Anda di halaman 1dari 10

CARA SUKU DAYAK MENGHARGAI KEMATIAN MELALUI RITUAL

TIWAH

Oleh

Nurul Azizah Chaniago

Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro

Jalan Prof. Sudharto SH, Kampus Tembalang Semarang – 50275

E-mail : azizahchaniago1@gmail.com

Abstrak

Indonesia memiliki kekayaan ragam budaya, adat istiadat, agama dan kepercayaan
yang satu sama lain hidup berdampingan, rukun dan damai dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Seperti ragam budaya dan kepercayaan suku Dayak di pulau
Kalimantan misalnya, tidak hanya memiliki keunikan tetapi menantang dalam
peradaban manusia masa kini untuk mendalaminya. Bagaimana cara suku Dayak
untuk menghormati para leluhurnya dalam spektrum kematian hingga berakhir
ditempatkan ke sebuah alam berbeda akan lebih detail tercermin melalui prosesi
adat “Tiwah”, sebuah proses rumit dan sakral tentang pemakaman yang akan
berlangsung selama tujuh sampai empat puluh satu hari non-stop.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah kritis. Tahap dalam menggunakan


metode ini yaitu; 1) Tahap Heuristik (pengumpulan sumber berupa artikel jurnal
dan berita online, 2) Langkah selanjutnya ialah mengkritik terhadap sumber tadi,
apakah isi dan juga waktu pembuatan sumber tersebut betul dari zamannya atau
tidak, 3) Interpretasi, 4) tahap penulisan (historiografi). Upacara Tiwah akan
diadakan jika salah satu kampung Suku Dayak tersebut menyatakan bahwa
kampung mereka akan mengadakan upacara Tiwah.

Kata kunci : Suku Dayak, Tiwah, Upacara Kematian.


1. PENDAHULUAN

Kebudayaan merupakan hasil karya dan gagasan pemikiran manusia yang


dilaksanakan secara berkelanjutan dari turun-temurun. Kebudayaan
memiliki banyak ragam. Salah satu bentuk ragam budaya yang dimiliki
masyarakat Kalimantan Tengah yakni sebuah tradisi kebudayaan Tiwah.
Tradisi budaya Tiwah menurut masyarakat Kalimantan Tengah adalah
sebuah aturan atau perbuatan (adat), tetapi menurut masyarakat Dayak
pemeluk agama Hindu Kaharingan menyebutkan Tiwah merupakan proses
mengantarkan arwah oleh masyarakat digunakan sebagai sistem religiusitas
mereka dalam menyembah sang pencipta (hatala ranying langi) dilatar
belakangi kepercayaan asli suku Dayak.

Dalam bahasa sangiangnya mengantarkan ke “Lewu Tatau Habarus Bulau


Hagusung Intan Dia Rampang Tulang” yang berarti sebuah tempat yang
berhiaskan emas, permata, berlian, dan kekal atau abadi sedangkan dalam
bahasa Dayak yaitu “liau ke surge”. Suku Dayak yang ada di Kalimantan,
khususnya Kalimantan Tengah memiliki cara tersendiri dalam
mengekspresikan keyakinannya. Dijumpai beraneka ragam cara suku
Dayak dalam mengungkapkan keyakinan, tetapi pada kenyataan tujuannya
sama untuk menyembah Tuhan atau Allah penciptanya, hanya cara dan
sebutannya saja yang berbeda.

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode historis atau
metode sejarah. Louis Gottschalk berpendapat bahwa metode sejarah
merupakan suatu proses pengujian, dan analisis sumber atau laporan dari
masa lampau secara kritis. Hasil rekonstruksi imajinatif masa lampau
berdasarkan data atau fakta yang diperoleh lewat proses itu disebut
historiografi (penulisan sejarah). 1Terdapat beberapa tahapan pada
penelitian sejarah yaitu; 1) Heuristik (pengumpulan sumber), 2) Kritik
sumber, 3) Interpretasi atau penafsiran, 4) Historiografi atau penulisan. Pada
penelitian ini, langkah pertama yang dilakukan oleh penulis ialah Heuristik
atau tahap mengumpulkan sumber-sumber penelitian. Dari tahap ini,
penulis berhasil mengumpulkan sumber penelitian berupa artikel Jurnal dan
berita online.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Pengertian Upacara/Ritual Tiwah

Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau yang biasa disebut "Magah Salumpuk
Liau Uluh Matei" oleh suku Dayak Ngaju adalah upacara sakral terbesar
yang bertujuan mengantarkan roh sanak saudara yang telah meninggal dunia
menuju surga (langit ketujuh), atau biasa disebut oleh suku Dayak Ngaju
sebagai berikut: Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia
Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan,
Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau.

Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas


seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang
tersisa hanya tulang-tulang dari jenazah tersebut. Tulang-tulang tersebut
nantinya akan disucikan dan dipindahkan dari liang kubur menuju sebuah
tempat yang bernama Sandung, semacam rumah kecil yang memang dibuat
khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Ritual ini selain
bertujuan untuk mengantarkan jasad roh ke surga. Juga bertujuan sebagai
prosesi suku Dayak Ngaju untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga
almarhum/almarhumah yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk
yang melanda.

Melaksanakan Upacara Tiwah bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan


persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit.
Selain itu, rangkaian prosesi Tiwah ini sendiri dapat memakan waktu
berhari-hari (non-stop), bahkan bisa mencapai satu bulan lebih lamanya.
Dan ritual ini sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam hingga
sekarang. Ritual Tiwah sendiri berasal dari daerah Kalimantan Tengah,
tepatnya dari suku Dayak Ngaju, penganut agama Hindu Kaharingan.

3.2 Bentuk dan Isi Ritual Tiwah

Agama asli Suku Dayak Ngaju ialah Agama Kaharingan Kata Kaharingan
berarti air kehidupan atau "water of life" .Pengikut Kaharingan pantang
(pali) menyebutkan nama para Dewanya. Hanya pemuka agamanya yang
biasa disebut "Pisur", Tukang Mahanteran, Tukang Balian, Jawa-Badewa,
Basir, atau "priest"ipriestress (imam) saja yang boleh menyebut nama
Dewa mereka. Pantang menyebut nama-nama Dewata yang tinggal di langit
ke- I, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 secara sembarangan kecuali orang Dayak Ngaju
yang beragama Kaharingan.Menurut kepercayaan mereka, selain dunia
yang kita diami ini masih ada dunia di atas langit atau "Negeri di atas langit"
(upperworld), yang bertingkat 7 (seventh sky) tersebut.

Konsepsi ini hampir sama dengan pandangan orang Bali mengenai "Sapta
Petala”. Setiap tingkatan langit dikuasai oleh seorang penguasa, di mana
Ranying adalah Penguasa Tertinggi. Semua dewata lainnya harus tunduk
kepada Ranying Haialla Langit. Pada (1980) Agama Kaharingan bergabung
ke Hinduisme (Bali) menjadi Agama Hindu Kaharingan, sebagai akibat
hegemoni pemerintah dalam bidang keagamaan dan politik di Indonesia.
Tiwah adalah nama sebuah upacara kematian di kalangan masyarakat
Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah Upacara ini berkaitan dengan
kepercayaan "Kaharingan" dalam hal menghantar roh orang yang
meninggal ke negeri arwah atau "Lewu Tatani" atau "kampung arwah".

Upacara Tiwah merupakan upacara ke-2 dalam rangkaian upacara kematian


bagi pemeluk Hindu Kaharingan. Upacara ini diadakan setelah upacara
pemakaman selesai.Namun upacara Tiwah ini tidak langsung
diselenggarakan setelah upacara kematian yang pertama, melainkan selang
setahun atau bahkan beberapa tahun kemudian Upacara ini merupakan salah
satu upacara besar, karena itu cukup mahal, dan dibutuhkan biaya yang
besar Upacara ini bertujuan untuk mengantarkan jiwa/roh orang yang
telahmeninggal ke alam baka, yaitu negeri di langit ke-7 yang dinamakan
"Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Intan Hakarangan Lamiang" atau
"Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang Runcung Raja Dia Kamalesu Uhat di
Batang Damum Tiawu Bulau".

Di situlah tempat berkumpulnya semua jiwa/roh orang yang meninggal dan


dinamakan "Salumpuk Liau" Jiwa yang meninggal diantarkan oleh Rawing
Tempun Telon Lomba Habarun Bulau atau Mantir Mama Luhing Bungai
Raja Malawaung Bulau. Upacara ini, dilaksanakan oleh Mahanteran yang
biasa juga disebut Balian Prosesi dalam upacara ini berlangsung selama 7
sampai 40 hari dengan memotong ayam, kerbau, sapi, babi.Bahkan di jaman
dahulu kala juga disediakan "Kepala Manusia" karena berdasarkan
kepercayaan Agama Kaharingan, semua yang ada di dunia ini akan dibawa
ke alam baka, sehingga orang yang kepalanya dipotong sebagai salah satu
perlengkapan "korban" dalam Upacara Tiwah ini, nantinya di dalam
alambaka juga akan mengabdi kepada jiwa/roh dari orang yang sedang di-
tiwah tersebut.

Dewasa ini sudah tidak pernah lagi ditemukan adanya kepala manusia
sebagai salah satu persyaratan dalam upacara Tiwah (terutama sejak
pertemuan selunuh kepala suku/adat se Borneo/Kalimantan di Tumbang.
Jenis upacara ini dapat dijumpai juga di Katingan, Kapuas, Kahayan, Bulik,
Seruyan, Dusun Timur, Hulu Mahakam, Hulu Kapuas, (Kalimantan
Barat).Jiwa atau roh orang yang masih hidup disebut "Hambaruan" atau
"Samenget", tetapi kalau orang yang telah meninggal roh atau jiwanya
disebut "Salumpuk" Liau".

Bila orang telah meninggal, ada dua hal yang harus diperhatikan secara
khusus, yaitu, (1) Salumpuk Liau, harus diantar kembali kepada Ranying di
alam baka dengan diadakan upacara Tiwah Sebagai perantara dalam
upacara tersebut adalah Rawing Tempun Telon atau Mantir Mama Luhing
Bungai schingga dapat melewati berbagai macam rintangan, diantaranya
seperti, melewati 30 embun, gunung-gunung, sungai-sungai, tasik, lautan,
telaga dan sebelum mereka sampai di Batang Tiawu Bulau, Sating Malelak
Bulau atau Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Hintan, Kakarangan
Lamiang, atau sering disebut "Lewu Liau" atau disebut juga "Lewu Liau
Parara Wuang Nihau Tambing mater",terlebih dahulu Salumpuk Liam harus
melewati jembatan yang tinggi, (2) Salumpuk Bareng, ialah "raga" di mana
bila tiba saatnya meninggal, "raga" juga harus dirawat dengan baik,
disimpan dalam rumah kecil yang disebut "Sandung"IRuni pambak.Dengan
demikian Salumpuk Liau kembali ke tempat asalnya dilahirkan.Sandung
berbentuk seperti rumah tapi kecil dan bertiang panjang, yang terbagi dua,
yakni (a) Sandung Raung, yang mempunyai enam tiang, dan (b) Sandung
Tulang, yang hanya mempunyai satu tiang saja.Selain itu, masih ada yang
disebut "Sandung Naung" dan "Sandung Balanga".Fenomena di atas,
dikisahkan kembali dalam mitos penciptaan oleh tukang Balian tadi di
dalam bahasa ritual, yakni bahasa Sangiang.

3.3 Proses Pelaksanaan Upacara/Ritual Tiwah Pada Era Modern

Pada era modern ini, berbagai macam teknologi dan pola pikir manusia
semakin maju dan perlahan mulai melupakan hal-hal yang bersifat
tradisional atau hal yang mistis. Misalnya Upacara Adat Tiwah ini. Upacara
atau ritual ini sebenarnya sudah ada di Nusantara sejak lama, namun hanya
sedikit yang mengetahui budaya ini. Mungkin hanya beberapa masyarakat
di Kalimantan Tengah itu sendiri yang mengetahuinya. Di media sendiri
juga begitu sedikit yang mau mengekspos budaya yang ada di Kalimantan,
kebanyakan adalah budaya yang berasal dari Jawa atau sekitarnya.

Dan sekarang upacara atau ritual Tiwah sendiri sudah amat jarang dilakukan
karena biayanya yang tak sedikit, caranya yang terlalu rumit dan pemikiran
masyarakat yang tak mau repot-repot lagi dengan acara yang memang
menghabiskan banyak biaya, waktu dan tenaga. Padahal budaya ini
merupakan salah satu ciri khas dari Kalimantan Tengah. Dan seharusnya
kita sebagai bangsa Indonesia harus mau mencari tahu, mempublikasikan,
atau melestarikan budaya yang kita miliki. Jangan hanya melestarikan
budaya dari daerah yang sudah terkenal, tapi juga dari daerah yang sering
tak diperhatikan seperti Kalimantan.

3.3 Makna Simbolis Dari Ritual Tiwah

Makna simbolis Upacara Tiwah (1) untuk memanggil jiwa-jiwa dari


ketenangan dunia atas yang dilakukan dari kuburan;(2) untuk memandikan
mereka, (3) menyediakan mereka pakaian yang tidak pernah robek, (4)
untuk membekali mereka dengan makanan yang tak pernah busuk (5) untuk
memberikan kesempatan kepada sanak-keluarga yang masih hidup,
mengucapkan selamat jalan kepada yang akanpergi ke dunia arwah, (6)
untuk mengantarkan mereka ke desa makmur bersama dengan esensi hidup
dari ciptaan yang ikut dikorbankan untuk kepentingan mereka (dulu:
termasuk kepala manusia sebagai korban, kini diganti dengan kerbau atau
sapi), (7) untuk mempersatukan kembali jiwa-jiwa dari akal-budi, dari
tulang-belulang dan dari bagian daging pada tubuh manusia. Apakah makna
Upacara Tiwah itu untuk zaman sekaraang. Pertama, dari segi nilai sosial-
budaya : (1) sikap hidup religius yang menjadi dasar motivasi
penyelenggaraan seluruh rangkaian upacara, (2) keseimbangan antara
kehidupan duniawi dan ilahi atau antara "dunia atas" dan "dunia bawah";(3)
hidup ini merupakan perjuangan untuk mencapai kesejahteraan dan juga
perjuangan moral, (4) kerukunan dengan pemeluk agama lain dan
kewajiban menghoramati kepercayaan leluhur, (5) adanya keterbukaan
terhadap peranserta orang luar, (6) penghormatan kepada roh nenek-
moyang dan kepadakaum tua, (7) sikap demokratis melalui musyawarah,
(8) ketelitian dan luasnya cakupan pikiran yang terangkum;(9) tertib hukum
dalam hubungan sosial dan tata cara keagamaan, dan (10) sikap hidup
dengan semangat yang tinggi (isen mulung. penyang hinje simpei).Kedua,
dan segi sosial ekonomi: (1) solidaritas dan kerjasama membiayai dan
mengelola upacara, (2) penerapan sistem anggaran berimbang dengan
sumbangan yang sesuai dengan kemampuan, baik berupa tenaga maupun
dana, (3) adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi setiap anak
tiwah yang tampak dalam gotong-royong: (4) adanya imbalan langsung atau
tidak langsung bagi para anak tiwah, (5) mendorong munculnya pasar
musiman dan merupakan obyek wisata.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan yang di dapatkan bahwa Upacara Tiwah adalah upacara/ritual


sakral yang dilakukan untuk jenazah yang telah meninggal agar rohnya
sampai di surga. Upacara Tiwah akan diadakan jika salah satu kampung
Suku Dayak tersebut menyatakan bahwa kampung mereka akan
mengadakan upacara Tiwah. Tiwah merupakan suatu tradisi budaya yang
harus dilestarikan dan dijalankan karena merupakan kewajiban baku dan
tidak dapat diubah. Tiwah dapat dilaksanakan dengan bijak tanpa
memberikan beban kepada manusia yang melaksanakan, dan disisi lain
Tiwah sebagai bagian dari kebudayaan tetap dapat membuat masyarakat
saling bekerja sama.
REFERENSI

Nina Putri Hayam Dey, Sri Suwartiningsih, Daru Purnomo. 2012.Aspek


Budaya, Sosial dan Ekonomi dari Tiwah (UpacaranMasyarakat Dayak Tomun
Lamandau). Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin.Vol 19 (2)

Andi Indah Yulianti. 2018. Leksikon Dalam Upacara Kematian (Tiwah) Sukuo
Dayak Ngaju.Malang :Universitas Brawijaya

Bayu dkk. 2016. Upacara/Ritual Tiwah Suku Dayak Ngaju Kalimantan


Tengah.Jakarta:Telkom University

I Nyoman Sama.2016. Makna Korban Yang Kecil Dalam Upacara Tiwah Dan
Agama Hindu Kaharingan Pada Orang Dayak Ngaju di Kalimantan
Tengah.Denpasar:Universitas Udayana

Kurnia Tarigan. 2018. Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak


Menghargai Kematian. Palangkaraya: Kompas.com

Maskudin Taufiq. 2020.Cara Dayak Mengantarkan Leluhur Ke Langit.


Jakarta: Itjen Kemendikbud.

Anda mungkin juga menyukai