Anda di halaman 1dari 25

LEGAL DRAFTING

Literatur Pokok :
1. Prinsip2 Legal Drafting & Desain NAskah Akademik (B. Hestu Cipto Handoyo)
2. Legislative Drafting (Sirajudin, dkk)
3. Ilmu Perundang-undangan buku 1 dan 2 (Maria Farida Indrati S)
4. Modul 1, 2, 3, 4, 5, 6 Diklat Teknis Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Legal
Drafting) : Depatemen Dalam Negeri/Lembaga Administrasi Negara 2007

5. UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan PerUUan

• Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah


penyusunan/perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Legal
drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh;
Pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan; Hakim membuat keputusan Pengadilan
yang mengikat publik; Swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti;
perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan
perjanjian atau kontrak.
• Dalam meteri kuliah ini legal drafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum dalam
arti luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni undang-undang atau perundang-
undangan. Jadi bukan perancangan hukum seperti perjanjian/kontrak, dll.
• Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan
yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan
perundang-undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasamya
dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
• Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan
peraturan-perundangan.
• Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
• Sesuai dengan bunyi pasal 1 angka 1 UU No. 12 tahun 2011 di atas, bahwa proses sebuah
peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati
beberapa tahap.
• Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum.
• Negara hukum (Wirjono Prodjodikoro) adalah “suatu negara yang di dalam wilayahnya
semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam
setiap tindakannya terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-
wenang, melainkan harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan
kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku”.
• Sedangkan menurut Hartono Mardjono, dikatakan negara hukum adalah “bilamana di
negara tersebut seluruh warganegara maupun alat-alat perlengkapan dan aparat negaranya,
tanpa kecuali dalam segala aktifitasnya tunduk kepada hukum”. (equity dan non-
discrimination)
• Tujuan Negara Hukum S. Tasrif: 1) Kepastian hukum (tertib/order); 2) Kegunaan
(kemanfaatan/utility); dan 3) Keadilan (justice). Sedangkan menurut Ahmad Dimyati: 1)
Pencapaian keadilan, 2) Kepastian hukum, dan 3) Kegunaan (kemanfaatan).
Kesimpulan:
1. Pencapaian Keadilan, sesuai dengan asas Ius quia iustum (hukum adalah keadilan, dan
Quid ius sine justitia (apalah arti hukum tanpa keadilan).
2. Hukum adalah untuk mengatur hubungan, baik warga masyarakat maupun negara, The law
is a tool to “social control” and “social engineering”.
3. Hukum dilaksanakan untuk mencapai kepastian.
Unsur-unsur negara hukum :
1. Sistem pemerintahan negara yg berdasarkan atas kedaulatan rakyat
2. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum
atau peraturan PerUUan
3. Adanya jaminan terhadap HAM (warga negara)
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
5. Adanya pengawasan dari badan2 peradilan (rechterlijke controle) yg bebas dan mandiri
dalam arti lembaga peradilan tersebut benar2 tidak memihak dan tidak berada dibawah
pengaruh eksekutif.
6. Adanya peran nyata dari anggota2 masyarakat atau warga negara untuk turut serta
mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah
7. Adanya sistem perekonomian yg dapat menjamin pembagian yg merata sumber daya yang
diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
• Sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 45 maka segala aspek kehidupan
dan bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
senantiasa berdasarkan atas hukum (asas legalitas=legaliteits beginsel).
• Konsekuensinya adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terlepas dari
peraturan PerUUan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia.
• Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yg
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perUUan .(Pasal 1 angka 2
UU No. 12 tahun 2011).
• Untuk itu perlu adanya suatu pemahaman terhadap tatacara penyusunan peraturan PerUUan
mulai dari proses, prosedur, dan teknik dalam penyusunan dan pembuatan rancangan
peraturan PerUUan.
Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada:
1. Bab I Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah negara
hukum;
2. Pembukaan dicantumkan kata-kata : Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia;
3. Bab X Pasal 27 ayat (1) disebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam
hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada
kecualinya;
4. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus disebutkan dalam Sistem
Pemerintahan Negara, yang maknanya tetap bisa dipakai, yaitu Indonesia ialah negara yang
berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat);
5. Sumpah/janji Presiden/Wakil Presiden ada kata-kata ”memegang teguh Undang-Undang
Dasar dan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya”;
6. Bab XA Hak Asasi Manusia Pasal 28i ayat (5), disebutkan bahwa ”Untuk penegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-
Undangan;
7. Sistem hukum yang bersifat nasional;
8. Hukum dasar yang tertulis (konstitusi), hukum dasar tak tertulis (konvensi);
9. Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan;
10. Adanya peradilan bebas.

Dasar-dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan :


1. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah NEGARA HUKUM”
2. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewenangan
membentuk UNDANG-UNDANG”
3. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-
UNDANG”
4. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 “Presiden menetapkan PERATURAN PEMERINTAH untuk
menjalankan UNDANG-UNDANG sebagaimana mestinya”
5. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 “Pemerintah daerah berhak menetapkan PERATURAN
DAERAH dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”
6. UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
• Untuk dapat menjadi seorang “Legal Drafter (perancang PerUUan) ” maka tidak terlepas
dari penguasaan ilmu perundang-undangan karena ilmu perundang-undangan adalah suatu
ilmu yang mempelajari segala seluk beluk proses atau tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan dan isi atau subtansi suatu peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh pejabat yang berwenang untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersifat
atau mengikat secara umum.
• Sedangkan menurut B. Hestu Cipto Handoyo Ilmu Perundang-undangan merupakan cabang
dari ilmu hukum yang secara khusus objek kajiannya adalah meneliti tentang gejala peraturan
peraturan perundang-undangan yakni setiap keputusan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang untuk mengatu tingkah laku manusia yang bersifat dan berlaku mengikat
umum.
• Dengan kata lain ilmu perundang-undangan berorientasi kepada melakukan perbuatan dala
m hal ini pembentukan peraturan PerUUan serta bersifat normatif (mata kuliah dasar)

Ilmu perundang-undangan terbagi :


1. Proses perundang-undangan (gezetsgebungsverfahren) : meliputi beberapa tahapan dalam
pemnbentukan perundang-undangan seperti tahap persiapan, penetapan, pelaksanaan,
penilaian dan pemaduan kembali produk yang sudah jadi.
2. Metode prundang-undangan (gezetsgebungsmethode) : ilmu tentang pembentukan inis
norma hukum yang teratur untuk dapat mencapai sasarnannya. Pengacuannya kepada hal-hal
yang berhubungan dengan perumusan unsur dan struktur suatu ketentuan dalam norma
seperti objek norma, subjek norma, operator norma dan kondisi norma.
3. Teknik perundang-undangan (gezetsgebungstechnic) : Teknik perundang-undangan
mengkaji hal-hal yg berkaitan dengan teks suatu perundang-undangan meliputi bentuk luar,
bentuk dalam, dan ragam bahasa dari peraturan perundang-undangan.

Kegunaan ilmu perundang-undangan yaitu :


• Selain dalam rangka merubah masyarakat, tentunya kearah yang lebih baik sesuai dengan
doktrin hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social enginering), kegunaan lain
ilmu perundang-undangan yaitu :
1. Memudahkan praktik hukum, terutama bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun
pemerintah.
2. Memudahkan klasifikasi dan dokumentasi peraturan perundang-undangan
3. Memberikan kepastian hukum dalam pembentukan hukum nasional
4. Mendorong munculnya suatu produk peraturan perundang-undangan yang baik.
• Dalam ilmu hukum (rechtswetenschap) dibedakan antara UU dalam arti materiil (wet in
materiele zin) dan UU dlm arti formil
• UU dalam arti materil adalah Peraturan PerUUan sedangkan UU dalam arti formil adalah
UU.

Beda Peraturan perundang-undangan dengan Undang-undang :


• Peraturan perundang-undangan yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yg
berwenang yg berisi aturan tingkah laku atau mengikat secara umum yang disebut juga
undang-undang dalam arti materil.
• Undang-undang yaitu keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang
kekuasaan eksekutif dan legislatif yg berisi aturan tingkah laku yg bersifat atau mengikat
umum yang disebut juga undang-undang dalam arti formil.

Kesimpulan :
• Untuk membedakan antara UU dalam arti materil dan formil tidak lain adalah menyangkut
organ pembentuk dan isinya.
• Jika organ yg membentuk itu adalah pejabat yg berwenang dan isi berlaku dan mengikat
umum maka disebut sbg UU dlm arti materiil.
• Hal ini berarti jikalah ada ketentuan tertulis yg dikeluarkan oleh pejabat yg berwenang
namun isinya tidak bersifat dan mengikat umu maka ketentuan tsb tidak dapat disebut sebagai
UU dalam arti materil atau perundang-undangan.
• Sedangkan jikalau yang membentuk itu adalah organ negara pemegang kekuasaan legislatif
(dalam kontek UUD 45 adalah kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekuti dan legislatif)
yg isinya berlaku dan mengikat umum, maka produk hukum itu disebut UU dalam arti formil
atau cukup disebut UU.
• Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan PerUUan.

Ciri-ciri peraturan perundang-undangan :


1. Peraturan perUUan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik ditingkat pusat
maupun di di tingkat daerah. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah pejabat yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku baik berdasarkan atribusi maupun delegasi.
3. Perturan PerUUan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
4. Peraturan PerUUan mengikat secara umum umum, tidak ditujukan kepada seseorang atau
individu tertentu (tidak bersifat individual).
5. Peraturan perUUan berlaku secara terus menerus (dauerhafing) sampai diubah, dicabut
atau digantikan dengan peraturan perUUan yang baru.

Kelebihan dan kelemahan peraturan perundang-undangan :


• Kelebihan peraturan PerUUan (hukum tertulis) :
1. Mudah dikenali, diketemukan kembali maupun ditelusuri.
2. Lebih memberikan kepastian hukum
3. Memungkinkan untuk diperiksa dan diuji
4. Pembentukan dan pengembangannya dapat direncanakan.
• Kelemahan Peraturan PerUUan (hukum tertulis)
1. Terkesan kaku
2. Kurang lengkap.
• Selain itu juga dalam rangka menyusun dan membentuk peraturan perUUan selain perlunya
penguasaan ilmu perundang-undangan seorang legal drafter juga harus memperhatikan
norma-norma/kaidah hukum sebagai dasar pembentukan perUUan tersebut.
• Kaidah/norma hukum pada pokoknya dapat diartikan adalah pengambilan keputusan yang
ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak2
dan kewajiban hukum yg berupa larangan, keharusan maupun kebolehan.
• Produk pengambilan keputusan tersebut dapat dibedakan dengan tiga istilah yaitu :
1. Pengaturan yg menghasilkan peraturan (regels)
2. Penetapan yg menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschickkings)
3. Penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonis).
• Untuk itu hukum harus dimaknai sebagai sebuah ketentuan baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur kehidupan manusia dalam pergaulan hidup. Baik antara sesama
maupun dengan lingkungannya. Ketentuan tersebut sifatnya adalah mengikat dan berlaku
umum dan apabila tidak diindahkan akan dikenai sanksi yang berasal dari external power
(kekuasaan diluar diri manusia).
• Kaidah/norma hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan (orde)
maupun ketentraman dan ketenangan (rust). Kaidah hukum daya lakunya dipaksakan dari
luar diri manusia.
• Dapat juga diartikan norma hukum adalah suatu patokan yang didasarkan kepada ukuran
nilai2 baik atau buruk yang berorientasi kepada asas keadilan dan bersifat : 1) suruhan
(impare/gebod) yang harus dilakukan orang (perintah), 2) larangan (prohibire/verbod) yang
tidak boleh dilakukan, 3) kebolehan (permitted/mogen) sesuatu yang tidak dilarang dan tidak
disuruh.
Contoh :
• Seorang wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun (346
KUHP)
• Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam karena melakukan penganiayaan
berat dengan pidana penjara paling lama 8 tahun (354 KUHP)
• Setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib mendapatkan izin dari pejabat yang
berwenang.

Fungsi, tujuan dan tugas norma hukum


• Fungsi : melindungi kepentingan manusia, kelompok manusia (masyarakat) dan negara.
• Tujuan, tercapainya ketertiban dalam masyarakat.
• Tugas, mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum
agar tercapainya tujuan hukum.

Bentuk-bentuk norma hukum :


• Umum dan individual : norma ini dilihat dari sasaran atau subyek yang dituju. Individu,
beberapa orang atau sekelompok orang tertentu
• Abstrak dan konkrit : Abstrak atau konkritnya suatu norma ditentukan oleh bentuk
perbuatan yang diatur, mujarad (tak berwujud) atau nyata.
• Einmahlig dan dauerhaftig : Norma hukum ini dapat dilihat dari masa berlakunya.
Einmahlig (berlaku sekali selesai) dan dauerhafting (berlaku terus menerus)

Bentuk-bentuk norma hukum :


• Tunggal dan berpasangan : Norma hukum ini dilihat dari sifatnya apakah berdiri sendiri
(tunggal) atau diikuti oleh norma hukum lain (berpasangan).
• Isi norma hukum tunggal adalah suruhan (das sollen) untuk bertindak atau bertingkah laku.
Norma hukum berpasangan terdiri dari beberapa norma hukum yaitu norma hukum primer
dan sekunder. Norma hukum sekunder merupakan penanggulangan apabila norma primer
tidak terlaksana.

Tata urutan norma hukum :


• Teori jejang norma (stufentheorie) Hans Kelsen : norma-norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih
rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih
tinggi tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotesis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar (grundnorm).

Menurut D.W.P. Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental yang dimaksud peraturan
perundang-undangan yaitu mengandung 3 unsur :
1. Norma hukum (rechtnorm)
2. Berlaku ke luar (naar buiten werken) dan
3. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)
Ad. 1 : Norma hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa :
a. Perintah (gebod)
b. Larangan (verbod)
c. Pengizinan (toestmming) dan
d. Pembebasan (vrijstelling)

Ad.2 : Norma berlaku orang


Ruiter berpendapat bahwa didalam peraturan perundang-undangan tradisi yang hendak
membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk dalam organisasi
pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesama
maupun antara rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian
organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang sebenarnya dan hanya dianggap norma
organisasi. Oleh karena itu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu
disebut ”berlaku ke luar”

Ad. 3 : Norma bersifat umum dalam arti luas


Dalam hal ini terdapat perbedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual
(individueel), hal ini dilihat dari addressat (alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada
”setiap orang” atau kepada ”orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan
yang konkret (concreet) jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-
peristiwa yang idak tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu.

Menurut Ruiter sebuah norma (termasuk norma hukum) mengandung unsur-unsur berikut :
1. Cara keharusan berperilaku (modus van behoren) disebut operator norma.
2. Seorang atau kelompok orang adresat (normaadressaat) disebut subyek nomra
3. Perilaku yang dirumuskan (normgedrag) disebut objek norma
4. Syarat-syaratnya (normcondities), disebut kondisi norma

Contoh :
Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun.
Penjelasan :
Setiap orang : subyek norma
Wajib : operator norma
Membayar pajak : obyek norma
Pada akhir tahun : kondisi norma

LANDASAN-LANDASAN DAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN.

Landasan pembentukan peraturan perundang-undangan :


1. Landasan filosofis (filosofische grondslag)
• Rumusan atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardging) jika dikaji
secara filosofis, dan
• Sesuai dengan ciata-cita kebenaran (idee der waarheid), cita keadilan (idee der
gerechttigheid), dan cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).
2. Landasan sosiologis (sociologische grondslag)
• Dikatakan mempunyai landaan sosiologis bila ketentuan2nya sesuai dengan keyakinan
umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU ditaati dan berlaku efektif
dimasyarakat.
3. Landasan yuridis (juridische grondslag)
• Landasan yuridis dimaksud meliputi arti formil dan materil. Secara formil adalah landasan
yuridis yang memberikan kewenangan (bevogdheid) bagi instansi tertentu untuk membentuk
peraturan perundang-undangan tertentu. Sedangkan secar materil adalah landasan yuridis
untuk segi isi (materi) yang harus diatur dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan
yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Contoh : dalam konsideran menimbang (grondslag) dikenal juga dengan istilah konsideran
factual yang berisikan pertimbangan-pertimbangan dan filosofis dan sosiologis. Selanjutnya
konsideran mengingat (rechtgrond) dikenal juga denagan istilah konsideran yuridis berisikan
dasar-dasar hukum tertinggi dan sederajat yang dipergunakan untuk pijakan legalitas.

LANDASAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Prinsip-Prinsip Peraturan Perundang-Undangan


1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan Selalu Peraturan Perundang-Undangan
• Landasan atau dasar Peraturan Perundang-Undangan secara yuridis selalu Peraturan
Perundang-Undangan dan tidak ada hukum lain yang dijadikan dasar yuridis kecuali
Peraturan Perundang-Undangan. Dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan harus ada
landasan yuridis secara jelas. Walaupun ada hukum lain selain Peraturan Perundang-
Undangan namun hanya sebatas dijadikan sebagai bahan dalam menyusun Peraturan
Perundang-Undangan. Contoh hukum lain seperti hukum adat, yurisprudensi, dan
sebagainya.
2. Hanya Peraturan Perundang-Undangan Tertentu Saja yang Dapat Dijadikan Landasan
Yuridis
• Landasan yuridis penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yaitu hanya Peraturan
Perundang-Undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang akan disusun. Oleh karena itu tidak dimungkinkan
suatu Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah dijadikan dasar yuridis dalam
menyusun Peraturan Perundang-Undangan. Kemudian Peraturan Perundang-Undangan yang
tidak terkait langsung juga tidak dapat dijadikan dasar yuridis Peraturan Perundang-
Undangan.
3. Peraturan Perundang-Undangan yang Masih Berlaku Hanya Dapat Dihapus, Dicabut, atau
Diubah Oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Sederajat atau yang Lebih Tinggi
• Dengan prinsip tersebut, maka sangat penting peranan tata urutan atau hirarki Perundang-
Undangan dan dengan prinsip tersebut tidak akan mengurangi para pengambil keputusan
untuk melakukan penemuan hukum melalui penafsiran (interpretasi), pembangunan hukum
maupun penghalusan hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
4. Peraturan Perundang-Undangan Baru mengesampingkan Peraturan Perundang-Undangan
Lama
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang sederajat, maka
yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang terbaru. Dalam prakteknya
pada prinsip tersebut temyata tidak mudah diterapkan, karena banyak Peraturan perundang-
Undangan yang sederajat saling bertentangan materi muatannya namun malahan sering
dilanggar oleh para pihak yang memiliki kepentingan.
5. Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi Mengesampingkan Peraturan
Perundang-Undangan yang Lebih Rendah
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi
tingkatannya dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah, maka Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi yang diberlakukan, dan Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih rendah dikesampingkan.
6. Peraturan Perundang-Undangan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Bersifat Umum
• Apabila terjadi pertentangan antara Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat umum yang sederajat tingkatannya,
maka yang diberlakukan adalah Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat khusus (lex
spesialis derogat lex generalis).
7. Setiap Jenis Peraturan Perundang-Undangan Materi Muatannya Berbeda
• Setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan materi muatannya harus saling berbeda satu
sama lain yang berarti bahwa materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
tinggi (terdahulu) tidak boleh diatur kembali di dalam materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih rendah. Penentuan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan yang
lebih rendah tingkatannya tidak mengalami kesulitan apabila materi muatan tertentu dalam
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya jelas-jelas mendelegasikan
kepada Peraturan perundang-Undangan yang lebih rendah.

B. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


1. Asas Formil
Asas formil dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yaitu meliputi:
a. Kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis Peraturan Perundang-
undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk Peraturan Perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga atau organ
yang tidak berwenang;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu perumusan materi muatan dalam setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memiliki kesesuaian dengan jenis perundang-
undangan;
d. Dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan Peraturan Perundangundangan harus
didasarkan pada perhitungan bahwa Peraturan Perundangundangan yang dibentuk nantinya
dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara
filosofis, yuridis; maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap Peraturan Perundangundangan yang
dibentuk benar-benar mempunyai dayaguna dan hasil guna berlaku di dalam masyarakat,
berfungsi secara efektif dalam memberikan ketertiban, ketenteraman, dan kedamaian bagi
masyarakat ;
f. Kejelasan rumusan, yaitu; bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan, sistematika, dan pilihan kata
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya;
g. Keterbukaan, yaitu tidak adanya muatan materi Peraturan Perundangundangan yang
disembunyikan atau bersifat semu, sehingga dapat menimbulkan berbagai penafsiran dalam
praktek/implementasinya.
2. Asas materil
Materi Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:
a. Pengayoman, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi mengayomi
seluruh masyarakat dan memberikan perlindungan hak asasi manusia yang hakiki;
b. Kemanusiaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus bersifat manusiawi dan
menghargai harkat dan martabat manusia serta tidak boleh membebani masyarakat di luar
kemampuan masyarakat itu sendiri;
c. Kebangsaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang berasaskan musyawarah dalam mengambil keputusan;
d. Kekeluargaan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas
musyawarah mufakat dalam setiap penyelesaian masalah yang diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan;
e. Kenusantaraan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila atau wilayah/daerah tertentu, sesuai dengan jenis
Peraturan Perundangundangan tersebut;
f. Kebhinnekatunggalikaan, yaitu setiap perencanaan, pembuatan, dan penyusunan serta
materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku, dan golongan khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
g. Keadilan yang merata, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap Peraturan Perundang-
undangan materi muatannya tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat diskriminatif;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; yaitu setiap Peraturan Perundangundangan harus dapat
menimbulkan kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat;
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap Peraturan Perundang-undangan
materi muatannya atau isinya harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat, serta bangsa dan negara.

C. Asas Pemberlakukan Peraturan Perundang-undangan


• Secara umum ada beberapa asas atau dasar agar supaya Peraturan Perundangundangan
berlaku dengan baik dan efektif, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut
berlaku dengan baik (sempurna) dan efektif dalam teknik penyusunannya.
• Ada 3 (tiga) asas pemberlakuan Peraturan Perundang-undangan yakni asas yuridis, asas
filosofis, asas sosiologis. Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan merupakan hal
lain yang tidak mempengaruhi keberlakuan Peraturan Perundangundangan, namun
menyangkut baik atau tidaknya rumusan suatu Peraturan Perundang-undangan.
• Asas yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan Peraturan Perundang-
undangan, yaitu yang berkaitan dengan :
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan perundangundangan, yang berarti
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang
berwenang.
2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan Peraturan Perundang-
undangan. Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat.
3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut
tidak ditaati, maka Peraturan Perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau
tidak/belum mempunyai kekuatan mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
a. Asas filosofis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar
filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan secara sungguh-sungguh nilainilai (citra hukum) yang terkandung dalam
Pancasila. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan,
ketertiban, dan kesejahteraan.
b. Asas sosiologis Peraturan Perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan
kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang
dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu Peraturan
Perundang-undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan
mempunyai daya-laku secara efektif. Peraturan Perundang-undangan yang diterima oleh
masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak
memerlukan pengarahan institusional untuk melaksanakannya.
c. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar
sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu :
1. Teori Kekuasaan (Machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan
penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat;
2. Teori Pengakuan, (Annerkenungstheorie). Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan
dari masyarakat tempat hukum itu berlaku

JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN LEMBAGA


PEMBENTUKNYA

1. JENIS HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPrS No.XX/MPRS/1966


jo TAP MPR No. V/MPR/1973 sebagai berikut :

1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi menteri dan
lain-lain.

 Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebelum dikeluarkannya Undang-


Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPR
tersebut, jenis Peraturan Perundang-Undangan adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;
3. Undang-undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.

 Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka jenis dan hirarki
Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;


2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.

 Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas meliputi:

1. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
bersama Gubernur;
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dengan itu, dibuat oleh Badan Perwakilan
Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
4. Selain Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan
keberadaanya diakui dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan
yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi
yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Peraturan Daerah
Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat

 Selanjutnya setelah berlakunya UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan PerUUan, hirarki diatas mengalami perubahan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945;
2. Ketetapan MPR (TAP MPR)
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah kabupaten/kota .
 Penyebutan jenis Peraturan Perundang-undangan di atas sekaligus merupakan hirarki
atau tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, suatu Peraturan
Perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi lagi,
dan seterusnya sampai pada Peraturan Perundang-undangan yang paling tinggi
tingkatannya. Konsekuensinya, setiap Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
stinggi.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai jenis-jenis Peraturan Perundangundangan
tersebut.

a. Undang-Undang Dasar 1945

 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik


Indonesia, yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
 Berdasarkan Ketetapan MPR yang pernah ada yaitu Tap MPRS XX/MPRS/1966
tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Tap MPRS No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 pada posisi yang paling tinggi,
hal ini disebabkan karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum
dasar tertulis Negara Republik Indonesia yang memuat dasar dan garis besar hukum
dalam penyelenggaraan Negara.
 Hal yang sama juga diterapkan ddalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana menempatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan jenis
Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi. Dengan demikian, materi muatan
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulisi bagi
bangsa Indonesia.

b. Tap MPR

Tap MPR ini merupakan putusan majelis yang yang mempunyai kekuatan hukum mengikat
ke luar dan ke dalam MPR. Dan memiliki arti penting di bidang hukum. Bentuk Tap MPR ini
pertama kali keluar pada 1960, yaitu Ketetapan MPRS RI No.1/MPRS/1960 tentang
Manifesto Politik RI sebagai GBHN. Berdasarkan Tap MPRS No.XX/MPRS/1966 (lampiran)
bentuk putusan (peraturan) MPR ini memuat:

a. Garis-garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan UU.

b. Garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

Hal ini juga berarti, Ketetapan MPR di satu pihak dapat dilaksanakan dengan Keputusan
Presiden.

c. ndang-Undang

 Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan


Undang-Undang Dasar 1945 dan TAP MPR. Yang berwenang membuat Undang-
Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Ada beberapa kriteria
agar suatu masalah diatur dengan Undang-Undang, antara lain sebagai berikut :

1. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-Undang dibentuk atas perintah Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang dibentuk atas perintah ketentuan Undang-Undang terdahulu;
4. Undang-Undang dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah
Undang-Undang yang sudah ada;
5. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia;
6. Undang-Undang dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang
banyak.

d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

 Jenis Peraturan Perundang-undangan ini/PERPU setara undang-undang merupakan


kewenangan Presiden karena pembentukannya tanpa terlebih dahulu meminta
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun pada akhirnya harus diajukan ke
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan ditetapkan menjadi
undang-undang. Kewenangan Presiden ini dilakukan dalam hal ikhwal kegentingan
yang memaksa, dengan ketentuan:

1. Perpu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak
mengadakan perubahan;
3. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, Perpu tersebut harus dicabut.

 Dengan demikian, Perpu hanya dikeluarkan “dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa”.
 Dalam praktik “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” diartikan secara luas, tidak
hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman,
tetapi juga kebutuhan atau kepentingan yang dipandang mendesak.
 Yang berwenang menentukan apakah suatu keadaan dapat dikategorikan sebagai
“kegentingan yang memaksa” adalah Presiden.
 Di samping itu, Perpu berlaku untuk jangka waktu terbatas, yaitu sampai dengan masa
sidang Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya. Terhadap Perpu yang diajukan tersebut,
Dewan Perwakilan Rakyat juga hanya dapat menyetujui atau menolak saja. Dewan
Perwakilan Rakyat tidak bisa, misalnya; menyetujui Perpu tersebut dengan melakukan
perubahan.

e. Peraturan Pemerintah

 Peraturan Pemerintah merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang.


 Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-
Undangnya. Ada beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah, yaitu:
o Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa ada Undang-Undang
induknya.
o Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika Undang-
Undang induknya tidak mencantumkan sanksi pidana.
o Peraturan Pemerintah tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan
Undang-Undang induknya.
o Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun Undang-Undang yang
bersangkutan tidak menyebutkan secara tegas, asal Peraturan Pemerintah
tersebut untuk melaksanakan Undang-Undang.
o Tidak ada Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar
1945 atau TAP MPR

f. Peraturan Presiden

 Peraturan Presiden merupakan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk oleh


Presiden berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar 1945.
 Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Presiden disebutnya adalah Keputusan
Presiden, karena pada waktu itu Keputusan Presiden mempunyai dua sifat, yaitu
Keputusan Presiden yang bersifat sebagai pengaturan (regelling) dan Keputusan
Presiden yang bersifat menetapkan (beschikking).
 Namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Presiden yang
bersifat menetapkan disebutkan Keputusan Presiden, sedangkan Keputusan Presiden
yang bersifat mengatur disebut Peraturan Presiden.

g. Peraturan Daerah
 Peraturan Daerah merupakan Peraturan Perundang-Undangan untuk melaksanakan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus
dari daerah yang bersangkutan.
 Yang berwenang membuat Peraturan Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Kepala Daerah.
 Peraturan Daerah dibedakan antara Peraturan Daerah Provinsi, yang dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi dan Gubernur serta Peraturan Daerah
Kabupaten /Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dan Bupati /Walikota.
 Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Peraturan Daerah dapat merupakan
pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Perundang-
Undangan yang lebih tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya
tidak bertentangan dengan dan berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih tinggi (tingkat pusat).
 Sedangkan untuk Peraturan Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka
substansi Peraturan Daerah tersebut tidak harus berdasarkan pada Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi (tingkat pusat), tetapi harus menyesuaikan
pada kondisi otonomi (kemampuan) daerah masing-masing.
 Peraturan Daerah adalah sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara
pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan
penyesuaian-penyesuaian.
 Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Peraturan Daerah adalah adanya prosedur
atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih
tinggi untuk materi (substansi) Peraturan Daerah tertentu, misalnya materi mengenai
retribusi.

g. Peraturan Perundang-Undangan Lain

 Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain sebagaimana yang disebutkan di dalam


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan dalam Pasal 7 ayat (4) antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank
Indonesia, Menteri, Kepala Badan, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh
Undang-Undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
 Lebih lanjut disebutkan bahwa “hirarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
 B. LEMBAGA PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 Lembaga Pembentuk Peraturan Perundang-undangan adalah lembaga yang diberi


kekuasaan atau kewenangan untuk membentuk Peraturan Perundangundangan.
 Sesuai dengan jenis Peraturan Perundang-undangan, Lembaga Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan terdiri dari:

1. Dewan Perwakilan Rakyat selaku Lembaga Pembentuk undang-undang.


2. Presiden selaku Lembaga Pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selaku Lembaga Pembentuk Perda.
4. Kepala Daerah selaku lembaga pembentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan
Peraturan Walikota.
5. Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi, Gubernur
Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga dan Komisi yang setingkat yang
dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati, Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Berikut penjelasan lembaga-lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan diatas yaitu :

a. Lembaga pembentuk undang-undang

 Kekuasaan lembaga pembentuk UU diatur dalam UUD RI 45 dan UU No. 10 tahun


2004 pasal 1 ayat 3.
 Sebelum amandemen UUD 45 kekuasaan membentuk UU dirumuskan dalam pasal 5
ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 serta pasal 21 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi sebagai
berikut :
 Pasal 5 ayat 1 “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dgn persetujuan
DPR”
 Pasal 20 ayat 1 “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR”
 Pasal 21 ayat 1 “Anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan UU”
 Berdasarkan hal diatas presiden mempunyai kekuasaan membuat UU asal DPR
menyetujuinya. Sedangkan anggota DPR dapat memajukan RUU.
 Kalau kita menganut prinsip negara hukum yaitu Trias Politica nampaklah jelas
bahwa kekuasaan membuat UU ada ditangan legislatif (DPR) bukan ditangan
eksekutif (Presiden).
 Dengan demikian jelas UUD 45 pra amandemen yg memberi wewenang membentuk
UU kepada Presiden tidak tepat dan menurut saya justru bertentangan dgn prinsip
negara hukum dalam rangka menghindari terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Setelah UUD 1945 di amandemen menjadi UUD Negara RI 1945 maka pasal 5, 20, 21
dihapuskan sebagai berikut :

 Pasal 5 “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”


 Pasal 20 berbunyi :
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk UU.

2) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

3) Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu.

4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.

5) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU
dan wajib diundangkan.

 Pasal 21 (1) “Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.


 Pasal 22 D “DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yg berkaiatan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
 Berdasarkan pasal-pasal diatas, maka jelas dulunya kekuasaan membentuk UU ada
ditangan Presiden sekarang beralih kekuasaan ada ditangan DPR.
 Dengan demikian, DPR lah yg berkuasa membentuk UU, sedangkan Presiden hanya
berhak mengajukan RUU.
 Namun demikian kekuasaan tersebut dibatasi karena setiap RUU yang diinisiatifi oleh
DPR maupun presiden harus dibahas dulu dan disetujui bersama DPR dan Presiden.
 Dengan adanya pembahasan bersama maka kekuasaan DPR dlm membentuk UU
dapat dihindari kesewenangan DPR.
 Selanjutnya setelah RUU tsb disetujui bersama, maka disahkan oleh presiden (Pasal
20 ayat 4)
 Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden
dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat 5). Contoh Undang-Undang
tentang Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan, yang merupakan inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat, sudah dibahas dan disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden, namun tidak disahkan oleh Presiden, dan setelah batas waktu 30 hari
diberlakukan. Disini nampaknya ada nuansa politiknya.
 Apapun alasannya hukum adalah produk politik berupa peraturan peraturan
perundang-undangan. Untuk itu pengaruh politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan
lokal dan global, birokrasi serta kepentingan keseimbangan kekuasaan.
 Penjelasan: Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Riau
Kepulauan merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam prosesnya
terdapat perbedaan pendapat dan pendekatan antara DPR, Pemerintahan Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang terkait, khususnya Kabupaten Natunayang menolak bergabung
menjadi Provisni Riau Kepulauan, bahkan memunculkan polemik di daerah dan
penolakan dari Gubernur dan DPRD Provinsi Riau. Dalam pembahasan di DPR,
Pemerintah berpendapat bahwa inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk
Provinsi Riau Kepulauan prosesnya tidak mendasarkan atau tidak sesuai dengan tata
cara dan persyaratan pembentukan daerah otonom (PP 29/1999), diantaranya tidak
ada persetujuan dan usul tertulis dari Gubernur Riau dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Riau. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat berpendapat usulan
tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat yang didasarkan usul Bupati dan Walikota
terkait bersama DPRDnya, diluar Kabuaten Natuna.
 Disisi lain, DPR menyatakan bahwa usul pemebentukan Provinsi Riau Kepulauan
adalah merupakan INISIATIF DPR dan sesuai dengan UUD 45 bahwa kekuasaan
membentuk Undang-Undang ada ditangan DPR, dan ironisnya terbesit penegasan
bahwa DPR tidak terikat pada PP 29/1999. Dengan demikian, ada unsur kekuatan
politik dan bias pemahaman terhadap kekuasaan membentuk Undang-Undang, dan
mempengaruhi proses dan prosedur pembentukan Undang-Undang tentang
Pembentukan Provinsi Riau Kepulauan. Dengan pengertian lain, pendekatannya
mengutamakan kepentingan politis (pemenuhan janji Dewan Perwakilan Rakyat
kepada masyarakat). Pembahasan berlanjut dengan menghasilkan kesepakatan dan
persetujuan bersama yang dilakukan berdasarkan kompromi atau bargaining politik
yang cenderung mengakomodir kepentingan politik.

b. Lembaga pembentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)

 Disini berkaitan dengan lembaga atau pejabat yg diberi kekuasaan atau kewenangan
menetapkan atau mengeluarkan peraturan sesuai dengan hirarki peraturan perUUan
 Kekuasaan dan kewenangan dalam membentuk Perpu diatur pada pasal 22 ayat 1
UUD RI 1945)
 Bunyi pasal tersebut sebagai berikuti “dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan Perpu (ayat 1).
 Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut (ayat 2).
 Jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut (ayat 3)
 Batas waktu pemberlakuan Perpu singkat dan harus diajukan kepada DPR dalam
bentuk RUU untuk dibahas ssuai dengan mekanisme pembahasan RUU. Karena
kebutuhan yang sangat mendesak, proses pembahasan di DPR dilakukan sangat cepat,
dalam hal ini DPR hanya menolak dan menerima.
 Sebagaimana diketahui bahwa syarat adanya Perpu adalah adanya situasi kegentingan
memaksa.
 Dewasa ini belum ada kriteria atau ukuran baku untuk menetapkan kegentingan
memaksa seperti keadaan perang, bencana alam nasional terorisme dan
pemberontakan yang berakibat luas dan mengganggu kehidupan rakyat dan keutuhan
NKRI.
 Pengertian kegentingan memaksa sekarang ini tidak jelas dan ditafsirkan sangat luas
dan penetapannya dilakukan oleh presiden.
 Contoh Perpu menjadi UU yaitu Perpu No. 1 tahun 2004 (Perpu pertambangan di
hutan lindung) kemudian disahkan menjadi UU No. 19 tahun 2004
c. Lembaga Pembentun Peraturan Pemerintah

 Pasal 5 ayat (2) UUD RI 1945 memberikan kewenangan kepada presiden menetapkan
PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
 Yang dimaksud dgn sebagaimana mestinya adalah muatan materi yg diatur dlm PP
tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yg bersangkutan.
 Dalam kewenangan membentuk PP atas perintah UU presiden tidak memiliki diskresi
untuk mengatur muatan materi pelaksanaan diluar yg diperintahkan atau mengatur
hal-hal yang baru.
 Mengingat jangkauan muatan materi Peraturan Pemerintah tidak mungkin mengatur
hal-hal teknis pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh Presiden di dalam
menyelenggarakan pemerintahan, maka sepanjang tidak bertentangan atau tidak
mengatur hal-hal baru diluar yang telah ditentukan Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah dimungkinkan dapat memberikan perintah atau mendelegasikan materi
muatan tertentu yang bersifat teknis pelaksanaan untuk diatur dan ditetapkan dengan :
 Peraturan Presiden atau Peraturan Perundang-undangan lain.
 Kepada Menteri/ Pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang, dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan, Peraturan Pemerintah
 Juga dapat memberikan perintah atau mendelegasikan muatan materi tertentu kepada
Pemerintahan Daerah, untuk diatur dengan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala
Daerah.

d. Lembaga Pembentuk Peraturan Presiden

 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan, menegaskan bahwa Peraturan Presiden 11 adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan
muatan materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau melaksanakan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Presiden berisi muatan materi yang mengatur
pelaksanaan dan/atau mengatur hal-hal teknis sebagai penjabaran dari Peraturan
Perundangundangan yang memerintahkan.
 Peraturan Presiden juga dapat memerintahkan atau mendelegasikan muatan materi
tertentu yang bersifat teknis operasional kepada Menteri atau pejabat yang diberi
wewenang dan/atau kepada Pemerintahan Daerah. Contoh: Peraturan Presiden
Nomor 61 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program
Legislasi Nasional, menindaklanjuti atau melaksanakan perintah langsung pasal 16
ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

e. Lembaga Pembentuk Peraturan Daerah

 Perda dibentuk oleh pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi


daerahnya. Hal ini datur dalam Pasal 18 ayat 6 UUD RI 1945
 Bunyi Pasal tersebut sebagai berikut “pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas
pembantuan”
 Rumusan Pemerintahan Daerah menurut pasal ini membingungkan, karena secara
umum pengertian pemerintahan daerah adalah kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan, bukan lembaga.
 Nampaknya, perumus Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
memberikan pengertian pemerintahan daerah sama dengan pengertian pemerintahan
daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
yaitu Pemerintahan Daerah adalah Dewan Pewakilan Rakyat Daerah dan Kepala
Daerah.
 Walapun pengertian pemerintahan daerah menjadi ganjalan, maka solusi untuk
mengurangi ganjalan dimaksud, pengertian pemerintahan daerah ditegaskan dalam
pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah bahwa ”Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah…”.
 Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa Peraturan Daerah
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
 Secara eksplisit pasal 1 angka 7 ini menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk Perda.
 Dengan adanya kalimat dengan persetujuan bersama Kepala Daerah secara implisit
mengandung makna bahwa lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat
diartikan memiliki fungsi legislasi yang sebangun dengan fungsi legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
 Yang harus dipahami bersama, bahwa pengertian sebangun disini harus dipahami
tidak mengandung makna bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah
kepanjangan tangan atau memiliki hirarki dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
 Dengan demikian dalam proses pembentukan Peraturan Daerah, tahapan proses dan
prosedurnya dapat dilakukan dengan mempedomani ketentuan Peraturan Perundang-
undangan yang mengatur tahapan proses dan prosedur pembentukan Undang-Undang

MATERI PERDA :

 Diatur ndalam Pasal 12 UU No. 10 tahun 2004.


 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, menjelaskan bahwa materi muatan
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus (khas)
daerah, serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
 Pasal 12 tersebut memberikan jawaban bahwa pada hakekatnya Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah melaksanakan fungsi legislasi di tingkat daerah, dan bukan lembaga
Legislasi sebagaimana konsep pembagian kekuasaan lembaga tinggi negara menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
 Namun demikian, apabila dikaji secara mendalam, tersirat bahwa perumus Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004, berkeinginan secara eksplisit memberikan landasan
hukum kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memiliki fungsi legislasi
(kekuasaan membentuk Perda) yang sebangun dengan fungsi legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di dalam pembentukan Undang-Undang.
 Kedudukan dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebenarnya secara eksplisit
dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945, dan Peraturan Perundang-undangan lain. Hal ini dapat dilihat dari :

1) Pasal 18 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
yang dijabarkan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
memberikan legalitas keberadaan DPRD.

2) Beberapa pasal yang berkait dengan DPRD dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 22 A dijabarkan dengan Undang Undang Nomor 10
tahun 2004, dan Khusus pasal 22 E ayat (2) dan ayat (3) dijabarkan dengan Undang-Undang
Pemilu dan Undang Undang Susduk.

f. Lembaga Pembentuk Peraturan Peraturan perundang-undangan Diluar Hirarki

 Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, menjelaskan bahwa terdapat
jenis Peraturan Perundang-undangan lain diluar hirarki Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi
 Peraturan peraturan perundang-undnagan yang dimaksud sebagai berikut :

1) Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat

2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat

3) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah

4) Peraturan Mahkamah Agung,

5) Peraturan Mahkamah Konstitusi

6) Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan

7) Peraturan Gubernur Bank Indonesia,

8) Peraturan Menteri

9) Peraturan Kepala Badan

10) Peraturan Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang,

11) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

12) Peraturan Gubernur


13) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

14) Peraturan Bupati

15) Peraturan Walikota,

16) Peraturan Kepala Desa atau yang setingkat.

PENGUNDANGAN DAN DAYA IKAT SERTA PENYEBARLUASAN

A. Landasan dan tujuan pengundangan

Landasan bagi perlunya pengundangan :


Setiap orang dianggap mengetahui UU (teori fictie hukum = een ieder wordt geacht de wet te
kennen, nemo ius ignorare consetur= in dubio proreo, latin). Alasannya adalah karena UU
dibetuk oleh atau dgn persetujuan wakil2 rakyat maka rakyat dianggap mengetahui UU
Pengundangan :
Ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dgn penempatannya dlm suatu
penerbitan resmi yg khusus utk maksud itu sesuai dgn ketentuan yg berlaku.
Dengan pengundangan maka :
1. Peraturan negara itu telah memenuhi prinsip pemberitahuan formal,
2. Peraturan negara itu telah memenuhi ketentuan sbg peraturan negara,
3. Prosedur pembentukan yg disyaratkan bagi peraturan negara itu sudah dicukupi
4. Peraturan negara itu sudah dpt dikenali (kenbaar) sehingga dengan demikian
peraturan negara tersebut mempunyai kekuatan mengikat.

Tujuan pengundangan :
1. Agar secara formal setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara,
2. Agar tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya,
3. Agar ketidak tahuan seseorang akan peraturan hukum tsb tdk memaafkannya.

Pengumuman :
Adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kpd khalayak ramai dgn tujuan
utama mempermaklumkan isi peraturan tsb seluas-luasnya.
Pengumuman dpt dilakukan dgn berbagai cara, dengan menyebarluaskannya, dengan
menguar-uarkannya, dan dgn cara lain sbgnya.
Tujuan pengumuman adalah agar secara material sebanyak mungkin khlayak ramai
mengetahui peraturan negara tsb dan memahami isi serta maksud yg terkandung ddi
dalamnya.
Dalam sejarah perUUan negara RI peralihan istilah “pengumuman” ke “pengundangan”
terjadi pada sekitar beralihnya negara RIS dengan konstitusi RIS kepada negara Indonesia
kesatuan dengan UU Dasar Sementara 1950. Lembaran negara tahun 1950 No. 62 yang
memuat PP No. 24 tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 14 Agustus 1950 dan diundangkan
tanggal 16 Agustus 1950 oleh Menteri Kehakiman Lembaran Negara tahun 1950 No. 63 yg
memuat UU Darurat No. 31 tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 23 Agustus 1950 dan
diundangkan tanggal 25 Agustus 1950 oleh menteri Kehakiman yang sama Supomo, sudah
menggunakan istilah diundangkan. Perubahan istilah tersbeut sudah berlaku sampai sekrang.
Begitu juga dengan berlakunya UU No 10 tahun 2004 maka juga menggunakan istilah
diundangkan dan pelaksanaan pengundangan beralih dari Menteri Sekretaris Negara menjadi
Menteri yg bertugas dibidang perundang-undangan dan tidak ada lagi mengenal istilah
pengumuman
Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan menurut UU No. 10 atahun 2004 :
1. Lembaran negara RI
2. Berita Negara RI
3. BLembaran Daerah
4. Berita Daerah
5. Tempat pengundangan (lihat pasal 45)

Tempat pengundangan dan jenis peraturan yg diundangkan :


– Dalam Lembaran Negara RI :
1. UU/Perpu
2. PP
3. Perpres mengenai : a) ratifikasi perjanjian internasional, b) keadan bahaya
4. Peraturan perUUan lain yg menurut peraturan perUUan yg berlaku harus diundangkan
dlm lebaran negara RI dan peraturan perUUan lain yang menurut peraturan
perundang-undangan yg berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara RI.

Pasal 46 : Pengundangan dilakukan oleh menteri hukum dan HAM (Pasal 46)
Pasal 47 : Tambahan LN memuat penjelasan peraturan perUUan yang dimuat dalam
lembaran negara RI, sedangkan tambahan berita negara RI memuat penjelasan peraturan
perUUan yg dimuat dalam berita negara
Pasal 49 :
•Peraturan perUUan yg dindangkan dlm lembaran daerah adalah Perda
•Peraturan Gubernur, peraturan Bupati/Walikota atau peraturan lain dibawahnya dimuat
dalam Berita Daerah
•Pengundangan Perda dalam lembaran daerah dan berita daerah dilaksanakan oleh sekretaris
daerah
•Menurut penjelasan pasal 49 (2) peraturan perUUan yg diundangkan dlm berita daerah
misalnya peraturan nagari, perdes atau peraturan gampong dilingkungan daerah yg
bersangkutan.
Hubungan pengundangan dan daya ikat :
 Dengan adanya pengundangan bagi suatu peraturan perundang-undangan yaitu
dengan penempatannya di dalam lembaran negara RI, maka peraturan perundang-
undangan tersebut dianggap mempunyai daya laku serta daya ikat bagi setiap ora

Sehubungan dgn masalah pengundangan dan daya ikat tsb dapat dijumpai adanya tiga variasi
yaitu :
1. Apabila dl suatu peraturan dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan, maka dlm
hal ini peraturan tsb mempunyai daya ikat pada tanggal yang sama dengan tanggal
pengundangannya, Contoh, apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan
dinyatakan berlaku pd tgl diundangkan maka pada tgl 10/11 2006 tsb UU ini mulai
berdaya laku serta berdaya ikat (mengikat umum )
2. Berlaku beberapa waktu setelah diundangkan
apabila dlm suatu peraturan dinyatakan berlaku beberapa waktu setelah diundangkan
maka dlm hal ini peraturan tsb mempunyai daya laku pada tgl diundangkan tsb, akan
tetapi daya ikatnya setelah tgl yang telah ditentukan tersebut. Contoh apabila suatu
UU diundangkan pd tgl 10 Nopember 2006 dan dinyatakan berlaku 30 hari kemudian,
maka UU itu mempunyai daya laku pada sejak tgl 10 Nop 2006 akan tetapi UU tsb
baru berdaya ikat (mengikat umum) pada tgl 10 Desember 2006.

3. Berlaku pada tanggal diudangkan dan berlaku surut sampai tanggal yang tertentu

Apabila suatu peraturan ditentukan demikian, maka hal ini berarti bahwa peraturan tsb
mempunyai daya laku sejak tgl diundangkan akan tetapi dalam hal2 tertentu ia
mempunyai daya ikat yg berlaku surut sampai tgl yg ditetapkan tadi.

Apabila suatu peraturan tersebut dinyatakan berlaku surut maka ketentuan saat/waktu
berlaku surutnya peraturan tsb hrs dinyatakan secara tepat/pasti, misalnya berlaku
surut sampai dgn tgl 1 Januari 2006, oleh karena ini berhubungan erat dgn adanya
kepastian hukum. Contoh : Apabila suatu UU diundangkan pd tgl 10 Nop 2006 dan
dinyatakan berlaku pd tgl diundangkan serta dinyatakan berlaku surut sampai pd tgl 1
Januari 2006 maka UU tsb mempunyai daya laku dan daya ikat mulai tgl 10 Nop
2006 tsb serta berlaku surut sampai dgn tgl 1 Januari 2006.

Proses pengundangan peraturan perUUan menurut Perpres No 1 tahun 2007


1. Naskah UU yg telah disahkan Presiden disampaikan oleh menteri sekretaris negara
kepada menteri utk diundangkan dlm LN RI
2. Naskah Perpu dan PP yg telah ditetapkanoleh presiden disampaikan oleh menteri
sekretaris negara kpd menteri utk diundangkan dlm LNRI
3. Naskah Perpres yg telah ditetapkan Presiden disampaikan oleh sekretaris kabinet
kepada menteri utk diundangkan dlm LNRI
4. Naskah peraturan perUUan lainnya yg telah ditetapkan oleh pimpinan lembaga (Psl
46 ayat 1) disampaikan kpd menteri utk diundangkan dlm LN RI
5. Menteri yg tugas dasn tanggungnya dibidang perUUan (Menkumham) kemudian akan
membubuhkan tanda tangan pd naskah UU, Perpu, PP, Perpres serta peraturan
lembaga tsb dan menempatkannya dlm LNRI dgn membubuhkan nomor dan tahunnya
serta menempatkan penjelasannya serta nomor dlm tambahan LN
6. Naskah peraturan menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen dan
perundang lainnya yg telah ditetapkan diberi nomor dan tahunnya disampaikan kpd
menteri utk selanjutnya diundangkan dgn penempatannya dlm berita negara RI. Slide
16

Penyebarluasan peraturan perUUan menurut UU No. 10 tahun 2004


1. Diatur dlm Pasal 51 berbunyi pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUUan
yg telah diundangkan dlm LN RI atau Berita Negara
2. Selanjutnya dlm penjelasan pasal 51 berbunyi, “yg dimaksud dgn menyebarluaskan
adalah agar khlayak ramai mengetahui peraturan perundang-undnagan tsb dan
mengerti/memahami isi serta maksud yg terkandung didalamnya, misalnya dilakukan
dgn melalui media elektronik, Televisi, radio dan media cetak
3. Didaerah (Perda) dilakukan oleh pemda baik yg sdh diundangkan dlm Lembaran
daerah maupun berita daera

Penyebarluasan peraturan perUUan menurut Perpres No. 1 tahun 2007


1. Diatur dlm pasal 29 berbunyi “pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perUUan
yg telah diundangkan dlm LN RI dan dalam berita negara RI, sedangkan pemda wajib
menyebarluaskan peraturan perUUan yg telah diundangkan dlm LD dan peraturan
dibawahnya yg telah diundangkan dlm berita daerah.
2. Misalnya dilakukan dgn melalui media elektronik, Televisi, radio dan media cetak.

Anda mungkin juga menyukai