasangan suami istri Dukuh Jumpungan dengan
Ni Puri. Dukuh Jumpungan adalah leluhur orang-orang Nusa Penida. Menurut babadnya I
Mraja anak Dukuh Jumpungan itu menikah dengan seorang perempuan bernama Ni
Lundah dan mempunyai seorang anak bernama I Undar [I Undur]. Nama I Mraja juga
ditulis I Merja dalam babadnya. [GGM]
I Renggan yang bernama Ni Merahim beryoga di daerah Badong, Nusa Gede. Setelah
meninggal, ia juga dibuatkan pelinggih di Pura Dalem Bungkut. Ada dua keturunannya.
Yang laki bernama Gede Macaling. Yang perempun bernama Ni Tole, yang setelah dewasa
diperisteri oleh Dalem Sawang. [GGM]. Tentang keturunan I Renggan ada versi lain.
Konon I Renggan memiliki tiga orang anak. Yang tertua bernama I Gotra, yang nomor dua
bernama I Pangeran Yeh Ha, yang bungsu bernama Ni Tole.[DJ]
I Sengguhu: Asu-Asa
“[…] Begitu pula bila I Sengguhu pulang ke tempatnya Brahmana, haruslah I Senggu ingat
ketika dahulu masih ada di Majapahit, sebagai tukang pikulnya Sang Brahmana. I Senggu
tidak boleh melawan kehendak Brahmana. Demikianlah disebutkan di dalam “Asu-Asa”.
[BWST]
234
Shastra Wangsa
235
Shastra Wangsa
[J]
Jatiswara: Sasak
Jatiswara adalah judul sebuah karya shastra berbahasa campuran Sasak, Bali, Jawa.
Menurut keterangan, karya Jatiswara ini adalah gubahan Dang Hyang Nirartha ketika Sang
Pendeta ada di pulau Lombok. Isi cerita tidak berbeda dengan tema kidung pada umumnya,
tentang kisahPanji. Karya Shastra ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
236
Shastra Wangsa
Diceriterakan I Gusti mendapat restu di hutan Camara dari Ida Pedanda Dwijendra.
Setelah itu I Gusti diutus menghadap ke Pura Dalem, dan ke Pura Puseh untuk mohon doa
restu. Setelah itu Ida Bhatara Gede, Ratu Gede dan Jero Gede Macaling melaksanakan
tugas keliling Bali untuk memungut upeti. Adapun jadwal perjalanan mereka itu adalah:
Pada bulan ke-6 pergi ke daerah Badung. Pada bulanke-5 ke pesisir Sanur. Pada bulan ke-7
ke daerah Banyu Wari. Pada bulan ke-8 pergi ke Jawa. Kembalinya dari Jawa mereka pergi
ke Gianyar, ke daerah Sasak, dan ke Sumbawa. Pada bulan ke-9 mereka kembali ke Nusa
Lembongan. Di situlah mereka menyantap makanan dengan daging manusia. [DJ]
237
Shastra Wangsa
[K]
238
Shastra Wangsa
dari Sanghara Kalpa setiap yang didekatinya musnah, terbakar menjadi abu. Seperti itulah
anugerah beliau Sri Jagat Guru. Senanglah perasaan hati Sang Kala Tri Samaya, diberkati
tidak akan terkena hukum tua dan mati. Seperti itulah awal mulanya pada jaman dahulu.
[PGS]
239
Shastra Wangsa
Kaputusan Bhatara Shakti Wawu Rawuh: kumpulan ajaran Dang Hyang Nirartha
Kaputusan Bhatara Shakti Wawu Rawuh adalah judul sebuah naskah yang berisi
kumpulan ajaran Dang Hyang Nirartha. Sebagian besar isi dari naskah ini adalah ajaran
tentang Kawisesan. Yang dimaksudkan dengan kawisesan adalah teknik-teknik mistis
untuk membangkitkan kekuatan-kekuatan di dalam dan di luar tubuh. Tidak diketahui
siapa penyusun naskah ini pada mulanya. Naskah ini tersebar banyak di dalam masyarakat.
Bahwa naskah ini diberi judul Kaputusan Bhatara Shakti Wawu Rawuh menunjukkan
bahwa baik ini naskah maupun penyusun naskah pada jaman dahulu tidak jauh dari figur
legendaris Dang Hyang Nirartha, atau Padanda Shakti Wawu Rawuh. [BSWR]
Kaputusan Mpu Bharadah: pitra, dewa, durga, memedi, bakel, bregala, wong samar
Kaputusan Mpu Bharadah berisi ajaran yoga sandhi bernama Sang Hyang Arnawa. Sang
Hyang Arnawa bersthana di dalam empedu, ditutupi oleh Sang Hyang Sadashiwa, yaitu
langit yang ada di dalam kukuwung hati. Dari dasar inilah diajarkan teknis yoga sandhi.
Selain itu, ada juga lontar Kaputusan Mpu Bharadah yang lain yang isinya berbeda.
240
Shastra Wangsa
Berikut ini dikutip terjemahan dari pembukaannya: “Ini adalah Keputusan Mpu Bharadah
namanya, apabila dirimu ingin mengetahui dirimu (tubuhmu), dan melihat segala yang
buruk dan segala yang baik, dan melihat pitra, dewa, bhatara, durga, babahi, memedi,
bakel, setan, bregala, dan wong samar. [SSS]
Karangbuncing
Karangbuncing adalah nama anak dari Pasung Grigis. Selanjutnya, Karangbuncing
memiliki seorang anak bernama Ki Karang. Sedangkan keturunan Ki Karang bernama Ki
Pagung Grigis, sama dengan nama kakeknya. Pasung Grigis inilah yang menjadi patih raja
Gajahwaktra yang berkuasa di Bali sekitar tahun 1234 M.Salah seorang keturunan
Karangbuncing yang terkenal adalah Kebo Iwa. [BN][ Lihat, Kebo Iwa]
raja di Gelgel menggantikan kakaknya, Dalem Ile, yang dalam keadaan tidak waras alias
gila. [BGT]
242
Shastra Wangsa
Menurut keterangan, raja Bali ini dibawa ke Jawa, tidak diketahui bagaimana nasibnya
setelah menjadi tawanan di Jawa. [RAK, BWST]
Kebo Iwa
Kebo Iwa disebutkan tinggal di Blahbatuh. Seorang putranya bernama Kebo Taruna. Ia
adalah keturunan dari Kiyai Karang Buncing. Karena kesaktiannya maka ia menjadi
kekuatan kunci raja Bali Shri Asura Ratna Bumi Banten, alias Gajah Waktra. Kebo Iwa
inilah yang pertama-tama diincar oleh Gajah Mada, sebelum melaksanakan rencana
besarnya, yaitu menaklukan raja Bali yang shakti. Tajamnya daya penciuman Kebo Iwa
ternyata sama sekali tidak mengendus rencana keji dari undangan Gajah Mada agar Kebo
Iwa berkunjung ke Majapahit untuk mempererat tali simakrama Bali dengan Jawa.
Kesaktian sering tidak menembus sesuatu yang halus, apalagi yang ada di balik yang halus
itu. Maka terjadilah seperti yang dicatat sejarah. Kebo Iwa menemui ajalnya bukan karena
kalah adu kesaktian dengan Gajah Mada, melainkan karena tidak bisa membaca tanda-
tanda. Begitulah, dengan lenyapnya Kebo Iwa, terbukalah jalan lebar bagi Gajah Mada dan
para perwira Arya pendukungnya memasuki Bali. Putra Kebo Iwa bernama Kebo Taruna
tewas dalam pertempuran itu.Bagaimana silsilah Kebo Iwa ini?Menurut babadnya, Kebo
Iwa ini adalah turunan ke sekian dari Jayakaton yang menjadi patih di Blahbatuh, sekitar
tahun 907 M. Jayakaton memiliki seorang anak bernama Arya Rigih. Selanjutnya Arya
Rigih beranak dua; Arya Rigis dan Narotama. Narotama ikut bersama Erlangga ke Jawa.
Arya Rigis yang tetap tinggal di Blahbatuh kemudian memiliki anak bernama Arya Kedi.
Arya Kedi ini memiliki anak buncing yang dinamai Arya Karangbuncing. Anak kembar
buncing ini kemudian dikawinkan dan melahirkan anak laki dinamai Kebo Waruga. Kebo
Waruga diangkat menjadi patih oleh Raja Gajahwaktra dengan gelar Kebo Iwa. Karena ia
tidak kawin-kawin, maka ia disebut Kebo Taruna. Akhirnya Kebo Iwa tewas oleh Gajah
Mada. [RAK, BAKN]
Pada saat bertahta, Kyayi Putu Tegeh, pernah dikirim bertempur oleh Dalem Sukasada
bersama Kyayi Ngurah Telabah di Kuta, dan Kyayi Ngurah Tabanan, menyerang I Kebo
Mundar di Sasak. Kyayi Telabah melarikan diri karena dikalahkan oleh Kebo Mundar,
kemudian digantikan oleh Kyayi Anglurah Tabanan dan Badung, hingga Ki Kebo Mundar
243
Shastra Wangsa
takut dan takluk.Penelitian ini menemukan sebuah saksi naskah berupa tulisan tangan yang
kini tersimpan sebagai koleksi pribadi di Mataram. [BPB]
244
Shastra Wangsa
Dalem Batur Enggong, maka keluarga I Gusti Ngurah Keloping melarikan diri dari Gelgel
dan agar bebas dari kejaran pasukan Gelgel, mereka pun nyineb wangsa atau
menyembunyikan identitas wangsanya.Anak sulung I Gusti Ngurah Keloping masih
memakai nama I Gusti Wayahan Padang, sedangkan anak-anak selanjutnya bernama I
Gede Padang, I Nyoman Padang, Ni Luh Tengah.Inilah cikal bakal dari wangsa Keloping
yang menyebar pesat di seluruh Bali. [BN]
245
Shastra Wangsa
tentang Kembanging Langit di dalam teks Tutur Mahapadma. [TMP] [Lihat Lampiran
Teks: kembanging langit]
246
Shastra Wangsa
tidurnya seperti tidur ayam, tidak ada tujuan, tidak ubahnya mendapatkan kutukan karena
tidak seiring dengan Hyang. Adalah dosa bila tidak ingat pada asal-mula ke-orangan-nya
(kewangsaan) dulu pada saat penjelmaannya. [WP]
Ki Anglurah Badeng
Ki Anglurah Badeng adalah nama lain dari Ki Anglurah Tabanan. Julukan Ki Aglurah
Badeng muncul dalam babad ketika pasukan Bali bersiap-siap menyerang Kebo Mundar di
Lombok, yang menentang kekuasaan Bali. Menurut keterangan Ki Anglurah Badeng
membawahi sekitar 200 prajurit, dengan keris andalan bernama Ki Kala Wong. Ki
Anglurah Badeng berangkat ke Lombok bersama-sama dengan Ki Gusti Ngurah
Panjishakti [Sukasada], Ki Gusti Ngurah Telabah [Kutaraja]. [BGT]
Ki Bandesa Gading Wani: orang Bali pertama didiksa oleh Dang Hyang Nirartha
Ki Bandesa Gading Wani bersaudara dengan Ki Bandesa Mas dan Ni Luh Rukmi.
Mereka bertiga adalah anak dari Sri Aji Dalem Kramas dari perkawinannya dengan putri
Ki Bandesa Taro. Menurut babadnya, datangnya Sri Aji Dalem Kreshna Kapakisan
menekan wangsa ksatriya mereka menjadi Bandesa. Ki Bandesa Gading Wani tinggal di
Desa Wani Tegeh, Jemberana. Ki Bandesa Gading Wani bertemu dengan Dang Hyang
Nirartha ketika pendeta ini baru saja mendarat di Bali bersama keluarganya. Ketika itu
desa Gading Wani terserang wabah mematikan yang tidak bisa diobati. Atas permohonan
Bandesa Gading Wani, Dang Hyang Nirartha menyembuhkan mereka semua dengan
sarana adem sirih pinang (sepah ganten) dan air. Bandesa Gading Wani menyaksikan
bagaimana ampuhnya sarana tersebut. Seluruh yang sakit seketika menjadi sembuh.
Keyakinan Ki Bandesa Gading Wani bulat hendak menjadi murid Dang Hyang Nirartha.
Maka tidak lama kemudian ia didiksa menjadi pendeta. Gelar yang disandangnya adalah
Dukuh Gading Wani Menurut babadnya, Ki Bandesa Gading Wani ini tekun
247
Shastra Wangsa
248
Shastra Wangsa
249
Shastra Wangsa
pemangku di parhyangan, janganlah sampai lupa pada agama, dan kepada leluhur. Ingat-
ingatlah dengan seksama! [PDK]
Demikianlah antara lain pesan Ki Bandesa Mas kepada seluruh keturunannya. Pesan itu
selain tercantum di dalam Pamancangan Dalem Keramas [PDK] juga sebagian disebutkan
di dalam Dwijendra Tattwa. [DT]
Ki Barak Panji
Ki Barak Panji adalah adalah anak Dalem Sagening dari perkawinannya dengan Si Luh
Pasek Panji, seorang pelayannya yang berasal dari Den Bukit (Buleleng). Menurut
babadnya, Pada suatu hari, Si Luh Pasek Panji kencing di tanah. Selesai kencing Si Luh
pergi meninggalkan air kencingnya di tanah. Kemudian Dalem Sagening lewat diinjaknya
air kencing itu yang konon sangat panas. Bertanyalah Dalem Sagening. Setelah tahu itu
adalah kencing Si Luh, selanjutnya ia terus memikirkannya. Wajah Si Luh terbayang-
bayang. Bangkitlah asmaranya. Dinikahinyalah Si Luh Pasek Panji. Setelah hamil Si Pasek
Panji diserahkan kepada Ki Gusti Ngurah Jarantik, karena Dalem Sagening merasa segera
akan meninggal. Ki Gusti Ngurah Jarantik tidak diijinkan melakukan hubungan badan
dengan Si Luh Pasek Panji. Konon pesan itu ditaati. Anak Si Luh Pasek Panji lahir, diberi
nama Ki Barak Panji. Saat berumur sekitar dua belas tahun, Ki Barak Panji tinggal di
kampung asal ibunya, di daerah Panji, Buleleng. Kepergiannya dibekali anugerah oleh
Dalem Sagening berupa tombak mematikan bernama Ki Tunjung Tutur, atau terkenal
dengan nama Ki Pangkajatattwa.[BBUL]
Ki Baru Gajah
Ki Baru Gajah adalah pusaka berupa keris andalan Arya Kenceng. Menurut keterangan,
pusaka Ki Baru Gajah ini adalah anugerah dari Hyang Tengahing Sagara, di pantai selatan
Bali, tempat Arya Kenceng terdampar ketika ia dengan pasukannya menyerang Bali dari
“pintu” selatan. [BGT]
250
Shastra Wangsa
disandangnya adalah anugrah Dalem atas jasa-jasanya sebelumnya. Ki Pasek Tohjiwa ini
adalah anak dari Kiyai Subadra, atau cucu dari Arya Pamacekan.[BM, BDKL]
Ki Baru Naga
Ki Baru Naga adalah nama sebuah pusaka berupa keris milik Arya Anglurah Kaba-Kaba
Yudha Teges. Ia adalah salah satu keturunan dari Arya Belog yang berkuasa di Kaba-Kaba.
Pada saat terjadi pemberontakan yang diotaki oleh kedua adik tirinya, Arya Anglurah
Kaba-Kaba Yudha Teges berhasil mengalahkan para pemberontak dengan kekuatan pusaka
Ki Baru Naga, yang bisa berubah menjadi seekor naga mengeluarkan api dari mulutnya.
[BKK] [Lihat, Arya Anglurah Kaba-Kaba Yuddha Teges]
Ki Baru Pandak
Ki Baru Pandak adalah nama pusaka berupa keris andalan Arya Kenceng. Menurut
keterangan pusaka Ki Baru Pandak ini diperoleh oleh Arya Kenceng di Bali sebagai
anugerah dari Ida Bhatara yang bersabda dari langit, ketika itu pasukan Arya Kenceng
sedang dalam keputus-asaan, bahkan nyaris hendak kembali ke Jawa sebelum sempat
berperang di Bali. [BGT]
251
Shastra Wangsa
Gobleg agar Dang Hyang Wiragasandhi menetap di Kayuputih sebagai guru bagi
masyarakat di sana. Ketika Padanda Shakti Bukian, anak tertua Dang Hyang Wiragasandhi
dijadikan bhagawanta kerajaan Mengwi, tongkat pusaka itu diberikan kepada Padanda
Shakti Bukian. [PSWR]
252
Shastra Wangsa
253
Shastra Wangsa
Kayu Selem [lihat, kikayuselem]. Ki Calagi memiliki lima orang anak, urutannya dari
sulung ke bungsu adalah: Ni Ayu Kaywan, Ni Ayu Kanti, Ni Ayu Ireng, Ki Ngesti, Ki
Panaracen. [RAK]
254
Shastra Wangsa
luar biasa menyimpan banyak kelebihan di dalam dirinya. Itulah sebabnya ketika berusia
sekitar dua belas tahun ia dijauhkan dari Gelgel, karena dikhawatirkan kelak akan
mengalahkan wibawa putra mahkota. Ketika sampai di daerah Panji, para pengiring
kembali ke Gelgel, kecuali dua orang bernama Ki Dempyung dan Ki Dosot. Keduanya
adalah pengasuh dan pengawal setia Ki Barak Panji. [BBUL]
Ki Geder&Ki Seleseh
Ki Geder dan Ki Seleseh adalah nama dua orang pencuri misterius yang beroperasi di
kerajaan Sukawati. Mereka mencuri di rumah orang kaya menaruh curiannya di rumah
orang miskin. Petugas keamanan selalu gagal mengintai mereka. Akhirnya raja Sukawati,
Dewa Ketut Anom, menyelidiki sendiri malam-malam berbekal beberapa ajian kawisesan
yang dikuasasinya. Berjumpalah ia dengan Ki Geder dan Ki Seleseh. Ia memperkenalkan
diri bernama I Suka. Terjadilah percakapan dari hati ke hati antara mereka bertiga. Dengan
ajianPangruwak Bhuwana, Raja Sukawati berhasil mengorek keterangan. Ki Geder dan Ki
Seleseh mengaku mengambil harta orang kaya untukdibagikan kepada orang miskin
menggunakan ilmu bernamaBhajrasingha dan Sasirep Bhuwana. Raja Sukawati berhasil
255
Shastra Wangsa
“meminjam” ilmu itu dan berjanji akan mengembalikan dalam tempo tiga hari. Benar tiga
hari kemudian mereka bertiga bertemu, I Suka tidak lagi dalam penyamaran, tapi sebagai
raja Sukawati bergelar Ida Dalem Mahasirikan dengan beberapa pengiring. Ki Geder dan
Ki Selehseh diajak ke istana dijadikan saudara angkat. Ki Geder selanjutnya diangkat
menjadi “pacek” di bumi Mas, karena saat itu tidak ada lagi keturunan Ki Bandesa Mas
tinggal di sana. Keturunan Bandesa Mas pergi dari desa Mas akibat kutukan dari Padanda
Bukcabe [lihat, Padanda Shakti Bukcabe] dan akibat penyerbuan raja Sukawati yang ingin
mendapatkan seluruh pusaka Ki Bandesa Mas. Sebagai “pacek” desa Mas ia diberi gelar Ki
Mekel Paduwungan Maha Sirikan. Sedangkan Ki Selehseh diangkat menjadi pemimpin
para seniman di Sukawati. Siapakah Ki Geder dan Ki Selehseh menurut silsilahnya? Babad
dan sumber tertulis acuan buku ini, tidak menyinggung hal itu. Jadi, mereka memang tokoh
misterius, “Robin Hood ala Bali”. [SBMM]
256
Shastra Wangsa
Ki Gusti Ketut Jlantik: anak raja Singaraja setelah pisah dengan Sukasada
I Gusti Bagus Jlantik Banjar, I Gusti Made Jlantik, I Gusti Ketut Jlantik, dan I Gusti
Ketut Panji adalah empat bersaudara anak dari I Gusti Ngurah Jlantik, yang berkedudukan
di Singaraja. Ketika itu kerajaan Buleleng sudah dibagi dua, Sukasada dan Singaraja.
Setelah Buleleng dikuasai oleh Karangasem, keempat saudara itu menjalani hidup sendiri-
sendiri secara terpisah. I Gusti Bagus Jlantik Banjar menetap di Bangkang, sebagai patih
yang bekerja untuk raja turunan Karangasem. Ki Gusti Made Jlantik tinggal di desa Perean,
Tabanan dan disana pula ia meninggal. Ki Gusti Ketut Jlantik tinggal di Kubu Tambahan.
Sedangkan yang bungsu, I Gusti Ketut Panji tetap tinggal di Singaraja. Menurut babadnya,
mereka berempat selamat dari bencana tanah longsor yang memakan banyak korban jiwa
di Buleleng, terjadi pada tahun 1815 M. Setelah kekuasaan Karangasem di Buleleng
berakhir, dan dimulainya kekuasaan Belanda di Buleleng, Ki Gusti Ketut Jlantik yang
tinggal di Kubu Tambahan itulah yang diangkat oleh Belanda menjadi raja menggantikan
257
Shastra Wangsa
Ki Gusti Made Raiyang diangkat terlebih dahulu. Setelah diangkat menjadi raja ia diberi
julukan I Gusti Ngelurah Ketut Jlantik. Pengangkatannya disetujui pula oleh ayahnya yang
menjadi punggawa di Kubu Tambahan bernama Ki Gusti Putu Kari. Ki Gusti Ngelurah
Ketut Jlantik memiliki seorang putri bernama I Gusti Ayu Kompyang.[BBUL]
Ki Gusti Ketut Jlantik Gingsir: turunan Karangsem terakhir jadi raja di Buleleng
Ki Gusti Ketut Jlantik Gingsir adalah patih dari raja turunan Karangasem terakhir yang
memerintah diBuleleng, yaitu Ki Gusti Ngurah Made adalah raja Buleleng. Selang
beberapa lama mereka memerintah di Buleleng, terjadilah perselisihan antara Ki Gusti
Ketut Jlantik Gingsir dengan pihak Belanda, sekitar tahun 1846 Masehi. Perselisihan
tersebut berlanjut dalam perang yang konon berlangsung sekitar tiga tahun lamanya. Akhir
dari perang tersebut, Buleleng dikalahkan oleh Belanda. Raja Ki Gusti Ngurah Made dan
patih Ki Gusti Ketut Jlantik Gingsir melarikan diri secara rahasia ke Karangasem. Maka
setelah kekuasaan dipegang Belanda, berakhirlah lima generasi kekuasaan Karangasem di
Buleleng. [BBUL]
Ki Gusti Made Jlantik: anak raja Singaraja setelah pisah dengan Sukasada
Ki Gusti Made Jlantik bersaudara dengan I Gusti Bagus Jlantik Banjar, I Gusti Ketut
Jlantik dan I Gusti Ketut Panji adalah empat bersaudara anak dari I Gusti Ngurah Jlantik,
yang yang menjadi raja di Singaraja. Ketika itu kerajaan Buleleng sudah dibagi dua,
Sukasada dan Singaraja. Setelah Buleleng dikuasai oleh Karangasem, keempat saudara itu
menjalani hidup sendiri-sendiri secara terpisah. I Gusti Bagus Jlantik Banjar menetap di
258
Shastra Wangsa
Bangkang, sebagai patih raja turunan Karangasem. Ki Gusti Made Jlantik tinggal di desa
Perean, Tabanan dan di sana pula ia meninggal. Ki Gusti Ketut Jlantik tinggal di Kubu
Tambahan. Sedangkan yang bungsu, I Gusti Ketut Panji tetap tinggal di Singaraja.
Menurut babadnya. Ki Gusti Made Jlantik yang meninggal di Perean, memiliki keturunan I
Gusti Wayan Jlantik yang selanjutnya pindah ke Lombok.Ada pula keterangan tambahan
tentang keturunan Panji Shakti yang pindah ke Lombok. Setelah berakhirnya kekuasaan
Karangasem di Buleleng, dan mulainya kekuasaan Belanda, sekitar 1846 Masehi, banyak
keturunan Panji Shakti yang sebelumnya mengungsi dari Buleleng kemudian kembali ke
tempat asalnya. Namun demikian keturunan Ki Gusti Ketut Jlantik Jwali yaitu Ki Gusti
Bagus Jlantik, Ki Gusti Made Raid dan Ki Gusti Nyoman Jlantik sama-sama mencari
tempat tinggal di Lombok. [BBUL]
259
Shastra Wangsa
keturunan Karangasem ketiga yang menjadi raja di Buleleng, setelah berakhirnya dinasti
Panji Shakti. Menurut keterangan babadnya, raja ini tewas di Pangambengan, Jemberana,
oleh orang-orang bersenjata yang menolak kuasa Karangasem di Buleleng.Kedudukannya
sebagai raja kemudian digantikan oleh keturunan Karangasem yang lain bernama I Gusti
Agung Pahang. [BBUL]
Ki Gusti Ngurah Jlantik: raja Singaraja pertama setelah pisah dengan Sukasada
Ki Gusti Ngurah Jlantik adalah adik tiri dari Ki Gusti Ngurah Panji. Kedua saudara tiri ini
masing-masing adalah anak dari Ki Gusti Ngurah Panji Bali, raja Buleleng keempat dari
dua ibu berbeda, Ki Gusti Ngurah Jlantik ini memiliki kakak tiri bernama Ki Gusti Ngurah
Panji. Kedua saudara tiri inilah yang menyebabkan kerajaan Buleleng dibagi dua, Singaraja
dan Sukasada. Ki Gusti Ngurah Panji berkedudukan di Sukasada. Ki Gusti Ngurah Jlantik
berkedudukan di Singaraja. Menurut babadnya, Ki Gusti Ngurah Jlantik bekerja sama
dengan raja Amlapura, Ki Gusti Ngurah Ketut Karangasem, untuk menyerang Sukasada,
dengan imbalan pembagian pajak dan pembagian kekuasaan di Buleleng. Akhirnya Ki
Gusti Ngurah Jlantik menang dan Ki Gusti Ngurah Panji berhasil ditewaskan. Tidak
berselang lama setelah kemenangan itu, Ki Gusti Ngurah Jlantik sempat menjadi raja
Buleleng berkedudukan di Singaraja. Setelah tua dan wafat, kekuasaan Buleleng
dikendalikan oleh I Gusti Nyoman Karangasem. Sedangkan keturunan Ki Gusti Ngurah
Jlantik yang bernama I Gusti Bagus Jlantik Banjar dijadikan patih berkedudukan di
Bangkang, sebelah barat Yeh Mala. [BBUL]
260
Shastra Wangsa
saudara itu. I Gusti Ngurah Jlantik menang karena bantuan Ki Gusti Ngurah Ketut
Karangasem. Sesuai dengan kesepakatan maka Raja Amlapura itu menaruh wakilnya di
Singaraja, yaitu I Gusti Nyoman Karangasem, keturunan Arya Patandakan. [BBUL]
Buleleng. Ketika berusia sekitar dua belas tahun, Ki Barak Panji bersama ibunya pindah
dari Gelgel ke desa Panji, Buleleng. Di sanalah ia tumbuh menjadi pemuda yang luar biasa
kehebatannya karena pusaka keris Ki Semang dan tombak Ki Tunjung Tutur pemberian
ayahnya di Gelgel. Setelah menikah dengan I Dewa Ayu Juruh anak dari Pungakan Gendis,
beberapa tahun kemudian pusat pemerintahannya di Panji dipindahkan ke daerah
Sukasada, karena rakyatnya semakin banyak dan daerah kekuasaannya semakin luas. Dari
perkawinannya dengan I Dewa Ayu Juruh, ia mendapatkan tiga orang anak. Yang sulung
bernama sama dengan dirinya, Ki Gusti Ngurah Panji. Anak kedua bernama Ki Gusti
Ngurah Panji Made. Yang bungsu bernama Ki Gusti Ngurah Panji Wala. [BBUL]
262
Shastra Wangsa
Panji ke Sukasada, Kiyai Sasangkadri adalah penguasa yang tidak mau tunduk di bawah
kuasa Ki Gusti Ngurah Panji. Itulah sebabnya Ki Gusti Ngurah Panji menyerang melalui
peperangan yang sangat mengenaskan. Akhirnya Kiyai Sasangkadri kalah, menyerah, dan
siap mengabdi lahir batin kepada Ki Gusti Ngurah Panji. Janjinya ini berlaku untuk seluruh
keluarga dan keturunannya. Kiyai Sasangkadri tetap menjadi penguasa di Tebu Salah,
tepatnya menjadi perwakilan Ki Gusti Ngurah Panji di Tebu Salah. Semenjak saat itu
sebutan Shakti disandang oleh Ki Gusti Ngurah Panji. Shaktinya tidak terlepas dari keris
Ki Semang dan tombak Ki Tunjung Tutur pemberian dari ayahnya, Dalem Sagening. Ki
Gusti Ngurah Panji Shakti memiliki empat istri dan beberapa anak. [BBUL]
Ki Gusti Pucangan
Ki Gusti Pucangan adalah anak dari Arya Kenceng yang tinggal di desa Buahan,
Tabanan. Ki Gusti Pucangan inilah yang kerap disebut Ki Gusti Notor Wandira, lantaran
berhasil memangkas (notor), pohon beringin (wandhira), yang dihuni oleh gerombolan
burung gagak di Gelgel. I Gusti Pucangan menikah dengan Luh Buahan, dan memiliki dua
orang anak: Kiyai Gede Raka, dan Kiyai Gede Rai. [BGT]
264
Shastra Wangsa
Ki Kayu Selem
Dalam perjalanan dari Jawa menuju Besakih, di tengah perjalanan Mpu Sumeru melihat
ada seperti sosok manusia, yang setelah didekati tenyata adalah sebuah tongkat kayu asem
265
Shastra Wangsa
berwarna hitam habis terbakar mengeluarkan bau harum. Dengan kekuatan jnananya,
tongkat itu kemudian diberi jiwa, sehingga menjadi seorang manusia. Setelah dewasa
manusia ciptaan Mpu Sumeru ini menikah dengan seorang bidadari kuning dan
mempunyai lima orang anak. Kelima anaknya itu adalah sebagai berikut: Ki Kayu Selem
alis Mpu Badengan, Ki Celagi alias Mpu Kaywan, Ki Tarunyan alis Mpu Tarunyan, Ni
Ayu Cemeng, dan yang bungsu Ki Kayu Ireng alias Mpu Gnijaya Mahireng. Selanjutnya
Ki Kayu Selem setelah dewasa menikah dan mempunyai dua orang anak. Anak pertama
diberi nama Ki Kayu Taruna, kawin dengan Ni Ayu Kaywan puteri dari Ki Celagi alias
Mpu Kaywan Panarajon. Anak kedua diberi nama Ki Kayu Celagi, kawin dengan Ni Kayu
Dhani putera dari Ki Tarunyan alias Mpu Tarunyan. [RAK]
Ki Langon
Ki Langon adalah anak dari Ki Semar, cucu dari Patih Wulung. Siapakah Patih Wulung?
Patih Wulung adalah anak dari Mpu Lampita dari perkawinannya dengan seorang
perempuan bernama Ni Ayu Subrata. Ketika di Bali bertahta raja Gajahwaktra, alias Tapa
Wulung, 1337M, Patih Wulung bekerja sebagai salah seorang Mantri atau Patih. Karena
itulah ia dijuluki Patih Wulung. Setelah pensiun dari jabatan sebagai patih, Patih Wulung
kemudian menjadi pendeta berujulukan Mpu Jiwaksara. Jauh sebelum menjadi Mpu ia
mengawini seorang perempuan bernama Ni Prateka melahirkan I Gusti Smaranatha, alias
Ki Semar. Begitulah silsilah Ki Semar. Selanjutnya Ki Semar kawin dengan seorang
perempuan bernama Ni Wredhani. Dari perkawinan itu lahirlah Ki Langon. Ki Langon
beranak laki-laki enam orang, yaitu: Ki Pasek Gelgel, Ki Denpasar, Ki Pangeran Tangkas.
Dari istrinya yang lain Ki Langon mendapatkan anak Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Nongan, Ki
Pasek Prateka. [PNPG, SPSS]
266
Shastra Wangsa
Batur buka kartu, bahwa dirinya hanya bisa dibunuh dengan sebuah bedil yang bernama Ki
Narantaka. Itupun hanya apabila bedil itu diisi dengan peluru bernama Ki Sliksik. Bedil
dan peluru itu adalah milik Raja Klungkung. [BMW-1]
Ki Pangkaja Tattwa: pusaka tombak dari Dalem Sagening Pada Ki Barak Panji
Ki Pangkaja Tattwa, atau Ki Tunjung Tutur adalah pusaka berbentuk tombak yang
mematikan pemberian Dalem Sagening kepada Ki Barak Panji, salah satu anaknya, yang
pindah dari Gelgel ke Panji, Buleleng. Ki Barak Panji adalah anak Dalem Sagening dari
perkawinannya dengan Si Luh Pasek Panji, seorang pelayannya yang berasal dari Den
Bukit (Buleleng). Saat berumur sekitar dua belas tahun, Ki Barak Panji pindah dari
Gelgelke kampung asal ibunya, di daerah Panji, Buleleng. Kepergiannya dibekali anugerah
oleh Dalem Sagening berupa tombak mematikan bernama Ki Tunjung Tutur, atau terkenal
dengan nama Ki Pangkaja Tattwa. [BBUL]
268
Shastra Wangsa
269
Shastra Wangsa
Singkat cerita pertarungan terjadi. Lebih singkat lagi, Ki Pasek Buduk menyerah seraya
berkata bahwa dirinya rela mati asal dipenuhi satu permintaan, agar seketurunan I Gusti
Putu menyembah kepada Ki Pasek Buduk sesudah ia mati nanti. Gusti Putu meluruskan
bukan keturunan yang langsung lahir darinya, tapi keturunan I Gusti Putu dari upacara
pengangkatan anak (widhiwishana pinras) yang akan diberikan menyembah Ki Pasek
Buduk. I Gusti Putu berjanji akan mengangkat orang sebanyak empat puluh terdiri dari
wangsa brahmana, kstrya, wesya, sudra. Selain itu, I Gusti Putu berjanji akan membuatkan
tempat roh [pitara] Ki Pasek Buduk berupa meru bertingkat satu. Begitu jawaban dan janji
I Gusti Putu. Ki Pasek Buduk setuju, dan memberikan rahasia kematiannya. Dirinya tidak
akan mati oleh keris Ki Panglipur, tapi mati oleh keris yang lain. Ditambahkannya, barang
siapa keturunan Gusti Putu menyembahnya, maka akan mendapatkan keshaktian seperti
dirinya. Maka akhir cerita Ki Pasek Buduk tewas sesuai dengan jalan yang dipilihnya.
Kendaraan badaknya setelah tua lalu mati ditanam di sebelah selatan desa Buduk. [BMW-
1]
Ki Pasek Gelgel(1)
Ki Pasek Gelgel adalah anak dari Ki Langon, atau cucu dari Ki Semar. Sedangkan Ki
Semar adalah anak dari Ki Patih Wulung, salah seorang mantri pada jaman pemerintahan
Gajahwaktra.Ki Pasek Gelgel lahir dari istri pertama Ki Langon. Seperti berikut ini lebih
270
Shastra Wangsa
jelasnya. Ki Langon beranak laki-laki enam orang, yaitu tiga lahir dari istri pertama, dan
tiga lagi dari istri kedua. Istri pertama melahirkan: Ki Pasek Gelgel, Ki Denpasar, Ki
Tangkas. Tiga anak dari istrinya yang kedua adalah Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Nongan,
Ki Pasek Prateka. Pasek adalah nama diri, bukan sebagai nama wangsa. Lama kemudian
barulah kata pasek itu dijadikan sebagai sebutan wangsa. [PNPG, SPSS, BB].
271
Shastra Wangsa
desa Gelgel dibangun oleh Ki Pasek Gelgel. Ki Pasek Gelgellah yang membuatkan tempat
bagi para arya pengiring Dalem di seluruh Bali. Semua para Arya itu kemudian menjadi
raja “muda” di wilayah masing-masing. Ki Pasek Gelgel adalah orang kepercayaan Dalem,
dan ia juga disebutkan sebagai pemegang kuasa atas pengaturan harta benda istana. Dalam
pelaksanaan karya besar di Besakih, seperti Ekadasa Rudra, Panca Bali Krama, termasuk
odalan, Pasek Gelgellah yang ditugaskan oleh Dalem untuk menyediakan segala kebutuhan
upacara. [PNPG, BB, SPSS, RAK]. Tentang jumlah anak Ki Pasek Gelgel ada keterangan
berbeda.Keturunan Ki Pasek Gelgel sebanyak 8 orang seperti, yang semuanya
mendapatkan gelar Pangeran dari Raja Dalem: Pangeran Gelgel, Pangeran Abyan Tubuh,
Pangeran Selat, Pangeran Sibetan, Pangeran Nongan, Pangeran Rendang, Pangeran Batur
dan Pangeran Anyaran. [BPBN, KNPG]
Ki Pasek Tohjiwa
Ki Pasek Tohjiwa adalah adik kandung Kiyai Agung Pasek Padang Subadra. Mereka
berdua adalah anak dari Kiyai Gusti Agung Subadra, atau cucu dari Arya Pamacekan (Mpu
Jiwanatha) [lihat, Arya Pamacekan]. Menurut silsilahnya, Ki Pasek Tohjiwa menurunkan
banyak penerus, namun tidak diketahui dengan siapa ia kawin. Ada keterangan bahwa Ki
Pasek Tohjiwa ini adalah pimpinan pasukan khusus bernama Dulang Mangap yang sangat
dibanggakan oleh Dalem di Gelgel.Karena itulah Ki Pasek Tohjiwa diberi gelar Pangeran
Tohjiwa. Menurut silsilahnya, Ki Pasek Tohjiwa menurunkan banyak penerus. Di
antaranya adalah Pasek di Antasari yang menurunkan Pasek di Penatahan, Pasek di
Tanggun Titi, Pasek di Baduk atau Pasek Badak. Pasek di Wanagiri yang menurunkan
Pasek di Duda, Pasek di Besang, Pasek di Langlang Linggah, Pasek di Alasukir. Pasek di
272
Shastra Wangsa
Sanda yang menurunkan Pasek di Pupuan, Pasek di Bantiran, Pasek di Pajahan. Dan konon
dari istri di Blambangan lahir Luh Sekarini di Blambangan, Jawa Timur. [SPSS]
273
Shastra Wangsa
Ki Pinggel Jaruju adalah nama sebuah pusaka berupa keris milik Ki Gusti Ngurah
Telabah Kuta Shakti, salah satu anak dari Ki Gusti Ngurah Telabah. Menurut keterangan
keris ini adalah anugerah dari Ida Bhatara Tengahing Sagara, ketika I Gusti Ngurah
Telabah Kuta Shakti bersama saudara dan ayahnya sedang menempuh perjalanan dari
Kutaraja melalui Tanah Let hendak kembali ke Jawa. Lantaran keris pusaka itu, mereka
urung ke Jawa dan diangkat menjadi pendamping raja Tabanan. [BGT]
Ki Sagara Anglayang
Ki Sagara Anglayang yang secara harfiah berarti samudera melayang, adalah nama
sebuah pusaka berupa senjata bermata tombak. Pusaka ini menurut sumber teksnya
didapatkan oleh Dalem Sukawati di sebuah pesisir bernama Pantai Purnama. Nama Dalem
Sukawati pemilik pusaka tersebut adalah I Dewa Ketut Anom alias Sri Maha Sirikan Jaya
Tanu, yang beristana di Timbul. [SBMM]
274
Shastra Wangsa
Ki Semar= Ki Smaranatha
Ki Semar juga disebutkan di dalam babad dengan sebutan Ki Smaranatha. Ia adalah anak
dari Patih Wulung. Patih Wulung mengawini seorang perempuan bernama Ni Prateka
melahirkan Ki Semar, alias Ki Smaranatha. Begitulah silsilah Ki Semar. Selanjutnya Ki
Semar kawin dengan seorang perempuan bernama Ni Wredhani. Dari perkawinan itu
lahirlah Ki Langon. Ada keterangan lain, bahwa Patih Wulung kawin dengan Ni Swarareka
melahirkan I Gusti Smaranatha dan adiknya Ki Bandesa Manik [SPSS, RAK]. Ki Langon
beranak laki-laki enam orang, yaitu: Ki Pasek Gelgel, Ki Denpasar, Ki Pangeran Tangkas.
Dari istrinya yang lain Ki Langon mendapatkan anak Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Nongan, Ki
Pasek Prateka. [PNPG]
275
Shastra Wangsa
Ki Tinjak Lesung
Ki Tinjak Lesung adalah nama sebuah pusaka berupa keris milik Ki Gusti Ngurah
Telabah Manguri.Keris itu adalah anugerah dari Ida Bhatara Tengahing Sagara, ketika I
Gusti Ngurah Telabah Manguri bersama saudara dan ayahnya sedang menempuh
perjalanan dari Kutaraja melalui Tanah Let hendak kembali ke Jawa. Lantaran keris pusaka
itu, mereka urung ke Jawa dan diangkat menjadi pendamping raja Tabanan. [BGT]
276
Shastra Wangsa
277
Shastra Wangsa
278
Shastra Wangsa
Banyak Wide adalah anak dari Manik Angkeran dari perkawinannya dengan Ni Luh
Warisiki, puteri Dukuh Belatung. Begitulah asal-usul Kiyai Agung Pinatih Mantra yang
leluhurnya dari Bali ke Jawa, dari Brahmana ke Ksatrya. [lihat, Ki Gusti Wangbang
Pinatih Mantra]
279
Shastra Wangsa
yang bersembunyi. Itu awalnya tempat itu dinamakan Dekdekan. Kiyai Buringkit
melarikan diri berombongan. Maka mulai saat itu Kiyai Buringkit tidak diakui lagi sebagai
saudara oleh Arya Anglurah Kaba-Kaba sampai dengan keturunannya kelak. Tidak berhak
menyamai puri. Sebab Kiyai Buringkit sudah diturunkan ke-arya-anya. Kiyai Buringkit
bersembunyi di desa Nyurang. Sesudah lama di sana, diganti nama desa tersebut menjadi
Buringkit.[BKK]
280
Shastra Wangsa
281
Shastra Wangsa
Nyambu tinggal di Den Bukit di desa Bakung. Kiyai Aseman pindah ke Abiansemal. Kiyai
Keladyan di Den Bukit di desa Pumahan. [BKK]
Kiyai Nyuhaya
Arya Kapakisan menurunkan dua orang putra, yaitu Kiyai Nyuhaya dan Kiyai Made
Asak. Dua bersaudara inilah cikal bakal para arya Kapakisan yang menyebar di Bali.
Setelah Arya Kapakisan mangkat, kedudukannya sebagai patih agung digantikan oleh putra
sulungnya, yang kemudian bergelar Kiyai Agung Nyuhaya. Ada dua orang istrinya. Dari
istri pertama lahirlah tujuh orang putra:Kiyai Patandakan, Kiyai Satra, Kiyai Pelangan,
Kiyai Akah, Kiyai Keloping, Kiyai Cacaran, Kiyai Anggan, Kiyai Ayu Adi. Dari istri
kedua (panawing, selir) lahir I Gusti Wayahan Nyuhaya, I Gusti Nengah Nyuhaya, I Gusti
Ketut Nyuhaya. [BN]
282
Shastra Wangsa
Gusti Ngurah Panji semakin berkembang dan ibukotanya dipindahkan dari Panji ke
Sukasada, Kiyai Sasangkadri adalah penguasa yang tidak mau tunduk di bawah kuasa Ki
Gusti Ngurah Panji. Itulah sebabnya Ki Gusti Ngurah Panji menyerang melalui peperangan
yang sangat mengenaskan. Akhirnya Kiyai Sasangkadri kalah, menyerah, dan siap
mengabdi lahir batin kepada Ki Gusti Ngurah Panji. Janjinya ini berlaku untuk seluruh
keluarga dan keturunannya. Kiyai Sasangkadri tetap menjadi penguasa di Tebu Salah,
tepatnya menjadi perwakilan Ki Gusti Ngurah Panji di Tebu Salah. [BBUL]
Krawang Angdon Bedeg:pendeta “menunggui” istri petani di rumah petani itu sendiri
Krawang Angdon Bedeg adalah sebutan yang diberikan kepada seorang pendeta yang
kedapatan menunggui isteri seorang petani di rumah si petani itu sendiri. Menurut shastra
jaman dahulu, si pendeta ini masih bisa diupacarai prayascita, kalau peristiwa itu belum
lewat satu tahun. Tapi kalau sudah lewat satu tahun, kesucian si pendeta itu dinyatakan
panten. [RPG]
Kryan Kedhung
Kryan Kedhung adalah anak dari Kryan Widhya, patihnya raja Dalem Sagening. Kryan
Kedhung adalah cucu dari I Gusti Agung Nginte, patihnya raja Dalem Bekung. Kryan
Kedung sendiri menjadi patih raja Dalem Pamade. Kryan Kedhung dijuluki I Gusti Agung
Bekung, sebab ia tidak memiliki keturunan. Itulah sebabnya ia mengangkat dua orang
anak, yang tidak lain adalah keponakannya sendiri:Anak angkat pertama bernama Kryan
Buringkit, anak dari Kryan Batulepang. Anak angkat kedua bernama I Gusti Agung
Dimade, anak dari Kryan Kalanganyar. Setelah Kryan Kedhung meninggal dunia,
kedudukannya sebagai patih digantikan oleh I Gusti Agung Dimade. Ia diangkat oleh raja
Dalem Pamade. Kryan Buringkit pindah ke Sanur. [BM]
283
Shastra Wangsa
membunuh Ki Gusti Telabah di Gunung Agung. Hal ini diketahui oleh Gusti Telabah, ia
bersembunyi di Kuta. Yang diutus oleh Kiyai Pande untuk menangkap Gusti Telabah ialah
I Pande Capung. Tetapi malang, Ki Pande Capung malah terbunuh. Hal ini didengar oleh
putra Ki Pande Capung yang bernama Ki Gusti Byasama sehingga ia mengamuk
membabibuta. Atas usul dari Lurah Kanca, para Arya menyusun kekuatan untuk melawan
Ki Gusti Telabah. Akhirnya Ki Gusti Telabah terbunuh, Kiyai Pande mendapat
kemenangan. Pada saat itu Kiyai Dawuh Baleagung berhasil menyusun kakawin Arjuna
Pralabda. [BRGP] [Lihat, Pande Bhasa]
Kryan Widhya
Kryan Widhya alias I Gusti Agung adalah patihnya raja Dalem Sagening. Ia menjadi
patih menggantikan kedudukan ayahnya, bernama I Gusti Agung Nginte yang menjadi
patih pada masa pemerintahan Dalem Bekung sebelumnya. Menurut babadnya, Kryan
Widhya memiliki delapan orang anak, lima laki, tiga perempuan:Kiyai Kedung, Kiyai
Kalanganyar, Kiyai Batulepang, Kiyai Basang Tamyang, Kiyai Karangasem (bukan
turunan Batanjeruk), I Gusti Stri Bakas, I Gusti Stri Mimba, I Gusti Stri Kacang Paos.
Itulah nama kedelapan anaknya. I Gusti Stri Bakas dan adiknya I Gusti Stri Mimba,
keduanya dijadikan istri oleh Sri Agung Pamade. [BM]
Ksatrya Dalem
Dang Hyang Kapakisan memiliki 4 orang putra, yaitu yang pertama menjadi raja di
Blambangan, yang kedua menjadi raja di Pasuruhan, yang ketika seorang putri menjadi
raja di Sumbawa, yang bungsu menjadi raja di Bali bergelar Sri Aji Kreshna Kapakisan.
Raja Bali bernama Kreshna Kapakisan ini memiliki tiga orang putra. Putra pertama
berjulukan Dalem Ile yang senang menghias diri, yang kedua Dalem Tarukan yang tidak
waras, Dalem Ketut Ngulesir yang kesenangannya berjudi.Ksatrya turunan Dalem antara
lain: I Dewa Gedong Artha, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, I Dewa
Pagedangan.
Keturunan I Dewa Nusa, I Dewa Sukawati, I Dewa Anom Bengkel, I Dewe Pikandel, I
Dewa Waringin, I Dewa Abasan, I Dewa Batubulan.
Keturunan I Dewa Pagedangan, I Dewa Pelangan, I Dewa Basang, I Dewa Babakan, I
Dewa Bangun Sakti, I Dewa Undisan, I Dewa Bakas.
284
Shastra Wangsa
Ksatrya Tamanbali
Bhatara Subali melakukan pemujaan pada Bhatara Wisnu. Tujuannya agar dikaruniai
seorang putra.Tidak sia-sia, permohonannya dikabulkan, seorang bayi laki. Siapa bayi itu?
Ia adalah bayi yang lahir dari kandungan Dwi Penjaga Air, yang dalam cerita sebelumnya
kembali ke alam dewa bersama Wisnu dalam keadaan mengandung. Bayi itu diberi nama
Gangga Tirtha.Sesuai dengan namanya, bayi itu kemudian dibawa ke Tirtha Arum oleh
Bhatara Subali. Selanjutnya bayi itu dibesarkan oleh salah satu saudara Bhatara Subali
yang bertugas menjaga Tamanbali. Dari Gangga Tirtha nama bayi itu diubah menjadi Sang
Anom.Setelah dewasa Sang Anom menikah dengan I Dewa Ayu Mas, puteri dari Bhatara
Dalem Sekar Angsana di Gelgel. Sang Anom menjadi raja di Tamanbali. Ia kemudian
digantikan oleh puteranya I Dewa Garbhajata. Keturunan ke-6dari Sang Anom yang
bernama I Dewa Gde Tangkeban, tercatat sebagai keturunan yang pertama kali berjulukan
Tamanbali, yaitu I Dewa Gde Tamanbali. Dari nama inilah wangsa Tamanbali kemudian
menyebar ke berbagai tempat di Bali. Namun demikian, tonggak wangsa Tamanbali
dimulai dari Sang Anom. [BKTB]
Kuburan Daha
Diceritakan kembali keadaan beliau Bhatara Guru. Sang Hyang Durmuka disuruh
menyucikan ibunya bertempat di kuburan Daha. Dibisikilah Sang Hyang Ghana oleh
Bhatara Guru, agar diberikan pengetahuan tentang Asta Iswarya, ia berhak untuk melebur
bhuwana. Juga diberikan pengetahuan tentang Cintamani, untuk meleburkan segala macam
kesulitan. Termasuk diberikan pengetahuan tentang perwujudan Sang Hyang Sadashiwa,
mantra-mantra yang berhubungan dengan tubuhnya, tiada lain Isana adalah rambut,
Tatpurusa adalah mulut, Aghora adalah jantung, Bamadewa adalah mantra, sampai pada
Amreta Mudra, Brahmangga Diwangga mantra.Juga diberikan Ghana Stawa, dan
pengetahuan tentang dharma utpati di dalam tubuh. Semua itulah adalah pemberian dari
Bhatara Guru. Maka menyembahlah Sang Hyang Ghanadhipa, selanjutnya berpamitan
285
Shastra Wangsa
berangkat hilang melalui jalan angkasa, kemudian turun di Setra Gandhamayu. Mendekat
di Kahyangan Dalem. Ia menguncarkan Asta Puja, maka munculah Bhatari Durgha beserta
semua pengiring beliau. [PGS]
Kuburan Kaliasem
Ada kuburan di sebelah tenggara kerajaan Galuh, kuburan Kaliasem namanya, sebagai
pertemuan kuburan mayat-mayat orang mati dari sebelah utara gunung dan sebelah timur
gunung. Di sanalah tempat Bhatari Durga dan Sang Hyang Kalarudra dikuasai oleh Sang
Hyang Samaya mendekati Sri Bhatatipati. Beliau mengutus mempersembahkan saji caru
seperti yang sudah-sudah, lengkap dengan darah, daging, segala yang bisa dimakan, serta
panggung pertunjukan wayang, dan pewayangan Sang Hyang Iswara menjadi Swari.
Bhatara Brahma menjadi Peret. Bhatara Wisnu menjadi Tekes, berlenggang menari ia,
bernyanyi, menceritakan kembali perjalanan Bhatara Guru terdahulu. Menjadi damailah
pikiran Bhatara Kalarudra. Perwujudan halus beliau kembali pulang ke Shiwaloka, kembali
menjadi Bhatara Guru. Sangat puas perasaan hati Sang Hyang Tri Samaya sebagai pahala
dari usahanya, ia adalah awal mula adanya wayang sedari dahulu hingga sekarang ini.
Sedangkan Bhatari Panca Durga masih ada di kuburan Kaliasem, ia sebagai pemakan
segala, diikuti oleh para Bhuta Kala semuanya, semuanya memakan manusia, setiap saat
bersenang-senang, memunculkan Maha Bherawa. Namun hentikan sejenak cerita itu
sekarang.[PGS]
286
Shastra Wangsa
Kulagotra
Beginilah teks Wiksu Pungu menjelaskan tentang Kulagotra: “Itulah sebabnya ada yang
patut dituruti oleh dirimu sekarang, yaitu bhakti kepada Hyang. Aku dan dirimu sampai
sekarang diikuti oleh Lokacara, tidak jauh dari sifat-sifat Sang Hyang. Perilaku seperti itu
namanya, itu dinamakan manusia keturunan Hyang, karena sebagai anak-anak dari Hyang
Shiwa Guru Tunggal dan Hyang Sasuhunan Dewa Guru dijadikannya sebagai satu
Kulagotra. Kulagotra artinya Putra Dharma dari Bhatara Shiwa. Seperti itulah keadaan
orang yang bhakti kepada Hyang. Itu namanya tidak lupa pada kesadaran tentang asal.
Hyang itu adalah asal, dan Hyang itu adalah Wangsanya para manusia, ia adalah awal tidak
berubah dari kawangsan. Karena menurut orang yang tahu, asal dari manusia sebumi
sesungguhnya adalah satu. Oleh karena itu, segala sesuatu adalah satu di seluruh dunia.
[WP] [Lihat, Lampiran Teks: Kulagotra]
Kula Wangsa
Ceritakan keadaan Bhatari Uma, yang pergi dari pertapaannya, berjalan kaki di tengah
hutan hendak menuju Mahameru bertemu dengan Bhatara Guru. Tiba-tiba datanglah Sang
Kumara, menanyakan kepada ibunya, tentang perjalanan Bhatara Guru. Sang Kumara
berkata:“Ini anak Bhatari ingin menghaturkan rasa bhakti di kedua kakimu, sebagai
penebusan hutang Sarira Kret namanya, ibaratkan memenuhi langit hutangku kepada
dirimu.”
Bhatari berkata: “Duhai kamu Kumara, mengapa budhimu seperti itu, ingat-ingatlah pada
pikiranmu sendiri. Sudah berapa lama dirimu melaksanakan tapa, tidak berharap dirimu
mengunjungi diriku, tambahan lagi sembahmu mana mungkin terhadap diriku, budhimu
tidak tahu terimakasih.Bukanlah diriku adalah awal dari tubuhmu. Darah daging kulitmu,
itu berasal dari air mani ayahmu. Kamu adalah anak-anak Kumara, tidak mengetahui apa
jadinya enam jenis rasa utama itu akhirnya, bagaimana perkataanmu, beritahukanlah ibumu
ini.”
287
Shastra Wangsa
Sang Kumara menjawab. “Tabik Hyang Ibu, apabila dibandingkan, sepuluh lawan satu
hutang diriku pada ayah dan ibu. Seperti jalan hakikat seorang ibu sejatinya, karena
berlainan yang sebenarnya, di mana letak sebabnyabernama Kulawangsa, apakah muncul
dari perempuan namanya, tidak.”
Tidak terhingga bergetar hati Bhatari, amat besar marahnya kepada Sang Kumara. Ia
berkata. “Uduh kamu Kumara, penghinaan ucapanmu kepada diriku, terkutuklah jadimu,
mampuslah kamu Kumara, kembalikanlah darah dagingmu kepadaku”. Demikianlah
perkataan Bhatari Uma. Seketika berwujudkan Durga Murti, menjerit-jerit, seperti petir
bertarung memenuhi delapan penjuru jagat, dibalas oleh Sang Kumara, ditusuk batu
kepalanya dengan kuku diri, tidak ubahnya seperti bajra runcing-runcing.
Menangislah Sang Kumara, melolong memanggil-manggil, tiba-tiba datanglah Bhatara
Guru, di hadapan Bhatari Durga, segera berucap. “Duhai Bhatari, bagaimana tadi
kesalahan anakmu Sang Kumara, sehingga sampai kamu matikan. Dirimu tidak tahu
tentang rasa sakit seperti itu, karena tidak ada yang bisa menghalangi dirimu. Sebagaimana
dirimu adalah dewanya para dewa, maka ceritakanlah sekarang.”
Bhatari Uma Durga berkata. “Tabik kakandaku, menghina sekali anakmu pada diriku
sebagai jalan dirinya, tidak ada bagian tubuhnya berasal dari diriku. Itu sebabnya tidak
menebus dengan sembah kepada diriku. Itulah tujuan diriku mengambil kembali darah
daging dan kulitnya, mengingat kama merah itu berasal dari diriku. Demikianlah kakanda
agar memakluminya, rencanaku akan mematikan Kumara ini.”
Bhatara Guru berkata. “Bagaimana dirimu Adinda, tidak paham akan dunia namanya
dirimu ini. Merasa ngeri aku pada pendirianmu. Dahulu anakmu Si Ghana, hampir saja
membunuh Kumara ini, atas dasar perintahmu ketika itu. Apa kata-kata diriku kepada
dirimu? Sesungguhnya diriku mengatakan kepada dirimu, seakan telah ditakdirkan dirimu
adalah Bhairawi Durga sekarang, memakan segala macam, tidak tergoyahkan perilakumu
membujuk-bujuk.”
Terdiamlah Bhatari Durga dikutuk oleh Bhatara Guru. Sang Kumara menangis seraya
mengusap-usap batu kepalanya, menyembah di kaki Bhatara Guru, memohon pencabutan
kutukan beliau kepada Bhatari Durga Uma. Senanglah perasaan Sri Jagat Guru, melihat
Sang Kumara sudah kelihatan membaik, memohonkan penyucian untuk ibunya agar tidak
288
Shastra Wangsa
lagi berwajah Durga. Demikianlah perkataan Bhatara Guru. Berpamitanlah Sang Kumara,
melakukan tapa di sisi selatan Mahameru. [PGS][Lihat, Lampiran Teks: kulawangsa]
ditinggalkan sendirian oleh sanak keluarga Ki Bandesa Mas. Ujung panah dimantrai sambil
beryoga di tengah peperangan, tiba-tiba gelap gulita medan perang itu. itulah konon
sebabnya di sana ada tempat suci bernama Pura Hyang Limun (kabut). Kembali Padanda
Bukcabe beryoga,tiba-tiba medan perang diselimuti mendung dan bumi bergetar, hujan
deras, pertir menyambar-nyambar, badai topan, sehingga panas dingin pasukannya
Anglurah Mambal. Anglurah Mambal dikutuk sehingga hilang semua keshaktiannya.
Perang itu terjadi sekitar tahun 1760 Masehi. Di medan perang itu kemudian dibangun pura
Honcesrawa (kuda) di Pengosekan. Sanak saudara Ki Bandesa Mas dikutuk oleh Padanda
Bukcabe semoga tidak ada sanak keluarga mereka tinggal di Mas. Mereka menyebar di
berbagai desa. Kutukan itu diucapkan karena keturunan Bandesa Mas meninggalkan
Padanda sendirian di medan perang. [PDK]
290
Shastra Wangsa
291
Shastra Wangsa
Di hadapan Padanda ia meminta adiknya kembali. Tentu saja tidak diberikan karena adik
perempuannya telah dihaturkan oleh adik lakinya di Kapal, terlebih lagi sudah menjadi
istri. Gelaplah pikiran I Gusti Agung Putu mengeluarkan ancaman.
“Hai Sang Pendeta. Diberi atau tidak diberi oleh Sang Resi, aku akan mengambil adikku.
Apabila dirimu bersikeras tidak memberikan, tidak urung hari ini dirimu hancur!”Seperti
itu perkataannya langsung mencabut keris dan menikam dada Sang Pendeta. Keris itu
menembus sampai titik yang mematikan. Muncratlah darah Sang Pendeta. Keluarlah sabda
Sang Pendeta.: “Jahtasmat. Kamu I Gusti Agung Putu, terjadilah kamutidak akan berhasil
menjadi raja sampai pada anak cucu keturunan karena kamu durhaka membunuh pendeta
tanpa kesalahan!” Demikianlah kutukan Sang Pendeta.
Menurut babadnya, ada pula kutukan Sang Pendeta kepada I Gusti Agung Made Agung
di Kapal, terjadilah tidak akan habis-habisnya akan terkena penyakit gila sampai pada anak
cucu keturunan. Setelah itu moksalah Padanda Wanasara. Sang Pendeta istri diboyong
kembali ke Kuramas. Tapi pada suatu kesempatan Sang Pendeta Istri melarikan diri ke
Kapal. Kepada adiknya yang bekuasa di Kapal, Sang Pendeta Istri menuturkan seperti
berikut ini.
“Uduh adikku yang menguasai hidupku, kakakmu ini tidak berselisih dengan Sang
Pendeta, karena beliau sudah kembali ke Acintya dibunuh oleh kakakmu yang memerintah
di Kuramas. Tidak lain diriku inilah sebabnya beliau tewas. Karena dirimu menghaturkan
diriku kepada Sang Pendeta, itu sebabnya beliau dibunuh. Pada saat menjelang ajal Sang
Pendeta, beliau mengucapkan kutukan, mengutuk kakakmu di Kuramas tidak akan berhasil
menjadi raja sampai pada anak cucu keturunannya. Kesalahannya adalah durhaka kepada
pendeta tanpa dosa. Dan ada juga kutukan beliau, akan tidak putus-putusnya terkena
penyakit gila sampai pada anak cucu keturunan kelak. Karena yang menyebabkan Sang
Pendeta tewas adalah dirimu menyerahkan kakakmu ini pada saat gila. Ada pemberian
Sang Pendeta kepadaku, nyanyian gubahan beliau diberi judul Bhramara Sangupati, dan
sebuah genta bernama Si Brahmana, ini kuberikan kepadamu!” Seperti itu penuturan sang
pendeta istri(lihat, kutukan I Gusti Agung Made Agung) [BMW-1]
292
Shastra Wangsa
[L]
293
Shastra Wangsa
294
Shastra Wangsa
[M]
kemenangan, sehingga sejak itu Makasar dan Buton menjadi daerah taklukan dan di bawah
kekuasaan kerajaan Gelgel. (RAK)
296
Shastra Wangsa
Manjangan ring pakebon: seorang pendeta kawin dengan pendeta istri kania
Manjangan ring Pakebon adalah istilah yang ditujukan pada seorang pendeta yang kawin
dengan seorang pendeta istri kania (pendeta perempuan yang tidak menikah). Menurut
shastranya jaman dahulu, pendeta laki ini harus dihukum dengan cara menggantungnya di
atas sumur, kepala menghadap ke bawah. Demikian pula pendeta yang perempuan, ikut
digantung di tempat yang sama [RPG]. Kalau mengawini istri guru, mengawini istri anak
guru, hukumannnya dibakar di atas api. Kalau berhubungan kelamin dengan seorang tamu,
hukumannya dibuang ke kandang kerbau. Kalau menggauli orang yang sedang meminta
obat, hukumannnya digantung di rumah orang yang meminta obat itu. kalau ada pendeta
kedapatan di arena sabung ayam menjadi juru kembar, hukumannya dipotong telinganya
sebelah. [RPG]
Manusa Tunggal
Tentang manusa tunggal (manusia satu), dijelaskan di dalam teks berjudul Wiksu Pungu.
Seperti berikut ini terjemahan kutipan teksnya: “Hai kamu para manusia, dengarkanlah ini
pesan diriku kepadamu, hendaknya diingat semua perjanjianaku dengan dirimu, mulai dari
sekarang sampai pada akhirya nanti, sehingga tidak menyimpang antara perilaku, pikiran
dengan diriku.Berhasil menyatukan ketiganya itu di bumi mandala, yang bernama Tiga
Bhuwana, dilebur menjadi rasa shunya, menjadi satu. Itulah sebabnya ada yang disebut
manusia tunggal, yaitu ketika dirimu sanggup menyatukan tubuh dengan itu yang ada pada
diri sesamamu, begitu juga dengan segala isi bhumi. Karena sesuai dengan perilaku Hyang
Tunggal, namanya adalah orang yang tidak ada perbedaannya di seluruh dunia. [WP]
[Lihat, Lampiran: manusa tunggal]
297
Shastra Wangsa
298
Shastra Wangsa
dalam teks Raja Pati Gondala, tidak dibernarkan seorang guru mengawini muridnya.
[RPG]
Mpu:pande besi
Bhatara Brahma diceritakan terlebih dahulu datang di tingkatan alam tengah,
berkedudukan di puncak Gunung Bromo, guna mempertajam senjata perang para manusia.
299
Shastra Wangsa
Beliau menjadi tempat bergurunya para tukang besi, arit, kayu, kapak, cangkul, segala
macam pekerjaan manusia yang mempergunakan besi.
Ada Windhu Prakasa namanya, jempol kedua kaki sebagai penjepitan. Kikir adalah besi,
sebagai sarana untuk mempertajam senjata.Karena kedua jempol kakinya, itulah sebabnya
bernama Mpu Sunti, yang menjadi pande atau tukang besi, karena jempol kaki turut
mempertajam. Itulah sebabnya orang yang melakukan pekerjaan besi disebut Mpu.
Disucikanlah Panca Mahabhuta, yaitu tanah sebagai landasan. Air sebagai penjepit. Sinar
sebagai api. Angin sebagai peneduh. Udara sebagai palu pemukul. Itulah sebabnya
bernama Gunung Bromo sejak dahulu sampai sekarang. Begitulah ketetapan dari Sang
Hyang Brahma ceritanya pada jaman dahulu ketika menjadi tukang besi di sana di Gunung
Bromo. Palu besarnya sebiji ental, penjepitnya sebesar biji pinang, angin tidak putus-
putusnya muncul dari dalam, matahari kelihatan siang dan malam. Demikianlah dituturkan
pada jaman dahulu.[PGS]
Mpu Ajnyana
Mpu Ajnyana adalah salah satu anak dari Mpu Lampita, atau buyut dari Mpu Gnijaya
[BPBN]. Mpu Ajnyana menurunkan Mpu Panabda yang tinggal di Padang, Bali Timur.
Mpu Panabda menurunkan Mpu Jiwaksara. Mpu Jiwaksara menurunkan Mpu Ketek yang
selanjutnya melahirkan Arya Tatar. Arya Tatar menurunkan Patih Ulung Anak Patih Ulung
bernama Ki Semar kawin dengan Ni Wredani melahirkan Ki Langon. Ki Langon inilah
menurunkan Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Denpasar dan Ki Pangeran Tangkas. [BPKPG]
300
Shastra Wangsa
Mpu Angshoka
Mpu Angshoka adalah cucu dari Mpu Tantular, Anak dari Mpu Asmaranatha, kakak dari
Dang Hyang Nirartha. Mpu Angshoka memiliki seorang putra bernama Dang Hyang
Astapaka [BWT]. Tapi ada sumber lain menyebutkan, Dang Hyang Astapaka punya
seorang kakak bernama Dang Hyang Kanaka. Dang Hyang Angshoka mengirimkan sebuah
karya pribadinya kerpada Dang Hyang Nirartha di Bali. Karya shastra itu berjudul
Smararancana. Kemudian dibalas oleh Dang Hyang Nirartha dengan karya berjudul Sara
Kusuma. Mpu Angshoka penganut Buddhapaksa. Raja Waturenggong pernah mengirim
utusan hendak berguru kepada Dang Hyang Angshoka. Tapi Dang Hyang Angshoka
menyarankan agar ia berguru kepada Dang Hyang Nirartha. A atau Ang berarti „tidak‟,
shoka berarti „sedih‟. Mpu Angshoka adalah Mpu yang sudah bebas dari kesedihan. [dari
berbagai sumber]
Mpu Astapaka&Keturunannya
Mpu Astapaka adalah putera dari Mpu Angshoka. Mpu Astapaka menikah dengan
seorang puteri dari Papanda Kemenuh Dari pernikahannya tersebut Mpu Astapaka
301
Shastra Wangsa
memiliki puterabernama Padanda Madhe Banjar. Ida Padanda Made Banjar kemudian
menikah dengan puteri Padanda Kemenuh [orang yang berbeda], mempunyai anakbernama
Padanda Madhe Tangeb, tinggal di Taman Tanjungsari.
Ida Padanda Madhe Tangeb mempunyai tiga orang istri. Pertama, seorang brahmana dari
Kemenuh. Kedua,seorang satriya dari Beng.Ketiga, seorang wesya dari Ngurah Jelantik.
Ketiganya memiliki anak. Anak yang lahir dari ibu brahmana sebanyak dua orang, masing-
masing adalah Pedanda Nyoman Alit tinggal di Jero Alit, dan adiknya bernama Padanda
Ketut Mas, bertempat tinggal di Tianyar.
Anak yang lahir dari ibu Wesya sebanyak dua orang, yaitu Pedanda Wayahan Tegeh
tinggal di Jero Jelantik dan adiknya bernama Padanda Ketut Banjar tinggal di Gianyar.
Anaknya yang lahir dari ibu turunan Ksatriya sebanyak tujuh orang, tiga laki empat
perempuan. Anak laki sulung bernama Padanda Wayahan Dawuh tinggal di jero Kawuhan.
Yang nomor dua bernama Padanda Made Tangeb tinggal di Karotok. Yang ketiga bernama
Padanda Made Pangkur tinggal di Culik.Anaknya yang perempuan tertua kawin dengan
seorang brahmana Kemenuh di Buleleng. Anak perempuan nomor dua kawin dengan
dengan Padanda Wayahan Teges di Pagesangan. Anak perempuan ketiga dikawinkan
dengan seorang brahmana Keniten bernama Ida Wayahan Pasekan dari Tabanan di desa
Demung. Setelah didiksa oleh Ida Padanda di Taman Tanjungsari, Ida Wayahan Pasekan
bernama Padanda Wayahan Demung. Anak perempuan terakhir kawin dengan seorang
Ksatriya dari Bengbeng. [BBB]
Mpu Badengan: nama lain dari Ki Kayu Selem [Lihat, Ki Kayu Selem]
302
Shastra Wangsa
pernikahannya dengan Dyah Ratna Manggali, Mpu Bahula mendapatkan empat orang putri
dan seorang putra yang bernama Mpu Wiranata, atau yang terkenal dengan nama Mpu
Tantular. Yang putri adalah Dewi Dwararika, Dewi Anjani, Dewi Mretajiwa, Dewi
Mertamanggali. Selain Mpu Tantular, ada keterangan lain bahwa Mpu Bahula juga
berputra Mpu Pudra. Hingga saat ini belum didapat keterangan yang jelas siapa Mpu Pudra
itu. [BPSK, BPBN, BPSK]
303
Shastra Wangsa
itulah yang menyebabkan Ida Bang Manik Angkeran terlahir sebagai penjudi kelas berat
yang persis seperti api menghabiskan harta ayahnya. Cerita itu memberitahu kita, bahwa
siddhimantra mengeluarkan api. [BMA]
Mpu Bharadah(1)
Mpu Bharadah datang ke Bali hanya untuk kunjungan singkat, dan kembali lagi ke Jawa.
Di Jawa ia tinggal di desa Lemah Tulis, daerah sekitar Pajarakan. Sejarah mencatat Mpu
Bharadah kemudian menjadi pendeta kerajaan Erlangga di Jawa Timur (1019-1042 M).
Sebagai sastrawan ia mengarang Kakawin Bhomakawya. Sebagai Bhagawanta ia berhasil
mencegah perseteruan putera-putera Erlangga dengan membagi kerajaan menjadi Jenggala
(Singhasari) beribu kota Kahuripan, dan Panjalu (Kadiri) beribukota Daha. Sebagai
seorang Yogi-Tantra ia berasrama di tempat bernama Setra Lemah Tulis. Sebagai orang
yang sakti ia berhasil mengalahkan Walu Natheng Dirah, atau jandanya raja di Dirah, yang
tidak lain adalah besannya, dikarenakan anaknya bernama Mpu Bahula kawin dengan anak
Walu Natheng Dirah bernama Ratna Manggali. Hubungannya tidak terbatas hanya sebagai
besan, tapi Walunatheng Dirah adalah kakak iparnya, sebagaimana perempuan itu adalah
janda Mpu Kuturan yang tak lain adalah kakak Mpu Bharadah.
Demikianlah hubungan kekeluargaan yang tidak sederhana, dengan konflik yang juga
tidak sederhana. Beberapa gelar Mpu Bharadah, antara lain: Mpu Pradhah, Mpu Srangan.
Ajaran Mpu Bharadah banyak tertulis di berbagai lontar Kaputusan. Banyak pustaka babad
di Bali berisi berbagai cerita tentang kedatangan Mpu Bharadah ke Bali. Mpu Bradah ini
sangat gaib dan selalu beranjangsana ke Jawa dan ke Bali.
Mpu Bharadah menurunkan dua orang putra bernama Mpu Shiwa Gandu, atau Mpu
Yadnyaswara, dan Mpu Bahula. Ada keterangan, Mpu Bharadah memiliki seorang putri
bernama Dyah Widawati. Pertemuan Mpu Bharadah dan Mpu Kuturan di Bali menyimpan
banyak misteri. Karena pertemuan itu terjadi setelah Sang Adik, yaitu Mpu Bharadah,
mengalahkan mantan istri Sang Kakak, yaitu Mpu Kuturan. Pertemuan itu juga terjadi
setelah anaknya Mpu Bharadah, yaitu Mpu Bahula, kawin dengan anaknya Mpu Kuturan,
yaitu Dyah Ratna Manggali. Dan ketika banyak babad menceritakan bahwa pertemuan
kedua orang shakti itu dimeriahkan dengan adu kehebatan jnana, maka kita yakin
hubungan antar tokoh tidak sesederhana yang diajarkan oleh babad.[BPKPG, DDN, BPSK.
BPG, KNPG. BBB].
304
Shastra Wangsa
Mpu Bhumishakti: ayah Mpu Gandring dan Mpu Saguna cikal bakal Pande
Mpu Bhumi Shakti sebelum bertapa ke Gunung Indrakila, menyarankan putranya Mpu
Gandring Sakti untuk datang ke Bali. Dari sinilah beliau diberkahi untuk melaksanakan
pekerjaan pande seperti pande besi, emas, perak. Juga diberikan nasehat tentang brata
larangan makan yaitu tidak boleh makan daging laron (dadalu), ikan dadeleg, bagi orang
305
Shastra Wangsa
yang melaksanakan ka-pande-an. Yang diceritakan pada waktu dahulu Bhagawan Dharma
Swara mengalami kesedihan akibat dikejar oleh Sri Madura Raja. Tetapi karena bantuan
dari I Dadeleg, I Dadalu, I Harimau sehingga Sang Bhagawan mendapatkan
keselamatan.[BPBR]
Mpu Brahmawisesa
Yang mengukuhkan agama Brahma di Jawa adalah Mpu Brahma Wisesa. Ia berputra dua
orang, yaitu Mpu Saguna dan Mpu Gandring. Mpu Saguna berputra satu bernama Mpu
Kapandeyan, yang juga berputra satu orang, berjulukan Lurah Kapandeyan. Yang
disebutkan terakhir inilah yang pindah ke Bali, menurunkan para watek Pande Besi yang
ada di Bali. Sedangkan Mpu Gandring tetap tinggal di Jawa. Demikian Prasati Bramana
Buddha menuturkan. Siapakah Mpu Brahma Wisesa, asal para Pande Besi itu?
Menurut sumbernya, Mpu Dwijendra (bukan Dang Hyang Nirartha) menurunkan tiga
orang putra. Yang sulung berjulukan Mpu Gagaking yang mengukuhkan paksa Buddha di
Jawa. Adiknya bernama Mpu Bubuksah yang mengukuhkan paksa Buddha di Jawa. Yang
bungsu bernama Mpu Brahma Wisesa, ia mengukuhkan paksa Brahma di Jawa. jadi, Mpu
Brahma Wisesa adalah “bungsu” dari Bubuksah dan Gagakaking. [BBB]
Mpu Dangka
Mpu Dangka adalah saudara terbungsu dari kelompok Saptaresi yang berada di Jawa.
mereka adalah keturunan Mpu Gnijaya yang memutuskan hidup di Bali. Menurut
babadnya, Mpu Dangka kawin dengan seorang perempuan asal Sumedang, yang tidak lain
adalah putrinya Mpu Sumedang. Dari perkawinan tersebut lahirlah seorang anak laki-laki
yang setelah menjadi pendeta diberi julukan Mpu Wiradangka.Keturunan Mpu Dangka
yang menyebar di Bali adalah Pasek Dangka, Pasek Gaduh, Pasek Ngukuhin, Pasek
Panida, Pasek Bangbang, Pasek Banjarangkan, Pasek Taro.[BBB, BPSK, RAK]
306
Shastra Wangsa
Mpu Dwala
Mpu Dwala disebutkan sebagai penerima wahyu turunnya Pustaka Bang di Madura. Ia
mempunyai dua anak laki-laki. Yang sulung bernama Arya Pande Berathan. Adiknya
bernama Arya Pande Sadhaka. Kedua anaknya itulah yang datang ke Bali, cikal bakal
pande emas dan pande perak. Pada saat itu jagat Bali sedang diperintah oleh Dalem
Waturenggong yang bergelar Sri Jaya Kreshna Kapakisan yang dinobatkan tahun Ishaka
1382. [PBP]
307
Shastra Wangsa
kedatangan Mpu Gnijaya di Bali. Keterangan pertama mengatakan, Mpu Gnijaya datang di
Bali hari Kamis, Paing bulan (sasih) Kasa, Isaka 1071 (tahun 1049 M) [BPG].Keterangan
kedua, Mpu Gnijaya tiba di Bali tahun Shaka 923 pada waktu pemerintahan Sri Udayana
Warmadewa dan Gunapriya Dharmapatni di Kutri. [BBB].
Mpu Gni Jaya Mahireng: julukan untuk Ki Kayu Ireng. Lihat, ki kayu ireng
Mpu Kanandha
Mpu Kananda adalah salah satu dari kelompok Sapta Resi. Ia adalah anak dari Mpu
Gnijaya dari perkawinannya dengan Bhatari Manikgni. Ketika sang ayah, Mpu Gnijaya
berangkat ke Bali, Mpu Kananda tinggal di Jawa. menurut silsilahnya, Mpu Kananda
menikah dengan seorang perempuan anak dari Mpu Sweta Wijaya. Dari perkawinan ini
lahirlah seorang anak yang dinamakan Sang Kuladewa. Selanjutnya Sang Kuladewa ini
bergelar Mpu Swetawijaya (sama dengan nama kakeknya dari garis ibu). [SPSS, BBB,
RAK]
Mpu Kapakisan(1)
308
Shastra Wangsa
Mpu Kapakisan atau Dang Hyang Kapakisan adalah anak bungsu dari Mpu Tantular.
Mpu Tantular adalah anak dari pasangan Mpu Bahula dan Ratna Manggali. Mpu Bahula
adalah anak dari Mpu Bharadah. Jadi Mpu Kapakisan adalah kumpi dari Mpu Bharadah.
Dari keluarga pendeta inilah Mpu Kapakisan berasal. Menurut babadnya, Mpu Kapakisan
memiliki tiga putra dan seorang putri. Putra tertua menjadi raja di Blambangan, putra
kedua menjadi raja di Pasuruhan, putri nomor tiga berada di Sumbawa, dan yang bungsu
bernama Kreshna Kapakisan menjadi raja di Bali. [DT, BPBN]
Mpu Kapandeyan(1)
Mpu Saguna bersaudara dengan Mpu Gandring. Keduanya sama-sama tinggal di Jawa.
Mereka berdua adalah anak dari Brahma Wisesa. Selanjutnya Mpu Saguna mempunyai
anak bernama Mpu Kapandeyan. Kemudian Mpu Kapandeyan memiliki anak bernama
Lurah Kapandeyan. Dari Lurah Kapandeyan inilah asal mula warga Pande di Bali. [SPSS].
Mpu Kapandeyan(2)
Mpu Brahma Wisesa memiliki dua orang anak, bernama Mpu Saguna, dan adiknya
bernama Mpu Gandring. Mpu Saguna memiliki seorang anak bernama Mpu Kapandeyan.
Mpu Kapandeyan berputra satu orang bernama Lurah Kapandeyan. Lurah Kapandeyan
inilah yang pergi ke Bali, dan menurunkan watek Pande Besi di Bali. Mpu Gandring masih
berada di Jawa. [BBB]
Mpu Katrangan
Siapakah Mpu Katrangan? Mpu Katrangan menurut babadnya adalah putera dari Mpu
Lampita. Sedangkan Mpu Lampita atau Mpu Tanuhun adalah anak dari Mpu Bajrasatwa.
Mpu Katrangan dikatakan bersaudara dengan Mpu Bharadah dan Mpu Kuturan. [BPBN]
309
Shastra Wangsa
310
Shastra Wangsa
Gelgel, mereka kembali ke Jawa. Konon setiap tahun semenjak itu, rombongan Sapta Resi
datang ke Bali untuk melakukan upacara yang sama. [RAK]
Mpu Kulwan
Mpu Kulwan adalah sebutan untuk Dang Hyang Wiragasandi, putra Dang Hyang
Nirartha yang lahir dari ibu asal Daha. Setelah Mpu Kulwan menjadiseorang pendeta,
maka datanglah Sang Arya Buringkit, Arya Kapakisan, Arya Gajahpara, sama-sama
berguru. Menurut keterangan Tegehkori turut serta berguru kepada Mpu Kulwan. [DT]
Lihat, Padanda Kulwan]
Dharmapatni, yang berkedudukan di Kutri. Mpu Kuturan sangat tersohor di Bali jauh
melebihi ketiga kakaknya, yaitu Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru dan Mpu Ghana. Ia dikenal
sebagai penggagas pertemuan tiga sekte di Bali yang kemudian disatukan di Samuan Tiga,
Gianyar. Mpu Kuturan juga adalah konseptor dari kahyangan tiga. [BMA, BPG, KNPG,
BBB]
312
Shastra Wangsa
Dalam pustaka babad ada keterangan berbeda tentang Mpu Lampita. Babad Pasek
Bandesa menyebutkan Mpu Lampita menurunkan putra 3 orang yaitu Mpu Pradah, Mpu
Kuturan, Mpu Katrangan [BPBN]. Teks Kawitaning Pasek Gelgel malah menyebutkan
bahwa Mpu Lampita berputra 2 orang, yang sulung adalah Mpu Kuturan, adiknya bernama
Mpu Bharadah.[KNPG]
Mpu Pamacekan
Mpu Pamacekan memiliki seorang adik perempuan bernama Ni Dewi Girinatha. Mereka
berdua adalah anak dari Sang Pamacekan dari perkawinannya dengan Dewi Dwararika.
Setelah dewasa Mpu Pamacekan kawin dengan seorang perempuan bernama Ni Ayu
Swani. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak. Yang sulung bernama Arya
Pamacekan. Yang nomor dua juga bernama Arya Pamacekan yang setelah menjadi pendeta
berjulukan Mpu Jiwanatha. Yang bungsu adalah seorang perempuan bernama Ni Ayu Ler.
Selanjutnya tidak ada keterangan tentang kehidupan Ni Ayu Ler baik dalam babadnya
maupun dalam babad lain. [SPSS]
Mpu Panabda
Ki Mpu Ajnyana menurunkan Ki Mpu Panabda. Ki Mpu Panabda diajak tinggal di
Padang. Mpu Panabda menurunkan Ki Mpu Jiwaksara. Mpu Jiwaksara menurunkan Ki
Mpu Ketek yang nantinya melahirkan Arya Tatar. Arya Tatar menurunkan Ki Patih Ulung,
Putra Ki Patih Ulung yang bernama Ki Semar ini kawin dengan Ni Wredani dan
melahirkan Ki Langon, Ki Langon inilah menurunkan Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Denpasar
dan Ki Pangeran Tangkas. Mpu Panabda juga termashur dalam ilmu pengetahuan, segala
macam Tattwa Pralina, Panca Marutta, Tri Tattwapati, Sapta Ongkara, Reg Wedha, segala
macam Tattwa Suksma telah dicapainya, bahkan sampai ujung-ujung pamungkasnya. Mpu
Panabda mendapatkan seorang putra, berjulukan Mpu Jiwaksara.[BPKBG]
Mpu Pastika
Mpu Gnijaya berputra Mpu Witadharma dan Sang Kulputih. Sang Mpu Witadharma
menurunkan Mpu Wiradharma. Mpu Wiradharma berputra 3 orang yaitu Mpu Lampita.
Mpu Pastika, dan Mpu Ajnyana. [BPBN]
313
Shastra Wangsa
Mpu Prateka(1)
Mpu Prateka adalah salah satu dari tujuh anak Mpu Gnijaya yang disebut Sapta Resi.
Ketika Mpu Gnijaya menetap di Bali, Mpu Prateka dan saudara-saudaranya tetap tinggal di
Pasuruhan, Jawa Timur. Di sana ia kawin dengan putrinya Mpu Pasuruhan yang kemudian
menurunkan seorang anak laki-laki, yang setelah menjadi pendeta dijuluki Mpu
Pratekayajna. [lihat, Mpu Pratekayajna] [BPSK, RAK]
314
Shastra Wangsa
Mpu Purwanatha
Mpu Purwanatha adalah anak dari Mpu Wiranatha dari perkawinannya dengan Dewi
Mertamanggali. Sedangkan Mpu Wiranatha itu adalah anak dari Mpu Wiradnyana salah
satu dari Saptaresi. Menurut silsilahnya Mpu Purwanatha memiliki dua orang anak. Yang
sulung bernama Mpu Purwa. Adiknya seorang perempuan bernama Ken Dedes. Baik Mpu
Purawanatha maupun kedua anaknya tinggal di Jawa. [BPBN]
Mpu Ragarunting
Mpu Ragarunting adalah salah satu dari Saptaresi yang ada di Jawa, keturunan dari Mpu
Gnijaya. Ketika Mpu Gnijaya pindah ke Bali, ketujuh anaknya itu tetap tinggal di Jawa.
Jadi, Mpu Ragarunting adalah cucu dari Mpu Gnijaya. Menurut babadnya, Mpu
Ragarunting kawin dengan anak Mpu Wira Tanakung, dan melahirkan seorang anak yang
dijuluki Mpu Wirarunting alias Mpu Paramadaksha setelah menjadi pendeta. [BPSK,
RAK]
Mpu Saguna(1)
Mpu Saguna bersaudara dengan Mpu Gandring. Keduanya sama-sama tinggal di Jawa.
Mereka berdua adalah anak dari Brahma Wisesa. Selanjutnya Mpu Saguna mempunyai
anak bernama Mpu Kapandeyan. Kemudian Mpu Kapandeyan memiliki anak bernama
Lurah Kapandeyan. Dari Lurah Kapandeyan inilah asal mula warga Pande di Bali. [SPSS]
315
Shastra Wangsa
dikatakan sampai sepupu jauh, sejauh-jauhnya sepupu dekat, tidak ada bawah tidak ada
atas, karena tunggal asalnya dahulu, tidak ubahnya seperti cabang pohon kesejatian diri
kalian, ada cabang yang berbuah dan ada cabang yang tidak berbuah. Seperti itulah diri
kalian bersanak-saudara, tidak boleh sampai “menjual kerabat”, jangan berperilaku
menyimpang, janganlah bercampur dengan orang yang berperilaku jahat.” [PBP][Lihat,
Lampiran Teks: Mpu Saguna]
Mpu Sedah(1)
Wangbang Banyak Wide, anak Manik Angkeran, pergi ke Daha, Jawa, hendak menemui
kakeknya, Dang Hyang Sidhimantra. Dalam perjalanan di Jawa, Wangbang Banyak Wide
berjumpa dengan Mpu Sedah, yang memberitahunya bahwa Dang Hyang Sidhimantra
sudah tidak ada lagi. Wangbang Banyak Wide diangkat anak oleh Mpu Sedah, mengingat
Dang Hyang Sidhimantra masih ada hubungan saudara dengan Mpu Sedah.Bersama Mpu
Sedah Wang Bang Wide akhirnya berkembang sampai berkeluarga. [BMA]
316
Shastra Wangsa
Daha, Wangbang Banyak Wide bertemu dengan I Gusti Ayu Pinatih, putri tunggal Arya
Buleteng yang menjadi patih di Daha. Arya Buleteng memberi syarat apabila Wangbang
Wide ingin menikahi puterinya: ia terlebih dahulu menjadi anak angkatnya. Kalau tidak
maka tidak aka ada yang melanjutkan keturunannya, mengingat putrinya semata wayang.
Ikatan cinta memang lebih kuat dari ikatan wangsa. Wangbang Wide bersedia menjadi
anak angkat Arya Buleteng. Itu berarti ia siap mengubah kewangsaan dari keturunan
brahmana menjadi seorang ksatriya, namanya Arya Wangbang Pinatih. Kepada Arya
Wangbang Pinatih yang baru inilah Mpu Sedah memberikan bhisama. Sebagaimana
umumnya bhisama, yang satu ini pun berisi anugrah bagi yang menjalankan dan sangsi
kutukan bagi yang mengingkari.
“Apabila kelak ada orang nista-madhya-utama menyatakan diri sebagai turunan Arya
Wangbang Pinatih dan ingin ikut menyembah pusaka Ki Brahmana dan
Shiwopakarananya, janganlah Anaknda terburu-buru menerimanya. Perhatikan terlebih
dahulu, jikalau tidak mau anapak sahupajanjian Sang Hyang kawitan.”
Mpu Shiwagandu
Mpu Shiwa Gandu adalah anak Mpu Bharadah yang lahir dari seorang ibu puteri dari
Mpu Kanwa. Mpu Shiwa Gandu juga disebut Mpu Yajnaswara. Mpu Shiwa Gandu
bersaudara dengan Mpu Bahula dan Dyah Wihawati. [BPJK, BPSK]. Mpu Shiwagandhu
kawin dengan puterinya Mpu Wiraraga dan beranak 5 orang, 4 di antaranya
perempuan.Urutan dari sulung ke bungsu: Dewi Sukerthi, Dewi Patni, Dewi Girinatha,
Dewi Ratna Sumeru, Mpu Wiraraga, sama seperti nama kakeknya.Keterangan lain
menyatakan bahwa Mpu Shiwagandu juga mempunyai putera bernama Mpu Keling. Mpu
Keling menurunkan seorang putra bernama Dalem Mangosari. Dari Dalem Mangosari
inilah lahir Arya Kanuruhan. [RAK]
Mpu Sora
Sang Kulputih setelah lama memangku di Besakih ahli dalam tata para Dewa, upacara
dan mantra-mantra. Beliau mempunyai putra bernama Mpu Sora. Setelah itu beliau moksa
tanpa bekas. Sebelum beliau moksa, sempat juga meninggalkan tata upacara dan upakara
serta ageman atau pegangan bagi para Pemangku. Disebutkan nama para dewa, nama
317
Shastra Wangsa
parhyangan di seluruh penjuru Pulau Bali yang merupakan tempat pemujaan seluruh umat
Hindu. [BUB]
Mpu Sumeru
Mpu Sumeru menurut keterangan babadnya, datang ke Bali pada tahun Shaka 921
(999M) dan menetap di desa Besakih, Karangasem. Karena menjalankan kehidudupan
brahmacari, yaitu tidak kawin seumur hidup, maka Mpu Sumeru mengangkat anak yang
setelah menjadi pendeta anak angkatnya itu berjulukan Mpu Kamareka atau Mpu Dyrakah.
Yang disebutkan terakhir inilah kemudian menurunkan Pasek Kayu Selem, yaitu Celagi,
Tarunyan, dan Kaywan. Sedangkan Mpu Sumeru sendiri adalah salah satu keturunan dari
Mpu Lampita. [BMA, RAK]
Mpu Tantular
Sebagai manusia biologis, Mpu Tantular menurut babadnya adalah putra dari Mpu
Bahula dari perkawinannya dengan Dyah Ratna Manggali, putri tunggal Calonarang. Mpu
Bahula adalah anak dari Mpu Bharadah. Jadi Mpu Tantular adalah cucu dari Mpu
Bharadah dan juga cucu dari Calonarang. Dari keluarga seperti itulah asal-usul Mpu
Tantular yang terkenal sebagai seorang sastrawan kelas atas. Beberapa karya shastranya
yang diketahui adalah Kakawin Sutasoma, Kidung Kaki Tua, Kakawin Arjuna Wijaya,
Kunjarakarna Dharmakathana. Tidak diketahui dengan siapa Mpu Tantular menikah. Yang
dicatat oleh babad, bahwa Mpu Tantular memiliki empat orang putra, yaitu Mpu
Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Siddhimantra, dan Mpu Kapakisan. Keempat orang
Mpu ini nantinya akan sangat menentukan nasib Bali melalui keturunannya. Mpu
Kapakisan menurunkan dinasti raja-raja Dalem. Mpu Siddhimantra menurunkan Manik
Angkeran yang kemudian menunkan Arya Wangbang Pinatih dan Wang Bang Sidemen.
Mpu Panawasikan dan Mpu Smaranatha menurunkan silsilah Bramana Shiwa dan
Buddha.Tentang anak keturunan Mpu Tantular ini dilukiskan seperti berikut ini: Dang
Hyang Panawasikan bagaikan Sang Hyang Jagatpati wibawanya. Dang Hyang
Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma keshaktiannya. Dang Hyang Smaranatha bagaikan
Dewa Manobhawa yang menjelma. Dang Hyang Kapakisan sebagai gurunya Gajah Mada
bagaikan Dewa Wisnu. Semua keturunan Mpu Tantular tersebut sebagai pendeta yang
tinggi jnananya. [DDN, BPSK, BPBN, BPBN, BBB]
318
Shastra Wangsa
Mpu Tapawangkeng
Ceritakan Bhatara Brahma, Wisnu, mereka berdua berubah wujud. Mereka berubah
menjadi wiku muda. Bhatara Brahma dengan nama Mpu Tapawangkeng, Bhatara Wisnu
dengan nama Bhagawan Lotatya. Keduanya gaib di dalam langit turun menuju kerajaan
Galuh menghadap pada Sri Bhatatipati, menceritakan kedatangannya dari Jambuwarsa,
dari kerajaan Astina, tujuannya adalah meminta jagat kepada Sri Maharaja.
Senang perasaan hati Sri Bhatatipati, tidak diperkenankan jauh-jauh dari istana beliau.
Segera beliau memerintahkan membuatkan rumahnya, tidak jauh letaknya dari istana
beliau. Entah berapa lama berselang, seperti semakin dekat perasaan hati Sang Raja, atas
pengetahuan beliau Sang Brahmana Mpu Tapa dua orang. Tidak pernah tidak tahu apabila
ditanyai tentang segala macam puja, sampai pada Shastra, Purana, Tattwa, termasuk
silsilah Dewa-Dewa semuanya. Itulah tujuannya dijadikan guru oleh Sri Bhatatipati,
dimintanya ia mengajarkan sang putera mahkota, dan penglipur hati beliau yang bernama
Sri Rupini Dewi, yaitu Rare yang muncul dari sunyi terdahulu diikuti oleh anak Bhagawan
Siddhayoga, sulung Sang Gagakaking, bungsu Sang Bubuksah. Banyak pengiringnya.
Sanak keluarga, para menteri Sang Prabhu.
Demikian itulah pahala seorang Maha Brahmana, yang telah tuntas dalam berbagai
ajaran, berhasil mendapatkan kewibhawaan tanpa diharap-harapkan. Setiap ucapannya
yang suci, diikuti oleh Sang Prabhu.Entah sudah berapa lama berselang, sama-sama sudah
mengetahui. Terlebih lagi ada perkataan Sang Tapa Guru keduanya kepada Sri Bhatatipati,
disuruhlah Sang Raja untuk membangun kahyangan Bhatari Durga Dewi di sana di
hulunya semua kuburan, sebagai tempat beliau disembah oleh orang seluruh desa-desa,
dengan tujuan agar sempurnalah negara Sang Raja. Sebagai pahalanya akan damailah
semua Bhuta, Kala Dengen, tidak lagi memakan manusia.
Demikianlah perkataan Maha Mpu, semuanya dituruti oleh Sang Natha, karena tidak ada
upacara yang tidak berhasil dilakukan oleh Sang Maha Purusa.Perincian nama kahyangan
Bhatari Durga, durga berarti sulit. Yang dimaksud sulit itu adalah sesuatu yang jauh di
dalam. Yang dimaksud di dalam adalah tengah. Tengah artinya dalem atau dalam. Pura
Dalem itulah penamaan dari orang-orang. Ada lagi perkataan beliau Mpu Tapa Wangkeng,
dan Bhagawan Lotatya. Disuruhlah Sang Raja untuk memperbaiki pura Bhatara, seperti
319
Shastra Wangsa
Panataran, Puseh, Desa, Bale Agung, dan Ibu Gumi, termasuk Parhyangan Sri Sadhana
serta parhayangan di hulu tegalan, sawah, sampai dengan dhawuhan, terlebih lagi sanggar,
perumahan, setiap orang, terutama keleluhuran Sang Prabhu. Semua itu sama-sama tidak
boleh sampai hancur, itulah awal mula dari tatwa agama sejak jaman dahulu, wajib
dikukuhkan sampai nanti. Demikian perkataan Sang Guru Haji mengajarkan kebaikan
kepada Sri Bhatatipati yang sudah paham benar akanisi Shastra, Purana, Agama. [PGS]
Mpu Wijaksara
Mpu Wijaksara adalah anak dari Mpu Lampita dari perkawinannya dengan Ni Ayu
Subratha. Mpu Lampita adalah anak dari Mpu Wiradharma, atau cucu dari Mpu
Witadharma, salah satu dari Saptaresi. Menurut silsilahnya, Mpu Wijaksara membangun
Pura Gelgel di Gelgel pada tahun Shaka 1189. Mpu Wijaksara inilah yang melahirkan
Patih Wulung alias Mpu Jiwaksara. [SPSS]
Mpu Wiradangka
Mpu Wiradangka adalah anak Mpu Dangka yang lahir dari seorang ibu asal Sumedang.
Sang Ayah yang bernama Mpu Dangka itu adalah anak bungsu dari tujuh anak Mpu
Gnijaya yang dinamakan Saptaresi di dalam babad. Jadi Mpu Wiradangka ini adalah
cucunya Mpu Gnijaya yang ada di Bali. Mpu Wiradangka sendiri menurut keterangan
menetap di Pasuruhan. Di Pasuruhan kemudian Mpu Wiradangka kawin dengan seorang
perempuan bernama Dewi Sukerthi. Lahirlah tiga orang anak, satu laki dua perempuan.
Yang laki bernama Sang Wiradangka yang mirip dengan nama ayahnya. [SPSS]
Mpu Wiradharma
Mpu Wiradharma adalah anak dari Mpu Witadharma dari perkawinannya dengan putri
Mpu Dharmaja. Mpu Witadharma adalah salah satu dari kelompok Sapta Resi keturunan
dari Mpu Gnijaya. Menurut silsilahnya, Mpu Wiradharma kemudian menikah dengan
seorang perempuan bernama Dewi Girinatha. Tidak ada keterangan siapa Dewi Girinatha
tersebut. Yang jelas baik Mpu Wiradharma maupun Dewi Girinatha sama-sama tinggal di
Jawa. Perkawinan mereka melahirkan tiga orang anak, yaitu:Mpu Pastika di Silayukti,
Mpu Pananda di Silayukti, Mpu Lampita (bukan Mpu Lampita yang berjulukan Mpu
Tanuhun).Ketiga anak ini adalah kumpi dari Mpu Gnijaya. Keterangan di atas
menunjukkan bahwa pada generasi Mpu Pastika dan Mpu Pananda itulah keturunan Mpu
320
Shastra Wangsa
Witadharma menetap di Bali, tinggal di tempat yang dulunya pernah dihuni Mpu Kuturan.
Sedangkan Mpu Lampita tetap tinggal di Pasuruhan. [RAK, BPBN, SPSS]
Mpu Wiraragarunting
Mpu Wiraragarunting adalah anak dari Mpu Wirarunting, cucu dari Mpu Ragarunting
[Lihat, Mpu Ragarunting]. Menurut silsilahnya, Mpu Wiraragarunting memiliki tiga orang
anak:De Pasek Lurah Salahin, De Pasek Lurah Kubayan, De Pasek Lurah Tutwan.Tidak
disebutkan siapa ibu yang melahirkan ketiga anak ini. [SPSS]
Mpu Wirarunting
Mpu Wiraruntingalias Mpu Paramadaksayang tinggal di Pasuruhan adalah anak dari Mpu
Ragarunting dari perkawinannya dengan putri Mpu Wira Tanakung. Mpu Wirarunting
adalah cucu Mpu Gnijaya. Menurut babadnya, Mpu Wirarunting memiliki dua orang anak
laki dan perempuan. Yang laki bernama Mpu Wiraragarunting dan yang perempuan tidak
disebutkan namanya. [RAK, SPSS]
Mpu Witadharma
Mpu Witadharma adalah salah satu dari Saptaresi. Ia adalah anak dari Mpu Gnijaya dari
perkawinannya dengan Bhatari Manik Gni. Ketika Mpu Gnijaya pindah dari Jawa ke Bali,
Mpu Witadharma tetap tinggal di Jawa. Menurut silsilahnya, Mpu Witadharma kawin
dengan putrinya Mpu Dharmaja. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki
dinamakan Mpu Wiradharma setelah menjadi pendeta [SPSS]. Keturunan Mpu
Witadharma adalah Pasek Gelgel, Pasek Tangkas Koriagung, Bandesa (Bandesa Duda,
321
Shastra Wangsa
Bandesa Aan, Bandesa Mas, Bandesa Manikan, Bandesa Tonja, Bandesa Sibang Kaja),
termasuk Pasek Sekalan, Pasek Gobleg, Pasek Songan, Tabuwana, juga keturunan Dukuh
Bunga, Dukuh Sabudi. [RAK]
322
Shastra Wangsa
[N]
Nabhi Paras
Nabhi Paras adalah sebuah karya shastra gubahan Tuan Sumeru di Lombok berbahasa
campuran Sasak, Bali dan Jawa.Tuan Sumeru adalah sebutan untuk Dang Hyang Nirartha
di Lombok. Isinya adalah nama dan tempat Nabhi-Nabhi di dalam tubuh manusia. Inti
ajarannya adalah tattwa-darshana Hindu, namun terminologinya Islam Wetu Telu. [dari
berbagai sumber].
Nagaraja (2):
Nagaraja adalah wahana yang ditunggangi oleh Sang Hyang Taya. Sang Hyang Taya
adalah Bhatara Guru yang ada di pangkal lidah. Demikian disebutkan di dalam teks Sari
Sangu Sarira. Lebih lanjut tentang Nagaraja disebutkan seperti ini:“Apabila ia berada di
bumi tujuh patala, Hyang Nagaraja, Hyang Anantabhoga, Hyang Bhadawang Nala, Hyang
Agnirudra, sama-sama memberikan kehidupan. Itu adalah batas bawah”. (yan mungguh
pwa sira ring bhumi patala sapta, hyang nagaraja, hyang anantabhoga, hyang bhadawang
nala, hyang agnirudra, padha inguripan, yeka ta wekasing sor). [SSS]
323
Shastra Wangsa
Naraka (1)
Keadaan yang bagaimanakah disebut Neraka? Teks Tutur Mahapadma menyebutkan
bahwa Neraka adalah keadaan kamosel, kurang makanan, penyakitan, perasaan marah,
irihati. Bebas dari keadaan tersebut, maka orang akan bebas dari neraka. [TMP]
Naraka (2)
Keadaan yang bagaimanakah disebut Neraka? Teks Kanda Pat Rare menyebutkan bahwa
manusia terjerumus ke dalam neraka, karena tidak mengetahui bagaimana sejatinya
pergantian antara keadaan bangun dengan tidur. Di antara bangun dan tidur itulah
disebutkan sebagai keadaan yang bebas dari neraka.[K4R]
Naraka (3)
Keadaan yang bagaimanakah disebut Neraka? Teks Bhuwana Suksma menyebutkan
bahwa Cakrabhawa adalah bermimpi dan mengigau. Cakrabhawa itu adalah jalan bagi
orang terjerembab ke dalam neraka, karena tidak mengetahui pergantian antara bangun
dengan tidur. Cakrabhawa adalah keadaan yang selalu kembali dan kembali, atau berputar
seperti roda, atau lingkaran, atau cakra. [BS]
Naraka (4)
Citta atau pikiran itu adalah sebab atma menikmati sorga.Citta itu adalah juga sebab atma
jatuh di neraka. Citta adalah sebab menjelma menjadi binatang. Citta adalah sebab
menjelma menjadi manusa. Citta adalah sebab mendapatkan kamoksan dan kalepasan.
Seperti itulah teks Wrehaspati Tattwa menjelaskannya. Citta menurut tattwanya adalah
pikiran sebagai tempat di mana buddhi itu berada. Jadi Citta itu bisa dikatakan buddhi.
Buddhi itulah sebab orang masuk neraka atau ke luar dari neraka. [WT]
324
Shastra Wangsa
Ia mendengar berita Dalem Waturenggong didiksa menjadi pendeta oleh seorang pendeta
sangat sakti dari pulau Jawa, yaitu Dang Hyang Nirartha. Muncullah niatnya menghadap
raja Waturenggong,agar bisa bertemu muka Dang Hyang Nirartha. Di hadapan Dalem
Waturengong Pangeran Byaha menuturkan keinginannya. Dalem Waturenggong
mengabulkannya, karena sudah tahu siapa Pangeran Byaha yang sangat sakti itu. Dalem
memberinya tanah untuk tinggal bersama dengan pengiringnya di luar Swecapura, di tepi
sebuah sungai yang kemudian dinamakan Tukad Yeh Ha. Pada saatnya berjumpalah ia
dengan Dang Hyang Nirartha. Singkat cerita, terkabulkanlah cita-citanya berguru kepada
Dang Hyang Nirartha. Istrinya bernama Ni Carmahin turut pula didiksa. Tidak banyak
keterangan yang ada di dalam teks tentang perempuan bernama Ni Carmahin itu. [DJ]
Ni Darmain
Ni Darmain adalah nama anak kedua dari I Gede Macaling, seorang penguasa dari Nusa
Penida. Menurut babadnya, sampai tua perempuan bernama Ni Darmain tersebut tidak
menikah. Ia tekun melakukan yoga-samadhi di daerah Nusa Lembongan. Setelah mencapai
moksa,oleh masyarakat Ni Darmain dibuatkan sebuah pelinggih di Pura Sakenan [Nusa
Lembongan]. [GGM]
325
Shastra Wangsa
menemukan sperma segar di atas batu, karena tidak tahu cairan apa itu, maka ia
mencicipinya. Terbuahilah rahimnya. Singkat cerita, ia dikawini oleh Bhatara Wisnu dan
di ajak kembali ke Alam Wisnu. Di sana ia melahirkan bayi laki-laki, yang kelak menjadi
cikal bakal Ksatriya Tamanbali. [BKTB]
Ni Diah Ranggaeni
Ni Diah Ranggaeni adalah nama anak keempat dari I Gede Macaling, penguasa Nusa
Penida. Menurut babadnya ia melakukan yoga-samadhi di Nusa Lembongan. Setelah
moksa dibuatkan pelinggih di pura Sakenan [Nusa Lembongan].Kisah hidupnya mirip
dengan kisah hidup kakaknya yang bernama Ni Darmain. [GGM][Lihat, Ni Darmain]
326
Shastra Wangsa
Ni Luh Canting
Ni Luh Canting adalah nama seorang putri dari Dukuh Murti yang tinggal di Alas Jehem.
Dukuh Murti adalah adik dari Dukuh Belatung. Menurut babadnya, Manik Angkeran
menikahi Ni Luh Canting, menjadi istri keempat, yang kemudian melahirkan anak bernama
Agra Manik. Setelah dewasa Agra Manik tinggal di Besakih. [BMA]
327
Shastra Wangsa
Seperti kakak-kakaknya, Ni Keber juga akhirnya mati oleh pasukan Mengwi pimpinan I
Gede Bandesa Gumiar. [BMW-1]
Ni Luh Kaywan
Ni Luh Kaywan adalah anak bungsu dari Ki Bandesa Kaywan. Anak sulungnya, I Gusti
Kaywan meninggal semasih muda. Jadi, Ki Bandesa Kaywan merasa tidak memiliki calon
penerus keturunan. Ketika ia bertemu dengan Dang Hyang Kanaka, ia menyerahkan Ni
Luh Kaywan kepada Dang Hyang Kanaka agar dijadikan istri dengan harapan nantinya ia
akan memiliki cucu laki penerus keturunannya. Dang Hyang Kanaka adalah kakak Dang
Hyang Astapaka. Perkawinan Dang Hyang Kanaka dengan Ni Luh Kaywan melahirkan
dua orang anak. Yang pertama diberi nama Pangeran Mas. Yang kedua diberi nama
Pangeran Wanakeling. Karena kedatangan Dang Hyang Kanaka ke Bali bukanlah untuk
menetap, maka tibalah waktunya ia kembali ke Wanakeling, Madura. Ia membawa serta
Pangeran Wanakeling bersamanya. Sedangkan Pangeran Mas tetap di Bali bersama kakek
dan ibunya. Itulah kisah Ni Luh Kaywan, yang di dalam babad hanya disebut namanya saja
dan tidak pernah ditampilkan siapa dan bagaimana dirinya. Tapi dari anak yang lahir dari
rahim Ni Luh Kaywan inilah kemudian menyebar keturunannya di berbagai tempat di Bali.
[BPJK, BPG]
Ni Luh Nanda
Ni Luh Nanda adalah istri dari I Undur, anak ketiga dari I Gede Macaling. Jadi Ni Luh
Nanda adalah menantu penguasa Nusa Penida yang shakti itu.Konon Ni Luh Nanda
melakukan yoga-samadhi yang hebat bertempat di pingir pantai.Lama kelamaan setelah ia
mencapai moksa, masyarakat memuatkannya pelinggih di pura Panida dengan gelar Manik
Mas Maketel. [GGM]
328
Shastra Wangsa
Ni Luh Warsiki
Ni Luh Warsiki adalah adalah nama anak perempuan Dukuh Belatung. Ni Luh
Warsikimenikah denganseorang pendeta muda bernama Manik Angkeran yang
sebelumnya sempat adu kesaktian dengan ayahnya di sebuah tegalan seputaran Besakih.
Dari perkawinan tersebut, Ni Luh Warsiki melahirkan seorang anak bernama Ida Wang
Bang Banyak Wide. [Lihat, dukuh belatung, manik angkeran]
Ni Lumi
Ni Lumi adalah adalah nama dari salah satu menantu I Gede Macaling, seorang penguasa
di Nusa Penida. Ni Lumi dijadikan istri oleh anak I Gede Macaling yang bernama I Gotra.
Tidak dijelaskan apa yang dilakukan Ni Lumi semasa hidupnya. Babad hanya
menyebutkan bahwa setelah Ni Lumi mencapai moksa,oleh masyarakat Ni Lumi dibuatkan
sebuah pelinggih di pura Manik Mas, atau pura Mas Gading. [lihat, I Gotra].
Ni Mas Kuning
Ni Mas Kuning adalah nama adik kandung dari Aji Jaya Rembat. Ni Mas Kuning tinggal
di desa Guliang, sedangkan kakaknya Aji Jaya Rembat tinggal di Kentel Gumi. Menurut
babadnya, Ni Mas Kuning bersaudara tiri (lain ibu) dengan Bhatara Subali yang tinggal di
329
Shastra Wangsa
Gunung Agung dan dengan Dalem Sekar Angsana yang tinggal di pura Dasar Gelgel. Ni
Mas Kuning mempunya dua orang anak. Nama dari kedua anaknya adalah Ida Tapadana
dan Ida Nagapuspa. [BKTB]
Ni Merahim
Ni Merahim adalah nama istri dari I Renggan, Ibu kandung dari I Gede Macaling. Ni
Merahim juga disebut Ni Merahip. I Merahim tentulah bukan seorang perempuan
sembarangan, karena dari rahimnya lahir I Gede Macaling, seorang tokoh legendaris dari
Nusa Penida. Namun demikian, di dalam babad sangat sedikit keterangan yang ditulis
tentang dirinya. [DJ][Lihat, I Renggan, I Gede Macaling]
Nirartha Pakretha
Nirartha Prakretha adalah judul sebuah karya shastra gubahan Dang Hyang Nirartha di
Bali berbentuk kakawin. Keterangan diperoleh dari teks Dwijendra Tattwa dan juga dari
dalam teks kakawin Nirartha Prakretha itu sendiri. Isi Nirartha Prakretha adalah ajaran
Dang Hyang Nirartha tentang kelepasan atma. Beberapa sumber menerangkan karya ini
ditulis oleh Dang Hyang Nirartha di Nusa Dua. [dari berbagai sumber]
Ni Ratnamaya
Ni Ratnamaya adalah nama seorang anak perempuan dari pasangan suami-istri I Undur
dan Ni Luh Nanda. I Undur adalah anak ketiga dari I Gede Macaling, penguasa Nusa
Penida. Jadi Ni Ratnamaya adalah cucu prempuan dari I Gede Macaling. Menurut
babadnya Ni Ratnamaya melakukan yoga-samadhi di Nusa Lembongan. Setelah moksa ia
dibuatkan pelinggih di pura Ancak Saji oleh masyarakat. [GGM]
330
Shastra Wangsa
Ni Tole
Ni Tole adalah anak perempuan bungsu dari I Mraja atau I Merjan. Ni Tole terhitung
salah satu cucu dari Dukuh Jumpungan, leluhur orang-orang Nusa Penida. Setelah dewasa
Ni Tole dijadikan istri oleh seorang penguasa di daerah Jungut Batu [DJ]. Sumber lain
menyebutkan, Ni Tole adalah adik kandung dari I Gede Macaling, alias cucu dari I Mraja.
[GGM]
Nursada/ Nurcahya
Nursada atau Nurcahya adalah judul sebuahkarya shastra yang berbentuk macapat
berbahasa campuran Sasak, Bali dan Jawa. Menurut keterangan di dalam teks
Nursada/Nurcaya sendiri, karya shastra ini digubah oleh seorang pengarang bernama Tuan
Sumeru. Menurut berbagai sumber, Tuan Sumeru adalah sebutan lain untuk Dang Hyang
Nirartha ketika pendeta legendaris ini berada di Lombok. [dari berbagai sumber]
331
Shastra Wangsa
[O]
332
Shastra Wangsa
[P]
Padanda Abah
Ketika Sri Maharaja didatangi oleh para Manca dan para Patih, Pedanda Wayan Abah
menyampaikan keadaan dirinya di asramanya yang diganggu oleh Arya Batulepang.
Selanjutnya Ida Pedanda Abah dibuatkan asrama di daerah Kamasan. Ida Dalem sangat
bakti kepada brahmana dan Dalem Waturenggong berpesan kepada para putra dan
keturunannya agar tetap bersikap hormat. [PBRH]
Padanda Antapan
Pedanda Wayan Antapan mempunyai 7 orang putra antara lain Ida Wayan Taban di
Banjar Ambengan, Ida Made Kukub di Tenganan, Ida Nyoman Karang Selaparang. Ida
Ketut Ngenjung di Sasak, Ida Wayan Antapan di Kadiri Sasak, Ida Nyoman Padang, Ida
Made Kamenuh di Banjar Celagi. [PBRH]
Padanda Alangkajeng
Padanda Alangkajeng, Padanda Timbul, Padanda Panarukan, Padanda Sigaran adalah
nama-nama Padanda keturunan Brahmana Mas. Yang dimaksudkan dengan Brahmana Mas
adalah para brahmana Shiwa yang diturunkan oleh Padanda Kidul, putra Dang Hyang
Nirartha dari perkawinannya dengan putri Ki Bandesa Mas, di Mas, Gianyar [BPBRH].
Gusti Luh Alang Kajeng berputra Ni Gusti Ayu Putu Alang Kajeng yang diperistri oleh
Padanda dari Sanur yang menurunkan Padanda Alangkajeng. I Gusti Agung Made
Alangkajeng ditugaskan merawat putra-putri Raja Mengwi. [BM]
333
Shastra Wangsa
Padanda Balwangan
Padanda Balwangan adalah putra bungsu dari Padanda Bukcabe. Sedangkan Padanda
Bukcabe adalah putra Dang Hyang Nirartha dari perkawinannya dengan puteri Ki Bandesa
Mas. Dua orang kakak kandung Padanda Balwangan adalah Padanda Kacang Paos yang
tinggal di Mas dan Padanda Bukyan yang menetap di Abiansemal. Menurut babadnya,
pada mulanya Padanda Balwangan tinggal di Padang Jarak, kemudian pindah ke Sanur
diantarkan oleh Arya Pacung dengan gelar Ida Padanda Kidul . [BPBN].
Nama balwangan kemudian dipergunakan kembali oleh salah satu keturunannya yang
ada di Badung. Disebutkan bahwa keturunan Peranda Alang Kajeng yang bertempat di
Badung, menurunkan Peranda Wayan Alang Kajeng tinggal di Intaran Badung, Peranda
Made Alangkajeng berasrama di Sanur, Peranda Nyoman Bun berasrama di Buda.
Kemudian Peranda Wayan Alangkajeng menurunkan Peranda Wayan Alangkajeng dan
Peranda Made Balwangan. [PBRH]
Padanda Batulumbang[versi 1]
Keturunan Peranda Sakti Tembau yang berputra Pedanda Wayan Batulumbang yang
memiliki dua orang anak. Yang sulung bernama Pedanda Wayan Batulumbang, sama
seperti nama ayahnya. Adiknya bernama Pedanda Made Batulumbang. Padanda
Batulumbang adalah keturunan Manuaba Bajangan. Disebut Padanda Batulumbang karena
tinggal di desa Batulumbang (Gianyar). Ketika desa Manuaba diserang oleh I Gusti
Batulepang dari Batuan, Sukawati, seorang anak Padanda Batulumbang yang lahir dari ibu
asal Batubulan diungsikan ke wilayah Mengwi kemudian pindah ke desa Cau, Tabanan. Di
Desa Cau ia menurunkan anak bernama Ida Batulumbang, sama seperti nama kakeknya. Ia
inilah yang menurunkan Padanda Baha di desa Baha, Mengwi, setelah pindah ke Ayunan
akhirnya disebut Padanda Ayunan. Padanda Ayunan menikah dengan anaknya Anglurah
Sembung. Dari perkawinan ini lahir dua anak: Ida Sembung dan Ida Cau. Sebagai mana
sebutannya, Ida Sembung tinggal di desa Sembung.Seorang keturunan Ida Sembungtinggal
334
Shastra Wangsa
di Munggu, yang kemudian setelah menjadi pendeta bernama Padanda Made Cau,
selanjutnyamenjadi bhagawanta di Carangsari, salah seorang keturunannya berkembang di
Sidemen, Karangasem. Sedangkan Ida Cau, adik Ida Sembung, menetap di desa Cau yang
kemudian menurunkan seorang anak bernama Ida Putu Cau. Ida Putu Cau tercatat sebagai
bhagawanta di Marga. Ida Putu Cau mempunyai dua anak: Ida Wayahan Pande dan Ida
Caraki. Ida Wayahan Pande memiliki tiga orang anak: Ida Nyalian, Ida Dungki, Ida Seser.
Ida Nyalian tinggal di desa Blahkiuh, menikah dengan anaknya Anglurah Jlantik di
Blahkiuh yang bernama Sayu Lambing yang masih keturunan I Gusti Batulepang.
Keberadaan Ida Nyalian di Blahkiuh adalah atas penugasan dari Raja Mengwi ketika itu
sebagai pemimpin masyarakat di sana. Menurut catatan ada enam orang anak Ida Nyalian,
dua orang tidak diketahui namanya, sedangkan yang empat orang, sebagai berikut:Ida Cau,
Ida Tutur, Ida Ketut Gede [pindah ke Buleleng, kemudian ke Karangasem], Ida Ketut Cau
[pindah ke Sangeh]. Seperti itulah keterangan tentang Padanda Batulumbang. [PBRH,
BCB]
Padanda Bukcabe
Padanda Bukcabe adalah putra Dang Hyang Nirartha dari perkawinannya dengan putri Ki
Pangeran Mas.Padanda Bukcabe memiliki tiga orang putra yaitu Ida Padanda Kacang Paos
menetap di Mas, Padanda Bukyan menetap di desa Abiansemal, dan paling bungsu adalah
Ida Padanda Balwangan tinggal di desa Padang Jarak. Untuk tempat pemujaan kepada Ida
Bukcabe setelah meninggal, maka dibangulah sebuah tugu (pasimpangan) yang berbentuk
gedong yang beratapkan bata di desa Mas, Gianyar [BPBN]. Sumber lain menyebutkan
bahwa Sira Dang Hyang Bukcabe menurunkan Padanda Tembawu, Padanda Shakti Sangsi.
[BSWR]
335
Shastra Wangsa
Padanda Bukyan
Padanda Bukyan bertempat tinggal di desa Abiansemal. Ia adalah salah satu anak dari
Padanda Bukcabe. Sedangkan Padanda Bukcabe sendiri adalah putra Dang Hyang Nirartha
dari perkawinannya dengan anak Ki Bandesa Mas. Padanda Bukyan memiliki dua orang
kakak kandung yaitu Padanda Kacang Paos yang tinggal di desa Mas, dan Padanda
Balwangan yang tinggal di Padang Jarak dan kemudian pindah ke Sanur. Menurut
babadnya, keberadaan Padanda Bukyan di Abiansemal diiring oleh Arya Dawuh. [BPBN]
Padanda Burwan
Padanda Burwan adalah putra sulung Padanda Lor dari perkawinannya dengan anak I
Gusti Dauh Baleagung. Sedangkan Pandanda Lor adalah anak Dang Hyang Nirartha yang
lahir dari ibu asal Pasuruhan. Jadi, Padanda Burwan adalah cucu Dang Hyang Nirartha,
Padanda Burwan tinggal di desa Manuaba, Gianyar. Padanda Burwan mempunyai seorang
adik bernama Padanda Mambal. Itulah asal-usul Padanda Burwan. Padanda Burwan
terkenal karena pengetahuannya yang luas tentang tattwa, dan keshaktiannya. Karena
itulah ia disebut Padanda Shakti Manuabha. [lihat, Padanda Shakti Manuabha]
336
Shastra Wangsa
337
Shastra Wangsa
338
Shastra Wangsa
Padanda Kulwan(1)
Padanda Kulwan adalah anak Dang Hyang Nirartha yang lahir dari ibu bernama Dyah
Sanggawati asal Daha. Ia juga disebut Dang Hyang Wiragasandhi. Menurut babadnya ia
menikah dengan seorang brahmani dari Budakeling. Dari perkawinan ini lahirlah lima
orang anak laki. Setelah dewasa kelimanya menjadi padanda dan masing-masing dikenal
dengan julukan:Padanda Shakti Bukian, Padanda Shakti Ngurah Pamade, Padanda Shakti
Nyoman Kemenuh, Padanda Shakti Bukit, Padanda Shakti Katandan. Pada awalnya
Padanda Kulwan tinggal di Gelgel. Kemudian bersama empat orang anaknya (kecuali
Padanda Shakti Katandan) Padanda Kulwan pindah ke daerah Kayuputih, Buleleng. Dari
daerah Kayuputih kemudian keturunannya berkembang. [Lihat, Dang Hyang
Wiragasandhi]
Hyang Nirartha, dari Pasuruhan ke Blambangan dan dari Blambangan ke Bali. Menurut
babadnya, Padanda Kulwan ini menurunkan dua orang putra di Bali, yaitu: Padanda Panida
dan Padanda Batulumbang. [DT, BBCD]
Padanda Kidul
Padanda Kidul adalah anak Dang Hyang Nirartha yang lahir dari ibu asal Mas, putri dari
Bandesa Mas. Menurut keterangan babad, Mpu Kidul menurunkan beberaoa orang anak
yang semuanya menjadi padanda:Padanda Alangkajeng (di Intaran, Sanur), Padanda
Timbul (di Renon, disebut Padanda Renon), Padanda Terukan,Padanda Sigaran, Padanda
Mas menurunkan Padanda Balwangan. [DT, DDN, BCB]
340
Shastra Wangsa
diberikan kepada Ida Lor untuk dijadikan isteri. Dari perkawinan Ida Lor dengan puteri
Dauh Baleagung ini lahirlah Ida Burwan yang kelak menjadi Padanda Shakti Manuabha di
desa Manuabha, Gianyar. [Lihat, Padanda Shakti Manuabha]. Di manakah Padanda Lor
tinggal? Menurut babadnya, semasih Walaka, Ida Lor ikut dengan ayahnya, Dang Hyang
Nirartha, baik ketika masih ada di Jawa maupun sesudah ada di Bali. Setelah menjadi
pendeta sebuah sumber menerangkan Padanda Lor tinggal di Pucak Manik. Di Pucak
Manik itulah Dang Hyang Nirartha diceritakan pernah mengunjungi Padanda Lor guna
memberikan pesan-pesan pribadinya tentang kependetaan, sebelum akhirnya Dang Hyang
Nirartha pergi ke Huluwatu untuk moksa. [DT, BBCD]
Padanda Mambal dan Padanda Batulumbang. Jadi, menurut sumber ini Padanda Mambal
dan Padanda Batulumbang adalah saudara kandung, sama-sama anak Padanda Ler
[BSWR]. Selanjutnya, Padanda Mambal menurunkan putera bernama Padanda
Singharsa.Selanjutnya Padanda Singarsa mempunyai keturunan yang menyebar di Sidemen
(Karangasem), Srongga, Buruan, Belega (Gianyar), dan Lombok. Padanda Siangan di
Sidemen, Ida Simpangan di Mataram, Ida Tangkeban di Serongga, Gianyar[BBCD].
Keterangan kedua, Padanda Mambal adalah salah satu dari dua anak Padanda Lordari
perkawinannya dengan puteri Ki Gusti Dauh Baleagung. Manurut babadnya, Ki Gusti
Dauh Baleagung mempersembahkan seorang puterinya sebagai guruyaga kepada Dang
Hyang Nirartha. Puteri itu kemudian oleh Dang Hyang Nirartha diberikan kepada Ida Lor
untuk dijadikan isteri. Dari isteri inilah lahir dua orang anak. Yang sulung bernama Ida
Burwan yang kemudian menjadi Padanda Shakti Manuabha, tinggal di desa Manuabha,
Gianyar. Yang bungsu setelah menjadi pendeta bernama Padanda Mambal, atau juga
disebut Padanda Shakti Mambal. [DT]
342
Shastra Wangsa
Padanda Panarukan
Padanda Panarukan adalah nama salah seorang Padanda keturunan Brahmana Mas. Yang
dimaksudkan dengan Brahmana Mas adalah para brahmana Shiwa yang diturunkan oleh
Padanda Kidul, putra Dang Hyang Nirartha dari perkawinannya dengan putri Ki Bandesa
Mas, di Mas, Gianyar.Padanda Panarukan bersaudara dengan Padanda Timbul, Padanda
Alangkajaeng, dan Padanda Sigaran. [BPBRH]
Padanda Panida
Ada dua keterangan berbeda tentang asal-usul Padanda Panida ini. Keterangan pertama,
ia adalah saudara kandung dari Padanda Batulumbang.Padanda Panida memiliki dua orang
putra. Yang sulung bernama Padanda Tambahu yang berasrama di Wanasara, Tabanan,
pengarang dari Kidung Wedarisrama dan Brahmara Sangupati. Yang bungsu bernama
Padanda Wasa yang berasrama di Gunung Api di pulau Sumbawa [BBCD]. Keterangan
kedua, Padanda Panida adalah keturunan dari Padanda Wetan. Menurut keterangan babad,
pada mulanya Padanda Panida ini tinggal di Manuabha, kemudian pindah tinggal di daerah
Tamanbali, Bangli. [RAK]
seekor kuda sedang memakan tanamannya. Padanda Bukcabe mengambil batu sebesar
buah Maja. Punggung kuda itu kena dilempar. Patah pungguhnya, rebah di tanah, dan mati.
Si pengembala melihat kudanya mati lalu melapor pada majikannya Anglurah Mambal.
Tak kuasa menahan marah, Anglurah Mambal ia menyerbu rumah Padanda Shakti
Bukcabe bersama pasukannya. Padanda tahu rencana penyerangan itu lalu menyampaikan
ke sanak keluarga Ki Bandesa Mas. Pasukan Anglurah Mambal masuk ke Pengosekan dan
sebagian besar menunggu di barat sungai Hos tidak bisa menyeberang karena Padanda
Bukcabe membuat sungai itu tiba-tiba banjir deras dengan keshaktiannya. Padanda
Bukcabe panas hatinya karena ditinggalkan sendirian oleh sanak keluarga Ki Bandesa Mas.
Ujung panah dimantrai sambil beryoga di tengah peperangan, tiba-tiba gelap gulita medan
perang itu. itulah konon sebabnya di sana ada tempat suci bernama Pura Hyang Limun
(kabut). Kembali Padanda Bukcabe beryoga,tiba-tiba medan perang diselimuti mendung
dan bumi bergetar, hujan deras, pertir menyambar-nyambar, badai topan, sehingga panas
dingin pasukannya Anglurah Mambal. Anglurah Mambal dikutuk sehingga hilang semua
keshaktiannya. Perang itu terjadi sekitar tahun 1760 Masehi. Di medan perang itu
kemudian dibangun pura Honcesrawa (kuda) di Pengosekan. Sanak saudara Ki Bandesa
Mas dikutuk oleh Padanda Bukcabe semoga tidak ada sanak keluarga mereka tinggal di
Mas. Mereka menyebar di berbagai desa. Kutukan itu diucapkan karena keturunan Bandesa
Mas meninggalkan Padanda sendirian di medan perang. [PDK]. Akhirnya babad mencatat,
keturunan Ki Bandesa Mas diserang oleh Dalem Sukawati yang bernama I Dewa Ketut
Anom alias Sri Maha Sirikan Ratna Pangkaja Jaya Tanu. Keturunan Ki Bandesa Mas
melarikan diri ke berbagai tempat dan menyembunyikan identitas mereka. (nyineb
wangsa).
344
Shastra Wangsa
sekitar Mengwi. Perpindahannya ke Kekeran, Mengwi, atas permintaan Raja Mengwi yang
mengangkatnya menjadi pendeta kerajaan Mengwi.Perpindahan Padanda Shakti Bukian ke
Mengwi, mengajak serta pengiring 35 orang dari desa Bangkangan, 100 orang dari desa
Banyuatis, dan dari desa Kayuputih sendiri sebanyak 50 orang. Padanda Shakti Bukian
memiliki lima orang anak. Kelima orang anaknya menjadi padanda:Padanda Wayahan
Kekeran, Padanda Made Kekeran, Padanda Nyoman Kekeran, Padanda Ketut Kekeran,
Padanda Isteri Kemenuh (menikah ke Kayuputih). Dari desa Kekeran selanjutnya atas
permintaan Raja Mengwi, Padanda Shakti Bukian pindah tinggal di desa Denkayu. Baik
Kekeran maupun Denkayu sama-sama ada di wilayah kekuasaan Mengwi. [BMW-1]
345
Shastra Wangsa
346
Shastra Wangsa
347
Shastra Wangsa
Padanda Kemenuh diminta pindah tinggal di Banjar Ambengan. Semenjak itu Padanda
Kemenuh terkenal dengan sebutan Padanda Shakti Ngurah. I Gusti Ngurah Panji Shakti
juga membuatkanya tempat tinggal di Sukasada tidak jauh dari istananya. Padanda Shakti
Ngurah meninggal di Kayu Putih. kedudukannya sebagai purohita digantikan oleh anaknya
yang juga bernama Padanda Shakti Ngurah. Ia sangat ahli dalam membuat keris, sehingga
ada sebutan keris buatan Banjar, “pakardhi banjar”.[BBUL]
348
Shastra Wangsa
dan hidup sederhana bagaikan orang yang hina dina. Pada suatu ketika Ida berjalan he
desa-desa menemui seorang penggembala dan Ida Peranda bersabda kepada penggembala
bahwa Ida ingin meminta daging kerbaunya si Gembala. Di situ dikeluarkan kesaktian dan
kekuatan batinnya Seketika kerbaunya menjadi kaku. Selanjutnya berjalanlah beliau
sampai di Gelgel. [DT, PBRH] [Lihat, Ida Talaga 1, Ida Talaga 2]
Tabanan], Ida Made Kekeran [pindah ke Kediri, Tabanan], Dayu Nyoman Kemenuh
[kawin ke Kayu Putih, Buleleng], Ida Ketut Kekeran [tetap di Denkayu, Mengwi]. [BMW-
1, BCB]
Padanda Tianyar
Padanda Manuaba Tianyar, atau umumnya disebut Padanda Tianyar, adalah anak dari
Padanda Shakti Manuaba yang lahir dari ibu asal daerah Tianyar. Padanda Shakti Manuaba
adalah anak Padanda Lor. Selanjutnya Padanda Lor adalah anak dari Dang Hyang Nirartha
lahir dari ibu asal Pasuruhan. Jadi Padanda Tianyar adalah kumpi dari Dang Hyang
Nirartha. Menurut keterangan babad, Padanda Tianyar memiliki seorang anak bernama
Padanda Kekeran. Sebabnya dinamakan Kekeran (seperti keturunan Padanda Bukian),
konon karena ia berhasil menciptakan lambang Harsawijaya (?). Padanda Kekeran
memiliki tiga orang anak, dua di antaranya menjadi padanda: Padanda Tianyar (sama
dengan nama kakeknya) dan Padanda Pidada. [BCB, DDN]
350
Shastra Wangsa
yang lama kemudian juga menjadi pura Taman Tanjung namanya. Konon baik di Bali
maupun ketika di Madura, tempat tinggal Dang Hyang Astapaka selalu dibangun dekat
kuburan. Penjelasannya, ia adalah penganut Buddha Bhairawa. Cucu yang meneruskan
“sekolah” Budha Bhairawa Dang Hyang Astapaka adalah seorang cucunya bernama
Pedanda Wayan Tangeb, yang hidup sekitar 1616. Pada Saat itu Gunung Agung meletus.
Keluarga Padanda Wayan Tangeb pindah ke Puncak Sari. Di sana di sebelah barat aliran
lahar gunung Agung kemudian dibangun tempat tinggal dinamakan Griya Alit. Menurut
keterangan, di pamerajan Griya Alit inilah tersimpan tiga pusaka Dang Hyang Astapaka
berupa keris masing-masing bernama Keris Brahma, Keris Shiwa dan Keris Wisnu.[PBP].
[Lihat, pusaka Dang Hyang Astapaka]
Padharman di Besakih
Setelah wafatnya Dalem Ketut Smara Kapakisan, ia digantikan oleh anaknya yang
bergelar Sri Aji Dalem Kapakisan. Pada masa itu ada perintah Dalem Waturenggong
kepada para arya di Bali, termasuk kepada para pemuka-pemuka di Bali, agar membuat
padharman di Besakih sebagai tempat pemujaan pada para leluhur yang memulai ada di
Bali. [BKK]
352
Shastra Wangsa
Konsep Tri Murti dipraktekkan di rumah-rumah dengan adanya pelinggih Rong Tiga
(hyang bapa, bhatara guru, hyang ibu). Di dalam upacara konsep Tri Murti diterapkan
dengan adanya Tri Sadhaka. Sedangkan di bhuwana alit, konsep Tri Murti dipraktekkan
dengan berbagai ajaran yang pada intinya berpusat pada hati, empedu, dan jantung, atau
mata kanan, mata kiri, pertengahan alis.[DKW]
Panca Durga(1):
Kembali diceritakan keadaan Bhatara Guru, pada akhirnya beliau teringat, tidak seperti
yang sudah-sudah keadaan beliau, sedangkan sekarang dalam keadaan marah, dengan
keras mengutuk Bhatari Uma menjadi Panca Durga. Tidak senang ia pada keadaannya
sendiri. Seakan-akan tidak jelas melihat bhuwana dengan tubuh, sekarang dikutuklah
Bhatara Guru menjadi Kala Ludra yang berwajahkan Maya. Berjalanlah ia mengembara ke
tengah desa-desa untuk mencari di mana tempat Bhatari Durga. Dilihatnyalah Sri Parwati
(Durga) dengan lima muka, atau lima wajah, sedang berada di tengah-tengahsuatu
tempatyang bernama Pancaka,yaitu kuburan, lima penjuru dijaganya. Srì Durga di timur.
353
Shastra Wangsa
Raji Durga di utara. Suksmi Durga di barat. Dhari Durga selatan. Dewì Durga ada di
tengah-tengah. Kelimanya sedang berunding, sama-sama berkeinginan membuat racun
sakti pembinasa habis-habisan. [PGS] [Lihat Lampiran Teks: pancadurga]
354
Shastra Wangsa
Pancaka: kuburan
Tiba-tiba datanglah Bhatara Kalarudra, menyembahlah Srì Panca Durga, kelimanya
sama-sama memohon sentuhan restu beliau. Terkabulah permintaan Sri Panca Durga,
semuanya berkumpul atau menunggal. Pada saat penunggalan kelimanya itulah Srì Bhatari
Durga mengadakan Kalika-Kaliku, Yaksa-Yaksi, Dengen Sepah, Kubandha. Bhatari Raji
Durga mengadakan Babahi, Jukih, Jin, Setan, Bregala-Bregali. Bhatari Suksmi Durga
mengadakan Sampulung, Pamala-Pamali, Karaseta. Bhatari Dewi Durga Dhari
mengadakan Preta, Sajer, Bhuta Kapiragan. Bhatari Madhya Dewi Durga mengadakan
Panca Bhutta, yaitu Bhuta Janggitan, Bhutta Langkir, Bhutta Lembu Kaneya, Bhuta
Taruna, Bhuta Tiga Sakti. Demikianlah perihalnya, kuburan itu boleh disebut sebagai
Pancaka, karena itu adalah tempat kedudukan Bhatari Panca Durga, serta Arddhanareswari
dan Bhatara Kalarudra. [PGS]
Panca Tirtha:Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah
Pancatirtha adalah sebutan Baliuntuk lima orang pendeta. Urutannya dari sulung ke
bungsu adalah sebagai berikut: Mpu Gnijaya [paham Brahma], Mpu Sumeru [paham
Shiwa], Mpu Ghana [paham Ghanapati], Mpu Kuturan [Buddhapaksa], Mpu Bharadah
[Buddhapaksa]. Pancatirtha ini kemudian diundang oleh raja Udayana dan ratu Gunapriya
Dharmapatni datang ke Bali konon untuk menata kehidupan berbagai sekte keagamaan
yang saling bersinggungan di Bali.Yang berangkat ke Bali adalah Mpu Gnijaya (tinggal di
Lempuyang), Mpu Sumeru (tinggal di seputaran Besakih), Mpu Ghana (tinggal di desa
Gelgel), Mpu Kuturan (tinggal di Silayukti). Mpu Bharadah ternyata tidak ikut serta dalam
rombongan yang empat itu. Ini terjadi sekitar abad X. [BMA, RAK]
355
Shastra Wangsa
Pande Anom
Ki Pande Anom sesuai dengan namanya adalah anak bungsu dari Kiyai Tusan. Kiyai
Tusan bersaudara dengan Kiyai Putih Dahi di Budaga dan Kiyai Tatasan. Mereka bertiga
adalah anak Bang Lurah Kapandeyan Tusan. Sedangkan Bang Lurah Kapandeyan adalah
cucunya Mpu Saguna adik Mpu Gandring di Jawa. Jadi, Ki Pande Anom adalah turunan
ke-4 dari Mpu Saguna. Menurut keterangan Ki Pande Anom tinggal dan meneruskan
keturunan di daerah Tusan. [PBP]
Pande Bang
Ki Pande Bang adalah anak keenam dari Kiyai Tusan. Kiyai Tusan bersaudara dengan
Kiyai Putih Dahi di Budaga dan Kiyai Tatasan. Mereka bertiga adalah anak Bang Lurah
Kapandeyan Tusan. Sedangkan Bang Lurah Kapandeyan adalah cucunya Mpu Saguna adik
Mpu Gandring di Jawa. Jadi, Ki Pande Bang adalah turunan ke-4 dari Mpu Saguna. Bang
artinya merah. Menurut keterangan Ki Pande Bang tinggal dan meneruskan keturunan di
daerah Banjar, Buleleng. [PBP]
356
Shastra Wangsa
maong. Menurut tafsir ini, anak itu hidup kembali karena hidupnya aksara Ongkara pada
anak itu melalui bantuan dari luar. Sebaliknya kata maong dalam bahasa Bali berarti kotor
penuh debu atau tanah. [PBP]
357
Shastra Wangsa
mengadakan samadi. Di situlah Ida Mpu bertemu dengan I Toto [BPJ]. Karena sedihnya
Ida Wala yang disebabkan tidak mempunyai alat perhiasan untuk dipersembahkan kepada
ayahandanya, lalu mohon kepada Bhatara Brahma dan Bhatara Brahma mengabulkan dan
diberi nama Pandai Beratan. Tersebutlah Desa Batur diserang oleh para brahmana,
sehingga rakyat itu lari masuk desa-desa, ada yang ke desa Kapal, ada ke Desa Taman, ke
Mengwi, ke Buleleng, ke Klungkung dan kesemuanya ini pekerjaannya menjadi pande.
[BPJ]
Pande Bhasa:
Pande Bhasa mempunyai seorang selir yang dulunya mantan kekasih Arya Talabah.
Suatu hari Pande Bhase mengetahui selirnya sedang bercumbu-cumbuan kembali dengan
Arya Telabah. Pande Bhasa menyimpan dendam. Ia tahu Arya Talabah juga pernah
mencumbui seorang perempuan bernama Samantiga, yang tidak lain adalah salah satu
selirnya Dalem. Percumbuan dengan selir Dalem itulah yang kemudian dilaporkan oleh
Pande Bhasa kepada Dalem. Begitu mendengar laporan Pande Bhasa, Dalem langsung
memerintahkan agar Arya Talabah dibunuh. Pande Bhasa yang mendapat perintah itu,
selanjutnya memerintahkan I Capung untuk melaksanakan eksekusi. I Capung meminta
seorang temannya seorang nelayan melakukan misi rahasia itu. Menurut keterangan si
nelayan dan Arya Talabah sama-sama tewas. I Capung hendak melaporkan hasil kerjanya,
namun celaka ia terpeleset di tembok puri, sehingga jatuh terjerembab ke tanah. Pengawal
puri mengira ia penjahat, lalu ramai-ramai dibunuh. Kematian I Capung menyebabkan
istrinya menangis meraung-raung, dan membeberkan rahasia kematian Arya Telabah. Hal
itu didengar oleh I Gusti Kanca, salah seorang keluarga Arya Telabah. I Gusti Kanca balik
melaporkan Pande Bhasa kepada Dalem agar Pande Bhasa terduga dalang pembunuhan
disuruh melakukan sumpah. Pande Bhasa menolak melakukan sumpah. Penolakan Pande
Bhase itu berakibat perang antara pasukan Dalem dibantu pasukan I Gusti Kanca melawan
pasukan Pande Bhasa. Akhirnya cerita, Pande Bhase tewas. Kematian Pande Bhase inilah
yang dituliskan oleh ayahnya, yaitu Kiyai Penulisan Dauh Baleagung, dalam sebuah karya
sastra berjudul Arjuna Pralabda. [RAK]
358
Shastra Wangsa
Pande Dengko
Pande Dengko dan keluarga datang ke Buddhakeling kira-kira pada tahun 1565. Pande
Dengko adalah keturunan dari Pande Kamasan. Di Buddhakeling ia menetap tidak jauh
dari pasraman Dang Hyang Astapaka, yaitu pasraman Taman Sari. Pande Dengko
menurunkan warga Pande mas dan perak yang ada di banjar Pande Mas, Kerotok,
Budhakeling. [PBP]
Pande Emas
Segera turun Sang Hyang Mahadewa., sehingga akhirnya mengetahui jenis-jenis permata,
atau segala jenis Sat namanya. Sang Hyang Mantana adalah nama beliau yang lainnya.
Mantana berarti emas. Mas berarti utama. Mantaswara berarti perempuan utama. Tukang
emas adalah keahlian beliau lainnya, pada akhirnya di masa depan begitulah sebutan
manusia semua. Sang Hyang Mahadewa adalah tempat bergurunya orang yang melakukan
pekerjaan pande atau tukang mas, perak, tembaga, permata, dan sebagainya, tidak lain
Sang Hyang Mahadewa asal muasalnya dari dulu sampai sekarang. [PGS]
Pande Galuh
Ni Pande Galuh adalah anak tertua dari Kiyai Tusan. Kiyai Tusan bersaudara dengan
Kiyai Putih Dahi di Budaga dan Kiyai Tatasan. Mereka bertiga adalah anak Bang Lurah
Kapandeyan Tusan. Sedangkan Bang Lurah Kapandeyan adalah cucunya Mpu Saguna adik
Mpu Gandring di Jawa. [PBP]
359
Shastra Wangsa
Pande Grondong
Pande Grondong adalah anak kedua dari Kiyai Putih Dahi yang tinggal di Budaga.
Sedangkan Kiyai Putih Dahi bersaudara dengan Kiyai Tusan dan Kiyai Tatasan. Mereka
bertiga adalah anak dari Bang Lurah Kapandeyan Tusan. Bang Lurah Kapandeyan Tusan
adalah cucu dari Mpu Saguna di Jawa. [PBP]
Pande Jenar
Pande Jenar adalah anak tertua dari Kiyai Putih Dahi yang tinggal di Budaga. Sedangkan
Kiyai Putih Dahi bersaudara dengan Kiyai Tusan dan Kiyai Tatasan. Mereka bertiga adalah
anak dari Bang Lurah Kapandeyan Tusan. Bang Lurah Kapandeyan Tusan adalah cucu dari
Mpu Saguna di Jawa. Jenar artinya kuning. Pande Jenar adalah Pande Kuning. [PBP]
Pande Kamasan(1)
Pande Kamasan hidup pada masa pemerintahan Dalem Bekung. Pande Kamasan adalah
sebutan untuk keturunan Ki Capung Mas. Pande Kamasan bersaudara dengan Pande Tusta
dan Pande Resi. Mereka bertiga adalah keturunan dari Dyah Kancanawati alias Mpu
Galuh. Sedangkan Mpu Galuh sendiri adalah anak dari Mpu Brahmaraja yang tinggal di
Madura bergelar Mpu Pandhya Bumi Shakti. Jadi Ki Capung Mas atau Pande Kamasan
adalah cucu dari Mpu Pandhya Bhumi Shakti yang tinggal di Madura [PBP]. Ada
keterangan lain, bahwa Pangeran Kayu Mas beristri dan mempunyai 3 orang putra yang
mengadakan adanya Pande Besi. Adik dari Pangeran Kayu Mas mengungsi ke Dukuh Sni,
setelah lama di sana lalu pindah ke Gelgel menurunan Pande Kamasan. [BPT]
360
Shastra Wangsa
yang bernama Ida Ketut Manuaba pindah dari Sibang, mengungsi ke Swanegara Jembrana
yang diiringkan oleh turunan Ki Pande Kamasan yang datang dari Panarukan. Ki Pande
mengungsi ke Desa Tista Kerambitan. [BPT]
Pande Kesah
Pande Kesah diperkirakan hidup antara tahun 1580-1660. Pande Kesah adalah anak dari
Pande Kamasan alias Ki Capung Mas. Sekitar tahun 1600 ia ikut dengan I Gusti Ngurah
Jlantik pergi dan tinggal di Blahbatuh. Kemudian pada tahun 1610 lagi pindah ke desa
Kamasan diminta oleh Dalem Bekung. Pande Kesah ini punya anak bernama Pande Darmi.
[PBP]
Pande Meranggi
Pande Meranggi adalah anak bungsu dari Kiyai Putih Dahi yang tinggal di Budaga.
Sedangkan Kiyai Putih Dahi bersaudara dengan Kiyai Tusan dan Kiyai Tatasan. Mereka
bertiga adalah anak dari Bang Lurah Kapandeyan Tusan. Bang Lurah Kapandeyan Tusan
adalah cucu dari Mpu Saguna di Jawa. [PBP]
Pande Resi
Pande Resi adalah sebutan untuk Arya Danu. Ia bersaudara dengan Arya Suradnya
(Pande Tusta) dan Ki Capung Mas (Pande Kamasan). Mereka bertiga adalah anak dari
Dyah Kancanawati. Sedangkan Dyah Kancanawati sendiri adalah anak dari Mpu
Brahmaraja yang tinggal di Madura bergelar Mpu Pandhya Bhumi Shakti. Jadi Pande resi
adalah cucu dari Mpu Pandhya Bhumi Shakti. [PBP]
361
Shastra Wangsa
Pande Sasana
Ki Pande Sasana adalah anak kelima dari Kiyai Tusan. Kiyai Tusan bersaudara dengan
Kiyai Putih Dahi di Budaga dan Kiyai Tatasan. Mereka bertiga adalah anak Bang Lurah
Kapandeyan Tusan. Sedangkan Bang Lurah Kapandeyan adalah cucunya Mpu Saguna adik
Mpu Gandring di Jawa. Menurut keterangan, Ki Pande tinggal dan meneruskan keturunan
dai Tamanbali, Bangli. [PBP]
Pande Tatasan
Pande Tatasan adalah anak dari Kiyai Tatasan. Sedangkan Kiyai Tatasan bersaudara
dengan Kiyai Tusan dan Kiyai Putih Dahi di Budaga. Mereka bertiga adalah anak dari
Bang Lurah Kapandeyan Tusan. Bang Lurah Kapandeyan Tusan adalah cucu dari Mpu
Saguna di Jawa. [PBP]
Pande Tista
Seorang Brahmana Kling yang bernama Danghyang Kanaka mengawini putri De
Bandesa serta melahirkan Pangeran Kayu Mas dan Pangeran Manokling. Diceritakan
Pangeran Kayu Mas setelah dewasa menjadi seorang pandai besi yang sangat terkenal di
Desa Kayu Mas. Kemudian Dang Hyang Kanaka kembali ke Jawa, sebelumnya beliau
sempat memberikan ajaran-ajaran tentang swadharma seorang pandai besi. Kakeknya
362
Shastra Wangsa
Pangeran Kayu Mas yang bernama De Bandesa Kaywan ketika meninggal dibuatkan
upacara dengan menggunakan bade bertingkat 5 dan patulangan (tempat jasad ketika
upacara Ngaben) berwujud seekor Gajah. Setelah selesai upacara kakeknya, Pangeran Mas
kawin dan mempunyai 3 orang putra bernama Sira De Kayu Mas, menjadi pandai di
Daerah Badung, dan putranya yang kedua tidak melaksanakan swadharma ayahnya tetap
tinggal di desa Kayu Mas. [BPT]
Pande Tonjok
Pande Tonjok adalah adik dari Pande PandeWana (Pande Sangging). Mereka berdua
adalah anak dari Pande Wulung atau Arya Pande Wulung yang bersaudara dengan Pande
Sadhaka. Pande Wulung dan Pande Sadhaka adalah anak dari Mpu Dwala yang tinggal di
Berathan, Baturiti. Selanjutnya Mpu Dwala adalah anak dari Mpu Gandring Shakti, cucu
dari Mpu Pandhya Bhumi Shakti. Jadi Pande Tonjok adalah cucu dari Mpu Dwala, dan
Mpu Dwala adalah cucu dari Mpu Pandhya Bhumi Shakti. [PBP]
Pande Tusan(1)
Pande Tusan adalah anak dari Mpu Tusan, cucu dari Mpu Shiwagandu. Sedangkan Mpu
Shiwagandu bersaudara dengan Mpu Galuh di Daha dan Mpu Lumbang. Mereka bertiga
ini adalah anak dari Mpu Shiwa Saguna alias Mpu Patihjaya, yang diperkirakan hidup
antara tahun tahun 1185-1255 Masehi [PBP]. Keterangan dari sumber berbeda, bahwa
363
Shastra Wangsa
Lurah Kapandeyan berasal dari Jawa. Kisahnya dimulai dari Sang Brahmawisesa, atau
Mpu Gni yang beranak 2 orang: Mpu Gandring dan Mpu Saguna, atau Mpu Patihjaya.
Mpu Saguna mempunyai anak bernama Ki Tusan. Ki Tusan inilah yang selanjutnya
menurunkan Pande Tusan. [RAK]
364
Shastra Wangsa
(membuat senjata, alat-alat dari besi) selalu memuja Sanghyang Bhagawan Agni dan
Bhagawan Wiswakarma serta Sanghyang Pasupati yang kesemuanya membantu dalam
pekerjaan me-pande. [BTUS]
Pande Tusta
Pande Tusta adalah sebutan untuk Arya Suradnya. Ia bersaudara dengan Arya Danu dan
Ki Capung Mas. Mereka bertiga adalah anak dari Dyah Kancanawati. Sedangkan Dyah
Kancanawati sendiri adalah anak dari Mpu Brahmaraja yang tinggal di Madura bergelar
Mpu Pandhya Bhumi Shakti. [PBP]
Pada saat pemerintahan Sri Aji Watur Enggong di Gelgel, dilaksanakan upacara Eka
Dasa Rudra di Besakih. Pada saat itu Ida Dalem menyuruh para juru, undagi, pandai besi
untuk membuat persiapan. Kemudian datanglah Pande Wulung ke Bali (Gelgel), dan
mereka inilah disuruh membuat perhiasan dari emas dan perak. Lama Pande Berathan di
Gelgel sambil menunggu Eka Dasa Rudra selesai [BPBR].
Pande Wulung adalah sebutan lain untuk Pande Sadhaka. Ia adalah anak dari Mpu Dwala
di Madura. Ketika Bali diperintah oleh raja Waturenggong, Pande Wulung sudah tinggal di
Candikuning, Berathan. Pande Sadhaka, atau Pande Wulung, juga dijuluki Mpu
Swarnangkara. Setelah wafat pada usia tua, salah satu keturunannya menjadi kepala desa
Berathan berjulukan I Gusti Pande Berathan. [PBP]
365
Shastra Wangsa
dibunuh dengan ajian pangempet bhuta itu. Selain ajian tersebut, raja Mengwi juga
diberikan ajian pangenduh ratu. [BMW-1]
Pangeran:rupa Ongkara
Banyak tokoh sejarah Bali diberikan gelar pangeran oleh raja atas jasa-jasanya. Selain
sebagai sebuah gelar, ternyata kata pangeran juga berarti Ongkara. Seperti berikut ini
dijelaskan oleh teks Sang Hyang Kreta Upanishad: “Pangeran namanya rupa dari Ongkara,
yaitu semata-mata bersinar samar-samar.”(Pangeran ngaran rupaning Ongkara, ngaran
kewala apadhang anarawang). [SKU]
366
Shastra Wangsa
Pangeran Mas (Ki Bandesa Mas dengan gelar Pangeran): pesan kepada keturunan
Pesan Pangeran Mas: “Kalau ada keturunanku Ki Bandesa Mas yang tidak menuruti apa
yang tersurat dalam prasasti ini, tidak ingat menyelenggarakan Pura Pule dan di Bhukcabe,
semoga seketurunanku Bandesa Mas tidak menemui kerahayuan, kurang kesenangannya,
pendek umur, salah tingkah, bingung, bertengkar dengan saudara. Ingatlah semua pesanku
367
Shastra Wangsa
Pangeran Sangupati
Pangeran Sangupati adalah sebutan untuk Dang Hyang Nirartha baik di Lombok maupun
di Sumbawa. Sebutan Pangeran Sangupati disebutkan dalam beberapa karya shastra
berbahasa campuran Jawa, Bali, dan Sasak. Menurut babadnya, entah berapa lamanya
Dang Hyang Nirartha berada di Sasak, kemudian melanjutkan perjalanan ke Sumbawa. Di
sana Dang Hyang Nirartha diberi nama Pangeran Sangupati, karena di sana Dang Hyang
Nirartha sempat menyembuhkan orang sakit yang sekarat. Selain itu ada karya Dang
Hyang Nirartha berjudul Kidung Sangupati, Suksmaning Sangupati, Sangupati Salukat.
Kepadanya kemudian dpersembahkan seorang puteri yang konon sangat cantik wajahnya
serta baik budinya oleh Raja Sumbawa. Persembahan itu diterima, kemudian diberikan
kepada cucu beliau yang bernama Ida Ketut Burwan, putera Ida Lor. [DT, DDN, BCB]
368
Shastra Wangsa
Pangrebing Bhuwana
Pangrebing Bhuwana adalah judul sebuah ajian yang masuk dalam klasifikasi kawisesan.
Menurut keterangan, ajian ini pernah diberikan kepada Cokorda Shakti Blambangan, raja
Mengwi, untuk mengalahkan murid-murid Ki Balian Batur. Yang memberikannya adalah
Dang Hyang Nirartha. Seluruh keluarga dan murid Balian Batur berhasil ditumpas, namun
Balian Batur sendiri tidak mempan dibunuh dengan ajian tersebut. [BMW-1]
Pangruwak Bhuwana
Akhirnya raja Sukawati, Dewa Ketut Anom, menyelidiki sendiri malam-malam berbekal
beberapa ajian kawisesan yang dikuasasinya. Berjumpalah ia dengan Ki Geder dan Ki
Seleseh. Ia memperkenalkan diri bernama I Suka. Terjadilah percakapan dari hati ke hati
antara mereka bertiga. Dengan ajian Pangruwak Bhuwana, Raja Sukawati berhasil
mengorek keterangan tentang ilmu-ilmu andalan Ki Geder dan Ki Seleseh. [Lihat,Ki
Geder&Ki Seleseh]
369
Shastra Wangsa
Panyarikan
Sekarang turunlah Sang Hyang Iswara serta Sang Jogormanik, Sang Citragopta, Sang
Dorakala. Di sana Sang Hyang Iswara sebagai Tetua Desa atau sebagai Guru Desa
namanya yang lain. Sang Jogormanik disuruh oleh Sang Hyang Iswara sebagai sekretaris
desa, terus sampai sekarang bernama Panyarikan. Sedangkan Sang Citragopta disuruh
menuliskan serta mewarna-warnai, menciptakan panca warna. Ia juga mengetahui
bagaimana mencapur-campur warna. Ia menjadi tempat bergurunya orang yang
pekerjaannya mewarna-warnai, seterusnya ia bernama Citrangkara. [PGS]
370
Shastra Wangsa
meninggal, digantikan oleh putranya Anglurah Jambe Aji. Setelah lama memerintah,
digantikan oleh Bhatara Mur di Jero Kuta. Di Pamecutan dipegang oleh Kiyai Macam
Gading dengan gelar Bhatara Mur di Klotok. Putri Ida Sang Prabu dipelihara oleh Ida
Ngenjung di Sanur. Diceriterakan Kiyai Anglurah Pamecutan mengambil istri dari
Gelogor, Mengwi dan dari Tangkeban. Istrinya dari Tangkeban menurunkan di Pamecutan.
Adik Kiyai Anglurah Pamecutan bernama Kiyai Agung Pambayun yang mendirikan puri di
Kesiman. Saudaranya yang istri diambil oleh Kiyai Anglurah Jambe di Alang Badung.
Putrinya seorang lagi kawin ke Taman-Bali diperistri oleh Pungakan dan Bancingah. Ada
lagi yang kawin ke Sanur. Putranya dari selir tak terhitung jumlahnya serta keturunannya
sampai 26 orang. Kiyai Anglurah Pamecutan di Mur Ukiran berputra selir sebanyak 8
orang. Kiyai Pamecutan yang ke-5, yang ibunya dari Bun mempunyai putra empat orang
yaitu Kiyai Agung Gede Raka dan Kiyai Agung Gede Rai. Kiyai Agung Gede Raka
memerintah di Pamecutan dengan gelar Kiyai Anglurah Pamecutan ke-6, Kiyai Agung
Lanang Pamecutan diajak ke Denpasar oleh Kiyai Made Pamecutan. Putra Kiyai Made
Pamecutan Denpasar bergelar Kiyai Anglurah Pamecutan ke-7. [BPKB]
371
Shastra Wangsa
Ngurah Mayun berputra Kiyai Agung Ngurah Kesiman dan seterusnya menurunkan
keturunan di Puri Kesiman. [BPKB]
Pasek Bandesa(1)
Sebuah lontar Babad Bandesa tersimpan di Fakultas Sastra Unud. Lontar itu dimulai
dengan pernyataan yang tegas:Yaning I Bandesa tan uninga ring kawitan, iki kawitanta, ne
nyantanayang kita [Apabila I Bandesa tidak mengetahui asal-usul, ini adalah asal-usulmu,
inilah yang menurunkan dirimu]. Siapakah I Bandesa itu?I Bandesa adalah anak dari I
Pasek Gelgel, cucu dari I Langon, kumpi dari Ki Semar, dan seterusnya sampai pada Mpu
Witadharma.Begitulah menurut silsilahnya. Namun silsilah hanyalah menjelaskan dari
mana seseorang berasal secara genealogis. Silsilah tidak cukup untuk menjelaskan kualitas
diri [guna] seseorang. Karena kualitas diri seseorang akan nampak dari apa yang menjadi
pilihannya dan apa yang kemudian dilakukannya. Barangkali untuk menjelaskan aspek
kualitas itulah, maka penulis Babad Bandesa yang tidak diketahui siapa orangnya,
selanjutnya menceritakan apa yang dilakukan oleh I Bandesa. Pada bagian awal, kisah
tentang I Bandesa masih ada dalam bayang-bayang ayahnya, yaitu I Pasek Gelgel. Namun
pada bagian berikutnya, tibalah saatnya Ki Bandesa pergi dari Gelgel. [BB]
372
Shastra Wangsa
banyak cabang, berdaun lebat, serta tumbuh di perempatan yang menyebabkan kedamaian
pada masyarakat.[BB]
Pasek Denpasar
Pasek Denpasar ditugaskan oleh Dalem ngamong pura di Basukih, dan termasuk
ngamong karya Ekadasa Rudra, karya Panca Balikrama, karya Pangodalan, bersama
dengan Pasek Tangkas. Sedangkan segala kebutuhan untuk padagingan di dalam karya
tersebut menjadi tanggung jawab dari Pasek Gelgel untuk menyediakannya. Untuk tugas
tersebut Pasek Denpasar diberikan pengayah sebanyak 300 orang oleh Dalem, termasuk
untuk merawat pelinggih-pelinggih yang ada. Sebagai imbalannya, Pasek Denpasar
diberikan hak memiliki sawah, seluas 100 ikat bibit. Dalem pun memberikan apa yang
disebut “kewibhawan” kepada Pasek Denpasar. Tidak dijelaskan berupa apa kewibhawaan
itu. [BPBN, PNPG]
373
Shastra Wangsa
Pasek Gaduh
Pasek Gaduh adalah anak kandung dari I Bandesa, cucu kandung dari I Pasek Gelgel.
Pasek Gaduh memiliki seorang saudara kandung, yaitu I Pasek Salain. Kedua orang Pasek
ini lahir ketika I Bandesa menetap di Tangguntiti, setelah sebelumnya sempat tinggal di
Mengwi sepeninggalnya dari desa Gelgel. Tanguntiti adalah sebuah desa di wilayah
Tabanan.Disebutkan bahwa Pasek Gaduh kemudian menjadipemangku, bertanggung jawab
atas gaduh-gaduh yang ada. Kepadanya diberikan 80 orang pembantu, dan sawah seluas 35
ikat bibit. I Pasek Gaduh memiliki seorang putra, bernama I Pasek Kabayan. Dari putra
tunggalnya ini, I Pasek Gaduh mendapatkan cucu yang bernama I Pasek Ngukuhin.[BB].
Tidak diketahui dengan siapa De Pasek Lurah Gaduh kawin. Menurut sumbernya ia
menurunkan: Pasek Gaduh di Abang, Pasek Gaduh di Pucangan, Bangli. Paseh Gaduh di
Blahbatuh, keturunannya menyebar di desa Tibubiyu, Baluk, Petak. Dari Tibubiyu
menyebar ke Kaba-kaba, Dalung, Abinabase Kapal, Banjar Sengguan Buduk, Sesetan. Dari
Baluk menyebar ke Dauhwaru, Antap, Senganan, Selingsing. Dari Petak menyebar ke
Banjarasem, Palapuna, Tejakula, Brengbeng, Tukad Aya. Pasek Gaduh di Watugiling.
Pasek Gaduh Meranggi, Kesiman, keturunannya menyebar di desa Kayubihi, Penyaringan,
Panarukan, Les. [SPSS, RAK, KPKS]
Pasek Gobleg
Pasek Gobleg adalah keturunan dari I Gusti Pasek Gelgel yang berasal dari Banjar
Pagatepan desa Gelgel, Klungkung. Ki Pasek Gobleg terkenal namanya karena ia berhasil
membujuk Dang Hyang Wiragasandhi, sehingga beliau sekeluarga membatalkan
rencananya kembali ke Jawa.Dang Hyang Wiragasandhi sekeluarga tinggal di desa Kayu
Putih. Dengan asistensi Pasek Gobleg sekeluarga, keturunan Dang Hyang Wiragasandi
berkembang di Bali Utara, ada yang menjadi bhagawanta kerajaan Buleleng, ada pula yang
menjadi Bagawanta Mengwi. [BBUL]
Pasek Kadangkan
Pasek Kadangkan mengambil Ni Ayu Mareka dan mempunyai putra bernama De Pasek
Gaduh, De Ngukuhin, De Kadangkan dan Ni Ayu Rudhani [BPSK]. Sedangkan menurut
keterangan dari sumber lain, Pasek Kadangkan menurunkan: Ki Pasek Dangka, Taro. Ki
Pasek Dangka, Panida, keturunannya berkembang di Sama, Bungbungan, Bantiran, Bona.
374
Shastra Wangsa
Dari Sama berkembang ke desa Metra, Rendang, Bujaga, Padang. Dari Bungbungan
berkembang ke desa Jungut, Nylain, Umbalan, Tohpati. Dari Bantiran berkembang ke desa
Tegal, Penatahan, Bangli, Candikuning. Ada pula Ki Pasek Dangka, Bangbang, Ki Pasek
Dangka, Banjarangkan, Ki Pasek Dangka, Selisihan, menurunkan Pasek Dangka Siladan
[SPSS].
375
Shastra Wangsa
Pasek Kebayan
Ada dua keterangan berbeda tentang asal-usul Pasek Kebayan. Sumber pertama
menjelaskan bahwa Pasek Kebayan adalah keturunan dari I Gusti Langon. Sebagai anak
dari I Gusti Langon, Pasek Kebayan bersaudara dengan Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek
Denpasar, Ki Pasek Tangkas, Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Nongan, dan Ki Pasek Prateka
serta Ki Pasek Kebayan [BPBN]. Sumber kedua menjelaskan bahwa I Pasek Gelgel di
Suweca-Linggarsa Pura menurunkan I Mandesa. I Mandesamenurunkan I Pasek Gaduh. I
Pasek Gaduh menurunkan I Ngukuhin, dan I Ngukuhin menurunkan I Kabayan.Keturunan
I Kabayan yang disebutkan terakhir itulah yang disebut Pasek Kebayan. [KPKS]
Pasek Kubakal
Banyak sumber tertulis menerangkan asal-usul De Pasek Lurah Kubakal atau umumnya
disebut Pasek Kubakal. Seperti berikut ini antara lain. Menurut berbagai sumber, Pasek
Prateka menurunkan Pasek Kubakal. Selanjutnya Pasek Kubakal menurunkan Pasek
Pesaban, Pasek Rendang, Pasek Prateka Akah [BPSK]. Sang Prateka adalah anak dari Mpu
Pratekayajna, cucu dari Mpu Prateka [lihat, Mpu Pratekayajna, Mpu Prateka]. Sang
Prateka kawin dengan Ni Ayu Wirarunting mempunyai anak De Pasek Lurah Kubakal.
Sumber lain menerangkan, Sang Prateka kawin dengan Ni Swaranika melahirkan De Pasek
376
Shastra Wangsa
Pasek Kubayan
De Pasek Lurah Kubayan menurunkan dua orang anak, masing-masing De Pasek
Kubayan, yang kemudian tinggal di Penebel. Adiknya juga disebut Pasek Kubayan
kemudian tinggal di Wangayagede. Putra Ki Pasek Kubhayan ada di Batur, Tabanan,
Baturiti, Pajaten, di Kerambitan, Antasari, dan Sanda. Dan yang di Tabanan menurunkan di
Gobleg [BPBN]. De Pasek Lurah Kubayan adalah anak dari Mpu Wiraragarunting, atau
cucu dari Mpu Wirarunting [Lihat, Mpu Wirarunting]. Menurut silsilahnya, De Pasek
Lurah Kubayan bersaudara dengan De Pasek Lurah Salahin. De Lurah Pasek Kubayan
memiliki dua orang anak: Ki Pasek Kubayan di Wangaya dan Ki Pasek Kubayan di
Penebel. Kedua keturunannya inilah yang kemudian menyebarkan keturunannya. Ki Pasek
Kubayan di Penebel menurunkan Pasek Kubayan di Biaung. Sedangkan Ki Pasek Kubayan
di Wangaya menurunkan Pasek Kubayan antara lain di: Angantaka, Banjar Lebah
Bongan,Banjar Tunjuk, Buahan,Banjar Lebah Wanasari,Sandan,Banjar Tengah
Kerambitan,Banjar Delod Peken, Busungbiyu,Tegaljaya, Gaji,Tambaksari,
Kapal,Gambang, Mengwi,Tangeb,Slingsing,Banjar Bendul, Wangaya,Kepisah,
Pedungan,Banjar Dangin Peken Pedungan,Banjar Gede Kerobokan,Banjar Kangin,
Beraban,Tegal, Kuta,Banjar Sedan, Munggu. [SPSS]
Pasek Nambangan
Dang Hyang Nirartha melihat seorang nelayan bernama Pasek Nambangan. Beliau
bersabda kepadanya: “Engkau Bandega akan saya utus menyampaikan kepada puteraku
Mpu Mas yang berada di desa Mas, katakanlah saya menaruh Pustaka Mareka di sini, yang
memuat masalah kerahasiaan.” Menyembahlah si nelayan, katanya: “Hamba akan
melaksanakan, wahai jungjungan Hamba. Berjalanlah si nelayan. Setelah itu hilanglah
Sang Pendeta (muksah). Si Nelayan tidak melihat Sang Pendeta lagi, namun ia melihat
sinar berbinar-binar di angkasa. Setelah sampai di desa Mas, Pasek Nambangan
menyampaikan isi pesan itu kepada Mpu Mas. Pasek Nambanganpun mengiringi Mpu Mas
pergi ke Huluwatu. Setelah mendapatkan Pustaka Mareka, Mpu Mas alias Mpu Kidul
meninggalkan Huluwatu diiringi oleh para pengiring dan Ki Pasek Nambangan. Tidak
377
Shastra Wangsa
diceritakan perihalnya di jalan, kini mereka telah tiba di desa Mas.Ki Pasek Bandega
sekeluarga menjadi abdinya. [DT]
Pasek Ngis
Batas-batas daerah Ki Pasek Ngis yaitu di sebelah barat berbatasan dengan Gunung
Umbalan, di sebelah timur berbatasan dengan belokan sungai. Tugas dari Pasek Ngis
termasuk pemeliharaan babi dan mengurus pertanian. Apabila I Pasek mendirikan
bangunan, adalah tugas I Pasek Ngis mengerjakan kayu-kayunya. Seperti itu dijelaskan
tentang kewenangan dan kewajiban Pasek Ngis. [BPKPG]
Pasek Ngukuhin
De Pasek Lurah Ngukuhin adalah anak kedua yang lahir dari perkawinan Sang
Wiradangka dengan Kamareka. Sang Wiradangka adalah anak dari Mpu Wiradangka, atau
cucu dari Mpu Dangka. Mpu Dangka adalah bungsu dari tujuh anak Mpu Gnijaya. Seperti
itu silsilah De Pasek Lurah Ngukuhin. Selanjutnya tidak diketahui dengan siapa De Pasek
Lurah Ngukuhin kawin. Menurut sumbernya ia menurunkan: Ki Pasek Ngukuhin, Nyalian,
Ki Pasek Ngukuhin, Kuramas (keturunannya menyebar di desa Sakah, Sukawati, Peraupan,
Singin, Brengbeng, Baluk). [KPKS]
Pasek Nongan
Pasek Nongan ditugaskan sebagai pelaksana perintah apabila Dalem mengadakan
pembicaraan urusan Negara di luar desa. Tugas Pasek Nongan juga melaksanakan
pengiriman surat-surat perintah dari Dalem. untuk kelancaran tugas ini, Pasek Nongan
diberikan 200 orang pembantu, dan imbalan berupa sawah seluas 100 ikat bibit. Dalem pun
memberikan apa yang disebut “kewibhawan” kepada Pasek Nongan, termasuk kepada
kelima saudaranya, yaitu Pasek Gelgel, Pasek Denpasar, Pasek Tangkas, Pasek Tohjiwa,
Pasek Prateka. Tidak dijelaskan berupa apa kewibhawaan itu.[BPBn, PNPG, RAK]
378
Shastra Wangsa
masing-masing. Banyak nasehat pengarahan dari Dalem Ketut kepada Ki Pasek baik
tentang pemerintahan, upakara Yajnya, maupun tentang sesajen-sesajen yang dihaturkan
pada parhyangan-parhyangan. Tidak lupa juga diberikan pedoman-pedoman ke-pemangku-
an.Pasek Padang Subrata bergelar Dukuh Sidawa. [BPJK]
Pasek Penebel
Anak dari Pasek Salahin di Tohjiwa bernama Pasek Kubayan. Pasek Kubayan ini
menyebar ke desa-desa. Yang tinggal di desa Wangaya menjadiPasek Wangaya Yang
tinggal di Penebel menjadi Pasek Penebel. Jadi, Pasek Penebel adala Pasek Kubayan,
keturunan dari Pasek Salahin. Pasek Salahin dan Pasek Kubayan mendapat tugas dari
Dalem untuk mengurus Baleagung.[SPSS]
Pasek Prateka
Pasek Prateka sesuai dengan julukannya bertugas menjadi pelaksana upacara pitra
yadnya. Tugas itu diberikan karena Pasek Prateka ini dipandang cakap dalam bidang
upacara pitra. Untuk tugas kepanitiaan ini, Pasek Preteka diberi pembantu sebanyak 90
orang. Sebagai imbalannya, Pasek Prateka berhak memiliki sawah seluas 80 ikat bibit.
Dalem pun memberikan apa yang disebut “kewibhawan” kepada Pasek Prateka, termasuk
kepada kelima saudaranya, yaitu Pasek Gelgel, Pasek Denpasar, Pasek Tangkas, Pasek
Tohjiwa, Pasek Nongan. Tidak dijelaskan berupa apa kewibhawaan itu.Pasek Prateka
bertugas menyelenggarakan segala pekerjaan Dalem. [SPSS]
Pasek Sadri
Ki Pasek Sadri adalah anak Kiyai Agung Pasek Padang Subadra dari perkawinannya
dengan seorang perempuan asal desa Prasi bernama Ni Luh Pasek. Menurut silsilahnya Ki
Pasek Sadri adalah cucu dari Kiyai Gusti Agung Subadra. Sedangkan Kiyai Gusti Agung
379
Shastra Wangsa
Subadra adalah cucu dari Mpu Pamacekan [lihat, Mpu Pamaccekan]. Ki Pasek Sadri
menurunkan empat orang anak, dua laki dan dua perempuan. Dari keempat anak itu, salah
satunya mengembangkan banyak penerus, namanya Ki Pasek Sadra, alias Dukuh Pahang.
[SPSS]
Pasek Salahin
Pasek Salain adalah anak kandung dari I Bandesa, cucu kandung dari I Pasek Gelgel.
Pasek Salain memiliki seorang saudara kandung, yaitu I Pasek Gaduh. Kedua orang Pasek
ini lahir ketika I Bandesa menetap di Tangguntiti, setelah sebelumnya sempat tinggal di
Mengwi sepninggalnya dari desa Gelgel. Tanguntiti adalah sebuah desa di wilayah
Tabanan.I Pasek Salain kemudian diserahkan kepada Dalem oleh ayahnya. Tidak diketahui
apa tugas I Pasek Salain, setelah diserahkan kepada Dalem. Menurut keterangan babad, I
Pasek Salain diberikan 80 orang pembantu, dan diberikan imbalan sawah seluas 35 ikat
bibit.Dan Arya Tutuwan kawin dengan anak dari Arya Pamacekan melahirkan De Pasek
Tutuan, De Lurah Pasek Kubayan dan De Pasek Salahin[BUB]. De Pasek Lurah Slahin
adalah anak dari Mpu Wiraragarunting, atau cucu dari Mpu Wirarunting [lihat, Mpu
Wirarunting]. Menurut silsilahnya, De Pasek Lurah Salahin memiliki tiga orang anak: Ki
Pasek Salahin, di Tojan, Ki Bandesa Simpar, Ki Pasek Kubayan, di Bitra, Ki Pasek
Salahin, di Tojan. [SPSS]
380
Shastra Wangsa
Pasek Tangkas
Pasek Tangkas ditugaskan oleh Dalem ngamong Pura Besakih, termasuk ngamong karya
Ekadasa Rudra, karya Panca Balikrama, dan karya pangodalan. Tugas ini diemban oleh
Pasek Tangkas bersama-sama dengan Pasek Denpasar. Sedangkan segala kebutuhan
upacara tersebut adalah tugas dari Pasek Gelgel untuk menyediakannya. Untuk
pelaksanaan tugasnya, Pasek Tangkas diberikan pembantu sebanyak 300 orang oleh
Dalem. Tugas pengayah ini termasuk untuk kebersihan pura dan merawat pelinggih-
pelinggih yang ada. Sebagai imbalannya, Pasek Tangkas diberikan hak memiliki sawah
seluas 100 ikat bibit. Dalem pun memberikan gelar pangeran kepada Pasek Tangkas.
[PNPG]
Pasek Tulamben
I Gusti Ngurah Mantu wafat Isaka 1680 (1768 M) dalam pertempuran antara Karangasem
dengan Sibetan. Pada saat saat gawat itu I Pasek Tulamben dengan keturunannya
mengungsi ke desa-desa ke sebelah Barat. Akhirnya tiba di Sidemen menghambakan diri
kepada Ida I Dewa Gde Dangin Jambe ditempatkan di desa Sanggem. Diingatkan agar
tetap mengadakan hubungan dengan I Pasek Wayahan Sibetan di Sibetan.Ki Pasek Subrata
(yang bungsu) dengan tujuh orang pengikutnya dari Sanggem pindah ke Gianyar
menghambakan diri kepada Pedanda Sakti Sidawa di Sidawa Gianyar, kemudian bernama
Jro Dukuh Sidawa. Dari Sidawa pindah ke Gelgel menghamba pada Gusti Agung.
Kemudian diminta oleh I Dewa Manggis agar menghamba kepada beliau. Di Gianyar Ki
381
Shastra Wangsa
Pasek Subrata mempunyai anak bernama: Ki Pasek Cedok, Pasek Canting, Pasek Dangin,
Pasek Tukad. I Pasek Cedok kemudian menjadi Patih Raja Gianyar yang terkenal
kelihaiannya. [DTS]
Pasek Tutuwan
Sirarya Buru berputra Pangeran Timbul. Pangeran Timbul menurunkan Ni Gunaraksa. Ni
Gunaraksa diambil oleh Ki Pasek Tutuwan [BPSK]. Dan Arya Tutuwan kawin dengan
anak dari Arya Pamacekan melahirkan De Pasek Tutuan, De Lurah Pasek Kubayan dan De
Pasek Salahin[BUB]. De Pasek Lurah Tutwan adalah anak dari Mpu Wiraragarunting, atau
cucu dari Mpu Wirarunting [lihat, Mpu Wirarunting]. De Pasek Lurah Tutwan bersaudara
dengan De Pasek Lurah Salahin dan De Pasek Lurah Kubayan. Menurut silsilahnya, De
Pasek lurah tutwan kawin dengan seorang perempuan bernama Gunaraksa, anak dari Sira
Buru (Arya Timbul). Dari perkawinan inilah kemudian diturunkan: Made Tutwan, di
Banjar Carucut, Pasek Tutwan di Putung Duda, Pasek Tutwan di Gegalang, Pasek Tutwan
di Padang, Pasek Tutwan di Braban, Pasek Tutwan di Banjar Pande Kediri, Pasek Tutwan
di Banjar Panti Kediri. [SPSS]
Pasek Wayabhya
Ki Pasek Wayabhya bertempat tinggal di sekitar Besakih. Menurut babadnya, Ki Pasek
Wayabhya adalah pengiring setia dari Manik Angkeran yang telah didiksa oleh Dang
Hyang Siddhimantra menjadi seorang pendeta dengan gelar Dang Hyang Bang Manik
Angkeran. Dari Manik Angkeran Ki Pasek Wayabhya mempelajari shastra tentang hidup
dan mati. Itulah sebabnya saking bhaktinya, Ki Pasek Wayabhya mempersembahkan
puterinya bernama Ni Luh Murdani. Selanjutnya putri Ki Pasek Wayabhya ini turut
menjadi seorang wikuni, atau pendeta perempuan. [BMA]
382
Shastra Wangsa
Pashupati Rancana
Diceriterakan keturunan I Gede Manik Mas, bertempat di Jembrana di Banjar Wani
Tegeh yang asalnya dari Majapahit. Adalah keturunannya yang berada di Pujungan
bernama I Gede Tobya. Ada juga di Beratan yang bernama I Gede Jagra. Senanglah hati
Ida Ayu Swabawa, yang berstana di Pulaki dipuja oleh orang Sumedang. Yang ada di
Pujungan dan Beratan dengan tekun mempelajari ajaran Canting Mas, Siwer Mas seperti
Weda Sulambang Gni, Pasupati Rancana. Inilah yang diterapkan oleh I Gede Bandesa
Mas. Bila mana ada keturunan Ki Bandesa Mas, pandai dengan ajaran agar diimbangi
dengan perbuatan. [BPBN]
383
Shastra Wangsa
Pastu: kutukan
Pastu adalah kutukan. Pastu ternyata menjadi salah satu cara leluhur menyampaikan
pesan kepada keturunannya. Bagi yang melanggar akan mendapatkan kutukan (yang
menurut dapat pahala). Dengan cara ini pada umumnya pesan-pesan leluhur disampaikan
dalam pustaka babad, pamancangah, prasasti, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya. Dalam
kasus ini, kutukan adalah suara dari atas. maksudnya, ancaman kutukan disampaikan oleh
orang yang memiliki otoritas terhadap “bawahan”.Kutukan juga sering terjadi dalam
berbagai penutup sebuah peristiwa yang tidak dibenarkan secara moral. Dalam babad
wangsa sering terjadi kutukan yang diucapkan oleh orang yang sudah tidak berdaya.
Misalnya dalam kasus pembunuhan, sebelum korban menghembuskan nafas terakhir
keluarkan kutukan dari mulutnya. Dalam konteks ini, kutukan adalah suara yang datang
dari bawah. Baik kutukan dari bawah maupun kutukan dari atas, keduanya mengatas-
namakan moral kebenaran. Pengutuk adalah yang benar. Yang dikutuk adalah yang salah.
Ada beberapa hal yang terkait satu sama lainnya dalam studi Shastra dan Wangsa ini.
Beberapa hal tersebut adalah: pusaka, pembunuhan, dan kutukan. [dari berbagai sumber]
Pasung Giri
Pasung Giri adalah anaknya Pasung Grigis. Kisah Pasung Giri tidak jauh berbeda dengan
kisah hidup ayahnya. Seperi berikut ini babad menuturkan. Ki Pasung Grigis menjabat
sebagai patih ketika Gajah Waktra menjadi raja Bali. Patih Ki Pasung Grigis dan
keluarganya bertempat tinggal di desa Tengkulak. Ketika Bali diserang oleh Gajah Mada
dan para perwira Arya pengiringnya, Ki Pasung Grigis adalah salah satu dari inti kekuatan
Bali. Namun setelah kalahnya Kebo Iwa dan Kebo Taruna, Ki Pasung Grigis pun akhirnya
ditawan oleh pasukan Gajah Mada. Anak Ki Pasung Grigis yang bernama Ki Pasung Giri
diangkat menjadi menteri kerajaan dengan gelar Arya. Pengangkatan itu terjadi setelah
384
Shastra Wangsa
ayahnya konon “membelot” ke pasukan Majapahit setelah raja Gajahwaktra gugur bersama
dengan putranya. Pasung Grigis dikirim berperang ke Sumbawa. Di sana ia dikabarkan
tewas. [BN, RAK]
Pasung Grigris
Ki Pasung Grigis menjabat sebagai patih ketika Gajah Waktra menjadi raja Bali. Patih Ki
pasung Grigis dan keluarganya bertempat tinggal di desa Tengkulak. Ketiga Bali diserang
oleh Gajah Mada dan para perwira arya pengiringnya, Ki Pasung Grigis adalah salah satu
inti kekuatan Bali. Namun setelah kalahnya Kebo Iwa dan Kebo Taruna, Ki Pasung Grigis
pun akhirnya ditawan oleh pasukan Gajah Mada. Anak Ki Pasung Grigis yang bernama Ki
Pasung Giri diangkat menjadi menteri kerajaan dengan gelar Arya. Pengangkatan itu
terjadi setelah ayahnya “membelot” ke pasukan Majapahit setelah raja Bali kalah dan
gugur bersama dengan putranya. Pasung Grigis dikirim berperang ke Sumbawa. Di sana ia
tewas. Keterangan lain menyebutkan anak Pasung Grigis bernama Karangbuncing. [BN,
RAK]
Patandakan
Patandakan adalah nama putra sulung Kiyai Nyuhaya, yaitu Kiyai Agung Patandakan. Ia
adalah cucu dari Arya Kapakisan, patih agung raja Dalem Shri Aji Kresna Kapakisan.Kiyai
Agung Patandakan memiliki empat orang putra, yaitu I Gusti Batan Jeruk, I Gusti
Bebengan, I Gusti Tusan, dan I Gusti Gunung Nangka. Putra sulung bernama I Gusti Batan
jeruk tidak memiliki keturunan. Ia mengadopsi keponakannya, bernama I Gusti Oka, yaitu
putra dari adiknya yang bernama I Gusti Bebengan. Dari anak angkat ini ia mendapatkan
enam orang cucu, salah satu di antaranya bernama I Gusti Nyoman Karang, yang kemudian
memiliki seorang putra bernama I Gusti Anglurah Ketut Karang. Nama yang disebut
terakhir ini memiliki empat orang keturunan, yaitu I Gusti Anglurah Wayahan
Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, I Gusti Ayu Rai Inten [menurunkan
Bhatara Alit Shakti], dan I Gusti Anglurah Ketut Karangasem.Begitulah sub-wangsa
Patandakan. Anak I Gusti Bebengan yang diadopsi I Gusti Batan Jeruk, yaitu I Gusti Oka
itulah yang menunrunkan raja-raja Karangasem, dan sekaligus raja-raja Bali yang berkuasa
di Lombok. [BN]
385
Shastra Wangsa
Patih Wulung
Siapakah Patih Wulung? Ia adalah anak dari Mpu Lampita dari perkawinannya dengan
seorang perempuan bernama Ni Ayu Subrata. Ketika di Bali bertahta raja Gajahwaktra,
alias Tapa Wulung, 1337M, Patih Wulung bekerja sebagai salah seorang Mantri atau
Patih. Karena itulah ia dijuluki Patih Wulung. Setelah pensiun dari jabatan sebagai patih,
Patih Wulung kemudian me-diksa dan bernama Mpu Jiwaksara. Jauh sebelum menjadi
Mpu ia mengawini seorang perempuan bernama Ni Prateka melahirkan Ki Semar.Ki
Semar kawin dengan Ni Wredhani melahirkan Ki Langon. Ki Langon beranak laki-laki
enam orang, yaitu: Ki Pasek Gelgel, Ki Denpasar, Ki Pangeran Tangkas. Dari istrinya yang
lain Ki Langon mendapatkan anak Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Nongan, Ki Pasek Prateka
[PNPG]. Ada keterangan lain, bahwa Patih Wulung kawin dengan Ni Swarareka
melahirkan dua anak laki-laki yaitu I Gusti Smaranatha (Semar?) dan adiknya Ki Bandesa
Manik. Selanjutnya I Gusti Smaranatha kawin dengan Ni Rudani melahirkan Ki Gusti Rare
Angon (Langon?). Ki Gusti Rare Angon kawin dengan NI Luh Made Manikan melahirkan
Kiyai Pasek Gelgel. [RAK, SPSS]
Patni Keniten
Adik Sri Aji Juru raja Blambangan bernama Patni Keniten. Sungguh sangat cantik
wajahnya serta tinggi budhinya, ia yang bagaikan obat keindahannya, keturunan Dalem
yang sekaligus juga keturunan brahmana. Ketika itu berkatalah isteri beliau yang bernama
Sang Istri Patni Keniten, karena beliau tidak kuat lagi berjalan. Sabda Sang Pendeta:
“Adindaku, di sinilah engkau bertempat tinggal di desa Melanting, karena puterimu Ida
Ayu Swabhawa telah menjadi sungsungannya orang-orang Melanting, sekarang Kakanda
akan menggaibkan orang-orang Melanting”. Orang-orang Melanting segera dipanggil,
jumlahnya kurang lebih 8.000 orang, disuruh menjaga puteri dan isterinya. Didoakanlah
orang-orang di sana supaya tidak kekurangan emas permata, serta makanan dan minuman,
serta orang lain tidak dapat melihat orang-orang di sana. Semuanya tidak menolak. Lalu
dilenyapkanlah desa itu oleh Dang Hyang Nirartha. Itulah sebabnya tidak terlihat desa itu
sampai sekarang. Dengarlah lagi oleh setiap pembaca, oleh karena itu janganlah orang-
orang sembarangan berkata-kata tentang Dalem Melanting. Awal mula daerah itu bernama
Pohlaki, kemudian Dang Hyang Nirartha menggaibkannya, oleh karena itu terlihat seperti
hutan oleh semua orang sampai sekarang. Demikianlah ceritanya! [DT]
386
Shastra Wangsa
Pelangan
Sub-wangsa Pelangan ada keturunan dari Kiyai Pelangan. Sedangkan Kiyai Pelangan
adalah anak ketiga dari Kiyai Agung Nyuhaya, atau cucu dari Arya Kapakisan, patih agung
raja Dalem Kresna Kapakisan. Bermula dari tiga orang putra Kiyai Pelangan, akhirnya
berkembanglah keturunannya seperti cabang dan ranting pohon yang rindang. Keiga anak
KiyaiPelangan itu adalah I Gusti Ngurah Peladung, I Gusti Ngurah Tambega, I Gusti
Purasi. Sampai pada turunan ke sepuluh mulailah nama I Gusti itu berubah menjadi I
Wayan, I Made, I Nyoman, I Ketut, I Putu, I Nengah. Seperti itulah yang kemudian
menjadi sub-wangsa Pelangan. [BN]
Perahu Bocor(1)
Adapun istri Dang Hyang Nirartha menaiki perahu bocor yang disumbat oleh daunlabu
pahit, disertai oleh semua putra-putri beliau, berlayar dengan baiknya ditempuh oleh angin
semilir. Akhirnya mereka turun di Purancak. [DT]
Perahu Bocor(2)
Ada dua fragmen perahu bocor dalam Dwijendra Tattwa. Pertama, ketika Dang Hyang
Nirartha menyeberang dari Blambangan ke Bali. Anak istrinya menaiki sebuah perahu
bocor yang disumbat dengan daunwaluh pahit. Kedua, ketika Dang Hyang Nirartha
berjalan menuju bukit Pecatu, di sebelah selatan daerah Badung. Keinginan beliau hendak
pergi ke Majapahit lebih dahulu, dan kemudian kembali ke Shiwaloka melalui Gunung
Sumeru. Demikian kehendak Sang Pendeta. Tidak lama kemudian tibalah beliau di ujung
bukit Pecatu sebelah barat yang menjorok ke laut. Dari sana beliau melihat perahu bocor
yang tidak dapat berlayar, tersandung karang di ujung bukit barat, di tepi samudera di
bawah. Sang Pendeta berpikir sejenak, perahu bocor ini tidak dapat berlayar. Beliau
memastunya: “Engkau bidak bertumpang tiga, semoga engkau menjadi meru tumpang tiga,
sebagai pemujaan semua orang”.[DT].
Perahu sering dipergunakan sebagai metafora tubuh manusia. Perahu-tubuh inilah yang
akan menyeberangkan atma dari satu tepi laut kehidupan menuju tepi yang lain, Bocor
adalah penanda adanya banyak lubang di dalam tubuh. Dengan demikian, perahu bocor
adalah metafora untuk tubuh manusia yang secara biologis berisi banyak lubang. Tentang
387
Shastra Wangsa
daun waluh pahit yang dipergunakan menyumbat lubang-lubang perahu, tafsirnya tidak
berbeda dengan tafsir waluh. [Lihat, Waluh Pahit]
Peristiwa di Tuban
Berangkatlah Sang Pendeta menuju selatan. Tibalah beliau di Tuban di sebelah selatan
daerah Badung. Sang Pendeta disambut oleh para nelayan di Tuban. Semuanya sama-sama
menghaturkan sesajian penghormatan kepada Sang Pendeta. Setelah besantap, sisa ikan
yang beliau santap lalu dimantrai dan dibuang kembali ke laut. Ikan-ikan itu hidup
kembali. Lalu dinamai ikan Tampak karena badannya hanya saparuh. Kalau ada orang
melakukan upacara suci, patut ikan Tampak itu dipakai sebagai ikan suci. Dan ada lagi
ajaran yang diberikan kepada oleh Sang Pendeta kepada masyarakat Tuban. Mereka
disuruh membuat bubu yang tanpa umpan, namun akan menyebabkan banyak
mendapatkan ikan [DT]. Apa maksud peristiwa sisa ikan yang telah disantap bisa
dihidupkan kembali?
388
Shastra Wangsa
Bedahulu. Setelah raja Bedahulu kalah, dan Ida Dalem Ketut Kresna Kapakisan menjadi
raja Bali, berkedudukan di Samprangan, maka Kiyai Agung Pinatih Mantra mendapatkan
kedudukan di Kertalangu, Badung, menguasai kawasan Pinatih [Penatih], dengan bala
sebanyak 35.000 orang yang dibawanya dari Jawa. Setelah wafat ia kemudian digantikan
oleh putranya Kiyai Anglurah Agung Pinatih Kertha, yang memiliki seorang putra dari istri
pertamanya, bernama Anglurah Pinatih Resi. [BMA]
Prabali Ambyok
Siapakah Prabali Ambyok? Prabali Ambyok menurut tattwanya tercipta dari yoga
Bhatara Brahma. Ketika itu Bhatara Brahma melakukan yoga untuk menciptakan manusia
sebagai penghuni pulau Bali yang masih kosong. Prabali Ambyok muncul dari bahu kiri
Bhatara Brahma. [TCB]
Prabali Babandem
Siapaka Prabali Babandem? Prabali Babandem menurut tattwanya tercipta dari yoga
Bhatara Brahma. Ketika itu Bhatara Brahma melakukan yoga untuk menciptakan manusia
sebagai penghuni pulau Bali yang masih kosong. Prabali Babandem muncul dari bahu
kanan Bhatara Brahma. [TCB]
Prabali Bandesa
Siapakah Prabali Bandesa? Prabali Bandesa menurut tattwanya tercipta dari yoga Bhatara
Iswara. Ketika itu Bhatara Iswara melakukan yoga untuk menciptakan manusia sebagai
penghuni pulau Bali yang masih kosong.Prabali bandesa muncul dari tubuh Bhatara
Iswara. [TCB]
Prabali Dangka
Siapaka Prabali Dangka? Prabali Dangka menurut tattwanya tercipta dari yoga Bhatara
Mahadewa. Ketika itu Bhatara Mahadewa melakukan yoga untuk menciptakan manusia
sebagai penghuni pulau Bali yang masih kosong.Prabali Dangka muncul dari badan
Bhatara Mahadewa. [TCB]
Prabali Gaduh
Siapakah Prabali Gaduh? Prabali Gaduh menurut tattwanya tercipta dari yoga Bhatara
Indra. Ketika itu Bhatara Indra melakukan yoga untuk menciptakan manusia sebagai
389
Shastra Wangsa
penghuni pulau Bali yang masih kosong.Prabali Gaduh muncul dari badan Bhatara Indra.
[TCB]
Prabali Jlantik
Siapakah Prabali Jlantik? Prabali Jlantik menurut tattwanya tercipta dari yoga Bhatara
Indra. Ketika itu Bhatara Indra melakukan yoga untuk menciptakan manusia sebagai
penghuni pulau Bali yang masih kosong. Ketika beryoga Bhatara Indra membawa bunga
dua tangkai. Munculah dua bidadari, diiringi oleh manusia dua orang. Pengiring yang satu
terpental jauh, menjadi Prabali Jlantik. [TCB]
Prabali Kebayan
Siapakah Prabali Kebayan? Prabali Kebayan menurut tattwanya tercipta dari yoga
Bhatara Wisnu. Ketika itu Bhatara Wisnu melakukan yoga untuk menciptakan manusia
sebagai penghuni pulau Bali yang masih kosong. Prabali Kebayan muncul dari badan
Bhatara Wisnu. [TCB]
Prabali Ngukuhin
Siapakah Prabali Ngukuhin? Prabali Ngukuhin menurut tattwanya tercipta dari yoga
Bhatara Sangkara. Ketika itu Bhatara Sangkara melakukan yoga untuk menciptakan
manusia sebagai penghuni pulau Bali yang masih kosong. Prabali Ngukuhin muncul dari
badan Bhatara Sangkara. [TCB]
Prabali Pasek
Siapakah Prabali Pasek? Prabali Pasek menurut tattwanya tercipta dari yoga Bhatara
Mahesora. Ketika itu Bhatara Mahesora melakukan yoga untuk menciptakan manusia
sebagai penghuni pulau Bali yang masih kosong. Prabali Pasek muncul dari badan Bhatara
Mahesora. [TCB]
Prabali Pulasari
Siapakah Prabali Pulasari? Prabali Pulasari menurut tattwanya tercipta dari yoga Bhatara
Indra. Ketika itu Bhatara Indra melakukan yoga untuk menciptakan manusia sebagai
penghuni pulau Bali yang masih kosong.Ketika beryoga Bhatara Indra membawa bunga
dua tangkai. Munculah dua bidadari, diiringi oleh manusia dua orang. Pengiring yang
satutertidur pulas, yang pulas itu menjadi manusia “prabali” disebut I Pulasari. [TCB]
390
Shastra Wangsa
Prabali Tangkas
Siapakah Prabali Tangkas? Prabali Tangkas menurut tattwanya tercipta dari yoga Bhatara
Sambu. Ketika itu Bhatara Sambu melakukan yoga untuk menciptakan manusia sebagai
penghuni pulau Bali yang masih kosong. Prabali Tangkas muncul dari badan Bhatara
Sambu. [TCB]
391
Shastra Wangsa
Kemudian beliau Dalem Taruk pun meninggal. Berita tentang meninggal dan upacara
atiwa-tiwa Dalem Taruk di desa Pulesari telah sampai kepada Dalem Ketut di
Gelgel.Dalem Ketut mengirim utusan untuk memanggil putra-putra Dalem Taruk agar
menghadap ke Gelgel. [BPUL]
Pungakan Kedisan
I Dewa Kaler adalah salah satu anak dari I Dewa Gede Tangkeban, atau I Dewa
Tamanbali. Menurut keterangan babadnya, I Dewa Kaler melakukan hubungan senggama
dengan salah satu ibu tirinya (ayahnya memiliki banyak istri). I Dewa Gede Tangkeban
yang diberitahu perihal aib itu, hendak membunuh I Dewa Kaler. Namun karena
keadaannya sudah tua dan sakit ia merasa tidak mampu melakukan niat membunuh itu. Ia
mengirim utusan menghadap Dalem di Gelgel mohon agar membunuh I Dewa Kaler. Tapi
Dalem tidak setuju hukuman mati. Dalem menyarankan akan derajat kewangsaannya
diturunkan. Keputusan Dalem benar dilaksanakan. Maka status kewangsaan I Dewa Kaler
kemudian disebut Pungakan. Karena dalam perjalanan untuk mengasingkan I Dewa Kaler
rombongan disambar burung gagak, maka disebut Pungakan Kedisan. [BKTB]
Pungakan Prasanghyang
Siapakah Pungakan Prasangyang? Pungakan Prasanghyang menurut tattwanya tercipta
dari yoga Bhatara Brahma. Ketika itu Bhatara Brahma melaksanakan yoga untuk
menciptakan manusia sebagai penghuni pulau Bali yang masih kosong. Pungakan
Prasanghyang muncul dari telinga kanan Bhatara Brahma. [TCB]
392
Shastra Wangsa
ditinggalkan sendirian oleh sanak keluarga Ki Bandesa Mas. Ujung panah dimantrai sambil
beryoga di tengah peperangan, tiba-tiba gelap gulita medan perang itu. Itulah konon
sebabnya di sana ada tempat suci bernama Pura Hyang Limun (kabut). Kembali Padanda
Bukcabe beryoga, tiba-tiba medan perang diselimuti mendung dan bumi bergetar, hujan
deras, petir menyambar-nyambar, badai topan, sehingga panas dingin pasukannya
Anglurah Mambal. Anglurah Mambal dikutuk sehingga hilang semua keshaktiannya.
Perang itu terjadi sekitar tahun 1760 Masehi. Di medan perang itu kemudian dibangun pura
Honcesrawa (kuda) di Pengosekan. [PDK]
Pustaka
Diceritakan Bhatari Uma datang menyembah kepada Bhatara Guru, menghaturkan susu
perahan kepada beliau dengan pandangan manis. Ada perkataan Bhatara kepada Sang
Hyang Ghana, disuruh menilai perjalanan ibunya. Menyembahlah Sang Hyang Ghana,
393
Shastra Wangsa
seraya mengambil pustaka yang diberikan oleh Bhatara Guru terdahulu. Kembali dijapakan
olehnya. Kelihatanlah bayangan ibunya melakukan senggama dengan Rare Angon.
Disampaikannya hal itu kepada Bhatara Guru. Kecutlah pandangan mata Bhatara Guru.
Amatlah besar amarahnya Bhatari, disertai kutukan, katanya: Hai kamu Ghana, kamu ini
masih anak-anak. Kamu bisa menerawang tanpa kehendak. Kamu bisa menilai perjalanan
ibumu. Tanpa tahu menyembunyikan. Apabila dirimu tidak sedang menghadapi pustaka,
matilah dirimu dimakan olehku. Mengapa tidak mungkin oleh ibumu? Percuma aku
bernama Durga Murti, aku bisa menelan bhuwana.
Demikianlah perkataan Bhatari dengan amarahnya. Munculah api dari matanya dengan
ganas membakar hangus pustaka itu langsung menjadi abu. Getir perasaan Sang Hyang
Ghana karena hancur leburnya pustaka itu, kembali dituliskannya di tanah oleh Sang
Ghana. Berkatalah Bhatari kepada Sang Kumara, disuruh menginjak sampai lebur pustaka
itu. Segera Sang Kumara menginjak-injak abu dari pustaka itu dengan kedua kakinya.
Itulah sebabnya hancur lebur tidak bisa lagi dilihat. Menyalalah marah Sang Hyang Ghana
pada Sang Kumara. Segera Bhatara Guru mengingatkan Sang Hyang Durmuka. [PGS]
Pustaka Bang(1)
Pustaka Bang berarti pustaka merah. Pustaka Merah ini konon adalah pemberian dari
Bhatara Brahma kepada Pande Berathan. Isinya adalah ajaran atau jalan kembali “pulang”
ke Batur Kemulan. Disebutkan bahwa barang siapa telah dapat memahami pelaksanaan
ajaran ini dalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi seorang panditha, ia boleh
menyelesaikan setiap upacara yajna Pande Berathan. Cerita turunnya Pustaka Bang,
menurut sumbernya, seperti berikut ini. Setelah wafatnya Mpu Gandring, ada keingian dari
Brahmana Dwala menjadi seorang pendeta. Akan tetapi tidak ada yang dianggap patut
394
Shastra Wangsa
menjadi guru nabhenya di seluruh Madura. Untuk itu lalu dibuatkan arca pralingga kawitan
yaitu Bhagawan Pandhya Mpu Bhumi Shakti dan istrinya, Dyah Amertatama. Setiap hari
arca itu dipujanya. Maka kawitannya itulah “menurunkan” Pustaka Bang kepadanya.
[PBP]
395
Shastra Wangsa
396
Shastra Wangsa
397
Shastra Wangsa
Batu sebagai pasukan khusus. Menurut babadnya, pasukan Putradika Bata Batu ini pertama
kali dites kemampuannya ketika perang menghadapi pasukan khusus Buleleng, bernama
Taruna Gowak milik I Gusti Ngurah Panji Shakti yang sudah berpengalaman mengalahkan
Blambangan, Banyuwangi, dan Jemberana. Kepala pasukan Taruna Gowak bernama Ki
Macam Gading. [BMW-1]
Putra Sasana
Di antara sekian banyak teks berisi ajaran tentang Sasana, salah satu adalah teks Putra
Sasana. Teks Putra Sasana berisi ajaran tentang kode etik menjadi seorang putra. Menurut
Dwijendra Tattwa, Putra Sasana adalah salah satu karya yang disusun oleh Dang Hyang
Nirartha di Bali. [DT]
Putus
Putus menurut teks berjudul Bhuwana Suksma adalah seperti kutipan berikut ini:
“Adiguru namanya orang tua, orang bijaksana, yaitu mengetahui, yaitu mengetahui
kelepasan dan bersifat kukuh, Nang berarti tidak berbicara, Ning artinya tidak bergerak,
karena ia sudah purna candra kirana, purna artinya kumpulan, candra artinya penunggalan,
kirana artinya isi, yaitu les (inti sari hati kayu) yaitu las (ikhlas), yaitu habis, namanya
bebas. [BS]
398
Shastra Wangsa
[R]
399
Shastra Wangsa
rumah pedagang kue laklak, ke rumah tukang gerabah. Seorang wiku tidak mendalang dan
segala bentuk tari-tarian. Kalau seorang wiku dijadikan kereta, penegak hukum harus
mahir dahulu dengan segala ucapan shastra. [Diringkas dari bundel berjudul “Wiku Sasana
Dalam Kesusastraan Jawa Kuno”, disusun oleh paruman Padanda Shiwa-Buddha,
Dharmopadesa Kabupaten Klungkung, tahun 2000]
Raja Peni
Raja Peniadalah salah satu shastra ajaran Dang Hyang Nirartha sebagaimana juga
disebutkan dalam Dwijendra Tattwa, dan sebagaimana disebutkan di dalam teks Raja Peni
itu sendiri. Raja Peni atau Sang Hyang Raja Peni, sebagaimana tersurat dalam lontar-lontar
yang diwariskan, berisi ajaran yoga mistis. Dimulai dari penjelasan tentang Ongkara Pitu,
yaitu tujuh jenis Ongkara yang ada di tujuh titik vital dalam tubuh. Ketujuh Ongkara itu
kemudian dirangkum menjadi satu bentuk aksara yang bernama Sapta Ongkara. Sapta
Ongkara inilah kemudian yang menjadi Sapta Janma. Yang disebut Sapta Janma [tujuh
penjelmaan, atau tujuh manusia] adalah keempat saudara-mistis yaitu ari-ari, banah, darah,
air ketuban, Hyang Bapa, Hyang Ibu, dan diri sendiri. Jadi semuanya berjumlah tujuh.
Apabila semua yang berjumlah tujuh itu dipertemukan pada otot tempat bergantungnya
jantung, persatuan dari ketujuh itulah yang kemudian dinamakan Dukuh Jumpungan. Juga
disebut Mpu Ranti.Demikian sedikit keterangan tentang ajaran Raja Peni, atau Sang Hyang
Raja Peni. Bersumber dari ajaran Raja Peni inilah berkembang ajaran Kandaphat Raja
Peni. Dalam salah satu lontar Kandaphat Raja Peni, disebutkan bahwa ajaran Kandha Raja
Peni adalah ilmunya para raja. “Raja berarti ratu. Peni berarti bhusana atau sarana. Itulah
sebabnya ajaran ini boleh dipergunakan oleh orang-orang yang berkepribadian suci”. (raja
ngaran ratu, peni ngaran pangangge, matangyan eki wenang inangge de sang lewih). [DT,
BPS]
400
Shastra Wangsa
tingkat 7. I Dewa Sagening dengan meru tingkat 5. I Dewa Dimade dengan meru tingkat 3.
I Dewa Pasekan meru tingkat 1 yang kesemuanya memiliki gedong masing-masing. [RPB]
Rangdeng Dirah
Rangdeng Dirah secara harfiah berarti janda dari Dirah, suatu tempat di Jawa. Yang
disebutkan sebagai janda dari Dirah adalah Calonarang. Dalam banyak sumber tertulis,
Rangdeng Dirah disamakan dengan Calonarang. Namun di dalam teks berjudul Sari Sangu
Sarira, kedua nama besar tersebut dibedakan satu sama lainnya. Seperti berikut ini
pernyataan di dalam teks: “Setra Gandhamayu adalah taneng, adalah cantik kerongkongan
adalah penelan, bukan Calonarang, ia adalah janda dari Dirah” (Setra gandhamayu ngaran
tanĕng, ngaran cantik kakulungan, ngaran lĕdlĕdan, boya calonarang, ya rangda ning
dirah). [SSS]
Ranggalawe
Ranggalawe atau Sira Ranggalawe adalah sebutan yang diberikan kepada Ida Bang
Pinatih. Menurut babadnya, Ida Bang Pinatih, atau Ida Bang Bagus Pinatih adalah anak
dari Wangbang Wide dari perkawinannya dengan I Gusti Ayu Pinatih, puteri Arya
Buleteng seorang patih di Daha. Sedangkan Wangbang Wide adalah anak dari Manik
Angkeran. Manik Angkeran adalah anak dari Dang Hyang Siddhimantra. Jadi dengan
demikian, Ida Bang Pinatih adalah cucu dari Manik Angkeran, atau kumpi dari Dang
Hyang Siddhimantra. Ida Bang Pinatih inilah yang dijuluki Ranggalawe. Sebabnya disebut
Ranggalawe, karena ia berhasil memimpin pembukaan hutan Terik yang kelak akan
menjadi tempat berdirinya kerajaan Majapahit.[BMA]
Rara Barak
Rara Barak adalah sebutan untuk gadis berambut keriting berwarna merahketurunan Ni
Berit. Ada banyak cerita babad tentang Ni Berit dan keturunannya. Salah satu dari cerita
babad itu seperti berikut ini. Diceriterakan Sri Aji Erlangga, suatu ketika berburu ke tengah
hutan tetapi tidak menemui binatang buruan seekor pun, tetapi beliau bertemu dengan
seorang gadis, berambut keriting yang bernama Si Rara Barak, Prabu Erlangga kawin
dengan Si Rara Barak dan dari perkawinan ini lahirlah Arya Buru. Arya Buru kemudian
mempunyai putra seorang yang bernama Sirarya Timbul, Sirarya Timbul menurunkan Ni
Gunaraksa. Sirarya Timbul bersama putrinya pergi ke Bali (Gelgel). Ida Dalem
401
Shastra Wangsa
memberikan tempat Sirarya Timbul di Desa Bukit Buluh. Ni Gunaraksa diambil oleh I
Gusti Ngurah Tutuwan, dengan perjanjian bila mana Sirarya Buru meninggal agar mau
Ngurah Tutuan menyembahnya. I Gusti Smaranatha bersama para keluarganya
membicarakan tentang I Ngurah Tutuan menyembah mertuanya turunan dari Ni Berit.
Kemudian Pangeran Tohjiwa memutuskan hubungan dengan Ngurah Tutuan dan karena
itu adanya Bale Pegat. [BUB]
402
Shastra Wangsa
403
Shastra Wangsa
404
Shastra Wangsa
Resi Waisnawa
Kemudian pemerintahan Ida Dewagung Jayapangus di Bali pada Çaka 1103 datanglah
seorang Mpu Gantaya dan Resi Aruna menganut paham Siwa Waisnawa. Kemudian Resi
Waisnawa berubah menjadi Sangguhu Waisnawa, Sang Shiwa Pasupati sebagai Brahmana,
Sang Buda Mahayana menjadi Boda anak Sang Siwa Waisnawa menjadi Sengguhu
Bujangga. Siwa Waisnawa melaksanakan upacara penangluk-merana (hama) dengan Catur
Stawa. [RW]
Rong Tiga
Rong Tiga adalah pengembangan dari konsep Tri Murti yang ditanamkan oleh Mpu
Kuturan di Bali. Sedangkan Tri Murti adalah kistalisasi dari berbagai sekte yang ada di
Bali sebelum datangnya Mpu Kuturan. Tri Murti di desa pakraman menjadi pura Desa,
Puseh, Dalem. Tri Murti di dalam keluarga menjadi sanggar rong tiga. Tentang rong tiga,
disebutkan di dalam Usana Dewa, tempat Sang Hyang Atma. Rong kanan adalah Bapa,
Rong kiri adalah Ibu, Rong tengah adalah diri-Nya. [DKW]
405
Shastra Wangsa
[S]
Sadhaka Tri:
Di dalam teks Iswara Tattwa dijelaskan tentang Tri Sadhaka. Seperti berikut ini kutipan
terjemahan teksnya: “Di sana di perempatan jalan besar, di halaman depan Carangcang
membangun Kundha Api, yaitu Tri Kunda, Sembilan depa melingkar panjangnya masing-
masing. Setelah persiapan yajna itu semuanya selesai, dilanjutkan Sang Tri Sadhaka
melakukan Homa bertempat di tengah-tengah kunda, duduk di atas padma bata merah
seutuhnya. Di atas itulah mereka duduk, amusti, anggrana pada Shiwa Tiga. Beryogalah
mereka.” [IT] [Lihat Lampiran Teks: Sadhaka Tri).
406
Shastra Wangsa
407
Shastra Wangsa
Sagara Rupek(2):anus
Pengertian sagara rupek dalam konteks ini sama dengan pengertian sagara rupek (1)
yang disebutkan di atas. Bedanya, apabila sagara rupek (1) dihubungkan dengan selat yang
memisahkan Bali dengan Jawa, maka sagara rupek (2) dalam konteks ini yang
dimaksudkan adalah anus, atau lubang pantat. Keterangan ini disebutkan dalam berbagai
teks tentang anatomis tubuh manusia. Salah satunya adalah teks berjudul Klung Gni Klung
Toya. Seperti ini disebutkan di dalam teks: “kemudian hanyut sampai di sagara rupek,
sagara rupek adalah pantat” (raris manerus ka sagara rupek, sagara rupek ngaran silit).
[KGKT]
408
Shastra Wangsa
Ayu Mas, puteri dari Bhatara Dalem Sekar Angsana di Gelgel. Sang Anom menjadi raja di
Tamanbali. Ia kemudian digantikan oleh puteranya I Dewa Garbhajata. Keturunan ke-6
dari Sang Anom yang bernama I Dewa Gde Tangkeban, tercatat sebagai keturunan yang
pertama kali berjulukan Tamanbali, yaitu I Dewa Gde Tamanbali. Dari nama inilah wangsa
Tamanbali kemudian menyebar ke berbagai tempat di Bali. Namun demikian, tonggak
wangsa Tamanbali dimulai dari Sang Anom. [BKTB]
409
Shastra Wangsa
410
Shastra Wangsa
411
Shastra Wangsa
412
Shastra Wangsa
menguasai? Diriku inilah sesungguhnya orang yang tidak menguasai itu. Karena diriku ini
memiliki budhi yang rendah, lancang menyebut-nyebut Sang Hyang Widhi, dan juga
menyebut-nyebut Sang Hyang Titah sebagai kumpulan dari Sabda Wahya yang bersifat
sunyi kosong. Siapa gerangan yang dimaksudkan dengan Widhi? Tiada lain adalah beliau
Sang Hyang Adi Suksma. Apa pula sebab-musababnya, sehingga beliau itu dinamakan
Sang Hyang Widhi? Karena beliau itu adalah asal dan tujuan dari seluruh dunia. Maka
seperti itulah alasannya, sehingga beliau itu patut atau berhak disebut Widhi. Dari
pengertian bahasa, kata adhi berarti sempurna, suksma berarti niskala. Niskala berarti
sudah sampai pada tingkatan yang bebas dari bentuk. Dari segi kulit bahasa, pengertian
kata adi adalah setiap yang sempurna sebagai guru bagi seluruh dunia. Itulah alasannya,
sehingga beliau itu disebut Sang Hyang Titah. Pemaknaan dari Sabda Suksma, itulah yang
disebut utama. [PGS]
413
Shastra Wangsa
414
Shastra Wangsa
Jawa pindah ke Bali. Jadi Sang Kuldewa ini adalah cucu dari Mpu Gnijaya. Menurut
silsilahnya, Sang Kuldewa setelah dewasa menikah dengan seorang perempuan bernama
Dewi Adnyani. Tidak didapatkan keterangan apakah setelah menikah Sang Kuldewa masih
di Jawa atau sudah di Bali. Keterangan yang ada bahwa pernikahan Sang Kuldewa dengan
Dewi Adnyani melahirkan empat orang anak:Mangku Sang Kulputih, Sang Kulputih, Wira
Sang Kulputih (Dukuh Sorga), Ni Ayu Swani. [SPSS]
415
Shastra Wangsa
Sang Wiradangka
Sang Wiradangka adalah anak dari Mpu Wiradangka, atau cucu dari Mpu Dangka.
Sedangkan Sang Kakek bernama Mpu Dangka ini adalah bungsu dari tujuh anak dari Mpu
Gnijaya yang disebut Saptaresi. Menurut silsilahnya, Sang Wiradangka kemudian kawin
dengan seorang perempuan bernama Kamareka. Tidak diketahui darimana asal istrinya ini.
Yang diketahui dari silsilahnya, perkawinan mereka melahirkan empat orang anak, tiga
laki dan satu perempuan:De Pasek Lurah Gaduh, De Pasek Lurah Ngukuhin, De Pasek
Lurah Kadangkan, Ni Rudani (perempuan). [SPSS]
416
Shastra Wangsa
pengarangnya. Tuan Sumeru adalah sebutan masyarakat Sasak untuk Dang Hyang
Nirartha. [DT, DDN]
Sara Kusuma: Balasan Dang Hyang Nirartha pada Dang Hyang Angshoka
Dang Hyang Angshoka adalah saudara dari Dang Hyang Nirartha. Bila Dang Hyang
Nirartha memilih tinggal di Bali, Dang Hyang Angshoka “memilih” tetap di Jawa. Bukan
hanya pilihan tempat yang berbeda, pilihan paksa juga beda. Dang Hyang Angshoka
menjalankan Buddhapaksa, Dang Hyang Nirartha Shiwapaksa. Persamaannya, keduanya
adalah kawi-wiku, atau pendeta sastrawan. Beberapa babad menerangkan, suatu ketika
Dang Hyang Nirartha menerima kiriman karya shastra berjudul Smarancana karangan
Dang Hyang Angshoka. Tak lama kemudian Dang Hyang Nirartha membalasnya dengan
mengirimkan karya shastra berjudul Sara Kusuma, karangannya sendiri. Dari keterangan
babad ini kita mengetahuin bahwa salah satu karya Dang Hyang Angshoka adalah
Smarancana. Adakah karya lainnya? Pasti ada. Karena aneh rasanya hanya membuat satu
karangan dan setelah itu meninggal.[DT, DDN, BCB]
Satriya Kaleran
Siapakah yang dimaksudkan dengan nama Satriya Kaleran? Satriya Kaleran menurut
tattwanya tercipta dari yoga Bhatara Brahma. Bhatara Brahma ketika itu melaksanakan
yoga untuk menciptakan manusia sebagai penghuni dari pulau Bali yang masih kekurangan
penduduk. Satriya Kaleran muncul dari badan Bhatara Brahma. Ketika meninggal, para
Satriya Kaleran itu dibenarkan memakai Boma tingkat tujuh, petulangan berbentuk lembu.
Seperti itulah dijelaskan di dalam teks Tattwa Catur Bumi. Selain sebagai sosok mitologis
yang lahir dari badan Brahma, Satriya Kaleran adalah juga sosok biologis yang pada
akhirnya bisa meninggal.Penjelasan asal-usul dan kewenangan di atas, juga berlaku sama
dengan Satriya Kamoning, Satriya Sangkut. [TCB]
417
Shastra Wangsa
Setra Gandhamayu
Sang Hyang Jagatpati mengubah wujud Sang Hyang Paramajnana menjadi dua bagian.
Satu bagian adalah Siwapaksa, dengan nama Mpu Walobhawa. Bagian yang lainnya adalah
Boddhapaksa, dengan nama Mpu Bharang. Pergilah ia ke Jawa memasuki hutan Jirah. Mpu
Walobhawa pergi ke arah barat, melaksanakan pertapaan di Warug. Mpu Barang pergi ke
timur, melaksanakan pertapaan di Anggiran. Ada sebuah kuburan besar di pinggir gunung,
kuburan Kaliasem namanya. Beberapa banyaknya mayat di dalam kuburan, karena belum
ditanam sedari dahulu. Ksetra, berarti tegalan atau sawah. Setra berarti tempat. Gandha
berarti bau. Mayu berarti bangkai. Itulah sebabnya bernama Setra Gandhamayu, setra itu
sama artinya dengan tempat pemikul mayat, dari utaranya gunung sampai ke timurnya
gunung, di sanalah tempat tidur-tiduran beliau.[PGS]
418
Shastra Wangsa
wiku namanya. Apabila seorang wiku tidak tahu melepaskan dengan pashupati, maka
menderitalah Atma itu”. Begitulah pembukaan Tutur Sayukti yang “memberitahu” kita
pada level apa Dukuh Suladri menempatkan pikirannya.
Pada bagian lain dari Tutur Sayukti, disebutkan langsung maupun tidak langsung, nama-
nama ajaran shastra, antara lain: Panglepasan Pashupati, Sudukswari, Prayoga Kalepasan,
Gumi Patimahan, Marga Caturjanma, Marga Tiga [Brahmana, Dalem, Wesya]. Dari nama-
nama ajaran shastra yang disebutkan di dalam Tutur Sayukti maka sesuailah dengan apa
yang diceritakan dalam babad. Dukuh Suladri menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada
menantunya, Wang Bang Pinatih, karena dirinya akan moksa. Ada hubungan antara apa
yang dikatakannya dengan apa yang ditulisnya. [dari berbagai sumber]
420
Shastra Wangsa
Apa yang dimaksudkan dengan Shastra Gajendra Mahayu Ning Rat? Seperti ini Buddha
Prani menjelaskannya: “Ini adalah Shastra Gajendra Mahayu Ning Rat, sebagai sari-sari
dari ajaran Smaratantra, perhatikan terlebih dahulu sehingga menjadi pasti, bayangkan
dirimu adalah Sang Buddha Prani dari dalam tidur” (yeki shastra gajendra mahayu ning rat,
maka sarining smaratantra, awas rumuhun den apasti, hidepang awakta sang Buddha prani
saking jroning aturu). Jadi, Shastra Gajendra mahayu Ning Rat adalah sari-sari dari
Smaratantra. Ajaran Tantra pada mulanya memang otoritas Buddhapaksa.[BPR]
Shastra Pamutus: Anugerah Dang Hyang Nirartha pada Bandesa Manik Mas
Ada anugerah Dang Hyang Nirartha kepada kepada Ki Pangeran desa Manik Mas, ketika
ia di-diksa. Anugerah itu antara lain berupa “Shastra Pamutus” bernama Weda Sulambang
Gni, Pasupati Rancana, Canting Mas, Siwer Mas, dan Aji Wekasing Pati. Dengan semua
itu sesungguhnya dapat memegang keselamatan mati hidupnya sampai kelak. Dan
seketurunan Ki Pangeran Mas boleh memakai “Dharma Susila Wikwatmaka”,
mengutamakan Weda kesucian batin, seperti tapa brata dan yoga Samadhi. Demikian
keterangan didapat dari teks Dwijendra Tattwa. Dwijendra Tattwa bukanlah satu-satunya
sumber tertulis yang menyebutkan Shastra Pamutus seperti Weda Sulambang Gni, Pasupati
Rancana, Canting Mas, Siwer Mas, dan Aji Wekasing Pati. Sumber yang lain, misalnya,
Babad Pasek Bandesa, menyebutkan seperti ini: “Diceriterakan keturunan I Gede Manik
Mas, bertempat di Jemberana di Banjar Wani Tegeh yang asalnya dari Majapahit. Ada
keturunannya yang berada di Pujungan, bernama I Gede Tobya. Ada juga di Beratan yang
bernama I Gede Jagra. Senanglah hati Ida Ayu Swabawa, yang berstana di Pulaki dipuja
oleh orang-orang Sumedang. Yang ada di Pujungan dan di Beratan dengan tekun
mempelajari ajaran Canting Mas, Siwer Mas, Weda Sulambang Gni, Pasupati Rancana.
Ajaran inilah yang diterapkan oleh I Gede Bandesa Mas. Bilamana ada keturunan Ki
Bandesa Mas yang pandai dalam hal ajaran hendaknya diimbangi dengan perbuatan. [DT,
DDN. BPBN]
422
Shastra Wangsa
Anting-Anting Timah, Kakawin Arjuna Pralabda. Dauh Baleagung juga selalu menghadap
kepada Sang Pendeta (Dang Hyang Nirartha) mohon ajaran, yang kemudian dituliskannya
dalam kitab Wukir Padelegan. Hingga saat ini belum ada didapat keterangan tentang kitab
Wukir Padelegan tersebut. [DT]
Shastra sanga: pustaka kalima husada putih, sembah sembilan kali
“Shastra berarti diri atau tubuh, sanga berarti Sang Hyang Nawa Dewa, shastra berarti
sembah, sanga berarti sembilan kali, shas berarti mata, tra berarti Sang Hyang Tiga, sa
berarti sawara, sawa berarti mati, ra berarti raga, tinggalkanlah sang hyang tiga dengan
cara shabda mati raga, tempatkanlah pada sembahmu sembilan kali, itulah yang bernama
shastra sanga.”[KK]
Shiwan Jagat
Seperti berikut inilah penjelasan teks Widhi Shastra tentang Shiwan jagat: “Tatakrama
Brahmana yang lahir dari sinar, bernama Ida Telaga, ia tahu segala dewa, ia dipuji dan
dijadikan sebagai penyucian oleh Bhatara Pashupati yang berkedudukan di Rekagumi.
Sampai nantinya apabila ada keturunannya menjadi tempat penyucian seluruh jagat,
sampai rajanya, maka sebagai pahalanya akan rahayulah jagat sampai raja-rajanya. Ida
Talaga itu adalah Brahmana Utama, putra Bhatara Brahma. Begitulah wacana Bhatara
Brahma. Apabila ada raja mengetahui Tattwa ini, maka akan dianugerahi oleh Bhatara
Putranjaya yang ada di Besakih. Ida Telaga sampai keturunannya nanti, patut dijadikan
Shiwanya jagat, pahalanya akan rahayu jagat beserta rajanya. Bhatara Putranjaya menjiwai
setiap anugerah berupa kesiddhian mantra. Demikian ucap Bhatara yang tercakup dalam
Widhishastra. Janganlah seorang raja penguasa dunia, dan para pendeta Brahmana,
menghina wangsa Ida Telaga yang lahir dari sinar. Apabila menghina akan kena kutukan
423
Shastra Wangsa
Bhatara Pashupati dan Bhatara Putranjaya yang ada di Besakih. Tidak akan menjadi
manusia kembali. Ini Widhi Shastra”. [SPT] [Lihat, Lampiran Teks: Ida Talaga]
Si Lobar
Si Lobar adalah keris pusaka milik Satriya Tamanbali. Salah satu keturunan Satriya
Tamanbali bernama I Dewa Pring adalah anak dari I Dewa Gede Tangkeban, atau I Dewa
Tamanbali. I Dewa Pring berkedudukan di Brasika (Nyalian). Menurut babadnya, I Dewa
Pring mendapatkan banyak kesulitan memerintah di daerah Brasika, Nyalian, karena
banyaknya gangguan keamanan. Maka ia memohon kepada ayahnya agar diperkenankan
membawa pusaka kawitan bernama Si Lobar itu. Setelah lama dipertimbangkan, akhirnya
pusaka Si Lobar itu diberikan kepadanya agar mampu mengendalikan gejolak di Nyalian.
Ternyata terbukti, keampuhan Si Lobar menyebabkan gejolak di Nyalian surut dan
menghilang. Tapi I Dewa Prasi tidak mengetahui bahwa Si Lobar pada saatnya akan
mendatangkan masalah. Terbukti pusaka itu diinginkan oleh Dewa Manggis penguasa
Gianyar dan oleh Dalem di Gelgel. Karena tidak diberikan kepada Dalem, maka Brasika
pun diserang sampai Dewa Prasi menemukan ajalnya. [BKTB]
424
Shastra Wangsa
Sisya Ki Calonarang
Tentang murid-murid Ki Calonarang disebutkan di dalam teks Sari Sangu Sharira, seperti
dikutip berikut ini: I Larung adalah darah, Misawadana adalah ari-ari, Weksirsa adalah
bayu, I Guyang adalah air ketuban, I Lenda adalah bayang-bayang, I Lendi adalah otot,
Sawadana adalah lemak, Ki Calonarang adalah cantelan lidah, Mpu Bharadah adalah setra
lemah tulis.[SSS]
Kulwan. Mpu Kulwan adalah anak Dang Hyang Nirartha yang lahir dari ibu asal Daha.
Mpu Kulwan inilah yang kemudian menurunkan apa yang sekarang dikenal sebagai
Brahmana Kemenuh. [DT]
426
Shastra Wangsa
Sora (1)
Sora adalah salah satu dari sembilan sekte yang ada di Bali sebelum dilebur menjadi Tri
Murti pada masa Mpu Kuturan. Sora adalah sekte pemuja matahari. Sekte ini diperkirakan
ada di Bali sekitar tahun 100 Masehi. Namun para ahli purbakala berpendapat sekte Sora
ini tidak sama dengan yang terdapat di India. Sisa-sisa dari pemujaan pada mahatari ini
kini nampak pada Siddhanta Brahmanisme. Pedanda Shiwa adalah Brahma yang
merangkap sebagai pendeta Matahari, pengabdi matahari, putra matahari. Pemujaan
kepada Shiwa Aditya, penyatuan Shiwa dan Matahari adalah mantra yang tinggi dari
seluruh khasanah mantra-mantra padanda Shiwa di Bali. [SSB]
Sora(2)
Berujar manis Sri Pranawati. Katanya, tabik Mpu Dhang Hyang Siddhimantra,
limpahkanlah kasih Sang Maharsi kepada diriku ini, ajarilah anakmu ini tentang dasar-
dasar dari kedua puja itu tentang ia yang memulai yang menggelar Sora [matahari] dan
Kirana [bulan] pada jaman dahulu, yang dibawahnya adalah Sang Hyang Sadashiwa,
karena tidaklah mungkin ada bhujangga, yang menggelar puja itu sekarang. Namun hanya
Siwa Buddha sajalah yang menjadi pembelajaran kami sekarang, dan juga Sang Hyang
Panca Tatagata, yang menjadi cakupan dari sembah kedua tangan kami. Di bawahnya
adalah Sang Hyang Sadashiwa dan Sang Hyang Sadabhija, yang menguasai Sang Hyang
Surya dan Candra. Itulah sebabnya tertekan pikiran anakmu ini mempertimbangkan
427
Shastra Wangsa
pelaksanaan puja kepada Sora maupun puja kepada Kirana atau bulan, tambahan pula
Dewata yang melaksanakannya disebut Panca Resi dan Sapta Resi.Sedangkan apabila di
Madhyapada di seluruh negeri Bharatawarsa, sebelum adanya Bhagawan Byasa, banyaklah
para maha brahmana atau kesatria termasuk maharaja, semuanya sakti wisesa, bisa datang
di kaki Hyang Jagatguru dengan sarana kesaktian dari tapa mereka. Siapakah yang
memberikan kedua jenis puja itu di seputaran negeri Bharatawarwa? Ajarkanlah
hendaknya oleh Maharesi, sebagai tangga bagi kami sehingga berhasil memahami awal
mulanya pada jaman dahulu.
Demikianlah pertanyaan Sri Kerta Wardhana.Berpikir-pikirlah Mpu Sidhimantra. Setelah
beliau selesai berpikir-pikir, berucaplah ia, katanya. Wahai paduka Sri Pranawati,
tenangkanlah pikiran Paduka yang menginginkan penjelasan diriku. Seluruh perkataan
paduka raja intinya agar memperdengarkan kembali isi cerita pada jaman dahulu dari Sri
Jagatguru, pada saat munculnya puja Sora dan puja Kirana.Adapun tentang tatwa Sora
diberikan kepada para Daitya,Danawa. Adapun tatwa Kirana itu diberikan kepada para
Dewa dan Gandharwa. Adapun di Madhyapada di seluruh negeri Baratawarsa, tersebutlah
seorang raja keturunan dari Surya. Kepadanya diberikan juga ajaran tentang tatwa Kirana.
Termasuk kepada para raja keturunan Soma diberikan mempelajari tentang puja tatwa
Sora. Demikianlah awal mulanya pada jaman dahulu. [PGS]
428
Shastra Wangsa
Pasar Badung. Menurut babadnya, lama kelamaan tertekanlah wangsa mereka oleh Sri
Dalem Wawu Rawuh yang bernama Sri Dalem Kreshna Kapakisan yang menyebabkan
seluruh keluarga I Dewa Kramas menjadi bandesa. Ni Luh Ayu Rukmi mempunyai dua
orang anak: Ki Bandesa Manikan dan Pasek Manik Mas. [PDK]
429
Shastra Wangsa
Samprangan. Di sanalah Sang Raja selanjutnya berkedudukan. Siapakah Sri Aji Kresna
Kapakisan itu?
Ia adalah putra bungsu Dang Hyang Kapakisan. Dang Hyang Kapakisan adalah putra
bungsu Mpu Tantular. Mpu Tantular adalah anak dari Mpu Bhahula Candra. Mpu Bhahula
Candra adalah anak dari Mpu Bharadah. Jadi dapat dikatakan, Sri Aji Kresna Kapakisan
adalah kumpi dari Mpu Tantular, buyut dari Mpu Bhahula Candra, kelab dari Mpu
Bharadah.
Kekerabatan Sri Aji Kresna Kapakisan masih bisa diperluas lagi. Ia adalah sepupu dari
Ida Bang Manik Angkeran. Karena Manik Angkeran adalah putra dari Mpu Siddhimantra,
sedangkan Mpu Siddhimantra adalah saudara kandung ayahnya, yaitu Dang Hyang
Kapakisan. Kekerabatan ini tentu masih bisa lagi diperluas, namun bukan itu maksudnya.
Menurut keterangan, Sri Dalem Kreshna Kapakisan juga disebut Sri Dalem Wawu
Rawuh.[dari berbagai sumber]
Sri Krahengan
Sri Krahengan adalah nama seorang raja yang berkuasa di Lombok Barat. Menurut
keterangan babad, Sri Krahengan memiliki keshaktian selain bisa terbang juga mampu
berubah wujud. Raja Waturenggong mendapatkan laporan dari masyarakat di pesisir
bahwa Sri Krahengan ini sering mengganggu keamanan. Maka Raja Waturenggong
mengutus Dang Hyang Nirartha ke Lombok. Pertemuan Dang Hyang Nirartha dengan Sri
Krahengan berakhir dengan dikeluarkannya kutukan dari Dang Hyang Nirartha. [DT]
430
Shastra Wangsa
Majapahit. Selesai!”. Selain yang disebutkan di atas, tidak ada lagi keterangan siapa yang
dimaksudkan dengan Manuabha dan siapa pula Dukuh Suladri. Di luar teks Tutur Sayukti,
yaitu teks-teks yang sejaman dengannya, kita bisa mendapatkan keterangan tentang kedua
nama itu. Manuabha adalah nama seorang padanda shakti keturunan langsung dari Dang
Hyang Nirartha yang lahir dari ibu asal Pasuruhan. Dukuh Suladri adalah julukan seorang
penekun dan praktisi Shastra yang masih memiliki garis keturunan dengan Manik
Angkeran, Wang Bang Pinatih. [dari berbagai sumber]
432
Shastra Wangsa
[T]
Tapo Wulung
Tapo Wulung adalah sebutan lain untuk raja Gajah Waktra yang berkuasa di Bali sekitar
tahun 1337M. Selain berjulukan Tapo Wulung, Gajah Waktra juga memiliki beberapa
julukan, antara lain: Sri Astasura Ratna Bumi Banten, Bedhahulu, Bedhamuka. Tapo
Wulung memilikiseorang patih yang salah satunya bernama Patih Wulung. Menurut
keterangan sumbernya, Bedhahulu dan Bedhamuka adalah julukan yang diberikan oleh
Gajahmada, karena mata batin Gajahmada konon “melihat” Gajah Waktra berkepala babi.
Tidak dijelaskan apa makna sebutan berkepala “babi”. Dalam tafsir ajaran, kepala babi
adalah lambang ajaran Bhairawa. [dari berbagai sumber]
Taruna Gowak
Taruna Gowak adalah nama pasukan khusus kerajaan Buleleng, bentukan Ki Gusti
Ngurah Panji Shakti. Pasukan ini terkenal karena berhasil mengalahkan Blambangan,
Mengwi, dan Jemberana. [BMW-1]. Ki Macam Gading adalah pimpinan pasukan Taruna
Gowak. Ia memiliki dua orang anak laki-laki. Salah satu dari anaknya itu bernama Ki
Macam Guguh. [BMW-1]
433
Shastra Wangsa
orang pendeta sakti itu. Mustahil rasanya kedua orang shakti itu sekadar iseng adu
ketajaman jnana.Konteks peristiwanya seperti berikut ini.
Diceritakan sekitar tahun 1042 Masehi Mpu Bharadah mengunjungi Mpu Kuturan di
Silayukti. Karena lama tidak berjumpa, maka begitu berjumpa langsung “berkenalan
ulang” dengan cara mengukur ketinggian atau kedalaman jnana masing-masing. Tiga butir
telor ayam ditumpuk oleh Mpu Kuturan dengan cara yang entah bagaimana. Mpu
Bharadah bertugas menebak apa yang akan ke luar dari masing-masing telor itu. Yang
pertama ditebak adalah telor paling atas, dan benar tebakannya, yang keluar adalah seekor
angsa. Yang kedua ditebak adalah telor paling bawah, dan benar tebakannya, yang keluar
adalah seekor gagak putih. Yang terakhir ditebak adalah telor di tengah, dan benar
tebakannya, yang ke luar adalah dua ekor naga yang kemudian terbang ke arah utara dari
Silayukti menuju Besakih.
Setelah itu Mpu Bharadah melihat tiba butir telur mengambang di tengah lautan, dengan
posisi bertumpuk ketiganya. Giliran Mpu Kuturan yang menebak, apa yang akan ke luar
dari ketiga telur tersebut. Sebelum menebak Mpu Kuturan memusatkan pikirannya dengan
ilmu Aji Anthasiksa Guhyawijaya. Tebakan pertama tepat, yang keluar dari telor paling
atas adalah bunga pancawarna. Tebakan kedua tepat, dari telor di tengah ke luar
Kamandalu. Tebakan ketiga tepat, dari telor paling bawah ke luar Badawangnala.
Begitulah kisahnya. Kesimpulan ceritanya, Mpu Bharadah benar, Mpu Kuturan tepat.
Sepintas lalu seperti membaca dongeng anak-anak sedunia. Tapi fragmen itu sama sekali
bukan tanpa maksud. Apa maksudnya? Susah menemukan maksud pengarang. Barangkali
hanya ia yang tahu. Namun itu bukan hambatan bagi pembaca memahami sebuah teks.
Karena dengan membaca sebuah teks, sesungguhnnya seorang pembaca sedang membaca
pikirannya sendiri. Maksudnya ia membaca “teks” yang terbentuk di dalam benaknya
ketika sedang membaca teks yang ada luar. Jadi tidak ada hubungan dengan membaca
pikiran pengarang.
434
Shastra Wangsa
nomor 26 sampai nomor 34. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa bait pertama Kembang
Ing Langit menyebutkan judul Telenging Liring: “ada lagi yang diajarkan, Telenging
Liring wahai mas dewa, di ujung mata konon, hening jernih berbadankan sunyi.”(wonten ta
ingucap malih, Telenging Liring mas dewa, ring tungtunging ilat reko, hening-hening
mawak sunya).
Sedangkan pada bait penutup menyebut Kembang Ing Langit sebagai judul. Lebih
jelasnya perhatikanlah dalam kutipan terjemahan berikut ini: “Sudah digubah Kembang Di
langit, judul dari karangan ini, yang berupa asap konon, apinya aku tidak mengetahui,
sehingga aku menjadi tidak jelas, pandangan mata diriku bingung, tak paham isi tulisan.”
Demikianlah sedikit keterangan tentang Kembanging Langit atau Telenging Liring sebuah
kidung karya Dang Hyang Nirartha yang berbahasa campuran Sasak. [KR]
Tirtha Arum
Cerita dalam Babad Ksatria Tamanbali dimulai dengan kedatangan Padanda Shakti
Wawu Rawuh ke Gunung Agung. Tidak diceritakan apa yang dilakukannya bersama
Bhatara Subali di sana. Yang diceritakan jutru perjalanan sekembalinya dari Gunung
Agung. Apa yang terjadi dalam perjalanan balik itu? Jawaban dari pertanyaan inilah yang
menjadi awal mula lahirnya nama Tamanbali. Seperti di bawah ini jawabannya.
Padanda Shakti Wawu Rawuh menuruni jurang Malangit untuk mencari sumber air.
Karena yang dicarinya tidak ditemukan, maka terjadilah seperti yang sering terjadi di
dalam cerita babad-babad yang lain. Ia menancapkan tongkatnya bukan di tanah,
melainkan di atas batu cadas. Keajaiban pun terjadi. Keajaiban pertama, dari tancapan
435
Shastra Wangsa
tongkat di batu cadas muncratlah air deras sangat jernih dan berbau harum. Keajaiban
kedua, sesosok perempuan muncul dari mata air batu cadas itu. Siapakah perempuan itu?
Perempuan itu bukanlah manusia. Dari dialog Padanda Shakti dengannya, kita diberitahu
bahwa perempuan itu adalah Dewi Penjaga Air yang bersemayan di dalam “gua rahasia” di
dalam air itu sendiri. Kesempurnaan jnana seorang Pandanda Shakti menyebabkan Dewi
Penjaga Air itu kelihatan nyata ada di dalam gua yang ada di dalam air. Maksudnya, Sang
Dewi bisa dilihat nyata hanya dengan jnana, bukan dengan mata. Siapa sejatinya Sang
Dewi itu? Dari paparan cerita selanjutnya kita diberitahu bahwa Sang Dewi adalah
shaktinya Wisnu. Begini ceritanya.
Keharuman bau air itu menembus sampai ke alam Dewa. Wisnu pun turun ke sumber air
itu. Dilihatnyalah Sang Dewi. Walaupun melihat hanya sekelebat bayangan, namun hati
Wisnu langsung terpesona. Bangkitlah birahinya. Melelehlah spermanya di atas batu.
Sekembalinya Wisnu ke alam dewa, Sang Dewi pun ke luar dari dalam gua rahasianya.
Dilihatnya sperma segar itu. Diambilnya. Dan ditelannya habis. Sang Dewi pun hamil!
Wisnu kembali turun ke mata air itu. Dilihatnya Sang Dewi sedang mengandung. Maka
terjadilah dialog antara yang bertanya dan yang menjawab. Dari dialog itu, tahulah Wisnu
bahwa dirinyalah yang telah menyebabkan Sang Dewi hamil. Tahulah Sang Dewi bahwa
Wisnulah sang empunya sperma. Setelah mengetahui dan diketahui, Wisnu pun
memperistri Sang Dewi. Mereka pun kembali ke alam dewa. Selesai! Begitulah, Dewi
Penjaga Air itu adalah shaktinya Wisnu. Ia ada di gua rahasia mata air yang kemudian
disebut Tirtha Arum. Mata air itu tercipta dari tancapan tongkat-jnana seorang Padanda
Shakti, yang ketika itu dalam perjalanan balik dari kunjungannya pada Bhatara Subali di
Gunung Agung.[BKTB]
Tri Sadhaka: Tiga yang beryoga: Brahmana Shiwa Buddha Ksatriya Putus
Tentang Tri Sadhaka, seperti inilah dinyatakan di dalam Iswara Tattwa: “Sekarang
bicarakan Sri Bhanoraja menjadi seorang pendeta yang bertindak sebagai Guru Nabhenya
adalah Bhagawan Purbhasomi, seorang brahmana sedari bayi. Dua sebagai purohitanya,
yaitu Shiwa dan Buddha sebagai purohita. Yang Buddha bernama Bhagawan Romacchana.
Tidak ubahnya seperti Sang Hyang Tri Purusa kelihatannya mereka itu. Seperti Bhatara
Shiwa Sadashiwa Paramashiwa. Merekalah Sang Tiga Wisesa. Tidak ubahnya Sang Hyang
Brahma WisnuIswara yang bersthana di ketiga jagat. Sekarang Sri Bhanoraja bergelar
436
Shastra Wangsa
437
Shastra Wangsa
Alib namanya orang seperti itu. Termasuk orang yang bodoh, badannya sendiri dianggap
utama, tidak ada bedanya dengan binatang. Akan tetapi di dalam dunia fana dan dunia
baka, atmanya kemudian menjadi kerak-kerak kawah neraka Gomukha, dibuat sengsara
oleh para Kingkara, yaitu pasukan Yama sebagai Dewa kematian, hingga saat
penjelmaannya di masa depan, berubah menjadi manusia dengan yoni binatang. Sedangkan
seorang pendeta, bagaimana apabila demikian, karena ia bisa mengajari badannya,
sehingga dilepaskannya kemelekatan-kemelekatannya. Karena ia ada di dalam keadaan
damai, disembuhkannyalah badannya sendiri. Sebagai “sebuah perahu” maka dirinya akan
kembali ke alam Sunyata, tidak lagi terkena oleh penjelmaan. Sedangkan apabila loba akan
kedamaian, maka seorang wiku akan kembali menjelma. Ia akan menjadi manusia
tingkatan utamalah dirinya, dijunjung oleh para warga. Seperti itulah keutamaan orang
yang menjalankan dharma. [PGS]
Tusan
Sub-wangsa Tusan ini bermula dari nama I Gusti Tusan, putra ketiga Kiyai Agung
Patandakan, cucu dari Kiyai Nyuhaya, kumpi dari Arya Kapakisan. Dari lima orang putra I
Gusti Tusan, kecuali putra sulung yaitu I Gusti Ngurah Bungbungan, semua memiliki
keturunannya masing-masing. Menurut babadnya, pada generasi ke tiga di bawah I Gusti
438
Shastra Wangsa
Tusan sudah mulai nampak penghilangan gelar gusti pada sebagian nama keturunan
mereka. Namun sebutan I masih dipertahankan. Misalnya, I Ungseh, I Meled, I Mugem, I
Kusah, I Tumpes. Sub-wangsa Tusan ini menyebar di beberapa tempat di Bali. [BN]
Tutur Masredah
Tutur Masredah adalah salah satu karya Dang Hyang Nirartha. Keterangan tentang judul
dan pengarang ini diperoleh dari teks Dwijendra Tattwa. Teks ini berbagai ajaran hidup
dan mati. Salah satunya terdapat ajaran Tingkahing Wiku Angawet Stri, yaitu tata cara
seorang pendeta berhubungan badan dengan istri. [TMR]
439
Shastra Wangsa
440
Shastra Wangsa
dirinya telebih lagi Atma orang lain.Begitulah pembukaan Tutur Sayukti yang
“memberitahu” kita pada level apa Dukuh Suladri menempatkan pikirannya. Pada bagian
lain dari Tutur Sayukti, disebutkan langsung maupun tidak langsung, nama-nama ajaran
shastra, antara lain:Panglepasan Pashupati, Sudukswari, Prayoga Kalepasan, Gumi
Patimahan, Marga Caturjanma, Marga Tiga [marga Brahmana, marga Dalem, marga
Wesya].[TS]
441
Shastra Wangsa
[U]
Undagi
Orang yang berpengetahuan seperti itu, seterusnya bernama Undhagi sampai sekarang
ini. Sang Wiswakarmalah yang akhirnya dijadikan tauladan oleh manusia, segala macam
pekerjaan membuat istana. Beliau adalah sebab musabab manusia dahulu membuat rumah.
Begitulah pada awalnya, sehingga ada desa di Medang Alas namanya, cikal bakal orang
membuat rumah konon pada jaman dahulu. [PGS]
442
Shastra Wangsa
[W]
443
Shastra Wangsa
terjadi konflik antara Calon Arang dengan Mpu Bharadah, maka itu bisa dilihat selain
konflik antara dua besan, juga konflik antara adik ipar dengan kakak ipar. [dari berbagai
sumber]
444
Shastra Wangsa
Ayu Singharsa. I Gusti Gunung Agung inilah yang selanjutnya menurunkan Arya Wang
Bang Sidemen. Sedangkan I Gusti Ayu Singharsa setelah dewasa dinikahi oleh I Gusti
Byasama, yang selanjutnya menurunkan Arya Dawuh. [RAK]
445
Shastra Wangsa
tidak mudah. Selain Wangi Laksana Sharira, ada pula ajaran bernama Aji Purwa Wangi.
[WLS]
446
Shastra Wangsa
Shiwa. Dan Sang Bubuksah semoga menjadi Brahmana wangsa Buddha. Sama-sama
menjadi Shiwanya jagat, lahir pada awal mula adanya wangsa Shiwa Buddha di jagat
Kling, Majapahit”.[BWT]
Wangsa Ksatrya
Setelah tahapan nuhun pada dilewati, dilanjutkan dengan tahapan yang disebut matirtha.
Dalam penjelasan tentang tahapan matirtha terdapat ucapan “menghilangkan wangsa”.
Seperti berikut ini kutipannya: “Saat pemercikan air suci, Sang Murid sebagai Parama
Acintya, yaitu rasa tanpa mala, Sang Guru Nabhe sebagai Acintya Paramashunya
Nirbhana. Seperti itulah pada saat pemercikan air suci, menghilangkan wangsa ksatrya” (di
matirthane sang sisya maraga paramacintya, rasa nirmala, sang adi maraga acintya
paramashunya nirbhana, keto di matirthane, ngilangan wangsha ksatryane).
Kutipan tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa esensi dari tahapan matirtha dalam
upacara diksa adalah menghilangkan wangsa ksatrya. Wangsa ksatrya yang dihilangkan
adalah wangsa ksatrya yang ada pada Sang Murid, yang dalam dua tahapan sebelumnya
telah juga menghilangkan wangsa sudra dan wangsa wesya yang ada pada dirinya. Sarana
447
Shastra Wangsa
untuk menghilangkan wangsa ksatrya itu adalah tirtha acintya Paramashunya Nirbhaņa.
[BP]
Wangsa Sanjaya
Siapakah Maya Danawa? Danawa berarti keturunan danu, atau yang lahir dari Dewi
Danu. Maya selain berarti pradhana, juga diartikan kemampuan untuk menjadi maya, alias
tidak kelihatan, atau kelihatan samar-samar, atau sebentar kelihatan sebentar hilang. Tokoh
Maya Danawa hidup sekitar tahun 882 Masehi disebutkan beristana di daerah seputaran
Danau Batur. Selain itu, ia dikenal sangat sakti, dan memiliki kemampuan maya-maya itu.
Ia adalah raja Bali yang pertama yang bisa diketahui berdasarkan sumber-sumber tertulis.
Darimanakah ia berasal? Menurut keterangan sejarah, Maya Danawa berasal dari Wangsa
Sanjaya atau Wangsa Kalingga di Jawa. Leluhur Mayadanawa bukanlah orang Bali. Ia
adalah keturunan pendatang dari Jawa. Di Bali ia memiliki julukan, seperti Sri Ratu
Ugrasena Tabanendra. Kerajaannya bernama Singhamandawa, atau juga disebut Singha
Mandala.[dari berbagai sumber]
448
Shastra Wangsa
Wangsa Ksatrya
Teks Brahma Wangsa Tattwa menjelaskan tentang wangsa ksatrya seperti berikut ini:
“Setelah lahirnya seorang putra dari upacara Homa, ia disuruh menjaga dunia seluas
Bharatawarsha. Begitulah awal mulanya ada wangsa, yaitu wangsa brahmana dan wangsa
satriya yang dijadikan sebagai putra oleh Bhatara Brahma. Ksatrya dan Brahmana sama-
sama diberikan kewenangan menjadi pendeta. Ksatrya dan Brahmana dibenarkan memuja
bersama-sama. Sang Ksatrya dibenarkan mengentaskan orang mati di Madhyapada. Begitu
perkataan Bhatara memberikan anugerah, terutama Bhatara Brahma, Bhatara Dwijendra,
asal mula adanya brahmana ksatrya sempai sekarang. Janganlah orang yang tahu tentang
kepanditaan mengabaikan ucapan shastra ini. Begitu pula yang menjadi penerang bhuwana
hendaknya mengikuti shastra ini. Apabila tidak mengikuti akan menyebabkan orang yang
memerintah jagat mendapatkan bencana”. [BWT][Lihat Lampiran Teks: Wangsa Ksatriya]
449
Shastra Wangsa
seperti tanah yang naik menjadi candi, dengan cara seperti itulah kekotorannya hilang.
[BWT]
Wangsa Sudra(1)
Dalam upacara diksa ada satu tahapan yang disebut ndilah. Dalam prakteknya tahapan
ndiah ini dilakukan dengan mempertemukan ujung jempol kaki kiri guru dengan ujung
lidah murid. Berdasarkan tattwanya, teks Bongkol Pangasrayan menyebutkan bahwa:
“Begitulah pada saat ndilah, menghilangkan wangsa sudra dalam diri.”(keto di ndilahe,
ilangan wangsha sudrane). Tentang tahapan-tahapan diksa ini, dapat dibaca dalam
berbagai teks dengan judul Tingkahing Adiksani. [BP]
Wangsa Warmadewa
Sejarah Bali mencatat nama Sri Kesari Warmadewa sebagai raja yang berkuasa sekitar
tahun 913 Masehi. Kerajaannya konon bernama Singhadwala yang diperkirakan berlokasi
di seputaran daerah Besakih, atau di kaki Gunung Agung, Bali Timur. Daerah kerajaan itu
disebut sebagai bumi kahuripan, bisa berarti Koripan (di Jawa) bisa berarti kehidupan.
Siapakah Sri Kesari Warmadewa itu? Para sejarawan menyebutnya sebagai keturunan dari
Wangsa Warmadewa, yaitu Sriwijaya. Sri Kesari Warmadewa mengalahkan Mayadanawa.
Kemenangan inilah yang kemudian dilembagakan sebagai hari kemenangan dharma
melawan adharma, yang dikenal sebagai hari raya Galungan sampai Kuningan.Para ahli
memberitahu bahwa Sri Kesari Warmadewa bukanlah satu-satunya keturunan Wangsa
Warmadewa yang pernah berada di Bali. Ada nama-nama lain, seperti Sri Ugrasena
Warmadewa, Shri Tabanendra Warmadewa, Jayasingha Warmadewa, Jayasadu
Warmadewa, Dharma Udayana Warmadewa. Yang namanya disebutkan terakhir menikah
dengan cicit Mpu Sendok bernama Gunapriya Dharmapatni, atau Mahendradata.
450
Shastra Wangsa
Perkawinan itu melahirkan Erlangga, yang menjadi raja di Jawa Timur. Wangsa
Warmadewa ini berkuasa di Bali kurang lebih sampai tahun 1000 Masehi. Pada periode
inilah Bali mengalami banyak perubahan baik dalam peradaban fisik maupun peradaban
batin. [dari berbagai sumber]
451
Shastra Wangsa
sesungguhnya adalah satu. Oleh karena itu, segala sesuatu adalah satu di seluruh dunia.”
[WP]
Watek Gandharwa
Bhagawan Dharmaraja diberikan anugerah oleh Sang Nabhe melaksanakan rangkaian
upacara mengentaskan orang meninggal, turut dalam “barisan” Tri Sadhaka Wisesa, sama-
sama memberikan tirtha penglepas kepada orang meningga di jagat Purbha Sasana. Tidak
ada yang membencanai negerinya itu, malah bertambah-tambah kesejahteraan dan ditakuti
musuh. Sri Jaya Wikrama, dan seluruh atma orang yang dientaskan oleh Sang Tri Sadhaka
wangsa, berubah menjadi watek Gandharwa. Segala dosa papa-pataka ketika masih ada di
alam manusia sirna oleh mantra Sang Tri Shakti. Itulah sebabnya jagatnya menjadi
452
Shastra Wangsa
selamat, tidak ada orang mati semasih bayi. [IT] [Lihat Lampiran Teks: Watek
Gandharwa]
453
Shastra Wangsa
Pasek Bandesa menyebutkan bahwa ada keturunan I Gede Manik Mas yang tinggal di
banjar Wani Tegeh, Jemberana, di Pujungan, dan di Berathan. Para keturunan ini konon
dengan tekun mempelajari ilmu Canting Mas, Shiwer Mas, Weda Sulambang Gni dan
Pashupati Rancana. Sementara itu, senanglah hati Ida Ayu Swabhawa yang bersthana di
Pulaki karena dipuja oleh orang-orang sumedang (wong samar). [BPBN]. Weda
Sulambang Gni juga disebutkan dalam babadnya raja Mengwi, bergelar Cokorda Shakti
Blambangan. Konon ajian ini adalah pemberian dari Dang Hyang Nirartha kepada Sang
Raja untuk mengalahkan murid-murid Balian Batur, tokoh pangiwa jaman itu. [BMW-1]
Widhi Shastra(1)
Widhi Shastra adalah judul sebuah lontar yang diberikan oleh Dang Hyang Nirartha
kepada Dalem Waturenggong. Menurut keterangan babad, pada saat itu pulau Bali
mengalami masa paceklik, karena semua tanaman diserang hama, dan banyak sekali
penyakit mewabah di desa-desa. Dalem kemudian mengutus orang untuk mohon nasehat
dari Dang Hyang Nirartha yang kala itu ada di Huluwatu. Kepada Dalem akhirnya
diberikan lontar berjudul Widhi Shastra agar petunjuk ajarannya dijadikan dasar untuk
mensejahterakan jagat Bali. [SPT]
454
Shastra Wangsa
masing-masing. Dalem Waturenggong wafat tahun Saka 1472 atau tahun 1550 Masehi. Ia
digantikan oleh putera sulungnya Ida Dalem Bekung, dengan Patih Agung Kryan Batan
Jeruk. [BAKW]
455
Shastra Wangsa
yang “dilinggihkan” oleh sang wiku, tidak ada sekelebatan mewujud olehnya. Itu bernama
wiku Amayong-Mayong. [TKWM, SPT]
Wiku Ambeng
Menurut sumbernya ada beberapa jenis wiku yang dipandang cacat di dunia ini,
misalnya: wiku pancer, wiku candana, wiku pangkon, wiku ambeng, wiku palang pasir,
wiku saba ukir, wiku sangara, wiku grahitta. Itu adalah delapan jenis wiku yang cacat.
Sedangkan yang dimaksud dengan Wiku Ambeng adalah wiku yang ikut bersama-sama
berlayar bersama pedagang atau saudagar sambil menjual ilmu pengetahuan. [SPT, PS]
Wiku Anilibaken Rat:menggampangkan shastra karena orang lain dikira tidak mengerti
Yang bagaimana bernama wiku anilibaken rat [menyembunyikan dunia]? Wiku jenis ini
mengharapkan balasan jasa [guruyaga] yang besar. Jalan pikiran wiku jenis ini,
menggampangkan weda dan shastra karena diduga orang yang punya yajna tidak akan
mengetahui salah benarnya. Seperti itu jalan pikiran wiku jenis ini. Apabila ada wiku
sekelas ini, janganlah hendaknya dijadikan tempat penyucian bagi para raja, baik untuk
upacara mayat [sawawedana], upacara abu jenasah [astiwedana], karena tidak akan
mampu wiku jenis ini membersihkan kekotoran mayat. Kalau untuk upacara abu jenasah,
tidak akan bisa dientaskan kekotoran abu-abu jenasah itu. [SPT]
456
Shastra Wangsa
karuan lagi.Tapi apabila ada orang memintanya untuk menyelesaikan sebuah upacara, ia
berusaha keras melakukannya, karena ada imbalan yang dilihatnya. Bagaimana pun
beratnya rasa sakit di badan, tetap saja ia berjalan. Itulah yang dinamakanwiku drohaka,
atau juga disebutwiku angrusuh. Prinsipnya wiku jenis ini, pokoknya asal dapat imbalan.”
[SPT]
Wiku Bhiksuka
Dan ada wiku yang patut dihormati oleh seketurunanku, boleh dijadikan tempat
penyaucian orang-orang yang memerintah jagat, antara lain: wiku grehasta, wikubhiksuka,
wiku wanaprasta, wiku sukla brahmacari, Itulah empat jenis wiku yang boleh sebagai
penyucian jaga [SPT]. Wiku bhiksuka adalah wiku yang senantiasa mempelajari shastra,
paham akan segala tattwa, hidup mengembara tidak menetap dalam masyarakat, selalu
meneguhkan prayoga, tidak terkena oleh perasaan ragu, siang dan malam dipandangnya
sama, berdana punia dengan buku, telah sempurna dalam hal dharma tiga, dalam hubungan
dengan perempuan ia luput. [PS]
457
Shastra Wangsa
Wiku Cacing
Apa atau siapakah yang dimaksudkan dengan sebutan Wiku Cacing? Istilah Wiku
Cacing disebutkan di dalam teks berjudul Wiksu Pungu. Menurut teks Wiksu Pungu, yang
dimaksudkan dengan Wiku Cacing adalahseorang pendeta yang memperkarakan sepetak
sawah yang tidak bisa lagi diperkarakan.Pendeta seperti itulah salah satu contoh Wiku
Cacing menurut Wiksu Pungu. [WS]
Wiku Candhana
Wiku yang cacat di dunia, misalnya: wiku pancer, wiku candana, wiku pangkon, wiku
ambeng, wiku palang pasir, wiku saba ukir, wiku sangara, wiku grahitta. Ini adalah delapan
jenis kewikuan yang cacat. Yang dimaksud Wiku Candana adalah wiku yang berpegang
teguh pada shastra, memperhatikan candi prasada, berguru dan hormat kepada tempat suci.
Maksudnya,ia hanya berguru kepada Sang Hyang Widhi Wasa. [SPT, PS]
Wiku Catur
Ada wiku yang patut dihormati oleh seketurunanku, boleh dijadikan tempat penyucian
orang-orang yang memerintah jagat, antara lain:wiku grehasta, wiku bhiksuka, wiku
wanaprasta, wiku sukla brahmacari.Itulah empat jenis wiku yang disebutkan memiliki
kewenangan sebagai penyucian jagat. [SPT]
Wiku Ceda(1)
Apabila ada seorang wiku yang memiliki cacat yang kelihatan, tidak dibenarkan
melakukan pemujaan di kahyangan jagat, termasuk melakukan puja Panca Walikrama,
termasuk segala macam upacara Tawur. Pendeta seperti ini tidak dibenarkan melaksanakan
upacara penyucian jagat [SPT]. Wiku yang cacat di dunia, misalnya: wiku pancer, wiku
candana, wiku pangkon, wiku ambeng, wiku palang pasir, wiku saba ukir, wiku sangara,
wiku grahitta. Ini adalah delapan jenis kewikuan yang cacat. [SPT]
458
Shastra Wangsa
mengungsi dari jagat itu. Kalau wiku seperti ini mengentaskan atma, maka atma yang
dientaskan itu tidak akan terentaskan, malah neraka jadinya. Keturunannya disusupi oleh
Dorakala. [SPT]
Wiku Dekil
Wiku dekil adalah sebutan untuk seorang pendeta yang membawa sendiri alat-alat
pemujaan (shiwa pakaranan) sampai di batas tempat pembakaran. Pendeta seperti ini
walaupun kelihatannya “mandiri”, menurut shastra jaman dahulu harus dihukum dengan
cara pengusiran ke luar daerah. [RPG]
Wiku Drohaka
“Wiku Drohaka adalah sebutan untuk seorang wiku yang sedang menderita sakit, tidak
mendapatkan kesembuhan di dunia ini, Weda mantranya sudah tidak karuan.Tapi apabila
ada orang memintanya memuja, ia berusaha keras melakukannya, karena ada imbalasan
yang dilihatnya. Bagaimana pun beratnya rasa sakit tetap ia berjalan. Itu nama wiku
drohaka, atau wiku angrusuh, prinsipnya asal dapat imbalan”. [SPT]
Wiku Grehasta
Ada wiku yang patut dihormati oleh seketurunanku, boleh dijadikan tempat penyucian
orang-orang yang memerintah jagat, antara lain: wiku grehasta, wiku biksuka, wiku
wanaprasþa, wiku sukla brahmacari. Itulah empat jenis wiku yang boleh sebagai
penyucian jagat. Yang dimasudkan dengan wiku. Wiku grehasta adalah wiku yang hidup
bersama anak isteri di suatu tempat di tengah masyarakat,megajarkan pengetahuan kepada
masyarakat, hormat dalam menerima tamu, melakukan pemujaan pada Homa, berbhakti
kepada keleluhuran dan kepada dewa, disiplin melakukan yoga samadhi, melakukan
459
Shastra Wangsa
pemujaan dalam yajnya, sehingga dari sana ia menerima guru yaga, dengan senang hati
menolong orang yang sedang dalam kesusahan, selalu berbuat kebaikan, dan tidak
mnghasratkan kekayaan. [PS, SPT]
Wiku Grahitta
Pendeta yang bagaimanakah yang dimaksudkan dengan Wiku Grahita? Istilah Wiku
Grahita muncul di dalam teks Purbha Sasana. Menurut teks Purbha Sasana, seorang Wiku
Grahita adalah wiku yang mencari nabhe yang lain, atau wiku yang mempunyai nabhe
lebih dari satu orang, lalu tidak mengindahkan nabhe yang pertama. Grahita artinya
gerhana. Karena memiliki guru nabhe lebih dari satu maka diibaratkan bertumpuk seperti
bayangan gerhana. [PS]
Wiku Jnana
Tiga macamnya kewikuan, yaitu, ada yang bernama karma, ada yang bernama jnana, ada
yang bernama yogi. Jnana namanya seorang wiku yang sadar bahwa sekujur tubuhnya
adalah dewata, dan tubuhnya sebagai bhuwana, ia juga tahu bahwa jnana bersinar jernih
cemerlang.Itulah sebabnya ia mendiamkan diri, tidak memuja, tidak melakukan homa,
tanpa caru, tidak membuat “kaba-kaba”, santosa ia di dalam jnana, tidak sembarang
pekerjan dikerjakannya, namun jnana itu juga yang dirawatnya setiap saat, karena sudah
matang pengetahuannya tentang yang wisesa itu, itulah sebabnya bernama wiku jnana.
Pengertian “kaba-kaba”secara harfiah adalah permainan. Maksudnya, mengupacarai
bentuk-bentuk perwujudan. [WT]
460
Shastra Wangsa
berjumpa dengan musuhnya, kemudian membuat pertengkaran. Wiku ini sangat beresiko,
bukan Wiku Dharma melainkan Kalicun Kataka namanya. Wiku seperti ini tidak boleh
melakukan puja parakrama, karena sudah salah jalan namanya. [TKWM]
Wiku Karma
Tiga macamnya kewikuan, yaitu, ada yang bernama karma, ada yang bernama jnana, ada
yang bernama yogi. Karma namanya seorang wiku yang melakukan brata kayika, memuja,
melakukan Homa, berjapaterus menerus.Adapun di tempat pertapaan bercocok tanam
pekerjaannya.Hasil dari pekerjaannya bercocok tanam itu kemudian dipersembahkannya
kepada bhatara dan kepada Sang Abhyagata, itulah yang bernama Wiku Karma. [WT]
461
Shastra Wangsa
Wiku Panjer
Istilah Wiku Panjer disebutkan di dalam teks Purbha Sasana dan teks Shastra Purwana
Tattwa. Menurut kedua teks tersebut, yang dimaksudkan dengan Wiku Panjer
adalahseorang pendeta yang tekun melakukan kewajibannya siang dan malam untuk
mendapatkan dana-punya (guru-yaga) guna mendapatkan harta benda. Pendeta seperti ini
banyak mempunyai muird, serta menghumbar hawanafsunya dan tidak selaras dengan
istrinya. [PS, SPT]
Wiku Pangkon
Istilah Wiku Pangkon disebutkan di dalam teks Purbha Sasana dan teks Shastra Purwana
Tattwa. Menurut kedua teks tersebut, yang dimaksudkan denganWiku Pangkon adalah
seorang pendeta yang tidak memiliki saksi, pendeta yang tidak memiliki nabhe.Pendeta ini
berguru kepada Sang Hyang Widhi Wasa untuk mendapatkan ilmu yang utama, atau ilmu
yang tinggi. [PS, SPT]
Wiku Rajakreta & Bhagawan Indraloka: mengupacarai yang hidup dan yang mati
Yang disebut sebagai Wiku Rajakreta adalah Bhagawan Dwijendra, yang diciptakan oleh
Brahma sebagai pendeta brahmana. Yang disebut sebagai Bhagawan Indraloka adalah
Hyang Ratnabhumi yang diciptakan oleh Brahma sebagai pendeta ksatriya. Keduanya
dinugerahi kewenangan memuja. Ketika Wiku Rajakreta dan Bhagawan Indraloka ada di
Jawa, kedua pendeta itulah yang menyucikan orang yang masih hidup ataupun sesudah
mati. Tidak ubahnya nampak oleh Sang Wiku Rajakreta segala macam atma bercakap-
cakap dengan Sang Guru, sebagai Shiwa. Keduanya sama-sama shakti bersaranakan
pikiran, seperti kekuatan genta ucapannya yang selalu terbukti. [BWT]
Wiku Raksasa
Yang dimaksud dengan Wiku Raksasa adalah seorang pendeta yang sama sekali tidak
memiliki apa yang disebut santosa buddhi. Pusat pikirannya adalah imbalan jasa. Imbalan
yang masuk tidak boleh dikurangi, diambil semua tidak ada yang kembali sedikit pun. Itu
bukanlah Wiku Dharma, itu adalah Wiku Raksasa namanya. Tidak akan kokoh keberadaan
pendeta seperti itu di dunia ini. Pada saat datangnya kematian, pendeta tersebut akan jatuh
di dalam api neraka, seratus tahun lamanya menemukan siksa neraka. [SPT]
462
Shastra Wangsa
463
Shastra Wangsa
Wiku Tasak
Istilah Wiku Tasak disebutkan di dalam teks Purbha Sasana. Secara harfiah, kata tasak
berarti matang. Jadi yang dimaksudkan dengan Wiku Tasak, adalah seorang pendeta yang
sudah matang. Yang bagaimanakah dinamakan matang? Seperti berikut inilah penjelasan
Purbha Sasana tentang apa yang disebut matang: “Apabila mengetahui pertemuan ketiga
mata, yaitu perpaduan matahari bulan, bila mengetahui hal itu, itu adalah wiku yang
matang namanya” (yan wruh ring pakumpulaning soca tiga, ndan pasuruping surya
candra, yan wruha rika, ya wiku tasak ngaran). [PS]
Wiku Wanaprastha
Istilah Wiku Wanaprastha disebutkan di dalam teks Purbha Sasana. Wana berarti hutan.
Prasta artinya perjalanan. Yang dimaksudkan denganWiku Wanaprastha menurut teks
Purbha Sasana adalah pendeta yang bertapa degan cara menyusup di tengah-tengah hutan
464
Shastra Wangsa
sunyi, tidak terkena oleh perempuan, berbhakti kepada dewa, yoganya langgeng pada
tingkatan samadhi, sebagai pikirannya adalah alam niskala yang tidak berbalik sakala.[PS]
Wiku Yogi
Tiga macamnya kewikuan, yaitu, ada yang bernama karma, ada yang bernama jnana, ada
yang bernama yogi. Demikian disebutkan di dalam teks Wrehaspati Tattwa. Yang
dimaksudkan dengan Wiku Yogi adalah pendeta yang mengikuti jalan yoga, terutamanya
adalah Sang Hyang Prayogasandhi, yaitu yoga penunggalan kembali dengan asal atau
sumber, yaitu Paramashiwa. Karena Sang Hyang Wisesa itu tanpa sifat, tidak bisa
ditunjukkan, tidak tepat bila dibicarakan, itulah sebabnya tiga macamnya pramana, yaitu,
gurutah, sastratah, swatah. [WT]
Wiradangka
Wiradangka atau Sang Wiradangka adalah salah seorang anak dari Mpu Wiradangka
yang tinggal di Pasuruhan. Sang Wiradangka pergi ke Bali kemudian kawin dengan Ni
Ayu Kamareka dan mempunyai empat orang anak, urutannya dari sulung ke bungsu: De
Pasek Lurah Gaduh, De Pasek Lurah Ngukuhin, De pasek Lurah Kadangkan, yang bungsu
Ni Rudani. [RAK]
465
Shastra Wangsa
Wisnu Wangsa:
Datanglah Sang Citraratha dari Bhawari Loka, membawa seorang anak perempuan, Sang
Kyati namanya, keturunan Gandharwa. Diberikanlah kepada Sri Bhatatipati, sebagai
permaisurinya menjadi raja. Wisnuwangsa adalah keturunannya, inginlah ia dinobatkan
sebagai raja. Datanglah jaman Tretayuga menggantikan jaman Kreta yang sudah lewat,
dipinanglah kumpulan dewata terlebih dahulu Sang Resi Ghana serta Sang Wiku Tapa haji
semuanya. Sebagai pemimpinnya adalah Bhagawan Siddha Yoga, yang memulai adanya
sinar terdahulu, hadir memberi persembahan kepada Sang Hyang Homo Widhi, dengan
puja parikrama. Entah berapa lama berselang, berbaik hatilah para sesama raja, semua yang
terhimpun dalam Catur Dasa Manu, sebagai sahabat dari Sri Bhatati, memutar pulau Jawa,
tidak ada yang berkurang dari gurunya Bhagawan Siddhayoga. Adapun sekarang ini ada
keturunan beliau Sri Bhatatipati, Sang Hyang Indra mendapatkan tubuh untuk mengelilingi
dunia, menjadi seorang raja Sri Taki namanya. Ia berkeinginan dari awal setahap demi
setahap mempelajari tata cara menjadi raja di pulau Jawa. Banyaklah kemampuan beliau
menciptakan kewibhawaan, mengangkat seorang maha patih, Demang, Tumenggung,
Anglurah, Pacatandha semuanya dan juga Wado Haji, Rama Bahu, Rama Tantu, Rama
Punta, dan masih banyak lagi.[PGS]
Wiswakarma
Tak lama kemudian turunlah Bhatara Wisnu beserta Dewi Sri diutus oleh Bhatara Guru,
sebagai raja di pulau Jawa, secara kasat mata menjadi lingganya bhuwana, menguasai
buah dari segala yang tumbuh. Adapun perjalanan Bhatara Wisnu dan Bhatari Sri muncul
dari langit. A berarti tidak ada,Wang berarti tinggi. Hyang berarti Bhatara. Itulah sebabnya
Sang Kandhyawan nama julukan Bhatara Wisnu. Sang Kandhyahyun nama julukan Bhatari
Sri. Mereka adalah Ardhanareswari, karena awal dari cinta mereka dahulu ketika ada di
Wisnuloka. Adapun sekarang ia menjadi raja di Medang Kemulan, terasa tanda-tandanya
di negaranya. Disuruhlah Sang Wiswakarma membuat istananya dan kubu-kubu, berisi
gerbang, berisi seperti belalai panjang hingga di halaman depan, sampai di bangunan
Balairung. Seperti itulah caranya menata istana, tak terhingga suka perasaan Bhatara
Wisnu memelihara bhuwana. Beliaulah yang mengetahui asal dan tujuan dari segala
macam penjelmaan. Seperti itulah awal mulanya pada jaman dahulu.[PGS]
466
Shastra Wangsa
Wiwikwan: wiku-wikuan
Wiwikwan berarti wiku-wikuan. Maksudnya adalah wiku palsu atau wiku tidak sejati.
Wiku palsu ini tidak memiliki sifat-sifat dharma. Dalam hal makan, wiku palsu ini tidak
mengikuti aturan, baik aturan waktu makan, tempat makan, dan jenis makanan. Apabila
wiku seperti ini ditugaskan memimpin upacara untuk menyucikan jagat, maka sebaliknya
jagat akan menjadi semakin kotor. Apabila wiku ini menyelesaikan upacara orang
meninggal, maka tidak akan berhasil menyucikan baik mayat maupun atma. Demikian
Shastra Purwana Tattwa menjelaskan. Karena wiku ini makan makanan yang mengotori
pikiran. [SPT]
Wong Tuwa
Bhuwana Suksma menyebutkan bahwa yang namanya Adiguru adalah Wong Tuwa.
Sedangkan yang dimaksudkan sebagai Wong Tuwa adalah seperti berikut ini.“Adiguru
namanya orang tua, orang bijaksana, yaitu mengetahui, yaitu mengetahui kelepasan dan
bersifat kukuh, Nang berarti tidak berbicara, Ning artinya tidak bergerak, karena ia sudah
purna candra kirana, purna artinya kumpulan, candra artinya penunggalan, kirana artinya
isi, yaitu les, atau inti kayu, yaitu las, yaitu ikhlas, yaitu habis, namanya bebas.” [BS]
467
Shastra Wangsa
468
Shastra Wangsa
keluargamu benci pada orang yang berbuat baik. Tidak ubahnya seperti Panca Baya
kedatanganmu sekarang ini. Pantaslah diri kalian berpikiran dengan budhi yang menderita
karena diri kalian bisa menghidupkan orang mati. Lihatlah sekarang, tak mungkin bertahan
hidup kamu oleh diriku. [PGS]
469
Shastra Wangsa
[Y]
Yajamana:Sapta Atma
Siapakah yang dimaksudkan dengan sebutan Sang Hyang Yajamana? Menurut teks
Jnanasiddhanta, Sang Hyang Sapta Atma itulah yang dinamakan Sang Hyang Yajamana
(Sang Hyang Saptatma sira kaharan sang hyang yajamana).Seperti itulah salah satu
pengertian dari Yajamana [JS]. Pengertian yang lain, Yajamana itu adalah sang pemimpin
upacara.
470
Shastra Wangsa
471
Shastra Wangsa
LAMPIRAN TEKS
Berbahasa Jawa Kuno dan Bali
Asthabhaga
Nihan dewi gayatri, ikang sinangguh astabhaga ring sarira, talinga tengen brahmini,
talinga kiwa maheshwari, mata tengen komari, mata kiwa waisnawi, irung tengen warahi,
irung kiwa indrani, tutuk krodhi, upastha mwang bhaga jyaistini, yeki ng astabhaga
wiwaranya, ya golaka, yeki ng astabhaga wiwaranya, ya golaka.[BS]
Babad Bandesa
Sapunika sane m ungguh ring prasasti, jati kalinganing aji, sane patut kasungsung,
sapretisantanan ingsune, sane magama Pasek, sane Bandesa, da ngarered kawangsan, da
ngesor tekening manusa pada, dening mula pakawit brahmana pandita. Mwah santanan
ingsun kita, elingakena pawekas ingsun ri kita, haywa lali makawitan, ingsun kawitanta,
ingsun brahmana wangsa, pandita jati twi keto ne nyantanang I Pasek Bandesa, yan tan
pangrenga ri pawekas ingsun, dudu kita Pasek, dudu kita Bandesa, dudu santananira, nora
wetu eng Majapahit, mangka piwekasku ri pretisantananku, sasanan I Pasek Gelgel,
sapretisantanan I Bandesa, sagenahe manggih bagiya, sapalaku tan kurang pangan, dirga
yusa, balawan, byuhi brana, sugih, waras, mangkana piteketku ri kita sadaya [BB]
Bhagawan Ratnabhumi
Mwah Bhathara Brahma amredi putra laki sakti, mayogga ta bhatara, mijil agni ring
tangan, tiba ring telaga doja, hinastukara matemahan amreta sanjiwani, winadhahan kundi
472
Shastra Wangsa
sphatika. Mwah pinrastista ring bhathara mijil wong rare lakibi saking dyun manik, mene
mijil enjang luhur, luwih sushakti, lumaku tan anampaksiti, Brahma Wishnu Ishwara
nyanma, kaparab de bhatara mawangsa satriya Bhagawan Ratnabhumi. [BWT]
Bhatara Dwijendra
Hana hyun Bhathara Brahma amredyaken wangsa, maputro brahmana shakti, maka
wenang mratista jagat, mijil ikang kukus ring urddha ning raga nira, mahor agni murub
sagunung tiba ring telaga dhoja matemahan kundi manik mesi mrettha kamandalu,
pinrayogga de bhathara matemahan ONG-ngkara sandi. Malih pinrastista de Bhathara
Brahma mijil wong rare mene hana mijil, henjang henjing luhur, brahmana rupa, maparab
Bhathara Dwijendra. [BWT]
Brahmana Resi
Ucapan Bhagawan Ratnabhumi, mangke maparab Bhagawan Indraloka, Bhagawan
Walkayana guru purohita nira, watek brahmana rsi, padha sakti. Hana citan bhagawan
Indraloka, amredyaken putra sakti, laki sulaksana, wira. Laksana dhira tan murud ring
sarwwa satru, prajnan ring naya wiweka, anengge jagat. Mayoga Bhagawan Indraloka
makulilingan ring jagat, cakra rinegepnya, nguncarakena weda mantra, dadi ta hana wakya
ring akasa; E i anaku Sang Indraloka lumekasakena cakranta, tibakena ring giri silasayan.
Mangkana wakya akasa. Pinanah ikang giri, giri mijil agni, agni matemahan tirtha, tirtha
dadi manik tiga warnna, abang kadi suryya wawu mijil, kresna warnna, sweta warnna.
Pinratista de Sanghyang Ongkara, dadi rare, Sanghyang Tiga maraga sawiji, Brahma
Wisnu Iswara, mene mijil enjang luhur wruh apapalayon, masurat cakratala bhedhananing
tangan, ingaranan wangsa satriya kula. Punika ngamijilan dalem pangulu ring Majapahit.
Kalane hana satriya wangsa tekaning mangke. Ri wijil putro sawiji saking homa, sira
kinwan rumaksa gumi salwaning Barathawarsa, mangkana pawitaning hana wangsa
brahmana wangsa satriya wangsa, prasiddha kasanakang olih Bhathara Brahma, satriya
473
Shastra Wangsa
lawan brahmana padha wenang. kanugrahan manditanin, padha amuja wenang sang satriya
lawan brahmana. Sang satriya wenang angentas wwang mati ring madhyapadha, mangkana
ling bhathara nugraha, makadinya Bhathara Brahma, Bhathara Dwijendra. Pawitaning
brahmana satriya tekaning mangke, haywa sang wruhing kapanditan winihangaken sakadi
ling shastra iti. Mwah sang dipa ning bwana anutaken ling sastra iki. Yan tan anut
mapwara wigna sang mawa gumi. Mwah padhartha ning wangsa brahmana tan hana teka
ning mangke, lwirnya sang mijil, ring lwang, ring krepa, ika tan hana. Wangsanya terus
tekaning mangka, mijil saking teja, anama treh tekaning mangke ring gumi Bali, maparab
Jayapurna, tan limbhak kadhang brahmana ika, kewala hana nugrahan Bhathara Brahma
sastra maka parimana wangsa brahmana utama. Sura tunggul wangsa mangkana
katatwanya. [BWT]
Brahmana Shakti
Hana hyun Bhathara Brahma amredihaken wangsha, maputro brahmana shakti, maka
wenang mratistha jagat, mijil ikang kukus ring urddha ning raga nira, mahor agni murub
sagunung tiba ring telaga dwoja matemahan kundi manik mesi mrettha kamandalu,
pinrayogga de bhathara matemahan ONG-ngkara sandi.[BWT]
474
Shastra Wangsa
Brahmangga
Pramananya pinaka sabda ring swapna, patinya, donya amishesa ring bhuwana agung,
bhuwana alit, ya mijiling rahina, ya suruping rahina, ya ingaranan brahmangga, ya
winangsitan gebang tan patulis, kalawan sirah bolong. [TMP]
Bubuksah Gagakaking(1)
Sira sang manon surup ing raditya wulan, hiya sang manon uriping damar, patining
damar, gingsire ring wutek, sumsum, hiya iki tegesing bubuksah gagakaking, wusing
agawe bubuksah wing wulan genahe, wusing agawe gagangaking ring raditya genahe, sang
bubuksah ring mata kiwa, sang gagangaking ring mata tengen, yan ring sarira. [BS]
Bubuksah Gagakaking(2)
Hana hyun Bhathara Dwijendra amredi putra sakti rwang siki, dharma pawitra, sarwa
rum, dharma ring kaparamarthan, mapaulah ring akasa. Mwah mreddhi putra, dharma sakti
asih sarwwa bhutha, mapaulah ring sor, mangkana hyun Bhathara. Dwijendra. Dumarana
homa widdhi sakti, mayogga Bhathara Dwijendra, kaddi Bhathara Shiwa, Nyatur Buja,
mijil Sanghyang ONG-kara saking akasa manglayang swara nira kadi genta pinuter tiba
ring ngarep Bhathara Dwijendra matemahan windu, windu matemahan kundi manik maya-
maya, mesi mrettha kamandalu, pinratista de Bhathara Dwijendra, pinasangaken ikang
yoga kama mretti, kinekes ring dyun kanaka, pinasang huti wedya suci tarpana, saha dupa
dipa, gandaksata gulgula, mrik ambe ning homa, tasak de nira mayogga santi, mijil ikang
agni saking dyun kunda. Ri telas ikang urubhing agni matemahan toya rum, saksana mijil
wong rare mangucap bapa ibu, wruh lumaku mijil saking dyun manik, tan hana
kapanggih wwang, hemjang henjing luwur, wruh mangaji, mawarah ring arinya; ih arin
ingsun lumakwa lunga matapa ring giri rengga ratnamaya, mangde siddha kapanggih sang
gumawe kaka ari mangkana ling sang kaka. Sang anten tar wihang ring adnya sang kaka.
Gelis padha lumaku, dateng ring bungkahing giri, madumpili genah matapa sira. Ling sang
kaka; ngastawa bhathara akasa tan katamanan lemeh, ling sang ari; ranten atapa ring
pritiwi, ring sor, samapta kahyun, age munggah ring arga ning giri irika mayoga. Ring sor i
yari mayogga, malawas ta sira atapa ring pucak ing giri, tan pamangan tan panginum, arig
ikang angga, kewala mahara bayu. Sang ari matapa ri sor sakkarsa ne ring pangan kinum,
malemu ta angganya makiris. Dadi ta mawelas bhathara kaki Hyang Brahma. Mwah
475
Shastra Wangsa
Hyang Dwijendra tumurun waranugraha ring putu nira, saksana miji. Hyang Brahma,
sinaputan ta lengkara teja, hana wakya bhathara; E hi putun hulun sang rwang sanak, bagya
ta sira matapa, kaki mawelas nugrahe putun ku rwa, wastu amanggih kaparamartha dadi
guru loka ning jagat sakti tar padha, dadi urip ing jagat, sira utama ning wangsa catur
jadma, pinaka uluning gumi, reh putun ku mayasa ring giri pinaka argga, kaki amarab
putun ku Sang Gagak Aking harana putun ku, wedi ring sarwwa lemeh. Mangkana ling
Bhathara Brahma. Mwah Bhathara Brahma nugraha ring putun ira matapa ring bungkahing
giri, mawacana ta bhathara; e ih putunku sang ngawangun tapa, kascaryyankwa ring puyut
ku ring para tapanta, tan pinggingan ring sarwwahara, cok bhaksa putun ku, sakti tar
padha, sarwwa bhutha wedi, winastu putun ku dadi mratista gumi, mwah kaki amarab
putunku maka ngaran Bukbuksah reh sira cok bhaksa. Mwah wangsan putun ku Sang
Gagak Aking, winastwa wangsa brahmanashiwa, mwah Sang Bukbuksah, winastwa
brahmana wangsa Budha, pada dadi shiwan jagat, wetu ning pawit hana brahmana wangsa
shiwa, budha ring jagat Kling Majapahit. [BWT]
Cungkub Kahyangan
Sang Hyang Shiwa Meneng ne malingga ring bhwana agung, palinggihan idane di
umarane saduhur ambun, ngaran, angkihan jagat, ngaran tukub kayangan, ring bhwana
agung ditu Sang Hyang Shiwa Meneng maraga hening shukla tan wenang bhuta kalane
maparek ring cungkub kahyangan. [KS]
Dadong
Mwah duk pasah sang hyang Ongkara dadi ongkara sumungsang, ne istri iki, mawak
idadong, maraga jangan, rasa becik, maka linggan idadong Ong, hidhep ida magenah ring
phalakiwa. [DA]
476
Shastra Wangsa
Daha Koripan
Nihan ujaring daha ireng warna, koripan aputih warna, atemu pwa ireng lawan putih rupa
kadi winten, ireng sadaputih gumilir, yeka panunggaling ardhanareshwara sthana ring
witning kukulunging kadalipuspa. [BS]
Dalem Kawi
Iki tutur gong besi, nga, wit dalem kawi, kawruhakena tingkahing jadma, ne utpeti sthiti
pralina, asti bhakti lewih, nga, tan lyan ring bhatara ring Dalem, tunggal lwihnya asti
bhakti, nanging kawruhakena denta harane Bhatari ring Dalem, ya sang siniwi, nga, ne
malingga ring Dalem. [GB]
Dalem Rum
Shiwadwara ika marga tunggal ring susumna anuju ring byomantara, telenging rambut
sabenter ring paklebutaning pabahan, ika ngaran marga papingitan, margan dalem rum,
brahmana shiwaboddha ika sadya ngaran. [KS]
Dalem Sema
Iki pinghit lungguh ida sang hyang pashupati phatastra, ika ngaran dalem sema, ika
ngaran taman sari, ika ngaran pamuhunan, rahuh irika melah jelene, sadrasane, miyik
bengune, malih siddhi mandine, ida sang hyang phatastra ngambelang mwang bhatari
durga. [SSS]
477
Shastra Wangsa
Homa1
Irika ta ring awan catuspatha, jabaning carangncang ngawangun kundaghni, trikunda,
sanga dhepa midher panjangnya sawiji-sawiji […] ri puput upakara sami. Lumekas sang
sadhaka tri, mahoma, magenah ring pantaraning kunda manglinggihin padma bata bang
samapta, malungguh ta sira amusti anggrana siwa tiga, mayoga ta sira. [IT]
Homa 2
Tan asuwe saksana mijil kukus saking ragan sang mayoga, mijil agni sakunang saking
sarwwa sandi ning raga, saksana murub dumilah angarab-arab ikang geni. Ri sedeng
ujwala nikang agni katon dening wong akweh, rasa tan kari sang mayoga. labda jiwa, meh
geseng de Sanghyang Agni. [IT]
Homa 3
Sedeng ujwala nira Sanghyang Agni, katon masulung-sulung sumungsang tiba ring
agni, hana ireng kadi megha sagunung, kadi mega putih sumeru gengnya pasumungsang
ring Sanghyang Agni, hana kadi wyagra, hana kadi gajah, hana kadi kuda, hana nglayang
kadi paksi mapupul, hana kadi awun tan pramane kwehnya, pira warsa kwehnya tanena
winilang kwehnya. Mangke meh sumurup Sanghyang Diwangkara, hita sarwwa wighna
ning jagat prasidha telas tiba ring kundagni, kasreng dening mantran sang tiga wisesa.[IT]
Homa 4
Ring puput ikang yajna homa, dadi ta mijil sang mahoma saking jeroning kundi geni
anuwut kukus, paripurna kayeng lagi, tan karasa panas ikang agni, mangke parama tusta
sarwwa tumuwuh ring jagat, amuji-muji saktin sang tri, tulya deweta tumurun. Ri wus
karyya homa, salwiring laraning manusa satingkebing rat, edan buyan sangar udug
rumpuh, kepek dopang, bedug, wegah busung, salwiring lara ning gring, kadi sinapwan tan
patamba dadi waras, saktin sang rumaksa jagat, tri sakti shiwa buddha satriya putus, sira
wenang angilangang klesa ning jagat kabeh. [IT]
Homa Tiga
Mangke tucapan Sri Bhanoraja jumeneng basmakara pudgala krama ring sira Bhagawan
Purbhasomi, brahmana sangkan rare, rwa maka purohita nira, shiwa buddha maka purohita
nira, sira sang sadhaka Buddha ngaran Bhagawan Romacchana kadi Sanghyang Tri Purusa
478
Shastra Wangsa
tulya sira, kadi Bhathara Shiwa Saddashiwa Paramashiwa sira sang tiga wisesa, tar pahi
Sanghyang Brahma Wishnu Ishwara madeg ring jagattraya sira. Mangke Sri Bhanoraja
puspata Bhagawan Dharmaraja, mangke mahyun ta sira manggawe yajna homatraya
wisesa, anggeseng malaning gumi, apa lwirnya; traya ingaranan tri, homa ingaranan yoga,
shakti, ndya tri, brahmana Shiwa Buddha Satriya putus, ika ingaranan homatraya, apan tri
sang mayoga. [IT]
Ida Talaga
Tata karma ning brahmana wangsa mijil saking teja, maparab Ida Telaga, punika huning
ring sarwa dewa, ida kapuji kanggen pawitra antuk Bhathara Pasupati malingga ring
rekagumi, rawuhing wekasanya yan hana pratti santananya dadi patirthaning jagat kabeh,
tekeng ratunya, palanya rahayu ikang jagat tekeng ratunya. Ida Telaga punika brahmana
utama, putran Bhathara Brahma, samangkana wacanan Bhathara Brahma. Yan hana ratu
wruh ring tatwa iki kanugrahan antuk Bhathara Putranjaya jumeneng ring Basukih. Ida
Telaga rawuhing pratti santanan Ida Telaga wekasan, wenang dadi siwan jagat, palanya
rahayu ikang gumi tekeng ratunya. Ida Paduka Bhathara Putranjaya mangraganin nugraha
kasidyan mantra. Mangkana ling bhathara munggwing widi shastra, haywa sang praja
raksaka gumi. Mwah brahmana pandita, ngupawadha wangsan Ida Telaga mijil saking teja,
kena upadrawa de Bhathara Pashupati mwah paduka Bhathara Putranjaya malingga ring
Basukih, tan dadi jadma mwah. Widi shastra iti. [SPT]
479
Shastra Wangsa
Kamimitan
Hetunyan hana katutananta mene bhakting hyang, aku lawan sira anaku katekaning
mangke, tinut dening lokacara, tan mangdoh i sudharma sang hyang, ikang ulah mangkana
ngaranya, yatika kaharan wang turunan ing hyang, apan pinaka anak-anaking hyang shiwa
guru tunggal, mwang kangkena sakulagotra nira hyang sasuhunan dewa guru. Sakulagotra
ngaraning anak sangkeng dharma de bhatara, mangkana phalaning ng wang bhakti sira, tan
alupeng tutur kamimitan ngaranya, tuwin sira kawitan mwang kawangsan ing dadi sira,
sthityana ta pwa sira mulaning kawangsan, apan mulaning wwang sabhumi, tuwin tunggal
ling sang wruh, matangnyan asing tunggal ring rat kabeh. [WP]
Kembanging Langit:
Wreddhi ning hidhep, suksma, gungnya amadhangi bhuwana agung, bhuwana alit,
gunanya maweh rupa warna, litnya tan katon, pramananya pinaka pramana ning swapna,
pinakawak alanggeng, patinya tan hana, donya tan padon, sira winangsitan madhyaratri,
angluhuri padhang satata, mas kinikir tengahing rawi, arungan gadhing, arungan manik,
gagana, kembang ing gagana, shiwangga, purwayana, lalatha ning bhuwana, benering
ajnana, entasnya ikang hidhep dadi kamoran kasiddhen. [TMP]
Kawangan [ka-wang-an]
Syapa pwa ya wwang tan mahyun manut i sudharma ning hyang mangkana kramanya,
byakta ya nemu papa, sasar-susur sungsang sangsi sakala niskala tan olih rasa henak,
patimbunan ing kawah ngaran ing sisya kulajnana prapanca buddhi, rupa ning tan inak
turunya amogha ya angayam-ayam wastu tan hana tulya kaupadarwan taya tinandeng
hyang, dosa ning tan atutur i mulaning mula kawanganyeng nguni purwa janmanya. [WP]
Ki Calonarang
I larung getih, misawadana ari-ari, weksirsa bayu, i guyang yeh nyom, I lenda bayang-
bayange, I lendi otot, sawadana muluk, ki calonarang cantik kakulungan, mpu bhradah
setra lemah tulis. [SSS]
Hana Kidung
Hana Kidung angraksaheng wengi, sapa wruha reke haraning wang, duk ingsun lungha
tilare, duk ingsun cili hiku, Ki Samreti lan Ki Samurti, alih haran ping tiga, Arthadrya
480
Shastra Wangsa
ingsun, haran ingsung duk jajaka, Ki Arthati huwus aderbe pawestri, haran sekar jatinya.
[HK]
Kawangan
Syapa pwa ya wwang tan mahyun manut i sudharma ning hyang mangkana kramanya,
byakta ya nemu papa, sasar-susur sungsang sangsi sakala niskala tan olih rasa henak,
patimbunan ing kawah ngaran ing sisya kulajnana prapanca buddhi, rupa ning tan inak
turunya amogha ya angayam-ayam wastu tan hana tulya kaupadarwan taya tinandeng
hyang, dosa ning tan atutur i mulaning mula kawanganyeng nguni purwa janmanya. [WP]
Kembanging Gagana
Kalinganya, ambara sang hyang taya ngaranira, ring luhurnya wuwusen kaswarganira
wastujana ngaranya, kaswarganira bhatara sang hyang antawisesa ika, sira ta wekasing
wisesa, sira rinebut de sang apaksa ng pandhita, tutuganing hidhep sira, sira kawastu
kembanging gagana, ling sang muniwara. [SKU]
481
Shastra Wangsa
Apan manira koton de ira during prasidha bhiseka adipatining bali, ika karena durung
bonten hana sidha de manira, kewala bantas babaturan panganggih sidha den ira”
Dening samangkana, mwang ling sira dalem. “yan mangkana, kadi ling ta mahu,
mangke hulun prasidha wus inabhisekaning adipati kinon andiryaning bangsul, den ira
rakyan Mangku Nagara, sang apanengeran gajah mada, makadi sira bhatara ring
mahospati, prasida kinon amratisara kang yogya lawan tan yogya, lawan ta mwah, apan
kita nguni kinon amatuh tang jagat bali, dadi kita mangke sumanggah tan awak dane
durung adipati, matangnyan tan sidha pati ikang bali denta, apan kita atinggaling
kaptyaning awak ta, yatika tan dadi tan tinut, mangke patih wulung namanta saking hulun,
dudu manira manurunaken kita, kita anurudaken dewek, mwah nguni kita brahmana
wangsa, mangke kita wesya dadinta, ndan mwah denta nguni saking wilatikta, sinuruheng
bali aga, den ira rakryan patih, tan len denta, ngabasitaning desa-desa. Yatika tan dadi tan
tinut, mangke mwah Ki Bandesa ngaranta, astan sanake prasama, pada kon amangkwaken
sad kahyangan desa-desa wale agung, apan kita rupa tan temang lumakwani gagaduhan ira
nguni, ri piteket ira rakryan patih, amaceki dik desa-desa wale agung. Nguni kita sanggup,
mangke bonten sidha denta, ri hidhepta juga hana wale agung, matangnyan kita tan dadi
tan anut mwah, kiwa prasidha mwah amacekin ring desa wale agung, ngaran pasek,
mangke yogya ki pasek aranta, apan kita kinonku mwah ngaban sita-sitaning desa, dresta
padesa kang mungguhing purana prasasti, shastra paleket, yatika kemitanta, sasanakta
prasama, mangke kawijilanta pasek, bandesa. Mandesain ring desa para desa bale agung,
terus katekeng santana pretisantana, kateka tekeng delaha ning delaha.” Mangka lingira
dalem, kunang sira patih wulung lawan sanakira kabeh, saha atur sembah tan wanya
langgana, umiring sapangartika sri maharaja. [RAK]
482
Shastra Wangsa
483
Shastra Wangsa
Katattwan Prabali Majapahit, ngiring Ida Dalem turun ke Bali, dening sampun puput
bawos Ida Dalem manugerahin, I Bandesa Pasek, raris Prabaline makejang, dadi sinoman
gumine maka jagat, sampun becik antuk I Bandesa Pasek ngemargyang tata kramane di
Bali, miwah makarya sadkahyangan, wyakti trepti ikang negara. [TCB]
484
Shastra Wangsa
rahayu, mangkana palanya, ling Bhagawan Purbhasomi anugraha satriya wangsa amuja-
muja angentas wang mati. Mun apudala mashiwa ring brahmana pandita, waluya sira
maraga brahmana, mangkana kajaring shastra, palanya rahayu ikang gumi, milag salwiring
jaramarana. Yan wesya ahulah kadharman, amuja hurip wenang, angentas wwang mati tan
wenang. Yan sudra jadma mahulah dharman, mapudgala ring pandita, tan wenang amuje-
muje wang waneh, tan wenang angentas atma, kewalya deweknya wenang, tan pegat
pawitranya ring panditta, haywa wineh wang sudra amuje-muje salwiring pinuja hala tang
rat. [IT]
Ki Bandesa Mas
iti panugrahan pawisik, piteket ira pangeran bandesa mas ring sapratikulanya kabeh, yan
kalap alamane, tan lupa sira, ri wetbet, tusning shri dalem kramas, wijil ing bhumi karmas
ngaturana bhakti ring pura dharma ring besakih, malih ring pamerajan agung huni ring
bhumi kramas, mwah ring pura taman pule, katekeng ring paryangan bukcabe, yan kita
lupa, mogha kita tan amangguh sadhya rahayu, sugih gawe kurang pangan. Yan sira bhakti
ring kawitan mogha kita kabeh amangguh sadhya rahayu, anuraga ring jagat, wreddhi
Santana, dirghayusa, astu jagaddhitaya, tan kurang bhoga bhukti, siddhi ngucap, amanggih
kawibhawan katekeng ri wekas. Samangkana kang bhasama kang sampun munggah ring
prasasti, kagaduh de sakula gotrane pangeran bandesa mas, katindih maring balirajya,
nistanya dadi pamekel, mwang jaksa dalem, andadi pamangku paryangan, kewalya haywa
lupa ring agama, mwang ring laluhur, kengetakna den apened. [PDK]
Kulagotra
Hetunyan hana katutananta mene bhakting hyang, aku lawan sira anaku katekaning
mangke, tinut dening lokacara, tan mangdoh i sudharma sang hyang, ikang ulah mangkana
ngaranya, yatika kaharan wang turunan ing hyang, apan pinaka anak-anaking hyang shiwa
guru tunggal, mwang kangkena sakulagotra nira hyang sasuhunan dewa guru. Sakulagotra
ngaraning anak sangkeng dharma de bhatara, mangkana phalaning ng wang bhakti sira, tan
alupeng tutur kamimitan ngaranya, tuwin sira kawitan mwang kawangsan ing dadi sira,
sthityana ta pwa sira mulaning kawangsan, apan mulaning wwang sabhumi, tuwin tunggal
ling sang wruh, matangnyan asing tunggal ring rat kabeh.[WP]
485
Shastra Wangsa
Kulawangsa
Warnanen Bhatari Uma sah saking patapanira, lumaku ring giriwana, harep dhatengeng
mahameru matemu lawan Bhatara Guru, sangkayan alawas turung mapanggiha, kahadang
dhateng Sang Kumara, manantwa ring ibunira tumakwanakena lampahira Bhatara Guru,
ling Bhatari: aparan kita anaku Sang Kumara don ta harep amatani lungha nira Bhatara
Guru. Ling Sang Kumara: sajna Hyang Ibu, kayeki ranak Bhatari harep angaturana bhakti
ri padhadwaya nira, maka panahuraning hutan sharira kret ngaranya, lwir angibekana akasa
hutanging nguluh ri sira. Ling Bhatari: lahya kita Kumara, kadyangapa buddhinta
mangkana welang-weling swacittamwa. Pira kunang lawasangkwa magawe tapa tan harep
kita nglawadi kami, bahulya sembahta, pisaningun tekeng kami, kuhira buddhinmwa
ngaranya, tan sikita ri mula ning shariranyu, rah daging, kulitmu, yeka metu saking sukla
ning bapanta. Rare kamung Kumara, tan wruh ri wekasing sadrasa, angapa ujarta
warahakna ibunta. Ling Sang Kumara: singgih Hyang Ibu, yan wrat-wratana sapuluh lawan
sawiji hutangkw iyayah kalawan ibu, lwir marga panelangan katattwanin ibu ngaranya,
apan dede singgih jatinya, ndyang doning kulawangsa ngaran, hana metu saking wadhu
ngaranya, taha. Tan pahingan kumeter twasira Bhatari, angkas-angkas krodanira ri Sang
Kumara. Lingnira: Arah kamung Kumara, awamana sabdanta ri kami, drenggi resti
temahanmu, dhak pejah kamung Kumara, hulihaknang rah dagingmu ri aku. Mangkana
ling Bhatari Uma, ksanika Durgamurti mangasut sadharira, manguwuh-huwuh apandingan,
kadi gelap atarung mangibeki dhik widhik ing mandhala, sinambut Sang Kumara, tinuwek,
mastakanya ring naka kiwan, saksat bhajra ringi-ringi. Managis ta Sang Kumara,
masambat masu, jad dhateng Bhatara Guru I sanmuka Bhatari Durga rupa, sigra anantwa
sira. Dhu Nau Bhatari, aparan rakwa dosanya anakta nguni Sang Kumara, dumeh yan
pejahana, kita tan wruh ri lara ning samangkana, apan tan hana wenang humawerna i kita,
an kita Hyang Hyang ning Dewasa, warahakna duga-duga. Ling Bhatari Uma Durga:
Singgih kakangku kita, awamana dahat anakta ri kami, panlangan ri awaknya, tan hana
sariranya sangke kami, donya tan panawur sembah ri kami, yatika don mami malakwa rah
daging kulitnya, nimitta ning kama bang sangke kami, mangkana kaka den wrha, harepkwa
amejahana pwekang Kumara. Ling Bhatara Guru: apa kita yayi, tan wruh ring rat ngaranya
kita, gila kami ring paksanta, nguni anakta si Ghana, sahaso mejah iking Kumara sangke
pakonta rikana, angapa wuwusku ri ko, duga-duga kami majare ko, jahtasmat, Bhairawi
486
Shastra Wangsa
Durga kita mangke, amangan sarwabhaksa, angulad-ulid ulahta arih. Kahenengan Bhatari
Durga sinapa de Bhatara Guru, hinuculan Sang Kumara manangis sarwya ngusapa branani
mastakanyan, manembah ri padha Bhatara Guru, amalaku hantasapa nira ri Bhatari Durga
Uma. Iccha ambek Sri Jagat Guru, kinon Sang Kumara sampun brenggi rupa, mangheraken
lukat Sang Ibu nira, mari marupa Durga, mangkan ling Bhatara Guru. Mamwit Sang
Kumara matapa ri gihaning Mahameru kidul.[PGS]
Manusa Tunggal
Ai kamung manusa, ndah rengwakneng ki pawekas mami kita, katuturankna kapwa
ubayahitan aku lawan siranaku, sangkeng mangke teka ryawekas, marapwan tan
aprebeddha ng ulah lawan ambek lawan aku, wenang nganunggalaken ing bhumi
mandhala, ngaraning bhuwana tiga pinisaken ing rasa shunya, dadi tunggal, ya mulanyan
hana sinanggah manusa tunggal, ri denyan wruhmu anunggalaken sharira mwang ng ing
samanya samanya janma, lawaning sarwa yesining bhumi, apan manuting ulah ni gurungku
hyang tunggal, ngaraning si tan hana prabhedaneng jagat kabeh. [WP]
Mpu Saguna
Mangkana kengetakana aja lali, wruhakna wwang sanakta kabeh, kita sadaya haywa lupa
ring kajaten, duk ring jambudwipa turun ke jawadwipa tan len sira mpu bahmawisesa
487
Shastra Wangsa
kawitan sira pande kang hana woyeng bali pulina, kita mangke asanak ring pande kabeh,
haywa angucap ming telu, sadohe ming ro, tan hana sor tan hana luhur, tunggal pwa wit nis
nguni, kadyangga ning pang ning kayu-kayu mara jatin ira, hana awah, hana juga tan
pawah. Kalinganya mangkana juga kita asanak, tan dadi angadol kadang, aja amungpang
laku, haywa arok ring wang hina laksana. [PBP]
Yan kita angupakara sawa, haywa kita weh aminta tirtha ring brahmana pandita, ngong
anugraha kita ri wekas, samangda kita tan kanarakan […]. Mwah yan kita mayadnya sukha
mwang duhka haywa nurunakna tirtha brahmana. nguni kawitan ta kita madiksa widhi-
krama minta nugraha ring paduka bhatara. mangkana kengeta, aja lali, weruhakena wwang
sanakira kabeh, kita kabeh haywa lupa ring aji dharma kapandeyan, haywa kita lupa ring
kajaten. [PBP]
Peleburan Matahari
Kapunah suryane ring purwa, kapastu dadi bintang wuluku. Kapunah suryane ring gneya,
kawastu dadi bintang siang. Kapunahang suryane kulon, kapastu dadi bintang pameneh.
Kapunahan suryane ring neriti, kapastu dadi bintang tengeran. Kapunahang suryanya
wayabhya, wastu dadi bintang nyuh. Kapunahang bintange lor, kawastu dadi bintang siang.
Kapunahang suryane ring ersanya, kapastu dadi bintang sakoti-koti. [TCB]
Panca Durga
Tucapa Bhatara Guru manih, menget ri wekasan, tan kayeng dangu-dangu kamaitrya nira,
an mangke katekan krodha, anyapahasa manapa Bhatari Uma matemahan Panca Durga,
melik pwa sira ri gatranira, kaya-kaya tan mangawasakenang bhuwana lawan sharira, mene
sinapangganira Bhatara Guru, matemahan Kalarudra mayarupa, lumaku ta sira mahaseng
desantara, mamet unggwanira Bhatari Durga, kapanggih Sri Parwati pancarupa ri
madhyaning pancaka, pancadesa tunggwanira. Sri Durga purwa. Raji Durga uttara. Suksmi
Durga pascima. Dhari Durga dakshina. Dewi Durga hana ring Madhya. Malocitta pwa sira.
Padha hyun ikalima harep anggawe tutumpur agung rumacamang wisya mandi. Jag
dhateng Bhatara Kalarudra, Manembah ta Sri Panca Durga, pada aminta sparshana nira,
kesyan pamuhun Sri Panca Durga, prasama sanggatanira. Irika Sri Bhatari Durga
angadakaken Kalika Kaliku, yaksa-yaksi, dhengen sepah, kubandha. Bhatari Raji Durgha
angadakaken babahi, jukih, jin, setan, bregala-bregali. Bhatari Suksmi Durga angadakaken
488
Shastra Wangsa
sampulung, pamala-pamali, karaseta. Bhatari Dewi Durga Dhari ngadakaken pretta, sajer,
bhuta kapiragan. Bhatari Madhya Dewi Durga angadakaken pancabhuta: bhuta janggitan,
bhuta langkir, bhuta lembu kaneya, bhuta taruna, bhuta tiga shakti. […] mangkana
kalinganya, ikang smasana wenang ingaranan pancaka, apan unggwanira Bhatari panca
Durga, saha Ardhanareshwari mwang Bhatara Kalarudra. [PGS]
Pangeran Byaha
Ri wus puput sira ingaskaran, siha widhi widhana, kinasungan sira hanugrahan tattwa aji
suksma, tekaning pasuk wetunya kabeh, miwah pamralina bwa sanguphati mwah hana
panugraha, kanugraha I Pangeran Byaha nyisyanin soroh Sengguhu, saha gamanya
sangutukup, hagentorag, tekaning sungu, mangkana kagamanya. Tan dadi lokaphalasraya,
angentas wong pejah. Yan hana pacarwan gumi, nangken pancawali krama, dadi
mamujahin carune sane di sor, miwah caru alit ring desa-desa. Yan sira murug ngalewihi
panugrahan iki, mangde kena bhajrawisa denira Dang Hyang Nirartha, mogha tan nemu
rahayu, hila-hila temen, samangkana putusan panugrahan Ida Dang Hyang Nirartha ri I
Pangeran Byaha. [DT]
489
Shastra Wangsa
dadi brahana boddha, ne metu saking cangkem to dadi satriya, sane metu saking irung to
adi satriya sakehet. Ne metu saking karna tengen dadi pungaken para sangiang. Ne metu
ring karna kiwa dadi gusti agung. Ne metu ring bahu tengen dadi manusa sudra. Ne metu
ring raga dadi manusa sakoti-koti. Dadi ebek ikang gumi baline. Ditu raris mengelesuang
yoga Bhatara Brahma, heneng ikang carita. [TCB]
490
Shastra Wangsa
Sadhaka Tri
Irika ta ring awan catuspatha, jabaning carangncang ngawangun kundaghni, trikunda,
sanga dhepa midher panjangnya sawiji-sawiji […] ri puput upakara sami. Lumekas sang
sadhaka tri, mahoma, magenah ring pantaraning kunda manglinggihin padma bata bang
samapta, malungguh ta sira amusti anggrana siwa tiga, mayoga ta sira). [IT]
Sanghara Gumi
Sanggara gumi, munggwing aji dharma kriya, nga. ndya solah wiku ika; yan hana anyar,
tembe ya pininang ring gumi adoh, makweh majar-ajar kawyabasa basitta, sumbung-
sumbung mawarah, awak dewek juga tutus ring dharma sastra laksana, tur amuji utama
wangsa sira, tan hana madhani wangsa sira, ri sedeng dununganing wwang angarepi gawe,
suka bungah pinuji de ning wwang, mawre waregga ring pangupabogga sakahyun. [SNW]
492
Shastra Wangsa
sira wruh. Sujati kalaning sira arep wruha, apan shastra gajendra mahayu ning rat, ngaran,
amongan bhatara Buddha.Malih yan angamong shastra iki, idupta amanggih swarga utama.
Samangkana elingakna. Haywa wedi ring lacur, haywa wedi ring mati, haywa wedi ring
kasakitan, haywa wedi ring jengah, haywa wedi ring jelek, haywa wedi ring paran-paran,
pakwyoh yen sampun gantos. Yan ring kalanta pejah, amanjing ring swarga shunya.
Samangkana kajar ing shastra gajendra mahayu ning rat, kakecap Buddha Prani ngaran.Iki
kadharman Sang Bhuddaprani, re sawiji uriping wang sajana, sawiji hana dewa, sawiji
hana manusa, mwang sawiji hana butha. Anghing sujatinya tunggal dewa lawan manusa
butha. Samangkana kang wang ngaduh shastra gajendra mahayu ning rat. Haywa
mangardining tikang wwang hala, lanus, jle, lacur, jengah, sangsara bhaya, pati. Haywa ta
sira mangkana, kadi ujareki, tan kawenang denya. Samangkana kang kinucap ring tutur iki,
kadharman Sang Buddhaprani. [BPR]
Tri Sadhaka
Mangke tucapan Sri Bhanoraja jumeneng basmakara pudgala krama ring sira Bhagawan
Purbhasomi, brahmana sangkan rare, rwa maka purohita nira, shiwa buddha maka purohita
nira, sira sang sadhaka Buddha ngaran Bhagawan Romacchana kadi Sanghyang Tri Purusa
tulya sira, kadi Bhathara Shiwa Saddashiwa Paramashiwa sira sang tiga wisesa, tar pahi
Sanghyang Brahma Wishnu Ishwara madeg ring jagattraya sira. Mangke Sr Bhanoraja
puspata Bhagawan Dharmaraja, mangke mahyun ta sira manggawe yajna homatraya
wisesa, anggeseng malaning gumi, apa lwirnya; traya ingaranan tri, homa ingaranan yoga,
shakti, ndya tri, brahmana Shiwa Buddha Satriya putus, ika ingaranan homatraya, apan tri
sang mayoga. [IT]
493
Shastra Wangsa
Wangsa Brahma
Hana hyun Bhathara Brahma amredyaken wangsha, maputra brahmana shakti, maka
wenang mratistha jagat, mijil ikang kukus ring urddha ning raganira, mahor agni murub
sagunung tiba ring talaga dwaja matemahan kundi manik mesi mretha kamandalu,
pinrayogga de bhathara matemahan ONG-kara sandi. [BWT]
Wangsa Brahmana
Mwah tata kramaning wyakti mawangsa brahmana, hana parimananya munggwing sastra
kuna-kuna, katama de sang wiku tekaning mangke, ndya maka parimana ginamelnya,
sangkayan kina-kinahanan dang shiwopakarana, amuja-muja angentas wwang mati, sang
mawangsa satriya wesya tekaning asisyan-sisyan wong akweh, tur sangkayan kuna-kuna
polih ngalap istri sang mawangsa catur jadma, maka strinya padha sira masantanu
rawuhing mangke, sangkayan kuna-kuna manditanin maguru siwa ring wiku utama, saking
kuna-kuna mratista jagat mwang ratu, salwiring krama brahmana nandang ira tekaning
kapatyan ira lembwatana nira, yadyan tan pakadhang makawit brahmana makweh lumrah
ring jagat. Mun hana nggamel indik purusa wangsa kabrahmananya munggwing shastra,
nga, pinakawatang denya pitindih pitangguh sakadi indik ling shastra iki, tuhu brahmana
wangsa sira haywa sang ratu rumaksa jagat, ngupawadha yan hana brahmana ika, ila-ila
ikang sang ratu, apan makweh kamijilaning wangsa brahmana. Metu saking anggan
bhathara, hana metu saking tejan Bhathara Brahma, hana metu ring udhaka, padha utama
wangsa ring kabrahmanan, hana metu ring watu hana mijil ring wuluh, hana mijil ring
yoga, hana mijil ring tejan Bhathara Brahma. Yan wangsan brahmana mijil saking teja
hana terus teka ning mangke, yan hana desa kahunggwan brahmana wangsa ika, mun awit
494
Shastra Wangsa
desa rusak katadhah kala, pinangan antuk I Bhutha Mayapati, kawekasan hana tumuwuh
brahmana shakti ngamatyang I Kalamayapati, mwah urip desa ika, teka ning mangke irika
kagenahan brahmana wangsan Bhathara Brahma, utamaning brahmana ika. Haywa sang
buhpalaka ning sarat, tumingkebing akasa, salwaning baratawarsa. Yan hana brahmana
satreh wangsa ika, ri kala gumi nira sang ratu katibeng kali sangara, haywa lyan wineh
manggala amujawali karmaning gumin sang ratu, sira juga pintanen amratista gumi,
palanya muksah malaning jagat sang ratu amanggih dirggayusa, dewa asih sarwa bhutha
mararem palanya, mangkana ling Bhathara Brahma munggwing Aji Brahma Purwwana
Tatwa. Mwah tuwuhing gumi mulih lare, duk wawu makules badhawangnala. Mwah
Sanghyang Anantaboga mulih lare, bawur ikang jagat, sudra amadha-madha panganggen
sang ratu, wulaka pramadha ring sang wiku, angape-ape wangsan sang wiku, aninda
ngupawada nora brahmana purwwa. Yan hana wiku sisu paling, makweh mala ning wiku
tumbuh, sang wiku pakantenya sadhu riheng ring jero dusta, lobha mowa, irsya, sang ratu
ameseh-meseh lawan padha ratu. Yan hana wangsa brahmana wit mijil saking teja,
brahmana ika puponen, pintenen manggala mratistanen sanggar ring jagat, mwah gring
anggirih udug gring kamalan, keni gring cukil daki gumin sang ratu, mahabara ila gring
ikang jagat, palanya rusak ikang bwana, sang sadhaka salwiring weda tan mandi, usadhi
tan mandi dewa malalalalis mur, sarwwa bhutha bumi lumarap, asiluman ring manusa, teka
wenang sang ratu amingit angga sarira, tan keneng letuh, tan wineh wang jadma cuntaka
maparek ring sang ratu, palanya kalindungan dening mala ila darwwa ngaran, teka wenang
sang ratu asuryya sewana ri kala purnama tilem, mangkana nugrahan Bhathara Brahma
ring sang ratu. Nyan Purwwana Wangsa Tatwa, saking niti Bhathara Dwijendra, tata
kramaning wangsa brahmana, wenang pitindih de nira sang amawa gumi. Yan hana
wangsa brahmana pegat pakadangan purusa, mula-mula wyakti Brahmana, hana cirinya;
asisyan wang akweh, tur angamel kahula, tan pegat manditanin, anut ring gama brahmana,
amuja-muja ring kahyangan sang ratu, amuja satriya asing upakara mati urip. Mwah amuja
kapatyan sang ratu managabanda. Yan sampun hana maciri samangkana wyakti mula
purusa brahmana. Wekasan hana sudra kahula brahmana ika elik ring pasiwanya mula,
ngucapang kabrahmanan siwanya, dudu brahmana, saking wretta wang duradesa, kabyaya
ring pasasanjan wwang akweh, ngawe kapatyaning wangsa siwanya, mangde tan sela hyun
sang amawabumi. Mwah wwang sajagat kumenyeting ngati latahan, gumawe hurung
495
Shastra Wangsa
sajadma mapawitra ring brahmana ika, mangkana pakna naya ing sudra elik. Manih hana
anglanjubing rawos sudra pramada ika, neherang saking jati mitatas kawangsan brahmana
ika, sira nyanggemin hala bhayanya, kala ne sudra ika laksana purun malaksana sapunika,
wekasan yan hana sawangsanya, ngawarah-warahang cedangganing wangsa brahmana
lewih pandita, yan purun brahmana sang inanggeh cedangga masaksi ring Hyang Tri
Dewata, sudra ika pinatyan, yadyan nora adewasaksi brahmana ika. Reh brahmana ika
madrewe kawula ne wang ika, tur sira mashiwa. Wacin angungkuli meru, nga. Yanora
pinaten de nira sang amawabumi, kena sodha sang rumaksa gumi, wenang patenakena
wang mangkana, tan wenang arepang sang brahmana lawan sang mawangsa sudra, dyastu
nora rinenca olih brahmana. Mun sudra jadma ngupawada brahmana, mawarah kapatya
ning wangsan sang brahmana, teka wenang patenen sudra ika. [SPT]
Wangsa Ksatriya
Ri wijil putro sawiji saking homa, sira kinwan rumaksha gumi salwaning Barathawarsha,
mangkana pawitaning hana wangsha brahmana wangsha satriya wangsha, prasiddha
kasanakang olih Bhathara Brahma, satriya lawan brahmana padha wenang kanugrahan
manditanin, padha amuja wenang sang satriya lawan brahmana. Sang satriya wenang
angentas wwang mati ring madhyapadha, mangkana ling bhathara nugraha, makadinya
Bhathara Brahma, Bhathara Dwijendra. Pawitaning brahmana satriya tekaning mangke,
haywa sang wruhing kapanditan winihangaken sakadi ling shastra iti. Mwah sang dipa ning
bwana anutaken ling shastra iki. Yan tan anut mapwara wigna sang mawa gumi. [BWT]
496
Shastra Wangsa
Watek Gandharwa
Caritanen Bhagawan Dharmaraja wineh nugraha ring sang adiguru nandang sopakara
ngentas atmaning mati, tumut sadulur tri sadhaka wisesa, padha weh tirtha panglepas ring
wang mati ring gumi Purbwa Sasana, tan hana kawignan guminira, maweweh jaya laba
jaya satru, Sri Jaya Wikrama, mwah sarwwa atma sang inentas de sang sadhaka triwangsa,
matemahan dadi watek gandharwa, salwiring dosa papa pataka duk kari madyapada purna
dening mantran sang tigashakti, mantyanta hayu ning guminira, tan hana wang mati rare.
[IT]
Yajna Homatraya
Mangke tucapan Sri Bhanoraja jumeneng basmakara pudgala krama ring sira Bhagawan
Purbhasomi, brahmana sangkan rare, rwa maka purohita nira, shiwa buddha maka purohita
nira, sira sang sadhaka Buddha ngaran Bhagawan Romacchana kadi Sanghyang Tri Purusa
tulya sira, kadi Bhathara Shiwa Saddashiwa Paramashiwa sira sang tiga wisesa, tar pahi
Sanghyang Brahma Wishnu Ishwara madeg ring jagattraya sira. Mangke Sri Bhanoraja
puspata Bhagawan Dharmaraja, mangke mahyun ta sira manggawe yajna homatraya
wisesa, anggeseng malaning gumi, apa lwirnya; traya ingaranan tri, homa ingaranan yoga,
shakti, ndya tri, brahmana Shiwa Buddha Satriya putus, ika ingaranan homatraya, apan tri
sang mayoga. [IT]
Yoni
Matangyan makweh dengku pweh aji i sang watek dewata kabeh, sangka yan akweh
ikang yoni sangkan ing mangdadi, apa dumeh ya makweha, apan akweh ngaraning wasana,
wasana ngaranya ikang karma ginawe ning janma ihatra, ya ta bhinukti phalanya ring
paratra, ri janmanya mwah, yan ahala yan ahayu, asing atah sakalwiran ing karma
ginawenya. [WT]
497
Shastra Wangsa
Wasana
Ikang wasana pwa ya duweg umuparengga irikang atma, ya ta dumadyaken ikang
karmawasana lawan karma, ya ta dumadyaken ikang janma mapalenan, hana dewayoni,
hana widhyadarayoni, hana raksasayoni, hana daityayoni, hana nagayoni, akweh prakara
ning yoni sangkanya n pangjanma. [WT]
Widhi Shastra
Iti Widi Sastra saking niti Padanda Wawu Rawuh, katama antuk wangsa brahmaóa 12a.
mijil saking teja. Aparan lwir wacanan Bhtahara munggwing sastra, ling Bhathara ; Uduh
tanayan mami brahma wangsa kabeh, tumuwuh ring janaloka kabeh, renge pawarah mami
den pahenak, munggwing Sanghyang Citrakara. Sakramaning dadi wiku ring nagara, dadi
guru lokan gumi, pawitran ratu mahabala, haywa tan yatna ring niti dharma kapaóditan
damel den apageh, ring tatkala ning kali sangara gumi, eweh ikang rat, gring makweh tan
pegat, perang sumelur, sasab maraóa sabumi, asing tinandur rusak pinanganing tikus, corah
dusta tan pegat waywahara sari-sari, iwer ikang gumi, salwiring weda mantra japa tan
mandi, mur Sanghyang Saraswati, yan katekaning hana samangkana hala ning jaga teka
wenang sang pandita mwang sang ratu andewasraya ring hyang hyang sang ne wenang
mula sasembahan brahmana, sasembahan ratu, ri kala purnama tilem. Mwah asurya sewana
ngabakti ring Bhathara Surya Bhaskara. Mwah mayasa makretti dharma rahayu, haja
angulah mabawa wiku, putusaken jati suksma ning wiku, mangde tan sangar tikang rat
kabeh, yan wiwikwan solah juga, tatan terus putus kadyatmikan, wiku wiruda, nga. Wiku
ika angadhakaken sanghar ikang gumi, yadyan sang ratu tan mayasa kramaning ratu, pati
purug-purugin, yatika mangde sanghar ikang rat. Hendi hala nikang bwana, gring
kamaranan tan pegat, asing tinandur rusak, tikus sabumi anigiting pari, kali maundengan,
ratu ameseh lawan padha ratu, padha nyorok cinorok, lawan kadhang, brubah ikang gumi,
ambeking wwang bangga bonggan, amadha-madha sang ratu, pramadha ring wiku,
paracedha ambarke, arig ikang bwana. Mangkana kadadyaning gumi, mangke teka wenang
sang pandita mwah sang ratu, mayasa patuting aji jumeneng dadi panenggeking jagat.
Mwah sang wiku pawitran sang ratu, haja ipal-ipal andamel patuting aji kawikwan,
mangde kayowanan ikang gumi, gawyakena. Yan sampun putus tata kramaning ratu
mwah dharma ning kapandita, rasa tan hana singsal denya, lumekas ta sira sang wiku
minahayu gumi, amuja dewa ngastawa widhi, sahana ning hyang uriping jagat, inarcchana
498
Shastra Wangsa
de sang ratu mwah sang pandita, masadana utti, anyawang dewa sabumi, gelaraken weda
pangastawa widhi. Giripati, Brahmastawa, madewa stawa, Wisnu astawa, Sambhu astawa,
Iswara stawa, Mahesora astawa, Rudra astawa, Shiwa astawa, Gana stawa, Basuki astawa.
Druwaresi astawa, Bayu astawa, Tejastawa, Brunastawa, Anantaboga stawa, salwiring
wedastawa gelaren, tiningkah kadi Pancawalikrama. 5. Pandita amuja, wangunen karyya
dewahara ring hyang, genahang ring lebuh kahyangan agung, mapanggungan. 5.
Mapaselang matiti mamah. Kebo.Mwah wateking hyasane kasungsung olih manusa
tedunang sami, gawenen palinggih anyar genten. Mangkana tingkah sang ratu amahyu
bumi. Mangkana wacanan bhathara munggwing shastra. Yanora samangkana tan sidha
rahayu ikang gumi. [WS]
499
Shastra Wangsa
DAFTAR PUSTAKA
Aji Pangukiran. Naskah koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Cod. Or.
3859.
Aji Purwa Wangi. Salinan tulisan tangan dalam aksara Bali. Naskah koleksi IBM.
Dharma Palguna
Aji Sara. Salinan tulisan tangan dalam aksara Bali. Naskah koleksi IBM. Dharma Palguna
Aji Tunjung Putih. Salinan tulisan tangan dalam aksara Bali.Naskah koleksi IBM.
Dharma Palguna
Anja-Anja Sungsang. Koleksi IBM. Dharma Palguna. Salinan dalam aksara Bali oleh I
Wayan Sudharsana. Pegesangan, Mataram
Aswasiksa. Salinan tulisan tangan dalam aksara Bali. Naskah koleksi IBM. Dharma
Palguna
Babad Arya Kanuruhan. Va.4401, Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi Jero Gede
Sidemen, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, 32 hlm. Ditulis di Geria
Pidada, Sidemen Karangasem
Babad Arya Kapakisan. Koleksi I Made Sudarma, Karang Wate, Mataram. Diketik oleh
IB Heri Juniawan.
Babad Arya Paminggir, VA.4832, Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi Jero Kanginan
Sidemen, Karangasem. 11 lbr. Ditulis oleh Ida Bagus Geria. [bababbali.com]
Babad Arya Pacung, Va. 2632. Gedong Kirtya Singaraja, Kol. Ida Bagus Nyoman Lepeg,
Penarukan, Kerambitan, Tabanan, 14 lbr. [babadbali.com]
Babad Arya Sukahet, Va. 4399, Gedong Kirtya Singaraja, kol. Geria Sangket, Sidemen,
Karangasem. 44 lbr. Itulis oleh Ida Bagus Gede Geria [babadbali.com]
500
Shastra Wangsa
Babad Badung, Va. 5794 Gedong Kirtya, Singaraja. Kol Puri Anom, Tabanan, 48 hlm.
ditulis oleh I Gusti Ngurah Ketut Sangka.[babadbali.com]
Babad Bandesa. Alih aksara oleh I Wayan Kardji. Denpasar, 1986 stensilan
Babad Batur, Va. 4489, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Balai Penelitian Bahasa,
Singaraja, 20 lembar. Ditulis oleh I Ketut Ginarsa, Banjar Paketan, Singaraja.
[babadbali.com]
Babad Brahmana. Resi Bintang Dhanu Manik Mas & I. N. Djoni Gingsir. Yayasan Diah
Tantri, Jakarta, 2000
Babad Brahmana Catur & Dharmayatra Dang Hyang Nirartha. Koleksi Gedong Kirtya,
No. Vd. 273/4. Diketik oleh I Ketut Pasek, 14-2-1952[babadbali.com]
Babad Brahmana Catur & Dharmayatra Dang Hyang Nirartha. Koleksi Gedong Kirtya,
No. Vd. 273/4. Disalin dalam aksara Bali oleh Ida Bagus Nyoman Windia,
Gianyar.[babadbali.com]
Babad Buleleng. P. Worsley (disertasi Universitas Leiden, 1972). Den Haag, Nijhoff
[KITLV, BI 8]
Babad Dang Hyang Kepakisan. Koleksi Ida Bagus Made Jendra, Griya Karang Sweta,
Cakranegara. Diketik oleh IB. Heri Juniawan, Cakranegara.
Babad Dukuh Jumpungan. Disalin oleh I Dewa Made Pejeng, Batuaya, 1981
[babadbali.com]
Babad Dukuh Suladri, Va. 5185 Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi : I Ketut Ginarsa,
Banjar Paketan, 32 lembar. [babadbali.com]
Babad Dukuh Suladri, Va.238/3 Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi I Gusti Ngurah Oka,
Balaluan, Denpasar. Ditulis oleh I Nyoman Daun, Banjar Paketan Singaraja.
[babadbali.com]
Babad Durmanggala, Va. 4419, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Geria Anyar, Banjar
Pilihan, Kaba-Kaba, Kediri, Tabanan. 11 lembar [babadbali.com]
Babad Ida Dang Hyang Manik Angkeran. Dikumpulkan dari berbagai sumber oleh IB.
Heri Juniawan, 2014
Babad I Gusti Ngurah Telabah (Aryeng Patindihan). IGN Sugiada. Paramita: Surabaya,
2012
501
Shastra Wangsa
Babad Kaba-Kaba. Teks dan terjemahan oleh Tim. Dinas Kebudayaan Propinsi Bali,
Denpasar 2002.
Babad Ksatriya Tamanbali. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. I Wayan
Sueta. Penerbit Upada Sastra, Denpasar, 1982.
Babad Mengwi, Va. 1340/12, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi I Gusti Putu Mayun,
Abianseal Badung, 66 lbr. Ditulis oleh I Gusti Putu Mayun, Abiansemal.
[babadbali.com]
Babad Mengwi, Va. 1039, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi I ketut Wijanegara. Banjar
Paketan, Singaraja. 18 hlm. ditulis oleh I Putu Geria, Banjar Paketan.
[babadbali.com]
Babad Mengwi. Alih akasara dan terjemahan oleh Tim. Dinas Kebudayaan Bali,
Denpasar, 2002
Babad Nusa Penida. Jero Mangku Made Buda. Paramita, Surabaya, 2007.
Babad Nusa Penida.Tanpa keterangan nama pemilik, penyalin dan angka tahun,
[babadbali.com]
Babad Nyuhaya. Seri Babad Bali. Dirangkum oleh Drs. KM. Suhardana. Penerbit
Paramita, Surabaya, 2005.
Babad Pande. Kolesi Geria Kekeran Kanginan, Blahbatuh, 14 lbr. Saka, 1709, Masehi
1787. [babadbali.com]
Babad Pande Berathan, Va.46102, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Geria Duda, Selat,
Karangasem. 26 lbr. Ditulis oleh Ida Bagus Geria. [babadbali.com]
Babad Pande Jadi, Va. 4410, Gedong Kirtya, Singaraja. Kol. Mangku Pande, Kaba-Kaba
Kediri Tabanan. 23 hl. Ditulis oleh Mangku Pande, Kaba-Kaba, Tabanan.
[babadbali.com]
Babad Pande Tista, Va.4713, Gedong Kirtya, Singaraja. Kol. Kakyang Dayu Putu
Muliani. Geria Gede Panarukan, Kerambitan Tabanan. 6 lbr. Ditulis oleh Sagung
Putri.[babadbali.com]
Babad Pande Wesi, Va.5838 Gedong Kirtya, Singaraja. Kol. I Wayan Pucuk, Bantang
Banwa, Sukasada, Buleleng. 39 lembar. Ditulis oleh I Dewa Gede Catra, Sidemen,
Karangasem. [babadbali.com]
Babad Pararaton Bandhana/ Babad Badung, Koleksi. Puri Gede Kerambitan, 52 lbr.
[babadbali.com]
502
Shastra Wangsa
Babad Pararya Ksatrya Badung, Va.369L, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Puri
Dangin, Jegu, Penebel Tabanan. 36 lembar. Ditulis oleh I Gusti Ngurah Gede
Dangin, Jegu, Penebel, Tabanan. [babadbali.com]
Babad Pasek, 5602 Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Dadya Gamongan, Sidemen,
Karangasem, 45 lembar, ditulis oleh I Dewa Catra, Sidemen, Karangasem
[babadbali.com]
Babad Pasek, Va.963/6, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Nang Bintit, Tegal Jadi,
Marga, Tabanan, 127 hlm. Ditulis oleh I Gede Subrata [babadbali.com]
Babad Pasek Bendesa, Va. 5b59 Gedog Kirtya. Kol. Puri Gede Kaba-Kaba, 25 lembar.
Ditulis oleh I Ngurah Gede. [babadbali.com]
Babad Pasek Kawitan Pasek Gelgel, Va.4750, Gedong Kirtya, Sngaraja. Koleksi Geria
Badung, 13 lempir. Diketik oleh Sagung Putri. [babadbali.com]
Babad Pasek Kayu Putih Kayu Selem, Va.2261, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi I
Balian Rereh, banjar Belong, Sanur, Denpasar, 11 lembar. Ditulis oleh Ketut Kaler,
Singaraja [babadbali.com]
Babad Pasek Kayu Putih Kayu Selem. Koleksi I Made Kanta, Tapean, Klungkung. 11
lembar. [babadbali.com]
Babad Pasek Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi. Jero Mangku Gde Ketut Soebandi.
Penyunting Wayan Supartha. Pustaka Manik Geni, 2004.
Babad Penatih, Va.4349, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Anak Agung Made Jelantik.
Puri Gobraja, Singaraja. 10 lembar. [babadbali.com]
Babad Prasasti Brahmana, Va.5899, Gedong Kirtya, Singaraja. 44 lembar. Ditulis oleh I
Gusti Putu Geria, Cakranegara, Lombok. Isaka 1792.
Babad Puri Blayu, Va. 4204, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Geria Gede Blayu,
Tabanan, 27 lembar. [babadbali.com]
Babad Ratu Tabanan, Va. 850/5, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi I Gusti Putu Jlantik
Anak Agung Negara, Singaraja, 17 lembar. Ditulis oleh I Gusti Bagus Jelantik,
Singaraja. [babadbali.com]
503
Shastra Wangsa
Babad Sengguhu Asu-Asa, Va.278, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Nang Bintit, Tegal
Jadi Marga, Tabanan, 3 lembar, ditulis oleh I Ketut Tantra, Bungkulan, Singaraja
[babadbali.com]
Babad Sukahet,Va. 4542, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi, Geria Pemaron, Mengwi,
Badung. 48 halaman. [babadbali.com]
Babad Tabanan, Va.3478, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Puri Anyar Tabanan, 16
lembar. Ditulis oleh I Gusti Ngurah Ketut Sangka [babadbali.com]
Babad Tanah Bali. RA. Kosasih. (naskah yang tersedia rusak pada halaman depan, tak
terbaca keterangan tentang penerbit dan tahun)
Babad Tusan, Va.4916, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Puri Kaleran, Kaba-Kaba,
Tabanan, 20 lembar. Ditulis oleh I Gusti Ngurah Gede. [babadbali.com]
Babad Usana Bali, Va.4761, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Geria Karang, Sidemen,
Karangasem. 70 lembar. [babadbali.com]
Babad Usana Jawa, koleksi I Gusti Lanang Mantra, Jero Sidemen, 48 lembar.
[babadbali.com]
Bhatara Shakti Wawu Rawuh, Va.4906, Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi Ida Padanda
Gede Putu Sigaran, Batu Agung Jemberana, 34 hlm.
Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini. Bagian dari Konsep Saiwa Siddhanta Indonesia.
Drs. I Gede Sara Sastra M, Si., 2008. Pustaka Bali Post: Denpasar, 2008
Bhuwana Mahbah. Alih aksara Latin dan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia.
Dharmopadesa. Denpasar, Tanpa tahun
Bhuwana Suksma. Koleksi Padanda Gde Nyoman Sebali, Sweta, Cakranegara Mataram.
Alih aksara oleh IB. Heri Juniawan, 2014
Bongkol Pangasrayan. Salinan tulisan tangan dalam aksara Bali. Naskah koleksi IBM.
Dharma Palguna
Brahma Wangsa Tattwa. Koleksi Ida Bagus Agung Mandala, griya Taman Ayu Telaga,
Jalan Imam Bonjol no. 61 Denpasar. Diketik oleh IB Heri juniawan, Mataram.
Buddhaprani. Salinan tulisan tangan dalam aksara Bali. Naskah koleksi IBM. Dharma
Palguna
Canting Mas. Salinan dalam aksara Bali, koleksi IBM. Dharma Palguna
504
Shastra Wangsa
Dharmayatra Dang Hyang Nirartha. Salinan dalam aksara Bali. Koleksi IBM Dharma
Palguna
Dukuh Jumpungan, Va. 5122, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Geria Telaga, Sanur, 17
lbr. Ditulis oleh Sagung Putri [babadbali.com]
Dukuh Jumpungan. Koleksi I Ketut Ruma, Jasri. Disalin oleh I Wayan Dresta, Amlapura,
2005 [babadbali.com]
Dukuh Tegal Suci. Koleksi I Made Gawe, Banjar Kereteg, Sibetan, Bebandem
Karangasem, 33 lembar [babadbali.com]
Dwijendra Aksara. Salinan dalam aksara Bali, koleksi IBM. Dharma Palguna
Genealogi Gede Macaling. A.A. Gede Alit Parta Shemara, Puri Semarabhawa, Bangli. 2
Januari 2008. [babadbali.com]
Hana Kidung. Salinan dalam aksara Bali. Koleksi IBM. Dharma Palguna.
Homa Dhyatmika. Lontar Koleksi Drs. IB Ngurah Swastika, Praya. Alih Aksara oleh IB
Heri Juniawan. Mataram, 2011.
Iswara Tattwa. Dalam Shastra Purwata Tattwa. Koleksi Ida Bagus Agung Mandala, griya
Taman Ayu Telaga, Jalan Imam Bonjol no. 61 Denpasar. Diketik oleh IB Heri
Juniawan, Mataram.
Kaputusan Kadhyatmikan. Salinan dalam aksara Bali. Koleksi IBM. Dharma Palguna
Kaputusan Kuntisraya. Salinan dalam aksara Bali. Koleksi IBM. Dharma Palguna
Kaputusan Mpu Bharadah. Salinan dalam aksara Bali. Koleksi IBM. Dharma Palguna
Kawisesan I Macaling. Tanpa keterangan pemilik dan penyalin. Dimulai dengan “iki
ratuning I Macaling” [babadbali.com]
Kawitaning Pasek Gelgel. Koleksi I Made Ata, Panaraga Utara, Cakranegara. Alih aksara
oleh Ida Bagus Heri Juniawan, Pagutan Timur, Mataram, 2014
505
Shastra Wangsa
Kidung Angrangseng Wengi. Salinan dalam aksara Bali. Koleksi IBM. Dharma Palguna
K.G.P.Bendesa Manik Mas. Rsi Bintang Dhanu Manik Mas & I.N. Djoni Gingsir.
Yayasan Diah Tantri, 1996
Krakah Durdrakah. Salinan dalam aksara Bali, koleksi IBM. Dharma Palguna
Krakah Sari. Salinan dalam aksara Bali, koleksi IBM. Dharma Palguna
Macaling’s Genealogy. A.A. Gede Alit Parta Shemara. Puri Semarabawa, 2008
[babadbali.com]
Palambang Manuk Dadali. Koleksi IBM. Dharma Palguna. Salinan dalam aksara Bali
oleh Ida Bagus Rai, Sindu, Mataram.
Pamancangah Dalem Kramas [Bandesa Mas]. Alih aksara dan terjemahan oleh Tim.
Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, 2002.
Panuksmaning Sangupati. Koleksi Museum NTB, Mataram, No. 1242/ 07.361. Salinan
dalam aksara Bali oleh IBM. Dharma Palguna
Panuksmaning Sangupati Marti. Koleksi Museum NTB, Mataram. No. 07. 361. Salinan
dalam aksara Bali oleh IBM. Dharma Palguna
Parama Dharma Dharmayatra Dang Hang Nirartha. Ida Bagus Rai Putra, dkk.
Dharmopadesa Pusat, 2010.
Prasasti Brahmana, Va.3338, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Ida Ketut Kusa, Banjar
Liligundi Singaraja, 20 lembar. [babadbali.com]
Prasasti & Babad Pande. Pande Made Purna Jiwa. Paramita, Surabaya, 2013
Prasasti Brahmana. Dalam Shastra Purwana Tattwa. Koleksi Ida Bagus Agung Mandala,
griya Taman Ayu Telaga, Jalan Imam Bonjol no. 61 Denpasar. Diketik oleh IB Heri
Juniawan, Mataram.
Purana Bali Dwipa. Koleksi A. A. Raka Parta. Puri Blahbatuh, Gianyar. 12 lembar.
[babadbali.com]
506
Shastra Wangsa
Raja Purana Pura Besakih, Va. 4819. Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi I Gusti Agung
Mas Putra, Lumintang, Denpasar, 28 lembar. Ditulis oleh Sagung Putri.
[babadbali.com]
Ratuning I Macaling. Koleksi Wikarman. Alih aksara I Dewa Ayu Puspita Padmi,
Karangasem, 2007 [babadbali.com]
Resi Waisnawa, Va.4742, Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Geria Sunya, Kaba-Kaba
Kediri Tabanan, 23 lembar. [babadbali.com]
Sang Hyang Kreta Upadesa. Koleksi I Nyoman Arta Kusuma, Karang Jasi. Alih aksara
oleh IB Heri Juniawan. Mataram, 1996.
Sastra Purwana Tattwa, Koleksi Ida Bagus Agung Mandala, griya Taman Ayu Telaga,
Jalan Imam Bonjol no. 61 Denpasar. Diketik oleh IB Heri Juniawan, Mataram.
Sebun Bangkung. Alih aksara dan alih bahasa oleh Ida Bagus Putra Pudharta, S.Ag.
Gianyar. tanpa tahun
Sejarah dan Babad Keloping. Drs. KM. Suhardana. Paramita, Surabaya, 2006.
Sejarah Kiyai Anglurah Tegeh Kori. I Gusti Ngurah Agung & I Gusti Ngurah Nitya
Santhiharsa. Puri Tegal Tamu: Batubulan, 2011
Sejarah Pangeran Bandesa Manik Mas (Sebuah Catatan Kecil). Drs. I Wayan
Suadnyana. Paramita, Surabaya, 2011.
Sekte-Sekte di Bali. R Goris. Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1986. Diterjemahkan oleh
Ny. P.S. Kusumo Sutojo. Dengan Kata Pengantar Dr. Haryati Soebadio.
Shiwa Sasana. Alih aksara teks dan terjemahan. Dharmopadesa. Denpasar, tanpa tahun
Silsilah Mahagotra Pasek Sanak Saptaresi. Disusun oleh Ketut Soebandi, 5 Februari
1985.
Tatakramaning Wiku Mayasa Dharma, dalam Shastra Purwana Tattwa. Koleksi Ida
Bagus Agung Mandala, griya Taman Ayu Telaga, Jalan Imam Bonjol no. 61
Denpasar. Diketik oleh IB Heri Juniawan, Mataram.
Tattwa Catur Bumi. Disalin oleh I Made Gambar, 1994. Cempaka 2, Denpasar
Tattwa Jnana. (Brahma Widya). I Wayan Sukayasa & I Putu Sarjana. UNHI, 2011.
507
Shastra Wangsa
Tingkahing Kaparamartha Lina. Dalam Shastra Purwana Tattwa. Koleksi Ida Bagus
Agung Mandala, griya Taman Ayu Telaga, Jalan Imam Bonjol no. 61 Denpasar.
Diketik oleh IB Heri Juniawan, Mataram.
Tingkahing Sang Amawa Bhumi. Dalam Shastra Purwana Tattwa. Koleksi Ida Bagus
Agung Mandala, griya Taman Ayu Telaga, Jalan Imam Bonjol no. 61 Denpasar.
Diketik oleh IB Heri Juniawan, Mataram.
Tutur Aji Klungkung. Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Ida Perada Gede Telaga,
Tatandan, 32 lembar. Ditulis oleh Ida Peranda Made Singharsa, Geria Gede
Panarukan
Tutur Asu Asa, Va.5070. Gedong Kirtya, Singaraja. Koleksi Anak Agung Putu Jlantik.
Puri Kawan, Buleleng. 11 lembar. Ditulis oleh Anak Agung Putu Jlantik.
[babadbali.com]
Tutur Bhuwana Mahbah. Alih akara teks dan terjemahan. Tanpa nama pengarang dan
tanpa tahun. Dharmopadesa Pusat di Bali.
Tutur Kuranta Bolong. Lontar koleksi Ida Putu Meregeg, Sweta. Alih aksara IB Heri
Juniawan. Mataram, 1997.
Tutur Masredah. Salinan dalam aksara Bali, koleksi IBM. Dharma Palguna
Tutur Sayukti. Salinan dalam aksara Bali, koleksi IBM. Dharma Palguna
Wangi Laksana Sharira. Salinan dalam aksara Bali, koleksi IBM Dharma Palguna
Widdhi Shastra. Salinan dalam Aksara Bali, koleksi Ida Bagus Made Sutama, Mataram
Wiksu Pungu. Koleksi I Made Sudharma, Karang Wates, Lombok. Disalin oleh IB Heri
Juniawan, Mataram.
Wiku Sasana. Alih aksara teks dan terjemahan. Dharmopadesa Klungkung. 2005
Wisik Parama Rahasya. Lontar koleksi Ida Wayan Gede, Panaraga. Alih aksara oleh IB
Heri Juniawan. Mataram, 1991.
508
Shastra Wangsa
Tentang Penulis
Ida Bagus Made Dharma Palguna menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Sastra Universitas
Udayana [1985], S-2 dan S-3 di Faculteit der Letteren, Rijksuniversiteit Leiden [1992, 1999].
Pernah bekerja sebagai dosen di kedua almamaternya tersebut, dosen tamu di beberapa universitas,
peneliti Sastra Jawa Kuno, penulis esai di media massa. Selain buku-buku yang diterbitkan bersama
penulis lain, ada sejumlah buku yang telah terbit atas namanya sendiri. Buku-buku tersebut adalah:
1995 Lawat-Lawat Suwung [Puisi Bali]. Dharma Sastra, Denpasar
1997 Shiwaratri Dalam Padma Purana. Dharma Sastra, Denpasar
1998 Ida Padanda Ngurah: Pengarang Besar Bali Abad XIX. Dharma Sastra, Denpasar
1999 Dharma Sunya: Memuja dan Meneliti Shiwa [Ph.D Thesis, Universitas Leiden]
2000 Cara Mpu Monaguna Memuja Shiwa. Dharma Sastra, Denpasar
2005 Pedofilia dan Tindak Kekerasan Lainnya. Kanaivasu, Denpasar
2006 Bom Teroris dan Bom Sosial, Narasi dari Balik Harmoni Bali. Kanaivasu, Denpasar
2007 Dewa Manusia Raksasa. Msolin Press, Tabanan
2007 Budaya Kepintaran Sampai Budaya Kekerasan Pikiran. SadampatyAksara, Mataram
2008 Tiga Anak Pembual dan Cerita Terpilih Lainnya. SadampatyAksara, Mataram
2008 Kala: Waktu dan Kematian. Buku Kesatu. SadampatyAksara, Mataram
2008 Sumanasantaka, Pengantar Mati Cara Bali, Buku Kedua. SadampatyAksara, Mataram
2008 Leksikon Hindu. SadampatyAksara, Mataram
2009 Shintany Rabbhana [Novel]. SadampatyAksara, Mataram
2011 Lumut-Lumut Watulumbang. STAHN Gde Pudja, Mataram
2011 Leksikon Hindu [cet. II]. Bimas Hindu, Depag RI, Jakarta
2012 Sekar Ura. SadampatyAksara, Mataram
2014 Dharma Shunya, Memuja dan Meneliti Shiwa, Edisi Baru. Sadampaty-Aksara, Mataram
2014 Bhisma Parwa Jawa Kuno. Terjemahan. SadampatyAksara, Mataram
2014 Perempuan Shakti: Kumpulan Esai. SadampatyAksara, Mataram
2014 Homa Dhyatmika: Terjemahan. SadampatyAksara, Mataram
2014 Watulumbang Watumadeg. Buku I. SadampatyAksara, Mataram
2014 Watulumbang Watumadeg. Buku II. SadampatyAksara, Mataram
2015 Kamus Istilah Anatomi Mistis Hindu. Bimas Hindu, Depag RI, Jakarta
509