Anda di halaman 1dari 12

ETIKA DI TEMPAT SUCI

MENURUT LONTAR KRAMAPURA

Oleh :
Putu Maria Ratih Anggarini
Dosen STAHN Mpu Kuturan

Abstrack

Pesatnya arus globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan umat Hindu dalam berperilaku.
Tidak jarang umat Hindu terjebak dalam perilaku yang tidak sesuai dengan sesana sebagai Hindu,
sehingga mempengaruhi perilaku yang menyimpang. Fenomena umat Hindu mengenakan busana
ke kuil, jumlah operasi perjudian di piring Pura adalah perilaku menyimpang yang tidak sesuai
dengan sesana sebagai umat Hindu. Jadi perlu digali pedoman untuk berperilaku bagi umat Hindu.
Salah satu pedoman untuk berperilaku di kuil adalah Naskah Lontar Kramapura. Naskah naskah ini
adalah sejenis papirus Sesana yang berisi ajaran perilaku untuk menjaga kesucian candi. Naskah
Lontar ini menguraikan ajaran dan larangan yang tidak diizinkan jika Anda ingin memasuki bait
suci. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam Lontar Kramapura ini (1) Doktrin menjaga kesucian
Pura dimana doktrin ini memuat tugas untuk para pengempon dan pemaksan Pura untuk menjaga
kekudusan tetap terjaga. (2) Ajaran Sesana Pemangkuan, dalam doktrin ini memuat kewajiban
para pemangku kepentingan sebagai Pangempon Pura dalam menjaga kesucian dan kesakralan
candi melalui peningkatan jnana dengan kewajiban belajar sesana menjadi pemangku. Naskah
Lontar Kramapura ini juga memuat pembatasan tempat-tempat suci seperti (1) Berbagai macam
persembahan yang tidak boleh diletakkan di kuil, (2) Larangan bagi orang memasuki kuil seperti
untuk pria yang sedang menstruasi, cuntaka dan lain-lain. (3) Larangan bagi orang yang berperilaku
buruk seperti mengaku kerauhan, mencuri di kuil, mengatakan bahwa tidak baik di kuil, orang
yang berperang di kuil, dan berperilaku yang tidak tahu sopan santun.

Kata kunci: Etika di tempat suci, lontar kramapura

Abstrack

The rapid flow of globalization has changed the order of life of Hindus in behaving. Not
infrequently Hindus are trapped in a behavior that is not in accordance with sesana as Hindu, so it
affects the behavior that deviates. The phenomenon of Hindus dressed in fashion to the temple, the
number of gambling operations in the plate of Pura is a deviant behavior that is not in accordance

* Putu Maria Ratih Anggraini., S.Fil.H. M.Fil.H Dosen di Prodi Teologi Hindu STAH N Mpu Kuturan Singaraja

JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019 35


with sesana as Hindus. So it needs to be explored guidelines to behave for Hindus. One of the
guidelines for behaving in the shrine is the Lontar Kramapura Manuscript. This manuscript text
is a type of papyrus Sesana that contains the teachings of behavior to maintain the sanctity of the
temple. This Lontar Manuscript outlines the teachings and prohibitions that are not allowed if you
want to enter the temple. The teachings contained in this Lontar Kramapura (1) The doctrine of
preserving the sanctity of the Pura where this doctrine contains the duties for the pengempon and
pemaksan Pura to keep the holiness is maintained. (2) The Doctrine of Sesana Pemangkuan, in this
doctrine contains the obligations of stakeholders as Pangempon Pura in maintaining the sanctity
and sacredness of the temple through the improvement of jnana with the obligation to learn sesana
become Pemangku. This manuscript of Lontar Kramapura also contains restrictions on holy places
such as (1) Various kinds of offerings that should not be placed in the temple, (2) Prohibition for
people entering temples like for men who are menstruating, cuntaka and others. (3) Prohibition for
people who behave badly like confessing kerauhan, stealing in the temple, saying that is not good
at the temple, people who fight in the temple, and behave that do not know the courtesy.

Keywords : Ethics in a holy place, lontar kramapura

I. Pendahuluan acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara


dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara
Ajaran agama Hindu dibangun dalam
ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari
tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan
suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara
acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan
(eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang
integral yang tak terpisahkan. Tattwa adalah aspek
dipersembahkan dalam upacara keagamaan.
pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang
Perkembangan arus teknologi telah
harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat
mengubah tatanan prilaku umat beragama,
terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan.
terkadang umat lebih menonjolkan upakara
Susila adalah aspek pembentukan sikap
dibandingkan tattwa dan etika, padahal ketiga
keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku
hal tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama
yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan
lainnya. Dalam fenomena keberagamaan Hindu
dan kebijaksanaan, wiweka jnana. Sementara itu
di Bali, acara agama tampaknya lebih menonjol
aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran
dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama
agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara
yang seringkali juga disebut upacara atau ritual
sebagai wujud simbolis komunikasi manusia
keagamaan merupakan pengejawantahan dan
dengan Tuhannya. Acara agama adalah wujud
tattwa dan susila agama Hindu. Acara agama
bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa
meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan
dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya

36 JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019


bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang ibu-ibu yang melek tren kadang mereka ingin
Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. memamerkan pakaian yang mahal, serba mewah
agar mendapat perhatian dari umat yang lainnya.
Fenomena yang lain adalah maraknya
Fenomena ini Jika dikaitkan dengan Tri Kerangka
pakaian yang kurang sopan bagi generasi muda
Agama Hindu tentu sudah bertentangan khsusunya
dalam melaksanakan persembahyangan ke Pura.
hal yang berkiatan dengan etika. Fenomena-
Ini merupakan tanda bahwa nilai-nilai etika umat
fenomena yang lain masih banyak yang terjadi
Hindu mulai terkikis. Bukan berarti agama Hindu
seperti masih banyaknya judi dibeberapa Jabaan
menolak modernisasi atau menolak modifikasi,
Pura, kesucian pura kurang terjaga dan hal-hal
namun sebagai penganut agama Hindu yang benar
lain yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat
harus bisa menempatkan dimana seharusnya
dan mereka menganggap hal itu biasa saja. Jika
modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan,
tindakan-tindakan yang kecil tersebut tetap
kalau tidak begitu bila semua berpakaian
dibiarkan maka prilaku yang menyimpang akan
modifikasi sampai pemangku bermodifikasi
terus berkembang.
bagaimana jadinya suasana di Pura. Pada zaman
sekarang ini kurangnya minat generasi muda Dalam berbagai teks bahkan dalam Weda
(yowana) khususnya dari kalangan dehe (gadis) pedoman berprilaku sudah sangat jelas diatur
untuk memakai tata rias rambut model sanggul, khususnya etika yang berkaitan dengan larangan-
termasuk menatanya dengan model pepusungan, larangan untuk berprilaku di Pura, namun tidak
juga amat jarang ditemukan. Umumnya kalangan banyak masyarakat yang mengetahui larangan-
wanitanya, lebih banyak menata rambutnya larangan tersebut, terlebih-lebih yang belum
dengan cara membiarkan rambutnya terurai
pernah mendalami Weda. Umat Hindu di Bali
(megambahan), baik dengan potongan rambut
memiliki naskah yang berisi tentang aturan-
pendek ataupun rambut panjang. Mereka juga
aturan bagi umat Hindu terkiat dengan etika dan
biasanya menggunakan berbagai jenis ikatan di
larangan memasuki Pura, aturan tersebut tertulis
bagian belakang seperti gelang karet, ada juga
dalam naskah lontar yang dikenal dengan Lontar
yang menggunakan pita pengikat atau bando
Kramapura. Naskah lontar ini berisikan tentang
dengan variasi hiasan warna-warni. Sedangkan
ajaran-ajaran Sang Hyang Dewa Sasasana yaitu
untuk kalangan prianya, dalam tata rias rambut,
tentang tata cara orang masuk pura, tata cara
mereka cenderung tampil apa adanya tanpa
menghaturkan sesajen serta larangan-larangan
sentuhan penataan salon kecantikan. Hanya saja
bagi umat yang ingin memasuki Pura. Keberadaan
karena terpengaruh model punk, cukup banyak
naskah lontar ini tidak banyak yang mengetahui
anak-anak muda yang menyisir rambutnya dengan
sehingga perlu dilakukan penelusuran lebih jauh
model acak-acakan.
mengenai isi naskah ini sehingga bisa dijadikan
Tidak jarang hal yang serupa juga terjadi pedoman oleh umat Hindu dalam berprilaku
bagi kalangan generasi tua khususnya bagi ditengah-tengah derasnya pengaruh globalisasi.

JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019 37


II. Pembahasan sadur oleh I Dewa Ayu Puspita Padmi, dari
2.1 Gambaran Umum Teks dan Sinopsis Amlapura, pada hari minggu umanis merakih,
Naskah Lontar Kramapura tanggal 31 mei 1998.
2.1.1 Gambaran Umum Teks

Naskah Lontar Kramapura yang dial- 2.1.2 Sinopsis/Ringkasan Naskah Lontar


ihaksarakan ini adalah lontar yang ditulis oleh Kramapura
Putu Mangku dari Banjar Jro Dikit Seririt pada
Pada bagian awal Naskah Lontar Kra-
Tahun Saka 1919 (1997 M). Lontar Kramapura
mapura ini berisikan tentang ajaran Sang Hyang
tergolong naskah muda karena dilihat dari baha-
Dewa Sasana melalui sabda. Yang pertama dise-
sa yang dipakai sebagai wahananya yaitu bahasa
butkan adalah kewajiban sebagai pengempon Pura
Kawi-Bali. Naskah Lontar ini tersimpan di Kantor
yang harus mematuhi aturan berupa ajaran Tri-
Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi
wikrama. Triwikrama dari asal katanya terdiri dari
Bali. Lontar yang disimpan di Kantor Pusat Do-
kata Tri artinya tiga, Wi artinya yang dijunjung,
kumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi Bali di-
Krama artinya perbuatan, Dharma artinya takdir,
simpan di kropak dengan kode H/XI/DISBUD.
Gama artinya pegangan, Tirtha artinya dengan air
Naskah Lontar Kramapura ini ditulis pada lontar
suci, Tirtha juga artinya kehidupan. Selanjutnya
yang memiliki panjang 34,5 cm dan lebar 3 cm
pada alenia berikutnya berisikan tentang krete-
tersedia dalam bentuk lontar dan terjemahan.
ria alat-alat atau sesajen yang dianggap kontor/
Naskah Lontar Kramapura yang
cemer seperti diantarnya dilangkahi oleh anjing,
disimpan di Kantor Pusat Dokumentasi Dinas
dan dilangkahi oleh manusia, dipakai mainan oleh
Kebudayaan Propinsi Bali telah dialihaksara dan
anak-anak, dan barang belanjaan di pasar sehing-
dialihbahasakan atau diterjemahkan. Pemilihan
ga perlu disucikan oleh Pendanda melaui Tirta
Naskah Lontar Kramapura yang diperoleh
Pabersihan.
dari Kantor Pusat Dokumentasi Propinsi Bali
Selanjutnya pada alenia berikutnya ber-
adalah dalam bentuk salinan teks untuk lebih
isikan tentang hasil alat-alat yang telah sudah
memudahkan dalam mengkaji dan memahami
disucikan dengan tirta dan layak untuk dijadikan
maksud yang terkandung di dalamnya. Lontar ini
sesajen kembali, selanjutnya jika di Pura mene-
termasuk Lontar Sesana, yang lebih mengkhusus
mukan orang kesurupan dan mengaku dewa yang
pada tata cara masuk tempat suci.
turun, maka perlu dites dengan sarana-sarana un-
Naskah Lontar Kramapura secara tekstual tuk mengetahui kebenaran dari orang kesurupan
merupakan naskah tradisional yang mengandung tersebut. Selanjutnya pada bait berikutnya ter-
tata cara berprilaku dan laranagan-larangannya dapat larangan bagi orang haid memasuki pura
memasuki Pura. Lontar ini disusun dalam bentuk maka sepatutnya dihukuman dengan didenda se-
teks menggunakan Bahasa Kawi Bali dengan besar 179 kepeng, dan harus melakukan peyucian
Bahasa Indonesia sebagai penjelasannya. Naskah di pura itu.

38 JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019


Selain itu, orang yang tidak boleh masuk jiban pemangku yang harus mempelajari tata cara
pura adalah orang gila, orang yang menstruasi, pelajaran Sangkul Putih. Juga disebutkan tentang
orang cuntaka karena kematian, pencuri. Di are- kewajiban-kewajiban bagi Jro Mangku didalam
al pura, orang dilarang untuk marah sampai me- Pura seperti harus melakukan bersih-bersih ter-
maki-maki, bicara ngacuh, bersanggama, berse- masuk ajaran Jro Mangku yang tidak boleh ser-
lingkuh, bahkan untuk memperbaiki pakaian. akah. Pada bagian akhir lontar ini berisikan ten-
Yang paling dilarang masuk pura adalah orang tang upaya penyucian jagat bila terajadi keanehan
panten (orang yang dosanya tidak terampuni), di dunia seperti yang disebutkan ciri-cirinya oleh
yaitu orang yang memperkosa, yang laki-laki Lontar Widhi Sastra Sangarabhumi, serta Lontar
dari golongan sudra sedangkan wanitanya dari Prakempaning Jagat.
golongan tri wangsa (brahmana, ksatriya, wesya).
Orang yang mengawini yang tidak patut dikawini 2.2 Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Nas-
(gamia-gamana) juga dilarang masuk pura. Ada kah Lontar Kramapura
juga yang disebut caci/aka, yaitu seorang wanita
Secara umum Naskah Lontar Kramapura
yang telah cukup umur namun tidak menstruasi,
ini berisikan ajaran etika atau sesana dalam men-
walaupun sudah berobat pun juga tidak menstru-
jaga kesucian Pura. Lontar ini banyak mengulas
asi, dilarang masuk pura lebih-lebih untuk mem-
tentang larangan-larangan bagi umat Hindu yang
buat perlengkapan sesajen
boleh atau tidaknya untuk memasuki Pura. Secara
Selanjutnya berisikan tentang aturan-atur- umum lontar ini berisikan ajaran-ajaran sebagai
an orang cuntaka akibat kematian baik cuntaka berikut :
akibat kematian keluarga ngarep hingga kematian
Jro Mangku di desanya. Dalam lontar ini juga ber-
2.2.1 Ajaran Menjaga Kesucian Pura
isikan tentang hukuman dan larangan bagi pencuri
di Pura baik yang dilakukan oleh orang yang nor- Dalam Naskah Lontar Kramapura ini juga
mal ataupun orang gila. Lontar ini juga mengatur berisikan tentang kewajiban menjaga Kesucian
tentang larangan orang memaki-maki atau berbic- Pura. Menurut Titib Kawasan Suci adalah suatu
ara yang tidak sesuai dengan norma kesopanan wilayah yang melengkapi bangunan suci maupun
di Pura. Lontar juga mengatur orang-orang yang wilayah pendukung kegiatan pada bangunan suci
bersetubuh di Pura mengenai hukuman dan akibat tersebut yang telah mendapatkan upacara “Bhu-
dari prilakunya tersebebut. Lontar juga mengatur mi Sudha” yaitu upacara untuk menarik kekuatan
bagi orang yang suka menduduki palinggih yang Ida Sanghyang Widhi dan menghilangkan segala
ada di Pura, jika hal tersebut dilakukan maka akan kekotoran secara spiritual terhadap wilayah/ka-
mendapatkan hukuman. wasan suci tersebut, seperti, danau, hutan, laba
pura, mata air suci (beji), sungai, jurang, ngarai
Lontar ini juga mengatur larangan-laran-
atau campuhan (pertemuan sungai), pantai, setra
gan bagi Jro Mangku dalam melakukan sesane
dan perempatan agung (Titib, 2000 : 76). Dalam
nya sebagai orang suci, seperti misalnya kewa-
Naskah Lontar Kramapura secara jelas disebut-

JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019 39


kan tentang upaya-upaya yang harus dilakukan knya mengetahui ajaran Dewa Tattwa dan men-
untuk tetap menjaga kesucian Pura seperti pemili- jalankan ajaran Triwikrama yang terdiri dari kata
han sarana bebantenan yang harus terlebih dahulu Tri artinya tiga, Wi artinya yang dijunjung, Krama
dibersihkan dengan tirta, jika hal tersebut belum artinya perbuatan, Dharma artinya takdir, Gama
dilakukan maka srana bebantenan tersebut belum artinya pegangan, Tirtha artinya dengan air suci,
dianggap suci, selanjutnya upaya yang lain adalah Tirtha juga artinya kehidupan. Pengempon Pura
memproteksi orang-orang yang memiliki pikiran memiliki kewajiban menjaga agar kawasan Pura
yang kurang baik jika memasuki Pura. tersebut tetap bersih.

Didalam Lontar ini juga dituliskan up-


aya-upaya untuk menjaga kesucian Pura bagi 2.2.3 Ajaran Sesana Kepemangkuan
orang-orang yang ingin berbohong di Pura den- Ajaran tentang sesana kepemangkuan
gan mengatasnamakan Dewa yang turun atau yang termuat dalam Naskah Lontar Kramapura
yang disebut dengan kesurupan. Dalam ini dise- seperti tentang tata cara memilih pemangku, jika
butkan sarana untuk mengetes apakah memang berdasarkan keturunan maka yang berhak untuk
benar para dewa yang bersembahyang ditubuhn- menggantikan adalah anak laki-lakinya namun
ya atau hanya mengada-ada. Menurut lontar ini sebelumnya harus melakukan upacara penyucian
yang digunakan sebagai sarana adalah dengan berupa pelaksanaan pawintenan tri guna serta
cara membuat api dari betok kelapa, lalu celup- dirajah oleh sulinggih atau siwa yogi. Dalam
kan kedua tanganya, dengan lama sama dengan konsep kepemangkuan secara umum syarat-syarat
orang makan daun sirih, namun disertai dengan untuk menjadi pemangku atau pinandita adalah
sesajen, di depan pura itu, bila ia tidak terbakar memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai
oleh api, memang benar dewa yang bersemayam ilmu pengetahuan suci Weda serta memiliki sifat
pada dirinya, bila ia terbakar oleh api, tidak be- yang arif dan bijaksana.
nar dewa yang bersemayan pada dirinya, itu tidak
patut dikenakan denda dan penyucian kahyangan Secara umum Pemilihan dan penetapan
itu. Demikianlah tata cara menjaga kawasan Pura seorang Pemangku (Pinandita) yang akan
agar tetap suci dan terhindar dari cemer/kekoto- ditugaskan di suatu Pura pada umumnya diambil
ran. dari para penyungsung pura yang bersangkutan.
Tata cara pemilihan dan penetapan Pemangku
Didalam lontar ini disebutkan secara men-
(Pinandita), antara satu pura dengan pura yang
detail ajaran tentang tata cara dan kewajiban se-
lain tidak selalu sama. Ada beberapa cara yang
bagai Pengempon Pura. Jika dilihat secara umum,
ditempuh dalam memilih dan menetapkan
sebuah Pura bisanya di Empon oleh sekelompok
Pemangku (Pinandita) antara lain :
orang yang terikat dalam wadah baik berupa Da-
dia, Desa Pakraman ataupun Treh/Keturunan. Da- a) Ditetapkan berdasarkan keturunan dari Pe-
lam lontar ini disebutkan jika orang mendapatkan mangku (Pinandita) sebelumnya.
kewajiban sebagai pengempon Pura maka henda- b) Melalui pemilihan.

40 JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019


c) Dengan cara nyanjan atau matuwun. Dalam Naskah Lontar Kramapura ini
d) Dengan cara lekesan atau sekar. juga disebutkan tentang kewajiban-kewajiban
yang harus dilakukan oleh Pemangku Pemak-
san Pura diantaranya Pemangku harus melaku-
Dalam pemilihan dan penetapan
kan kewajiban dengan baik baik di pura seperti
Pemangku (Pinandita) tersebut, cara manapun
melakukan bersih-bersih, membersihkan sampah
yang ditempuh pada dasarnya unsur ketulusan dan
di pura, dan Pemaksan Pura berkewajiban untuk
kesepakatan diantara para penyungsung pura itu
membantu Pemangku dalam menjalankan kewa-
sangat menentukan dan perlu diperhatikan agar
jibannya. Pemangku juga diharapkan tidak boleh
jangan sampai terjadi sengketa yang menyangkut
serakah terkait dengan segala hasil di Pura. Bila
Kepemangkuan (Kepinanditaan) itu sendiri. Oleh
ada orang yang membayar kaul, hasilnya patut di
karena Pemangku (Pinandita) dalam tugasnya
bagi tiga, Pemangku sepertiga, pemaksan seper-
sehari-hari di pura sangat erat kaitannya dengan
tiga dan orang yang berkaul sepertiga. Bila Pe-
hal-hal kesucian, maka perlu didukung dengan
mangku serakah, seperti mengambil bagian hasil
sikap yang tulus ihklas berlandaskan yajna,
semuanya, maka Pemangku tersebut berhak ber-
antara yang ditugaskan sebagai Pemangku
hentikan menjadi Pemangku, karena telah meny-
(Pinandita) maupun yang memilih atau yang akan
impang prilakunya, yaitu tidak sesuai sesana se-
menggunakannya. Dengan landasan ketulusan
bagai seorang Pemangku. Jika di Pura ada krama
hati itu, akan dapat mendukung kemantapan
yang mengaturkan wastra (pakaian pelinggih)
pelaksanaan tugasnya nanti.
patut diterima oleh Pemaksan dan Pemangku dan
Dalam Naskah Lontar Kramapura juga berkewajiban untuk membersihkan, menjaga agar
disebutkan tentang sesana pemangku yang tidak rusak, atau hilang, karena wastra (pakaian
hendaknya harus mempelajari tata cara pelajaran pelinggih) sudah menjadi milik hyang widhi.
Sangkul Putih serta mantra-mantra pemujaannya. Pemangku juga diharapkan tidak boleh
Pemangku juga diharapkan mampu melakukan bande atau tidak mau mengakui kesalahan serta
pabersihan serta paham tentang tata cara pemujaan memiliki perasaan yang iri hati dengki, berpikir
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pemangku jahat, dan jahil kepada orang di desa, karena Pe-
juga diharapkan selalu berpakain bersih dan mangku seharusnya selalu menjungjung Hyang
menghindari prilaku yang jorok seperti berpakain Widhi, hendaknya pikiran selalu diarahkan pada
kotor, belum mandi, belum gosok gigi, belum kebenaran, agar selalu mendapatkan keselamatan
keramas dan lain sebagainya. Jika hal-hal tersebut dari Hyang Widhi. Pemangku juga diharapkan se-
belum dilakukan pemangku tidak diperbolehkan lalu setia pada pura Bujangga, bhu artinya bumi,
untuk menaiki/ Napak pelinggih untuk ja artinya pikiran, ngga artinya badan jasmani.
menghaturkan sesajen apalagi melayani umat. Bhuja artinya tangan, ngga artinya badan atau
Jika hal itu terjadi berulang kali maka pemaksan pikiran. Pemangku sebagai kaki tangan Hyang
atau pengemong Pura dapat memberhentikannnya Widhi, hanya Pemangku yang boleh mewujudkan
menjadi Pemangku. perwujudan Hyang Widhi di dunia, itulah sebabn-

JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019 41


ya Pemangku disebut sebagai Bhujangga Dewa. dipakai mainanan oleh anak-anak, perlengkapan
Jika disebut sebagai Bhujangga Danghyang maka banten yang diterbangkan oleh ayam, dikenai oleh
beliau adalah sang sulinggih, beliau yang mewu- rambut, dikenai bedak, terkena ludah, banten yang
judkan Hyang Widhi di dunia, jika orang disebut dibuat oleh orang yang sedang berdahak, orang
sebagai Bhujangga Kreta maka beliau adalah yang dalam keadaan kotor atau belum mandi. Jika
para peminpin yang telah menjalankan kewajiban dalam keadaan seperti diatas maka banten atau
untuk menjaga ketentraman dunia, beliau ada- srana dari banten tersebut dianggap kotor dan
lah pemimpin yang kuat dalam melindungi mas- belum layak dijadikan banten dan dihaturkan di
yarakatnya. Pura.

Dalam naskah ini juga disebutkan


jika menemukan banten atau srana banten
2.3 Larangan-Larangan di Tempat Suci
dengan kondisi diatas maka sebelum dilakukan
menurut Naskah Lontar Kramapura
pabersihan oleh Sulinggih maka banten tersebut
Secara umum kesucian pura meruapakan belum boleh dihaturkan di Pura. Bahkan sebelum
tanggungjawab seluruh pamedek yang ngempon dibersihkan dengan tirta oleh sulinggih maka
pura tersebut. Namun secara spesifik tanggung persembahan tersebut tidak akan diterima oleh
jawab tersebut menjaga kesucian Pura tidak Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bila dihayati
hanya perlu dijaga pada saat upacara-upacara secara mendalam, banten merupakan wujud dari
saja, tetapi setiap hari para Jero Mangku yang pemikiran yang lengkap yang didasari dengan
bersangkutan perlu memperhatikannya dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan baniten
seksama. Berikut adalah larangan-larangan yang yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi,
tidak boleh dilakukan dilakukan pada saat di Pura meriah dan unik mengandung simbol, diawali
menurut Naskah Lontar Kramapura : dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci.
Bentuk baniten itu mempunyai makna dan nilai
yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang
2.3.1 Sesajen yang tidak boleh dihaturkan di mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk
Pura menurut Naskah Lontar Kramapura menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih. Jika
banten dalam keadaan tidak suci atau cemer maka
Sesajén atau banten merupakan sarana
tentu tidak layak untuk dihaturkan kehadapan Ida
utama yang digunakan oleh umat Hindu dalam
Sang Hyang Widhi Wasa.
melakukan persembahyangan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Banten itu adalah bahasa untuk
menjelaskan ajaran agama Hindu dalam bentuk
2.3.2 Larangan Bagi Orang memasuki Pura
simbol. Di dalam Naskah Lontar Kramapura
menurut Naskah Lontar Kramapura
perlengkapan banten yang dianggap kotor, tidak
boleh dipakai sesajen adalah peralatan banten Pura merupakan tempat yang diyakini oleh
yang dilangkahi anjing, dilangkai oleh manusia, umat Hindu sebagai tempat yang suci, sehingga

42 JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019


semua umat berkewajiban untuk tetap menjaga uang dan wajib melakukan penyucian di Pura.
kesuciannya. Dalam naskah Lontar Kramapura Dalam naskah ini juga disebutkan bagi orang
disebutkan orang-orang yang tidak diperbolehkan yang sudah diketahui gila tidak diperbolehkan
memasuki Pura diantaranya wanita yang sedang memasuki Pura. Bila orang tersebut memaksa
haid, wanita yang serba berpakian indah atau untuk melakukan persembahayang dan
menor, orang yang pura-pura mengaturkan pengempon Pura sudah memintanya untuk
sesajen namun dirinya sedang haid. Bila ada yang pergi namun tidak diindahkan maka Orang Gila
dengan kondisi diatas secara diam-diam tetap tersebut patut didenda sebesar 2400 kepeng uang
memasuki Pura maka pengurus Pura berhak yang dibebankan kepada keluarganya. Demikian
memberikan hukuman bagi orang-orang yang upaya menjaga kesucian Pura yang termuat dalam
melakukan pelanggaran tersebut dengan hukuman Naskah Lontar Kramapura.
masing-masing denda 179 uang kepeng dan wajib
Apa yang disebutkan oleh Naskah
melakukan penyucian pura.
Lontar Kramapura tersebut sesungguhnya sudah
Disamping itu orang yang tidak boleh disebutkan didalam Keputusan Seminar ke-IV
memasuki Pura adalah orang-orang yang cuntaka tentang Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek
karena kematian sanak keluarganya. Jika yang Agama Hindu tanggal 17 s/d 20 April 1978 PHDI,
meninggal adalah keluarganya baik mindon, misan dimana ditegaskan tentang larangan masuk ke
maka orang tersebut tidak boleh memasuki pura Pura bagi orang-orang seperti berikut : (1) dalam
selama 37 hari. Bila orang tersebut adalah wesya keadaan datang bulan bagi wanita, (2) baru
dan keluarganya ada yang meninggal maka tidak melahirkan atau aborsi yang belum selesai masa
boleh memasuki pura selama 27 hari. Juga jika cuntaka/ sebel nya, (3) Berhalangan kematian
orang tersebut seorang Brahmana dan keluarganya atau cuntaka karena sebab lain, (4).Tidak mentaati
ada yang meninggal maka tidak boleh memasuki ketentuan masuk Pura, (5) Menderita cacat fisik
pura selama 3 hari. Bila orang tersebut adalah yang permanen, (6) Berpakaian tidak sopan atau
pemangku, dan ada keluarganya ngarep nya yang menonjolkan bentuk tubuh/ aurat. (7) Bercumbu,
meninggal maka tidak boleh memasuki Pura berkelahi, bertengkar, berkata kasar/ memaki,
selama 3 hari. Jika pendeta Siwa nya meninggal, bergosip, menyusui bayi, meludah, buang air,
maka seorang Pemangku patut cuntaka selama 12 mencorat-coret pelinggih-pelinggih, dan lain-
hari, dan bagi sisya nya yang lain selama 14 hari lain. dan (8) Yang tidak mempunyai kepentingan
tidak boleh memasuki Pura. bersembahyang atau yang berkaitan dengan acara/
upacara di Pura.
Bila ada orang yang dengan ketentuan-
ketentuan diatas melakukan pelanggaran dengan Semua aspek tersebut sesungguhnya sudah
sengaja sudah mengetahui dirinya dalam kondisi relevan dengan apa yang disebutkan dalam naskah
cuntaka tetap memaksakan memasuki Pura maka Lontar Kramapura namun dalam keputusan
orang tersebut (orang bisa, wesya, sulinggih dan satuan tafsir oleh PHDI tersebut tidak berisikan
pemangku) dikenakan denda sebesar 1700 kepeng sanksi yang berupa mengikat. Bahkan dalam

JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019 43


satuan Tafsir oleh PHDI tersebut sanksi yang (madya) maka dikenakan denda sebesar 1500
dimunculkan lebih ringan di bandingkan dengan kepeng uang. Sedangkan jika mencuri pada
kewajiban denda yang harus di bayar oleh yang tingkatan utama (besar) hukuman sangat berat
melanggar. dosanya sebesar 5700 kepeng uang. Karena Pura
telah tercemarkan oleh jejak kaki pencuri maka
pemaksan diharuskan mempersembahkan guru
2.3.3 Larangan bagi orang yang berprilaku piduka kesemua arah dan caru manca kelud, sebab
kurang baik menurut Naskah Lontar Pura tersebut sangat leteh sama seperti kotornya
Kramapura dengan orang yang meninggal di Pura. Sehingga
Pamaksan berkewajiban mempersembahkan
Dalam Naskah Lontar Kramapura
prayascita utama. Jika pencuri tersebut mencuri
disebutkan beberapa prilaku orang yang tidak
palinggih atau pretima maka hendaknya Pencuri
diperbolehkan dilakukan di Pura seperti
tersebut mengganti pelinggih atau pertima tersebut
orang yang berpura-pura kerauhan mengaku-
dengan percis sama dengan aslinya lengkap
ngaku dirinya disusupi oleh para Dewa, maka
dengan pelaksannaan upacaranya. Seperti halnya
untuk membuktikannya dilakukan dengan cara
upacara membuat Pura baru, lengkap dengan
mencelupkan kedua tangannya kedalam api
pedaginganya, Pelinggih Pura itu.
yang dibuat dari batok kelapa selama orang
yang sedang memakan sirih dan disertai sesajen Selain itu prilaku yang dilarang dilakukan
yang dihaturkan di depan Pura. Jika orang yang di Pura menurut Naskah Lontar Kramapura ada-
kerahuan tersebut tangannya tidak terbakar maka lah orang yang suka memaki-maki dan berbicara
memang benar tubuhnya bersemayang Dewa, jika kotor di Pura, baik pada saat upacara, piodalan,
sebaliknya tanggannya terbakar maka tidak benar atau saat mengaturkan sesajen orang tersebut suka
Dewa telah bersemayam dalam tubuhnya sehingga memaki-maki maka hendaknya I Kliyang Pura
orang yang demikian wajib dikenakan denda dan menasehati orang tersebut, bila tidak diindahkan
sanksi melakukan penyucian Pura secara sekala maka hendaknya I Krama pemaksan menangkap
maupun niskala. orang itu, dan mengembalikan ke rumahnya. Bila
membangkang, hendaknya orang itu di hukum
Prilaku yang dilarang di Pura menurut
serta diwajibkan mengaturkan prayascita utama,
Naskah Lontar Kramapura adalah mencuri di
di pelinggih serta meyucikan Pemangku, karena
Pura, jika ada orang yang melakukan pencurian
bersalah telah mengusir dewa, dan mengundang
di Pura baik mencuri benda suci, dan benda-
buta kala dengen, semua datang untuk mengan-
benda lainnya di areal Pura maka orang tersebut
curkan pura itu.
wajib dikenai denda sesuai dengan besar tidak nya
barang yang dicuri, berharga atau tidaknya barang Dalam Naskah Lontar Kramapura juga
yang dicuri. Jika mencuri dengan tingkat kecil disebutkan jika ada orang yang berkelahi di Pura
(nista) maka dikenakan denda sebesar 500 kepeng apalagi sampai terbukti menenteskan darah di pe-
uang, jika mencuri dengan tingkatan menengah lataran pura, maka orang tersebut wajib dikenakan

44 JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019


denda sebesar 10500 kepeng uang, dan harus yang bukan anggota pemaksan dan tidak meminta
melalukan upacara penyucian, upacara padudu- ijin kepada pemangku pura tersebut, dan dengan
san sampai upacara manca kelud. Begitu haln- seenak hati naik ke gedong pura dan berada lama
ya juga bagi orang yang terbukti memadu kasih, di tengah gedong Pura, Maka orang tersebut hen-
sampai bersetubuh di Pura. Namun orang yang daknya dihukum berat, yaitu harus membayar
mengetahui perbuatan tersebut tidak melaporkan- denda sebesar 57000 kepeng uang, karena orang
nya kepada Klian Pura, Maka orang yang kas- itu telah memasang perangkap.
maran itu, hendaknya diberikan hukuman berupa
membayar denda sebesar 5700 kepeng uang, serta
III. Penutup
memperbaiki pura itu secara sekala mauapun ni-
skala, sebagaimana mestinya karena pura itu tel- Naskah Lontar Kramapura merupakan
ah tercemar. Begitu juga orang yang menemukan jenis lontar Sesana yang berisikan ajaran-ajaran
perbuatan tersebut namun tidak melaporkannya berprilaku untuk menjaga kesucian Pura. Naskah
maka juga harus dikenakan hukuman yaiut harus Lontar ini secara garis besar berisikan tentang
membayar denda sebesar 5700 kepeng uang, kare- ajaran-ajaran dan larangan-larangan yang tidak
na diam melihat orang yang bersalah. diperbolehkan jika ingin memasuki Pura. Aja-
ran-ajaran yang terdapat dalam Naskah Lontar
Naskah Lontar Kramapura juga mengatur
Kramapura ini (1) Ajaran menjaga kesucian Pura
tentang prilaku orang yang suka menduduki pura,
tempat palinggih bhatara yang di sucikan, berhi- dimana ajaran ini berisikan tentang kewajiban-ke-

as. Apalagi orang tersebut merusak peralatan milik wajiban bagi para pengempon dan pemaksan Pura
pura, seperti segala peralatan, dan perlengkapan untuk menjaga agar kesucian tersebut tetap terja-
pura (wastra palinggih), maka oarang tersebut ga. (2) Ajaran Sesana Kepemangkuan, dalam aja-
patut di hukum. Hukumannya disesuaikan den- ran ini berisikan tentang kewajiban-kewajiban pe-
gan perbuatannya, jika merusak segala peralatan mangku sebagai Pangempon Pura dalam menjaga
di pura dan bahkan sampai mencurinya maka kesucian dan kesakralan Pura melalui peningka-
hukumannya berlipat-lipat. Jika hanya karena tan jnana dengan kewajiban mempelajari sesana
duduk diplataran palinggih maka hukumannya menjadi Pemangku. Naskah Lontar Kramapura
hanya mengaturkan penyucian terutama prayasci- ini juga berisikan larangan-larangan ditempat suci
ta. Begitu juga jika ada orang biasa yang menaiki seperti (1) Macam-macam peralatan sesajen atau
Gedong stana Ida Bhatara di pura, tanpa sepen- banten yang tidak boleh dihaturkan di Pura, (2)
getahuan pemangku, maka hendaknya pemangku Larangan bagi orang yang memasuki Pura seperti
melarang orang itu, dan patut di berikan hukuman bagi oranag yang sedang haid, cuntaka dan yang
membayar denda sebesar 4500 uang kepeng, serta lainnya. (3) Larangan bagi orang yang berprilaku
wajib melakukan peyucian pura itu, sebagaimana kurang baik seperti mengaku-ngaku kerauhan,
mestinya. mencuri di Pura, berkata yang tidak baik di Pura,
Bagi orang yang suka memohon anugrah orang yang berkelahi di Pura, dan berprilaku yang
termasuk memohon yang lainnya di Gedong Pura tidak mengetahui sopan santun.

JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019 45


DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian


Kualitatif. Jakarta : PT Raja Grapindo
Persada.

Himpunan Keputusan Seminar Kesatua Tafsir


Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I –
IX Tahun 1983.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan


Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Salinan Naskah Lontar Kramapura milik Kantor


Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan
Propinsi Bali Tahun 1998.

Titib, I Made. 2000. Teologi dan Simbol-Simbol


dalam Agama Hindu. Paramitha:
Surabaya.

Titib, I Made. 1996. Veda, Sabda Suci, Pedoman


Praktis dalam Kehidupan. Surabaya :
Paramita.

46 JURNAL SANJIWANI Volume X, No. 2, Edisi September 2019

Anda mungkin juga menyukai