Literatur Pokok :
1. Prinsip2 Legal Drafting & Desain NAskah Akademik (B. Hestu Cipto Handoyo)
2. Legislative Drafting (Sirajudin, dkk)
3. Ilmu Perundang-undangan buku 1 dan 2 (Maria Farida Indrati S)
4. Modul 1, 2, 3, 4, 5, 6 Diklat Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Legal
Drafting) : Depatemen Dalam Negeri/Lembaga Administrasi Negara 2007
Kesimpulan :
• Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut
organ pembentuk dan isinya.
• Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi berlaku dan mengikat
umum maka disebut sbg UU dlm arti materiil.
• Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang
namun isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai
UU dalam arti materil atau perundang-undangan.
• Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang kekuasaan legislatif
(dalam kontek UUD 45 adalah kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif)
yg isinya berlaku dan mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil
atau cukup disebut UU.
• Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan PerUUan.
Menurut D.W.P. Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental yang dimaksud peraturan
perundang-undangan yaitu mengandung 3 unsur :
1. Norma hukum (rechtnorm)
2. Berlaku ke luar (naar buiten werken) dan
3. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)
Ad. 1 : Norma hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa :
a. Perintah (gebod)
b. Larangan (verbod)
c. Pengizinan (toestmming) dan
d. Pembebasan (vrijstelling)
Menurut Ruiter sebuah norma (termasuk norma hukum) mengandung unsur-unsur berikut :
1. Cara keharusan berperilaku (modus van behoren) disebut operator norma.
2. Seorang atau kelompok orang adresat (normaadressaat) disebut subyek nomra
3. Perilaku yang dirumuskan (normgedrag) disebut objek norma
4. Syarat-syaratnya (normcondities), disebut kondisi norma
Contoh :
Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun.
Penjelasan :
Setiap orang : subyek norma
Wajib : operator norma
Membayar pajak : obyek norma
Pada akhir tahun : kondisi norma
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan
lain-lain.
Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki
Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
bersama Gubernur;
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan
Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan
keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan
yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi
yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah
Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundangundangan
tersebut.
b. Tap MPR
Tap MPR ini merupakan putusan majelis yang yang mempunyai kekuatan hukum mengikat
ke luar dan ke dalam MPR. Dan memiliki arti penting di bidang hukum. Bentuk Tap MPR ini
pertama kali keluar pada 1960, yaitu Ketetapan MPRS RI No.1/MPRS/1960 tentang
Manifesto Politik RI sebagai GBHN. Berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 (lampiran)
bentuk putusan (peraturan) MPR ini memuat:
b. Garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
Hal ini juga berarti, Ketetapan MPR di satu pihak dapat dilaksanakan dengan Keputusan
Presiden.
c. ndang-Undang
1. Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak
mengadakan perubahan;
3. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.
Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan “dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa”.
Dalam praktik “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” diartikan secara luas, tidak
hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman,
tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak.
Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai
“kegentingan yang memaksa” adalah Presiden.
Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa
sidang Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut,
Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan
Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan
perubahan.
e. Peraturan Pemerintah
f. Peraturan Presiden
g. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus
dari daerah yang bersangkutan.
Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Kepala Daerah.
Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah
Kabupaten /Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dan Bupati /Walikota.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan
pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya
tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih tinggi (tingkat pusat).
Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka
substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan
pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing.
Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara
pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan
penyesuaian-penyesuaian.
Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur
atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih
tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai
retribusi.
Setelah UUD 1945 di amandemen menjadi UUD Negara RI 1945 maka pasal 5, 20, 21
dihapuskan sebagai berikut :
2) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
3) Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu.
4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.
5) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU
dan wajib diundangkan.
Disini berkaitan dengan lembaga atau pejabat yg diberi kekuasaan atau kewenangan
menetapkan atau mengeluarkan peraturan sesuai dengan hirarki peraturan perUUan
Kekuasaan dan kewenangan dalam membentuk Perpu diatur pada pasal 22 ayat 1
UUD RI 1945)
Bunyi pasal tersebut sebagai berikuti “dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan Perpu (ayat 1).
Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut (ayat 2).
Jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut (ayat 3)
Batas waktu pemberlakuan Perpu singkat dan harus diajukan kepada DPR dalam
bentuk RUU untuk dibahas ssuai dengan mekanisme pembahasan RUU. Karena
kebutuhan yang sangat mendesak, proses pembahasan di DPR dilakukan sangat cepat,
dalam hal ini DPR hanya menolak dan menerima.
Sebagaimana diketahui bahwa syarat adanya Perpu adalah adanya situasi kegentingan
memaksa.
Dewasa ini belum ada kriteria atau ukuran baku untuk menetapkan kegentingan
memaksa seperti keadaan perang, bencana alam nasional terorisme dan
pemberontakan yang berakibat luas dan mengganggu kehidupan rakyat dan keutuhan
NKRI.
Pengertian kegentingan memaksa sekarang ini tidak jelas dan ditafsirkan sangat luas
dan penetapannya dilakukan oleh presiden.
Contoh Perpu menjadi UU yaitu Perpu No. 1 tahun 2004 (Perpu pertambangan di
hutan lindung) kemudian disahkan menjadi UU No. 19 tahun 2004
c. Lembaga Pembentun Peraturan Pemerintah
Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945 memberikan kewenangan kepada presiden menetapkan
PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
Yang dimaksud dgn sebagaimana mestinya adalah muatan materi yg diatur dlm PP
tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yg bersangkutan.
Dalam kewenangan membentuk PP atas perintah UU presiden tidak memiliki diskresi
untuk mengatur muatan materi pelaksanaan diluar yg diperintahkan atau mengatur
hal-hal yang baru.
Mengingat jangkauan muatan materi Peraturan Pemerintah tidak mungkin mengatur
hal-hal teknis pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh Presiden di dalam
menyelenggarakan pemerintahan, maka sepanjang tidak bertentangan atau tidak
mengatur hal-hal baru diluar yang telah ditentukan Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah dimungkinkan dapat memberikan perintah atau mendelegasikan materi
muatan tertentu yang bersifat teknis pelaksanaan untuk diatur dan ditetapkan dengan :
Peraturan Presiden atau Peraturan Perundang-undangan lain.
Kepada Menteri/ Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang, dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, Peraturan Pemerintah
Juga dapat memberikan perintah atau mendelegasikan muatan materi tertentu kepada
Pemerintahan Daerah, untuk diatur dengan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala
Daerah.
MATERI PERDA :
1) Pasal 18 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
yang dijabarkan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberikan legalitas keberadaan DPRD.
2) Beberapa pasal yang berkait dengan DPRD dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 22 A dijabarkan dengan Undang Undang Nomor 10
tahun 2004, dan Khusus pasal 22 E ayat (2) dan ayat (3) dijabarkan dengan Undang-Undang
Pemilu dan Undang Undang Susduk.
Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, menjelaskan bahwa terdapat
jenis Peraturan Perundang-undangan lain diluar hirarki Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi
Peraturan peraturan perundang-undnagan yang dimaksud sebagai berikut :
8) Peraturan Menteri
10) Peraturan Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Tujuan pengundangan :
1. Agar secara formal setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara,
2. Agar tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya,
3. Agar ketidak tahuan seseorang akan peraturan hukum tsb tdk memaafkannya.
Pengumuman :
Adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kpd khalayak ramai dgn tujuan
utama mempermaklumkan isi peraturan tsb seluas-luasnya.
Pengumuman dpt dilakukan dgn berbagai cara, dengan menyebarluaskannya, dengan
menguar-uarkannya, dan dgn cara lain sbgnya.
Tujuan pengumuman adalah agar secara material sebanyak mungkin khlayak ramai
mengetahui peraturan negara tsb dan memahami isi serta maksud yg terkandung ddi
dalamnya.
Dalam sejarah perUUan negara RI peralihan istilah “pengumuman” ke “pengundangan”
terjadi pada sekitar beralihnya negara RIS dengan konstitusi RIS kepada negara Indonesia
kesatuan dengan UU Dasar Sementara 1950. Lembaran negara tahun 1950 No. 62 yang
memuat PP No. 24 tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950 dan diundangkan
tanggal 16 Agustus 1950 oleh Menteri Kehakiman Lembaran Negara tahun 1950 No. 63 yg
memuat UU Darurat No. 31 tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 23 Agustus 1950 dan
diundangkan tanggal 25 Agustus 1950 oleh menteri Kehakiman yang sama Supomo, sudah
menggunakan istilah diundangkan. Perubahan istilah tersbeut sudah berlaku sampai sekrang.
Begitu juga dengan berlakunya UU No 10 tahun 2004 maka juga menggunakan istilah
diundangkan dan pelaksanaan pengundangan beralih dari Menteri Sekretaris Negara menjadi
Menteri yg bertugas dibidang perundang-undangan dan tidak ada lagi mengenal istilah
pengumuman
Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan menurut UU No. 10 atahun 2004 :
1. Lembaran negara RI
2. Berita Negara RI
3. BLembaran Daerah
4. Berita Daerah
5. Tempat pengundangan (lihat pasal 45)
Pasal 46 : Pengundangan dilakukan oleh menteri hukum dan HAM (Pasal 46)
Pasal 47 : Tambahan LN memuat penjelasan peraturan perUUan yang dimuat dalam
lembaran negara RI, sedangkan tambahan berita negara RI memuat penjelasan peraturan
perUUan yg dimuat dalam berita negara
Pasal 49 :
•Peraturan perUUan yg dindangkan dlm lembaran daerah adalah Perda
•Peraturan Gubernur, peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain dibawahnya dimuat
dalam Berita Daerah
•Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dan berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris
daerah
•Menurut penjelasan pasal 49 (2) peraturan perUUan yg diundangkan dlm berita daerah
misalnya peraturan nagari, perdes atau peraturan gampong dilingkungan daerah yg
bersangkutan.
Hubungan pengundangan dan daya ikat :
Dengan adanya pengundangan bagi suatu peraturan perundang-undangan yaitu
dengan penempatannya di dalam lembaran negara RI, maka peraturan perundang-
undangan tersebut dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap ora
Sehubungan dgn masalah pengundangan dan daya ikat tsb dapat dijumpai adanya tiga variasi
yaitu :
1. Apabila dl suatu peraturan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan, maka dlm
hal ini peraturan tsb mempunyai daya ikat pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengundangannya, Contoh, apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan
dinyatakan berlaku pd tgl diundangkan maka pada tgl 10/11 2006 tsb UU ini mulai
berdaya laku serta berdaya ikat (mengikat umum )
2. Berlaku beberapa waktu setelah diundangkan
apabila dlm suatu peraturan dinyatakan berlaku beberapa waktu setelah diundangkan
maka dlm hal ini peraturan tsb mempunyai daya laku pada tgl diundangkan tsb, akan
tetapi daya ikatnya setelah tgl yang telah ditentukan tersebut. Contoh apabila suatu
UU diundangkan pd tgl 10 Nopember 2006 dan dinyatakan berlaku 30 hari kemudian,
maka UU itu mempunyai daya laku pada sejak tgl 10 Nop 2006 akan tetapi UU tsb
baru berdaya ikat (mengikat umum) pada tgl 10 Desember 2006.
3. Berlaku pada tanggal diudangkan dan berlaku surut sampai tanggal yang tertentu
Apabila suatu peraturan ditentukan demikian, maka hal ini berarti bahwa peraturan tsb
mempunyai daya laku sejak tgl diundangkan akan tetapi dalam hal2 tertentu ia
mempunyai daya ikat yg berlaku surut sampai tgl yg ditetapkan tadi.
Apabila suatu peraturan tersebut dinyatakan berlaku surut maka ketentuan saat/waktu
berlaku surutnya peraturan tsb hrs dinyatakan secara tepat/pasti, misalnya berlaku
surut sampai dgn tgl 1 Januari 2006, oleh karena ini berhubungan erat dgn adanya
kepastian hukum. Contoh : Apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan
dinyatakan berlaku pd tgl diundangkan serta dinyatakan berlaku surut sampai pd tgl 1
Januari 2006 maka UU tsb mempunyai daya laku dan daya ikat mulai tgl 10 Nop
2006 tsb serta berlaku surut sampai dgn tgl 1 Januari 2006.