Anda di halaman 1dari 74

RITUAL ADAT DAYAK NGAJU

Ritual merupakan bagian penting dari sistem keagamaan untuk mencapai

berbagai maksud dan tujuan tertentu dalam suatu masyarakat. Dewa, roh halus,

neraka, surga, dll, selalu mengambil bentuk dan bagian dalam ritual, baik

musiman dan jarang. Adapun tujuan dari ritual-ritual tersebut adalah: tujuan

menerima, melindungi, menyucikan, memulihkan, memperbanyak,

mengamankan, melestarikan kehendak leluhur (menghormati), mengendalikan

sikap masyarakat sesuai situasi sosial yang semuanya berorientasi pada perubahan

keadaan. pada manusia atau alam.

Jadi, Ritual adat yang biasa diadakan oleh suku Dayak Ngaju itu ada

beragam antara lain; upacara ritual mengantar tulang-tulang orang yang sudah

meninggal ke dalam sandung atau Tiwah, ritual Manajah Antang, ritual

pernikahan atau Pelek Rujin Pengawin, ritual p e n g u b u r a n atau Tantulak Ambus

Rutas Uluh Matei, ritual pengobatan atau Menyanggiang, ritual kehamilan atau

Nyaki Tihi, ritual- ritual Menetek Pantan, ritual membersihkan kampung atau

Mamapas Lewu, ritual Laluhan, ritual Pakanan Sahur Lewu, ritual Menyanggar,

dan ritual memberikan nama pada anak atau Nahunan (Kuennu, 2015).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan, ada tiga ritual adat saja yang

nantinya akan diteliti jenis tumbuhan yang digunakan dalam Ritual Adat Dayak

Ngaju yaitu pada ritual memberikan nama pada anak atau Nahunan, ritual

pernikahan atau Pelek Rujin Pengawin, dan ritual mengantar tulang-tulang orang

yang sudah meninggal ke dalam sandung atau Tiwah.


1. Ritual Memberikan Nama Pada Anak Atau Nahunan

a. Pengertian Upacara Nahunan

Masyarakat agama Kaharingan menyebut upacara pemberian nama bayi

dengan sebutan Nahunan. Berdasarkan menurut Ledia (2014) dalam penelitiannya

yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu Kaharingan dalam

Pelaksanaan Ritual Nahunan di Kelurahan Kampuri Kecamatan Mihing Raya”

menyatakan bahwa pengertian ritual Nahunan yaitu pemberian nama bagi bayi

yang lahir dengan selamat sekaligus membayar jasa bidan yang membantu dalam

proses kelahiran tersebut. Pemberian nama harus dengan ritual Nahunan agar

nama bayi selain dikenal di hadapan orang banyak juga diakui dihadapan Sang

Penciptanya (Ledia, 2014).

Ritual Nahunan yang dilaksanakan oleh umat Kaharingan karena

didasarkan pada ajaran kitab suci Panaturan yaitu pasal 20 ayat 20 yang berbunyi

sebagai berikut :

Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan


Tambun Handiwung Pusu Pandung Bapangku Anak’e”.
Artinya :
Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan
Tambun mengandung atau hamil (Tim Penyusun, 2009: 60).

Sebagaimana tertulis dalam kitab suci Panaturan, tergambarlah bahwa

seorang ibu yang baru mengandung (hamil) perlu dilaksanakan upacara ritual

yaitu sebagai berikut :

1) Ritual Paleteng Kalangkang Sawang adalah dilakukan pada saat umur bayi

dalam kandungan berumur 3 bulan.


2) Ritual Nyaki Ehet/Nyadiri adalah dilakukan pada saat umur bayi dalam

kandungan berumur 7 bulan.

3) Ritual Mangkang Kahang Badak adalah dilakukan pada saat umur bayi dalam

kandungan berumur 9 bulan.

Setelah bayi tersebut lahir maka langkah awal yang dilakukan oleh orang

tua setelah lepas tali pusat si bayi adalah melaksanakan Maruah Awau. Setelah itu

baru dilaksanakan ritual pemberian nama bayi atau Nahunan tersebut sebagai

mana tersirat dalam ajaran kitab suci Panaturan (Ledia, 2014).

Ritual Nahunan merupakan suatu balas jasa atau ucapan terima kasih

kepada Bidan dan para leluhur yang telah menjaga dan melindungi bayi dan

ibunya, sehingga dari proses awal sejak bayi dalam kandungan sampai bayi itu

lahir tidak mengalami gangguan berbagai penyakit dan pengaruh buruk karena

dilakukan meteng manas (diikat dengan Lilis Lamiang). Ritual Nahunan

merupakan upacara sakral yang diyakini dan dipercaya terhadap Ranying Hatalla

Langit (Tuhan Yang Maha Esa), untuk itu upacara Nahunan merupakan hakekat

dan hajat hidup menyangkut pembentukan watak dan karakter manusia (Ledia,

2014).

Dalam Ritual Nahunan adalah menyangkut proses pembuatan dan

pemilihan nama bagi bayi yang baru lahir setelah berumur 40 hari sampai dengan

umur 1 tahun, dimana nama tersebut memiliki makna atau arti yang sangat

mendalam karena baik atau buruknya tingkah laku seseorang tidak lepas dari

nama yang telah diberikan. Sehingga pemberian nama tersebut harus berhati-hati

dan bersyarat sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, karena dengan nama
yang telah diberikan melalui upacara tersebut seseorang dapat mengenal siapa

dirinya dan memudahkan orang lain mengenal namanya. Ritual Nahunan

merupakan suatu upacara yang sangat mutlak dilakukan untuk memberi nama dan

merupakan do’a orang tua terhadap anaknya (Ledia, 2014).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ritual Nahunan itu

sangat penting sekali untuk memberikan jati diri anak tersebut dan mendapat

berkat dari Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa). Maka oleh sebab itu

umat Hindu Kaharingan di Kelurahan Kampuri Kecamatan Mihing Raya

Kabupaten Gunung Mas tetap mempertahankan dan melestarikan upacara

Nahunan (Ledia, 2014).

b. Tujuan Pelaksanaan Upacara Nahunan

Setiap ritual sudah tentu mempunyai suatu tujuan, seperti halnya dengan

ritual Nahunan merupakan upacara ritual agama Hindu Kaharingan yang sangat

diyakini dan harus dilaksanakan bagi bayi yang lahir dengan selamat. Menurut

Ledia, tujuan pelaksanaan ritual Nahunan adalah pemberian nama bayi secara

resmi, membayar jasa atau upah Bidan dan sebagai ucapan syukur kepada

Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) atas kelahiran bayi tersebut yang

lahir dengan selamat (Ledia, 2014).

Ritual Nahunan adalah ritual yang bersifat sakral dalam agama Hindu

Kaharingan yang wajib dilakukan oleh orang tua terhadap setiap bayi yang lahir

dengan selamat. Karena dalam kehidupan di dunia ini baik bayi si kaya dengan

bayi si miskin semuanya sama mengalami proses kelahiran (Ledia, 2014).


Menurut filosofis dan ajaran umat Hindu Kaharingan bahwa pelaksanaan

ritual Nahunan merupakan bagian dari upacara sakral yang harus dilakukan sesuai

dengan ajaran yang diajarkan oleh Bawi Ayah saat turun ke Pantai Danum

Kalunen (dunia). Pada intinya ritual Nahunan bertujuan untuk mendapatkan

pengakuan secara ritual bagi bayi yang baru lahir yang sangat diyakini oleh umat

Hindu Kaharingan, hal ini disebabkan karena nama bagi seorang akan selalu

digunakan sampai pada waktunya ia kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena

itu ritual Nahunan merupakan suatu upacara yang pertama bagi si anak dalam

hidupnya (Ledia, 2014).

c. Pengaruh Tidak Dilaksanakan Upacara Nahunan

Setiap upacara ritual sudah pasti ada pengaruh/dampak positif dan

negatifnya, begitu pula dalam pelaksanaan ritual Nahunan tersebut. Dampak

positifnya dalam pelaksanaan ritual Nahunan yaitu si anak mendapat berkat dari

Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) setelah ritual Nahunan

dilaksanakan dan nama si anak tersebut diakui dihadapan Ranying Hatalla Langit,

leluhur (Sahur Parapah) dan orang yang menghadiri pelaksanaan upacara ritual

Nahunan tersebut.

Menurut Ledia (2014) ada 3 point yang terjadi apabila tidak segera

dilakukan ritual pemberian bayi atau Nahunan:

 Nama anak tidak sah dimata Ranying Hatalla Langit dan Hambaruan atau roh

si bayi masih bersama si bidan dan bila si anak nantinya meninggal maka

Hambaruan atau roh dari si anak akan ikut bersama si bidan tersebut
 Apabila Ritual Nahunan tidak dilaksanakan maka Hambaruan/roh si bayi

akan tetap bersama dengan Bidan, karena itu si bayi bisa (Pamparesen) mudah

sakit.

 Jika upacara Nahunan tidak dilaksanakan selama 1 tahun maka (saudara

kembarnya) yang gaib akan berada jauh dengan si bayi karena tidak ada

upacara yang menjalin kembali hubungan si bayi dengan saudara yang bisa

menjaganya

Berdasarkan 3 point di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ritual

pemberian nama bayi (Nahunan) tersebut untuk mendapatkan berkat dan

memohon perlindungan kepada Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa),

leluhur (Sahur Parapah). Jadi sangat penting sekali bagi orang tua si anak untuk

melaksanakan ritual Nahunan agar Hambaruan atau roh si anak ikut bersama

kedua orang tuanya dan tidak lagi bersama dengan Bidan (Ledia, 2014).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi latar

belakang umat Kaharingan di Kelurahan Tumbang Talaken melaksanakan upacara

Nahunan karena adanya pemahaman tentang pengertian ritual Nahunan, tujuan

pelaksanaan upacara Nahunan dan pengaruh tidak dilaksanakan ritual Nahunan

tersebut (Ledia, 2014).

d. Tata Cara Pelaksanaan ritual Nahunan

Dalam pelaksanaan upacara Nahunan pada masyarakat Hindu Kaharingan

terdapat beberapa tahapan yang perlu diperhatikan oleh keluarga yang

melaksanakan ritual Nahunan yaitu sebagai berikut :


1) Tahapan Persiapan Upacara Nahunan

Adapun tahap persiapan sebelum tahap pelaksanaan ritual Nahunan

dilaksanakan, maka beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh orang tua si bayi

yang akan melaksanakan upacara Nahunan tersebut.

Menurut Ledia (2014) tahap persiapan sekaligus sarana dan prasarana

dalam ritual adat memberikan nama Anak atau Nahunan yaitu sebagai berikut :

 Pada tahap persiapan ini yang harus dilakukan keluarga yang akan

melaksanakan ritual Nahunan yaitu menyiapkan biaya untuk pelaksanaan

ritual Nahunan. Apabila biaya sudah siap maka orang tua bayi yang akan

melaksanakan ritual Nahunan memberitahukan dan sekaligus meminta

petunjuk kepada Bidan atau rohaniawan tentang waktu pelaksanaan ritual

Nahunan serta diharapkan kehadirannya untuk hadir dan memimpin jalannya

upacara tersebut. Adapun aturan waktu atau hari baik dalam pelaksanaan

upacara Nahunan yaitu dalam pelaksanaan ritual Nahunan waktu atau hari

baik untuk pelaksanaannya harus ditentukan yaitu dengan melihat hari bulan

atau bulan di langit yang sudah pas separoh terlihat (Bulan Paras Kajang),

ketiga dari bulan purnama di langit atau dalam hitungan kepercayaan umat

Kaharingan (Orang Dayak) bulan ke satu jatuh pada bulan Mei baik untuk

melaksanakan suatu acara/upacara Nahunan tersebut. Sedangkan bila bulan

sabit (bulan tapas) tidak baik untuk melakukan acara/ritual Nahunan. Ritual

Nahunan itu dilaksanakan sejak matahari terbit sampai acaranya selesai.


 Kemudian orang tua si bayi menghubungi kepada seluruh keluarga maupun

warga disekitar seperti tetangga di lingkungan sekitarnya yang ada untuk

berkenan hadir dan ikut serta membantu kegiatan ritual Nahunan.

 Kemudian mulailah membuat Kajang Lalangit (atap rumah daun rumbia),

membuat Tarinting Dawen Sawang (daun sawang yang bagian tangkai

daunnya diikat dengan tali dan pada daun sawang dituliskan Cacak Burung

memakai kapur sirih) lalu diikatkan pada sebuah (Lunju) tombak, jumlah

sawang yang di gantung itu berjumlah 5 lembar daun sawang. setelah itu

memasang Timpung Bahenda (bendera/kain kuning).

 Mempersiapkan perlengkapan atau sarana dan prasarana yang berhubungan

dengan ritual Nahunan baik dari sarana yang terkecil sampai pada sarana yang

terbesar semuanya harus dicari dan dilengkapi demi suksesnya pelaksanaan

upacara Nahunan.

 Paduduk atau Padadukan bayi yaitu sebuah Sangku yang di dalamnya

berisikan sagala Laluh Bidan (upah Bidan kampung) berupa : satu buah

tambak beras, sesajen yaitu berupa babi dan ayam masak, satu lembar kain

panjang (Bahalai), Pakayan Sinde Mendeng (baju), satu buah parang, satu biji

buah kelapa dan ada juga uang sesuai kemampuan, satu buah piring, mangkok

kosong, gula merah yang dibungkus, kopi satu bungkus, (bawang merah,

bawang putih, garam, jahe, kunyit) semuanya dibungkus jadi satu.

 Sangku yang berisi beras.


 Mangkok tambak sebanyak 7 buah tambak bila anaknya laki-laki dan 5 buah

tambak bila anaknya perempuan dengan Giling pinang, sipa ruku sebanyak 3

pasang untuk 1 tambak.

 Piring putih disusun 7 dan yang bawah di isi beras Pulut (beras kentan) begitu

pula piring yang lainnya.

 Buah kelapa (Enyuh Katilambung Nyahu) yang sudah dikupas kulit luarnya

dan masih ada serabut dalamnya kemudian ujungnya dililit dengan benang

yang sudah ada jarumnya sebanyak 7 lilitan untuk anak laki-laki dan 5 lilitan

untuk anak perempuan dan tidak boleh menggunakan benang berwarna hitam.

 Gula merah 1 bungkus.

 Satu helai kain Bahalai bila anak laki-laki dan bila anak perempuan satu helai

kain sarung

 Parang yang ada sarungnya (Pisau Tangking), sebagai alat untuk memperkuat

beras Hambaruan.

 Uang seadanya sesuai dengan kemampuan keluarga yang melaksanakan

upacara Nahunan tersebut, sebagai simbol Laluh Bidan (upah Bidan) pada

saat membantu proses pelaksanaan upacara Nahunan.

 Manas Sambelum Kalingkang Lenge (Manas dibuat gelang tangan).

 Kue cucur berjumlah 21 buah, Lawas Pulut (lemang kentan) berjumlah 14

buah, ketupat bermacam-macam berjumlah 14 buah.

 Babi satu ekor dan ayam yang diambil darahnya.

 Satu (1) pohon sawang (Sawang Jangkang), bermakna menjadi saksi dan janji

hidup bagi si bayi dengan Ranying Hatalla Langit selama hidup anak tersebut.
 Satu (1) batang rotan (Uwei Rantihen Tingang) sepanjang 1 depa, 1 hasa, 1

gawang, sabuti, 3 jari dan lebih sedikit tetapi tidak melebihi dari yang 3 jari

tersebut.

 Satu (1) batang rumput Kakambat atau gandarusa

 Satu (1) batang cocor bebek (Uru Sambelum)

 Buah pinang muda dan tua, satu tangkai sirih yang sudah diberi kapur diikat

jadi satu.

 Tanah dan air yang diambil dari pinggir sungai yang mengalir.

 Patung Sadiri yang dibuat dari tepung beras

 Kayu Hampatung Sadiri.

 Rabayang (sejenis tombak) bisa juga diganti dengan 1 buah tombak (Lunju

atau disebut Ranying Pandereh Bunu).

 Lakar,jala, Katip (alat penggepit untuk memegang panci), Tutup Ketel (tutup

panci) Tanggui Layah (topi dari daun ipah), Batu asah, palu dan parang kecil.

 Minyak Tanak atau disebut Minyak Bangkang Haselan Tingan, Uring

Katilambung Nyahu (minyak yang dibuat dari buah kelapa tua).

 Tampung Tawar (terbuat dari daun kelapa muda yang dianyam dan digunakan

untuk memercikan air suci/air yang disucikan.

 Beras Hambaruan.

 Hampatung Tabalien (patung terbuat dari kayu ulin).

 Pisau Tangking (parang).

 Kawu (abu).
 Uang logam (Duit Singah Hambaruan) dan uang kertas.

 Tambak Hambaruan (mangkok yang berisikan beras di dalamnya dan terdapat

Giling Pinang/Sipa Ruku) beserta makanan secukupnya.

 Kue cucur, ketupat ayam dan ketupat sinta.

 Telur ayam kampung (yang sudah masak 1 biji ).

 Pakayan sinde mendeng (baju).

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan di atas dapat disimpulkan bahwa

pada tahap persiapan ritual Nahunan pada masyarakat Kaharingan khususnya

keluarga yang melaksanakan upacara Nahunan yaitu mempersiapkan mulai dari

biaya pelaksanaan ritual Nahunan, penentuan waktu atau hari baik dalam

pelaksanaan ritual Nahunan sampai pada persiapan sarana dan prasarananya

sebelum dilaksanakannya ritual Nahunan tersebut (Ledia, 2014).

2) Tahap Pelaksanaan ritual Nahunan

Setelah tahap persiapan berupa sarana dan prasarana ritual Nahunan

sudah dipersiapkan semua oleh orang tua si bayi maka dilanjutkan dengan tahap

pelaksanaan ritual Nahunan. tahap persiapan ritual Nahunan yaitu sebagai berikut

 Memasang Kajang Lalangit (atap rumah daun rumbia) atau bila tidak ada bisa

diganti dengan kain panjang dan direkatkan tepat di atas pintu masuk, sebelah

kiri dipasangkan sebuah bendera atau kain kuning (Timpung Bahenda) dan

disamping kiri pintu keluar dipasang juga Tarinting Dawen Sawang yang
sudah diikat pada sebuah tombak dan sebuah pohon kayu yang ditancapkan

berdekatan dengan jarak kurang lebih satu meter dari tombak tersebut.

 Selesai memasang Kajang Lalangit, Timpung Bahenda dan Tarinting Dawen

Sawang, kemudian orang tua si bayi memberitahukan atau menjemput Bidan

dan Basir (rohaniawan) yang bertugas untuk melaksanakan upacara Nahunan

tersebut. Setelah Bidan dan Basir (rohaniawan) sudah datang maka orang tua

bayi memohon bantuan kepada Basir untuk memberitahukan (berkomunikasi)

kepada para leluhur untuk memohon perlindungan serta menyampaikan

maksud dan tujuan ritual Nahunan kepada para leluhur yaitu dengan

Manawur beras.

 Sebelum pelaksanaan ritual Nahunan dilaksanakan maka terlebih dahulu

orang tua si bayi yang akan melakasanakan ritual Nahunan memberitahukan

kepada bidan dan Basir (rohaniawan) yang bertugas dalam pelaksanaan

upacara Nahunan tarsebut agar mempersiapkan dirinya terlebih dulu.

 Basir (rohaniwan) manawur beras Tawur dengan mantra khusus (mantra suci)

yang bertujuan menyampaikan maksud dan tujuan pelaksanaan ritual

Nahunan tersebut. Kemudian setelah selesai maka babi dibunuh dan ayam

juga dipotong dan darahnya diambil sedikit dan disimpan di dalam mangkok

kecil yang berbeda tempat.

 Apabila syarat-syarat telah disiapkan, maka orang tua bayi membuat nama

anaknya atau meminta kepada keluarganya, agar saat Bidan menanyakan tetua

keluarga didepan pintu masuk rumah untuk menanyakan dari mana si bayi
melakukan perjalanan, maka Bidan akan menjawab dengan menyebutkan

nama yang telah dibuat tadi.

 Orang tua bayi mempersilahkan orang-orang yang bertugas dalam pembuatan

nama anaknya untuk memakan giling pinang yang telah disediakan dan sirih

pinang yang dimakan tersebut airnya disimpan sedikit-sedikit di dalam

mangkok yang diletakan didekat darah hewan korban ritual. Ampas pinang

yang telah di makan oleh beberapa orang tersebut lalu diikat oleh Bidan

memakai Tengang Bulau Sangkalemu (serat kulit kayu tengang), secara

berjejer dan digantung pada tampuk ayunan bayi yang berdampingan dengan

tali pusar si bayi.

 Bidan dan Basir serta orang tua bayi Manyaki (mengoleskan air penginangan)

pada si bayi yang dirituali tersebut, dengan Tandak (mantra). Adapun

mantranya yaitu sebagai berikut :

Nyakiku ikau hapa iweh tingang uju kataruk lunuk, telan tambun hanya
kalawang baras, hapa manangkiri daha puti, namalimbas pangirih
musat, mandahang daha kurang, manambah aseng tapas, manuntung
talin jantung, manapal atei balayu, manyarumat tuntung hayat,
manambah isi uhat, manumpang upak bapetuk, manuntung uhat bagetu,
uju sarang uhat uju taratikam, hanya sampalakin uhat hanya taranjak,
mangat entang miring daha. Banyame ambu balajur hawun, tau akan
tanggeran lewu mandereh danum, panangkilik rundung hapamantai
tambun.
Artinya :
Ku oleskan air penginangan untuk menyempurnakan darah mu, daging,
urat, tulang dan sum-sum mu, agar selalu sehat, kuat gagah perkasa,
berumur panjang, cakap dan bijaksana yang akan menjadi contoh
tauladan bagi orang banyak serta berbhakti kepada Ranying Hatalla
Langit (Tuhan Yang Maha Esa).
 Apabila semua telah selesai dan sudah siap, maka si bidan akan membawa

bayi turun menuju sungai untuk memandikan si bayi. Dalam perjalanan

menuju sungai ada satu orang dari keluarga si bayi atau Basir yang berjalan
mendahului bidan membawa dan memegang tempurung yang berisi abu dapur

seraya menabur abu di mulai dari halaman rumah sampai di pinggir sungai,

seraya menabur abu kekiri dan kekanan sambil mengucapkan mantra.

Kemudian dibelakang seseorang yang menabur abu tadi diikuti oleh Bidan dan

dibelakang Bidan berjalan kakek si bayi serta seseorang lagi berjalan

memegang Nyiru (tampin) yang berisikan patung Sadiri, sebuah parang,

beberapa sesajen serta sebuah Tambak beras dan ayah si bidan memegang

pohon sawang yang telah disatukan dengan Rabayang/tombak, rotan dan

sarana lainnya. Abu tersebut berfungsi menutup semua sifat-sifat buruk agar

tidak menggangu saat bayi turun mandi. Adapun pengucapan mantra pada saat

menabur abu yaitu sebagai berikut :

Naburanku kawu tuh, hapa mangawu/manutup matan sial kawe, dahiang


baya, pali endus, taluh jepapa, mangat ela mandaur manderuh jalanan
awau tuh, ije muhun hapandui tingang, kanyalung repung.
Artinya :
Kutaburkan abu ini, untuk menutup mata semua roh-roh jahat yang ada
agar tidak melihat dan tidak menggangu pelaksanaan pemandian si bayi
baik selama perjalanan sehingga sampai di sungai (Goldison, S. Demas,
40 Tahun).
 Setibanya di sungai Bidan menabur jerangau, sikur yang telah dirajik pada

sebuah tempurung di dalam tampi beras (Nyiru) kemudian Bidan menebas air

sungai searah arus dan berlawan arus sungai memakai parang yang bermakna

Manantilang Nyalung Je Basial dan melepas Hampatung Pasak berisi sebuah

ketupat ayam dan ketupat sinta dan telur ke dalam sungai. Bidan memandikan

bayi di sungai dengan menggunakan peralatan mandi seperti sabun dan

pencuci rambut. Adapun mantra untuk memandikan bayi sebagai berikut :

Kakarau pating jarin Bidan hamben huran ngayuh hiring duhung melai
bilun nyalung nantilang nyalung Jatha je ngumpang basial guhung
Hatalla jawan bakawe. Palus nantilang nyalung Jatha je ngumpang
basial, matei kahem kokop, matei buseng leteng, matei buah dondang,
matei manak tangkeng, sukup simpan taluh je papa, jatun ati batisa ije,
kurang nganan balihi due. Nanjuri marit nyalung Jatha tuntung batuah
guhung Hatalla kajawan balambit bara tumbang batang danum
sembang jalayan hulu danum, ain Jatha je tege (Raden Kudung), ain
Nyai (Nyai Siti, Nyai Galuh rami, Nyai Endas), aka lampang
ngatimbung mamba-mambai lanting garing mangat entang kapanduia
uras bujur kabajuran. Nanjuri marit tinai bara jalayan hulu danum bara
Bukit Tantan Samatuan, Bukit Raya, bukit kaminting, bukit lungkang
halu tangkung lisung, bara Bulan Tagalan Tahutun Bintang Patendu
Langit, bara kare bintang bulan, bintang intan, bintang kaliangan, ijang
bawui kayun tanggui tampung bua aka uras mantis Nyalung Kaharingan
belum nantiring duhung kapanaling tahaseng, mamantis tatamba
panyangka, panyalembang untek, panarang atei, paharus jalan,
parajang tutur (Basir Ucun, T. Runuk, 49 Tahun).
 Sesudah memandikan bayi, Bidan melepaskan dan membuang pakayan si bayi

seraya mempersilahkan ayah si bayi mencelupkan pangkal pohon sawang

tersebut ke air kemudian meneteskannya ke atas ubun-ubun si bayi sebayak

tujuh kali atau lima kali. Dengan diiringi mantra oleh Basir. Adapaun mantra

saat meneteskan pangkal pohon sawang yaitu sebagai berikut :

Nantisanku pantis sawang jangkang, Uwei rantihen tingang, Ranying


pandereh bunu, Enyuh katilambung nyahu, mangat bajangkang kambang
nyahu tarung, baaseng panjang banyame ambu belum tatau
manyambung.
Artinya :
Kuteteskan dengan tetesan air dari pohon sawang, rotan, tombak,
rabayang, buah kelapa, pertanda mulai meneteskan air kehidupan yang
suci/bersih, agar hidup mu berkembang dengan baik, semoga panjang
umur, murah mendapat rejeki dan diawali dengan sempurnanya lahir dan
bhatin (Basir Ucun, T. Runuk, 49 Tahun).
 Kemudian bayi dibawa pulang oleh Bidan dan keluarganya ke rumah ritual

Nahunan, setelah sampai di depan rumah Bidan menginjakan kaki bayi ke

tanah dan memegangkan tangan bayi pada pohon sawang, kayu dan rumput.

Kemudian Bidan membawa bayi mendekati tangga rumah dan dari dalam

rumah ada tetua keluarga yang menanyakan beberapa pertanyaan pada Bidan

yang kemudian langsung dijawab oleh Bidan untuk si bayi seraya

menyebutkan nama dari si bayi. Pada saat pertanyaan pertama, Bidan


melangkah satu langkah untuk melepaskan pengaruh buruk yang datang atau

tidak diketahui selama perjalanan memandikan bayi. Setelah itu Bidan

melangkah maju perlahan-lahan sambil menjawab satu persatu pertanyaan

tersebut. Selesai tanya jawab, maka tetua keluarga mempersilahkan Bidan

yang membawa bayi masuk ke dalam rumah beserta yang lainnya.

 Sesudah itu Bidan melepaskan si bayi dari gendongannya dan menginjakan

kaki bayi pada semua peralatan (sesajen) yang telah disediakan sedemikian

rupa di atas tikar. Pada setiap kali putaran terakhir, Bidan memegang tangan si

bayi pada pohon sawang yang tadi dibawa mandi yang sudah ditempatkan

berdiri di tengah-tengah syarat/alat upacara. Kegiatan ini dilakukan selama

lima kali atau tujuh kali putaran, bayi memegang pohon sawang tersebut

dengan posisi tangannya memegang pohon sawang mulai dari bawah ke atas

semakin tinggi.

 Kemudian setelah bayi mengelilingi sesajen, Bidan menyerahkan si bayi

kepada ayahnya seraya ayah si bayi langsung menyambut anaknya langsung

membawa anaknya kemuka pintu. Di muka pintu ayah bayi memegang tangan

anaknya pada sisi pintu menghadap ke arah matahari terbit seraya melakukan

pekikan (Manukiu) tujuh kali berturut-turut hingga tangan anak untuk terakhir

kalinya tiba disisi pintu bagian atas. Setelah selesai ayah si bayi menyerahkan

anaknya kepada istrinya dan istri menyambut anaknya dengan beralaskan kain

sebanyak tujuh lapis. Disaat bayi berada dipangkuan ibunya, disitu Bidan

Manyaki Malas (penyucian) mengoleskan darah babi dan ayam (hewan

korban), memercikan Tampung Tawar dan Mambuwur Behas Hambaruan di


atas kepala si bayi dan sekaligus mengikatkan Lilis Lamiang di tangan bayi

tersebut.

Sesudah acara Manyaki Malas, dalam Nahunan maka dilakukan ritual

Mambayar Hajat/Membayar nazar kepada para leluhur yang telah melindungi dan

menjaga bayi dari sejak dalam kandungan ibunya hingga dia lahir dengan selamat

dan dilanjutkan dengan acara ritual oleh Basir atau orang tua yang

berpengalaman. Ritual tersebut dilaksanakan sebagai ungkapan syukur atas

keselamatan ibu yang melahirkan anaknya dan sebagai sebuah aturan dalam hal

pensucian bayi tersebut (Ledia, 2014).

3) Tahap Akhir Upacara Nahunan

Selesai tahap pelaksanaan ritual Nahunan atau pemberian nama bayi sudah

dibuatkan dalam ritual tersebut. Menurut hasil penelitian pendahuluan yang

dilakukan Ledia (2014), tahap akhir ritual Nahunan yaitu sebagai berikut :

 Semua keluarga dipersilahkan untuk makan bersama-sama. Setelah acara

makan bersama, maka Bidan diantar pulang oleh ayah si bayi dengan

membawa Laluh Bidan (Upah Bidan).

 Dalam pelaksanaan ritual Nahunan ini, ayah si bayi pada sore harinya

membawa pohon sawang keluar menuju halaman rumah untuk langsung

ditanam di bagian kanan arah keluar pintu rumah disitu Bawi Putir Santang

langsung membawa roh Sawang Tahunan bayi menuju Bukit Tanjung Nyahu

di Batang Danum Banyahu Bulau, Guhung Mangkilat Babilem. Sawang


Tahunan si bayi hidup disana ditempati oleh Manuk Rimbun Bulau yaitu roh

dari tabuni (ari-ari) si bayi tadi di Bukit Tanjung Nyahu, nama sawang tersebut

disebut Sawang Tuntung Puser. Setelah penanaman pohon sawang tersebut

ayah si bayi pulang ke rumah dan setelah itu ritual ritual Nahunan selesai.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa disetiap ritual maupun upacara

sudah tentu memiliki tahapan atau aturan/tata cara yang harus dilaksanakan dan

dipatuhi seperti ritual Nahunan ini demi keselamatan dunia maupun akhirat si

bayi. Dengan berakhirnya tahap akhir maka berakhir pula pelaksanaaan ritual

Nahunan pada masyarakat penganut agama Kaharingan (Ledia, 2014).

2. Ritual Pernikahan/Perkawinan Adat Dayak Ngaju atau Pelek Rujin


Pengawin
a. Definisi Pernikahan Adat Dayak Ngaju

Pernikahan/perkawinan menurut adat Dayak Ngaju sudah ada sejak

dahulu kala dan masih dilestarikan sampai sekarang oleh anak cucu suku Dayak

Ngaju yang berasal dari isyarat Pelek Ruji Pangawin bapa Sangomang atau yang

dikenal dengan perjumpaan Manyamei dengan Putir (Mitologi Dayak Ngaju)

yang dijadikan sebagai teladan perkawinan yang paling sempurna bagi suku

Dayak Ngaju.

Keyakinan terhadap adat masih kuat di kalangan masyarakat Dayak

Kaharingan. Berbagai upacara adat dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju

pemeluk Kaharingan. Misalnya, acara perkawinan yang mereka sebut Pelek

Rujin Pengawin yang merupakan upacara adat yang sangat erat dengan keyakinan

adat suku Dayak Ngaju. Upacara adat ini menjadi salah satu ciri Dayak Ngaju.
Perkawinan atau Pernikahan adalah suatu hal yang sangaat sakral didalam

semua budaya Suku Dayak. Sebelum dilakukan pernikahan ada beberapa tahapan

dan persiapan yang harus dilakukan. Yang utama ialah memperhatikan kesediaan

sang mempelai atau calon pengantin dan keluarga besarnya, dan juga “Hurui”

atau kekerabatan supaya tidak terjadi kawin sumbang atau juga perselisihan

keluarga. Secara umum kekerabatan suku Dayak Ngaju meliputi dari:

1) Ije Kalambutan = Ini adalah saudara sekandung

2) Ije Tatu = Ini adalah saudara sepupu sekali

3) Hanjenan = Ini adalah saudara sepupu dua kali

4) Hararue = Ini adalah saudara sepupu tiga kali

Di luar ini baru dianggap bukan keluarga dekat dan boleh dinikahi.

Pernikahan Dayak Ngaju menganut sistem Eleutheogami, yaitu sistem pernikahan

yang memberikan kebebasan bagi seorang laki-laki atau seorang perempuan untuk

memilih pasangan hidupnya. Sehingga sangat jarang ada kisah perjodohan

didalam budaya Dayak Ngaju, walau di beberapa daerah ada praktek perjodohan

atau “Iadu” tetapi sangat jarang dilakukan. (Anonim, 2014)

Sistem pernikahan Dayak Ngaju juga adalah sistem monogami dan ada

satu istilah dalam bahasa Dayak Ngaju “Hambelom Sampai Hentang Tulang”

yang artinya hidup sampai menggendong tulang, Yang Artinya pernikahan yang

dilakukan harus bertahan sampai salah satu pasangan meninggal. Didalam tradisi

Tiwah atau penyucian tulang belulang, maka kewajiban sang Suami/Istri lah yang

bertanggung jawab menggendong tulang pasangannya untuk dimasukan kedalam

Sandung atau tempat meletakan tulang-belulang yang telah disucikan untuk


menghantar orang mati tadi ke Lewu Tatau atau Sorga.

Beberapa jenis perkawinan yang dikenal dalam budaya Dayak Ngaju

antara lain:

 Kawin Hatamput

Kawin Hatamput adalah perkawinan yang terjadi atas kesepakatan antara

laki-laki dan perempuan untuk melarikan diri dan hidup bersama sebagai suami-

istri. Perkawinan diibaratkan seperti kawin lari, jadi tanpa sepengetahuan orang

tua mempelai, hal ini bisa disebabkan karena salah satu orang tua mempelai tidak

menyetujui pernikahan itu atau karena sang laki-laki tidak mampu memenuhi

Palaku atau semacam mahar yang diminta oleh orang tua wanita atau pihak laki-

laki tidak mampu membiayai pernikahan.

 Kawin Pahinje Arep

Kawin Pahinje arti harfiahnya menyatukan diri, perkawinan ini terjadi jika

salah satu pasangan tidak mampu memenuhi syarat adat atau membiayai

seserahan dalam pernikahan, maka cara ini adalah salah satu cara memaksa salah

satu orang tua untuk merestui pernikahan tersebut.

 Kawin Manyakei

Kawin Manyakei artinya memanjat, pernikahan ini terjadi akibat orang tua

salah satu pasangan tidak menyetujui atau salah satu pasangan pernah berjanji

akan menikahi tetapi tidak kunjung ditepati. Maka sang laki-laki atau perempuan
ini nekad mendatangi (memanjat) ke rumah pasangannya dan bertekad tidak akan

mau pulang sampai mereka dinikahkan.

 Kawin Mandai Sumbang

Perkawinan ini terjadi akibat adanya pelanggaran norma-norma yang

berlaku di dalam keluarga misal; Sala Hurui atau salah dalam hirarki silsilah

keluarga, misal antara secara hirarki keluarga dia adalah saudara laki-

laki/perempuan, Paman/Bibi atau Kakek/Nenek, meskipun tidak jauh perbedaan

usia.

Menurut adat kedua pasangan ini akan melangsungkan pernikahan

Mandai Sala Sumbang dimana mereka harus makan ditempat Dulang Bawui

(Tempat Makan Babi). Perkawinan ini akan sangat memalukan keluarga kedua

belah pihak, maka untuk menghidari ketidakseimabang kosmo dilakukanlah

pernikahan ini.

 Kawin Hisek

Kawin Hisek artinya kawin dengan cara meminta atau melamar. Ini

merupakan sistem pernikahan yang lazim dan sesuai dengan adat. Pemahaman

mengenai upacara adat menurut agama Hindu Kaharingan masih banyak

dipegang oleh masyarakat Dayak Ngaju. Meskipun tidak seluruhnya, pada

masyarakat Dayak Ngaju masih banyak yang berpegang pada agama leluhur

dengan tradisi adat yang dilaksanakan dalam kehidupan bersama. Dalam tradisi
adat ini, upacara adat, termasuk rangkaian upacara perkawinan, dilaksanakan

dengan berbagai perlengkapan yang penuh dengan makna. Adapun rangkaian

upacara yang terkait dengan perkawinan yang dilaksanakan oleh suku Dayak

Ngaju dapat dibagi ke dalam empat tahap berikut.

 Tahap Pertama: Hakumbang Auh

Niat seseorang yang akan mengambil seorang wanita untuk dijadikan

istrinya disebut oleh mereka dengan sebutan hakumbang auh. Jika seorang

pemuda hendak mengambil seorang gadis untuk dijadikan sebagai istri, ia

akan menyampaikan maksud dan tujuan tersebut kepada orang tua si gadis

melalui seorang perantara. Sebelumnya, pemuda tersebut menyampaikan

niatnya ini kepada orang tuanya sendiri. Selanjutnya, orang tua meminta

bantuan kepada saudaranya yang dianggap bisa menyampaikan maksud hati

anaknya kepada keluarga wanita. Perantara yang menyampaikan maksud kepada

orang tua wanita disebut Tatean Tupai.

Melalui perantaraan Tatean Tupai pihak pria mengantarkan beberapa

barang sebagai simbol adat, seperti sebuah mangkuk yang dibungkus kain

kuning dengan isi beras dan telur ayam serta uang sekadarnya. Setelah

maksud hati dan hajat disampaikan oleh wakil dari pihak pria, maka barang

yang dibawa diserahkan kepada pihak wanita yang diwakili oleh keluarga

besarnya.

Melalui proses yang cukup lama kesepakatan dilakukan terlebih dahulu

oleh pihak wanita. Mereka bermusyawarah dengan keluarga besar,


membicarakan pelaksanaan acara perkawinan. Orang tua pihak wanita

memperlihatkan barang bawaan pihak pria kepada keluarga besar untuk

disepakati, apakah si pemuda diterima atau tidak. Untuk menentukannya, melalui

sebuah proses yang cukup panjang pihak wanita mengadakan penyelusuran

apakah si pemuda ada sangkut pautnya dengan keluarga besar. Perilaku, tata

cara kehidupan, bibit, dan bobot si pemuda juga dibicarakan dalam rapat.

Si pemuda harus sabar menunggu jawaban dari pihak perempuan. Jika

jawaban yang diterima tidak sesuai dengan harapan si pemuda, barang yang

pernah diberikan dikembalikan kepada pihak si pemuda. Pengembalian dilakukan

melalui pihak tertentu, biasanya diwakili oleh keluarga pria. Dengan rasa

hormat disampaikan bahwa harapan pemuda belum bisa diterima. Barang yang

pernah diberikan berupa beras, telur ayam, dan uang dikembalikan. Namun,

jika si pemuda diterima oleh pihak wanita, pembicaraan selanjutnya akan

diadakan. Melalui perantara disampaikan mengenai acara adat selanjutnya,

yakni mamanggul. Pihak keluarga si gadis menyampaikan bahwa mereka

akan dengan senang hati menerima kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk

mamanggul. Jika ada kesepakatan, setelah tahap hakumbang auh ini pihak

keluarga si pemuda boleh langsung ke tahap maja misek, tidak perlu melalui acara

mamanggul.

 Tahap Kedua: Mamanggul Kajan Hatue

Ini adalah tahapan selanjutya dari tahapan hakumbang auh, pada tahap ini

pihak laki-laki dan keluarganya akan datang untuk melamar sang gadis. Pada
tahapan ini sang laki-laki akan membawa tanda panggul berupa kain, seperangkat

alat mandi, minyak wangi dan sejumlah uang. Dan sebagai pengikat janji maka

pihak laki-laki juga akan membagikan Duit Turus atau berupa uang receh kepada

masyarakat yang hadir dalam acara Mamanggul ini, maksudnya agar masyarakat

yang hadir tersebut menjadi saksi atas prosesi lamaran pernikahan ini.

Dalam prosesi Mamangul ini akan dibicarakan Jalan Hadat yaitu barang

yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan adat dan

juga semacam klausul yang telah disekepati sebelum jika salah satu pasangan

melanggar sumpah pernikahan. Pada saat ini perjanjian ini akan dilakukan tanda

tangan diatas meterai. Mamanggul atau Mamupuh dilakukan agar tujuan dan

hajatan serta niatan baik itu dapat terlaksana dengan baik maka diterbitkanlah juga

surat perjanjian panggul seperti; Biodata orang tua masing-masing, biodata

kedua calon pengantin, agama yang dijadikan dasar perkawinan, tempat dan

tanggal pelaksanaan, para saksi dan rincian jalan adat yang akan dibayar oleh

calon mempelai laki-laki pada hari perkawinan nanti serta batu panggul yang

digantikan dengan uang.

 Tahap Ketiga bagian pertama: Maja Misek

Pada tahap ini keluarga si pria mengunjungi keluarga si wanita untuk

mempertanyakan kelangsungan hubungan kedua belah pihak. Dalam pertemuan

tersebut ayah, ibu, paman, dan bibi si pemuda mengadakan pembicaraan dengan

keluarga si gadis untuk membuat kesepakatan antara kedua belah pihak

mengenai syarat yang mesti dipenuhi oleh pria, seperti mas kawin, yang
disebut dengan palaku, yang mesti diserahkan, pembiayaan acara besar, serta

upacara-upacara adat yang akan diadakan. Apakah biaya untuk mengadakan acara

ini ditanggung bersama atau hanya ditanggung oleh pihak pria, semuanya

dibicarakan dalam pertemuan keluarga. Dalam pertemuan itu dibicarakan

juga apabila di antara mereka ada yang membatalkan acara, apakah akan

dikenakan saksi adat. Perjanjian kesepakatan kemudian dibuat untuk dipahami

bersama. Perjanjian ini dikenal dengan sebutan perjanjian pisek.

Setelah dilakukannya maja misek dan mempunyai kepastian hari tanggal

dan tempat, maka berbicara waktu antara Maja Misek dengan pelaksanaan kawin

adat tidaklah terlalu lama yang berkisar tiga sampai satu pekan lamanya. Namun

dalam pelaksanaan kawin adat juga mempunyai langkah dan syarat adat yang

harus dipersiapkan yang disebut dengan Paramun Adat Kawin (Kelengkapan

adat perkawinan). Persiapan pesta perkawinan juga harus menyiapkan paramun

kawin adat yang mempunyai arti kelengkapan perkawinan adat yang terdiri dari

empat belas point atau nama benda seperti:

 Gong digunakan untuk tempat duduk kedua mempelai pengantin.

 Rotan sigi (Calamus orthostachyus Warbug Ex Beccari.) sepanjang kurang

lebih dua meter.

 Daun sawang (Cordyline fruticosa A. Chev.)

 Batang sumpit kawit kalakai

 Sanaman pangkit yaitu pisau untuk digigit

 Batu asahan pisau

 Amak uwei yang digunakan untuk alas duduk


 Tanteloh atau telor ayam yang digunakan untuk manyaki mamalas pengantin

 Air tampung tawar dan minyak wangi untuk membilas wajah pengantin

 Minyak kelapa untuk campuran bahan tampung tawar

 Tanah biasa yang dicampurkan ke dalam air tampung tawar

 Lilis lamiang untuk ikat tangan kedua mempelai

 Beras untuk dihamburkan

 Duit ringgit atua uang logam

 Tahap Ketiga Bagian Kedua: Perjanjian Pisek

Setelah ada perjanjian yang sudah disepakati bersama untuk menentukan

tanggal upacara perkawinan dan biaya upacara pelaksanaan acara

perkawinan, pihak orang tua perempuan menemui pihak orang tua laki-laki.

Mereka mengulangi isi perjanjian. Tuntutan perlengkapan yang mesti dipenuhi,

seperti perlengkapan acara pernikahan, acara pesta, tempat tidur, dan barang-

barang perlengkapan perempuan ditanyakan kembali oleh pihak perempuan.

Pihak laki-laki akan memenuhi tuntutan sesuai dengan perjanjian yang dibuat

bersama. Meriahnya acara yang akan dibuat bergantung juga pada kesepakatan.

Besarnya biaya yang diberikan dapat membuat acara lebih meriah.

Penentuan hari baik untuk pelaksanaan upacara perkawinan, sesuai

dengan kesepakatan keluarga ditetapkan agar terhindar dari malapetaka atau

musibah pada saat acara nanti. Berbagai usaha serta upaya dilakukan agar

semua selamat selama pelaksanaan acara perkawinan. Sedapat mungkin mereka


menghindari acara perkawinan diadakan pada bulan purnama (bulan Tapas),

pergantian bulan (bulan Mahutus), dan seminggu setelah purnama (bulan Kakah).

 Tahap Keempat: Manyaki Rambat

Acara ini dilaksanakan di rumah calon mempelai pria sekitar satu

minggu atau tiga hari menjelang hari perkawinan. Manyaki berarti

membersihkan dengan cara memoleskan darah secara simbolik, sedangkan

rambat adalah alat gendong yang terbuat dari anyaman rotan yang

digunakan untuk membawa barang-barang persyaratan perkawinan yang

nantinya akan dibawa oleh calon mempelai pria ketika berangkat dari rumah

menuju ke tempat mempelai wanita. Semua benda yang harus dibawa terlebih

dahulu harus dibersihkan melalui upacara khusus, yakni Manyaki Rambat.

Rambat dan seluruh perlengkapan ditempatkan di tengah rumah untuk di-palas

dan di-saki yaitu dipoles dengan darah ayam dan air tepung tawar oleh orang tua.

Semua peralatan yang ada melambangkan kesiapan mempelai pria

dalam membina rumah tangga sendiri. Sejak saat itu juga calon mempelai pria

memantang diri, yaitu tidak boleh bertamu ke rumah orang lain dan tidak boleh

mengadakan perjalanan jauh. Pada acara ini benda-benda sebagai syarat yang

disediakan adalah sebuah rambat yaitu alat gendong dari rotan, salipi yaitu wadah

berbentuk silinder dari daun nipah yang dianyam menjadi tempat menyimpan

beras dan sebutir telur ayam, jangkut (kelambu), satu butir telur ayam, dan

pakaian milik calon mempelai pria. Paramun jalan hadat, yaitu benda-benda

syarat perkawinan yang akan dibawa dan diserahkan kepada pihak mempelai
wanita pada upacara Haluang Hapelek, meliputi balun purun (tikar ayaman),

tas, sipet (sumpitan), dareh uwei yaitu satu batang rotan, dan manas lilis yaitu

manik batu agate.

b. Tujuan, Fungsi, Syarat perkawinan menurut adat Dayak Ngaju

Perkawinan menurut adat Dayak Ngaju memiliki Tujuan, fungsi, dan

Syarat perkawinan tersendiri yang sudah menjadi tradisi dari dulu dan

sampai sekarang masih dilestarikan sedemikian rupa agar tidak hilang begitu

saja. Dalam pandangan adat Dayak Ngaju tujuan dari perkawinan itu sendiri

adalah untuk membina kerukunan kehidupan dan untuk mencapai

kesejahteraan keluarga dengan maksud ingin mempertahankan, meneruskan

keturunan dalam upaya menjaga kelestarian dan kekerabatan keluarga karena

Perkawinan memiliki fungsi untuk mempersatu kedua keluarga dan

mendapatketurunan, supaya mengikat satu sama lain agar tidak terjadi

perjinahan,karena pernikahan adalah ikatan suci dari yang Maha Kuasa. Maka

dengan adanya hal seperti ini tradisi adat Perkawinan Dayak Ngaju memiliki

keunikan tersendiri dengan semua itu memiliki makna tersendiri, adanya hal

seperti ini pihak keluarga dan calon mempelai harus menyiapkan syarat yang

telah ditentukan meskipun ada beberapa yang tak bisa dipenuhi bisa digantikan

sesuai dengan kesepakatan pihak Adat dan keluarga.

Mengenai jalannya pelaksanaan perkawinan paramun adat yang terdiri

dari 15 syarat yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki dengan berbagai
makna dan tujuan. Adapun makna dari ketujuh belas paramun kawin adat

adalah sebagai berikut.

 Palaku

Palaku sering diterjemahkan mas kawin, sebenarnya Palaku adalah hak

sang wanita, dimana sang suami tidak akan punya hak untuk menjual atau

menggadaikan barang tersebut. Palaku pada masa lalu berupa Gong beberapa

kati/ratusan killogram jadi misal 3 kati garantung berarti gong seberat 300 kg.

Pada masa ini Palaku berupa sebidang tanah atau emas yang akan menjadi hak

sang istri. Palaku disini adalah untuk menjamin hidup sang wanita, jika sang

suami suatu saat meninggalkan istrinya maka secara adat sudah diatur apa saja

yang menjadi haknya dan denda yang harus dibayarkan oleh suami.

 Saput

Saput adalah pemberian kepada saudara laki-laki mempelai perempuan

yang dianggap selama ini telah menjadi pelindung, maka sang laki-laki akan

mengungkapkan rasa hormatnya dan mengikat suatu ikatan persaudaraan yang

tulus. Pemberian ini dapat berupa barang atau uang.

 Pakaian Sinde Mendeng

Pakaian Sinde Mendeng adalah pemberian berupa seperangkat pakaian

kepada ayah sang mempelai perempuan sebagai bentuk penghormatan atas kasih-

sayang sang ayah yang selama ini merawat dan melindungi sang anak.
 Garantung Kuluk Pelek

Garantung Kuluk Pelek Arti harfiah kuluk pelek adalah kepala patah. Pada

zaman dahulu jika seseorang mulai bekerja di suatu hutan yang baru maka ia

akan berusaha mengidentifikasi pohon-pohon disekitar hutan dan membuat tanda

agar tidak tersesat berupa Pelekam atau patahan-patahan ranting sebagai tanda

arah jalan ketika memasuki hutan, patahan ini disebut Kuluk Pelek. Jika orang

tersebut tersesat dihutan dan belum pulang hingga larut malam, maka pihak

keluarga akan mencarinya dengan mengikuti tanda Kolok Pelek sambil memukul

Garantung atau gong sebagai alat komunikasi memanggilnya pulang. Benda ini

memiliki makna filofis yang dalam, ibarat memasuki hutan lebat yang baru,

pernikahan juga memliki hakikat yang sama, dimana mereka harus menjaga

pernikahannya. Jika suatu saat ada sesuatu yang membuat salah satu pasangan

“tersesat” maka ia harus kembali mengingat janji awal yang telah dilakukan

dihadapan Tuhan.

 Lamiang Turus Pelek

Lamiang Turus Pelek adalah manik yang berwarna merah dan panjang, ini

adalah salah satu wujud cinta dari sang laki-laki, karena warna merah manik

lamian ini tidak akan pudar oleh waktu, demikian juga cinta sang laki-laki tadi.

Dan Lamiang umum digunakan sebagai Panekang Hambaruan atau memperkuat

jiwa, maka pasangannya nanti akan menjadi orang yang selalu memperkuat jiwa

pasangannya. Lamiang juga umum digunakan sebagai bekal ketika sesorang


meninggal, maka juga mengandung makna cinta dan kesetiaan harus dibawa

sampai mati. Turus Pelek adalah kayu yang ditancapkan ke tanah sebagai tambat

perahu agar tidak hanyut terbawa arus, maka pernikahan ini adalah sebagai bentuk

pelabuhan terakhir dari sang laki-laki dan wanita.

 Bulau Singah Pelek

Bulau artinya emas dan singah artinya menerangi. Ini biasanya berupa

cincin pernikahan yang terbuat dari emas yang akan selalu mengingatkan

pasangannya tentang cinta suci mereka.

 Lapik Luang

Lapik artinya alas, Luang tadi sama saja dengan Oloh Helat atau perantara,

sebagai bentuk terimakasih kepada perantara dalam lamaran maka diberikan

berupa kain bahalai yaitu selembar kain panjang.

 Sinjang Entang

Sinjang artinya kain penutup tubuh dan entang adalah gendongan. Ini

adalah bentuk penghormatan mempelai laki-laki kepada Ibu mempelai perempuan

yang selama ini telah merawat dan mengasuh anaknya dan juga bentuk

permohonan doa restu dari sang ibu. Pemberian ini biasanya berupa Tapih

(Sarung) dan Bahalai (Kain panjang).


 Tutup Uwan

Tutup artinya penutup, Uwan artinya uban. Ini juga sebagai bentuk

penghormatan mempelai laki-laki kepada Nenek mempelai perempuan biasanya

dalam bentuk kain hitam sepanjang 2 meter. Dalam masyarakat Dayak Ngaju,

peranan orang tua sangat diperlukan dalam membina rumah tangga berupa

nasehat dan petunjuk serta doa buat anak cucunya.

 Lapik Pahatau

Lapik artinya alas, panatau artinya kekayaan. Biasanya berupa keping

uang ringgit jaman dahulu, maknanya didalam membentuk rumah tangga

diperlukan modal dasar, uang ini tidak boleh dibelanjakan karena uang ini

dianggap sebagai alas kehidupan.

 Pinggang Pananan

Pinggang Pananan berupa satu buah piring, gelas, sendok, mangkok dll.

Maknanya ialah pasangan ini akan mulai makan sepiring berdua, minum dengan

gelas yang sama. Artinya, mereka harus mulai belajar hidup dalam solidaritas

satu sama lain.

 Rapin Tuak

Tuak adalah minuman keras khas Dayak. Minuman ini diberikan ketika

dilakukan acara Haluang Hapelek atau menanyakan maksud kedatangan pihak


laki-laki, biasanya sering diadakan lomba pantun dan penuh candaan. Jika salah

satu pihak salah bicara atau kalah berpantun maka akan didenda meminum tuak.

 Panginan Ije Andau

Panginan Ije Andau Arti harfiahnya makanan satu hari. Disini adalah

biaya pernikahan, umumnya didalam budaya Dayak Ngaju biaya pernikahan akan

ditanggung bersama baik oleh pihak laki-laki dan perempuan. Biasanya biaya ini

akan dibayarkan sebelum acara pernikahan.

 Jangkut Amak

Jangkut Amak Arti harfiahnya adalah kelambu dan tikar, ini berupa

kelengkapan peralatan tidur, biasanya dibayarkan sebelum pernikahan. Inilah

sebabnya mengapa dalam budaya Dayak Ngaju sangat populer untuk mendekorasi

kamar pengantin wanita.

 Duit Turus

Duit Turus adalah uang dalam bentuk recehan yang dibagikan kepada

keluarga dan masyarakat yang menghadiri upacara pernikahan, dimana mereka

telah menjadi saksi dari pernikahan ini.


 Batu Kaja

Biasanya bisa berupa Guci atau perhiasan yang akan diberikan Ibu

mempelai laki-laki kepada menantunya setelah acara pernikahan pada waktu acara

Mampakaja Manantu. (Anonim, 2014).

c. Pelaksanaan Pernikahan/Perkawinan Adat

Orang tua pihak laki-laki mempersiapkan acara untuk perkawinan

anaknya, termasuk perlengkapan untuk acara makan. Sehari sebelumnya

sudah dilakukan pemotongan binatang, antara lain beberapa ekor ayam,

sebagai persiapan untuk acara Manyaki Rambat anaknya. Persiapan yang

dilakukan untuk acara di rumah adalah membuat tempat perlengkapan

upacara, yaitu patung-patung, yang dibuat dari rotan yang dipotong

sepanjang satu meter untuk dibuat seperti patung. Keluarga besar datang ikut

menyaksikan pemakaian gelang yang diikat pada tangan calon pengantin dengan

sebutan lilis lamiang. Adapun urutan acara perkawinan dalam masyarakat Dayak

Ngaju sebagai berikut.

1) Mengantar Pengantin Laki-laki

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat kedua belah pihak, pelaksanaan

hari perkawinan, tanggal, dan tempat pelaksanaan acara disesuaikan dengan

hitungan hari baik menurut keyakinan mereka. Pada hari yang telah
ditentukan pengantin menuju ke rumah calon isterinya yang mereka kenal

dengan sebutan Panganten Haguet. Pengantin Haguet yang berarti pada hari yang

telah ditetapkan keluarga pengantin laki-laki dan semua keluarga serta

sahabat yang telah diundang berkumpul kembali di rumah mempelai laki-laki

untuk bersama-sama mengantar keberangkatan pengantin (pengantin haguet)

pada waktu sebelum keberangkatan bersama-sama seluruh keluarga, pengantin

laki-laki duduk sambil menunggu keluarga yang lain untuk bersiap-siap, suasana

sangat ramai karena dipenuhi oleh undangan serta keluarga yang ingin ikut

mengantar saat keberangkatan dilaksanakan pada sore hari. Kemudian

dilanjutkan dengan sebutan Pengantin Lumpat Pada acara penganten lumpat/

manyakey. Barang-barang yang telah dipersiapkan kemudian dibawa dengan cara

digendong. Ini dimaksudkan bahwa dalam hari pernikahannya penganten ini

akan diangkat, diagungkan sebagai raja sehari.

Sebelum berangkat menuju ke rumah perempuan, keluarga sudah

membuat acara pembacaan doa bersama memohon restu kepada Tuhan yang

Maha Esa untuk keselamatan dalam perjalanan serta keselatamatan pengantin

laki-laki dari keberangkan sampai selesai acara pernikahan nanti. Penentuan

tanggal, hari, bulan dilakukan melalui orang yang dianggap mempunyai

kelebihan supranatural, yang bisa membaca kondisi alam dan lingkungan untuk

menentukan pelaksanaan turun rumah, apakah pagi hari ataupun malam hari.

Menurut kepercayaan mereka, ada hari-hari tertentu yang membawa

keberuntungan untuk pihak laki-laki.


2) Kedatangan Pengantin

Kedatangan rombongan pengantin ke rumah calon istrinya dalam

istilah mereka disebut naik atau manyakai ke rumah wanita. Setelah pengantin

laki-laki dan rombongan tiba, dibuatlah berbagai acara dengan beberapa

aktivitas di dalamnya.

a) Membuka Pintu Masuk

i. Membuka Pintu Masuk

Upacara membuka pintu masuk penghalang dilakukan ketika pengantin

akan memasuki halaman rumah calon istri. Rombongan pengantin dihalangi

dengan beberapa pelepah daun kelapa, bunga warna-warni, serta benang yang

dibentangkan sebagai penghalang pintu masuk untuk rombongan. Rombongan

mesti melewati rintangan ini.

Beberapa pesilat tampil sebelum memasuki pintu gerbang. Pesilat

tersebut bisa anak-anak, dewasa, ataupun perempuan dari kalangan umum.

Adapun pakaian yang dikenakan beragam, ada yang mengenakan pakaian adat,

ada juga yang berpakaian biasa. Pesilat yang tampil saling berhadapan,

berlawanan satu dengan yang lainnya. Irama tabuhan gendang dan gong

mengiringi gerakan pesilat yang mewakili rombongan pria sementara wakil

pihak wanita menunggu. Setelah sekitar sepuluh menit—lamanya bergantung

pada kesepakatan di antara dua pesilat—pertunjukan silat selesai. Barulah

rombongan pengantin dapat memasuki pintu gerbang penghalang yang

disebut oleh mereka dengan sebutan lawang sakepeng. Acara lawang sakepeng
sebenarnya sudah menjadi kebiasaan untuk memeriahkan suasana menyambut

mempelai laki-laki. Tujuan dari lawang sakepang ini adalah untuk

menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang dapat menimpa calon

suami-istri didalam membina kehidupan bersama kelak di kemudian hari. Dengan

diiringi suara gong setelah tali mampu diputuskan berarti penghalang sudah tidak

ada dan kedatangan calon mempelai laki-laki disambut dengan lahap berturut-

turut (lahap = adalah pekik rimba yang berarti kegembiraan dan kesungguhan hati

mereka akan suatu tekat dan tujuan yang telah mereka sepakati bersama).

Benda-benda yang terpasang di pintu gerbang sebelum rombongan

pengantin laki-laki memasuki halaman rumah pengantin merupakan simbol yang

memiliki arti. Bahan-bahan rintangan, seperti benang dan pelepah daun kelapa,

bermakna ketika memasuki kehidupan baru, berbagai rintangan mesti dilewati

oleh kedua pengantin. Tali atau benang sudah putus berarti merupakan

simbol bahwa segala rintangan dan persoalan yang dihadapi suami istri

dalam kehidupan berumah tangga, akan dapat diatasi apabila suami istri

senantiasa rukun, bekerja sama dan saling membantu.

ii. Pembersihan

Pembersihan acara secara adat dilakukan oleh keluarga pengantin

agarterhindar dari pengaruh negatif yang datang dari luar. Pembersihan

dilakukan dengan membersihkan bagian dalam rumah dan lingkungan di luar

rumah, yang disebut dengan istilah mamapas. Adapun tujuannya untuk

menghindari roh-roh jahat, yang disebut pali endus dahiang, yang akan
mengganggu jalannya upacara pengantin. Pengaruh negatif masih diyakini akan

mengganggu jika tidak dibersihkan.

Ritual selanjutnya dilakukan pada waktu pengantin datang ke rumah

perempuan yang disebut dengan acara lawang sakepeng. Setelah rombongan

melewati rintangan dan masuk ke halaman rumah, mereka disambut dengan

taburan beras dan bunga rampai. Pengantin pria terlebih dahulu harus menginjak

telur sebelum masuk ke rumah. Telur ayam diletakkan di atas batu asah di rumpun

tangga, kemudian kakinya dibersihkan dengan air. simbol dari telur ini adalah

diibaratkan hidup seperti telur yang diawali dengan putih bersih dan sebagai

pendingin agar hidup tidak ada rintangan, setelah itu penganten laki-laki

ditampung tawar (dipercikkan air dengan menggunakan daun sawang) dengan

memakai daun sawang yang telah gugur, ini dimaksudkan untuk menjauhkan

segala marabahaya dari mempelai.

Pada saat ditampung tawar, mula-mula penganten menghadap ke arah

matahari terbenam ini sebagai simbol bahwa semua marabahaya serta segala

sesuatu yang membawa sial dibuang. Sama seperti matahari terbenam maka

demikian juga segala sesuatu itu juga ikut hilang terbenam. Kemudian setelah

itu penganten menghadap lagi ke arah matahari terbit, yang berarti sebagai

simbol matahari terbit maka segala untung dan rezeki datang kepada

mempelai di dalam membina rumah tangga mereka. (tampung tawar dengan daun

sawang atau daun andong diganti dengan bunga- bungaan dan wangian yang

ditaburkan ke atas menyambut calon pengantin laki-laki). Makna dari upacara


ini adalah bahwa pengantin pria telah disucikan dari pengaruh-pengaruh buruk

selama dalam perjalanan menuju rumah pengantin wanita.

iii. Pengantin Pria Masuk Rumah

Setelah Ritual penerimaan pengantin pria selesai dilaksanakan, barulah

pengantin ia bersama peserta dapat masuk ke dalam rumah tempat yang

disediakan oleh pihak wanita. Rumah tersebut cukup bagus dan pengantin

dapat beristirahat bersama dengan keluarga yang mengiringinya di sana. Pada saat

inilah keakraban terjalin di antara kedua belah pihak keluarga mempelai.

Rombongan keluarga besar pihak laki-laki dipersilakan masuk, menunggu proses

selanjutnya.

iv. Menagih Janji (Haluang Hapelek)

Dalam ritual Haluan Hapelek ini diadakan pembicaraan mengenai jalan

hadat yang dijanjikan wakil pihak laki-laki. Sementara itu, wakil dari pihak

perempuan menagih jalan hadat tersebut. Kesepakatan dengan syarat-syarat

yang diucapkan pada saat awal pertemuan mesti dipenuhi.

Untuk membicarakan kesepakatan bersama, utusan dari pihak laki-laki

bisa diwakili beberapa orang yang disebut Tukang Sambut. Mereka dapat

menjadi wakil yang menyampaikan apakah akan memenuhi kesepakatan atau

berubah dari kesepakatan semula. Hal ini selanjutnya perlu dibicarakan lagi.

Pihak perempuan kemudian berembuk bersama keluarga besar, apakah


perubahan ini bisa diterima atau ditolak. Jika ditolak, maka pihak laki-laki bisa

berembuk untuk kembali pada kesepakatan awal yang mesti mereka penuhi.

Pihak yang mengajukan tuntutan disebut dengan Tukang Pelek. Jadi,

utusan atau luang dari pihak laki laki disebut dengan Tukang Sambut dan

luang dari pihak perempuan disebut Tukang Pelek. Selanjutnya, Tukang

Pelek menuntut hak atau menagih janji kepada pihak laki-laki. Sesuai dengan

tujuan utama upacara Haluang Hapelek yakni menagih Jalan Hadat yang telah

disepakati bersama saat upacara Maja Misek, maka pada kesempatan ini pihak

perempuan menagih kepada pihak laki-laki, satu per satu sesuai dengan yang

tertera dalam Surat Perjanjian Pisek. Para luang atau utusan apabila salah ucap

atau berbicara kurang lancar, maka akan didenda dengan cara harus minum tuak.

Pada saat ada kesalahan inilah suasana menjadi meriah. Adapun kelengkapan

yang diperlukan untuk acara Haluang Hapelek adalah:


 Dinding Benang, yaitu kain tirai pembatas antara kelompok pihak pengantin

pria dan kelompok pengantin wanita;

 Amak Dare, yaitu tikar anyaman dari rotan;

 Sangku, yaitu wadah berupa mangkuk besar dari kuningan sebagai sangku

pelek yaitu wadah syarat upacara; sangku ini diisi dengan beras, uang perak,

patung tabalien (patung kecil dari kayu ulin) dan lidi kelapa sejumlah 21

pucuk

 Rapin Tuak, yaitu minuman tuak yang disimpan dalam balanai (guci kecil

 Cirat (ceret);

 Talam, wadah untuk menyambut paramun jalan hadat, yaitu benda-benda

syarat perkawinan untuk ketentuan adat yang harus diserahkan oleh pihak

pria;

 Kain putih sebagai benang lapik sangku yaitu sebagai alas sangku;

 Paramun Jalan Hadat, yaitu benda-benda syarat perkawinan menurut

adat.

v. Pemolesan Darah

Pemolesan darah bagi kedua pengantin masuk pada bagian acara

pemberkatan perkawinan. Pemolesan ini dilakukan oleh basir, orang yang

memimpin acara ritual. Kedua pengantin duduk di atas gong dan dipolesi dengan

darah hewan. Upacara ini dilakukan oleh penganut Kaharingan menurut adat

leluhurnya. Akan tetapi, jika sudah berpindah ke agama Islam, mereka


menggantinya dengan darah ayam dan tidak lagi duduk di atas gong tetapi di atas

tikar.

Acara pengukuhan ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat tetapi

ada juga yang sudah meninggalkannya. Bagi penganut Kaharingan duduk di

atas gong merupakan suatu penghormatan untuk kedua pengantin. Mereka tidak

bisa duduk di atas gong jika tidak sedang melakukan ritual pemberkatan

pengantin. Basir akan memimpin ritual pemberkatan. Kedua pengantin duduk di

atas gong sambil memegang sebatang pohon sawang yang diikat dengan bahan

rotan dan sebuah tombak Rabayang. Tombak Rabayang menghadap ke atas,

menggambarkan perjanjian bersaksi dengan penguasa atas. Pada bagian kaki

mereka menginjak batu asah dan jala, yang menggambarkan kesaksian pada alam

bawah. Pemberkatan pengukuhan perkawinan dipimpin basir dengan

mengoleskan sebutir telur pada kening kedua pengantin. Beras diletakkan pada

bagian kepala dan diberikan minyak. Simbol beras di atas kepala menggambarkan

harapan agar kedua pengantin subur makmur tidak kekurangan makan.

Sementara itu, kedua pengantin diminyaki dengan harapan semoga rezeki

mereka lancar.

Selanjutnya, kepada kedua pengantin diberikan tampung tawar, juga

tujuh gumpalan nasi, yang menandakan penyatuan mereka, menandakan

bahwa mereka sudah resmi menjadi suami isteri. Pemberkatan perkawinan

sudah selesai disaksikan oleh kedua keluarga dan semua undangan. Setelah

acara pemberkatan selesai, undangan dipersilakan makan sekadarnya, yang telah

dipersiapkan oleh pihak perempuan. Kemudian, kedua pengantin berjalan


menghadap ke hadapan pintu utuk mengucapkan ikrar dengan suara yang keras

agar terdengar sampai ke langit, berikrar kepada Tuhan untuk tetap menjaga

perkawinan, sampai maut memisahkan keduanya.

Penandatanganan perjanjian kedua pengantin dengan syarat-syarat yang

sudah disepakati sejak awal, yaitu Jalan Hadat, disaksikan oleh kedua orang tua

dan tamu undangan. Dalam perjanjian, tanda tangan dilakukan oleh kedua

pengantin, saksi, ahli waris keduanya, serta para tamu yang hadir dalam

pemberkatan perkawinan.

Kedua pengantin menanam pohon sawang atau andong sebagai simbol

kemakmuran keduanya. Setelah penanaman pohon selesai, berakhirlah acara

pemberkatan perkawinan. Para tamu undangan serta keluarga kedua belah

pihak dapat makan bersama-sama. Tempat khusus disiapkan untuk kedua

pengantin beserta utusan keduanya. Mereka menerima nasihat dari orang tua

mengenai kehidupan baru dalam perkawinan.

vi. Akhir Masa Pantangan

Akhir masa pantangan dalam proses perkawinan disebut dengan

Maruah Pali. Maksudnya adalah mengakhiri pemberlakuan hal tabu yang

pantang untuk dilanggar. Artinya, pantangan yang dikenakan kepada kedua

pengantin telah berakhir. Sebab, setelah acara perkawinan pengantin masih

harus menjalani masa pali selama tiga atau tujuh hari. Hal-hal tabu yang tidak

boleh dilanggar selama berlakunya masa pantangan adalah tidak melakukan

hubungan suami isteri, meninggalkan istri, serta mengadakan kegiatan yang


cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah masa pali berakhir, orang tua

perempuan memotongkan seekor ayam untuk kedua pengantin dan

mengadakan acara tepung tawar. Dengan acara terakhir tampung tawar, maka

berakhirlah semua pantangan yang dikenakan kepada kedua pengantin. Kedua

pengantin dengan ditemani keluarga mengunjungi keluarga dekat.

vii. Kedatangan Menantu atau Pakaja Manantu

Kedatangan menantu sangat dinantikan oleh orang tua laki-laki. Segala

persiapan, termasuk makanan sudah dari jauh-jauh hari direncanakan. Makanan

berupa kue-kue maupun lauk berupa ayam untuk hidangan kedua pengantin

sudah disediakan. Keluarga terdekat juga hadir menemani pengantin. Orang

tua menyampaikan ucapan syukur karena anak mereka sudah mempunyai istri.

Bagian dari kesepakatan jalan hadat yang belum diserahkan diberitahukan oleh

orang tua untuk diberikan nantinya.

Setelah selesai dari rumah orang tua, barulah pengantin pergi ke

rumah keluarga terdekat, paman, bibi, dan saudara kandung. Mengunjungi

rumah keluarga terdekat merupakan adat yang masih berlaku, tidak hanya di

masyarakat Dayak Ngaju Kaharingan, tetapi juga pada mayarakat Dayak Ngaju

yang sudah berpindah keyakinan. Sebelum pengantin datang mengunjungi

rumah kerabat, pihak tuan rumah sebelumnya sudah diberi tahu tentang

kedatangan pengantin, waktu, tanggal, dan hari yang ditentukan. Tuan rumah

mempersiapkan makanan dan barang-barang yang akan diberikan kepada

kedua pengantin untuk bekal memasuki kehidupan baru.


d. Perbedaan Pelaksanaan Perkawinan Adat Yang Dilakukan oleh Umat
yang Menganut Agama Kaharingan dan Umat yang Non Kaharingan
Dalam acara perkawinan masyarakat sangat sulit dibedakan mana adat dan

mana yang berkaitan dengan keyakinan yang mereka anut. Pada masyarakat

Dayak Ngaju yang berpindah keyakinan ke agama Islam, sebagian masih kuat

memegang adat. Dalam upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Dayak

Ngaju Kaharingan dapat dilihat prosesnya melalui tahapan-tahapan tertentu.

Kearifan lokal yang masih kuat dipegang oleh masyarakat, baik masyarakat

Dayak Ngaju yang masih menganut kepercayaan lama maupun yang sudah

menganut keyakinan agama baru masih sama.

Dalam masyarakat Dayak Ngaju perkawinan yang dianggap paling ideal

adalah dengan sistem meminang. Masyarakat Dayak Ngaju berkeyakinan bahwa

ritual adat yang mereka lakukan erat hubungannya dengan agama, kecuali mereka

berpindah ke agama Islam sehingga menyesuaikan ritual adat dengan keyakinan

baru. Dalam proses adat yang dilaksanakan setelah mereka menganut agama

Islam, masih ada yang melakukan budaya lama. Proses bagi yang beragama Islam

adalah setelah melalui adat tertentu yang tidak bertentangan dengan keyakinan,

barulah mereka melaksanakan menikah di kantor agama setempat.

Begitu juga yang beragama Kristen, setelah menjalani proses adat, mereka

melakukan pemberkatan perkawinan melalui gereja setempat. Padahal, dahulu

bagi masyarakat Dayak Ngaju pengesahan perkawinan sudah cukup melalui

pemberkatan yang dilakukan oleh basir dan perjanjian kedua belah pihak. Saat ini

tradisi perkawinan mesti dilaksanakan bukan secara adat saja, melainkan juga
secara agama. Sebagian tradisi masih tetap dapat mereka lakukan untuk menjaga

adat, meskipun mereka sudah berpindah keyakinan ke agama baru.

Dalam masyarakat Dayak Ngaju hubungan kekerabatan keluarga sangat

erat dan mereka tetap melestarikan adat dan budaya. Sementara itu, upacara adat

dengan tata cara Kaharingan dilaksanakan melalui proses dan langkah-langkah

yang mesti diikuti. Sementara itu, upacara tampung tawar tawar dan pemberkatan

perkawinan tidak lagi dilakukan oleh mereka yang sudah beralih keyakinan. Tata

cara adat dalam bentuk lain karena adanya perubahan ini mesti dipahami oleh

keluarga besar agar hubungan kekeluargaan tetap terjalin baik.

Misalnya, jika ada anggota keluarga yang meninggal, mereka tidak segan

memakai cara Islami dalam upacara pemakamannya. Setelah melalui proses

panjang dalam upacara perkawinan, mereka menyantap makanan yang disebut

Panginan Putir Santang sebagai tanda bersatunya kedua pengantin secara resmi.

Kemudian, pasangan ini menjalani serangkaian upacara adat, seperti menuju pintu

untuk melakukan pekikan, memberitahukan bahwa perkawinan telah

dilaksanakan, serta berikrar di hadapan Tuhan akan menjaga perkawinan sampai

akhir hayat. Akan tetapi, masih ada saja yang melaksanakannya menurut

keyakinan mereka, termasuk sebagian kalangan masyarakat Dayak yang sudah

berpindah keyakinan.

Selain itu, masih ada prosesi setelah perkawinan yang tidak lagi

dilaksanakan oleh kedua mempelai, misalnya Maruah Pali. Ada beberapa prosesi

yang dihilangkan jika tidak bersesuaian dengan keyakinan mereka yang baru,

terutama yang beragama Islam. Mereka membedakan perkawinan masyarakat


Dayak Ngaju yang berasal dari tradisi asli agama Helu atau Kaharingan yang

dilaksanakan oleh umat Kaharingan dengan tata cara perkawinan yang dianggap

adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak beragama

Kaharingan. Ada sedikit perbedaan dalam upacara perkawinan antara masyarakat

Dayak Ngaju yang masih menganut agama Kaharingan atau keyakinan pada Helu

atau Kaharingan dan mereka yang menganut agama baru.

Dalam pelaksanaan upacara adat, penganut agama Kristen Protestan,

Kristen Katolik, dan Islam masih akan menyesuaikannya dengan kondisi

lingkungan adat. Jika adat pada komunitas adat di tempat tinggal mereka masih

kuat, adat yang dilaksanakan akan dibuat sesuai dengan keyakinan yang dianut.

Bagi penganut agama Kristen adat yang masih kuat tetap dilakukan, kemudian

prosesi adat akan dilaksanakan di gereja terdekat. Adat disesuaikan dengan

keyakinan, yang bertentangan dengan agama mereka tinggalkan, kemudian

pelaksanaan nikah dilakukan oleh penghulu nikah di kantor urusan agama maupun

di rumah.

Bagaimanapun, sampai sekarang dalam praktik kehidupannya

masyarakat masih menjalankan tradisi leluhurnya karena mereka

menganggapnya sebagai warisan leluhur masyarakat Dayak yang merupakan

milik seluruh masyarakat Dayak yang harus dilestarikan. Namun, dari tata cara

upacara perkawinan yang berlangsung tersebut bisa dilihat batasan antara

pelaksanaan unsur religi yang berkaitan agama Hindu Kaharingan dan yang

dianggap sebagai adat. Tata cara yang dianggap sebagai adat, yaitu Hakumbang

Auh, Mamanggul, atau Maja Misek, kemudian acara dalam pelaksanaan upacara
perkawinan, seperti Penganten Haguet, Penganten Lumpat atau Mandai,

membuka Lawang Sakepeng, Mamapas, serta Haluang Hapelek tetap

dilaksanakan, dilanjutkan dengan kedua mempelai bersama-sama membacakan

surat perjanjian. Adapun ritual Manyaki Panganten (pengesahan perkawinan

dalam Hindu Kaharingan) sampai penanaman pohon sawang tidak dilakukan

oleh masyarakat non-Hindu Kaharingan karena tentunya akan bertentangan

dengan agama yang dianut mereka.

3. Ritual Mengantar Tulang Orang Yang sudah Meninggal atau Tiwah

a. Definisi kematian

Sejak pertama diciptakan, manusia sebenarnya tidak pernah mengalami

kematian seperti yang dikenal sekarang ini. Menurut kepercayaan suku Dayak

Ngaju, di dalam kehidupan setiap manusia ada suatu saat ketika ia merasakan

bahwa ia harus pergi meninggalkan dunia yang didiaminya untuk berpindah ke

suatu dunia lain yang belum pernah didiaminya sebelumnya. Perasaan ini akan

datang pada setiap insan apabila ia telah lanjut usia dan telah cukup lama hidup di

dunia kini.

Hal senada dikemukakan oleh Mariatie dkk. (2016: 105) yang

mengatakan bahwa kematian merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh

manusia dan semua pasti akan mengalaminya. Dalam Hindu Kaharingan kematian

merupakan jalan yang telah ditentukan oleh Ranying Hatalla bagi keturunan Raja

Bunu untuk kembali kepada Ranying Hatalla, sebagaimana dinyatakan dalam

kitab Panaturan berikut:


“Hete Ranying Hatalla bapender panjang umba Raja Bunu, tuh
bitim palus panarantang aim, akan ilalih kare manyuang Batang Petak
ije jadi injapaku hayak inyewut-Ku jete Pantai Danum Kalunen tuntang
panarantang aim te dapit jeha puna bagin matei” (Panaturan, 29.4)
Artinya:
“Dengan panjang lebar Ranying Hatalla berfirman kepada Raja Bunu,
firmannya, untuk engkau ketahui Raja Bunu, bahwa engkau dan semua
anak keturunanmu akan aku turunkan untuk mengisi permukaan
tanah bumi yang telah aku ciptakan dan Aku sebut itu Kehidupan serta
bagi anak keturunanmu nantinya, ia kembali kepada-Ku melalui
kematian.”
Oleh karenanya, menurut kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju kematian

sebenarnya tidak lain hanyalah kepergian atau perpindahan dari dunia kehidupan

ke dunia lain; suatu dunia yang jauh lebih luas kaya dan senang, suatu dunia

yang serbasempurna. Manusia dalam keadaan yang masih utuh meninggalkan

rumah tangganya dan kampung halamannya, berpindah ke dunia baru yang

sempurna. Oleh karena itu, kehidupannya ini disebut tatau-matei (tatau = kaya;

matei = mati). Kematian seperti ini dikatakan dalam bahasa Ngaju adalah: “tulak

miidar, miidar jalan, ngalih pangui hengka marunsia (berangkat pindah,

berpindah jalan, mengalihkan kaki dari manusia).” Hal ini dapat dilihat bahwa

kepergian manusia itu pada awalnya memang hanya berangkat pindah dengan

melangkahkan kakinya untuk meninggalkan manusia untuk pergi ke suatu tempat

atau dunia yang lebih sempurna.

Apabila terjadi kematian dalam suatu keluarga Suku Dayak, baik karena

sakit, mendadak atau karena mengalami kecelakaan, maka dengan seketika

mereka, baik keluarga maupun keluarga terdekat akan berdaya upaya

menyebarkan berita kematian itu kepada seluruh masyarakatnya secara luas.

Ada suatu tradisi dalam masyarakat, mengiringi kematian dengan suara

garantung atau gong. Ketika ajal menjelang, jiwa terpisah dari raga, kepergian
atau terlepasnya jiwa menuju alam lain diiringi dengan suara bamba atau titih,

yaitu garantung atau gong dipalu tiga kali, dilanjutknan suara tiga buah gong yang

dipalu bersaut-sautan diiringi karuau atau jerit tangis kaum ibu. Suara yang

terdengar mampu menciptakan suasana mencekam, hati tersayat nyeri bak

tertusuk sembilu. Suara gong ditalu kuat atau keras selama kurang lebih setengah

jam.

Apabila berita duka telah tersebar, yang disebarkan dengan cara berantai

dari mulut ke mulut ataupun karena mendengar suara bamba atau titih gong yang

bertalu-talu, dengan spontan penduduk kampung bereaksi menunjukan perhatian

dan kepeduliannya kepada warganya yang sedang menerima cobaan. Sekalipun

sedang bekerja di ladang, di rumah, di perahu, di hutan atau di manapun mereka

berada, apabila suara titih atau berita kematian mereka dengar, segala kegiatan

yang sedang dilakukan ditinggalkan begitu saja, berduyun-duyun mendatangi

rumah duka, untuk memberikan dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan.

Kedatangan mereka ke rumah duka dengan membawa sumbangan duka

berupa hasil bumi hasil usaha sendiri. Di rumah duka, setelah datang mendekati

dan melihat wajah jenazah untuk terakhir kali, mereka mencoba menemui

keluarga yang ditinggalkan untuk menyatakan dukacitanya, biasanya mereka

bekerja bahu membahu, dengan cara gotong royong melakukan sesuatu untuk

meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.

Ada penduduk yang tanpa komando, langsung mengumpulkan kayu bakar,

menyediakan tungku tempat masak memasak, menggelar tikar, dan banyak

kegiatan yang dengan iklas mereka lakukan. Di rumah duka mereka berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan suasana duka, tidak membuat kegaduhan, bicara

pelahan, tanpa menunjukkan kegembiraan.

Jenazah diletakkan di tengah-tengah rumah, dan dikelilingi oleh kaum

kerabat dan keluarga. Peti jenazah dibuat saat itu juga, bisa dalam bentuk raung,

kakurung, runi, atau lainnya, yang disesuaikan dengan kemampuan atau

persyaratan adat. Pembuatan peti mati dilaksanakan dengan cara gotong royong,

pada saat itu juga. Peti mati yang umum dipakai ialah raung, yaitu peti mati yang

dibuat dari batang pohon yang dibelah dua dan di bagian tengah dikerok untuk

tempat meletakkan jenazah.

Pada sore hari, ibu-ibu akan datang dan berkumpul lagi di rumah duka

untuk mandaring atau tidak tidur semalam, untuk menemani keluarga yang sedang

berduka. Aturan tidak tertulis namun telah disepakati, bahwa apabila seorang telah

ikut mandaring pada hari pertama, maka ia harus juga hadir mandaring di rumah

duka tersebut selama tiga malam terus menerus. Apabila hal ini tidak ditaati, maka

didenda karena telah dianggap melanggar adat.

Pada malam hari, dilaksanakan acara puar atau hapuar yaitu daun kelapa

kering yang masih berlidi atau bambu kering yang dibuat menyerupai batang lidi,

dibakar ujungnya, kemudian ujung yang berapi disentuhkan ke kulit tubuh pelayat

yang malam itu berkumpul di rumah duka, boleh saling balas membalas atau

menghindari sentuhan. Kegiatan ini menjadikan para pelayat yang mandaring di

rumah duka menjadi tidak mengantuk, karena saling usik dan tidak boleh ada

kemarahan. Pada saat penguburan, semua pelayat yang hadir dalam upacara akan

turut berduka dan menundukkan kepala.


b. Tiga Tahapan Pelaksanaan Upacara Kematian suku Dayak

 Penguburan, menyerahkan arwah yang meninggal kepada Raja Entai Nyahu

yang tugasnya sebagai penjaga kuburan.

 Tantulak Matei, untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari

segala bentuk kesialan dan kematian. Pemberitahuan kepada Duhung Mama

Tandang bahwa seorang manusia telah meninggal, agar Duhung Mama

Tandang turun ke bumi untuk memandikan arwah dengan Nyalung

Kaharingan Belum dan mengantarkannya ke Lewu Bukit Nalian Lanting

sampai kelak ritual Tiwah dilaksanakan.

 Ritual Tiwah atau Ijambe atau Wara atau Nyorat . Arwah diantar ke Lewu

Liau atau Surga dipandu oleh Rawing Tempun Telun.

c. Cara Merawat Jenezah Menjelang Penguburan

Arah meletakkan jenazah untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Jenazah

seorang laki-laki, kepala diletakkan arah selatan, untuk perempuan, kepala

diletakkan arah utara. Setelah dimandikan oleh petugas yang telah ditentukan, lalu

dikenakan pakaian. Setelah itu dibungkus dengan tujuh lapis kain, pada tangan

kiri diletakan telur atau daun sawang atau (Cordyline fruticosa A. Chev.), dan

tangan kanan pinang muda atau pinang tua. Pada bagian mata, ditutupi tujuh

lembar potongan kain, dan di atas potongan kain pada lapis teratas, diletakan batu

atau uang putih. Pada lubang telinga dan lubang hidung, diberi penutup, lalu pada
bagian ulu hati diletakan sasari atau mangkuk kecil. Kemudian dengan lawai atau

benang lembut, jenazah diikat dari kepala hingga kaki. Ujung benang pengikat

kaki, pada satu kaki diikatkan sepotong perak atau besi, dan kaki satunya lagi

diikatkan sirih pinang dan rokok. Disamping kepala dan kaki diletakan mangkuk

dan piring kecil.

Setelah semuanya siap, seorang perempuan yang telah ditentukan akan

duduk di samping jenazah dan tangannya memegang daun sawang atau andong

(Cordyline fruticosa A. Chev.) Maksudnya menjaga jangan sampai jenazah

dihinggapi lalat. Larangan yang harus ditaati oleh perempuan yang bertugas

duduk disebelah jenazah, adalah pantang makan nasi. Ia hanya boleh makan sayur

mayur selama menunggui jenazah.

Jenis peti mati ditentukan oleh ahli waris dan dibuat bersama-sama,

gotong royong warga kampung. Setelah peti mati selesai dibuat, diletakan di

sebelah jenazah menunggu sampai saatnya jenazah dimasukan ke dalam peti mati.

Barang-barang yang dimilikinya selama hidup, diletakan di kiri kanannya.

Barang-barang yang diletakan di sebelah kiri, yang antara lain pakaian, mandau,

tombak, besei atau pengayuh, diletakan disebelah kiri, karena nantinya akan

dibawa ke liang kubur untuk kemudian dibawa lagi ke Lewu Liau atau surga

apabila ritual Tiwah telah dilaksanakan. Barang-barang yang diletakan di sebelah

kanan, tidak dibawa ke liang kubur karena akan ditinggalkan sebagai warisan bagi

keluarga yang ditinggalkan.

Sebelum jenazah dimasukan ke dalam peti jenazah, terlebih dahulu ahli

waris menyediakan :
 Beras satu mangkuk.

 Garam satu mangkuk

 Patung dua buah. Yang sebuah terbuat dari batang pisang dan yang sebuah

lagi terbuat dari bambu telang.

Apabila jenazah telah diletakkan di dalam peti mati dan ditaburi beras dan

garam yang telah disediakan, kemudian seorang pisur atau petugas pelaksana

upacara adat, melaksanakan tugasnya memanggil hambaruan atau semangat yang

dimiliki oleh siapapun yang hadir dalam rumah duka. Lalu semua yang hadir

meludahi kedua patung yang telah disediakan agar segala sial dan niat jahat

siapapun yang hadir tidak terbawa oleh si mati, demikian pula segala sial dan

malapetaka dari si mati jangan mengganggu yang masih hidup. Segala sial dan

malapetaka, hanya akan dibawa dan ditanggung oleh kedua patung tersebut.

Setelah upacara meludahi patung selesai, barulah barang-barang yang akan

dibawa ke liang kubur, dimasukan ke dalam peti mati, baru kemudian peti mati

dipasak atau dipaku. Ketika jenazah telah dikebumikan, pada hari itu juga, di

rumah duka disediakan dua buah ancak atau palangka atau tempat sesajen yang

telah dilengkapi dengan sajen berupa makanan- makanan tertentu, lalu ancak

tersebut digantungkan. Kedua sajen tersebut ditujukan kepada :

 Roh baik yang telah mengusahakan segala sesuatunya hingga berjalan lancar

tanpa halangan, maksudnya sebagai ungkapan terima kasih.

 Ditujukan kepada Roh jahat agar tidak mengacaukan suasana dan jangan

mengganggu ahli waris dan keluarga yang sedang dalam keadaan berduka.
Ada ada beberapa cara penguburan yang digunakan dalam yang digunakan

oleh Masyarakat Suku Dayak Ngaju

 Dibakar, abunya dimasukkan ke sebuah guci lalu disimpan di depan rumah.

 Ada yang dalam tiga hari di kubur nguluhpalus, dan dalam waktu satu sampai

tujuh harus diadakan ritual Tiwah

 Bilit atau belit Orang yang telah meninggal dimasukkan ke dalam peti mati

yang disebut runi, kemudian digantung di dalam hutan hingga setahun

kemudian, tulang diambil untuk ditiwahkan lalu tulang-tulang tersebut

disimpan dalam Sandung Naung.

 Dihanyutkan dalam air dengan ritual.

 Niwah Palus. Maksudnya hari setelah meninggal diadakan ritual Tiwah.

d. Ritual Tiwah

1) Pengertian Jiwa atau Roh

Jiwa atau roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan atau

Semenget. Sedangkan Jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia disebut

Salumpuk Liau. Selumpuk Liau harus dikembalikan kepada Ranying Hatalla

Langit (Tuhan). Prinsip keyakinan Kaharingan menyatakan bahwa tanpa diantar

ke Lewu Liau (surga) dengan sarana ritual Tiwah, tak akan mungkin arwah

mencapai Lewu Liau (surga). Apabila dana belum mencukupi untuk

melaksanakan ritual Tiwah maka pelaksanaan ritual Tiwah boleh ditunda sampai

terkumpulnya dana dan bertambahnya jumlah keluarga yang akan bergabung


untuk bersama melaksanakan ritual sakral tersebut. Ritual besar yang berlangsung

antara tujuh sampai empat puluh hari tentu saja membutuhkan dana yang tidak

sedikit, namun karena adanya sifat gotong royong dari masyarakat, maka ritual

besar ini dapat terlaksanakan.

Salumpuk Bereng yaitu raga/tubuh manusia yang telah terpisah dari jiwa

karena terjadinya proses kematian. Setelah mengalami kematian, Salumpuk

Bereng diletakkan dalam peti mati, sambil menunggu pelaksanaan ritual Tiwah,

Salumpuk Bereng dikuburkan terlebih dahulu.

2) Pengertian Dosa

Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk Liau (roh yang

telah meninggal) akibat perbuatannya semasa hidup antara lain:

 Merampas, mengambil istri orang, mencuri dan merampok. Hukuman yang

harus dijalani oleh Salumpuk Liau untuk perbuatan ini ialah menanggung

siksaan di Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang terkunci).

 Ketidakadilan dalam memutuskan perkara bagi mereka yang berwewenang

memutuskannya, yaitu para kepala kampung, Kepala Suku dan Kepala Adat.

Mereka juga akan dihukum di Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang

terkunci) untuk selamanya dalam rupa setengah kijang dan setengah manusia.

 Tindakan tidak adil atau menerima suap (korupsi) bagi mereka yang bertugas

mengadili perkara di Pantai Danum Kalunen (dunia). Mereka akan


dimasukkan ke dalam Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang terkunci)

untuk selamanya.

3) Jenis dan Nama Peti Mati

Dalam pelaksanaan ritual Tiwah memerlukan peti mati untuk menaruh

jasad dari almarhum/almarhumah untuk nantinya jadi sebagai perantara atau

media pengantar Salumpuk Liau (roh manusia yang telah meninggal) menuju

Lewu Liau (surga). Berikut adalah jenis dan nama peti mati tersebut:

 Runi, yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat, bagian

tengahnya dibuat berongga atau berlubang dan ukuran lubang tengah

disesuaikan dengan ukuran Salumpuk Bereng (jasad) yang akan diletakkan di

situ.

 Raung, yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada

umumnya, ada tutup peti pada bagian atas. Namun tak memiliki lubang seperti

Runi.

 Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi

panjang, dengan tutup dibagian atas.

 Kakiring, peti mati berbentuk dulang tempat makanan babi, kakinya

berbentuk tiang panjang ukuran satu depa.

 Sandung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi dengan empat tiang.

 Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam tiang.

 Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu tiang.
 Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh.

Sandung Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun

(Tuhan) akan memberikan balasan kepada si pembunuh.

 Tambak, di kubur di dalam tanah bentuknya persegi empat.

 Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda dengan

Tambak.

 Jiwab, bentuknya menyerupai Sandung namun tanpa tiang

 Sandung Dulang, tempat menyimpan abu jenazah.

 Sandung Naung, tempat menyimpan tulang belulang.

 Ambatan, patung-patung yang terbuat dari kayu dan diletakan disekitar

Sandung.

 Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan

rumah.

 Sandaran Sangkalan Tabalien yaitu patung besar jalan ke langit.

 Pantar Tabalien yaitu Pantar kayu jalan ke lewu liau.

 Sandung Balanga, yaitu belanga tempat menyimpan abu jenazah.


Sandung
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya harus tersedia hewan

korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, bahkan di masa yang telah lalu

persyaratan yang tersedia masih dilengkapi lagi dengan kepala manusia. Makna

persembahan kepala manusia ialah ungkapan rasa hormat dan bakti para ahli waris

kepada Salumpuk Liau (roh jasad yang telah meninggal) yang siap diantar ke

Lewu Liau (surga). Mereka yakin bahwa kelak di kemudian hari apabila

Salumpuk Liau telah mencapai tempat yang dituju yaitu Lewu Liau, maka

sejumlah kepala yang dipersembahkan, sejumlah itu pula pelayan yang

dimilikinya kelak. Mereka yang terpilih dan kepala mereka yang telah

dipersembahkan dalam upacara sakral tersebut, secara otomatis Salumpuk Liau

dari kepala-kepala tersebut akan masuk Lewu Liau tanpa harus ditiwah-kan walau

keberadaan mereka di Lewu Liau hanya sebagai pelayan. Namun di masa kini hal

tersebut telah tidak berlaku lagi. Kepala manusia digantikan oleh kepala kerbau

atau kepala sapi.

4) Pelaksanaan

a) Pelaksanaan Ritual Sakral

i. Balian

Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan

komunikator antara manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak

terlihat oleh mata manusia. Balian menyampaikan permohonanpermohonan

manusia kepada Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) dengan
perantaraan roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla

Langit (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mengayomi manusia. Tidak setiap orang

mampu melakukan tugas dan kewajiban sebagai Balian. Biasanya hanya orang-

orang terpilih saja. Adapun tandatanda yang dapat dijadikan pedoman seorang

anak kelak bila telah dewasa menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang

anak perempuan lahir terbungkus yaitu pada saat dilahirkan plasenta anak tidak

pecah karena proses kelahiran, namun lahir utuh terbungkus plasentanya, juga

sikap dan tingkah laku anak sejak kecil berbeda dengan anak-anak pada

umumnya, ia pun banyak mengalami peristiwa-peristiwa tidak masuk akal bagi

lingkungannya (peristiwa gaib).

ii. Basir

Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia

dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata. Di masa silam,

Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku layaknya seperti

perempuan, namun untuk masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi.

Dalam dunia spiritual, Basir memiliki kemampuan lebih dalam hal pengobatan,

khususnya penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat

mistik.

iii. Telun/Pisur
Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan.

Telun bertugas dalam hal-hal yang berkaitan dengan upacara-upacara adat

keagamaan. Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota Kerapatan Adat.

Dengan demikian Telun tidak punya suara dalam Putusan Kerapatan Adat.

iv. Mahanteran

Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator manusia

dengan Rawing Tempun Telun (Tuhan). Biasanya seorang Mahanteran atau

Manjangen, selalu duduk di atas gong, sambil memegang Duhung dan Batanggui

Sampule Dare (senjata tradisional suku Dayak Ngaju).

b) Proses Pelaksanaan Upacara Tiwah

Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu (saudara dari jasad yang

telah meninggal), yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan

diadakan ritual Tiwah, sehingga siapapun yang berniat meniwahkan keluarganya

mengetahui dan dapat turut serta. Setelah diumumkan, siapapun yang ingin

bergabung terlebih dahulu harus menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah

Salumpuk Liau (roh manusia yang telah meninggal) yang akan diikutsertakan

dalam ritual Tiwah. Setelah pendataan jumlah Salumpuk Liau yang akan

bergabung untuk diantarkan ke Lewu Liau (surga), barulah ditentukan dengan

pemilihan siapa dari para Bakas Lewu yang pantas menjadi Bakas Tiwah (Ketua

ritual Tiwah).
Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah pembicaraan lebih detail

dilaksanakan. Detail pembicaraan antara lain menyangkut jumlah kesanggupan

yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga yang telah menyatakan diri akan

bergabung. Kesanggupan itu menyangkut masalah konsumsi, hewan-hewan yang

akan dipersembahkan sebagai korban juga bersama memutuskan siapa pelaksana

ritual Tiwah itu nantinya, apakah Mahanteran atau Balian.

Disamping itu ditawarkannya kebutuhan-kebutuhan ritual Tiwah sesuai

dengan kemampuan masing-masing keluarga Salumpuk Liau, masih ada beberapa

persyaratan yang wajib disediakan oleh pihak keluarga. Salah satunya, minimal

wajib menyediakan seekor ayam untuk setiap Salumpuk Liau. ritual diadakan di

rumah Bakas Tiwah, dengan waktu pelaksanaan ditentukan musyawarah. Pada

hari yang ditentukan, semua keluarga berkumpul di rumah Bakas Tiwah.

i. Hari Pertama

Ritual diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang

dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam satu

hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh

sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai dibangun, Bakas

Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan tanda untuk barang-barang

yang akan digunakan dalam ritual Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar

(persembahan/hewan korban) yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit

(pemolesan).
ii. Hari Kedua

Pada hari kedua, para keluarga peserta Tiwah yang tidak tinggal pada

kampung yang sama bersama-sama menumpang Rakit Laluhan seraya membawa

perbekalan dan sumbangan untuk upacara tersebut. Sesampai di lokasi Tiwah

kemudian dilakukan prosesi Potong Pantan (tradisi memotong batang bambu

hijau) yang dipasang melintang di pintu masuk dengan menggunakan sebilah

pedang Mandau (senjata tradisional suku Dayak) sebagai tanda para tamu

kampung disambut dengan baik oleh tuan rumah. Secara resmi para keluarga dari

lain kampung itu menjadi peserta ritual Tiwah tersebut.

Rakit Lahuhan
Lalu di hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung (salah satu

jenis peti mati) yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk

menyimpan tulang belulang masing-masing Salumpuk Liau. Dilakukan Pemalasan

(ritual pengolesan/pemercikan) dengan membunuh seekor babi dan diambil

darahnya untuk memoles Sangkaraya Sandung Rahung. Kemudian di sekitar

Sangkaraya Sandung Rahung dipasang bambu kuning dan Lamiang atau Tamiang

Palingkau, juga kain-kain warna kuning dan bendera Panjang Ngambang

Kabanteran Bulan Rarusir Ambu Ngekah Lampung Matanandau.


Di hari kedua ini alat-alat musik bunyi-bunyian seperti gandang,

garantung, kangkanung, toroi, katambung dan tarai mulai dibunyikan. Namun

terlebih dahulu semua peralatan musik, juga semua perkakas yang akan digunakan

dalam ritual Tiwah dipalas atau dipoles dengan darah binatang yang telah

ditentukan (misalnya darah babi).

Pada hari itu pula seorang Penawur (penabur) mulai melaksanakan

tugasnya menawur (menabur) untuk menghubungi Salumpuk Liau yang akan

diikutsertakan dalam ritual Tiwah tersebut agar mengetahui dan memohonkan izin

kepada Para Sangiang, Jata, Naga Galang Petak, Nyaring, Pampahilep (simbol

Dewa dalam agama Kaharingan). Juga pemberitahuan diberikan kepada

Sangumang, Sangkanak, Jin, Kambe Hai, Bintang, Bulan, Patendu, Jakarang

Matanandau (symbol alam).

Mereka yang hadir dalam acara tersebut berbusana Penyang Gawing

Haramaung, Baju Kalambi Barun Rakawan Salingkat Sangkurat, Benang

Ranggam Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau Lawung

Sansulai Dare Nucung Dandang Tingang, serta di pinggang diikat senjata

Dohong Sanaman Mantikei. Pada leher dikalungkan Lamiang Saling Santagi

Raja. Ketika bendera dinaikkan di atas Sangkaraya, mereka yang hadir baik laki-

laki atau perempuan, tua, maupun muda berdiri mengelilingi Sangkaraya,

dilanjutkan Menganjan untuk menyambut dan menghormati 14 Para Sangiang

yang telah hadir bersama mereka untuk mengantarkan Salumpuk Liau menuju

Lewu Liau.
iii. Hari Ketiga

Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya.

Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi

Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak kegembiraan

terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada hari itu beras merah

dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah Menganjan selesai, mulailah

acara membunuh binatang korban. Darah binatang yang dibunuh dikumpulkan

pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala kotoran.

Diyakini bahwa darah binatang yang dikorbankan tersebut adalah darah Raja

Agung Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Ranying Hatalla Langit

(Tuhan Yang Maha Esa).

Tarian Menganjan
Kemudian darah tersebut digunakan untuk memoles semua orang yang

berada dalam kampung tersebut, juga memoles batu-batuan, pangantuhu, minyak

sangkalemu, minyak tatamba, ramu, rakas, mandau, penyang, karuhei, tatau,

serta semua peralatan yang digunakan dalam ritual Tiwah itu. Di samping untuk

memoles, darah binatang korban tadi juga dicampur beras, kemudian dilemparkan

ke atas, serta segala penjuru, juga ke arah mereka yang hadir dalam upacara.

Dengan melempar beras yang telah dicampur darah Rawing Tempun Telun
tersebut diharapkan semua jadi baik, jauh dari segala penyakit dan gangguan,

panjang umur dan banyak rezeki.

iv. Hari Keempat

Pada hari keempat ini diyakini bahwa Salumpuk Liau pun turut hadir serta

aktif berperan dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak terlihat

oleh mata manusia. Salumpuk Liau jadi semakin bahagia dan gembira ketika para

keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek neneknya hadir berkumpul di

situ, dan menemui mereka yang hadir dalam perayaan tersebut, mereka

menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan kaki mereka yang hadir,

menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu, sambil menuangkan baram dan

anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki ayam, serta lemak babi yang diakhiri

dengan menyuguhkan rokok dan sipa.

Setelah itu di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama Tihang

Mandera yang maknanya pemberitahuan kepada siapapun yang datang ke

kampung tersebut ketika sedang berlangsung pesta Tiwah, berarti kampung

tersebut tertutup bagi lalu lintas umum. Mereka yang belum memenuhi

persyaratan yang harus dilakukan dalam pesta Tiwah, antara lain belum dipoles

dengan darah hewan korban (babi) dilarang menginjakkan kaki di kampung itu.

Jika tidak mentaati peraturan ada kemungkinan ditangkap dan pada hari itu pula

dibunuh lalu ditaruh di Sangkaraya, dipotong kepalanya sebagai pelengkap ritual

Tiwah.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong, sambil memegang

Dohong Nucung Dandang Tingang (senjata tradisional suku Dayak). Pertama-

tama penawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal dunia

untuk memberitahukan bahwa mereka yang nama-namanya disebut akan

diantarkan ke Lewu Liau. Kemudian berkomunikasi dengan para Tuhan

Bawah/Tanah (Sangiang Jata), untuk memohon perlindungan bagi semua sanak

keluarga Salumpuk Liau yang ditiwahkan serta para hadirin yang hadir dalam

upacara tersebut agar dijauhkan dari penyakit serta jauh dari kesusahan selama

terlaksananya ritual Tiwah tersebut.

Komunikasi selanjutnya ditujukan kepada setan-setan, kambe dan jin-jin

agar tidak mengganggu jalannya upacara, jangan sampai terjadi kematian

mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi tulah malai dan jangan sampai

terjadi perkelahian. Setelah itu Antang penghuni Tuhan Atas/Langit (Tumbang

Lawang Langit) dipanggil untuk mengamati, serta menjaga kemungkinan

datangnya musuh yang berniat mengganggu proses pelaksanaan upacara sakral

tersebut. Setelah itu burung elang datang dan terbang melayang-layang diatas

tempat ritual Tiwah berlangsung untuk mengawasi suasana serta menjaga

keamanan kampung itu.

Selanjutnya penawur berkomunikasi kepada Gunjuh Apang Pangcono

yaitu “Raja Pali” Sang Penguasa segala bentuk larangan yang harus ditaati

penduduk bumi. Pemberitahuan dan permohonan izin pelaksanaan Tiwah yang

dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari dimaksud untuk menghindari

kesalahpahaman Raja Pali akan peristiwa sakral tersebut. Proses selanjutnya


didirikan Hampatung Halu, yang diikat sebutir manik hitam dengan tengang

beliat yang ditanam pada tanah perbatasan kampung dimana Upacara Tiwah

sedang dilangsungkan dengan perkampungan lain yang tidak sedang mengadakan

ritual Tiwah. Sejak hari itu hukum pali mulai dilaksanakan oleh para ahli waris

Salumpuk Liau. Batas waktu pelaksanaan Hukum Pali telah ditentukan yang

artinya bukan selamanya.

Adapun larangan-larangan itu adalah sebagai berikut:

 Pali makan Rusa - Dilarang memakan Rusa.

 Pali makan Kijang.

 Pali makan Kancil/Pelanduk

 Pali makan Kelep dan Kura-kura.

 Pali makan Kera.

 Pali makan Beruk.

 Pali makan Buhis.

 Pali makan Kalawet.

 Pali makan Burung Tingang/Burung Enggang.

 Pali makan Burung Tanjaku.

 Pali makan Ahom.

 Pali makan Mahar.

 Pali makan Ular.

 Pali makan Tahatung.

 Pali makan Angkes.


 Pali makan Buah Rimbang.

 Pali makan Daun Keladi.

 Pali makan Ujau.

 Pali makan Dawen Bajai/Daun Bajai.

Selain larangan menyantap beberapa jenis binatang dan tumbuh-

tumbuhan, juga ada pali berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka mereka yang

berkelahi wajib membayar denda kepada Bakas Tiwah, Jipen, Ije, dan kewajiban

potong babi, darah babi digunakan untuk memoles mereka yang berkelahi.

v. Hari Kelima

Hari ini Pantar Tabalien didirikan yaitu jalan yang akan dilalui Salumpuk

Liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau kayu

besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter

dari tanah. Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau, sapi

atau babi diikat di Patung Tinggi (Sapundu) dan mereka yang hadir mengelilingi

Sapundu tersebut, menusuki hewan korban dengan Tombak Lunju tanpa henti

baik siang maupun malam. Saat itu pula Sandung dan Pambak tempat menyimpan

tulang-tulang (Salumpuk Bereng) mulai dibuat, yang setelah siap terlebih dulu

dipoles dengan darah kerbau, sapi atau babi. Kemudian selama tujuh hari

Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh hari mereka yang lalu lalang di

kampung tersebut terkena larangan (pali), dan wajib menyerahkan sesuatu

miliknya berupa benda apa saja untuk menetralisir pali yang menimpanya.

Kemudian Talin Pali diputuskan.


Proses Penusukan Hewan
Sebuah Tajau atau Belanga dengan ukuran besar dan mahal harganya

diletakkan disamping patung besar yang terbuat dari kayu, namanya Sandaran

Sangkalan Tabalien, Ingarungkung dengan Lalang Pehuk Barahan. Keyakinan

suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh oleh karena itu siapapun yang

ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit ketujuh wajib memenuhi

persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja juga menyediakan binatang-binatang

korban karena sejak hari ke lima dan seterusnya akan banyak masyarakat

berdatangan, berkumpul, bergabung menganjan mengelilingi hewan-hewan yang

akan dikorbankan, baik siang maupun malam untuk menghormati Salumpuk Liau

yang segera akan dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi

lagi, bambu dan, daun itik mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di

dalam bambu, kemudian dibungkus dengan daun itik.

vi. Hari Keenam

Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian khusus yang

memang telah dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat yang hadir
untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di Balai. Basir dan Balian

didudukkan diatas Katil Garing (panggung) dan siap memegang alat musik

(Sambang/Ketambung). Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh dua orang,

serta empat orang duduk di belakangnya. Penawur mengawali Tantulak Balian

yang artinya buang sial, maksudnya membuang segala bencana yang mungkin

terjadi selama prosesi sakral berlangsung.

Salah satu persyaratan yang diminta oleh Ranying Hattala Langit (Tuhan

Yang Maha Esa), dengan perantaraan Rawing Tempun Telun kepada mereka yang

melaksanakan ritual Tiwah ialah sifat kesatria, memiliki keberanian luar biasa,

gagah perkasa pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya

sebuah Lanting Rakit dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat

Upacara Tiwah dengan membawa binatang-binatang korban seperti kerbau, sapi,

babi, ayam, tidak begitu saja diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji

keberaniannya.

Begitu rombongan tamu turun dari Lanting Rakit yang ditumpangi,

mereka disambut dengan laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang kayu

bulat yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada tiang setinggi pinggang

dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu yang datang, Bakas

Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang, tujuan kedatangan

juga nama dan jenis binatang yang dibawa.

Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan tersebut bahkan

tidak lupa menceritakan tindak kepahlawanan yang pernah mereka lakukan.

Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta kepada


para tamunya untuk memotong kayu penghalang yang ada di depan mata mereka.

Apabila mampu memotong hingga patah berarti benar mereka adalah para ksatria

yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah, baru

kemudian mereka dipersilahkan bergabung.

vii. Hari Ketujuh

Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus yaitu hari

melepaskan segala kesialan (Kawe Rutas Matei), pada hari ketujuh inilah

salumpuk liau mengawali perjalanan menuju Lewu Liau diawali dengan

penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada binatang korban yang

telah dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana masyarakat yang hadir

telah menganjan siang malam tanpa henti.

Tidak setiap orang diperkenankan menikam binatang korban, semua ada

aturannya.

Cara pertama:

 Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan. Ia

berhak mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.

 Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut pekas

bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah

ditombaknya

 Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas tikamannya

disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang

korban yang telah ditombaknya.


Cara kedua:

 Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia berhak

menerima paha kanan binatang yang telah ditombaknya.

 Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit dan

telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri binatang yang

ditombaknya.

 Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan

jantung binatang yang ditombaknya.

Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan yang hanya dilakukan

oleh laki-laki. Selesai kanjan hatue dilanjutkan acara masak memasak

mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, Pampahilep, Sangkanak,

Kambe, Burung Bahotok, Burung Papau, Burung Antang (hewan mistis tak

terlihat oleh mata).

Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak terlihat

mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah ditujukan kepada Salumpuk Liau yang

sedang diantar ke Lewu Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan kepada Raja

Untung dan Para Sangiang. Lemparan ke arah belakang ditujukan kepada Raja

Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang ditujukan kepada Sangumang dan

Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada Bulan, Bintang, Matahari, Patendu,

Kilat dan Nyahu. Selesai acara pemberian makan kembali masyarakat yang hadir

berkumpul.

Tibalah saatnya Salumpuk Bereng digali atau diambil dari tempat

penyimpanan sementara. Tulang belulang yang ditemukan dikumpulkan, dan pada


hari itu pula dimasukkan dalam tambak atau pambak atau sandung. Kemudian

pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau hapuar. Upacara ini dianggap

selesai apabila seluruh prosesi Ritual Tiwah telah dilaksanakan dengan lengkap,

dengan demikian keluarga yang ditinggalkan merasa lega karena telah berhasil

melaksanakan tugas dan kewajibanya kepada orang-orang yang dicintai.

Salumpuk Liau telah sampai ke tempat yang dituju yaitu Lewu Liau.

Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian diberi kesempatan beristirahat

namun hanya sehari saja karena setelah itu acara akan dilanjutkan lagi selama tiga

hari berturut-turut. Maksud acara lanjutan yang juga dilengkapi dengan potong

babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih oleh ahli

waris salumpuk liau kepada para tamu yang telah hadir bersama mereka. Terima

Kasih dan selamat jalan, itulah ungkapan yang ingin mereka sampaikan. Kepada

Rawing Tempun Telun tidak lupa mereka selalu mohon perlindungan. Pada hari

yang sama diadakan juga acara Balian Balaku Untung yaitu dengan perantaraan

Rawing Tempun Telun mohon rezeki kepada Hatalla (Allah SWT).

Sebagai ungkapan terima kasih kepada Basir, Balian, Mahanteran dan

Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara dalam semua prosesi ritual

Tiwah ini demi mengantarkan Salumpuk Liau ke Lewu Liau, cinderamata

diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan upacara akan

pulang ke kampung dan rumah mereka masing-masing, masyarakat yang telah

turut hadir dalam Ritual Tiwah berbondong-bondong mengantarkan mereka

sampai ketempat yang dituju.

Anda mungkin juga menyukai