Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN KORELASI ANTARA TRADISI BUDAYA TIONGHOA

DENGAN AGAMA BUDDHA

NAMA : ASHA SYAMNASFHIFA

NIM : 2108304031

MATA KULIAH : SEJARAH AGAMA-AGAMA

A. Pendahuluan

Secara garis akbar ajaran Agama Buddha bisa dirangkum pada tiga ajaran
pokok, yaitu Buddha, Dharma dan Sangha. Ajaran mengenai Buddha menekankan
dalam bagaimana umat Buddha memandang Sang Buddha Gautama menjadi
pendiri kepercayaan Buddha dan asas rohani yang bisa dicapai sang setiap mahluk
hidup. Ajaran mengenai dharma poly menyampaikan masalah-masalah yang
dihadapi sang manusia pada kehidupannya sehari-hari, baik yang berkaitan
menggunakan karakteristik manusia sendiri juga hubungannya menggunakan apa
yang dianggap Tuhan dan alam semesta menggunakan segala isinya. Ajaran
mengenai sangha, selain mengajarkan bagaimana umat Buddha memandang
sangha menjadi pasamuan para bhiksu menjalankan dharmanya, pula
menggunakan pertumbuhan dan perkembangan kepercayaan Buddha, baik pada
tempat kelahirannya pada India juga pada tempat-tempat kepercayaan tadi
berkembang.

Ajaran kosmologi atau penciptaan dan pemeliharaan alam semesta adalah galat
satu ajaran yang krusial pada dharma atau kebenaran. Ajaran ini bisa membuka
mata manusia pada mencoba buat meneliti, tahu dan dalam akhirnya bisa menarik
sebuah benang merah menurut ajaran Buddha pada umatnya melalui aneka macam
diskusi dan obrolan-obrolan yang tertuang pada pada dharma. Pengetahuan secara
sempurna dan mengimplementasikan secara sahih akan konsep ini, khususnya
tentang Konsep Kosmologi pada perspektif Agama Buddha sangat krusial
dikedepankan menuju dalam pemahaman yang sempurna pada kehidupan sehari-
hari dan bagi umat non-Buddha bisa mengenal ajaran Buddha pada pada
mempertinggi nilainilai toleransi keberagamaan.

Berawal berdasarkan hal inilah mengapa pemahaman yang sahih ajaran agama
pada kehidupan sehari-hari perlu dikembangkan menjadi dasar pada aplikasi dan
penghubungan diri pada Tuhan Yang Maha Esa menuju dalam pembentukkan
karakter.

B. Isi

Nilai tradisi budaya suatu bangsa lebih bersifat lokal dibandingkan


menggunakan Agama Buddha yang universal. Tetapi demikian tradisi budaya pula
kondisi menggunakan niai-nilai yang krusial dan berharga, seperti: nilai
kemanusiaan, patriotisme, kebersamaan dan lain-lain. Lantaran nir tahu tradisi
budaya suatu gerombolan eksklusif terkadang sebagai pemicu pertarungan yang
menunjuk dalam perpecahan dan peperangan. Keberadaan Etnis Tionghoa bagi
perkembangan umat Buddha Indonesia amat sangat berarti. Mereka mempunyai
Tradisi budaya sangat majemuk yang kaya akan nilai-nilai moralitas, bakti dalam
keluarga dan negara. Beberapa tradisi budaya itu antara lain adalah : Tradisi Tahun
Baru Imlek, Tradisi Sembahyang kubur/ leluhur, Tradisi Kau Chung, Tradisi Mandi
U-Shi, Kue Bulan, Kue Bak Cang, Festival Naga, Barongsai, Ta Tung / Lauya dan
lain-lain. Kurangnya pengetahuan keragaman tradisi budaya dilingkungan
Tionghoa ini kadang mengaburkan arti religius kepercayaan yang mereka anut. Hal
itu bisa terjadi antara lain lantaran para misionaris berusaha untuk membungkus
kepercayaan sinkron tatacara tradisi budaya setempat menggunakan asa
kepercayaan yang diwartakan bisa diterima sehingga memiliki pengikut yang
banyak. Hal itu juga terjadi dilingkungan umat Buddha eksklusif yang memiliki
pandangan bangga menggunakan mempunyai jemaat yang banyak. Akan namun
dilain sisi justru alkulturasi tradisi budaya misalnya kadang sebagai bumerang bagi
kemurnian ajaran kepercayaan yang sedang di mengumumkan.
Kewajiban umat Buddha diantaranya merupakan meluruskan pandangan,
menginterpretasi tradisi budaya apa saja, terlebih tradisi Tionghoa khususnya agar
bisa berada dalam posisi yang sebenarnya sebagai akibatnya lebih terhormat dan
memiliki nilai kebajikan universal yang dalam akhirnya akan menaruh donasi
terhadap kemajuan batin umat Buddha itu sendiri. Sebagai model misalnya; Im Lek,
periode pergantian tahun warga Tionghoa yang dirayakan relatif meriah ini
kedudukannya sama seperti merayakan hari raya kepercayaan dalam tradisi
kepercayaan tertentu. Lauya / Ta Thung dianggap Dewa yang bisa melindungi dan
mengatasi masalah. Ketika sakit atau mengalami kesulitan. Karena terjadi
alkulturasi antara Buddha Dhamma dengan tradisi budaya Tionghoa maka banyak
orang beranggapan bahwa praktek Lauya / Ta Thung adalah produk dan tradisi
agama Buddha. Kenyataan yang terjadi dilapangan sebenarnya dalam praktekanya
para Lauya/ Ta Thung menggunakan atributatribut yang hampir sama dengan
praktek ritual agama Buddha Mahayana khususya, seperti memasang lilin, hio, air
dan buah sekalipun terkadang para Lauya ini ada yang menyimpang dalam
prakteknya menggunakan daging, arak dan darah. Generalisasi yang tidak tepat
seperti ini umat agama lain terkadang memandang sinis terhadap umat Buddha,
sekalipun ada umat Buddha yang tidak tahu menahu tentang praktek Lauya.
Buddha Gotama mengkritik semua praktek yang berorentasi pada pamer kekuatan
(ilmu gaib), mengaku telah mencapai tingkat kesucian dan lain-lain, untuk mencari
penghidupan, popularitas dan keuntungan pribadi. Hal-hal seperti itu melanggar
Vinaya kebhikkhuanya, bahkan dapat dikeluarkan dari Sangha (salah satu
Parajika). Praktek Lauya dalam kehidupan sehari-hari umumnya bermotivasi
menolong bukan untuk mencari keuntungan pribadi tetapi akhir-akhir ini praktek
Lauya/ Ta Thung di ekplorasi orang tertentu untuk tujuan komersial.

Demikian juga, orang Tionghoa yang memeluk kepercayaan Buddha bisa


menjalankan tradisi yang telah turun-temurun dengan dilandasi kebijaksanaan.
Tradisi-budaya tadi pada antaranya merupakan tradisi pemujaan terhadap para
leluhur & para Dewa, Festival Musim Semi, Praktek Cenayang Lauya/ Ta Thung
dalam program Cap Go Meh, Barongsai, Tradisi Mandi U-Shi, Tuan U Ciek, air U-
Shi, kudapan manis Bak Cang dan Kwe Cot, Tradisi sembahyang Kuburan, Ceng
Beng, Legenda Festival Kue Bulan, Kiet Fun / Adat Perkawinan Tradisional
Tionghoa ,Tien Chon yang telah berlangsung semenjak dahulu kala.

1. Tradisi Puja
Memanggil Dewa (Devata Aradhana) pada tradisi Tionghoa merupakan buat
meberi penghormatan, sekaligus membuktikan rasa bakti pada para tuhan atas
proteksi dan bimbingannya.
2. Perayaan Tahun Baru
Perayaan Pergantian tahun telah dirayakan sejak dulu kala, untuk menandakan
pergantian tahun.
3. Perayaan Cenayang (Ta Thung/Lok Thung)
Kesurupan / terpengaruh makluk halus (Ta Thung) sang penghuni alam rendah
seperti; petta, asura dan yakkha, ada kalanya meminta sesuatu yang melanggar
kesusilaan.
4. Berendam di Sungai
Untuk membersihkan diri berdasarkan dosa, hukuman alam buruk, menerima
berkah dan umur panjang wajib diimbangi dengan tekad dan kemauan yang
kuat.
5. Rasa Bakti
Untuk membersihkan diri berdasarkan dosa, hukuman alam buruk, menerima
berkah dan umur panjang wajib diimbangi dengan tekad dan kemauan yang
kuat.
6. Pergantian Tahun (Imlek, Chun Ciek)
Setiap pergantian tahun penanggalan Imlek (Im = bulan, Lek = kalender/
penggalan) dirayakan menjadi CHUN CIEK/ festival animo semi sang warga
Tiongkok menurut dulu sampai sekarang dan telah mengakar sebagai tradisi.
Hal ini bisa dipahami bahwa warga Tiongkok tradisional dahulunya merupakan
warga agraris yang hayati menjadi petani. Selama animo dingin pada cuaca
yang ekstrim nir sanggup keladang, semua berkumpul dirumah sembari
menghangatkan diri ditungku perapian (Bui Lu/ Ui Low).
7. Cap Go Meh / Cang Njiat Pan, Yuan Shiau Ciek
Setiap lepas 15 bulan 1 penanggalan Imlek etnis Tionghoa akan merayakan Cap
Go Meh yang berarti malam kelima belas (Cap go=5 belas, Meh= malam)
dialek Hokkien dan pada dialek Hakka dianggap Cang Nyiat Pan yang berarti
pertengahan bulan satu atau pada bahasa Mandarin dianggap Yuan Shiau Ciek
yang ialah Festival Malam bulan Satu.
8. Ching Ming/Ceng Beng
Sembahyang kuburan ini telah ada sejak Dinasti QIN (221 s.M -206 s.M ) dan
meluas dalam Dinasti SHUI ( 581-618). Pada Dinasti Tang (618 – 907 )
berkembang merata keseluruh daratan Tiongkok, bahkan dibawa merantau
orang Tionghoa menyebar kemanamana. Pada masa Ching Ming dilaksanakan
sinkron situasi dan syarat setempat, nilai yg terpenting dalam Ching Ming
adalah XAO MOH (membersihkan kuburan, berziarah) yang mengindikasikan
bahwa kuburan itu terdapat keturunan yang masuh hidup dan memeliharanya
dan mendoakannya.
9. Chung Yuan/Shi Ku
Sembahyang kuburan ini dilakukan oleh sebagian akbar etnis Tionghoa yang
menganut Buddha, Taoisme, Konghucu dan lainya pada lepas 15 bulan 7.
Sebagai hari terakhir penutupan sembahyang kuburan Chung Yuan dilakukan
upacara sembahyang rebutan yang dinamakan Yi Lan Sen Hui (Chiong Shi Ku
dialek Hakka atau Chio Si Kow dialek Tio Ciu) dan puncaknya diadakan
pembakaran Jong Son (kapal simbolis) yang berisi kebutuhan utama sehari-
hari.
10. Tradisi Budaya Mandi U Shi
Warga perantauan Tionghoa perantauan Singapura, Malaysia, Hong Kong dan
Taiwan seriap lepas lima dan bulan lima Imlek kalendernya niscaya berwarna
merah, hal itu menandai bahwa hari itu terdapat Ritual Tuan U Ciek
menggunakan tradisi menciptakan kudapan manis Bak Cang dan mandi tengah
hari U Shi/ Wu Shi.
11. Legenda Kue Bulan
Festival Kue Bulan (Cung Chiu Ciek) berlangsung dalam lepas 15 bulan 8
Imlek setiap tahun. Awal mulanya festifal Kue Bulan lebih menurut 2000 tahun,
yakni mulai menurut zaman Warring States (Chan Kuok 476- 221 s.M) Cung
Chiu Ciek secara harafiah merupakan Festifal Pertengahan Musim Gugur.
12. Kue Onde (Siak Jan/Tang Ceh)
Tang-Ceh berarti isu terkini dingin. Di Tiongkok para bunda menciptakan
onde-onde menurut ketan dan mengolah lo-mie/ mi sua buat tersaji dalam
suami, mertua, anak dan menantu menjadi ujud afeksi bunda dalam
keluarganya dan pada indonesia dikenal sdebagai hari bunda. Festifal Kue Onde
/ ritual Tang Ce jatuh dalam lepas 15 bulan 9 buat mengindikasikan bahwa isu
terkini dingin sudah tiba saatnya buat menghangatkan diri dengan makan Kue
Onde.
C. Kesimpulan

Agama merupakan segenap agama (pada Tuhan, Dewa dan sebagainya) dan
menggunakan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
menggunakan agama itu; misalnya – Islam; - Buddha; - Kristen. Agama
didefinisikan menjadi istinorma dan kebiasaan atau tradisi yg dipakai manusia buat
berkomunikasi menggunakan roh-roh, sang karenanya kepercayaan merupakan
sebagian dari budaya. Sedangkan Budaya merupakan cara hayati suatu pendduduk/
grup dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya menjadi manusia. Agama Buddha
merupakan ajaran kebenaran (Dhamma/Dharma) yang diajarkan oleh Buddha
Sakyamuni. Agama Buddha merupakan jalan hayati yang sahih buat kedamaian
dan kebahagiaan semua makluk hayati. Buddhime adalah suatu metode buat
tanggal berdasarkan kesengsaraan dan menemukan pembebasan. Ajaran Sang
Budddha nir terbatas dalam satu bangsa atau ras. Ajaran ini pula bukanlah suatu
syahadat atau iman semesta. Ini merupakan ajaran buat semua alam semesta. Ini
merupakan ajaran buat sepanjang masa. Tujuannya merupakan pelayanan yang nir
egois, niat baik, kedamaian, keselamatan, dan pembebasan berdasarkan
penderitaan. Dengan demikian dari kepercayaan Buddha, Tradisi Budaya
merupakan berfungsi sebagai ornamen yang memperindah kepercayaan sebagai
akibatnya menarik bagi masyarakat. Orang Tionghoa bisa mengikuti tradisi budaya
yang sudah turun temurun walaupun sama sekali nir mempunyai nilai-nilai religius,
asalkan pada pelaksanaannya nir mengatas namakan kepercayaan tertentu apa lagi
kepercayaan Buddha. Buddhisme sangat terbuka terhadap banyak sekali istinorma
tradisi, budaya yang memiliki nilai-nilai unversal, membawa kemajuan batin,
kebahagiaan dan kesejahteraan seperti: perikemanusiaan (humanisme),
patriotisme, kerelaan, kerendahan hati dll. Dengan Tradisi Budaya pada pandangan
kepercayaan buddha bisa memberi donasi psychologis bagi beberapa orang sinkron
taraf spiritualnya.
DAFTAR PUSTAKA

Asali, x.f. (2008). Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, Pontianak,


Muare Public Relation.

Buletin Tridharma. (2001). Edisi 03/xx/VIII

Dhammanda, Sri (2002) Keyakinan Umat Buddha. Jakarta Yayasan


Penerbit Karaniya.

Su Si (Kitab Yang Empat) (1970) Majelis Tinggi Agama Buddha Konghucu


(MATAKIN)

Wowor, Cornelis (2004) Pandangan Sosial agama Buddha, Jakarta.


CV.Nitra Kencana Buddha.

Anda mungkin juga menyukai