Anda di halaman 1dari 14

LEGAL DRAFTING

Literatur Pokok :
1. Prinsip2 Legal Drafting & Desain NAskah Akademik (B. Hestu Cipto Handoyo)
2. Legislative Drafting (Sirajudin, dkk)
3. Ilmu Perundang-undangan buku 1 dan 2 (Maria Farida Indrati S)
4. UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan PerUUan

• Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah


penyusunan/perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Legal
drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh;
Pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan
yang mengikat publik; Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti;
perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan
perjanjian atau kontrak.
• Dalam meteri kuliah  ini legal drafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum dalam
arti luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni undang-undang atau perundang-
undangan. Jadi bukan perancangan hukum seperti perjanjian/kontrak, dll.
• Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan
yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan
perundang-undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya
dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
• Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan
peraturan-perundangan.
• Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan   perencanaan, penyusunan,  pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
• Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 1  UU No. 12 tahun 2011 di atas, bahwa proses sebuah
peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati
beberapa tahap.
• Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum.
• Negara hukum (Wirjono Prodjodikoro) adalah “suatu negara yang di dalam wilayahnya
semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam
setiap tindakannya terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-
wenang, melainkan harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan
kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku”.
• Sedangkan menurut Hartono Mardjono, dikatakan negara hukum adalah “bilamana di
negara tersebut seluruh warganegara maupun alat-alat perlengkapan dan aparat negaranya,
tanpa kecuali dalam segala aktifitasnya tunduk kepada hukum”. (equity dan non-
discrimination)
• Tujuan Negara Hukum S. Tasrif: 1) Kepastian hukum (tertib/order); 2) Kegunaan
(kemanfaatan/utility); dan 3) Keadilan (justice). Sedangkan menurut Ahmad Dimyati: 1)
Pencapaian keadilan, 2) Kepastian hukum, dan 3) Kegunaan (kemanfaatan).
Kesimpulan:
1. Pencapaian Keadilan, sesuai dengan asas Ius quia iustum (hukum adalah keadilan, dan
Quid ius sine justitia (apalah arti hukum tanpa keadilan).
2. Hukum adalah untuk mengatur hubungan, baik warga masyarakat maupun negara, The law
is a tool to “social control” and “social engineering”.
3. Hukum dilaksanakan untuk mencapai kepastian.
Unsur-unsur negara hukum :
1. Sistem pemerintahan negara yg berdasarkan atas kedaulatan rakyat
2. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum
atau peraturan PerUUan
3. Adanya jaminan terhadap HAM (warga negara)
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
5. Adanya pengawasan dari badan2 peradilan (rechterlijke controle) yg bebas dan mandiri
dalam arti lembaga peradilan tersebut benar2 tidak memihak dan tidak berada dibawah
pengaruh eksekutif.
6. Adanya peran nyata dari anggota2 masyarakat atau warga negara untuk turut serta
mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah
7. Adanya sistem perekonomian yg dapat menjamin pembagian yg merata sumber daya yang
diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
• Sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 45 maka segala aspek kehidupan
dan bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
senantiasa berdasarkan atas hukum (asas legalitas=legaliteits beginsel).
• Konsekuensinya adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terlepas dari
peraturan PerUUan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia.
• Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan  oleh lembaga negara atau pejabat yg
berwenang  melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perUUan .(Pasal 1 angka 2 
UU No. 12 tahun 2011).
• Untuk itu perlu adanya suatu pemahaman terhadap tatacara penyusunan peraturan PerUUan
mulai dari proses, prosedur, dan teknik dalam penyusunan dan pembuatan rancangan
peraturan PerUUan.
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada:
1. Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara
hukum;
2. Pembukaan dicantumkan kata-kata : Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
3. Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam
hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada
kecualinya;
4. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem
Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang
berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
5. Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang
Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”;
6. Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-
Undangan;
7. Sistem hukum yang bersifat nasional;
8. Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
9. Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan;
10. Adanya peradilan bebas.

Dasar-dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan :


1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah NEGARA HUKUM”
2. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan
membentuk UNDANG-UNDANG”
3. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-
UNDANG”
4. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 “Presiden menetapkan PERATURAN PEMERINTAH untuk
menjalankan UNDANG-UNDANG sebagaimana mestinya”
5. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 “Pemerintah daerah berhak menetapkan PERATURAN
DAERAH dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”
6. UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
• Untuk dapat menjadi seorang “Legal Drafter (perancang PerUUan) ” maka tidak terlepas
dari penguasaan ilmu perundang-undangan karena ilmu perundang-undangan adalah suatu
ilmu yang mempelajari segala seluk beluk proses atau tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan dan isi atau subtansi suatu peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh pejabat yang berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersifat
atau mengikat secara umum.
• Sedangkan menurut B. Hestu Cipto Handoyo Ilmu Perundang-undangan merupakan cabang
dari ilmu hukum yang secara khusus objek kajiannya adalah meneliti tentang gejala peraturan
peraturan perundang-undangan yakni setiap keputusan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang untuk mengatu tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku mengikat
umum.
• Dengan kata lain ilmu perundang-undangan berorientasi kepada melakukan perbuatan dala
m hal ini pembentukan peraturan PerUUan serta bersifat normatif (mata kuliah dasar)

Ilmu perundang-undangan terbagi :


1. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi beberapa tahapan dalam
pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap persiapan, penetapan, pelaksanaan,
penilaian dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi.
2. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang pembentukan inis
norma hukum yang teratur untuk dapat mencapai sasarnannya. Pengacuannya kepada hal-hal
yang berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur suatu ketentuan dalam norma
seperti objek norma, subjek norma, operator norma dan kondisi norma.
3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik perundang-undangan
mengkaji hal-hal yg berkaitan dengan teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk luar,
bentuk dalam, dan ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan.

Kegunaan ilmu perundang-undangan yaitu :


• Selain dalam rangka merubah masyarakat, tentunya kearah yang lebih baik sesuai dengan
doktrin hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social enginering), kegunaan lain
ilmu perundang-undangan yaitu :
1. Memudahkan praktik hukum, terutama bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun
pemerintah.
2. Memudahkan klasifikasi dan dokumentasi peraturan perundang-undangan
3. Memberikan kepastian hukum dalam pembentukan hukum nasional
4. Mendorong munculnya suatu produk peraturan perundang-undangan yang baik.
• Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara UU dalam arti materiil (wet in
materiele zin) dan UU dlm arti formil
• UU dalam arti materil adalah Peraturan PerUUan sedangkan UU dalam arti formil adalah
UU.

Beda Peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang :


• Peraturan perundang-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yg
berwenang yg berisi aturan tingkah laku atau mengikat secara umum yang disebut juga
undang-undang dalam arti materil.
• Undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif yg berisi aturan tingkah laku yg bersifat atau mengikat
umum yang disebut juga undang-undang dalam arti formil.

Kesimpulan :
• Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut
organ pembentuk dan isinya.
• Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi berlaku dan mengikat
umum maka disebut sbg UU dlm arti materiil.
• Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang
namun isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai
UU dalam arti materil atau perundang-undangan.
• Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang kekuasaan legislatif
(dalam kontek UUD 45 adalah kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif)
yg isinya berlaku dan mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil
atau cukup disebut UU.
• Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No  12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan PerUUan.

Ciri-ciri peraturan perundang-undangan :


1. Peraturan perUUan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat
maupun di di tingkat daerah. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah pejabat yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku baik berdasarkan atribusi maupun delegasi.
3. Perturan PerUUan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
4. Peraturan PerUUan mengikat secara umum umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau
individu tertentu (tidak bersifat individual).
5. Peraturan perUUan berlaku secara terus menerus (dauerhafing) sampai diubah, dicabut
atau digantikan dengan peraturan perUUan yang baru.

Kelebihan dan kelemahan peraturan perundang-undangan :


• Kelebihan peraturan PerUUan (hukum tertulis) :
1. Mudah dikenali, diketemukan kembali maupun ditelusuri.
2. Lebih memberikan kepastian hukum
3. Memungkinkan untuk diperiksa dan diuji
4. Pembentukan dan pengembangannya dapat direncanakan.
• Kelemahan Peraturan PerUUan (hukum tertulis)
1. Terkesan kaku
2. Kurang lengkap.

• Selain itu juga dalam rangka menyusun dan membentuk peraturan perUUan selain perlunya
penguasaan ilmu perundang-undangan seorang legal drafter juga harus memperhatikan
norma-norma/kaidah hukum sebagai dasar pembentukan perUUan tersebut.
• Kaidah/norma hukum pada pokoknya dapat diartikan adalah pengambilan keputusan yang
ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak2
dan kewajiban hukum yg berupa larangan, keharusan maupun kebolehan.
• Produk pengambilan keputusan tersebut dapat dibedakan dengan tiga istilah yaitu :
1. Pengaturan yg menghasilkan peraturan (regels)
2. Penetapan yg menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschickkings)
3. Penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonis).
• Untuk itu hukum harus dimaknai sebagai sebuah ketentuan baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur kehidupan manusia dalam pergaulan hidup. Baik antara sesama
maupun dengan lingkungannya. Ketentuan tersebut sifatnya adalah mengikat dan berlaku
umum dan apabila tidak diindahkan akan dikenai sanksi yang berasal dari external power
(kekuasaan diluar diri manusia).
• Kaidah/norma hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan (orde)
maupun ketentraman dan ketenangan (rust). Kaidah hukum daya lakunya dipaksakan dari
luar diri manusia.
• Dapat juga diartikan norma hukum adalah suatu patokan yang didasarkan kepada ukuran
nilai2 baik atau buruk yang berorientasi kepada asas keadilan dan bersifat : 1) suruhan
(impare/gebod) yang harus dilakukan orang (perintah), 2) larangan (prohibire/verbod) yang
tidak boleh dilakukan, 3) kebolehan (permitted/mogen) sesuatu yang tidak dilarang dan tidak
disuruh.
Contoh :
• Seorang wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (346
KUHP)
• Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam karena melakukan penganiayaan
berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun (354 KUHP)
• Setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib mendapatkan izin dari pejabat yang
berwenang.

Fungsi, tujuan dan tugas norma hukum


• Fungsi : melindungi kepentingan manusia, kelompok manusia (masyarakat) dan negara.
• Tujuan, tercapainya ketertiban dalam masyarakat.
• Tugas, mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum
agar tercapainya tujuan hukum.

Bentuk-bentuk norma hukum :


• Tunggal dan berpasangan : Norma hukum ini dilihat dari sifatnya apakah berdiri sendiri
(tunggal) atau diikuti oleh norma hukum lain (berpasangan).
• Isi norma hukum tunggal adalah suruhan (das sollen) untuk bertindak atau bertingkah laku.
Norma hukum berpasangan terdiri dari beberapa norma hukum yaitu norma hukum primer
dan sekunder. Norma hukum sekunder merupakan penanggulangan apabila norma primer
tidak terlaksana.

Tata urutan norma hukum :


• Teori jejang norma (stufentheorie) Hans Kelsen : norma-norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih
rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih
tinggi tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotesis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar (grundnorm).

Menurut D.W.P. Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental yang dimaksud peraturan
perundang-undangan yaitu mengandung 3 unsur :
1. Norma hukum (rechtnorm)
2. Berlaku ke luar (naar buiten werken) dan
3. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)
Ad. 1 : Norma hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa :
a. Perintah (gebod)
b. Larangan (verbod)
c. Pengizinan (toestmming) dan
d. Pembebasan (vrijstelling)

Ad.2 : Norma berlaku orang


Ruiter berpendapat bahwa didalam peraturan perundang-undangan tradisi yang hendak
membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk dalam organisasi
pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesama
maupun antara rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian
organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang sebenarnya dan hanya dianggap norma
organisasi. Oleh karena itu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu
disebut ”berlaku ke luar”

Ad. 3 : Norma bersifat umum dalam arti luas


Dalam hal ini terdapat perbedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual
(individueel), hal ini dilihat dari addressat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada
”setiap orang” atau kepada ”orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan
yang konkret (concreet) jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-
peristiwa yang idak tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu.

Menurut Ruiter sebuah norma (termasuk norma hukum) mengandung unsur-unsur berikut :
1. Cara keharusan berperilaku (modus van behoren) disebut operator norma.
2. Seorang atau kelompok orang adresat (normaadressaat) disebut subyek nomra
3. Perilaku yang dirumuskan (normgedrag) disebut objek norma
4. Syarat-syaratnya (normcondities), disebut kondisi norma

Contoh :
Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun.
Penjelasan :
Setiap orang : subyek norma
Wajib : operator norma
Membayar pajak : obyek norma
Pada akhir tahun : kondisi norma

LANDASAN-LANDASAN DAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN.

Landasan pembentukan peraturan perundang-undangan :


1. Landasan filosofis (filosofische grondslag)
• Rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardging) jika dikaji
secara filosofis, dan
• Sesuai dengan ciata-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan (idee der
gerechttigheid), dan cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).
2. Landasan sosiologis (sociologische grondslag)
• Dikatakan mempunyai landaan sosiologis bila ketentuan2nya sesuai dengan keyakinan
umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU ditaati dan berlaku efektif
dimasyarakat.
3. Landasan yuridis (juridische grondslag)
• Landasan yuridis dimaksud meliputi arti formil dan materil. Secara formil adalah landasan
yuridis yang memberikan kewenangan (bevogdheid) bagi instansi tertentu untuk membentuk
peraturan perundang-undangan tertentu. Sedangkan secar materil adalah landasan yuridis
untuk segi isi (materi) yang harus diatur dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan
yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Contoh : dalam konsideran menimbang (grondslag) dikenal juga dengan istilah konsideran
factual yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan filosofis dan sosiologis. Selanjutnya
konsideran mengingat (rechtgrond) dikenal juga denagan istilah konsideran yuridis berisikan
dasar-dasar hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk pijakan legalitas.

LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan


1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Selalu Peraturan Perundang-Undangan
• Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu Peraturan
Perundang-Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan dasar yuridis kecuali
Peraturan Perundang-Undangan. Dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan harus ada
landasan yuridis secara jelas. Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-
Undangan namun hanya sebatas dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan
Perundang-Undangan. Contoh hukum lain seperti hukum adat, yurisprudensi, dan
sebagainya.
2. Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan Landasan
Yuridis
• Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yaitu hanya Peraturan
Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang akan disusun. Oleh karena itu tidak dimungkinkan
suatu Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam
menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-Undangan yang
tidak terkait langsung juga tidak dapat dijadikan dasar yuridis Peraturan Perundang-
Undangan.
3. Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus, Dicabut, atau
Diubah Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat atau yang Lebih Tinggi
• Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan tata urutan atau hirarki Perundang-
Undangan dan dengan prinsip tersebut tidak akan mengurangi para pengambil keputusan
untuk melakukan penemuan hukum melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum
maupun penghalusan hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
4. Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan
Lama
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat, maka
yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang terbaru. Dalam prakteknya
pada prinsip tersebut temyata tidak mudah diterapkan, karena banyak Peraturan perundang-
Undangan yang sederajat saling bertentangan materi muatannya namun malahan sering
dilanggar oleh para pihak yang memiliki kepentingan.
5. Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi Mengesampingkan Peraturan
Perundang-Undangan yang Lebih Rendah
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi
tingkatannya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah, maka Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi yang diberlakukan, dan Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih rendah dikesampingkan.
6. Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Bersifat Umum
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum yang sederajat tingkatannya,
maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus (lex
spesialis derogat lex generalis).
7. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan Materi Muatannya Berbeda
• Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya harus saling berbeda satu
sama lain yang berarti bahwa materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
tinggi (terdahulu) tidak boleh diatur kembali di dalam materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih rendah. Penentuan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang
lebih rendah tingkatannya tidak mengalami kesulitan apabila materi muatan tertentu dalam
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya jelas-jelas mendelegasikan
kepada Peraturan perundang-Undangan yang lebih rendah.

B. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


1. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu meliputi:
a. Kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk Peraturan Perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga atau organ
yang tidak berwenang;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu perumusan materi muatan dalam setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memiliki kesesuaian dengan jenis perundang-
undangan;
d. Dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus
didasarkan pada perhitungan bahwa Peraturan Perundangundangan yang dibentuk nantinya
dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara
filosofis, yuridis; maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap Peraturan Perundangundangan yang
dibentuk benar-benar mempunyai dayaguna dan hasil guna berlaku di dalam masyarakat,
berfungsi secara efektif dalam memberikan ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian bagi
masyarakat ;
f. Kejelasan rumusan, yaitu; bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan, sistematika, dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya;
g. Keterbukaan, yaitu tidak adanya muatan materi Peraturan Perundangundangan yang
disembunyikan atau bersifat semu, sehingga dapat menimbulkan berbagai penafsiran dalam
praktek/implementasinya.
2. Asas materil
Materi Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi mengayomi
seluruh masyarakat dan memberikan perlindungan hak asasi manusia yang hakiki;
b. Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat manusiawi dan
menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh membebani masyarakat di luar
kemampuan masyarakat itu sendiri;
c. Kebangsaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan;
d. Kekeluargaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas
musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah yang diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan;
e. Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis
Peraturan Perundangundangan tersebut;
f. Kebhinnekatunggalikaan, yaitu setiap perencanaan, pembuatan, dan penyusunan serta
materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku, dan golongan khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan yang merata, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap Peraturan Perundang-
undangan materi muatannya tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat diskriminatif;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap Peraturan Perundangundangan harus dapat
menimbulkan kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat;
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan
materi muatannya atau isinya harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta bangsa dan negara.

C. Asas Pemberlakukan Peraturan Perundang-undangan


• Secara umum ada beberapa asas atau dasar agar supaya Peraturan Perundangundangan
berlaku dengan baik dan efektif, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut
berlaku dengan baik (sempurna) dan efektif dalam teknik penyusunannya.
• Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yakni asas yuridis, asas
filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan hal
lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundangundangan, namun
menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-undangan.
• Asas yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan Peraturan Perundang-
undangan, yaitu yang berkaitan dengan :
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan perundangundangan, yang berarti
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang
berwenang.
2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-
undangan. Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat.
3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut
tidak ditaati, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau
tidak/belum mempunyai kekuatan mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
a. Asas filosofis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar
filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan secara sungguh-sungguh nilainilai (citra hukum) yang terkandung dalam
Pancasila. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan,
ketertiban, dan kesejahteraan.
b. Asas sosiologis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan
kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang
dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu Peraturan
Perundang-undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan
mempunyai daya-laku secara efektif. Peraturan Perundang-undangan yang diterima oleh
masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak
memerlukan pengarahan institusional untuk melaksanakannya.
c. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar
sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu :
1. Teori Kekuasaan (Machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan
penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat;
2. Teori Pengakuan, (Annerkenungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan
dari masyarakat tempat hukum itu berlaku

Anda mungkin juga menyukai