Anda di halaman 1dari 71

BUKU III

(HUKUM PERIKATAN)
PERIKATAN PADA UMUMNYA

 Buku III KUH Perdata menganut; sistim


terbuka (open system), dimana setiap
orang (para pihak) diberikan keleluasaan
untuk mengadakan/membuat perjanjian,
membuat ketentuan-ketentuan yang lain
selain dari apa yang telah ditentukan
dalam Buku III (sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh para pihak) sepanjang
tidak bertentangan dengan azas-azas dan
syarat-syarat perjanjian sebagaimana
diatur dalam pasal 1320 KHU Perdata.
SISTEM BUKU II (HUKUM BENDA)

Sistem yang dianut oleh Buku III (Hukum


Perjanjian) berbeda dengan sistem yang
dianut oleh buku II KUH Perdata, karena
Buku II menganut sistem tertutup (close
sistem) artinya, subyek hukum tidak
diberikan kemungkinan untuk
mengadakan ketentuan lain semacam hak
kebendaan yang baru, selain dari apa yang
telah ditetapkan dalam undang-undang
ISTILAH PERIKATAN DAN PERJANJIAN

Perikatan sering diterjemahkan dari


istilah dalam bahasa Belanda Verbintenis.
Selain intilah Verbintenis terdapat pula
istilah Overinskomt yang diterjemahkan
menjadi perjanjian/ persetujuan.
PENGERTIAN PERIKATAN DAN PERJANJIAN

Pengertian Verbintenis (perikatan) lebih luas dari


pada istilah Overinskomt (perjanjian/ persetu
-juan). karena Overinskomts (perjanjian/
persetujuan) merupakan salah satu sumber dari
perikatan, selain bersumber dari undang-undang.

Pengertian Perikatan (verbintenis) adalah suatu


antara dua orang atau dua pihak, dimana
perhubungan hukum pihak yang satu berhak
menuntut suatu hal (prestasi) dari pihak yang
lain, sedangkan pihak yang lain berkewajiban
memenuhi tuntutan itu (kontra prestasi)
HUBUNGAN ANTARA VERBINTENIS DAN
OVERINSKOMT

Perjanjian/persetujuan (overinskomt) adalah


suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji
untuk melakukan/melaksanakan suatu hak.

Antara perikatan (verbintenis) dan


Perjanjian/persetujuan(overinskomt) mempunyai
kaitan yang sangat erat, karena overinskomt
(perjanjian/persetujuan) merupakan salah satu
sumber dari perikatan
SISTEMATIKA BUKU III (PERIKATAN)

Jika diperhatikan isi /substansi Buku III KUH. Perdata; ada


empat Bab (Bab I s/d Bab IV) mengatur tentang Perikatan
pada umumnya, dan ada 14 Bab (Bab V s/d Bab XVIII) berisi
ketentuan Khusus.

Bab I : Mengatur ttg perikatan-perikatan pada


umumnya (baik perikatan yg lahir
karena undang2 maupun perikatan yg
lahir karena perjanjian)
Bab II : Mengatur perikatan yg lahir dari
Perjanjian
Bab III : Mengatur perikatan yg lahir karena
Undang2
Bab IV : Mengatur Tentang Hapusnya Perikatan
(baik yg lahir dari perjanjian
maupun dari undang2)
Selanjutnya pada Bab-bab berikutnya mulai dari
Bab V s/d Bab XVII mengatur tentang Perjanjian-
perjanjian khusus atau sering disebut dengan
perjanjian bernama/perjanjian nominat (Nominat
Contracten).

Perlu untuk diketahui bahwa; di samping terdapat


perjanjian Nominat yang diatur secara khusus
dalam KUH Perdata, terdapat pula apa yang
dinamakan dengan perjanjian In-Nominat (yg
berkembang dalam Praktek sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat),
seperti perjanjian sewa-beli, Leasing, Franchising,
joint-venture, BOT dll.
SUMBER PERIKATAN (PASAL 1233)

Perikatan bersumber dari Undang-Undang


1. Perikatan yg bersumber dari UU Saja, dan
2. Perikatan yg bersumber dari UU karena
perbuatan manusia.
2.1. Perikatan yg bersumber dari UU karena
perbuatan manusia yg sesuai dengan
hukum

2.2. Perikatan yg bersumber dari perbuatan


manusia yg tdk sesuai hukum
(onrechmatig daat)

Perikatan Bersumber dari Perjanjian


SKEMA SUMBER PERIKATAN

PERIKATAN

UNDANG-UNDANG PERJANJIAN

UU Krn PERBUATAN
MANUSIA UU SAJA
ALIMENTASI Psl. 321

PERBUATAN PERBUATAN
MANUSIA YG MANUSIA YG
SESUAI TIDAK SESUAI
HUKUM HUKUM
(ZAKWARNE ONRECHTMA
MING PASAL TIG DAAD
1354 ) (PASAL 1365)
SYARAT-SYARAT PERJANJIAN
(PASAL 1320)

1. Kesepakatan (Kata Sepakat antara para pihak)

2. Kecakapan Dalam Membuat Perjanjian

3. Hal Tertentu (sebagai Obyek Perjanjian)

4. Sebab yang Halal (diberbolehkan oleh UU)


AZAS-AZAS PERJANJIAN

Berdasarkan KUH. Perdata, terdapat


lima azas perjanjian, yaitu:

1. Azas Kebebasan Berkontrak;


2. Azas Konsesnsualisme (consensus);
3. Azas kekuatan mengikat (vacta sun
serpanda);
4. Azas Kepribadian (Personality)
5. Azas Iktikad baik (De Goede
Trouw)
AZAS-AZAS PERJANJIAN BERDASARKAN
DOCTRIN

ADA BEBERAPA AZAS PERJANJIAN

1. Azas Kebebasan berkontrak


2. Azas Konsensualisme (Kesepakatan)
3. Azas Kepastian Hukum
4. Azas Iktikad Baik
5. Azas Kepribadian
6. Azas Kepercayaan.
7. Azas Keseimbangan
8. Azas Kepatutan
9. Azas moral
10. Azas Kemanfaatan.
JENIS-JENIS (MACAM) PERJANJIAN

DILIHAT DARI ISI (PRESTASINYA):

1. Perjanian untuk Memberikan/ Menyeran


kan sesuatu;

2. Perjanjian Untuk Melakukan (berbuat)


Sesuatu;

3. Perjanjian Untuk Tidak melakukan


(berbuat) sesuatu.
MACAM-MACAM PERJANJIAN
(BERDASARKAN DOKTRIN)

1. PERJANJIAN MURNI : Apabila pihak debitur tidak


tergantung pada suatu peristiwa yg masih akan
terjadi

2. PERJANJIAN BERSYARAT (Voorwaardelijk)


Pasal 1253 KHU Pdt.

Perjanjian Bersyarat; adalah suatu perjanjian yg


digantungkan pada suatu syarat (Voorwarde)
berupa suatu kejadian di kemudian hari,
dimana kejadian itu masih belum tentu akan
atau terjadi (bisa terjadi dan bisa tidak terjadi)
LAHIRNYA PERJANJIAN BERSYARAT

Perjanjian itu akan lahir, apabila


kejadian yg belum terjadi itu timbul
(benar-benar terjadi).

Misalnya :
Saya berjanji kepada seseorang untuk
membeli mobilnya apabila saya lulus
ujian. (Perjanjian itu akan benar
benar terjadi, kalau saya lulus ujian)
Juga dimungkinkan untuk membuat suatu
perjanjian, dimana perjanjian yang sudah akan
berlaku, akan dibatalkan apabila
kejadian/peristiwa yang belum tentu terjadi itu
benar-benar terjadi.

Perjanjian semacam ini dinamakan dengan


perjanjian yg digantungkan pada suatu syarat
pembatalan (Ontbindende-voorwaarde).

Misalnya: suatu perjanjian, dimana saya


mengizinkan seseorang untuk mendiami rumah
saya, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan
berakhir apabila secara mendadak saya
diberhentikan dari pekerjaan saya.
Catatan : oleh undang-undang ditetapkan,
bahwa suatu perjajian sejak semula sudah batal
(nietig) jika ia mengandung suatu ikatan yang
digantungkan pada suatu syarat yang
mengharuskan suatu pihak untuk melakukan
suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin
untuk dilaksanakan atau yang bertentangan
dengan undang-undang atau kesusilaan.

Dalam setiap perjanjian selalu meletakkan


kewajiban secara timbal-balik, kelalaian, salah
satu pihak (wanprestasi) selalu dianggap sebagai
suatu syarat pembatalan yg dicantumkan dalam
perjanjian. (Pasal 1266)
PERJANJIAN DENGAN KETETAPAN WAKTU
(Tijdbevaling)

Perbedaan antara perjanjian bersyarat dengan


perjanjian dengan Ketetapan Waktu, adalah : Kalau
Perjanjian bersyarat digantungkan pada suatu
kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau
tidak akan terjadi (terlaksana)

Sedangkan Perjanjian dengan Ketetapan Waktu,


digantungkan pada suatu kejadian (peristiwa) yang
pasti akan terjadi (meskipun mungkin belum dapat
ditentukan kapan peristiwa itu akan
terjadi/datang).
Misalnya: Peristiwa meninggalnya
seseorang.

Catatan: Perikatan dengan ketetapan


waktu ini, banyak terjadi di dalam praktek,
seperti perjanjian perburuhan, hutang
wesel dsb.
PERBEDAAN ANTARA PERJANJIAN BERSYARAT
DAN PERJANJIAN DENGAN KETETAPAN WAKTU

Perjanjian bersyarat; sebelum syaratnya dipenuhi,


sama sekali belum ada perikatan. Perjanjian itu
tidak pasti akan pernah terjadi. Sedangkan

Perjanjian dengan ketetapan waktu; perjanjiannya


seketika sudah ada, hanya saja pelaksanaanya
masih kemudian di waktu yang akan datang
(Periksa pasal 1263 KUH Pdt.)

Mengenai ketetapan waktu; dapat berupa tanggal


yang sudah tetap atau ditentukan oleh suatu
peristiwa yang sudah pasti akan terjadi.
PERJANJIAN YANG BOLEH MEMILIH
(Alternatif)

Adalah merupakan suatu perjanjian, dimana


terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan
kepada si berhutang (debitur) diberikan untuk
memilih, prestasi yang mana yang ia akan lakukan.

Misalnya: Ia boleh memilih, apakah ia akan


memberikan uang, hewan atau mobilnya untuk
melunasi suatu perutangan

Catatan: Kalau diperhatikan pasal 1271 -1273, pilihan


mengenai prestasi ada pada debitur atau kreditur.
PERJANJIAN FAKULTATIF

PERJANJIAN FAKULTATIF; Merupakan


suatu perjanjian dimana debitur
harus melakukan suatu prestasi
tertentu, akan tetapi dalam hal ini,
jika dikehendaki Ia juga dapat
memenuhi dengan prestasi yang lain.
PERBEDAANNYA PERJANJIAN FAKULTATIF
dengan PERJANJIAN ALTERNATIF:

1. Perjanjian Fakultatif: menjadi gugur apabila


prestasi yang ditentukan pertama tidak dapat
dilaksanakan karena suatu sebab yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepada
Debitur.

2. Pada Perjanjian Alternatif; jika salah satu dari


prestasi menjadi tidak mungkin, pada
dasarnya kewajiban untuk memenuhi
prestasi yang lain tetap ada (Pasal 1275-1276)
PERJANJIAN TANGGUNG-MENANGGUNG
(Hoofdelijk atau Solider)
Merupakan suatu perjanjian, dimana beberapa
orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
(debitur) berhadapan dengan satu orang yang
menghutangkan (kreditur) atau sebaliknya, ada
beberapa orang berhak menagih suatu piutang
pada satu orang (debitur).

Jika terjadi beberapa orang secara bersama-sama


sebagai debitur berhadapan dengan seorang
kreditur, maka masing-masing dapat dituntut
untuk membayar hutang tersebut untuk
seluruhnya; Akan tetapi, jika seorang telah
membayar maka akan membebaskan kreditur yang
lainnya.
Prinsipnya: Dalam perjanjian tanggung-
menanggung itu, para yang berhutang
(debitur) saling tanggung- menanggung.
Pembayaran yang dilakukan oleh seorang
Debitur, akan membebaskan debitur
lainnya dari kewajibannya pada kreditur.

Akibatnya : akan terjadi Pergantian


kreditur (Subrogatie)
PERJANJIAN YANG SUBYEKNYA LEBIH DARI SATU
ORANG

Dalam suatu perjanjian pada umumnya terdapat


satu orang kreditur di satu pihak, berhadapan
dengan seorang debitur di pihak lain.

Namun, dapat pula terjadi ada suatu perjanjian


dimana, di satu pihak atau ke dua belah pihak
terdapat dua orang atau lebih.

Perjanjian yang subyeknya lebih dari satu orang bisa


terjadi karena :
1. Undang-undang
2. Perjanjian
3. Sifat prestasinya yang dapat dibagi atau tidak
dapat dibagi
PERJANJIAN YANG DAPAT DIBAGI DAN PERJANJIAN
YG TIDAK DAPAT DIBAGI
(Deelbaarheid dan Ondeelbaarheid)

 Apakah suatu perjanjian itu dapat dibagi atau


tidak dapat dibagi, tergantung pada apakah
prestasinya bisa dibagi atau tidak. Selain itu,
pada hakekatnya tergantung dari maksud ke dua
belah pihak yang membuat perjanjian.

 Persoalan dapat atau tidak dapatnya suatu


perjanjian itu dibagi, barulah akan muncul, jika
salah satu pihak dalam perjanjian telah
digantikan oleh beberapa orang lain, biasanya
disebabkan oleh peristiwa meninggalnya satu
pihak, yang menyebabkan segala hak-haknya
digantikan oleh ahli warisnya.
Catatan : Pada dasarnya, jika tidak
diperjanjikan lain, suatu perikatan tidak
boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang
(kreditur) selalu berhak menuntut
pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya,
(tidak menerima pembayaran sebagian
demi sebagian).
PERJANJIAN DENGAN PENETAPAN HUKUMAN
(Strafbeding)

 Untuk mencegah jangan sampai si berhutang


(debitur) dengan mudah melalaikan
kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai
perjanjian dimana si berhutang (debitur)
dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak
menepati kewajibannya.

 Hukuman ini biasanya ditetapkan dalan suatu


jumlah uang tertentu yang sebenarnya
merupakan suatu pembayaran kerugian yang
sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh
pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian dengan penetapan hukuman
merupakan garansi/jaminan dari pemenuhan
suatu perikatan.

Sesuai dengan ketentuan pasal 1309 KUH Pdt,


Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan
hukumam (mengurangi hingga pantas), janji-janji
yang dipandang terlalu berlebihan, terlebih lagi
jika sebagian hutang telah dilunasi.
PELAKSANAAN PERJANJIAN

Tujuan dari diadakannya suatu perjanjian yaitu


agar para pihak menepati perjanjian (Nakoming
der verbintenis) atau lebih luas lagi, yaitu
memenuhi atau melunasi (betaling) secara
sempurna dengan sukarela, segala isi perjanjian
yang telah disepakati oleh para pihak.

Apakah ukuran suatu perjanjian telah


dilaksanakan secara sempurna ?

Apabila para pihak telah melaksanakan


kewajibannya menurut yang sepatutnya, serasi
dan layak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
Seketika, setelah terjadinya suatu perjanjian, maka
para pihak yang membuat perjanjian harus
melaksanakan isi perjanjian.

Isi prestasi dapat berupa :


1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3.Tidak berbuat sesuatu

Namun demikian, suatu perjanjian bisa saja tidak


terlaksana dikarenakan adanya hambatan-
hambatan yakni berupa:
1. Suatu keadaan memaksa (overmacht)
2. Wanprestasi
KEADAAN MEMAKSA
(OVERMACHT)

Overmacht (farce majuur)/keadaan memaksa:


adalah suatu, keadaan atau peristiwa/kejadian yang tidak
dapat diduga-duga kejadiannya sehingga menghalangi
seseorang debitur untuk melakukan prestasinya sebelum ia
lalai, sehingga keadaan tersebut tidak dapat dipersalahkan
kepadanya.

Unsur keadaan memaksa (overmacht) adalah:


1. Keadaan/peristiwa yang terjadi tidak dapat diduga
sebelumnya;
2. Diluar kesalahan debitur;
3. Menghalangi debitur untuk melakukan prestasi;
4. Debitur belum/tidak lalai untuk melakukan
prestasi
JENIS OVERMACHT

Overmacht dapat dibedakan menjadi :


1. Overmacht Mutlak
2. Overmacht Relatif

Overmacht Mutlak: adalah suatu keadaan apabila


pelaksanaan prestasi sama sekali tidak dapat dilaksanakan
oleh siapapun juga, misalnya terjadi bencana alam

Overmacht Relatif : adalah pelaksanaan prestasi masih


dimungkinkan, namun memerlukan pengorbanan yang
lebih besar dari Debitur, misalnya; karena adanya
perubahan peraturan eksport atau import, sehingga
pemenuhan prestasi harus dengan menyelundup
(pengorbanan)
Pengorbanan Debitur yang bagaimanakah yang dapat
dikatakan overmacht relatif yang dapat dijadikan alasan
pembebasan debitur dari kewajiban dalam pembayaran
ganti kerugian ?
1. Ukuran obyektif :
Yaitu didasarkan pada ukuran yang normal;

2. Ukuran subyektif:
yaitu didasarkan pada keadaan debitur
dihubungkan dengan pengorbanan yang harus
diderita debitur apabila dia melakukan prestasi
WANPRESTASI

Wanprestasi (cidera janji) : adalah apabila


seorang Debitur tidak melaksanakan prestasi sama
sekali, atau melakukan prestasi yang tidak
semestinya (keliru), atau terlambat melakukan
prestasi. Maka dalam hal-hal demikian, Debitur
dapat dikatakan Wanprestasi.

Bentuk dari wanprestasi, adalah :

1. Tidak melakukan prestasi sama sekali;


2. Melakukan prestasi yang tidak semestinya
(keliru dalam memenuhi prestasi);
3. Terlambat melakukan prestasi.
WANPRESTASI DAN GANTI-RUGI

Wanprestasi (tidak dilaksanakannya)


perjanjian oleh satu pihak, tentu akan
menimbulkan kerugian (pada pihak
lainnya).

Akibat dari wanprestasi adalah


keharusan bagi Debitor (yang
melakukan) wanprestasi membayar
ganti-rugi (schadevergoeding), atau atau
sebagai dasar bagi Debitor untuk
melakukan pembatalan perjanjian
WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELANGGAR
HUKUM (ONRECMATIGE DAAD)

Tindakan wanprestasi adalah merupakan


“pelanggaran hak-hak pihak lain (kreditor),
dan setiap pelanggaran hak orang lain adalah
merupakan “perbuatan melanggar hukum” (on
rechtmatige daad).

Tindakan wanprestasi hampir sama dengan


perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu,
dikatakan bahwa wanprestasi merupakan
bagian (genus spesifik) dari perbuatan
melanggar hukum. (sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1365 KUH. Perdata)
PASAL 1365 KUH PERDATA

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang


membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut”.
WANPRESTASI DAN KEWAJIBAN GANTI RUGI

Kewajiban ganti-rugi (schade vergoeding) tidak


dengan sendirinya (otomatis) timbul pada saat
tidak dipenuhinya prestasi, kecuali telah
diperjanjikan sebelumnya.

ganti rugi baru menjadi kewaajiban Debitor,


“setelah Debitor dinyatakan lalai” Jadi harus ada
pernyataan lalai dari Kreditor. Atau dengan kata
lain, debitor dalam keadaan “in gebrekke stelling”
atau“In mora-stelling”
Pasal 1243 KUH Perdata, menentukan: Penggantian
perongkosan, kerugian dan bunga, baru merupakan
kewajiban debitor; setelah ia untuk itu”ditegor
kealpaannya” melaksanakan perjanjian, meskipun sudah
ditegor ia tatap melalaikan peringatan kreditor.
BENTUK SOMASI (PERINGATAN)

Di Belanda, wanprestasi dilakukan dengan suatu


“bevel” (surat perintah) yang disampaikan kepada
Debitur melalui juru sita. Dalam surat perintah
tersebutkan: Jam; hari-tanggal terakhir Debitur
harus melakukan prestasi dan memuat juga
sanksi-sanksi apabila prestasi tidak dilaksanakan
oleh Debitur.

Sedangkan di Indonesia, sekarang ini dapat


diterima oleh Pengadilan adanya somatie tanpa
juru-sita. Jadi dapat berlaku telegram atau surat.
BENTUK GANTI RUGI
Kerugian yang menyebabkan kewajiban ganti-rugi
yang timbul karena wanprestasi , haruslah
merupakan kerugian nyata (fetelijk nadeel).

Ganti rugi yang dimintakan haruslah dalam


bentuk uang ( tidak boleh dalam bentuk In-natura
atau dengan “reparasi” dalam keadaan semula,
atau diganti dengan benda sejenis. Tujuannya
adalah untuk memudahkan penilaian besaran
ganti-rugi.

Jenis ganti rugi yang dapat dituntut, adalah:


oengkos, kerugian dan bunga (kosten, scheden
en intressen)
KERUGIAN YANG DIMINTAKAN GANTI-RUGI

Kerugian yang dapat dimintakan ganti-


rugi, adalah:

1. Kerugian materiil (kebendaan);


2. Keruguan Im-materiil.

Hubuangan antara ganti-rugi dan


kerugian:

Ganti-rugi yang dapat dituntut adalah ganti-


rugi yang merupakan kerugian yang timbul
sebagai akibat langsung dari wanprestasi.
PEMBELAAN DEBITUR YANG DITUDUH LALAI

Pembelaan tersebut dapat dilakukan dengan


alasan-alasan yang dapat membebaskan debitur
dari kewajiban-kewajiban:

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan


memaksa (overmacht);
2. Mengemukakan alasan bahwa Kreditur
sendiri juga telah lalai (Exeptio non dimpleti
Contractus);
3. Mengajukan bahwa Kreditur telah melepaskan
haknya untuk menuntut ganti rugi.
HAPUSNYA PERIKATAN

Undang-undang menentukan, ada 10 cara hapusnya


perikatan (Pasal 1381 KUH Perdata):

1. Pembayaran;
2. Penawaran Pembayaran tunai diikuti oleh
penyimpanan yang hendak dibayarkan itu di suatu
tempat (konsinyasi);
3. Pembaharuan hutang (Novasi);
4. Perhitungan hutang timbal-balik (Konpensasi);
5. Percampuran Hutang (Konfusi)
6. Pembebasan hutang;
7. Hapusnya barang yang terhutang;
8. Pembatalan perikatan;
9. Akibat berlakunya syarat pembatalan;
10. Lewatnya waktu (daluarsa).
1. PEMBAYARAN

Yang dimaksud dengan pembayaran ialah:


pelaksanaan atau pemenuhan suatu perikatan secara
sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau aksekusi.

Oleh undang-undang, pembayaran tidak melulu hanya


ditujukan pada penyerahan uang saja (harus ditafsirkan
secara luas), yakni penyerahan tiap-tiap barang (pemenuhan
prestasi) berdasarkan perikatan.

Misalnya: Si pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaannya

Siapa yang harus melakukan pembayaran..?


Pada dasarnya yang harus melakukan pembayaran adalah
orang yang berkepentingan, seperti orang yang turut
berhutang, atau seorang penanggung (borg) demikian
ditentukan dalan Pasal 1382 KUH. Perdata.
Lebih lanjut diterangkan: pihak ke tiga yang
tidak berkepentingan dapat melakukan
pembayaran secara sah, asalkan pihak ke
tiga itu bertindak atas nama si debitur
(berhutang) atau apabila ia bertindak atas
nama diri sendiri, asal saja dia tidak
menggantikan kedudukan dan hak-haknya
si berpiutang; sebab, jika ia menggantikan
hak-haknya siberpiutang, maka sebenarnya
hutang tidak terhapus dan yang terjadi
adalah Subrogasi
KESIMPULAN Pasal 1382:
Membolehkan siapa saja yang melakukan pembayaran
dan si berpiutang (kreditur) harus menerimanya.
Kecuali: suatu perjanjian untuk berbuat
sesuatu/melakukan sesuatu, yang bersangkutan
(debitur) langsung harus memenuhi prestasi dan tidak
boleh digantikan oleh orang lain, misalnya: Dokter,
guru privat, pelukis dll, namun dimungkinkan untuk
dibantu, sepanjang pembantunya mempunyai keahlian
yang seimbang. (Pasal 1383)

Pembayaran yang berupa barang; harus dilakukan oleh


pemilik atau oleh orang yang dapat berbuat bebas
terhadap barang yang diserahkan (beshiking
boevogheid).
KEPADA SIAPAKAH PEMBAYARAN HARUS DILAKUKAN

Untuk sahnya pembayaran, tentu harus diberikan


kepada yang berhak menerimanya

Pasal 1385, menentukan orang-orang yang berhak


menerima pembayaran, adalah :

1. Kepada kreditur itu sendiri (in-person);


2. Kepada orang yang telah diberi kuasa oleh
kreditur untuk menerima pembayaran; atau
3. Kepada seseorang yang telah ditunjuk hakim
untuk menerima pembayaran;
4. ataupun kepada orang-orang yang berhak
menurut undang-undang.
Pembayaran yang dilakukan kepada in
person tidak menimbulkan masalah, tetapi
dapat terjadi adanya Pergantian Kreditur
dengan cara pengalihan piutang (Cessie)
DIMANAKAH PEMBAYARAN HARUS DILAKUKAN ?

Pada umumnya, pembayaran harus


dilakukan sesuai dengan kepentingan para
pihak dalam perjanjian.

Akan tetapi, jika dalam perjanjian tidak


ditentukan tempat pembayaran dan yang
akan dibayarkan tersebut berupa barang
yang sudah tertentu, maka pembayaran
harus dilakukan di tempat barang-barang
itu berada seketika perjanjian ditutup.
Selanjutnya, jika dalam perjanjian tidak
ditentukan tempat pembayaran, dan yang akan
dibayarkan itu berupa “ sejumlah uang”, maka
pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si
berpiutang (harus diantarkan)

Akan tetapi ketentuan ini dalam prakteknya, sudah


terdesak oleh kebiasaan. Dalam kenyataaannya
pembayaran uang diambil di tembat tinggal yang
berhutang (ditagih)
PENAWARAN PEMBAYARAN TUNAI DIIKUTI DENGAN
KONSINYASI ATAU PENITIPAN (PASAL 1404 s/d 1412)

Hal ini bisa terjadi, jika kreditur enggan untuk


menerima pembayaran atau penyerahan
benda/barang yang menjadi prestasi.

Jalan keluarnya adalah dengan tindakan


Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penitipan (konsinyasi), dengan demikian
Debitur telah dibebaskan dari kewajiban
pembayaran yang berakibat hapusnya
perikatan.
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
konsinyasi ini, hanya mungkin terjadi dalam
perjanjian yang isinya:

1. Pembayaran sejumlah uang;


2. Dalam perjanjian penyerahan suatu benda
bergerak (tidak berlaku bagi perjanjian untuk
berbuat sesuatu/tidak berbuat sesuatu, atau
penyerahan benda tetap)

Catatan: paling memungkinkan dalam Konsinyasi


adalah Penyerahan sejumlah uang
Contoh konsinyasi: A harus menyerahkan barang yang dijual
kepada B, akan tetapi karena harga barang itu turun B tidak mau
menerima barang yang akan diserahkan oleh A dengan alasan
gudangnya penuh. Maka dalam kasus ini, untuk membebaskan
dirinya, A dapat menawarkan Pembayaran (tunai) diikuti dengan
penitipan barang (Konsinyasi)

Pembebasan sepenuhnya baru terjadi, apabila Kreditur telah


menerima baik apa yang dititipkan itu, atau debitur telah
mengajukan”gugatan untuk menyatakan keabsahan konsinyasi”
dan telah diputuskan oleh hakim. Tetapi jika kreditur belum
menerima konsinyasi atau gugatan belum dinyatakan sah, maka
titipan tersebut masih menjadi milik Debitur, maka jika ia
(Debitur) jatuh pailit maka titipan itu dapat dimasukkan kedalam
Failisment
Selama konsinyasi masih berlaku, Debitur dapat
digugat. Kreditur hanya mempunyai hak gugat terhadap
konsinyasi kas.

Penitipan dilakukan pada konsinyasi kas atau kas


penitipan di Kepaniteraan Pengadilan, jika ada
perselisihan Pengadilan harus mengadilinya (1406 sub 2
KUH Perdata)

Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan,


membebaskan debitur dari perhutangan dan berlaku
sebagai pembayaran
Akibat dari pembebasan tersebut:

1. Debitur dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi,


ganti-rugi atau pembatalan persetujuan timbal balik.

2. Debitur tidak lagi berhutang bunga sejak hari


penitipan.

3. Sejak penitipan Kreditur menanggung resiko atas


barang titipan.
4.Pada persetujuan timbal balik Debitur dapat
menuntut prestasi kepada Kreditur
NOVASI (PEMBAHARUAN HUTANG) 1413-1424

Novasi (Pembaharuan hutang) lahir atas dasar


Persetujuan.

Novasi adalah suatu keadaan, di mana para pihak


membuat persetujuan dengan jalan menghapuskan
perjanjian lama dan pada saat yang sama mereka
mengganti dengan perjanjian yang baru

Novasi mempunyai karakter yang berbeda dengan;


Pembayaran, konpensasi atau penghapusan hutang
(lain). Penghapusan hutang akan mengakhiri hubungan
hukum, sedangkan pada Novasi, hubungan hukum
yang lama yang diganti dengan hubungan hukum
dalam perjanjian yang baru
JENIS-JENIS NOVASI

Novasi ada 2 (dua) macam :


1. Novasi Obyektif: Apabila yang diperbaharui
adalah objek perjanjian sedangkan subyeknya tetap.
2. Novasi Subyektif : Apabila yang diperbaharui
(diganti) adalah Subyeknya.

Catatan : Kalau Subyek (debitur) yang diperbaharui


dengan Debitur Baru, disebut novasi Subyektif
Fasif, sedangkan sebaliknya jika yang diganti
Krediturnya, dengan kreditur baru disebut
dengan Novasi subyektif Aktif
Novasi obyektif dapat terjadi dengan:
1. Mengganti atau mengubah isi perjanjian .

Mengubah isi perjanjian, terjadi jika kewajiban


Debitur atas suatu prestasi diganti dengan prestasi
lain
Misalnya, untuk menyerahkan sejumlah uang,
diganti dengan menyerahkan suatu barang tertentu.

2. Mengubah sebab dari perikatan, misalnya Ganti rugi


atas dasar perbuatan melanggar hukum, diubah
menjadi utang-piutang .
Novasi subyektif Fasif, dapat terjadi dengan dua cara
pergantian Debitur.
1. Ekspromissie: Dimana Debitur semula diganti oleh
debitur baru, tanpa bantuan Debitur semula.

Contoh: A (Debitur) berhutang kepada B (Kreditur).


Kemudian B (Kreditur) membuat perjanjian dengan C
(Debitur baru), bahwa C akan menggantikan kedudukan A
selaku Debitur, dan A akan dibebaskan oleh B dari
hutangnya.

2. Delegatie: Dimana terjadi persetujuan antara Debitur,


Kreditur dan Debitur baru. Tanpa ada persetujuan
kreditur, Debitur tidak dapat diganti dengan Debitur lain.
Contoh:
A (Debitur lama) berhutang kepada B (Kreditur). Kemudian
A mengajukan C sebagai (Debitur baru) kepada B. antara C dan .
B harus didasarkan adanya persetujuan.
Novasi Subyektif Aktif: selalu merupakan persetujuan
segitiga, karena Debitur perlu mengikatkan dirinya
dengan Kreditur baru.

Selain itu, Novasi dapat juga terjadi secara bersamaan


pergantian, baik pergantian Kreditur maupun
pergantian Debitur.

Contoh:
A berhutang satu juta kepada B, dan B berhutang
kepada C satu juta (dalam jumlah yang sama). Dengan
Novasi, dapat terjadi bahwa: A menjadi berhutang
kepada C, sedangkan A terhadap B dan B terhadap C
dibebaskan dari perhutangan
KONVENSASI (PERJUMPAAN HUTANG)

Konvensasi dapat terjadi jika para pihak (antara


Kreditur dan Debitur) mengadakan perhitungan secara
timbal balik

Syarat-syarat Konvensasi:
1. Dua orang secara timbal balik merupakan Kreditur –
Debitur;
2. Obyek perhutangannya adalah uang atau barang
yang sejenis;
3. Piutangnya sama-sama sudah bisa ditagih (jatuh
tempo);
4. Piutangnya sudah dapat diperhitungkan dengan
segera.
CONFUSIO (PERCAMPURAN HUTANG )
Pasal 1436-1437

Konfusio (Percampuran Hutang) dapat terjadi akibat


keadaan “bersatunya” kedudukan Kreditur dan Debitur pada
diri seseorang. Bila terjadi demikian, dengan sendirinya
secara hukum telah terjadi “Percampuran Hutang” dan
dengan sendirinya pula tagihan menjadi hapus ( Pasal 1438)

Konfusio terjadi kabanyakan pada kedudukan Debitur


merupakan ahli wari dari Kreditur.

Misalnya; jika seseorang Kreditur meninggal dunia dan


meninggalkan seorang Debitur yang kebetulan menjadi ahli
waris, maka akan terjadi Confusio (Percampuran Hutang)
Bisa juga terjadi karena Hibah Wasiat/Legataris (Pasal 1381 –
1436 KUH Perdata)
PENGHAPUSAN HUTANG
(PASAL 1444 – 1445)

Tindakan Kreditur membebaskan kewajiban


Debitur untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian.

Pasal 1438 : Pembebasan hutang tidak dapat berupa


persangkaan tetapi harus dibuktikan, sehingga
harus merupakan hendeling (tindakan) dari
Kreditur, baik dalam bentuk tertulis maupun lisan.
LENYAPNYA BARANG YANG TERHUTANG

Mengenai hapusnya perikatan yang disebabkan


karena musnahnya/hapusnya barang yang
terhutang, tidak diatur secara umum, akan tetapi
di dalam berbagai perjanjian khusus.

Misalnya: Dalam perjanjian tukar-menukar. Jika benda


yang menjadi obyek tukar-menukar musnah
karena overmacht, maka perjanjian menjadi
gugur.

Demikian pula dalam perjanjian sewa-menyewa, bila barang


yang disewakan musnah karena overmacht,
maka perjanjian sewa-menyewa menjadi
hapus (Pasal 1553 KUH Perdata)
Berbeda dengan perjanjian jual beli yang
obyeknya barang tertentu, sebagaimana
diatur dalam pasal 1460 KUH Perdata;
dimana sejak terjadi perjanjian jual-beli
maka sejak semula barang tertentu yang
menjadi obyek jual-beli tersebut sudah
menjadi tanggungan si pembeli meskipun
barangnya belum diserahkan.

Catatan : Resiko jual-beli, berlaku SEMA


No. 3 Tahun 1963.
KEBATALAN DAN PEMBATALAN PERJANJIAN

Suatu perjanjian dapat berakhir dengan kebatalan


perjanjian dan/atau pembatalan perjanjian.

Kebatalan perjanjian yang berakibat hapusnya


perikatan ini, dapat dibedakan menjadi :

1. Batal demi hukum : seuatu perjanjian tersebut tidak


dapat berlaku dengan sendirinya karena tidak memenuhi
ketentuan hukum (perjanjian) dan akibatnya sejak semula
perjnajian itu tidak memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum.
2. Dapat dibatalkan : batalnya/tidak berlakunya perjanjian
tersebut karena ada upaya pembatalan dari para pihak yang
berakibat bahwa perjanjian tsb tidak mempunyai kekuatan
hukum sejak perjanjian tsb dinyatakan batal.
HAPUSNYA PERJANJIAN DENGAN BERLAKUNYA
SYARAT BATAL.
HAPUSNYA PERJANJIAN DISEBABKAN
KARENA LEWATNYA WAKTU(DALUARSA).

Anda mungkin juga menyukai