berbagai maksud dan tujuan tertentu dalam suatu masyarakat. Dewa, roh halus,
neraka, surga, dll, selalu mengambil bentuk dan bagian dalam ritual, baik
musiman dan jarang. Adapun tujuan dari ritual-ritual tersebut adalah: tujuan
sikap masyarakat sesuai situasi sosial yang semuanya berorientasi pada perubahan
Jadi, Ritual adat yang biasa diadakan oleh suku Dayak Ngaju itu ada
beragam antara lain; upacara ritual mengantar tulang-tulang orang yang sudah
Rutas Uluh Matei, ritual pengobatan atau Menyanggiang, ritual kehamilan atau
Nyaki Tihi, ritual- ritual Menetek Pantan, ritual membersihkan kampung atau
Mamapas Lewu, ritual Laluhan, ritual Pakanan Sahur Lewu, ritual Menyanggar,
dan ritual memberikan nama pada anak atau Nahunan (Kuennu, 2015).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, ada tiga ritual adat saja yang
nantinya akan diteliti jenis tumbuhan yang digunakan dalam Ritual Adat Dayak
Ngaju yaitu pada ritual memberikan nama pada anak atau Nahunan, ritual
pernikahan atau Pelek Rujin Pengawin, dan ritual mengantar tulang-tulang orang
menyatakan bahwa pengertian ritual Nahunan yaitu pemberian nama bagi bayi
yang lahir dengan selamat sekaligus membayar jasa bidan yang membantu dalam
proses kelahiran tersebut. Pemberian nama harus dengan ritual Nahunan agar
nama bayi selain dikenal di hadapan orang banyak juga diakui dihadapan Sang
didasarkan pada ajaran kitab suci Panaturan yaitu pasal 20 ayat 20 yang berbunyi
sebagai berikut :
seorang ibu yang baru mengandung (hamil) perlu dilaksanakan upacara ritual
1) Ritual Paleteng Kalangkang Sawang adalah dilakukan pada saat umur bayi
3) Ritual Mangkang Kahang Badak adalah dilakukan pada saat umur bayi dalam
Setelah bayi tersebut lahir maka langkah awal yang dilakukan oleh orang
tua setelah lepas tali pusat si bayi adalah melaksanakan Maruah Awau. Setelah itu
baru dilaksanakan ritual pemberian nama bayi atau Nahunan tersebut sebagai
Ritual Nahunan merupakan suatu balas jasa atau ucapan terima kasih
kepada Bidan dan para leluhur yang telah menjaga dan melindungi bayi dan
ibunya, sehingga dari proses awal sejak bayi dalam kandungan sampai bayi itu
lahir tidak mengalami gangguan berbagai penyakit dan pengaruh buruk karena
merupakan upacara sakral yang diyakini dan dipercaya terhadap Ranying Hatalla
Langit (Tuhan Yang Maha Esa), untuk itu upacara Nahunan merupakan hakekat
dan hajat hidup menyangkut pembentukan watak dan karakter manusia (Ledia,
2014).
pemilihan nama bagi bayi yang baru lahir setelah berumur 40 hari sampai dengan
umur 1 tahun, dimana nama tersebut memiliki makna atau arti yang sangat
mendalam karena baik atau buruknya tingkah laku seseorang tidak lepas dari
nama yang telah diberikan. Sehingga pemberian nama tersebut harus berhati-hati
dan bersyarat sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, karena dengan nama
yang telah diberikan melalui upacara tersebut seseorang dapat mengenal siapa
merupakan suatu upacara yang sangat mutlak dilakukan untuk memberi nama dan
sangat penting sekali untuk memberikan jati diri anak tersebut dan mendapat
berkat dari Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa). Maka oleh sebab itu
Setiap ritual sudah tentu mempunyai suatu tujuan, seperti halnya dengan
ritual Nahunan merupakan upacara ritual agama Hindu Kaharingan yang sangat
diyakini dan harus dilaksanakan bagi bayi yang lahir dengan selamat. Menurut
Ledia, tujuan pelaksanaan ritual Nahunan adalah pemberian nama bayi secara
resmi, membayar jasa atau upah Bidan dan sebagai ucapan syukur kepada
Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) atas kelahiran bayi tersebut yang
Ritual Nahunan adalah ritual yang bersifat sakral dalam agama Hindu
Kaharingan yang wajib dilakukan oleh orang tua terhadap setiap bayi yang lahir
dengan selamat. Karena dalam kehidupan di dunia ini baik bayi si kaya dengan
ritual Nahunan merupakan bagian dari upacara sakral yang harus dilakukan sesuai
dengan ajaran yang diajarkan oleh Bawi Ayah saat turun ke Pantai Danum
pengakuan secara ritual bagi bayi yang baru lahir yang sangat diyakini oleh umat
Hindu Kaharingan, hal ini disebabkan karena nama bagi seorang akan selalu
digunakan sampai pada waktunya ia kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena
itu ritual Nahunan merupakan suatu upacara yang pertama bagi si anak dalam
positifnya dalam pelaksanaan ritual Nahunan yaitu si anak mendapat berkat dari
Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) setelah ritual Nahunan
dilaksanakan dan nama si anak tersebut diakui dihadapan Ranying Hatalla Langit,
leluhur (Sahur Parapah) dan orang yang menghadiri pelaksanaan upacara ritual
Nahunan tersebut.
Menurut Ledia (2014) ada 3 point yang terjadi apabila tidak segera
Nama anak tidak sah dimata Ranying Hatalla Langit dan Hambaruan atau roh
si bayi masih bersama si bidan dan bila si anak nantinya meninggal maka
Hambaruan atau roh dari si anak akan ikut bersama si bidan tersebut
Apabila Ritual Nahunan tidak dilaksanakan maka Hambaruan/roh si bayi
akan tetap bersama dengan Bidan, karena itu si bayi bisa (Pamparesen) mudah
sakit.
kembarnya) yang gaib akan berada jauh dengan si bayi karena tidak ada
upacara yang menjalin kembali hubungan si bayi dengan saudara yang bisa
menjaganya
memohon perlindungan kepada Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa),
leluhur (Sahur Parapah). Jadi sangat penting sekali bagi orang tua si anak untuk
melaksanakan ritual Nahunan agar Hambaruan atau roh si anak ikut bersama
kedua orang tuanya dan tidak lagi bersama dengan Bidan (Ledia, 2014).
dilaksanakan, maka beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh orang tua si bayi
dalam ritual adat memberikan nama Anak atau Nahunan yaitu sebagai berikut :
Pada tahap persiapan ini yang harus dilakukan keluarga yang akan
ritual Nahunan. Apabila biaya sudah siap maka orang tua bayi yang akan
upacara tersebut. Adapun aturan waktu atau hari baik dalam pelaksanaan
upacara Nahunan yaitu dalam pelaksanaan ritual Nahunan waktu atau hari
baik untuk pelaksanaannya harus ditentukan yaitu dengan melihat hari bulan
atau bulan di langit yang sudah pas separoh terlihat (Bulan Paras Kajang),
ketiga dari bulan purnama di langit atau dalam hitungan kepercayaan umat
Kaharingan (Orang Dayak) bulan ke satu jatuh pada bulan Mei baik untuk
sabit (bulan tapas) tidak baik untuk melakukan acara/ritual Nahunan. Ritual
daunnya diikat dengan tali dan pada daun sawang dituliskan Cacak Burung
memakai kapur sirih) lalu diikatkan pada sebuah (Lunju) tombak, jumlah
sawang yang di gantung itu berjumlah 5 lembar daun sawang. setelah itu
dengan ritual Nahunan baik dari sarana yang terkecil sampai pada sarana yang
upacara Nahunan.
berisikan sagala Laluh Bidan (upah Bidan kampung) berupa : satu buah
tambak beras, sesajen yaitu berupa babi dan ayam masak, satu lembar kain
panjang (Bahalai), Pakayan Sinde Mendeng (baju), satu buah parang, satu biji
buah kelapa dan ada juga uang sesuai kemampuan, satu buah piring, mangkok
kosong, gula merah yang dibungkus, kopi satu bungkus, (bawang merah,
tambak bila anaknya perempuan dengan Giling pinang, sipa ruku sebanyak 3
Piring putih disusun 7 dan yang bawah di isi beras Pulut (beras kentan) begitu
Buah kelapa (Enyuh Katilambung Nyahu) yang sudah dikupas kulit luarnya
dan masih ada serabut dalamnya kemudian ujungnya dililit dengan benang
yang sudah ada jarumnya sebanyak 7 lilitan untuk anak laki-laki dan 5 lilitan
untuk anak perempuan dan tidak boleh menggunakan benang berwarna hitam.
Satu helai kain Bahalai bila anak laki-laki dan bila anak perempuan satu helai
kain sarung
Parang yang ada sarungnya (Pisau Tangking), sebagai alat untuk memperkuat
beras Hambaruan.
upacara Nahunan tersebut, sebagai simbol Laluh Bidan (upah Bidan) pada
Satu (1) pohon sawang (Sawang Jangkang), bermakna menjadi saksi dan janji
hidup bagi si bayi dengan Ranying Hatalla Langit selama hidup anak tersebut.
Satu (1) batang rotan (Uwei Rantihen Tingang) sepanjang 1 depa, 1 hasa, 1
gawang, sabuti, 3 jari dan lebih sedikit tetapi tidak melebihi dari yang 3 jari
tersebut.
Buah pinang muda dan tua, satu tangkai sirih yang sudah diberi kapur diikat
jadi satu.
Tanah dan air yang diambil dari pinggir sungai yang mengalir.
Rabayang (sejenis tombak) bisa juga diganti dengan 1 buah tombak (Lunju
Lakar,jala, Katip (alat penggepit untuk memegang panci), Tutup Ketel (tutup
panci) Tanggui Layah (topi dari daun ipah), Batu asah, palu dan parang kecil.
Tampung Tawar (terbuat dari daun kelapa muda yang dianyam dan digunakan
Beras Hambaruan.
Kawu (abu).
Uang logam (Duit Singah Hambaruan) dan uang kertas.
biaya pelaksanaan ritual Nahunan, penentuan waktu atau hari baik dalam
sudah dipersiapkan semua oleh orang tua si bayi maka dilanjutkan dengan tahap
pelaksanaan ritual Nahunan. tahap persiapan ritual Nahunan yaitu sebagai berikut
Memasang Kajang Lalangit (atap rumah daun rumbia) atau bila tidak ada bisa
diganti dengan kain panjang dan direkatkan tepat di atas pintu masuk, sebelah
kiri dipasangkan sebuah bendera atau kain kuning (Timpung Bahenda) dan
disamping kiri pintu keluar dipasang juga Tarinting Dawen Sawang yang
sudah diikat pada sebuah tombak dan sebuah pohon kayu yang ditancapkan
berdekatan dengan jarak kurang lebih satu meter dari tombak tersebut.
tersebut. Setelah Bidan dan Basir (rohaniawan) sudah datang maka orang tua
maksud dan tujuan ritual Nahunan kepada para leluhur yaitu dengan
Manawur beras.
Basir (rohaniwan) manawur beras Tawur dengan mantra khusus (mantra suci)
Nahunan tersebut. Kemudian setelah selesai maka babi dibunuh dan ayam
juga dipotong dan darahnya diambil sedikit dan disimpan di dalam mangkok
Apabila syarat-syarat telah disiapkan, maka orang tua bayi membuat nama
anaknya atau meminta kepada keluarganya, agar saat Bidan menanyakan tetua
keluarga didepan pintu masuk rumah untuk menanyakan dari mana si bayi
melakukan perjalanan, maka Bidan akan menjawab dengan menyebutkan
nama anaknya untuk memakan giling pinang yang telah disediakan dan sirih
mangkok yang diletakan didekat darah hewan korban ritual. Ampas pinang
yang telah di makan oleh beberapa orang tersebut lalu diikat oleh Bidan
berjejer dan digantung pada tampuk ayunan bayi yang berdampingan dengan
Bidan dan Basir serta orang tua bayi Manyaki (mengoleskan air penginangan)
Nyakiku ikau hapa iweh tingang uju kataruk lunuk, telan tambun hanya
kalawang baras, hapa manangkiri daha puti, namalimbas pangirih
musat, mandahang daha kurang, manambah aseng tapas, manuntung
talin jantung, manapal atei balayu, manyarumat tuntung hayat,
manambah isi uhat, manumpang upak bapetuk, manuntung uhat bagetu,
uju sarang uhat uju taratikam, hanya sampalakin uhat hanya taranjak,
mangat entang miring daha. Banyame ambu balajur hawun, tau akan
tanggeran lewu mandereh danum, panangkilik rundung hapamantai
tambun.
Artinya :
Ku oleskan air penginangan untuk menyempurnakan darah mu, daging,
urat, tulang dan sum-sum mu, agar selalu sehat, kuat gagah perkasa,
berumur panjang, cakap dan bijaksana yang akan menjadi contoh
tauladan bagi orang banyak serta berbhakti kepada Ranying Hatalla
Langit (Tuhan Yang Maha Esa).
Apabila semua telah selesai dan sudah siap, maka si bidan akan membawa
menuju sungai ada satu orang dari keluarga si bayi atau Basir yang berjalan
mendahului bidan membawa dan memegang tempurung yang berisi abu dapur
seraya menabur abu di mulai dari halaman rumah sampai di pinggir sungai,
Kemudian dibelakang seseorang yang menabur abu tadi diikuti oleh Bidan dan
beberapa sesajen serta sebuah Tambak beras dan ayah si bidan memegang
sarana lainnya. Abu tersebut berfungsi menutup semua sifat-sifat buruk agar
tidak menggangu saat bayi turun mandi. Adapun pengucapan mantra pada saat
sebuah tempurung di dalam tampi beras (Nyiru) kemudian Bidan menebas air
sungai searah arus dan berlawan arus sungai memakai parang yang bermakna
ketupat ayam dan ketupat sinta dan telur ke dalam sungai. Bidan memandikan
Kakarau pating jarin Bidan hamben huran ngayuh hiring duhung melai
bilun nyalung nantilang nyalung Jatha je ngumpang basial guhung
Hatalla jawan bakawe. Palus nantilang nyalung Jatha je ngumpang
basial, matei kahem kokop, matei buseng leteng, matei buah dondang,
matei manak tangkeng, sukup simpan taluh je papa, jatun ati batisa ije,
kurang nganan balihi due. Nanjuri marit nyalung Jatha tuntung batuah
guhung Hatalla kajawan balambit bara tumbang batang danum
sembang jalayan hulu danum, ain Jatha je tege (Raden Kudung), ain
Nyai (Nyai Siti, Nyai Galuh rami, Nyai Endas), aka lampang
ngatimbung mamba-mambai lanting garing mangat entang kapanduia
uras bujur kabajuran. Nanjuri marit tinai bara jalayan hulu danum bara
Bukit Tantan Samatuan, Bukit Raya, bukit kaminting, bukit lungkang
halu tangkung lisung, bara Bulan Tagalan Tahutun Bintang Patendu
Langit, bara kare bintang bulan, bintang intan, bintang kaliangan, ijang
bawui kayun tanggui tampung bua aka uras mantis Nyalung Kaharingan
belum nantiring duhung kapanaling tahaseng, mamantis tatamba
panyangka, panyalembang untek, panarang atei, paharus jalan,
parajang tutur (Basir Ucun, T. Runuk, 49 Tahun).
Sesudah memandikan bayi, Bidan melepaskan dan membuang pakayan si bayi
tujuh kali atau lima kali. Dengan diiringi mantra oleh Basir. Adapaun mantra
tanah dan memegangkan tangan bayi pada pohon sawang, kayu dan rumput.
Kemudian Bidan membawa bayi mendekati tangga rumah dan dari dalam
rumah ada tetua keluarga yang menanyakan beberapa pertanyaan pada Bidan
kaki bayi pada semua peralatan (sesajen) yang telah disediakan sedemikian
rupa di atas tikar. Pada setiap kali putaran terakhir, Bidan memegang tangan si
bayi pada pohon sawang yang tadi dibawa mandi yang sudah ditempatkan
lima kali atau tujuh kali putaran, bayi memegang pohon sawang tersebut
dengan posisi tangannya memegang pohon sawang mulai dari bawah ke atas
semakin tinggi.
membawa anaknya kemuka pintu. Di muka pintu ayah bayi memegang tangan
anaknya pada sisi pintu menghadap ke arah matahari terbit seraya melakukan
pekikan (Manukiu) tujuh kali berturut-turut hingga tangan anak untuk terakhir
kalinya tiba disisi pintu bagian atas. Setelah selesai ayah si bayi menyerahkan
anaknya kepada istrinya dan istri menyambut anaknya dengan beralaskan kain
sebanyak tujuh lapis. Disaat bayi berada dipangkuan ibunya, disitu Bidan
tersebut.
Mambayar Hajat/Membayar nazar kepada para leluhur yang telah melindungi dan
menjaga bayi dari sejak dalam kandungan ibunya hingga dia lahir dengan selamat
dan dilanjutkan dengan acara ritual oleh Basir atau orang tua yang
keselamatan ibu yang melahirkan anaknya dan sebagai sebuah aturan dalam hal
Selesai tahap pelaksanaan ritual Nahunan atau pemberian nama bayi sudah
dilakukan Ledia (2014), tahap akhir ritual Nahunan yaitu sebagai berikut :
makan bersama, maka Bidan diantar pulang oleh ayah si bayi dengan
Dalam pelaksanaan ritual Nahunan ini, ayah si bayi pada sore harinya
ditanam di bagian kanan arah keluar pintu rumah disitu Bawi Putir Santang
langsung membawa roh Sawang Tahunan bayi menuju Bukit Tanjung Nyahu
dari tabuni (ari-ari) si bayi tadi di Bukit Tanjung Nyahu, nama sawang tersebut
ayah si bayi pulang ke rumah dan setelah itu ritual ritual Nahunan selesai.
sudah tentu memiliki tahapan atau aturan/tata cara yang harus dilaksanakan dan
dipatuhi seperti ritual Nahunan ini demi keselamatan dunia maupun akhirat si
bayi. Dengan berakhirnya tahap akhir maka berakhir pula pelaksanaaan ritual
dahulu kala dan masih dilestarikan sampai sekarang oleh anak cucu suku Dayak
Ngaju yang berasal dari isyarat Pelek Ruji Pangawin bapa Sangomang atau yang
yang dijadikan sebagai teladan perkawinan yang paling sempurna bagi suku
Dayak Ngaju.
Rujin Pengawin yang merupakan upacara adat yang sangat erat dengan keyakinan
adat suku Dayak Ngaju. Upacara adat ini menjadi salah satu ciri Dayak Ngaju.
Perkawinan atau Pernikahan adalah suatu hal yang sangaat sakral didalam
semua budaya Suku Dayak. Sebelum dilakukan pernikahan ada beberapa tahapan
dan persiapan yang harus dilakukan. Yang utama ialah memperhatikan kesediaan
sang mempelai atau calon pengantin dan keluarga besarnya, dan juga “Hurui”
atau kekerabatan supaya tidak terjadi kawin sumbang atau juga perselisihan
Di luar ini baru dianggap bukan keluarga dekat dan boleh dinikahi.
yang memberikan kebebasan bagi seorang laki-laki atau seorang perempuan untuk
didalam budaya Dayak Ngaju, walau di beberapa daerah ada praktek perjodohan
Sistem pernikahan Dayak Ngaju juga adalah sistem monogami dan ada
satu istilah dalam bahasa Dayak Ngaju “Hambelom Sampai Hentang Tulang”
yang artinya hidup sampai menggendong tulang, Yang Artinya pernikahan yang
dilakukan harus bertahan sampai salah satu pasangan meninggal. Didalam tradisi
Tiwah atau penyucian tulang belulang, maka kewajiban sang Suami/Istri lah yang
antara lain:
Kawin Hatamput
laki-laki dan perempuan untuk melarikan diri dan hidup bersama sebagai suami-
istri. Perkawinan diibaratkan seperti kawin lari, jadi tanpa sepengetahuan orang
tua mempelai, hal ini bisa disebabkan karena salah satu orang tua mempelai tidak
menyetujui pernikahan itu atau karena sang laki-laki tidak mampu memenuhi
Palaku atau semacam mahar yang diminta oleh orang tua wanita atau pihak laki-
Kawin Pahinje arti harfiahnya menyatukan diri, perkawinan ini terjadi jika
salah satu pasangan tidak mampu memenuhi syarat adat atau membiayai
seserahan dalam pernikahan, maka cara ini adalah salah satu cara memaksa salah
Kawin Manyakei
Kawin Manyakei artinya memanjat, pernikahan ini terjadi akibat orang tua
salah satu pasangan tidak menyetujui atau salah satu pasangan pernah berjanji
akan menikahi tetapi tidak kunjung ditepati. Maka sang laki-laki atau perempuan
ini nekad mendatangi (memanjat) ke rumah pasangannya dan bertekad tidak akan
berlaku di dalam keluarga misal; Sala Hurui atau salah dalam hirarki silsilah
keluarga, misal antara secara hirarki keluarga dia adalah saudara laki-
usia.
Mandai Sala Sumbang dimana mereka harus makan ditempat Dulang Bawui
(Tempat Makan Babi). Perkawinan ini akan sangat memalukan keluarga kedua
pernikahan ini.
Kawin Hisek
Kawin Hisek artinya kawin dengan cara meminta atau melamar. Ini
merupakan sistem pernikahan yang lazim dan sesuai dengan adat. Pemahaman
masyarakat Dayak Ngaju masih banyak yang berpegang pada agama leluhur
dengan tradisi adat yang dilaksanakan dalam kehidupan bersama. Dalam tradisi
adat ini, upacara adat, termasuk rangkaian upacara perkawinan, dilaksanakan
upacara yang terkait dengan perkawinan yang dilaksanakan oleh suku Dayak
istrinya disebut oleh mereka dengan sebutan hakumbang auh. Jika seorang
akan menyampaikan maksud dan tujuan tersebut kepada orang tua si gadis
niatnya ini kepada orang tuanya sendiri. Selanjutnya, orang tua meminta
barang sebagai simbol adat, seperti sebuah mangkuk yang dibungkus kain
kuning dengan isi beras dan telur ayam serta uang sekadarnya. Setelah
maksud hati dan hajat disampaikan oleh wakil dari pihak pria, maka barang
yang dibawa diserahkan kepada pihak wanita yang diwakili oleh keluarga
besarnya.
apakah si pemuda ada sangkut pautnya dengan keluarga besar. Perilaku, tata
cara kehidupan, bibit, dan bobot si pemuda juga dibicarakan dalam rapat.
jawaban yang diterima tidak sesuai dengan harapan si pemuda, barang yang
melalui pihak tertentu, biasanya diwakili oleh keluarga pria. Dengan rasa
hormat disampaikan bahwa harapan pemuda belum bisa diterima. Barang yang
pernah diberikan berupa beras, telur ayam, dan uang dikembalikan. Namun,
akan dengan senang hati menerima kedatangan pihak keluarga si pemuda untuk
mamanggul. Jika ada kesepakatan, setelah tahap hakumbang auh ini pihak
keluarga si pemuda boleh langsung ke tahap maja misek, tidak perlu melalui acara
mamanggul.
Ini adalah tahapan selanjutya dari tahapan hakumbang auh, pada tahap ini
pihak laki-laki dan keluarganya akan datang untuk melamar sang gadis. Pada
tahapan ini sang laki-laki akan membawa tanda panggul berupa kain, seperangkat
alat mandi, minyak wangi dan sejumlah uang. Dan sebagai pengikat janji maka
pihak laki-laki juga akan membagikan Duit Turus atau berupa uang receh kepada
masyarakat yang hadir dalam acara Mamanggul ini, maksudnya agar masyarakat
yang hadir tersebut menjadi saksi atas prosesi lamaran pernikahan ini.
Dalam prosesi Mamangul ini akan dibicarakan Jalan Hadat yaitu barang
yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan adat dan
juga semacam klausul yang telah disekepati sebelum jika salah satu pasangan
melanggar sumpah pernikahan. Pada saat ini perjanjian ini akan dilakukan tanda
tangan diatas meterai. Mamanggul atau Mamupuh dilakukan agar tujuan dan
hajatan serta niatan baik itu dapat terlaksana dengan baik maka diterbitkanlah juga
kedua calon pengantin, agama yang dijadikan dasar perkawinan, tempat dan
tanggal pelaksanaan, para saksi dan rincian jalan adat yang akan dibayar oleh
calon mempelai laki-laki pada hari perkawinan nanti serta batu panggul yang
tersebut ayah, ibu, paman, dan bibi si pemuda mengadakan pembicaraan dengan
mengenai syarat yang mesti dipenuhi oleh pria, seperti mas kawin, yang
disebut dengan palaku, yang mesti diserahkan, pembiayaan acara besar, serta
upacara-upacara adat yang akan diadakan. Apakah biaya untuk mengadakan acara
ini ditanggung bersama atau hanya ditanggung oleh pihak pria, semuanya
juga apabila di antara mereka ada yang membatalkan acara, apakah akan
dan tempat, maka berbicara waktu antara Maja Misek dengan pelaksanaan kawin
adat tidaklah terlalu lama yang berkisar tiga sampai satu pekan lamanya. Namun
dalam pelaksanaan kawin adat juga mempunyai langkah dan syarat adat yang
kawin adat yang mempunyai arti kelengkapan perkawinan adat yang terdiri dari
Air tampung tawar dan minyak wangi untuk membilas wajah pengantin
perkawinan, pihak orang tua perempuan menemui pihak orang tua laki-laki.
seperti perlengkapan acara pernikahan, acara pesta, tempat tidur, dan barang-
Pihak laki-laki akan memenuhi tuntutan sesuai dengan perjanjian yang dibuat
bersama. Meriahnya acara yang akan dibuat bergantung juga pada kesepakatan.
musibah pada saat acara nanti. Berbagai usaha serta upaya dilakukan agar
pergantian bulan (bulan Mahutus), dan seminggu setelah purnama (bulan Kakah).
rambat adalah alat gendong yang terbuat dari anyaman rotan yang
nantinya akan dibawa oleh calon mempelai pria ketika berangkat dari rumah
menuju ke tempat mempelai wanita. Semua benda yang harus dibawa terlebih
dan di-saki yaitu dipoles dengan darah ayam dan air tepung tawar oleh orang tua.
dalam membina rumah tangga sendiri. Sejak saat itu juga calon mempelai pria
memantang diri, yaitu tidak boleh bertamu ke rumah orang lain dan tidak boleh
mengadakan perjalanan jauh. Pada acara ini benda-benda sebagai syarat yang
disediakan adalah sebuah rambat yaitu alat gendong dari rotan, salipi yaitu wadah
berbentuk silinder dari daun nipah yang dianyam menjadi tempat menyimpan
beras dan sebutir telur ayam, jangkut (kelambu), satu butir telur ayam, dan
pakaian milik calon mempelai pria. Paramun jalan hadat, yaitu benda-benda
syarat perkawinan yang akan dibawa dan diserahkan kepada pihak mempelai
wanita pada upacara Haluang Hapelek, meliputi balun purun (tikar ayaman),
tas, sipet (sumpitan), dareh uwei yaitu satu batang rotan, dan manas lilis yaitu
Syarat perkawinan tersendiri yang sudah menjadi tradisi dari dulu dan
sampai sekarang masih dilestarikan sedemikian rupa agar tidak hilang begitu
saja. Dalam pandangan adat Dayak Ngaju tujuan dari perkawinan itu sendiri
perjinahan,karena pernikahan adalah ikatan suci dari yang Maha Kuasa. Maka
dengan adanya hal seperti ini tradisi adat Perkawinan Dayak Ngaju memiliki
keunikan tersendiri dengan semua itu memiliki makna tersendiri, adanya hal
seperti ini pihak keluarga dan calon mempelai harus menyiapkan syarat yang
telah ditentukan meskipun ada beberapa yang tak bisa dipenuhi bisa digantikan
dari 15 syarat yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki dengan berbagai
makna dan tujuan. Adapun makna dari ketujuh belas paramun kawin adat
Palaku
sang wanita, dimana sang suami tidak akan punya hak untuk menjual atau
menggadaikan barang tersebut. Palaku pada masa lalu berupa Gong beberapa
kati/ratusan killogram jadi misal 3 kati garantung berarti gong seberat 300 kg.
Pada masa ini Palaku berupa sebidang tanah atau emas yang akan menjadi hak
sang istri. Palaku disini adalah untuk menjamin hidup sang wanita, jika sang
suami suatu saat meninggalkan istrinya maka secara adat sudah diatur apa saja
yang menjadi haknya dan denda yang harus dibayarkan oleh suami.
Saput
yang dianggap selama ini telah menjadi pelindung, maka sang laki-laki akan
kepada ayah sang mempelai perempuan sebagai bentuk penghormatan atas kasih-
sayang sang ayah yang selama ini merawat dan melindungi sang anak.
Garantung Kuluk Pelek
Garantung Kuluk Pelek Arti harfiah kuluk pelek adalah kepala patah. Pada
zaman dahulu jika seseorang mulai bekerja di suatu hutan yang baru maka ia
agar tidak tersesat berupa Pelekam atau patahan-patahan ranting sebagai tanda
arah jalan ketika memasuki hutan, patahan ini disebut Kuluk Pelek. Jika orang
tersebut tersesat dihutan dan belum pulang hingga larut malam, maka pihak
keluarga akan mencarinya dengan mengikuti tanda Kolok Pelek sambil memukul
Garantung atau gong sebagai alat komunikasi memanggilnya pulang. Benda ini
memiliki makna filofis yang dalam, ibarat memasuki hutan lebat yang baru,
pernikahan juga memliki hakikat yang sama, dimana mereka harus menjaga
pernikahannya. Jika suatu saat ada sesuatu yang membuat salah satu pasangan
“tersesat” maka ia harus kembali mengingat janji awal yang telah dilakukan
dihadapan Tuhan.
Lamiang Turus Pelek adalah manik yang berwarna merah dan panjang, ini
adalah salah satu wujud cinta dari sang laki-laki, karena warna merah manik
lamian ini tidak akan pudar oleh waktu, demikian juga cinta sang laki-laki tadi.
jiwa, maka pasangannya nanti akan menjadi orang yang selalu memperkuat jiwa
sampai mati. Turus Pelek adalah kayu yang ditancapkan ke tanah sebagai tambat
perahu agar tidak hanyut terbawa arus, maka pernikahan ini adalah sebagai bentuk
Bulau artinya emas dan singah artinya menerangi. Ini biasanya berupa
cincin pernikahan yang terbuat dari emas yang akan selalu mengingatkan
Lapik Luang
Lapik artinya alas, Luang tadi sama saja dengan Oloh Helat atau perantara,
Sinjang Entang
Sinjang artinya kain penutup tubuh dan entang adalah gendongan. Ini
yang selama ini telah merawat dan mengasuh anaknya dan juga bentuk
permohonan doa restu dari sang ibu. Pemberian ini biasanya berupa Tapih
Tutup artinya penutup, Uwan artinya uban. Ini juga sebagai bentuk
dalam bentuk kain hitam sepanjang 2 meter. Dalam masyarakat Dayak Ngaju,
peranan orang tua sangat diperlukan dalam membina rumah tangga berupa
Lapik Pahatau
diperlukan modal dasar, uang ini tidak boleh dibelanjakan karena uang ini
Pinggang Pananan
Pinggang Pananan berupa satu buah piring, gelas, sendok, mangkok dll.
Maknanya ialah pasangan ini akan mulai makan sepiring berdua, minum dengan
gelas yang sama. Artinya, mereka harus mulai belajar hidup dalam solidaritas
Rapin Tuak
Tuak adalah minuman keras khas Dayak. Minuman ini diberikan ketika
satu pihak salah bicara atau kalah berpantun maka akan didenda meminum tuak.
Panginan Ije Andau Arti harfiahnya makanan satu hari. Disini adalah
biaya pernikahan, umumnya didalam budaya Dayak Ngaju biaya pernikahan akan
ditanggung bersama baik oleh pihak laki-laki dan perempuan. Biasanya biaya ini
Jangkut Amak
Jangkut Amak Arti harfiahnya adalah kelambu dan tikar, ini berupa
sebabnya mengapa dalam budaya Dayak Ngaju sangat populer untuk mendekorasi
Duit Turus
Duit Turus adalah uang dalam bentuk recehan yang dibagikan kepada
Biasanya bisa berupa Guci atau perhiasan yang akan diberikan Ibu
mempelai laki-laki kepada menantunya setelah acara pernikahan pada waktu acara
sepanjang satu meter untuk dibuat seperti patung. Keluarga besar datang ikut
menyaksikan pemakaian gelang yang diikat pada tangan calon pengantin dengan
sebutan lilis lamiang. Adapun urutan acara perkawinan dalam masyarakat Dayak
hitungan hari baik menurut keyakinan mereka. Pada hari yang telah
ditentukan pengantin menuju ke rumah calon isterinya yang mereka kenal
dengan sebutan Panganten Haguet. Pengantin Haguet yang berarti pada hari yang
laki-laki duduk sambil menunggu keluarga yang lain untuk bersiap-siap, suasana
sangat ramai karena dipenuhi oleh undangan serta keluarga yang ingin ikut
membuat acara pembacaan doa bersama memohon restu kepada Tuhan yang
kelebihan supranatural, yang bisa membaca kondisi alam dan lingkungan untuk
menentukan pelaksanaan turun rumah, apakah pagi hari ataupun malam hari.
istilah mereka disebut naik atau manyakai ke rumah wanita. Setelah pengantin
aktivitas di dalamnya.
dengan beberapa pelepah daun kelapa, bunga warna-warni, serta benang yang
Adapun pakaian yang dikenakan beragam, ada yang mengenakan pakaian adat,
ada juga yang berpakaian biasa. Pesilat yang tampil saling berhadapan,
berlawanan satu dengan yang lainnya. Irama tabuhan gendang dan gong
disebut oleh mereka dengan sebutan lawang sakepeng. Acara lawang sakepeng
sebenarnya sudah menjadi kebiasaan untuk memeriahkan suasana menyambut
diiringi suara gong setelah tali mampu diputuskan berarti penghalang sudah tidak
ada dan kedatangan calon mempelai laki-laki disambut dengan lahap berturut-
turut (lahap = adalah pekik rimba yang berarti kegembiraan dan kesungguhan hati
mereka akan suatu tekat dan tujuan yang telah mereka sepakati bersama).
memiliki arti. Bahan-bahan rintangan, seperti benang dan pelepah daun kelapa,
oleh kedua pengantin. Tali atau benang sudah putus berarti merupakan
simbol bahwa segala rintangan dan persoalan yang dihadapi suami istri
dalam kehidupan berumah tangga, akan dapat diatasi apabila suami istri
ii. Pembersihan
menghindari roh-roh jahat, yang disebut pali endus dahiang, yang akan
mengganggu jalannya upacara pengantin. Pengaruh negatif masih diyakini akan
taburan beras dan bunga rampai. Pengantin pria terlebih dahulu harus menginjak
telur sebelum masuk ke rumah. Telur ayam diletakkan di atas batu asah di rumpun
tangga, kemudian kakinya dibersihkan dengan air. simbol dari telur ini adalah
diibaratkan hidup seperti telur yang diawali dengan putih bersih dan sebagai
pendingin agar hidup tidak ada rintangan, setelah itu penganten laki-laki
memakai daun sawang yang telah gugur, ini dimaksudkan untuk menjauhkan
matahari terbenam ini sebagai simbol bahwa semua marabahaya serta segala
sesuatu yang membawa sial dibuang. Sama seperti matahari terbenam maka
demikian juga segala sesuatu itu juga ikut hilang terbenam. Kemudian setelah
itu penganten menghadap lagi ke arah matahari terbit, yang berarti sebagai
simbol matahari terbit maka segala untung dan rezeki datang kepada
mempelai di dalam membina rumah tangga mereka. (tampung tawar dengan daun
sawang atau daun andong diganti dengan bunga- bungaan dan wangian yang
disediakan oleh pihak wanita. Rumah tersebut cukup bagus dan pengantin
dapat beristirahat bersama dengan keluarga yang mengiringinya di sana. Pada saat
selanjutnya.
hadat yang dijanjikan wakil pihak laki-laki. Sementara itu, wakil dari pihak
bisa diwakili beberapa orang yang disebut Tukang Sambut. Mereka dapat
berubah dari kesepakatan semula. Hal ini selanjutnya perlu dibicarakan lagi.
berembuk untuk kembali pada kesepakatan awal yang mesti mereka penuhi.
utusan atau luang dari pihak laki laki disebut dengan Tukang Sambut dan
Pelek menuntut hak atau menagih janji kepada pihak laki-laki. Sesuai dengan
tujuan utama upacara Haluang Hapelek yakni menagih Jalan Hadat yang telah
disepakati bersama saat upacara Maja Misek, maka pada kesempatan ini pihak
perempuan menagih kepada pihak laki-laki, satu per satu sesuai dengan yang
tertera dalam Surat Perjanjian Pisek. Para luang atau utusan apabila salah ucap
atau berbicara kurang lancar, maka akan didenda dengan cara harus minum tuak.
Pada saat ada kesalahan inilah suasana menjadi meriah. Adapun kelengkapan
Sangku, yaitu wadah berupa mangkuk besar dari kuningan sebagai sangku
pelek yaitu wadah syarat upacara; sangku ini diisi dengan beras, uang perak,
patung tabalien (patung kecil dari kayu ulin) dan lidi kelapa sejumlah 21
pucuk
Rapin Tuak, yaitu minuman tuak yang disimpan dalam balanai (guci kecil
Cirat (ceret);
syarat perkawinan untuk ketentuan adat yang harus diserahkan oleh pihak
pria;
Kain putih sebagai benang lapik sangku yaitu sebagai alas sangku;
adat.
v. Pemolesan Darah
memimpin acara ritual. Kedua pengantin duduk di atas gong dan dipolesi dengan
darah hewan. Upacara ini dilakukan oleh penganut Kaharingan menurut adat
tikar.
atas gong merupakan suatu penghormatan untuk kedua pengantin. Mereka tidak
bisa duduk di atas gong jika tidak sedang melakukan ritual pemberkatan
atas gong sambil memegang sebatang pohon sawang yang diikat dengan bahan
mereka menginjak batu asah dan jala, yang menggambarkan kesaksian pada alam
mengoleskan sebutir telur pada kening kedua pengantin. Beras diletakkan pada
bagian kepala dan diberikan minyak. Simbol beras di atas kepala menggambarkan
mereka lancar.
sudah selesai disaksikan oleh kedua keluarga dan semua undangan. Setelah
agar terdengar sampai ke langit, berikrar kepada Tuhan untuk tetap menjaga
sudah disepakati sejak awal, yaitu Jalan Hadat, disaksikan oleh kedua orang tua
dan tamu undangan. Dalam perjanjian, tanda tangan dilakukan oleh kedua
pengantin, saksi, ahli waris keduanya, serta para tamu yang hadir dalam
pemberkatan perkawinan.
pengantin beserta utusan keduanya. Mereka menerima nasihat dari orang tua
harus menjalani masa pali selama tiga atau tujuh hari. Hal-hal tabu yang tidak
mengadakan acara tepung tawar. Dengan acara terakhir tampung tawar, maka
berupa kue-kue maupun lauk berupa ayam untuk hidangan kedua pengantin
tua menyampaikan ucapan syukur karena anak mereka sudah mempunyai istri.
Bagian dari kesepakatan jalan hadat yang belum diserahkan diberitahukan oleh
rumah keluarga terdekat merupakan adat yang masih berlaku, tidak hanya di
masyarakat Dayak Ngaju Kaharingan, tetapi juga pada mayarakat Dayak Ngaju
rumah kerabat, pihak tuan rumah sebelumnya sudah diberi tahu tentang
kedatangan pengantin, waktu, tanggal, dan hari yang ditentukan. Tuan rumah
mana yang berkaitan dengan keyakinan yang mereka anut. Pada masyarakat
Dayak Ngaju yang berpindah keyakinan ke agama Islam, sebagian masih kuat
memegang adat. Dalam upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Dayak
Kearifan lokal yang masih kuat dipegang oleh masyarakat, baik masyarakat
Dayak Ngaju yang masih menganut kepercayaan lama maupun yang sudah
ritual adat yang mereka lakukan erat hubungannya dengan agama, kecuali mereka
baru. Dalam proses adat yang dilaksanakan setelah mereka menganut agama
Islam, masih ada yang melakukan budaya lama. Proses bagi yang beragama Islam
adalah setelah melalui adat tertentu yang tidak bertentangan dengan keyakinan,
Begitu juga yang beragama Kristen, setelah menjalani proses adat, mereka
pemberkatan yang dilakukan oleh basir dan perjanjian kedua belah pihak. Saat ini
tradisi perkawinan mesti dilaksanakan bukan secara adat saja, melainkan juga
secara agama. Sebagian tradisi masih tetap dapat mereka lakukan untuk menjaga
erat dan mereka tetap melestarikan adat dan budaya. Sementara itu, upacara adat
yang mesti diikuti. Sementara itu, upacara tampung tawar tawar dan pemberkatan
perkawinan tidak lagi dilakukan oleh mereka yang sudah beralih keyakinan. Tata
cara adat dalam bentuk lain karena adanya perubahan ini mesti dipahami oleh
Misalnya, jika ada anggota keluarga yang meninggal, mereka tidak segan
Panginan Putir Santang sebagai tanda bersatunya kedua pengantin secara resmi.
Kemudian, pasangan ini menjalani serangkaian upacara adat, seperti menuju pintu
akhir hayat. Akan tetapi, masih ada saja yang melaksanakannya menurut
berpindah keyakinan.
Selain itu, masih ada prosesi setelah perkawinan yang tidak lagi
dilaksanakan oleh kedua mempelai, misalnya Maruah Pali. Ada beberapa prosesi
yang dihilangkan jika tidak bersesuaian dengan keyakinan mereka yang baru,
dilaksanakan oleh umat Kaharingan dengan tata cara perkawinan yang dianggap
adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak yang sudah tidak beragama
Dayak Ngaju yang masih menganut agama Kaharingan atau keyakinan pada Helu
lingkungan adat. Jika adat pada komunitas adat di tempat tinggal mereka masih
kuat, adat yang dilaksanakan akan dibuat sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Bagi penganut agama Kristen adat yang masih kuat tetap dilakukan, kemudian
pelaksanaan nikah dilakukan oleh penghulu nikah di kantor urusan agama maupun
di rumah.
milik seluruh masyarakat Dayak yang harus dilestarikan. Namun, dari tata cara
pelaksanaan unsur religi yang berkaitan agama Hindu Kaharingan dan yang
dianggap sebagai adat. Tata cara yang dianggap sebagai adat, yaitu Hakumbang
Auh, Mamanggul, atau Maja Misek, kemudian acara dalam pelaksanaan upacara
perkawinan, seperti Penganten Haguet, Penganten Lumpat atau Mandai,
a. Definisi kematian
kematian seperti yang dikenal sekarang ini. Menurut kepercayaan suku Dayak
Ngaju, di dalam kehidupan setiap manusia ada suatu saat ketika ia merasakan
suatu dunia lain yang belum pernah didiaminya sebelumnya. Perasaan ini akan
datang pada setiap insan apabila ia telah lanjut usia dan telah cukup lama hidup di
dunia kini.
mengatakan bahwa kematian merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh
manusia dan semua pasti akan mengalaminya. Dalam Hindu Kaharingan kematian
merupakan jalan yang telah ditentukan oleh Ranying Hatalla bagi keturunan Raja
sebenarnya tidak lain hanyalah kepergian atau perpindahan dari dunia kehidupan
ke dunia lain; suatu dunia yang jauh lebih luas kaya dan senang, suatu dunia
sempurna. Oleh karena itu, kehidupannya ini disebut tatau-matei (tatau = kaya;
matei = mati). Kematian seperti ini dikatakan dalam bahasa Ngaju adalah: “tulak
berpindah jalan, mengalihkan kaki dari manusia).” Hal ini dapat dilihat bahwa
kepergian manusia itu pada awalnya memang hanya berangkat pindah dengan
Apabila terjadi kematian dalam suatu keluarga Suku Dayak, baik karena
garantung atau gong. Ketika ajal menjelang, jiwa terpisah dari raga, kepergian
atau terlepasnya jiwa menuju alam lain diiringi dengan suara bamba atau titih,
yaitu garantung atau gong dipalu tiga kali, dilanjutknan suara tiga buah gong yang
dipalu bersaut-sautan diiringi karuau atau jerit tangis kaum ibu. Suara yang
tertusuk sembilu. Suara gong ditalu kuat atau keras selama kurang lebih setengah
jam.
Apabila berita duka telah tersebar, yang disebarkan dengan cara berantai
dari mulut ke mulut ataupun karena mendengar suara bamba atau titih gong yang
berada, apabila suara titih atau berita kematian mereka dengar, segala kegiatan
rumah duka, untuk memberikan dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan.
berupa hasil bumi hasil usaha sendiri. Di rumah duka, setelah datang mendekati
dan melihat wajah jenazah untuk terakhir kali, mereka mencoba menemui
bekerja bahu membahu, dengan cara gotong royong melakukan sesuatu untuk
kegiatan yang dengan iklas mereka lakukan. Di rumah duka mereka berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan suasana duka, tidak membuat kegaduhan, bicara
kerabat dan keluarga. Peti jenazah dibuat saat itu juga, bisa dalam bentuk raung,
persyaratan adat. Pembuatan peti mati dilaksanakan dengan cara gotong royong,
pada saat itu juga. Peti mati yang umum dipakai ialah raung, yaitu peti mati yang
dibuat dari batang pohon yang dibelah dua dan di bagian tengah dikerok untuk
Pada sore hari, ibu-ibu akan datang dan berkumpul lagi di rumah duka
untuk mandaring atau tidak tidur semalam, untuk menemani keluarga yang sedang
berduka. Aturan tidak tertulis namun telah disepakati, bahwa apabila seorang telah
ikut mandaring pada hari pertama, maka ia harus juga hadir mandaring di rumah
duka tersebut selama tiga malam terus menerus. Apabila hal ini tidak ditaati, maka
Pada malam hari, dilaksanakan acara puar atau hapuar yaitu daun kelapa
kering yang masih berlidi atau bambu kering yang dibuat menyerupai batang lidi,
dibakar ujungnya, kemudian ujung yang berapi disentuhkan ke kulit tubuh pelayat
yang malam itu berkumpul di rumah duka, boleh saling balas membalas atau
rumah duka menjadi tidak mengantuk, karena saling usik dan tidak boleh ada
kemarahan. Pada saat penguburan, semua pelayat yang hadir dalam upacara akan
Tantulak Matei, untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang meninggal dari
Ritual Tiwah atau Ijambe atau Wara atau Nyorat . Arwah diantar ke Lewu
diletakkan arah utara. Setelah dimandikan oleh petugas yang telah ditentukan, lalu
dikenakan pakaian. Setelah itu dibungkus dengan tujuh lapis kain, pada tangan
kiri diletakan telur atau daun sawang atau (Cordyline fruticosa A. Chev.), dan
tangan kanan pinang muda atau pinang tua. Pada bagian mata, ditutupi tujuh
lembar potongan kain, dan di atas potongan kain pada lapis teratas, diletakan batu
atau uang putih. Pada lubang telinga dan lubang hidung, diberi penutup, lalu pada
bagian ulu hati diletakan sasari atau mangkuk kecil. Kemudian dengan lawai atau
benang lembut, jenazah diikat dari kepala hingga kaki. Ujung benang pengikat
kaki, pada satu kaki diikatkan sepotong perak atau besi, dan kaki satunya lagi
diikatkan sirih pinang dan rokok. Disamping kepala dan kaki diletakan mangkuk
duduk di samping jenazah dan tangannya memegang daun sawang atau andong
dihinggapi lalat. Larangan yang harus ditaati oleh perempuan yang bertugas
duduk disebelah jenazah, adalah pantang makan nasi. Ia hanya boleh makan sayur
Jenis peti mati ditentukan oleh ahli waris dan dibuat bersama-sama,
gotong royong warga kampung. Setelah peti mati selesai dibuat, diletakan di
sebelah jenazah menunggu sampai saatnya jenazah dimasukan ke dalam peti mati.
Barang-barang yang diletakan di sebelah kiri, yang antara lain pakaian, mandau,
tombak, besei atau pengayuh, diletakan disebelah kiri, karena nantinya akan
dibawa ke liang kubur untuk kemudian dibawa lagi ke Lewu Liau atau surga
kanan, tidak dibawa ke liang kubur karena akan ditinggalkan sebagai warisan bagi
waris menyediakan :
Beras satu mangkuk.
Patung dua buah. Yang sebuah terbuat dari batang pisang dan yang sebuah
Apabila jenazah telah diletakkan di dalam peti mati dan ditaburi beras dan
garam yang telah disediakan, kemudian seorang pisur atau petugas pelaksana
dimiliki oleh siapapun yang hadir dalam rumah duka. Lalu semua yang hadir
meludahi kedua patung yang telah disediakan agar segala sial dan niat jahat
siapapun yang hadir tidak terbawa oleh si mati, demikian pula segala sial dan
malapetaka dari si mati jangan mengganggu yang masih hidup. Segala sial dan
malapetaka, hanya akan dibawa dan ditanggung oleh kedua patung tersebut.
dibawa ke liang kubur, dimasukan ke dalam peti mati, baru kemudian peti mati
dipasak atau dipaku. Ketika jenazah telah dikebumikan, pada hari itu juga, di
rumah duka disediakan dua buah ancak atau palangka atau tempat sesajen yang
telah dilengkapi dengan sajen berupa makanan- makanan tertentu, lalu ancak
Roh baik yang telah mengusahakan segala sesuatunya hingga berjalan lancar
Ditujukan kepada Roh jahat agar tidak mengacaukan suasana dan jangan
mengganggu ahli waris dan keluarga yang sedang dalam keadaan berduka.
Ada ada beberapa cara penguburan yang digunakan dalam yang digunakan
Ada yang dalam tiga hari di kubur nguluhpalus, dan dalam waktu satu sampai
Bilit atau belit Orang yang telah meninggal dimasukkan ke dalam peti mati
d. Ritual Tiwah
Jiwa atau roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan atau
Semenget. Sedangkan Jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia disebut
ke Lewu Liau (surga) dengan sarana ritual Tiwah, tak akan mungkin arwah
melaksanakan ritual Tiwah maka pelaksanaan ritual Tiwah boleh ditunda sampai
antara tujuh sampai empat puluh hari tentu saja membutuhkan dana yang tidak
sedikit, namun karena adanya sifat gotong royong dari masyarakat, maka ritual
Salumpuk Bereng yaitu raga/tubuh manusia yang telah terpisah dari jiwa
Bereng diletakkan dalam peti mati, sambil menunggu pelaksanaan ritual Tiwah,
2) Pengertian Dosa
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk Liau (roh yang
harus dijalani oleh Salumpuk Liau untuk perbuatan ini ialah menanggung
memutuskannya, yaitu para kepala kampung, Kepala Suku dan Kepala Adat.
Mereka juga akan dihukum di Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang
terkunci) untuk selamanya dalam rupa setengah kijang dan setengah manusia.
Tindakan tidak adil atau menerima suap (korupsi) bagi mereka yang bertugas
untuk selamanya.
media pengantar Salumpuk Liau (roh manusia yang telah meninggal) menuju
Lewu Liau (surga). Berikut adalah jenis dan nama peti mati tersebut:
Runi, yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat, bagian
situ.
Raung, yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada
umumnya, ada tutup peti pada bagian atas. Namun tak memiliki lubang seperti
Runi.
Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi
Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam tiang.
Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu tiang.
Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh.
Sandung Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun
Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda dengan
Tambak.
Sandung.
Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan
rumah.
korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, bahkan di masa yang telah lalu
persyaratan yang tersedia masih dilengkapi lagi dengan kepala manusia. Makna
persembahan kepala manusia ialah ungkapan rasa hormat dan bakti para ahli waris
kepada Salumpuk Liau (roh jasad yang telah meninggal) yang siap diantar ke
Lewu Liau (surga). Mereka yakin bahwa kelak di kemudian hari apabila
Salumpuk Liau telah mencapai tempat yang dituju yaitu Lewu Liau, maka
dimilikinya kelak. Mereka yang terpilih dan kepala mereka yang telah
dari kepala-kepala tersebut akan masuk Lewu Liau tanpa harus ditiwah-kan walau
keberadaan mereka di Lewu Liau hanya sebagai pelayan. Namun di masa kini hal
tersebut telah tidak berlaku lagi. Kepala manusia digantikan oleh kepala kerbau
4) Pelaksanaan
i. Balian
manusia kepada Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) dengan
perantaraan roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla
Langit (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mengayomi manusia. Tidak setiap orang
mampu melakukan tugas dan kewajiban sebagai Balian. Biasanya hanya orang-
orang terpilih saja. Adapun tandatanda yang dapat dijadikan pedoman seorang
anak kelak bila telah dewasa menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang
anak perempuan lahir terbungkus yaitu pada saat dilahirkan plasenta anak tidak
pecah karena proses kelahiran, namun lahir utuh terbungkus plasentanya, juga
sikap dan tingkah laku anak sejak kecil berbeda dengan anak-anak pada
ii. Basir
dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata. Di masa silam,
Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku layaknya seperti
perempuan, namun untuk masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Dalam dunia spiritual, Basir memiliki kemampuan lebih dalam hal pengobatan,
mistik.
iii. Telun/Pisur
Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan.
keagamaan. Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota Kerapatan Adat.
Dengan demikian Telun tidak punya suara dalam Putusan Kerapatan Adat.
iv. Mahanteran
Manjangen, selalu duduk di atas gong, sambil memegang Duhung dan Batanggui
Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu (saudara dari jasad yang
telah meninggal), yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan
mengetahui dan dapat turut serta. Setelah diumumkan, siapapun yang ingin
Salumpuk Liau (roh manusia yang telah meninggal) yang akan diikutsertakan
dalam ritual Tiwah. Setelah pendataan jumlah Salumpuk Liau yang akan
pemilihan siapa dari para Bakas Lewu yang pantas menjadi Bakas Tiwah (Ketua
ritual Tiwah).
Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah pembicaraan lebih detail
yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga yang telah menyatakan diri akan
persyaratan yang wajib disediakan oleh pihak keluarga. Salah satunya, minimal
wajib menyediakan seekor ayam untuk setiap Salumpuk Liau. ritual diadakan di
i. Hari Pertama
dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam satu
hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh
sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai dibangun, Bakas
yang akan digunakan dalam ritual Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar
(pemolesan).
ii. Hari Kedua
Pada hari kedua, para keluarga peserta Tiwah yang tidak tinggal pada
pedang Mandau (senjata tradisional suku Dayak) sebagai tanda para tamu
kampung disambut dengan baik oleh tuan rumah. Secara resmi para keluarga dari
Rakit Lahuhan
Lalu di hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung (salah satu
jenis peti mati) yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk
Sangkaraya Sandung Rahung dipasang bambu kuning dan Lamiang atau Tamiang
terlebih dahulu semua peralatan musik, juga semua perkakas yang akan digunakan
dalam ritual Tiwah dipalas atau dipoles dengan darah binatang yang telah
diikutsertakan dalam ritual Tiwah tersebut agar mengetahui dan memohonkan izin
kepada Para Sangiang, Jata, Naga Galang Petak, Nyaring, Pampahilep (simbol
Ranggam Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau Lawung
Raja. Ketika bendera dinaikkan di atas Sangkaraya, mereka yang hadir baik laki-
yang telah hadir bersama mereka untuk mengantarkan Salumpuk Liau menuju
Lewu Liau.
iii. Hari Ketiga
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya.
Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi
terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada hari itu beras merah
dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah Menganjan selesai, mulailah
pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala kotoran.
Diyakini bahwa darah binatang yang dikorbankan tersebut adalah darah Raja
Agung Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Ranying Hatalla Langit
Tarian Menganjan
Kemudian darah tersebut digunakan untuk memoles semua orang yang
serta semua peralatan yang digunakan dalam ritual Tiwah itu. Di samping untuk
memoles, darah binatang korban tadi juga dicampur beras, kemudian dilemparkan
ke atas, serta segala penjuru, juga ke arah mereka yang hadir dalam upacara.
Dengan melempar beras yang telah dicampur darah Rawing Tempun Telun
tersebut diharapkan semua jadi baik, jauh dari segala penyakit dan gangguan,
Pada hari keempat ini diyakini bahwa Salumpuk Liau pun turut hadir serta
aktif berperan dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak terlihat
oleh mata manusia. Salumpuk Liau jadi semakin bahagia dan gembira ketika para
keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek neneknya hadir berkumpul di
situ, dan menemui mereka yang hadir dalam perayaan tersebut, mereka
menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan kaki mereka yang hadir,
menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu, sambil menuangkan baram dan
anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki ayam, serta lemak babi yang diakhiri
tersebut tertutup bagi lalu lintas umum. Mereka yang belum memenuhi
persyaratan yang harus dilakukan dalam pesta Tiwah, antara lain belum dipoles
dengan darah hewan korban (babi) dilarang menginjakkan kaki di kampung itu.
Jika tidak mentaati peraturan ada kemungkinan ditangkap dan pada hari itu pula
Tiwah.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong, sambil memegang
tama penawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal dunia
keluarga Salumpuk Liau yang ditiwahkan serta para hadirin yang hadir dalam
upacara tersebut agar dijauhkan dari penyakit serta jauh dari kesusahan selama
mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi tulah malai dan jangan sampai
tersebut. Setelah itu burung elang datang dan terbang melayang-layang diatas
yaitu “Raja Pali” Sang Penguasa segala bentuk larangan yang harus ditaati
dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari dimaksud untuk menghindari
beliat yang ditanam pada tanah perbatasan kampung dimana Upacara Tiwah
ritual Tiwah. Sejak hari itu hukum pali mulai dilaksanakan oleh para ahli waris
Salumpuk Liau. Batas waktu pelaksanaan Hukum Pali telah ditentukan yang
tumbuhan, juga ada pali berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka mereka yang
berkelahi wajib membayar denda kepada Bakas Tiwah, Jipen, Ije, dan kewajiban
potong babi, darah babi digunakan untuk memoles mereka yang berkelahi.
v. Hari Kelima
Hari ini Pantar Tabalien didirikan yaitu jalan yang akan dilalui Salumpuk
Liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau kayu
besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter
dari tanah. Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau, sapi
atau babi diikat di Patung Tinggi (Sapundu) dan mereka yang hadir mengelilingi
Sapundu tersebut, menusuki hewan korban dengan Tombak Lunju tanpa henti
baik siang maupun malam. Saat itu pula Sandung dan Pambak tempat menyimpan
tulang-tulang (Salumpuk Bereng) mulai dibuat, yang setelah siap terlebih dulu
dipoles dengan darah kerbau, sapi atau babi. Kemudian selama tujuh hari
Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh hari mereka yang lalu lalang di
miliknya berupa benda apa saja untuk menetralisir pali yang menimpanya.
diletakkan disamping patung besar yang terbuat dari kayu, namanya Sandaran
suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh oleh karena itu siapapun yang
ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit ketujuh wajib memenuhi
korban karena sejak hari ke lima dan seterusnya akan banyak masyarakat
akan dikorbankan, baik siang maupun malam untuk menghormati Salumpuk Liau
yang segera akan dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi
lagi, bambu dan, daun itik mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di
Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian khusus yang
memang telah dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat yang hadir
untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di Balai. Basir dan Balian
didudukkan diatas Katil Garing (panggung) dan siap memegang alat musik
(Sambang/Ketambung). Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh dua orang,
yang artinya buang sial, maksudnya membuang segala bencana yang mungkin
Salah satu persyaratan yang diminta oleh Ranying Hattala Langit (Tuhan
Yang Maha Esa), dengan perantaraan Rawing Tempun Telun kepada mereka yang
melaksanakan ritual Tiwah ialah sifat kesatria, memiliki keberanian luar biasa,
sebuah Lanting Rakit dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat
babi, ayam, tidak begitu saja diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji
keberaniannya.
mereka disambut dengan laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang kayu
bulat yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada tiang setinggi pinggang
dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu yang datang, Bakas
Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang, tujuan kedatangan
Apabila mampu memotong hingga patah berarti benar mereka adalah para ksatria
yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah, baru
Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus yaitu hari
melepaskan segala kesialan (Kawe Rutas Matei), pada hari ketujuh inilah
penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada binatang korban yang
telah dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana masyarakat yang hadir
aturannya.
Cara pertama:
Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut pekas
ditombaknya
Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas tikamannya
Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit dan
telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri binatang yang
ditombaknya.
Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan
Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan yang hanya dilakukan
Kambe, Burung Bahotok, Burung Papau, Burung Antang (hewan mistis tak
Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak terlihat
mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah ditujukan kepada Salumpuk Liau yang
sedang diantar ke Lewu Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan kepada Raja
Untung dan Para Sangiang. Lemparan ke arah belakang ditujukan kepada Raja
Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang ditujukan kepada Sangumang dan
Kilat dan Nyahu. Selesai acara pemberian makan kembali masyarakat yang hadir
berkumpul.
pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau hapuar. Upacara ini dianggap
selesai apabila seluruh prosesi Ritual Tiwah telah dilaksanakan dengan lengkap,
dengan demikian keluarga yang ditinggalkan merasa lega karena telah berhasil
Salumpuk Liau telah sampai ke tempat yang dituju yaitu Lewu Liau.
namun hanya sehari saja karena setelah itu acara akan dilanjutkan lagi selama tiga
hari berturut-turut. Maksud acara lanjutan yang juga dilengkapi dengan potong
babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih oleh ahli
waris salumpuk liau kepada para tamu yang telah hadir bersama mereka. Terima
Kasih dan selamat jalan, itulah ungkapan yang ingin mereka sampaikan. Kepada
Rawing Tempun Telun tidak lupa mereka selalu mohon perlindungan. Pada hari
yang sama diadakan juga acara Balian Balaku Untung yaitu dengan perantaraan
Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara dalam semua prosesi ritual
diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan upacara akan