0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
118 tayangan4 halaman
Beberapa penyimpangan pergeseran ajaran agama Hindu di Bali antara lain penyalahgunaan sistem kasta dengan membanggakan status sosial ketimbang melaksanakan kewajiban, meceki di pura yang seharusnya menjadi tempat suci, serta pengabenan dengan menggunakan mobil yang sebenarnya hanya menyesuaikan kondisi tanpa menyimpang dari ajaran. Solusinya adalah mengembalikan pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai
Beberapa penyimpangan pergeseran ajaran agama Hindu di Bali antara lain penyalahgunaan sistem kasta dengan membanggakan status sosial ketimbang melaksanakan kewajiban, meceki di pura yang seharusnya menjadi tempat suci, serta pengabenan dengan menggunakan mobil yang sebenarnya hanya menyesuaikan kondisi tanpa menyimpang dari ajaran. Solusinya adalah mengembalikan pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai
Beberapa penyimpangan pergeseran ajaran agama Hindu di Bali antara lain penyalahgunaan sistem kasta dengan membanggakan status sosial ketimbang melaksanakan kewajiban, meceki di pura yang seharusnya menjadi tempat suci, serta pengabenan dengan menggunakan mobil yang sebenarnya hanya menyesuaikan kondisi tanpa menyimpang dari ajaran. Solusinya adalah mengembalikan pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai
Sebagian besar pura di Bali melarang berpakaian seronok. Seperti misalnya kaum perempuan tidak boleh mengenakan kebaya lengan pendek dan kamben ‘gantut’, karena dianggap menodai kesucian pura. Meskipun larangan itu bertujuan baik, namun sejumlah oknum umat Hindu tak sependapat. Mereka bercermin pada Bali tempo dulu, di mana kaum perempuan saat itu hampir tidak mengenakan baju ataupun kain penutup dada. Terkait masalah berbusana ke pura, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dengan etika yang dilandasi budaya. Budaya itu tidak stagnan, selalu mengalami dinamika. Budaya itu juga tidak bisa lepas dari perubahan zaman. Sesungguhnya, bukan cara berpakaian yang membuat tercemarnya kesucian pura.Tetapi cara berpakaian yang salah itu membuat pikiran seseorang tidak fokus.Perlu ditegaskan, saat kita berada di pura pikiran kita harus hening atau terpusat pada Ida Sang Hyang Widhi. Kalau pikiran kita ternodai oleh nafsu birahi, maka akan menimbulkan polusi kesucian pura. Makanya saat ini harus ada aturan berbusana saat masuk ke pura. Solusi yang dapat diambil adalah dengan mengikuti aturan berbusana memasuki pura dan memahami etika dalam berbusana ke pura. PHDI juga perlu untuk menindak tegas aturan ini agar setiap umat hindu bias lebih beretika lagi dalam berbusana
2. Judi sabung ayam di areal Pura
Tajen merupakan sebuah tradisi judi sabung ayam di Bali yang dilakukan dengan memasangkan taji, yaitu sebuah pisau kecil yang dipasangkan di kaki dua ayam jantan yang diadu sebagai senjata untuk membunuh lawannya. Tajen biasa dilakukan di pura-pura, arena sabung ayam atau bahkan tempat-tempat wisata yang memang menyediakan arena sabung ayam dan tajen sebagai obyek wisata. Pelaksanaan tajen pada saat ini banyak yang melakukan dengan berkedok Tabuh Rah. Tabuh Rah adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pecaruan. Tajen adalah adu ayam bertujuan judi dan pertaruhan. Mengenai Tabuh Rah, sudah diatur dalam Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu hasil seminar PHDI tahun 1976 di Denpasar. Sumber sastra Tabuh Rah adalah: Lontar Siwatattwapurana dan Yadnya prakerti. Pelaksanaan Tabuh Rah adalah upakara (banten) diiringi puja mantra yang dilengkapi dengan taburan darah binatang korban antara lain ayam, itik, babi, kerbau di mana darahnya keluar dari di sambleh atau perang sata, dilanjutkan dengan mengadu kemiri, telor, kelapa. Menurut sejarah, tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem. Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan derajat lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh sampai mati, jarang sekali terjadi sapih. Oleh karena itu sabung ayam yang bertujuan untuk upakara tentu sangat dianjurkan tetapi sabung ayam judi yang berkedok upakara tentu mengotori areal pura. Solusi yang dapat digunakan yaitu pihak kepolisian agar menindak tegas judi sabung ayam yang berkedok upacara keagamaan serta PHDI harus tegas mengatur tentang upacara yang menggunakan sabung ayam sebagai bagian dari upacaranya
3. Penyalahgunaan system kasta di Bali
Banyak orang yang menganggap Caturwarna sama dengan Kasta yang memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir. Namun dalam kenyataannya, status dalam sistem Warna didapat setelah seseorang menekuni suatu bidang/profesi tertentu. Sistem Warna juga dianggap membeda-bedakan kedudukan seseorang. Namun dalam ajarannya, sistem Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan kewajiban sebaik- baiknya. Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan kewajibannya. Sistem Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status tersebut tidak didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka. Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang daripada membanggakannya. Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi kesalahpahaman terhadap sistem Catur Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan dari pengertian kasta. Menurut I Gusti Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Warna. Solusi yang dapat diambil adalah dengan mengubah persepsi masyarakat tentang perbedaan antara warna dan kasta. Cara mengubah persepsinya dengan mendengarkan pengarahan – pengarahan dari PHDI tentang perbedaan warna dan kasta serta memberikan dharma wacana yang menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta sehingga tidak ada lagi perbedaan kedudukan seseorang melainkan yang ada perbedaan kewajiban seseorang.
4. Meceki pada saat mekemit banten di Pura.
Mekemit merupakan kegiatan yang baik karena menginap di pura dengan melakukan kegiatan persembahyangan. Mekemit biasanya dilaksanakan karena akan adanya upacara keagamaan di pura tersebut. Dalam masa ini kegiatan suci mekemit ini banyak disalahgunakan dan cenderung menjadi hal negatif. Disatu sisi mekemit adalah kegiatan positif karena mendekatkan diri kepada Tuhan tetapi juga melakukan kegiatan negatif yaitu dengan berjudi di areal tempat suci. Secara etika ini sangat tidak dibenarkan karena berjudi merupakan hal yang negatif. Pada masa lalu mekemit merupakan hal yang sakral dan tidak berani untuk disalahgunakan namun jaman sekarang kurang pas rasanya jika mekemit tidak ditemani dengan berjudi Solusi yang dapat digunakan adalah dengan mengubah persepsi dan pemikiran tentang sakralnya tempat suci tersebut. Pengarahan – pengarahan / dharma wacana juga perlu ditekankan agar masyarakat mengerti bahwa secara etika itu sangat tidak dibenarkan dan cenderung mengotori areal pura
5. Pengabenan dengan Menggunakan Mobil
Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu. Wadah, Bade, dan Lembu umumnya memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali. Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta. Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. “Dalam filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan,”. Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri. Dikatakan Indra, adanya fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar – besaran, dengan membeli Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana merupakan stigma yang keliru. Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak. Kadang orang salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. “Wadah harus yang paling mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar. Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke Nirwana,” ujarnya. Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda,” urainya. Oleh karena itu wadah hanya berfungsi sebagai sarana untuk membawa layon ke tempat pembakaran. Hal ini bukan merupakan penyimpangan tetapi merupakan pergeseran ajaran sehingga dikemas lebih simple. Solusi yang dapat kita lakukan adalah menyesuaikan dengan keadaan jika memang tempat pembakaran itu sangatlah jauh maka prosesi upacara pengabenan bisa disesuaikan dengan desa kala patra yang berlaku di daerah tersebut sehingga tidak menyimpang dari PHDI Bali dan ajaran agama hindu