Anda di halaman 1dari 4

Penyimpangan Pergeseran Ajaran Agama Hindu

1. Berpakaian yang tidak etis ke Pura


Sebagian besar pura di Bali melarang berpakaian seronok. Seperti misalnya kaum
perempuan tidak boleh mengenakan kebaya lengan pendek dan kamben ‘gantut’, karena
dianggap menodai kesucian pura. Meskipun larangan itu bertujuan baik, namun sejumlah
oknum umat Hindu tak sependapat. Mereka bercermin pada Bali tempo dulu, di mana kaum
perempuan saat itu hampir tidak mengenakan baju ataupun kain penutup dada. Terkait masalah
berbusana ke pura, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dengan etika yang dilandasi budaya.
Budaya itu tidak stagnan, selalu mengalami dinamika. Budaya itu juga tidak bisa lepas dari
perubahan zaman. Sesungguhnya, bukan cara berpakaian yang membuat tercemarnya kesucian
pura.Tetapi cara berpakaian yang salah itu membuat pikiran seseorang tidak fokus.Perlu
ditegaskan, saat kita berada di pura pikiran kita harus hening atau terpusat pada Ida Sang Hyang
Widhi. Kalau pikiran kita ternodai oleh nafsu birahi, maka akan menimbulkan polusi kesucian
pura. Makanya saat ini harus ada aturan berbusana saat masuk ke pura.
Solusi yang dapat diambil adalah dengan mengikuti aturan berbusana memasuki pura dan
memahami etika dalam berbusana ke pura. PHDI juga perlu untuk menindak tegas aturan ini
agar setiap umat hindu bias lebih beretika lagi dalam berbusana

2. Judi sabung ayam di areal Pura


Tajen merupakan sebuah tradisi judi sabung ayam di Bali yang dilakukan dengan
memasangkan taji, yaitu sebuah pisau kecil yang dipasangkan di kaki dua ayam jantan yang
diadu sebagai senjata untuk membunuh lawannya. Tajen biasa dilakukan di pura-pura, arena
sabung ayam atau bahkan tempat-tempat wisata yang memang menyediakan arena sabung
ayam dan tajen sebagai obyek wisata. Pelaksanaan tajen pada saat ini banyak yang melakukan
dengan berkedok Tabuh Rah. Tabuh Rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam
upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan judi dan pertaruhan. Mengenai Tabuh Rah,
sudah diatur dalam Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI
tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar Siwatattwapurana dan
Yadnya prakerti. Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara (banten) diiringi puja mantra yang
dilengkapi dengan taburan darah binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana
darahnya keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu kemiri, telor,
kelapa.
Menurut sejarah, tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi dari salah satu upacara
yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang
dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan
pada saat tilem. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah
satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai yadnya
yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya
tersebut dipercaya akan naik tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain
dengan derajat lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah
yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun
yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu
oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih. Oleh karena itu sabung ayam yang
bertujuan untuk upakara tentu sangat dianjurkan tetapi sabung ayam judi yang berkedok
upakara tentu mengotori areal pura.
Solusi yang dapat digunakan yaitu pihak kepolisian agar menindak tegas judi sabung
ayam yang berkedok upacara keagamaan serta PHDI harus tegas mengatur tentang upacara
yang menggunakan sabung ayam sebagai bagian dari upacaranya

3. Penyalahgunaan system kasta di Bali


Banyak orang yang menganggap Caturwarna sama dengan Kasta yang memberikan
seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir. Namun dalam kenyataannya,
status dalam sistem Warna didapat setelah seseorang menekuni suatu bidang/profesi tertentu.
Sistem Warna juga dianggap membeda-bedakan kedudukan seseorang. Namun dalam
ajarannya, sistem Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan kewajiban sebaik-
baiknya. Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi
dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan kewajibannya.
Sistem Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan ataupun memikirkan status
sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang
disandang karena status tersebut tidak didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian
mereka. Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang
daripada membanggakannya.
Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi kesalahpahaman terhadap sistem Catur
Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan dari pengertian kasta. Menurut I Gusti
Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak
dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya,
agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem
Warna.
Solusi yang dapat diambil adalah dengan mengubah persepsi masyarakat tentang perbedaan
antara warna dan kasta. Cara mengubah persepsinya dengan mendengarkan pengarahan –
pengarahan dari PHDI tentang perbedaan warna dan kasta serta memberikan dharma wacana
yang menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta sehingga tidak ada lagi perbedaan
kedudukan seseorang melainkan yang ada perbedaan kewajiban seseorang.

4. Meceki pada saat mekemit banten di Pura.


Mekemit merupakan kegiatan yang baik karena menginap di pura dengan melakukan
kegiatan persembahyangan. Mekemit biasanya dilaksanakan karena akan adanya upacara
keagamaan di pura tersebut. Dalam masa ini kegiatan suci mekemit ini banyak disalahgunakan
dan cenderung menjadi hal negatif. Disatu sisi mekemit adalah kegiatan positif karena
mendekatkan diri kepada Tuhan tetapi juga melakukan kegiatan negatif yaitu dengan berjudi
di areal tempat suci. Secara etika ini sangat tidak dibenarkan karena berjudi merupakan hal
yang negatif. Pada masa lalu mekemit merupakan hal yang sakral dan tidak berani untuk
disalahgunakan namun jaman sekarang kurang pas rasanya jika mekemit tidak ditemani dengan
berjudi
Solusi yang dapat digunakan adalah dengan mengubah persepsi dan pemikiran tentang
sakralnya tempat suci tersebut. Pengarahan – pengarahan / dharma wacana juga perlu
ditekankan agar masyarakat mengerti bahwa secara etika itu sangat tidak dibenarkan dan
cenderung mengotori areal pura

5. Pengabenan dengan Menggunakan Mobil


Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke
alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa
makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu. Wadah, Bade, dan Lembu umumnya
memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali.
Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta.
Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. “Dalam
filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan,”.
Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara
berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri. Dikatakan Indra, adanya
fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar – besaran, dengan membeli
Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana
merupakan stigma yang keliru. Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana
pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak. Kadang orang
salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka
dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. “Wadah harus yang paling
mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar.
Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke
Nirwana,” ujarnya. Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan
yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat
menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak
memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut
Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar
jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda,” urainya. Oleh karena itu wadah hanya
berfungsi sebagai sarana untuk membawa layon ke tempat pembakaran. Hal ini bukan
merupakan penyimpangan tetapi merupakan pergeseran ajaran sehingga dikemas lebih simple.
Solusi yang dapat kita lakukan adalah menyesuaikan dengan keadaan jika memang tempat
pembakaran itu sangatlah jauh maka prosesi upacara pengabenan bisa disesuaikan dengan desa
kala patra yang berlaku di daerah tersebut sehingga tidak menyimpang dari PHDI Bali dan
ajaran agama hindu

Anda mungkin juga menyukai