Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Inventarisasi Tumbuhan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia inventarisasi adalah 1) pencatatan atau

pendataan barang milik kantor (sekolah, rumah tangga dan sebagainya) yang digunakan

dalam melaksanakan tugas; 2) pencatatan atau pengumpulan data (tentang kegiatan hasil

yang dicapai, pendapat umum, persuratkabaran, kebudayaan dan sebagainya). Menurut

para ahli seperti Sugiama (2013) mendefinisikan Inventarisasi adalah adalah serangkaian

kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, pelaporan hasil pendataan dan

mendokumentasikannya pada suatu waktu tertentu. Jadi berdasarkan hasil pemaparan

diatas, maka definisi dari inventarisasi tumbuhan adalah suatu kegiatan untuk

mengumpulkan jenis-jenis tumbuhan yang ada dalam suatu wilayah tertentu (Yulianor,

2019). Untuk melakukan kegiatan inventarisasi itu, ada dua tahap yang harus dilakukan

yaitu eksplorasi dan identifikasi.

Eksplorasi adalah kegiatan teknis ilmiah dengan cara melakukan

penjelajahan atau penyelidikan untuk mencari tahu suatu area, daerah, keadaaan,

ruang yang sebelumnya tidak diketahui keberadaan akan isinya. Kegiatan

eksplorasi diawali dengan penentuan spesies-spesies tumbuhan yang digunakan

oleh masyarakat dalam ritual Adat Dayak Ngaju berdasarkan hasil wawancara

dari narasumber. Spesies-spesies tumbuhan tersebut selanjutnya dicari dengan

metode jelajah dengan bantuan masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih luas

tentang tumbuhan yang digunakan dalam ritual Adat Dayak Ngaju. Setelah
diperoleh spesies tumbuhannya kemudian dilanjutkan dengan kegiatan identifikasi

mengenai jenis tumbuhan yang digunakan dalam ritual adat Dayak Ngaju yang

didapatkan berdasarkan hasil wawancara. Sedangkan Identifikasi adalah alat yang

dibuat khusus untuk memudahkan pelaksanaan identifikasi tumbuhan. Kunci

Determinasi adalah petunjuk yang dapat digunakan secara bertahap untuk

menentukan dan mengungkapkan nama ilmiah dari jenis tumbuhan mulai dari

kingdom hingga spesies. Kunci ini terdiri dari sederetan pernyataan identitas

tumbuhan yang terdiri dari dua baris dan berisi deskripsi dari ciri-ciri dari

tumbuhan yang dicocokkan dengan ciri-ciri yang berlawanan.

2. Ritual adat Dayak

Ritual merupakan bagian penting dari sistem keagamaan untuk mencapai

berbagai maksud dan tujuan tertentu dalam suatu masyarakat. Dewa, roh halus,

neraka, surga, dll, selalu mengambil bentuk dan bagian dalam ritual, baik

musiman dan jarang. Adapun tujuan dari ritual-ritual tersebut adalah: tujuan

menerima, melindungi, menyucikan, memulihkan, memperbanyak,

mengamankan, melestarikan kehendak leluhur (menghormati), mengendalikan

sikap masyarakat sesuai situasi sosial yang semuanya berorientasi pada perubahan

keadaan. pada manusia atau alam.

Jadi, Ritual adat yang biasa diadakan oleh suku Dayak Ngaju itu ada

beragam antara lain; upacara ritual mengantar tulang-tulang orang yang sudah

meninggal ke dalam sandung atau Tiwah, ritual Manajah Antang, ritual

perkawinan atau Penganten Mandai, ritual Kematian atau Balian, ritual


pengobatan atau Mapalas, ritual kehamilan atau Nyaki Tihi, ritual Sangiang, ritual

ritual Menetek Pantan, ritual membersihkan kampung atau Mamapas Lewu dan

ritual Laluhan. (Kuennu, 2015)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan, ada tiga ritual adat saja yang

nantinya akan diteliti jenis tumbuhan yang digunakan dalam Ritual Adat Dayak

Ngaju.

a. Pemberian Nama Pada Bayi (Nahunan)

Gambar 2. 3 Ritual Nahunan


(sumber gambar: https://www.silontong.com/wp content/uploads/2019/01/Ulasan-tentang-
Upacara-Adat-Ritual-Nahunan-Kalimantan-Tengah-yang-Unik)
Nahunan adalah Upacara ritual adat suku Dayak Ngaju di Provinsi

Kalimantan Tengah yang berkaitan dengan daur hidup pertama yaitu kelahiran.

Tujuanya untuk memberikan nama kepada si bayi pada usia 1-2 tahun. Upacara

Nahunan biasanya dilaksanakan pada setiap kelahiran bayi di kalangan suku

Dayak Ngaju. Upacara Nahunan merupakan salah satu di antara lima ritual besar

suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, selain beberapa ritual lainnya seperti

upacara ritual Dayak Pakanan Sahur dan upacara adat Dayak Manyanggar.

Masyarakat Dayak Ngaju hingga kini masih setia melestarikan aset peninggalan
nenek moyang mereka itu. Selain itu sebagai bentuk menghargai warisan leluhur,

suku Dayak Ngaju percaya meyakini bahwa keseimbangan antara manusia, alam

dan sang Pencipta merupakan suatu hubungan sinergis yang harus senantiasa

harus tetap terjaga. (Wikipedia, 2021)

Syarat-syarat upacara Nahunan adalah hewan kurban (ayam dan babi),

manik-manik (manas), batang sawang, rotan, rabayang, tunas kelapa, tambak,

beras tabur, sesajen, abu perapian, patung (hampatung) pasak, tanggul

layah/tanggul dare, batu asah, dan lain-lain.

Upacara Nahunan mempunyai beberapa makna yaitu:

1) Upacara dilaksanakan dengan maksud sebagai ungkapan rasa terima kasih

kepada bidan kampung atau dukun bayi yang telah membantu proses kelahiran

agar ibu dan bayi lahir dengan selamat

2) Sebagai pujian dan sanjungan atas kelahiran bayi yang sangat didambakan

dalam kehidupan berumah tangga.

3) Makna yang terakhir dan yang terpenting yaitu pemberian nama untuk sang

bayi agar dikenal oleh masyarakat dalam pergaulan keseharian.

Untuk melaksanakan upacara Nahunan tersebut, disiapkan berbagai

perlengkapan upacara Nahunan baik perlengkapan untuk sang bayi maupun

perlengkapan bidan. Untu sang bayi, disiapkan sebuah keranjang pakaian guna

menyimpan pakaian sang bayi. Tuyang atau ayunan untuk menidurkan ketika

upacara sedang dilangsungkan. Tuyang ini terbuat dari kulit kayu nyamu dan

dihias dengan mainan sederhana terbuat dari botol bekas yang dirangkai sehingga

menimbulkan bunyi-bunyian yang menarik. Kemudian untuk melengkapi


perlengkapan upacara, terdapat sangku berbentuk seperti mangkuk besar

digunakan untuk memandikan bayi, tak lupa Garantung atau gong untuk pijakan

bayi ketika keluar. Untuk perlengkapan sang bidan, terdapat sebuah Tanggul

layah. sebuah topi yang digunakan sang bidan sebagai menutup kepala ketika

membawa dan memandikan sang bayi ke sungai. ditambah lagi benda-benda yang

sering digunakan seperti :

1) Peludahan untuk menampung kinangan pada pasca upacara

2) Lancing untuk menyimpan sirih pinang

3) Mangkok petak untuk meletakan tanah atau air

4) Mangkok tampung tawar untuk menyimpan ramuan tampung tawar

5) Ketel untuk menyimpan air minuman tradisional

6) Sangku untuk menaruh beras dan kelapa

Selain perlengkapan diatas, juga terdapat benda-benda sakral sebagi

perlengkapan upacara Nahunan yang utama yaitu:

1) Rabayang Kujuk Kalakai sebuah perlambang penanda kesuburan

2) Hampatung Kalekang Karuhei sebuah perlambang untuk mengundang sebuah

rejeki

3) Parapen atau Pendupaan sebagai tempat pembakar kemenyan guna mengusir

roh halus

4) Pisau Lantik untuk penekang hambaruan (roh-roh orang yang melaksanakan

upacara atau dukun bayi)

Semua upacara dan perlengkapan ini tak lepas dari tujuan upacara

Nahunan itu sendiri yakni menghargai daur kehidupan dari kelahiran hingga
kematian. Masyarakat Dayak sangat memahami bahwa kehidupan mempunyai

makna yang sangat dalam, semua tertuang dalam berbagai upacara yang diadakan,

termasuk upacara Nahunan. (Wikipedia, 2021).

b. Ritual Pernikahan atau Perkawinan Adat (Penganten Mandai)

Gambar 2. 4 Ritual Penganten Mandai


(sumber gambar: https://cdn- image.hipwee.com/wp-content/uploads/2018/04/)
Perkawinan atau Pernikahan adalah suatu hal yang sangaat sakral didalam

semua budaya Suku Dayak. Sebelum dilakukan pernikahan ada beberapa tahapan

dan persiapan yang harus dilakukan. Yang utama ialah memperhatikan kesediaan

sang mempelai atau calon pengantin dan keluarga besarnya, dan juga “Hurui”

atau kekerabatan supaya tidak terjadi kawin sumbang atau juga perselisihan

keluarga. Secara umum kekerabatan suku Dayak Ngaju meliputi dari:

1) Ije Kalambutan = Ini adalah saudara sekandung

2) Ije Tatu = Ini adalah saudara sepupu sekali

3) Hanjenan = Ini adalah saudara sepupu dua kali


4) Hararue = Ini adalah saudara sepupu tiga kali

Di luar ini baru dianggap bukan keluarga dekat dan boleh dinikahi.

Pernikahan Dayak Ngaju menganut sistem Eleutheogami, yaitu sistem pernikahan

yang memberikan kebebasan bagi seorang laki-laki atau seorang perempuan untuk

memilih pasangan hidupnya. Sehingga sangat jarang ada kisah perjodohan

didalam budaya Dayak Ngaju, walau di beberapa daerah ada praktek perjodohan

atau “Iadu” tetapi sangat jarang dilakukan. (Anonim, 2014)

Sistem pernikahan Dayak Ngaju juga adalah sistem monogami dan ada

satu istilah dalam bahasa Dayak Ngaju “Hambelom Sampai Hentang Tulang”

yang artinya hidup sampai menggendong tulang, Yang Artinya pernikahan yang

dilakukan harus bertahan sampai salah satu pasangan meninggal. Didalam tradisi

Tiwah atau penyucian tulang belulang, maka kewajiban sang Suami/Istri lah yang

bertanggung jawab menggendong tulang pasangannya untuk dimasukan kedalam

Sandung atau tempat meletakan tulang-belulang yang telah disucikan untuk

menghantar orang mati tadi ke Lewu Tatau atau Sorga.

Beberapa jenis perkawinan yang dikenal dalam budaya Dayak Ngaju

antara lain:

1) Kawin Hatamput

Kawin Hatamput adalah perkawinan yang terjadi atas kesepakatan antara

laki-laki dan perempuan untuk melarikan diri dan hidup bersama sebagai suami-

istri. Perkawinan diibaratkan seperti kawin lari, jadi tanpa sepengetahuan orang

tua mempelai, hal ini bisa disebabkan karena salah satu orang tua mempelai tidak

menyetujui pernikahan itu atau karena sang laki-laki tidak mampu memenuhi
Palaku atau semacam mahar yang diminta oleh orang tua wanita atau pihak laki-

laki tidak mampu membiayai pernikahan.

2) Kawin Pahinje Arep

Kawin Pahinje arti harfiahnya menyatukan diri, perkawinan ini terjadi jika

salah satu pasangan tidak mampu memenuhi syarat adat atau membiayai

seserahan dalam pernikahan, maka cara ini adalah salah satu cara memaksa salah

satu orang tua untuk merestui pernikahan tersebut.

3) Kawin Manyakei

Kawin Manyakei artinya memanjat, pernikahan ini terjadi akibat orang tua

salah satu pasangan tidak menyetujui atau salah satu pasangan pernah berjanji

akan menikahi tetapi tidak kunjung ditepati. Maka sang laki-laki atau perempuan

ini nekad mendatangi (memanjat) ke rumah pasangannya dan bertekad tidak akan

mau pulang sampai mereka dinikahkan.

4) Kawin Mandai Sumbang

Perkawinan ini terjadi akibat adanya pelanggaran norma-norma yang

berlaku di dalam keluarga misal; Sala Hurui atau salah dalam hirarki silsilah

keluarga, misal antara secara hirarki keluarga dia adalah saudara laki-

laki/perempuan, Paman/Bibi atau Kakek/Nenek, meskipun tidak jauh perbedaan

usia.

Menurut adat kedua pasangan ini akan melangsungkan pernikahan

Mandai Sala Sumbang dimana mereka harus makan ditempat Dulang Bawui

(Tempat Makan Babi). Perkawinan ini akan sangat memalukan keluarga kedua

belah pihak, maka untuk menghidari ketidakseimabang kosmo dilakukanlah


pernikahan ini.

5) Kawin Hisek

Kawin Hisek artinya kawin dengan cara meminta atau melamar. Ini

merupakan sistem pernikahan yang lazim dan sesuai dengan adat, didalam

pernikahan ini ada beberapa tahapan yang harus dilakukan antara lain.

Tahapan Pra Nikah

Adapun Tahapan yang harus dilakukan dalam pernikahan sebagai berikut:

1) Hakumbang Auh

Tahapan ini jika sang laki-laki bermaksud untuk menikahi seorang gadis

menjadi istrinya, maka laki-laki tersebut akan mengutarakan niatnya dengan jelas

melalui perantara baik disebut Oloh Helat atau Luang. Biasanya Oloh Helat ini

akan membawa beras yang ditaruh telur dan dibungkus kain kuning atau bisa juga

sejumlah uang kepada keluarga wanita sebagai bentuk kesungguhan niatan dari

sang laki-laki. Pada saat itu pihak keluarga wanita tidak akan langsung menjawab

apakah permintaan pihak laki-laki ini diterima atau tidak.

Dengan adanya bukti berupa uang/beras & telur ini, maka keluarga besar

wanita akan mengadakan pertemuan untuk membicarakan apakah apakah niat

pihak laki-laki dapat diterima, akan terlihat Hurui atau silsilahnya di sana agar

'tidak berselisih.. Jika permintaan sang laki-laki ditolak maka Uang atau Mangkok

Beras tadi dikembalikan kepada Oloh Helat atau Luang tadi, tetai jika diterima

maka uang / mangkok beras tadi diterima dan disampaikan kepada Oloh

Helat tadi supaya selanjutnya pihak laki-laki datang dan melamar secara resmi.

2) Mamangul/Kajan Hatue
Ini adalah tahapan selanjutya dari tahapan hakumbang auh, pada tahap ini

pihak laki-laki dan keluarganya akan datang untuk melamar sang gadis. Pada

tahapan ini sang laki-laki akan membawa tanda panggul berupa kain, seperangkat

alat mandi, minyak wangi dan sejumlah uang. Dan sebagai pengikat janji maka

pihak laki-laki juga akan membagikan Duit Turus atau berupa uang receh kepada

masyarakat yang hadir dalam acara Mamanggul ini, maksudnya agar masyarakat

yang hadir tersebut menjadi saksi atas prosesi lamaran pernikahan ini.

Dalam prosesi Mamangul ini akan dibicarakan Jalan Hadat yaitu barang

yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan adat dan

juga semacam klausul yang telah disekepati sebelum jika salah satu pasangan

melanggar sumpah pernikahan. Pada saat ini perjanjian ini akan dilakukan tanda

tangan diatas meterai.

3) Maja Misek

Maja misek adalah prosesi pertunangannya, disini akan ditentukannya

tanggal, bulan dan hari pelaksanaan pernikahan. Pada acara maja misek in pihak

laki-laki akan datang membawa Ramun Pisek berupa seperangkat baju lengkap

atau Pakaian Sinde Mendeng dan juga peralatan merias diri. Kemudian

dilanjutkan dengan acara Mameteng Manas atau mengikat manik-manik di lengan

dan dilanjutkan dengan acara Tampung Tawar yaitu doa dari pihak keluarga

dengan cara memercikan air bunga. Pada saat itu acara Mamanggul digabungkan

dengan acara Maja misek.

4) Penganten Mandai
Ini adalah prosesi pernikahannya yang dimana laki-laki harus membayar

syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya

Barang-barang yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki sesuai adat

Dayak Ngaju adalah sebagai berikut:

1) Palaku

Palaku sering diterjemahkan mas kawin, sebenarnya Palaku adalah hak

sang wanita, dimana sang suami tidak akan punya hak untuk menjual atau

menggadaikan barang tersebut. Palaku pada masa lalu berupa Gong beberapa

kati/ratusan killogram jadi misal 3 kati garantung berarti gong seberat 300 kg.

Pada masa ini Palaku berupa sebidang tanah atau emas yang akan menjadi hak

sang istri. Palaku disini adalah untuk menjamin hidup sang wanita, jika sang

suami suatu saat meninggalkan istrinya maka secara adat sudah diatur apa saja

yang menjadi haknya dan denda yang harus dibayarkan oleh suami.

2) Saput

Saput adalah pemberian kepada saudara laki-laki mempelai perempuan

yang dianggap selama ini telah menjadi pelindung, maka sang laki-laki akan

mengungkapkan rasa hormatnya dan mengikat suatu ikatan persaudaraan yang

tulus. Pemberian ini dapat berupa barang atau uang.

3) Pakaian Sinde Mendeng

Pakaian Sinde Mendeng adalah pemberian berupa seperangkat pakaian

kepada ayah sang mempelai perempuan sebagai bentuk penghormatan atas kasih-

sayang sang ayah yang selama ini merawat dan melindungi sang anak.
4) Garantung Kuluk Pelek

Garantung Kuluk Pelek Arti harfiah kuluk pelek adalah kepala patah. Pada

zaman dahulu jika seseorang mulai bekerja di suatu hutan yang baru maka ia

akan berusaha mengidentifikasi pohon-pohon disekitar hutan dan membuat tanda

agar tidak tersesat berupa Pelekam atau patahan-patahan ranting sebagai tanda

arah jalan ketika memasuki hutan, patahan ini disebut Kuluk Pelek. Jika orang

tersebut tersesat dihutan dan belum pulang hingga larut malam, maka pihak

keluarga akan mencarinya dengan mengikuti tanda Kolok Pelek sambil memukul

Garantung atau gong sebagai alat komunikasi memanggilnya pulang. Benda ini

memiliki makna filofis yang dalam, ibarat memasuki hutan lebat yang baru,

pernikahan juga memliki hakikat yang sama, dimana mereka harus menjaga

pernikahannya. Jika suatu saat ada sesuatu yang membuat salah satu pasangan

“tersesat” maka ia harus kembali mengingat janji awal yang telah dilakukan

dihadapan Tuhan.

5) Lamiang Turus Pelek

Lamiang Turus Pelek adalah manik yang berwarna merah dan panjang, ini

adalah salah satu wujud cinta dari sang laki-laki, karena warna merah manik

lamian ini tidak akan pudar oleh waktu, demikian juga cinta sang laki-laki tadi.

Dan Lamiang umum digunakan sebagai Panekang Hambaruan atau memperkuat

jiwa, maka pasangannya nanti akan menjadi orang yang selalu memperkuat jiwa

pasangannya. Lamiang juga umum digunakan sebagai bekal ketika sesorang

meninggal, maka juga mengandung makna cinta dan kesetiaan harus dibawa

sampai mati. Turus Pelek adalah kayu yang ditancapkan ke tanah sebagai tambat
perahu agar tidak hanyut terbawa arus, maka pernikahan ini adalah sebagai bentuk

pelabuhan terakhir dari sang laki-laki dan wanita.

6) Bulau Singah Pelek

Bulau artinya emas dan singah artinya menerangi. Ini biasanya berupa

cincin pernikahan yang terbuat dari emas yang akan selalu mengingatkan

pasangannya tentang cinta suci mereka.

7) Lapik Luang

Lapik artinya alas, Luang tadi sama saja dengan Oloh Helat atau perantara,

sebagai bentuk terimakasih kepada perantara dalam lamaran maka diberikan

berupa kain bahalai yaitu selembar kain panjang.

8) Sinjang Entang

Sinjang artinya kain penutup tubuh dan entang adalah gendongan. Ini

adalah bentuk penghormatan mempelai laki-laki kepada Ibu mempelai perempuan

yang selama ini telah merawat dan mengasuh anaknya dan juga bentuk

permohonan doa restu dari sang ibu. Pemberian ini biasanya berupa Tapih

(Sarung) dan Bahalai (Kain panjang).

9) Tutup Uwan

Tutup artinya penutup, Uwan artinya uban. Ini juga sebagai bentuk

penghormatan mempelai laki-laki kepada Nenek mempelai perempuan biasanya

dalam bentuk kain hitam sepanjang 2 meter. Dalam masyarakat Dayak Ngaju,

peranan orang tua sangat diperlukan dalam membina rumah tangga berupa

nasehat dan petunjuk serta doa buat anak cucunya.

10) Lapik Pahatau


Lapik artinya alas, panatau artinya kekayaan. Biasanya berupa keping

uang ringgit jaman dahulu, maknanya didalam membentuk rumah tangga

diperlukan modal dasar, uang ini tidak boleh dibelanjakan karena uang ini

dianggap sebagai alas kehidupan.

11) Pinggang Pananan

Pinggang Pananan berupa satu buah piring, gelas, sendok, mangkok dll.

Maknanya ialah pasangan ini akan mulai makan sepiring berdua, minum dengan

gelas yang sama. Artinya, mereka harus mulai belajar hidup dalam solidaritas

satu sama lain.

12) Rapin Tuak

Tuak adalah minuman keras khas Dayak. Minuman ini diberikan ketika

dilakukan acara Haluang Hapelek atau menanyakan maksud kedatangan pihak

laki-laki, biasanya sering diadakan lomba pantun dan penuh candaan. Jika salah

satu pihak salah bicara atau kalah berpantun maka akan didenda meminum tuak.

13) Panginan Ije Andau

Panginan Ije Andau Arti harfiahnya makanan satu hari. Disini adalah

biaya pernikahan, umumnya didalam budaya Dayak Ngaju biaya pernikahan akan

ditanggung bersama baik oleh pihak laki-laki dan perempuan. Biasanya biaya ini

akan dibayarkan sebelum acara pernikahan.

14) Jangkut Amak

Jangkut Amak Arti harfiahnya adalah kelambu dan tikar, ini berupa

kelengkapan peralatan tidur, biasanya dibayarkan sebelum pernikahan. Inilah


sebabnya mengapa dalam budaya Dayak Ngaju sangat populer untuk mendekorasi

kamar pengantin wanita.

15) Duit Turus

Duit Turus adalah uang dalam bentuk recehan yang dibagikan kepada

keluarga dan masyarakat yang menghadiri upacara pernikahan, dimana mereka

telah menjadi saksi dari pernikahan ini.

16) Batu Kaja

Biasanya bisa berupa Guci atau perhiasan yang akan diberikan Ibu

mempelai laki-laki kepada menantunya setelah acara pernikahan pada waktu acara

Mampakaja Manantu. (Anonim, 2014).

c. Upacara Kematian atau Mengantar Tulang-tulang Orang yang Sudah

Meninggal Ke Sandung (Tiwah)

Gambar 2. 5 Ritual Tiwah


(Sumber Gambar: https://kaltengtoday.com/wp- content/uploads/2020/11/baritoraya.jpg)
Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk Liau Uluh Matei ialah

upacara kematian yang dilakukan oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.

Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam Suku Dayak. Hal

ini dikarenakan upacara Tiwah melibatkan sumber daya yang banyak dan waktu
yang cukup lama. Ritual ini dilakukan bertujuan untuk mengantarkan jiwa atau

roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu

Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau

Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang

letaknya di langit ke tujuh. Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan

dalam penetapan Warisan Budaya Tak benda Indonesia yang dilakukan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Wikipedia, 2021).

Bagi masyarakat Dayak Ngaju yang umumnya memeluk kepercayaan

lokal yakni agama Hindu Kaharingan, kematian merupakan hal terakhir yang

dialami manusia. Bagi mereka, kematian hanyalah awal untuk mencapai dunia

kekal abadi yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi tersebut adalah

tempat atau dunia roh yang dimana manusia telah mencapai titik

kesempurnaannya. Dalam mitologi suku Dayak Ngaju, awalnya manusia tidak

mengenal kematian. Hal tersebut dikarenakan kehidupan duniawi adalah sesuatu

yang kekal. Namun, suatu ketika manusia berbuat kesalahan dan pada akhirnya

kehidupan duniawinya dicabut oleh dewata. Manusia yang meninggal akan

melanjutkan perjalanannya ke dunia para arwah. Manusia yang telah berganti

wujud menjadi arwah ini disebut dengan Lio/Liau/Liaw. Liau oleh masyarakat

Dayak Ngaju wajib diantar ke dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut

Lewu Liau atau Lewu Tatau. Proses pengantaran ini melalui serangkaian upacara

kematian, yakni upacara Tiwah. Liau sendiri menurut masyarakat Dayak Ngaju

terbagi atas tiga jenis yakni:

1) Salumpuk liaw haring kaharingan, yakni roh rohani dan jasmani,


2) Salumpuk liaw balawang panjang, yakni roh tubuh/badan,

3) Salumpuk liaw karahang tulang, yaitu roh tulang belulang.

Penyelenggaran upacara Tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju dianggap

kewajiban secara moral dan sosial. Pihak keluarga yang ditinggalkan merasa

memilki kewajiban untuk mengantar arwah sanak saudara yang meninggal ke

alam roh. Selain itu, dalam kepercayaan Dayak Ngaju, arwah orang yang belum

diantar melalui upacara Tiwah akan selalu berada di sekitar lingkungan manusia

yang masih hidup. Keberadaan atau kehadiran mereka dianggap membawa

gangguan berupa munculnya peristiwa gagal panen, penyakit, dan bahaya-bahaya

lainnya.

Upacara Tiwah dalam masyarakat Dayak Ngaju merupakan acara besar

yang juga membutuhkan biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat

yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus membuat beberapa kebutuhan

pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam pelaksanaannya, upacara ini

biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Karena

mahalnya biaya tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol

sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status

sosial seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan atau

kelurga kaya, upacara Tiwah dapat dilaksanakan secara mandiri yakni hanya

dengan keluarganya sendiri dan dilakukan sesegera mungkin setelah kematian

sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya tidak melimpah

atau istilahnya keluarga miskin, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-

sama atau gotong royong oleh beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa.
Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan handep hapakat.

Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian

menyelenggarakan upacara Tiwah. Beberapa upacara Tiwah yang melibatkan

banyak keluarga tercatat dalam sejumlah tulisan. Salah satunya pada tanggal 1

April 2016 tercatat pula penyelenggaraan upacara Tiwah yang melibatkan 77

kerangka jenazah nenek moyang dari 46 keluarga. Mereka berasal dari beberapa

desa di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.

Upacara Tiwah biasanya berlangsung tujuh hingga empat puluh hari.

Sebagai upacara sakral terbesar bagi masyarakat Dayak Ngaju, penyelenggaraan

upacara Tiwah harus berjalan dengan sempurna. Penyelenggara harus cermat dan

berhati-hati terhadap segala tahapan dan pelaksanaannya. Jika dalam pelaksanaan

upacara Tiwah terjadi kekeliruan atau pelaksanaannya tidak sempurna, maka

keluarga yang ditinggalkan diyakini akan menanggung beban berat seperti

rejekinya tidak lancar dan kesehatannya terganggu.

Waktu penyelenggaran upacara Tiwah biasanya dilangsungkan pada saat

setelah musim panen padi yakni sekitar bulan Mei, Juni dan Juli. Pemilihan waktu

setelah panen dikarenakan pada waktu tersebut orang-orang memilki cadangan

pangan yang cukup bagi anggota keluarga yang akan menyelenggarakan upacara

Tiwah. Selain itu, masa pasca panen bersamaan dengan masa liburan anak

sekolah. Masyarakat dianggap memiliki waktu yang luang dengan tidak

menyibukkan diri dalam kegiatan pertanian. Dengan begitu, diharapkan dapat

melangsungkan upacara Tiwah tanpa harus terganggu dengan kekurangan pangan,

kegiatan bertani dan hal lainnya.


Secara umum, upacara kematian atau pemakaman dalam kepercayaan

masyarakat Dayak Ngaju dapat dibagi menjadi dua yakni pertama, upacara-

upacara yang dilakukan setelah kematian seseorang hingga saat penguburan

sementara dan kedua, upacara Tiwah itu sendiri. Kedua upacara tersebut biasanya

memiliki jeda. Umumnya jeda ini berlangsung selama satu tahun hingga beberapa

tahun. Jeda ini dikarenakan mahalnya biaya upacara Tiwah sehingga pihak

keluarga menunda pelaksanaannya untuk mengumpulkan dana terlebih dahulu.

Dalam masa jeda atau masa antara upacara kematian setelah meninggal

dan penguburan pertama dengan berlangsungnya upacara Tiwah, diadakan

sejumlah upacara yang bertujuan memberi makan dan sesajen atau persembahan

kepada roh-roh. Adapun upacara-upacara tersebut adalah

1) Menit

2) Mahanjur

3) Minih

4) Manampa raung

5) Manatun

6) Memalas

7) Tantulak matey

Upacara selanjutnya setelah penguburan sementara adalah upacara Tiwah

itu sendiri. Hal pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan tulang-tulang

orang yang sudah meninggal. Bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu

membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melangsungkan upacara Tiwah,

jenazah yang sudah habis jasadnya, tinggal diambil saja tulang-tulangnya.


Sedangkan bagi keluarga kaya yang melangsungkan upacara Tiwah segera setelah

anggota keluarganya meninggal, proses pengambilan tulang sedikit berbeda.

Jenazah yang masih memiliki tubuh yang utuh harus dipisahkan dulu tulang

belulangnya. Cara memisahkannya adalah dengan mengoyak-ngoyak atau

mencabik-cabik jasad tersebut sehingga daging dan tulang dapat terpisah.

Setelah prosesi di atas, dana untuk melangsungkan upacara Tiwah yang

telah terkumpul atau disebut dengan laloh, diberikan kepada pimpinan

penyelenggara atau bakas Tiwah. Pimpinan penyelenggara ini bertugas untuk

mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upacara Tiwah. Bakas

Tiwah nantinya akan dibantu oleh peserta lain yang disebut anak-anak Tiwah.

Adapun tahapan persiapan awal dari upacara Tiwah adalah

1) Memilih dan menentukan orang yang akan menjadi pemimpin upacara. Para

pemimpin ini biasanya terdiri dari tujuh atau sembilan orang. Salah satu dari

mereka akan berperan sebagai pemimpin utama atau upo. Sisanya akan

menjadi anggota yang disebut dengan basir. Tugas orang-orang ini adalah

mengantarkan arwah (Liaw) ke dunia akhirat (Lewu Tetu).

2) Mempersiapkan peralatan upacara yakni:

a) Balai Tiwah atau Balai Nyahu adalah sebuah rumah kecil yang berukuran

sekitar 9 x 12 meter. Tempat ini terbuat dibangun dari bahan-bahan yang

terbuat dari kayu-kayu yang masih utuh (bulat). Digunakan untuk menyimpan

gong.

b) Sangkaraya merupakan sejumlah bilah bambu yang tersusun rapi dengan

ketinggian 2-4 meter. Biasanya dijadikan tempat untuk menari dalam


pelaksanaan upacara. Sankaraya didirikan di depan balai Tiwah dan setelah

upacara Tiwah selesai akan dipindahkan ke dekat sandung.

c) Sandong/Sandung merupakan tempat penyimpanan tulang-tulang manusia

setelah upacara Tiwah berakhir. Biasanya terbuat dari kayu besi (ulin) yang

dapat bertahan hingga 100 tahun. Pada dinding Sandong terdapat ukiran

dengan motif tertentu. Sandong memiliki ukuran lebar sekitar 0,5 - 1,5 meter

dan tinggi sekitar 0,5 meter.

d) Sapundu merupakan tiang kayu yang dipahat hingga berbentuk patung

manusia atau sejenis hewan tertentu seperti kera. Tiang ini memilki tinggi

sekitar 1,5 - 3 meter dengan diameter antara 15 – 25 cm. Sapundu berfungsi

sebagai tiang untuk mengikat hewan yang akan dikurbankan contohnya

kerbau, babi, ayam dan sapi. Jumlahnya tergantung jumlah hewan yang

dikurbankan.

e) Pantar merupakan tiang yang terbuat dari kayu ulin. Tiang ini memiliki tinggi

10 meter dengan diamter sekitar 20- 30 meter. Pada bagian bawah Pantar

terdapat ukiran dengan pola atau motif tertentu. Sedangkan pada bagian atas

terdapat pahatan berbentuk burung enggang (tingang). Di bagian atas juga

biasanya akan ditusukkan sebuah belanga/guci atau sebuah gong. Tiang ini

dibuat tidak jauh dari sandung yang menandakan selesainya upacara Tiwah.

f) Bara-bara atau hantar bajang yakni sejenis pagar yang terbuat dari bambu

dihiasi sejumlah bendera yang mewakili arwah atau makhluk halus yang akan

melaksanakan upacara Tiwah. Bara-bara merupakan sebuah pintu gerbang

yang letaknya di tepi sungai. Hal ini dikarenakan kebanyakan rumah


masyarakat suku Dayak Ngaju umumnya terletak di tepi sungai. Tiang-tiang

yang menjadi pagar tersebut saling terhubung dengan daun-daunan yang disebut

dengan daun biru.

g) Pasah pali merupakan rumah-rumahan yang berfungsi sebagai tempat

meletakkan saji-sajian berupa makanan kepada roh-roh halus. Pasah pali

memiliki bentuk persegi empat dengan ukuran sekitar 1 x 1 meter. Selain itu,

pasah pali dilengkapi dengan beberapa tiang dengan tinggi rata-rata dua meter.

h) Garantung (gong) dan kakandin (kain merah). Gong dalam upacara Tiwah

tidak hanya berfungsi sebagai alat musik, juga sebagai tempat membawa

tulang-tulang. Sedangkan kain merah digunakan sebagai pembungkus tulang

belulang sebelum dimasukkan ke dalam sandung.

i) Pemahay merupakan wadah yang digunakan untuk kremasi jenazah.

j) Hewan kurban yang biasa disediakan dalam upacara Tiwah adalah ayam, babi,

dan kerbau.

Pelaksanaan ritual Tiwah berbeda dari satu daerah ke daerah lain.

Pasalnya, belum ada pedoman pelaksanaan yang resmi. Jadi setiap kelompok

masyarakat Dayak terdiri dari sub-suku yang berbeda yang mengartikannya secara

berbeda. Namun, pada dasarnya, Tiwah semua memiliki tujuan yang sama, yaitu

membawa jiwa-jiwa ke tanah yang abadi. Adapun pelaksanaan inti dari Upacara

Tiwah adalah sebagai berikut

1) Hari Pertama

Pada hari pertama upacara Tiwah, bangunan berbentuk rumah yang

disebut Balai Pangun Jandau mulai dibuat. Dalam proses pembuatannya, terdapat

syarat yang harus dipenuhi yakni kurban seekor babi yang disembelih oleh Bakas
Tiwah.

2) Hari Kedua

Pada hari kedua, dilakukan prosesi pembuatan sangkaraya sandung

rahung yang diletakkan di depan rumah bakas Tiwah. Bangunan tersebut

berfungsi sebagai tempat menyimpan tulang belulang salumpuk liaw. Selanjutnya,

darah babi diambil sebagai syarat untuk melakukan upacara mamalas sangkaraya

sandung rahung. Selain itu, pada hari ini berbagai macam alat musik seperti

gandang, garatung, kangkanung, katambung, toroi, dan tarai mulai dibunyikan.

Sebelumnya, semua alat musik tersebut harus dipalas atau dioleskan dengan darah

hewan kurban terlebih duhulu.

3) Hari Ketiga

Pada hari ketiga, hewan kurban seperti sapi atau kerbau akan diikat di

sangkaraya. Tiga orang memiliki tugas untuk melakukan mangajan, yakni sejenis

tarian sakral. Saat melakukan mengajan akan diiringi dengan tabuhan alat musik

dan sorakan kegembiraan. Selain itu, dilakukan juga kegiatan melempar beras

merah dan beras kuning ke angkasa. Setelah prosesi mangajan selesai, hewan

kurban akan dibunuh dan darahnya akan dikumpulkan dalam sebuah wadah

bernama sangku. Darah ini akan digunakan untuk menyaki dan memalas semua

orang dan peralatan yang digunakan selama upacara Tiwah. Tujuannya adalah

membersihkan segala kotoran sehingga menjadi suci.

4) Hari Keempat

Pada hari keempat, tidak jauh dari Sangkaraya didirikan tiang panjang

yang disebut Tihang Mandera. Tiang tersebut menjadi tanda bahwa kampung
tersebut tertutup karena sedang berlangsung upacara Tiwah. Penduduk yang

belum dipalas atau dioleskan darah hewan, dilarang masuk ke dalam kampung.

Pada hari ini, ahli waris arwah atau salumpuk liau mulai melaksanakan sejumlah

pantangan.

5) Hari Kelima

Pada hari kelima, hewan-hewan yang akan dikurbankan diikat di sapundu.

Para tamu yang hadir biasanya akan mengelilingi hewan kurban tersebut. Selain

itu, pada hari ini sandung mulai dibangun.

6) Hari Keenam

Pada hari keenam, dilaksanakan puncak upacara Tiwah. Para tamu akan

hadir dengan menaiki rakit atau kapal yang berisi sesajen atau persembahan.

Kapal tersebut dinamakan lanting laluhan atau kapal laluhan.

7) Hari Ketujuh

Pada hari ketujuh yang merupakan hari terakhir pelaksanaan inti upacara

Tiwah, arwah anggota keluarga atau salumpuk liaw akan melakukan perjalanan

menuju Lewu Liau. Proses ini diawali dengan proses pengurbanan hewan yang

diikat di sapundu dengan cara ditombak. Selanjutnya, ada prosesi tarian kanjan.

Terakhir, tulang belulang yang telah dibersihkan akan dibungkus menggunakan

kain merah dan dimasukkan ke dalam sandung (Wikipedia. 2021).

3. Materi Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati atau biodiversity adalah semua kehidupan di atas


bumi ini tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme serta berbagai materi

genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi dimana mereka

hidup (Dewi, 2016). Begitu pula menurut Nurichah (2012), keanekaragaman

hayati sebagai jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, termasuk gen yang

mereka miliki, serta ekosistem rumit yang mereka susun menjadi lingkungan

hidup. Keanekaragaman hayati digolongkan menjadi tiga tingkat yaitu

keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem (Nurichah et al., 2012). Berikut

adalah tiga tingkatan golongan dari keanekaragaman hayati:

a. Keanekaragaman spesies, mencakup semua spesies makhluk hidup di bumi.

b. Keanekaragaman genetik merupakan variasi genetik dalam satu spesies.

c. Keanekaragaman ekosistem, merujuk pada keanekaragaman habitat dari

semua spesies makhluk hidup di bumi

Kompetensi dasar dari Materi Keanekaragaman Hayati adalah

kompentensi Dasar 3.2 yaitu menganalisis data hasil observasi tentang berbagai

tingkat keanekaragaman (gen, jenis, dan ekosistem) di Indonesia dan untuk

indikator pencapaian pembelajarannya sendiri adalah 3.2.8 yaitu menjelaskan

pemanfaatan keanekaragaman hayati di Indonesia yang sudah dilakukan.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan pada penelitian ini antara lain: Kristiana dan Bayu

(2020) yaitu tentang “Identifikasi Tumbuhan Pada Tradisi Nimbuk Suku Dayak di

Halong Kalimanatan Selatan” ditemukan 12 jenis tumbuhan dari 12 familia yaitu

Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn), Batang Serai (Cymbopogon citratus Linn),
Kunyit (Curcuma Longa Linn), Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schard. Ex J.C

var. Sriata), Buah Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C), Batang Kayu Ulin

(Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn), Batang Rotan (Calamus Rotang Linn),

Buah Pinang (Areca catechu Linn), Buah Kelapa (Cocos nicifera Linn), Buah

Pisang (Musa paradisiacal), Padi atau Beras (Oryza sativa Linn), dan Daun

Andong (Cordyline comm. Ex R.Br).

Terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan.

Persamaan penelitian yang dilakukan pada jenis tumbuhan ritual adat Dayak

sebagai objek penelitiannya, sedangkan perbedaannya adalah upacaranya,

kegunaan dari tumbuhan tersebut selama upacara, dan lokasi penelitian yang di

laksanakan di Kecamatan Halong Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan

Selatan, sedangkan penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tumbang Talaken

Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah.

Kelebihannya membahas kegunaan dan fungsi dari jenis tumbuhan dalam Tradisi

Nimbuk sedangkan kekurangan tidak dijelaskan bagian organ mana yang

digunakan, simbol dan maknanya dari ritual tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Silvia dan Sari (2019) yaitu “Analisis

Jenis, Fungsi, Makna, dan Nilai Ekonomi Tumbuhan Ritual Mamapas Lewu Suku

Dayak Ngaju” ditemukan ada 12 spesies tumbuhan dari 10 familia yaitu

tangkawang papas atau Daun Pohon Meranti (Shorea macrophylla Roxb).

Sawang belum dan Sawang gagar atau daun andong (Cordyline Fruticosa Comm

Ex R.Br), Sukup atau Buah Manggis (Garcinia mangostana Linn), Tungkun atau
Daun Sisik Naga (Pyrrosia Piloselloides M.G Price), Daun Pilang (Vachellia

leucophloea (Urb & Ekman.) Siegler & Ebinger), Taberau Hanyi atau Rumput

Gelagah (Saccharum spontaneum Linn) Kajunjung atau Pohon Huru Dapung

(Actinodaphne glomerata Linn), Buah Kelapa (Cocos nucifera Linn), Batang

Bambu (Bambusa vulgaris Schard. Ex J.C), Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn),

dan Buah Pinang (Areca catechu Linn).

Terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan.

Persamaan penelitian yang dilakukan pada jenis tumbuhan ritual adat Dayak

sebagai objek penelitiannya, sedangkan perbedaannya adalah upacaranya, cara

menggunakan tumbuhan tersebut selama upacara, dan lokasi penelitiannya yang

bertempat di Kota Palangkaraya sedangkan penelitian ini dilaksanakan di

Kelurahan Tumbang Talaken Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas

Provinsi Kalimanatan Tengah. Kelebihannya berfokus pada cara menggunakan

dan fungi dari jenis tumbuhan pada Tradisi Mamapas Lewu kemudian teknik

analisisnya menggunakan dua teknik analisis data yaitu kualitatif dan kuantitaif.

Teknik analisis data kualitatif berfokus pada fungsi dan makna serta nilai ekonomi

berdasarkan sumber data yang tertulis dari jenis tumbuhan yang digunakan dalam

ritual Mamapas Lewu sedangkan teknik analisis data kuantitatif harus bersumber

dari data hasil penyebaran angket. Untuk memastikan keabsahan data tersebut

dilakukan peninjauan ulang dari hasil kedua analisis data tersebut. Kemudian

yang menjadi kekurangan dalam penelitiannya tidak disebutkan nama spesies dan

nama familia dari sebagian jenis tumbuhan yang ditemukan, sehingga akan terjadi
kendala dan kesulitan apabila penulis skripsi menjadikan hasil penelitiannya

sebagai penunjang penelitian dari penulis skripsi tersebut. Kemudian yang

menjadi kekurangan selanjutnya tidak dijelaskan bagian organ mana yang

digunakan, dan simbolnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ursula, DKK (2021) yaitu “Makna

Tanaman Perlengkapan Perkawinan Adat Suku Dayak Uud Danum” ditemukan 6

jenis dari 6 familia tumbuhan yang digunakan yaitu Buah Pinang (Areca catechu

Linn), Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn), Daun Andong (Cordyline fruticosa

Comm), Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata Lam.Pers), Batang Rotan Sega

(Calamus caesius Blume), dan Batang Bajakah Tengang (Spatholobus Littoralis

Hassk).

Terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan.

Persamaan dari penelitian ini adalah objeknya yang dimana menggunakan

tumbuhan yang digunakan dalam perkawinan Adat Suku Dayak Uud Danum dan

yang menjadi perbedaannya adalah cara menggunakan tumbuhan tersebut selama

upacara, dan lokasi penelitian yang dimana lokasi penelitian ini bertempat di

Provinsi Kalimantan Barat sedangkan penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan

Tumbang Talaken Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas Provinsi

Kalimanatan Tengah. Kelebihannya dimana peneliti membahas makna secara

denotatif dan konotatif dari tumbuhan yang digunakan dalam perkawinan Adat

Suku Dayak Uud Danum, sedangkan kekurangannya adalah sebagian tidak

dijelaskan bagian organ mana yang digunakan, dan simbolnya.


Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Kartika (2017) yaitu “Inventarisasi

Jenis Tumbuhan Yang Digunakan Dalam Ritual Adat Ammatoa Di Kecamatan

Kajang, Kabupaten Bulukumba” ditemukan ada 22 spesies tumbuhan dari 17

familia tumbuhan yang digunakan dalam ritual adat yaitu Daun Andong

(Cordyline fruticosa Comm), Buah Kelapa (Cocus nucifera Linn), Pinang (Arace

cathecu), Daun Lontar (Borassus flabelliefer Linn), Batang Bambu (Bambussa

Vurgaris (Schard) JC. Wendy ), Beras (Oryza sativa Linn), Tebu (Saccharum

officinarum Linn), Daun Puring (Codiaeum variegatum A.Juss), Buah Pisang

(Musa paradisiaca Linn), Daun sirih hijau (Piper betle Linn), Daun Pandan

(Pandanus amaryfolius Roxb), Daun Waru (Hibiscus tiliaceus Linn), Daun Cocor

Bebek (Bryophyllum pinnatum Pers), Daun Asoka (Ixora palludosa (Roxb.)

Wilde), Bunga Kenop (Gomphrena globosa Linn), Pacar Kuku (Lawsonia inermis

Linn), Bawang Bombay (Allium cepa Linn), Bawang Putih (Allium sativum Linn),

Bunga Melati (Justica gendaruss a Burm F), Bunga Mawar (Rosa hybrida Linn),

dan Daun Kedondong (Polyscias filicifolia Linn).

Terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan.

Persamaan dari penelitian ini adalah objeknya yang dimana menggunakan

tumbuhan yang digunakan dalam ritual adat masyarakat setempat sedangkan yang

menjadi perbedaannya adalah suku dari masyarakat, dan lokasi penelitian yang

dimana penelitian ini berlokasi di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba

Provinsi Sulewesi Selatan sedangkan sedangkan penelitian ini dilaksanakan di

Kelurahan Tumbang Talaken Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas


Provinsi Kalimanatan Tengah. Kelebihan dari penelitian ini adalah membahas

tentang kegunaan dan fungsi dari organ tumbuhan yang digunakan dalam ritual

adat Ammatoa, sedangkan kekurangannya tidak dijelaskan makna dan simbol

darii jenis tumbuhan yang digunakan dalam dari ritual tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Citra Yulia (2020), yaitu “Studi Etnobotani

Tumbuhan Yang Digunakan dalam Ritual Adat Di Desa Simpang Bayat

Kecamatan Bayung Lencir Sumatra Selatan” ditemukan 34 Spesies dan

dikategorikan sebanyak 24 familia yaitu Kemenyan (Styrax benzoin Dryand)

Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Cristm Swingle), Bunga Melati Putih

(Jasminum sambac (Linn.) Sol.ex.Aiton), Daun Sirih (Piper betle Linn), Buah

Pinang (Areca catechu Linn), Kunyit (Curcuma longa Linn), Bunga Selasih

(Ocimum basillisum Linn), Daun Pandan (Pandanus amaryllifolium Roxb), Padi

atau Beras (Oryza sativa Linn), Kencur (Kaempferia galanga Linn), Buah Pisang

(Musa paradisiaca Linn), Bunga Jengger Ayam (Celosia cristata Linn), Bunga

Kembang Sepatu (Hisbicus rosa-sinensis Linn), Bunga Mawar (Rosa hybrida

Linn), Bunga Kertas (Bougainviellea glabra Comm), Bunga Terompet Emas

(Alamanda cathartica L), Buah Kelapa (Cocos nucifera Linn), (Kurzx.)), Bawang

Putih (Allium sativum Linn), Buah Salak (Salacca zalacca (Gaertn) Vos), Beras

ketan (Oryza sativa var. Glutinosa Kom), Jahe (Zingiber officinalle Roscoe),

Daun Bonglai (Zingiber purpureum Roxb), Rumput Jeringau (Acorus calamus L),

Batang serai (Cymbopogom nardus (Linn.) Rendle), kenanga (Cananga

adorata (Lam.) Hook.f. & Thoms), Bunga Cocok Botol (Tagetes erecta Linn),

Daun Andong (Cordyline fructiosa Comm), Buah Jeruk Manis (Citrus sinensis L),
tumbuhan gambir (Uncaria gambir (W). Hunter) Roxb), Bawang Bombay

(Allium cepa Linn), Sayur Bayam (Amarantus spinosus Linn), dan Ubi Kayu

(Manihot esculenta Crantz).

Terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan.

Persamaan dalam penelitian ini adalah objeknya yang dimana menggunakan

tumbuhan yang digunakan dalam ritual adat masyarakat setempat, sedangkan

perbedaan dari penelitian ini adalah judul penelitiannya yang lebih menekankan

ke studi Etnobotani, jumlah suku yang ada dalam masyarakat tersebut, dan lokasi

penelitian yang bertempat di Di Desa Simpang Bayat Kecamatan Bayung Lencir

Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatra Selatan sedangkan penelitian

dilaksanakan di Kelurahan Tumbang Talaken Kecamatan Manuhing Kabupaten

Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah serta teknik analisis data. Kelebihan

dari penelitian ini adalah pembahasannya terkait penggunaan dan nilai dari setiap

jenis tumbuhan sedangkan yang menjadi kekurangan tidak dijelaskan cara

penggunaan serta makna dan simbol dalam ritual ada tersebut.

C. Kerangka Berpikir

Berdasarkan uraian pada kerangka pikir inventarisasi jenis tumbuhan yang

digunakan dalam Ritual Adat Dayak Ngaju di Kelurahan Tumbang Talaken

Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas sebagai penunjang materi

keanekaragaman Hayati Kelas X SMA, melalui penelitian ini akan diungkapkan kondisi

dari Lokasi Penelitin, kegiatan eksplorasi dan identifikasi jenis tumbuhan yang digunakan
dalam Ritual Adat Dayak Ngaju, Jenis tumbuhan yang digunakan dalam Ritual Adat

Dayak Ngaju, organ yang digunakan mulai dari akar hingga buah dan juga rimpang,

sumber perolehan, dan pemanfaatan selama ritual Adat dan simbol dan juga maknanya.

Untuk lebih jelasnya kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.6

Kelurahan Tumbang Talaken Kecamatan


Manuhing Kabupaten Gunung Mas

Ekplorasi dan Identifikasi Jenis Tumbuhan Yang


digunakan dalam Ritual Adat Dayak Ngaju

Tumbuhan Yang digunakan dalam Ritual Adat Dayak


Ngaju

Akar Rimpang Batang Daun Bunga Rimpang


Sumber Perolehan dari Pemanfaatan dari Jenis- Simbol dan Makna dari
Jenis-jenis Tumbuhan jenis Tumbuhan yang Jenis-jenis Tumbuhan
yang digunakan Dalam digunakan Dalam Ritual yang digunakan Dalam
Ritual Adat Dayak Adat Dayak Ngaju Ritual Adat Dayak
Ngaju Ngaju

Semua jenis tumbuhan yang digunakan dalam Ritual Adat Dayak Ngaju, yang sudah
diperoleh dari hasil penelitian ini akan dijadikan sebagai penunjang Materi
Keanekaragaman Hayati dalam bentuk format infografis

Gambar 2. 6 Diagram Alir


Kerangka Berpikir

Anda mungkin juga menyukai