TIWAH
Oleh
E-mail : azizahchaniago1@gmail.com
Abstrak
Indonesia memiliki kekayaan ragam budaya, adat istiadat, agama dan kepercayaan
yang satu sama lain hidup berdampingan, rukun dan damai dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Seperti ragam budaya dan kepercayaan suku Dayak di pulau
Kalimantan misalnya, tidak hanya memiliki keunikan tetapi menantang dalam
peradaban manusia masa kini untuk mendalaminya. Bagaimana cara suku Dayak
untuk menghormati para leluhurnya dalam spektrum kematian hingga berakhir
ditempatkan ke sebuah alam berbeda akan lebih detail tercermin melalui prosesi
adat “Tiwah”, sebuah proses rumit dan sakral tentang pemakaman yang akan
berlangsung selama tujuh sampai empat puluh satu hari non-stop.
2. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis atau
metode sejarah. Louis Gottschalk berpendapat bahwa metode sejarah
merupakan suatu proses pengujian, dan analisis sumber atau laporan dari
masa lampau secara kritis. Hasil rekonstruksi imajinatif masa lampau
berdasarkan data atau fakta yang diperoleh lewat proses itu disebut
historiografi (penulisan sejarah). 1Terdapat beberapa tahapan pada
penelitian sejarah yaitu; 1) Heuristik (pengumpulan sumber), 2) Kritik
sumber, 3) Interpretasi atau penafsiran, 4) Historiografi atau penulisan. Pada
penelitian ini, langkah pertama yang dilakukan oleh penulis ialah Heuristik
atau tahap mengumpulkan sumber-sumber penelitian. Dari tahap ini,
penulis berhasil mengumpulkan sumber penelitian berupa artikel Jurnal dan
berita online.
Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau yang biasa disebut "Magah Salumpuk
Liau Uluh Matei" oleh suku Dayak Ngaju adalah upacara sakral terbesar
yang bertujuan mengantarkan roh sanak saudara yang telah meninggal dunia
menuju surga (langit ketujuh), atau biasa disebut oleh suku Dayak Ngaju
sebagai berikut: Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia
Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan,
Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau.
Agama asli Suku Dayak Ngaju ialah Agama Kaharingan Kata Kaharingan
berarti air kehidupan atau "water of life" .Pengikut Kaharingan pantang
(pali) menyebutkan nama para Dewanya. Hanya pemuka agamanya yang
biasa disebut "Pisur", Tukang Mahanteran, Tukang Balian, Jawa-Badewa,
Basir, atau "priest"ipriestress (imam) saja yang boleh menyebut nama
Dewa mereka. Pantang menyebut nama-nama Dewata yang tinggal di langit
ke- I, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 secara sembarangan kecuali orang Dayak Ngaju
yang beragama Kaharingan.Menurut kepercayaan mereka, selain dunia
yang kita diami ini masih ada dunia di atas langit atau "Negeri di atas langit"
(upperworld), yang bertingkat 7 (seventh sky) tersebut.
Konsepsi ini hampir sama dengan pandangan orang Bali mengenai "Sapta
Petala”. Setiap tingkatan langit dikuasai oleh seorang penguasa, di mana
Ranying adalah Penguasa Tertinggi. Semua dewata lainnya harus tunduk
kepada Ranying Haialla Langit. Pada (1980) Agama Kaharingan bergabung
ke Hinduisme (Bali) menjadi Agama Hindu Kaharingan, sebagai akibat
hegemoni pemerintah dalam bidang keagamaan dan politik di Indonesia.
Tiwah adalah nama sebuah upacara kematian di kalangan masyarakat
Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah Upacara ini berkaitan dengan
kepercayaan "Kaharingan" dalam hal menghantar roh orang yang
meninggal ke negeri arwah atau "Lewu Tatani" atau "kampung arwah".
Dewasa ini sudah tidak pernah lagi ditemukan adanya kepala manusia
sebagai salah satu persyaratan dalam upacara Tiwah (terutama sejak
pertemuan selunuh kepala suku/adat se Borneo/Kalimantan di Tumbang.
Jenis upacara ini dapat dijumpai juga di Katingan, Kapuas, Kahayan, Bulik,
Seruyan, Dusun Timur, Hulu Mahakam, Hulu Kapuas, (Kalimantan
Barat).Jiwa atau roh orang yang masih hidup disebut "Hambaruan" atau
"Samenget", tetapi kalau orang yang telah meninggal roh atau jiwanya
disebut "Salumpuk" Liau".
Bila orang telah meninggal, ada dua hal yang harus diperhatikan secara
khusus, yaitu, (1) Salumpuk Liau, harus diantar kembali kepada Ranying di
alam baka dengan diadakan upacara Tiwah Sebagai perantara dalam
upacara tersebut adalah Rawing Tempun Telon atau Mantir Mama Luhing
Bungai schingga dapat melewati berbagai macam rintangan, diantaranya
seperti, melewati 30 embun, gunung-gunung, sungai-sungai, tasik, lautan,
telaga dan sebelum mereka sampai di Batang Tiawu Bulau, Sating Malelak
Bulau atau Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Hintan, Kakarangan
Lamiang, atau sering disebut "Lewu Liau" atau disebut juga "Lewu Liau
Parara Wuang Nihau Tambing mater",terlebih dahulu Salumpuk Liam harus
melewati jembatan yang tinggi, (2) Salumpuk Bareng, ialah "raga" di mana
bila tiba saatnya meninggal, "raga" juga harus dirawat dengan baik,
disimpan dalam rumah kecil yang disebut "Sandung"IRuni pambak.Dengan
demikian Salumpuk Liau kembali ke tempat asalnya dilahirkan.Sandung
berbentuk seperti rumah tapi kecil dan bertiang panjang, yang terbagi dua,
yakni (a) Sandung Raung, yang mempunyai enam tiang, dan (b) Sandung
Tulang, yang hanya mempunyai satu tiang saja.Selain itu, masih ada yang
disebut "Sandung Naung" dan "Sandung Balanga".Fenomena di atas,
dikisahkan kembali dalam mitos penciptaan oleh tukang Balian tadi di
dalam bahasa ritual, yakni bahasa Sangiang.
Pada era modern ini, berbagai macam teknologi dan pola pikir manusia
semakin maju dan perlahan mulai melupakan hal-hal yang bersifat
tradisional atau hal yang mistis. Misalnya Upacara Adat Tiwah ini. Upacara
atau ritual ini sebenarnya sudah ada di Nusantara sejak lama, namun hanya
sedikit yang mengetahui budaya ini. Mungkin hanya beberapa masyarakat
di Kalimantan Tengah itu sendiri yang mengetahuinya. Di media sendiri
juga begitu sedikit yang mau mengekspos budaya yang ada di Kalimantan,
kebanyakan adalah budaya yang berasal dari Jawa atau sekitarnya.
Dan sekarang upacara atau ritual Tiwah sendiri sudah amat jarang dilakukan
karena biayanya yang tak sedikit, caranya yang terlalu rumit dan pemikiran
masyarakat yang tak mau repot-repot lagi dengan acara yang memang
menghabiskan banyak biaya, waktu dan tenaga. Padahal budaya ini
merupakan salah satu ciri khas dari Kalimantan Tengah. Dan seharusnya
kita sebagai bangsa Indonesia harus mau mencari tahu, mempublikasikan,
atau melestarikan budaya yang kita miliki. Jangan hanya melestarikan
budaya dari daerah yang sudah terkenal, tapi juga dari daerah yang sering
tak diperhatikan seperti Kalimantan.
4. KESIMPULAN
Andi Indah Yulianti. 2018. Leksikon Dalam Upacara Kematian (Tiwah) Sukuo
Dayak Ngaju.Malang :Universitas Brawijaya
I Nyoman Sama.2016. Makna Korban Yang Kecil Dalam Upacara Tiwah Dan
Agama Hindu Kaharingan Pada Orang Dayak Ngaju di Kalimantan
Tengah.Denpasar:Universitas Udayana