Anda di halaman 1dari 9

Tradisi Ngurek atau Ngunying hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Bali.

Tradisi tersebut ada di


sejumlah daerah di Bali. Tradisi ini umumnya berkaitan erat dengan ritual keagamaan. Bahkan, di
sejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan.

Tradisi Ngurek di Bali merupakan wujud bakti seseorang kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Atraksi
menusuk diri dengan keris ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerauhan (trance).
Ini sebuah keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan, namun amat biasa bagi orang Bali.

Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan
berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris,tombak,atau alat lainnya saat
berada dalam kondisi kerauhan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerauhan, maka roh lain yang
memasuki tubuh akan member kekuatan, sehingga menjadi kebal.

Tradisi Ngurek biasa dilakukan di luar areal pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya
Barong dan Rangda serta orang yang biasa Ngurek (juru urek) yang juga biasa disebut dengan ‘pepatih’
keluar dari kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal
itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi dan keris pun langsung ditancapkan ke
bagian tubuhnya tanpa terluka sedikitpun. Ngurek sendiri memiliki gaya masing-masing, ada yang berdiri
sembari menancapkan keris ke bagian tubuhnya dan ada pula yang bersandar di pelinggih kemudian
menancapakn keris ke tubuhnya sendiri. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke areal
pura utama.

Menurut sejarahnya, tradisi Ngurek bersumber dari ritus keagamaan di Bali. Biasanya dilakukan
saat upacara Dewa Yadnya yang disebut Ngeramen di pura, sanggah (merajan) dan paibon. Prosesi
sakralnya berbeda-beda antara daerah satu dengan lainnya.

Tradisi Ngurek tidak hanya dilakukan di Bali, tapi juga terdapat di daerah lain. Misalnya di Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Selatan, kebiasaan ini dilakukan oleh mereka yang disebut juru doa, mirip dengan
balian atau dukun. Para juru doa ini diundang untuk memimpin hajatan. Manakala ritual berlangsung,
juru doa akan mengalami kerauhan dan langsung mencabut keris kecil yang terselip di pinggangnya
kemudian menusuk telapak tangannya sendiri, berlanjut menikam dada dan perutnya. Fenomena
sejenis juga dapat disaksikan dalam kesenian tradisional suku Jambi yang menampilkan tarian
berkolaborasi dengan budaya magis. Pada puncak tarian si penari wanita akan menusukkan dua pedang
yang tadi dipakai menari ke tubuhnya sendiri dalam keadaan trance.

Pada masyarakat Hindu India, khususnya penyembah Durga Ma dalam perayaan Tiruwila juga
biasa menampilkan atraksi serupa. Hanya saja mereka benar-benar menusuk bagian anggota tubuhnya
hingga tembus dengan benda-benda tajam. Adegan ini sebenarnya merupakan satu aktivitas ritual bagi
pemuja sakti, dengan menghadirkan kekuatan supranatural, roh-roh gaib untuk membantu atraksi,
sehingga tidak sampai membahayakan nyawa mereka.

Kondisi kerauhan (trance) bisa diupayakan, namun sulit diduga mengenai waktu maupun orang
yang mungkin akan kerauhan. Orang yang disiapkan untuk kerauhan bisa jadi tidak mengalami apa-apa.
Sebaliknya justru pada partisipan lainnya yang mengalami kerauhan. Trance dalam Ngurek biasanya
terjadi atau diupayakan dengan prosesi ritual khusus. Untuk mencapai klimaks kerauhan, mereka harus
melakukan serangkaian ritual. Tahap-tahap itu secara garis besar dapat dibagi tiga yakni Nusdus,
Masolah, Ngaluwur. Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap asap yang beraroma
harum menyengat. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau
bunyi gamelan. Sedangkan Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya.

Dari fenomena Ngurek yang berkembang saat ini dan membandingkannya dengan tradisi serupa di
sejumlah ritual Hindu di tempat lain, atau pada keyakinan agama lain di suatu daerah, maka Ngurek
merupakan perpaduan antara dua hal. Pertama. Tradisi ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali Purba
dari zaman animism-dinamisme, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh
diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk. Bagi masyarakat animisme-
dinamisme, kerauhan yang diikuti atraksi Ngurek dipercaya sebagai sebuah tanda, bahwa roh-roh yang
diundang telah hadir di sekitar mereka. Kedua. Tradisi Ngurek bagi masyarakat Hindu Bali di beberapa
daerah memiliki fungsi mirip dengan kepercayaan animisme, tetapi bedanya tidak dalam rangka
mengundang roh leluhur, namun mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya untuk berkenan
menerima persembahan ritual saat upacara piodalan. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerauhan
dan mulai ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah tedun dan
berkenan katuran piodalan. Dengan turunnya Ida Bhatara ke marcapada (dunia), maka umat yang
mengikuti prosesi ritual piodalan ini kian mantap dengan semangat bhaktinya.

2.2 Makna Ngurek

Ngurek merupakan bagian dari yadnya atau pengorbanan yang tulus ikhlas seorang hamba kepada
Tuhannya. Hampir semua agama memiliki cara tersendiri dalam melakukan pengorbanan diri sebagai
tanda bhakti kepada Tuhan. Seperti misalnya ketentuan selibat (membujang) dalam ajaran agama
Kristen, kewajiban berpuasa atau tidak makan dan minum dalam agama Islam, meditasi dan ajaran
vegetarian dalam agama Budha, kemudian dalam Hindu sendiri banyak jenis ajaran pengorbanan diri,
mulai dari puasa, yoga, brhmachari, ngurek, dan sebagainya.

Dalam sebuah ritual upacara di Bali, selain dengan mempersembahkan berbagai bentuk
bebantenan, ada juga komponen persembahan lain, seperti misalnya tarian, music atau gamelan,
kidung, dan beragam bentuk persembahan lainnya. Ngurek sendiri merupakan persembahan dalam
bentuk tari-tarian yang intinya adalah mengorbankan diri dengan cara kerelaan ditikam (disakiti) untuk
menunjukkan kepatuhan pada Sang Maha Pencipta. Dalam atraksi Ngurek inilah setiap peserta
mengekspresikan dirinya, secara simbolik ingin mengorbankan dirinya kepada dewa yang dipujanya.
Menusuk badan sendiri jelas menimbulkan rasa sakit secara alamiah. Namun, secara umum cara
penyiksaan badan sebagai wujud kecintaan kepada yang dipuja hamper menjadi pola umum dalam
setiap sistem kepercayaan, hanya saja bentuknya yang berbeda-beda.

Dalam agama Hindu ada upacara potong rambut atau juga potong gigi (metatah) sebagai bentuk
riil mengorbankan diri. Dalam sistem kepercayaan sebuah suku di Papua bahkan ada mengorbankan diri
dengan memotong salah satu jari tangan bila ada keluarganya yang meninggal. Disamping itu ada juga
pengikut agama Islam Syiah di Iran dan Irak yang memperingati hari besarnya dengan melukai diri
hingga berdarah. Hal yang mirip dengan pengikut Kristen di Filipina Selatan yang merayakan Natal
dengan cara memukul-mukul bagian badannya dengan rantai besi. Komunitas Hindu di Malaysia juga
punya upacara bernama Tai Pusam, ditandai dengan menusukkan tombak atau jarum ke berbagai
bagian tubuhnya hingga darah menetes ke bumi.

Di desa Tenganan, Karangasem, Bali ada tradisi perang pandan atau lebih dikenal dengan mageret
pandan yang merupakan ritual menek truna (meningkat dewasa bagi kaum pria). Mereka yang telah
berani ambil bagian dalam upacara mageret pandan sudah sah dianggap dewasa secara adat. Dengan
menggenggam daun pandan yang berduri dan tameng yang terbuat dari rotan, mereka mulai berperang
dengan cara menancapkan daun pandan ke tubuh lawan lalu menariknya hingga menimbulkan luka dan
darah mengucur dari tubuh. Jelas, ritual ini berada dalam bingkai magis, suatu persembahan yang tidak
terhenti pada pembuktian pada kelompok tertentu, tetapi juga kepada kekuatan-kekuatan supranatural.
Mengucurkan darah dalam perang pandan adalah salah satu persembahan pengorbanan diri kepada
Tuhan.

Dalam perkembangan selanjutnya, suatu cara pengorbanan tidak hanya meliputi pengorbanan diri
sendiri, tetapi memakai media lain dengan cara menyembelih binatang, mempersembahkan darahnya
dalam upacara caru. Hewan yang biasa dipakai seperti ayam, itik, anjing belang bungkem, kerbau, dan
lain sebagainya.

Ajaran agama Islam juga mengajarkan umatnya untuk memotong hewan kurban seperti kambing,
sapi, dan kerbau pada saat hari raya Idul Adha. Perintah berkurban ini adalah sebagai bentuk
penghormatan kepada nabi Ibrahim yang telah merelakan putranya untuk disembelih demi
membuktikan kecintaannya terhadap Tuhannya. Karena kesediaannya berkorban itulah kemudian nabi
Ibrahim diangkat derajatnya lebih tinggi dan dijadikan contoh oleh umat selanjutnya sampai sekarang.

Kendati secara praktek pengorbanan kepada dewa-dewa sudah digantikan dengan hewan
tertentu, namun dalam seremonial upacara, simbol pengorbanan diri ini masih dilakukan. Salah satu
simbol tersebut adalah Ngurek, sebagai bentuk menumpahkan darah sendiri ke bumi. Meskipun tanpa
cucuran darah yang menetes dari tubuh pengurek bukanlah halangan untuk meluapkan kerinduan
kepada dewa yang disembahnya. Suasana kerauhan (trance) menjadikan bathin berekspresi dengan
leluasa dan jati diri pribadi melakukan kepasrahan total pada Sang Maha Pencipta.

2.3 Jenis - Jenis Ngurek

Dari pelaksanaan Ngurek di berbagai tempat di Bali, maka ngurek dapat dikelompokkan menjadi
tiga jenis, yaitu:

a. Ngurek yang termetodiskan atau terpola

Ritual ngurek jenis ini dilakukan dan berlangsung secara teratur dan terkendali, karena menjadi satu
rangkaian dengan pelaksanaan upacara piodalan. Umumnya Ngurek dilakukan oleh para pepatih dengan
menggunakan keris, tombak, dan alat lainnya.

Ngurek merupakan perwujudan bhakti atau keikhlasan seseorang dan sebagai tanda Tedunnya iring-
iringan Ida Bhatara menyaksikan jalannya ritual upacara.

b. Ngurek yang tak termetodiskan

Ngurek yang tidak harus dilaksanakan pada saat ritual keagamaan. Dalam hal ini Ngurek akan dilakukan
sesuai kebutuhan sebagai bukti bahwa dasaran itu benar-benar kerauhan sambil memberikan pesan-
pesan niskala saat berlangsungnya piodalan, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan upacara, apakah
sudah diterima atau masi ada suatu yang kurang dari persembahan yang dilakukan. Pada situasi ini
mereka yang Ngurek bisa pemangku, dasaran pepatih, penyungsung pura, anggota karma desa, pragina
gamelan, tokoh masyarakat, orang dewasa atau anak-anak, laki atau perempuan. Namun mereka
melakukan Ngurek tetap dalam kondisi kerauhan. Kendati keris tajam dihujamkan ke tubuh berkali-kali,
tak menyebabkan setetes darah pun mengucur.

c. Ngurek untuk pertunjukan

Seiring perkembangan dunia pariwisata, selain untuk kebutuhan upacara keagamaan, berkembang juga
Ngurek untuk kepentingan hiburan yang dikenal dengan sebutan Barong and Keris Dance. Pertunjukan
ini mementaskan seni Arja dengan lakon Calonarang yang menceritakan kisah pertempuran Ni
Calonarang (Ratu Natengdirah) dengan Patih Maling Maguna yang dihiasi pertunjukan menikam-nikam
sang Rangda sebagai jelmaan Calonarang.

Para penari semata-mata memberikan atraksi hiburan kepada penonton. Mereka membekali diri dengan
jimat kekebalan atau mengatur dengan teknik tertentu supaya terkesan kerauhan sungguhan. Bagi
wisatawan asing yang tidak mengerti, apayang dilakukan oleh penari itu dianggap Ngurek sungguhan.
Padahal itu hanya dilakukan dengan menggunakan teknik dan peralatan tertentu sehingga kelihatan
serius.

2.4 Gerakan Ngurek

Sebelum prosesi Ngurek dimulai, Pemangku Pengenter akan menghaturkan tetabuhan untuk
mohon ijin serta keselamatan kehadapan Ida Bhatara.

Untuk pepatih pemula perlu didampingi oleh pepatih senior, karena pada saat mulai kerauhan dia bisa
lepas kontrol, sehingga gerakannya jadi tidak karuan. Namun semakin berpengalaman maka ia akan
mampu menguasai energi tersebut dan Ngurek menjadi lebih aman.

Apabila Ngurek itu dilakukan dengan tulus dan tidak dibuat-buat, maka gerakan-gerakan yang
dimunculkan oleh kekuatan iringan Ida Bhatara akan terjadi dengan hebatnya. Akan tetapi bila ada yang
ngurek tidak murni karena kerauhan, maka mereka akan bergerak sesuai kehendak hatinya dan ini bisa
membahayan dirinya sendiri.

Gerakan saat Ngurek dan kerauhan sangat ditentukan oleh iringan yang ngelinggihin orang tersebut. Jika
yang ngelinggihin itu berkarakter ganas, walaupun pepatih itu usianya sudah tua, tetap saja akan
menampilkan gerakan yang beringas.

Pada umumnya gerakan saat Ngurek dipengaruhi juga oleh pribadi pepatih yang kerauhan itu dalam
kehidupan sehari-harinya. Sebab, biasanya iringan Ida Bhatara akan mencari wadah yang mendekati
karakternya. Yang berkarakter ganas akan memasuki manusia yang memiliki pribadi serupa, demikian
pula iringan yang berkarakter kalem akan mencari orang kalem juga.

Ngurek dalam sebuah ritual mempunyai gerakan tersendiri sesuai dengan iringan Ida Bhatara yang
ngelinggihin. Ada yang berdiri sambil menancapkan keris ke bagian tubuhnya,ada juga yang bersandar di
pelinggih kemudian menikamkan keris ke tubuhnya. Biasanya mereka menggunakan sebilah keris,tetapi
ada pula yang menggunakan dua buah keris sekaligus. Ada yang bertingkah sambil merayap, berlari
mengelilingi bebantenan, ada juga yang melompat-lompat sambil tertawa-tawa.

2.5 Menangani Orang Ngurek


Penanganan terhadap orang Ngurek meliputi menjaga, mengawasi, dan bila perlu membantu
memegang para pepatih yang sedang Ngurek agar jangan terjatuh atau bergerak berlebihan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menangani orang Ngurek, diantaranya adalah
senioritas para pepatih, gerakan yang ditimbulkan saat Ngurek, iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin,
kondisi lokasi, dan jenis upacara pada saat Ngurek dilakukan. Jika seorang pepatih sudah senior dan
ngaturang ayah dengan tulus ikhlas, maka dia tidak perlu dijaga dan diawasi, karena dia sudah dapat
mengontrol segala gerakannya. Namun, bagi para pepatih pemula sangat perlu penjagaan dan
pengawasan, karena biasanya dia belum bisa mengontrol dirinya, sehingga gerakannya jadi tak terarah,
berlebihan, malah bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Menangani orang ngurek bagi pepatih yang sudah senior tidak ada masalah walaupun dengan
gerakan apapun, biarkan mereka berkreasi dan setelah tiba waktunya, dia akan selesai dengan
sendirinya. Kalau sudah selesai (nyineb) kemudian dihaturkan arak berem, lalu diperciki wangsuhpada
Ida Bhatara.

Pepatih yang pada saat ngurek menimbulkan banyak gerakan yang membahayakan seperti sering
memindahkan ujung keris dari dada, perut, pinggang, kepala, kelopak mata, pipi, dahi, dan bagian tubuh
lainnya biasanya diberi kata-kata peringatan oleh pepatih yang lebih senior atau oleh pemangku. Bila
ada pepatih yang bergerak berguling terlalu jauh dan merusak perlengkapan upacara maka biasanya
akan ditahan dengan kaki agar dia berhenti berguling.

Iringan Ida Bhatara yang ngelinggihin pepatih jenisnya bermacam-macam dan hal tersebut akan
menimbulkan berbagai bentuk gerakan yang sesuai dengan karakter roh yang memasukinya. Setiap
gerakan ini jika dimunculkan secara murni oleh para pepatih, maka akan memperlihatkan suatu gerakan
yang indah karena sesuai dengan gerakan ancangan Ida Bhatara yang sedang ngelinggihin. Gerakan yang
bersifat murni akan muncul bila Ngurek dilaksanakan dengan tulus ikhlas dan tidak ada maksud untuk
pamer kekebalan dan tidak menambah-nambah gerakan buatan sendiri diluar kehendak roh yang
merasuki tubuh.

Lokasi ritual juga mempengaruhi keberadaan pepatih yang sedang Ngurek dan akan berpengaruh
juga pada cara penanganannya. Misalnya pada lokasi yang sempit akan memerlukan kemampuan
khusus dari para pepatih dan pemangku agar pada saat berdesak-desakan tidak sampai menimbulkan
kecelakaan. Begitu juga jika pepatih yang ngaturang ayah jumlahnya cukup banyak diperlukan
pengaturan yang bagus agar tidak terjadi saling tabrak antara satu dengan lainnya. Suasana dan kondisi
yang kondusif sangat perlu diciptakan, disamping itu juga para petugas pendukung harus tahu dan
paham betul dengan tugasnya masing-masing, mampu berkoordinasi dengan baik, sehingga proses
Ngurek dapat berjalan dengan lancar.

Tingkatan atau jenis upacara juga perlu diperhatikan dalam menangani pepatih yang Ngurek. Jika
upacaranya tergolong kecil maka jumlah pengurek juga sedikit dengan aura magis yang tidak terlalu
kuat, sehingga cara penanganannya juga cukup sederhana. Sebaliknya, jika tingkatan upacaranya
tergolong besar, pepatih yang hadir biasanya juga berjumlah banyak, dengan aura magis yang cukup
kuat, sehingga penanganannya juga lebih khusus seperti dilengkapi dengan pemotongan beberapa
binatang seperti ayam, bebek, dan babi.

2.6 Kecelakaan
“Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya akan jatuh juga”, begitulah bunyi salah satu
peribahasa, yang artinya walau kita sudah mahir melakukan sesuatu tapi suatu saat pasti akan
menemukan kegagalan. Begitu juga pada ritual Ngurek, walaupun sudah dipersiapkan dengan matang
mungkin saja terjadi kecelakaan, seperti saat Ngurek ada pepatih yang terluka oleh keris yang
dipakainya. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan saat Ngurek, diantaranya
adalah :

Pertama, pepatih yang akan ngaturang ayah belum mencapai kerauhan total, tetapi karena peserta
yang lain sudah kerauhan dan mulai melakukan Ngurek, maka dia ikut Ngurek dalam kondisi kerauhan
yang belum sempurna, hal ini dapat mengakibatkan kecelakaan yang berakibat fatal bagi dirinya sendiri.

Kedua, perasaan ragu dan tidak ikhlas saat ngaturang ayah, akibat permasalahan pribadi dari
seorang pepatih akan mempengaruhi kondisi kejiwaan dan emosinya. Hal ini akan menyebabkan
ancangan Ida Bhatara yang ngelinggihin tidak dapat masuk dengan sempurna, kekebalan tubuh pada
saat Ngurek jadi tidak sempurna, maka kemungkinan terluka saat Ngurek bisa terjadi.

Ketiga, badan pepatih dalam keadaan leteh atau kotor dapat menyebabkan kecelakaan saat
Ngurek. Leteh ini bisa diakibatkan karena melanggar pantangan sebagai pepatih. Salah satu contohnya
adalah tidak datang ke tempat-tempat mesum, tidak berselingkuh, tidak makan atau minum yang
terlarang, dan lain sebagainya. Hal itu jika dilanggar akan menyebabkan badan menjadi leteh atau kotor.
Pada saat kerauhan, ancangan Ida Bhatara dengan energi supranaturalnya masuk ke tubuh pepatih.
Namun, karena dalam kondisi kotor, maka tubuhnya tidak sanggup menampung energi yang masuk,
sehingga tubuh tidak akan menampakkan kekebalannya.

Keempat, kesombongan seorang pepatih dapat mengakibatkan kecelakaan. Misalnya, karena


dalam kesehariannya biasa menggunakan jimat atau ilmu kekebalan, maka dia merasa yakin dan
sesumbar tidak akan tembus senjata saat ditikam. Karena terlalu yakin dengan kekebalan dirinya sendiri
mengakibatkan energi dari roh tidak bisa masuk dengan sempurna, akhirnya kekebalan yang dibangga-
banggakan tidak bisa berfungsi, dan kecelakaan pun tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, pada saat
Ngurek atau Ngunying harus didasari dengan sikap pasrah, tulus ikhlas, percaya kepada Ida Bhatara,
sehingga jimat dan ilmu kekebalan buatan manusia tidak diperlukan lagi.

Kelima, kecelakaan dapat terjadi karena salah teknik. Bagi pepatih pemula yang merasa dirinya
tidak dalam kondisi bagus atau kerauhannya tidak sempurna, cara Ngurek yang aman adalah dengan
menekankan ujung keris pada satu titik saja pada bagian tubuh. Namun, untuk pepatih senior yang
sudah percaya diri akan kerauhan total, maka bisa saja menusukkan keris ke bagian tubuh yang mana
saja tanpa perlu takut terluka.

Keenam, kecelakaan juga bisa terjadi akibat kurang lengkapnya sarana upacara. Meskipun para
pepatih sudah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan, namun kecelakaan saat Ngurek bisa saja
terjadi sebagai peringatan kalau ada upakara yang belum lengkap. Biasanya kecelakaan seperti ini
bermakana teguran, dan luka yang terjadi juga tidak terlalu serius, hanya sebatas luka ringan saja.

2.7 Pencegahan

Seperti dalam pembahasan sebelumnya, kecelakaan dalam ritual Ngurek dapat disebabkan oleh
beberapa hal. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan saat Ngurek itu, maka penyebabnya perlu
ditanggulangi atau dicari jalan keluarnya terlebih dahulu. Setelah kita mengenali penyebab terjadinya
kecelakaan saat Ngurek, maka untuk mencegahnya bisa dilakukan dengan lebih mudah asalkan ada
kemauan, serta dilakukan dengan tulus ikhlas. Diantaranya yang dapat dilakukan untuk mencegah
kecelakaan Ngurek adalah :

Pertama, untuk mencegah terjadinya luka yang diakibatkan oleh pepatih yang belum siap atau
belum kerauhan total,sudah seharusnya para pepatih yang akan Ngurek tersebut mempersiapkan
dirinya sejak awal untuk total ngaturang ayah selama upacara berlangsung. Lakukan semua dengan
pasrah dan selalu memanjatkan doa kepada Ida Bhatara sesuhunan setiap akan memulai Ngurek. Hal ini
sebagai tanda bahwa setiap tahapan-tahapan upacara harus diikuti sepenuh hati dan selalu ada dalam
keadaan siap dan waspada. Begitu juga jika akan Ngurek sudah semestinya setiap pepatih
mempersiapkan jiwa dan raganya untuk ngaturang ayah.

Kedua, bila ketika akan Ngurek ada perasaan ragu-ragu dan tidak tulus, maka daripada
menimbulkan dampak buruk lebih baik tidak usah ngaturang ayah bila kondisi tidak mendukung. Kalau
sudah ke pura hendaknya kita satukan pikiran agar focus pada Ida Bhatara. Itulah sebabnya kenapa
hampir seluruh pintu masuk ke utama mandala berbentuk Candi Kurung, bukan Candi Bentar, yang
bermakna rwa bhineda dalam pikiran sudah bersatu padu menuju satu tempat ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa.

Ketiga, Untuk mencegah agar badan pepatih tidak leteh atau kotor, maka setiap pepatih harus
rajin membersihkan diri, baik secara sekala maupun secara niskala. Salah satu contohnya adalah dengan
melakukan panglukatan yaitu mandi dengan dilengkapi dengan sarana upakara. Disamping itu untuk
menjaga kesucian diri, maka perlu dihindari tempat-tempat yang dilarang oleh ajaran agama, seperti
diskotik, kafe remang-remang, tempat prostitusi, tempat judi, dan lain-lainnya. Juga perlu dihindari
pikiran serta ucapan yang bersifat negatif, yang bisa merusak jiwa.

Keempat, seorang pepatih harus bersifat rendah hati, tidak boleh sombong dalam menunjukkan
kekuatan dan kekebalan, karena Ngurek merupakan serangkaian ritual upacara keagamaan, yang tidak
boleh disamakan dengan Ngurek yang hanya bersifat hiburan semata. Jadi seorang pepatih yang
melakukan atraksi Ngurek bukanlah untuk memperlihatkan kebolehannya memainkan keris dan senjata
tajam lainnya, akan tetapi proses Ngurek itu harus dilakukan dengan tujuan pengorbanan dan
menyerahkan diri kepada Tuhan.

Kelima, mengenai teknik Ngurek, masing-masing pepatih punya gaya sendiri-sendiri. Asalkan dia
mau memasrahkan dirinya saat Ngurek, maka akan mudah mengalami kerauhan sempurna, sehingga
saat demikian roh yang memasuki tubuh akan memberikan kekuatan lebih dan walau ke bagian tubuh
mana saja keri ditusukkan tidak akan menimbulkan luka.

Keenam, untuk menghindari kekurangan upakara, maka perlu pedoman untuk masing-masing
pura, berupa buku yang memuat segala sesuatu tentang ketentuan di setiap pura, baik mengenai
upakara maupun upacara serta tata cara pelaksanaannya. Dengan adanya panduan seperti itu maka
diharapkan tidak ada sarana dan kelengkapan upacara yang dilupakan.

http://nanox-nanoxkarangasem.blogspot.co.id/2011/01/ngurek.html
Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan senjata keris, ini berlangsung ketika para
pelaku berada dalam keadaan trance (diluar kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual keagamaan
bahkan disejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan. Ngurek bisa disebut juga dengan
Ngunying, Ngurek merupakan wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu
pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa
menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia
di harapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan diri nya kepada Sang Pencipta yakni
Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti melobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha
melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam
kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau diluar kesadaran, maka roh
lain yang masuk ketubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi
kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan.

Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan, konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat
itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang
Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara,
kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan
kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.

Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya
dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan
statusnya,bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat, laki-laki dan
perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance.
Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ketubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau
terluka.

Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong
dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan
mengelilingi wantilan pura (bagian dari bangunan pura) sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para
pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.

Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks
kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar
dibagi menjadi tiga yang terdiri dari:

Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar
segera kerasukan.
Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian
gamelan.

Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya

Masuknya roh kedalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar,
mengerang dan memekik, dengan di iringi suara gending gamelan, para pengurek yang kerasukan,
langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada,
dahi, bahu, leher, alis dan mata, walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara
berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada
didalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.

Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh,
seperti dada atau mata, ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku
ngurek kembali ke kompleks pura utama.

Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur
dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan
menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga
dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya (para abdi/pengawal), berkenan
menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai
Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turunnya ke
marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya.
(sumber : Blog kebudayaan) https://sampattitour.wordpress.com/2013/12/03/tradisi-ngurek-ngunying/

Anda mungkin juga menyukai