Bahasa
dan
Sastra Kawi
Sanksi Pelanggaran
Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(1) Barangsiapa déngan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana déngan pidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau dénda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau dénda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa déngan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipidana déngan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dénda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Bahasa dan Sastra Kawi
Oleh :
Prof. Dr. I Made Surada, M.A.
Cetakan 2018
KATA PENGANTAR
Penyusun
KATA SAMBUTAN
Oṁ Swastyastu,
Bahasa Kawi adalah bahasa ragam tulis yang dipergunakan
oleh para pengawi atau pengarang untuk menampung buah
pikirannya. Karya-karya tersebut sebagian besar adalah warisan
Hindu di Jawa dari abad IX sampai abad XV Masehi. Bahasa
Kawi adalah bahasa pilihan dan campuran antara bahasa Jawa
Kuno dan bahasa Sanskerta.
Bahasa Kawi adalah suatu jenis bahasa yang pernah
berkembang di Pulau Jawa pada jaman kerajaan Hindu-Budha
di Nusantara dan dipakai dalam penulisan karya-karya sastra.
Bahasa Kawi digunakan dalam naskah-naskah dan lontar-lontar
sastra dan kesusastraan yang merupakan sumber ajaran agama
Hindu di Indonesia.
Kedudukan dan fungsi bahasa Kawi adalah amat penting.
Bahasa Kawi adalah salah satu kunci untuk mengungkapkan
nilai-nilai Hindu di Nusantara. Bahasa Kawi adalah bahasa
sumber kedua setelah bahasa Sanskerta yang dipergunakan
dalam literatur agama Hindu Indonesia.
Oleh karena itu saya Rektor IHDN Denpasar dengan
penuh rasa bahagia menyambut terbitnya buku “BAHASA DAN
SASTRA KAWI” ini, disusun oleh Prof. Dr. I Made Surada,
M.A. Buku ini saya harap dapat memberikan pemahaman yang
luas tentang bahasa Kawi pada para mahasiswa dan umat Hindu
lainnya.
Akhirnya kami menyampaikan terima kasih dan
salut kepada penyusun dan penerbit, karena berkat usaha dan
dedikasinya yang tinggi buku ini dapat menjadi salah satu
Rektor
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Halaman
r ra R g, rāga nafsu
8. Akṣara Wisarga
Akṣara Bali Akṣara Latin Contoh Arti
h ha hn hana ada
\ ṅa ¨¨¨¨¨¨¨å¨¨ - - -
~ ṭha ¨¨¨¨¨¨¨Õ¨¨ - - -
a ḍha ¨¨¨¨¨¨Ò¨¨¨ - - -
h ha ¨¨¨¨¨¨¨À¨¨ si\ À
, singha singa
2) Wyañjana (Konsonan)
Dalam timbulnya bunyi konsonan halangan yang dijumpai
udara itu dapat bersifat keseluruhan, sebagian yaitu dengan
menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu. Dengan
memperhatikan bermacam-macam faktor untuk menghasilkan
konsonan maka kita dapat membagi konsonan atas dasar : (1)
Artikulator dan Titik Artikulasi, (2) Macam halangan udara
yang dijumpai mengalir ke luar. (3) Turut tidaknya pita suara
bergetar. dan (4) Jalan yang dilalui udara ketika keluar dari
rongga-rongga ujaran. Penggolongan konsonan - konsonan
yang muncul berdasarkan artikulator dan artikulasinya, adalah
sebagai berikut :
1. Konsonan Velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh belakang
lidah dan langit-langit lembut, yaitu: k, kh, g, gh, ṅ (ng).
2. Konsonan Palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh bagian
tengah lidah dan langit-langit keras, yaitu : c, ch, j, jh, ñ (ny).
3. Konsonan Apiko-aveolar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh
ujung lidah dan lengkung kaki gigi, yaitu : ṭ, ṭh, ḍ, ḍh, ṇ.
4. Apiko-interdental, yaitu bunyi yang diahasilkan oleh ujung
lidah (apex) dan daerah antar gigi (dens), yaitu : t, th, d, dh,
n.
5. Konsonan Bilabial, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan
mempertemukan kedua bibir yaitu bibir atas dan bibir
bawah, yaitu: p, ph, b, bh, m.
6. Konsonan Spiran, yaitu bunyi yang dihasilkan bila udara
keluar dari paru-paru mendapat halangan berupa pengadukan,
sedangkan sementara itu terdengar bunyi desis, yaitu: ś, ṣ, s.
2.1 Afiksasi
Afiks adalah imbuhan. Imbuhan adalan morfen terikat yang
dapat dibedakan menurut tempatnya melekat pada bentuk dasar.
Kata berimbuhan adalah merupakan kata turunan yang dihasilkan
melalui proses morfologis dengan pembubuhan imbuhan (afiks)
pada suatu morfem dasar atau morfem pangkal. Afiks atau
imbuhan dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu :
1. Prefiks yaitu awalan, misalnya : a, ma, ka, pa, pi, paka,
paha.
2. Infiks yaitu sisipan, misalnya : in, um, êr, êl.
3. Sufiks yaitu akhiran, misalnya : a, ên, i, an, akên.
4. Konfiks yaitu imbuhan gabungan (awalan dan akhiran),
misalnya : pa…an, ka…an, ka…akên.
2.1.1 Prefiks
Prefiks atau awalan adalah suatu unsur yang secara
struktural ditambahkan di depan sebuah kata dasar (lingga)
atau bentuk kata dasar. Kadang-kadang dalam pembentukan
itu ditamba dengan bunyi sengau, misalnya : “ny, m, n, ng”.
Sebagai akibat penambahan huruf (bunyi) sengau itu maka dapat
menimbulkan arti yang berbeda, contoh : doh, adoh artinya
jauh, kemudian angdoh, artinya menjauh. etes, artinya terbuka,
kemudian anetes artinya menetes. Demikian pula contoh-
contoh yang lain seperti : angalas (pergi ke hutan), mangjanma
(menjelma), manêmbah (menyembah), amangan (memakan),
anatur (berkata) dan lain-lain.
2.1.2 Infiks
Infiks atau sisipan adalah semacam morfem terikat yang
disisipkan pada sebuah kata. Pada umumnya infiks itu terletak
2.1.3 Sufiks
Sufiks atau akhiran adalah semacam morfen terikat yang
dilekatkan (ditambahkan) di belakang suatu morfen dasar atau
kata dasar, contoh :
ratu + a = ratua – ratwa (akan menjadi raja).
hurip + ên = huripên (hidupkanlah).
weh + i = wehi – wehi – wehana (agar diberi).
unggu + an = ungguan – unggwan (yang ditempati).
kawaśa + akên = kawaśakên (agar dikuasai).
Catatan :
1. Sufiks ‘ana’ sebenarnya tidak ada, yang ada adalah sufiks
‘i’, yang dapat berubah menjadi ‘an’ lalu mendapat
akhiran ‘a’, kemudian menjadi ‘ana’.
2. Sufiks ‘akna’, sebenarnya tidak ada, yang ada adalah
sufiks ‘akên’, kemudian ditambah ‘a’, menjadi akêna
(akên + a), ‘akêna’ kemudian dapat berubah menjadi
‘akna’.
3. Penambahan sufiks ên pada suatu kata, mengalami dua
syarat, yaitu :
a. Kalau kata itu berakhir dengan konsonan + ên, maka
akhiran ‘ên’ itu tetap dirulis, contoh :
alap + ên = alapên (ambillah).
pêjah + ên = pêjahên (bunuhlah).
b. Kalau kata itu berakhir dengan vokal + ‘ên’, maka ‘ê’
pada ‘ên’ menjadi luluh atau lenyap, contoh :
wêli + ên = wêlin (belilah).
tuku + ên = tukun (belilah).
2.1.4 Konfiks.
Konfiks atau imbuhan gabungan adalah pemakaian
imbuhan sekaligus pada suatu kata dasar. Imbuhan-imbuhan
yang biasa dipakai bersama-sama, antara lain adalah : ‘pa...an’
dan ‘ka…an’, contoh :
pa + malaku+an = pamalalakwan (orang yang dimintai)
pa + ngaji + an = pangajyan (tempat berguru)
ka + úura + an = kaúuraan - kaśurān (keberanian)
ka + dusta + an = kadustaan - kadustān (kejahatan)
c. Bunyi ‘a’ bila diikuti oleh bunyi lain, namun bukan ‘é’ maka
menjadi demikian, contoh:
a + u = o a + umah = omah
a + i = e kapa + ingin = kapengin
d. Bunyi ‘u’ dan ‘i’ bila diikuti bunyi lain , tetapi bukan ‘é’
maka menjadi demikian, contoh :
u menjadi w sinusu + an = sinuswan
i menjadi y manguni + akén = mangunyakén
‘O’ dan ‘ö’ bila diikuti bunyi lain, tetapi bukan ‘é’,
maka menjadi ‘w’, contoh :
inasö + akên = inaswakên
mangko + angde = mangkwangde
e. Bunyi ‘ê’ bila diikuti oleh bunyi lain, tetapi bukan ‘ê’, maka
menjadi ‘w’, contoh :
magawe + a = magawaya
Selain dari pada kata ganti ‘aku’ dan ‘kami’, masih ada
beberapa kata ganti tak sebenarnya untuk orang pertama, antara
lain :
1. ‘Nghulun, ni nghulun’
Kata-kata inilah yang kerap kali dipakai, lebih-lebih dari
pada aku. Rasa hormat di dalam kata itu yang sebenarnya
berarti, ‘budak’ tak terasa lagi. Guru misalnya berkata
kepada muridnya memakai nghulun juga. Contoh :
Nghulun ratu śomawangśa, sang yayati ngaraninghulun,
artinya : Saya raja keturunan Soma, yayati nama saya.
2. ‘Ngwang, ni ngwang’
Pun kata-kata ini tak terasa lagi rasa hormat. Contoh :
Śarīranta kabrh sakeng śarūra ni ngwang tattwanya,
artinya : Badanmu seluruhnya dari badanku hakekatnya.
3. ‘Sanghulun, pinakanghulun’
Kata-kata ini dipakai oleh orang rendahan kepada orang
2. Orang kedua :
• Aku dinalihta swaminyu ! Arah lakumur tako !, artinya:
Aku kau kira suamimu ! Hai pergi henyahlah kau !.
• Patêngêran ira denta yan mapanas ikā gulūnta kadi
mangêlêd apuy lwirnya hana brāhmaṇa kapangan
denta yan mangkana, artinya: Tandanya bagimu apabila
3. Orang ketiga :
• Hana ta sang Akūpa ngaranya,ratu ning pās angśa
bhaṭāra Wiṣṇu kacaritanya nguni, artinya: Adalah yang
namanya Akūpa raja dari kura-kura, penjelmaan Bhaṭāra
Wiṣṇu dahulu menurut ceriteranya.
• Hana sira ratu sang Parikêsit ngaranira, artinya: adalah
seorang raja sang Parikesit nama beliau.
• Kumêtêr tikang hati dening wêlas harêp ndatan
hana winarah nira, tuhun umulat têta ri sira, artinya:
Gemetarlah hatinya oleh karena belas kasihan, tak
ada yang dikatakannya, hanya memandang sampai
kepadanya.
6) ‘Kumwa, kwa’
‘Kumwa’, artinya : demikian, sama artinya dengan kata :
‘nìhan dan nahan’.
‘Kwa’ dipakai pada ungkapan : ‘Yan kwa linganta’, artinya :
Kalau demikian katamu.
Kecuali itu jiga dipakai semacam jawab pertanyaan yang
dianggap ditanyakan oleh orang kedua. Contoh :
Arti kata yang dibentuk dengan akhiran ‘i’ yang biasa sekali
ialah : tindakan yang berubungan dengan tempat. Misalnya :
tumangisi = menangisi.
humudani = menghujani.
manganugrahi = menganugrahi/memberkahi.
amagêhi = menguasai.
mangliwati = melewati.
Catatan :
Akhiran ‘i’ ini dalam hubungannya dengan sisipan ‘in’,
selalu diganti dengan dengan akhiran-’an’. Maka menjadi
sebagai berikut ini.
tinariman = diberi.
dinawuhan = diperintah.
pinatyan = di bunuh.
kinasihan = dikasihi.
inaranan = dinamai.
Catatan :
Kadang-kadang ada juga bentuk ‘akên’ yang tidak dapat
diterjemahkan dengan akhiran ‘kan’ menurut kebiasaan
bahasa Indonesia. Misalnya :
humarêpakên = menghadapi.
umungkurakên =membelakangi.
angapitakên = mengiringi.
mangalorakên = membuat supaya ke utara.
Catatan :
Kata majemuk dalam bahasa Kawi ada yang berstruktur
asli Kawi yang menuruti ketentuan hukum DM
(diterangkan,menerangkan) mendahului yang diterangkan.
5.1 Pengertian
Bahasa terdiri dari dua unsur ialah bentuk dan arti yang
dinyatakan oleh bentuk itu sendiri. Bentuk bahasa terdiri dari
satuan-satuan yang disebut satuan gramatik. Satuan-satuan
bahasa tersebut ialah : wacana, klausa, frase, kata dan morfem.
Kalimat dalam bahasa Jawa Kuna ada yang terdiri dari satu kata,
misalnya : ‘ih’, ada yang terdiri dari dua kata misalnya : ‘sang
resi’, demikian pula selanjutnya. Kalimat dalam suatu bahasa
sesungguhnya bukan ditentukan oleh banyaknya kata yang
menjadi unsurnya,melainkan intonasinya. Dengan demikian
yang dimaksud dengan kalimat ialah bentu linguistik yang
diakhiri oleh intonasi final atau intonasi akhir selesai. Beberapa
contoh kalimat bahasa Jawa Kuna dari teks Àdiparwa :
1. Kalimat Tunggal
2. Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari dua klausa
atau lebih. Kalimat majemuk dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu : kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk
tak setara.
3. Kalimat Minor
Kalimat minor adalah kalimat yang terdiri atas satu kata atau
satu frase tetapi tidak memenuhi struktur frase. Contoh : ‘Ih’
= Hai.
1) Guru Laghu
Pemahaman guru lagu merupakan modal dasar bagi si
pembaca (pengewacen) di dalam kegiatan mabebasan sedangkan
Taleng
Ee ekÙ;, kweh
Taleng- tedong
EO o erog, roga
Cakra
mêsurang-
têdong Êo rö/æ - -
Gantungan
lê-mêpêpt-
mêtêdong Þ O í/lö - -
Suara angkêp
“ai” Eai E dtê daitya
Suara angkêp
“au” E O au E ho[a auṣadha
Bisah
;ḥ p)j;, pêjah
Surang
( p(t, parta
Cêcêk
* s*, sang
Adêg-adêg
/ tn/, tan
h, n, c, , k, d, t, s,
rÉ w,
ha na ca ra ka da ta sa wa
l, m, g, b, \, p, j, y, z,
la ma ga ba nga pa ja ya nya
bekembang
V
pekapal
8
bersuara ‘u’
sUuku
1) Guru Hrêswa
Guru hrêswa adalah guru pendek. Maksudnya adalah
seorang pengewacen atau pembaca Kakawin tatkala
menembangkannya, mendapat kelonggaran, tanpa harus
bersuara panjang, berat dan beralun.
2) Guru Dirgha
Guru dirgha adalah guru panjang. Di sini pembaca Kakawin
harus menyuarakan dengan suara berat dan panjang pada
suku kata yang jatuh pada hitungan guru dirgha.
3) Guru Pluta
Guru Pluta bermakna suara guru yang beralun. Bila suku kata
suatu baris Kakawin jatuh pada hitungan guru dirgha, maka
pembaca wajib melagukannya dengan suara berat, panjang
dan beralun.
4) Guru Bhasa
Istilah guru bhasa terdiri atas dua kata yaitu kata guru yang
berarti suara berat, panjang dan beralun dan kata bhasa yang
berarti bahasa. Jadi Guru Bhasa artinya suara berat, panjang
dan beralun yang jatuh pada suku kata tertentu,walaupun
suku kata tersebut bukan merupakan suku kata terakhir dari
baris Kakawin yang dibaca. Pada suku kata ini, pembacaan
dihentikan sementara untuk disambung dengan terjemahan
oleh penerjemah (pemawos). Jadi singkatnya guru bhasa
adalah suara guru yang jatuh pada suku kata yang sudah
memiliki satu kesatuan tafsir makna.Guru bhasa boleh jatuh
2) Bahasa Śloka
Śloka menggunakan bahasa Sanskerta. Bahasa Sanskerta
dalam kitab Aṣṭadhyāyi oleh Panīni disebut dengan deivīvāk yaitu
bahasa para dewa, hurufnya bernama Devanāgarī yang berarti
Alam Kedewaan. Bahasa Sanskerta dalam kesejarahannya bukan
bahasa manusia. Bahasa Sanskerta adalah bersifat kedewaan,
bahasa para dewa (Sanskṛtam nāma daivi-vāk), demikian
dijelaskan oleh para maharsi (Anvakhyata mahārṣibhiḥ).
Bahasa Sanskerta jika diucapkan dan diperdengarkan akan
menumbuhkan sifat-sifat dewa dalam diri orang.
3) Bentuk Śloka
Ada dua jenis bentuk śloka sesuai pembacaan Veda, yaitu :
Padapāṭha dan Saṁhitāpāṭha. Paṭapāṭha adalah pembacaan
setiap kata pada setiap baris dengan jelas dan terang. Pembacaan
dengan di-saṁdhi-kan (digabung /ditemukan antara kata yang
satu dengan yang lain) disebut Saṁhitāpāṭha.
4) Membaca Śloka
Dalam membaca Śloka harus memperhatikan cara
membaca dan mengucapkan huruf-huruf Devanāgarī sebagai
berikut.
5) Guru Laghu
Śloka dibaca dengan mempertimbangkan guru laghu.
Berdasarkan Veda Pratisakhya oleh Paṇḍita Gaṅgadasa
menyatakan suku kata yang disebut guru sebagai berikut.
6) Irama Śloka
Umat Hindu Indonesia membaca Śloka dengan irama
yang khas yaitu irama Śruti (reng mantra). Irama śruti telah
disepakati secara nasional seperti dalam Utsawa Dharmagītā
Nasional. Pengambilan suara biasanya di pangkal kerongkongan
disebut dengan angkus prana. Suara kedengaran bergema ke
dalam, seperti dengungan kumbang yang sedang mengisap sari
bunga (Bramara angisep sari).
Reng (irama) Śloka kalau diperhatikan sulit dipisahkan
antara laras pelog dan selendro, tetapi lebih banyak presentasenya
ke laras pelog, apabila Śloka itu mengambil nada irama Śruti
ngwilet (panjang).
Berdasarkan pengamatan artikulasi suara dalam dharmagītā
ada 3 yaitu: 1) Suara nantia yaitu suara yang berartikulasi di
ujung lidah (tungtunging jihwa) untuk menyanyikan sekar
alit atau geguritan (pupuh); 2) Suara madya yaitu suara yang
berartikulasi di bagian tengah lidah (madhyaning jihwa)
untuk menyanyikan sekar madya (kidung); dan 3) Suara yang
berartikulasi di pangkal lidah/kerongkongan (bungkahing jihwa)
untuk sekar agung (kakawin, palawakya) suara angkus prana
untuk menyanyikan śloka, dan mantra.
Pengucapan huruf murdhanya (ṭa, ṭha, ḍa, ḍha dan ṇa)
dan vokal perubahan (ḥ/ah) belum diberlakukan sebagaimana
kaidah bahasa Sanskerta dalam menyanyikan irama śloka baik
utsawa membaca dan menghafal, namun huruf anusvara (ṁ/em)
diucapkan sebagaimana mestinya.
7) Contoh Śloka
Beradasarkan jenis bahasa Sanskerta yang digunakan
dalam teks śloka dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
7.1 Pengertian
Menerjemah berarti berkomonikasi. E. Sadminto dalam
bukunya Pedoman Menerjemah, menjelaskan bahwa apa yang
kita terjemahkan harus dapat dimengerti oleh orang-orang yang
akan membaca hasil terjemahan itu. Akan lebih baik lagi kalau
para pembaca itu nanti dapat mengerti dan menikmati hasil
terjemahan itu tanpa merasa bahwa karya itu sebenarnya adalah
hasil terjemahan.
Menerjemah adalah menyampaikan berita yang terkandung
dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima supaya isinya
benar-benar mendekati aslinya. Dengan kata lain, makna dan
gaya terjemahan haruslah serupa. Maksudnya penerjemah harus
berusaha menghasilkan terjemahan yang sama artinya dengan
karangan aslinya dan bukan terjemahan yang meniru bentuk
aslinya.
1) Jaman Mataram.
Abad X adalah tahapan paling awal yang disepakati sebagai
tonggak kesejarahan bahasa Kawi (prasasti Sukabumi), demikian
pula dalam hal sastranya. Pada abad ini pusat kekuasaan politis
dan kehidupan kebudayaan terdapat di Jawa Tengah, sekitar
tahun 930 M. Pusat itu bergeser kearah Timur. Pada jaman ini
yang memerintah Mataram adalah Mpu Sindok (929-962 M).
Tahun 1016 Masehi. Disebut-sebut dalam prasasti bertahta di
Jawa Timur (di lembah Kali Brantas). Mataram runtuh maka
tamatlah riwayat Sindok. Kitab Sang Hyang Kamahayanikan
yang memuat ajaran Budha Mahayana adalah kitab yang di tulis
pada masa itu.
2) Jaman Kediri.
Dharmawangsa Teguh yang masih merupakan keturunan
wangsa Sindok, amat gemar akan kebudayaan, khususnya
kesusastraan. Pada jaman ini diketahui raja menjadi pelindung
suatu proyek besar : “mangjawakên Byasamata” atau
membahasa Jawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa. Bhagawan
Byasa adalah pengarang Mahābhārata atau Aṣṭadaśa Parwa (18
parwa). Di samping itu pada jaman itu dilakukan pula kegiatan
membahasa Jawakan ajaran Walmiki. Uttarakaṇḍa sebagai kaṇḍa
ketujuh yang membangun Rāmāyana diketahui ditulis pada
masa itu. Dharmawangsa Teguh tampaknya menaruh perhatian
besar pada sastra-sastra yang mengandung ajaran agama Hindu
tersebut.
3) Jaman Majapahit.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan besar, selama abad XIV-
XV, di bawah pemerintahan raja Hayam Wuruk mencapai
puncak kejayaannya. Kekuasaannya mencapai seluruh pulau
yang ada di Nusantara. Pada masa ini kebudayaan berkembang
dengan suburnya dan sangat besar karya sastra yang dihasilkan
antara lain : kakawin Arjuna Wijaya dan Sutasoma (karya
Mpu Tantular), Nagarakretagama adalah sebuah kakawin yang
merekam kisah perjalanan Hayam Wuruk (karya Mpu Prapanca),
Wrêttasañcaya, Śiwarātrikalpa, Patibrata, Banawa Sêkar (karya
Mpu Tanakung)
4) Jaman Gelgel.
Setelah jaman Majapahit kehadiran pulau Bali menjadi
sangat penting dalam perkembangan kesusastraan Hindu di
Indonesia. Pulau Bali disamping sebagai penyelamat naskah-
naskah Jawa Kuna tetapi juga sebagai tempat pembinaan,
t) w slisu; mn \Ö y pu ro kÊ t to p ti nU t/,
Tĕwa salisuh manangśaya purā kṛta tāpa tinūt.
(=Mapikolih tan rahayu, anake tan ngega purwa karma punapi
sane patut tinutin; = Hasailnya penat jua mengkhawatirkan
karma dahulu kala, apa pula yang diikuti)
tn Ùi s Êà tI s \Ð niK* hyunÓ) k ,
Tanwismṛti sangkanikāng hayun têka.
(=Nenten lali ida ring panangkan kerahayuanne rawuh; =
Beliau selalu ingat bahwa anugrah itu datang dari arah itu)
sR g s* S au sierk tU tn ,
Sarāga sang sādhu sireka tūtana,
(=Kateleban ida sang ngupadi rahayu ida punika patut tinutin;
= Ketekunan orang yang mengusahakan keselamatan patut
diteladani)
tn(q tn/K m piedonê tn/ y] ,
Tanartha tan kāma pidonya tan yaśa,
(=Nenten mamuatang artha nenten mamuatang kama taler
sane kasadhyayang boya yasa; = Bukan harta, bukan kama
dan bukan ketenaran yang dipentingkan)
y]kÓi s* sjé n a(mß R k×k >
Ya śakti Sang Sajjana dharmma rākṣaka.
(=Mungwing gagemet ida sang ngupadi rahayu wantah
dharmane kagambelan kabecikan pisan; = Karena tujuan
utama bagi orang yang mengusahakan keselamatan
berpegang teguh pada kebajikan) (Rāmāyana)
LU
MK U
T SIR K li ;SMUNMnIT NM
,
Lumaku ta sira kālih sāmpunamwit manêmbah ,
(Memargi ida sang kalih sesampunne mapamit miwah
mangabhakti; = Berjalanlah Beliau berdua sesudah
menyembah minta diri)
MMWT SIRL l P
S Sl OR J,
Mamawata sira langkap astra sanghāra rāja ,
(=Makta ida gandewa senjata pangeleburan jagat; = Beliau
membawa busur dan panah penghancur Dunia)
1,tkitkin&eswkwidê,
1. Taki-takining sewaka guna widya.
(=Sekantunne dados sisya patut melajah kaweruhan sane
mautama; =Seorang pelajar wajib menuntut pengetahuan
dan keutamaan).
sßrwi[y rÙ*puluhi\yusê,
Smara - wiṣaya rwang puluh ing ayusya.
(= Yening sampun mayusa duangdasa tiban patut ngelaran
grehasta asrama; =Jika sudah berumur dua puluh tahun
orang harus kawin).
w[itnimitÓnÓ ptikp\á¡;,
Waṣita nimittanta pati kapangguh.
(= Sangkaning bawos idewa prasida ngamangguhang pati; =
Oleh perkataan engkau akan mendapat kematian).
w[itnimitÓnÓmn)muduhÐ,
Waṣita nimittanta manêmu duhka.
(= Sangkaning bawos idewa prasida ngamangguhang
kaduhkan; = Oleh perkataan engkau akan mendapat
kesusahan).
3,ms)pitik*wokÓÉtnmuc* wÙ*,
Masêpi tikang waktra tan amucang wwang.
ms)pitik*ew]ß tnnputÉ,
Masêpi tikang weśma tan ana putra.
(= Wantah sekadi suung umahe utawi geriane yening nenten
wenten anak alit; = Menjadi sepi atau lengang di rumah
yang tiada anak-anaknya).
ms)pitik*ed]tnnmukê,
Masepi tikang deśa tan ana mukya.
(=Wantah sekadi suung desane yening nenten wenten
prajuru; = Serba sepi desa yang tidak ada kepalanya).
s)pinikn*tÎíopupuli\n(q>
Sêpinikanang try āpupul ing anartha.(Nīti Śāstra,V.1,3&4)
(= Maka tetiga suung punika prasida dados tunggal sane wenten
ring sang sane nenten maderbe artha utawi jinah; = Tiga kesepian
itu dijadikan satu terdapat pada orang yang tiada beruang.
1,ymrikubpemw);\mã)k/yowtinulurn/,
1. Ya mariku bapa mewêh ngambêk yāwati nuluran,
(=Inggih punika cening ngeranaang keweh yening indriane
setata kaulurin;=Ya itulah anaku menyusahkan kemauan itu
kalau selalu dituruti)
pinkhlnik*rot/ynÉegophÊtjug,
Pinaka hala nikang rāt yan ragopahṛta juga,
(= Pinaka jalarang kawon jagate mawinan asapunika patut
tuhurwwuheykon/ddêon& dÊari\iwk/,
Tuha rawa wuhayekān dadyāning dṛdha ringiwak,
(= Bendegane prasida jagi manumitis dados buaya duaning
ipun seneng ring mina; = Nelayan yang ahli menjadi buaya
itu penjelmaan orang yang senang kepada ikan)
sktili\ni\mã)kÓn/wêrÔonÑdikpitUt/,
Sakatilingani ngambêk tan wyarthān dadi kapitūt,
(= Sehananing kaulêngan ring pikayunan nenten lempas
janten pacang kapangguhang; = Segala yang diingat
memusat dalam pikiran tidak sia-sia pasti akan menjadi
keyataan)
pse\êogrignÒlnuæ)krerok\in/lnÓw*,
Pasangyoga rigandha lan sêkar arok angin lan tawang,
(= Wantah satunggil kadi gandha (bo) sareng isekar, dados
asiki mecampuh angine ring akasa; = Bersatu keadaan bau
dengan bunga bercampur angin dengan angkasa)
1 , Átrimuli;nir*nkul]lêrZÇ krisuk×)k\Àtit)Z u ;,
1. Atha ri mulih nirang Nakula śalya rañca kari sukṣêkang
hati têñuh,
(=Keceritayang mangkin ring sapepamit Sang Nakula, Ida
Sang Salya sungsut pikayunan, dekdek remuk ring adnyanan
Ida ; =Diceritakan pada waktu pulangnya Sang Nakula Sang
salya dalam kebingungan ditinggalkan susah hatinya remuk)
1 ,úmrihÀri;guepnir ner]ÙripÎihtienos h\uæhluem,
Umarih arih gupenira nareśwari prihatinosahangsahalume,
(Meseneng-seneng kesungsutan kahyun Ida Dwagung
Putri ring kahanan kesedihan miwah osah saha kaleson
kawenten Ida; = Menghibur kelesuannya sang raja Putri,
dalam kehadaan dukacita dan gelisah menarik narik nafas
melesukan diri)
sÙ\gigu tnuæek w)di nier*ptI s)a%\ s*nernÑÎp)jh,
Swangagigu tan sake wêdi nireng patī sêdhênga sang
narendra pêjaha,
(=Setata Ida osah ring pikayunan baya sangkaning jejeh
ring seda, sakewanten asapunapi rabin Ida rikalaning Seda;
= Selalu merasa bingung bukan karena takut beliau itu akan
kematian namun pada waktu Sri Baginda mencapai wafat)
L
Lumampah = berjalan lapā = lapar
(lampah + um)
len = lain lwir agni = sebagai api,
laksana api
līna = lenyap lapā = lapar
lara = susah, sakit lalêr lalu = lalat hijau
linakwakên = dijalankan lumiyat = melihat
(laku + in + akên) (liyat + um)