Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Tuhan semesta alam. Karena dengan segala rahmat dan kasih
sayang-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Festival Cheng Bheng”.

Dalam penulisan makalah ini banyak bantuan yang diperoleh baik berupa tenaga maupun
pikiran dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini ucapan terima kasih diucapkan kepada
teman-teman yang telah membantu dalam memberikan saran dan masukan dalam penulian
makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan
kritik penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang......................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................2

1.3 Tujuan ..................................................................................................................................2

BAB II LANDASAN TEORI.....................................................................................................3

2.1 Pengertian Cheng Beng ........................................................................................................3

2.2 Asal Usul Cheng Beng.........................................................................................................4

2.3 Negara – Negara yang Merayakan Festival Cheng Beng ....................................................5

BAB III PENUTUP....................................................................................................................6

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................6

3.2 Saran......................................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penghormatan kepada leluhur yang dilakukan oleh warga Tionghoa sangat


dimotivasi oleh kesalehan filial (kepatuhan anak-anak terhadap para orangtua).
Pada umumnya para leluhur diyakini memiliki kekuatan tertentu yang kurang-
lebih sama dengan kekuatan para dewa dan dewi, oleh karena itu, para leluhur
dianggap mampu mempengaruhi para sanak kerabat mereka yang masih hidup.
Pemahaman tertentu tentang para leluhur sangat kuat dipengaruhi oleh gagasan-
gagasan tentang wujud-wujud adikodrati lainnya dalam sistem religius masyarakat
bersangkutan. Para leluhur didekati dalam doa dan dimohonkan menjadi perantara
berkat atau menjauhkan malapetaka serta kemalangan. Sikap religius yang
termasuk dalam penghormatan kepada para leluhur meliputi sikap hormat, cinta,
simpati, kadang kala rasa takut, dan satu sikap religius yang khususnya dominan
dalam kelompok-kelompok etnik Cina adalah kepatuhan anak-anak terhadap para
orangtua.

Praktik religius penghormatan kepada para leluhur juga mencakup semua


sikap dan tindakan yang biasanya ada hubungan dengan penghormatan terhadap
para dewa dan dewi serta roh-roh lainnya. “Para leluhur” adalah konsep
antorpomorfis dari kekuatan-kekuatan adikodrati. Artinya, roh-roh para leluhur
dipandang memiliki berbagai kualitas dan kapabilitas seperti seorang manusia
namun dengan satu potensi adikodrati. Begitulah yang dipahami bahwa para
leluhur dapat melihat, mendengar, merasakan, memahami dan berkomunikasi
dengan orang-orang yang masih hidup.
Hampir semua unsur dari berbagai praktek religius yang dianggap lumrah
dan berkenan dengan segala macam wujud adikodrati lainnya juga ditemukan
dalam ritus-ritus penghormatan kepada para leluhur, seperti penghormatan dan
upacara perdamaian dalam bentuk doa, kurban, persembahan, menjaga kaidah-
kaidah moral serta berbagai festival penghormatan. Bila para leluhur diyakini
memiliki kendali langsung atas berbagai urusan orang-orang yang masih hidup,
maka berkat mereka yang berkesinambungan senantiasa dimohonkan melalui
1
berbagai ritus yang diselenggarakan.4
Tradisi Cheng Beng bagi masyarakat Tionghoa di pulau Alor, yang
sebagian menjadi anggota jemaat GMIT Pola Tribuana Kalabahi merupakan
tradisi yang dilaksanakan setahun sekali.Hari Cheng Beng tidak memiliki tanggal
yang pasti dalam kalender Imlek. Hal ini dikarenakan, hari Cheng Beng
ditetapkan berdasalkan 24 Jie Qi atau perubahan musim dan iklim.5 Setelah hari
raya Imlek, masyarakat keturunan Tionghoa percaya bahwa pintu gerbang orang
meninggal terbuka, dan pada saat-saat itulah, keluarga dapat memperbaiki dan
membersihkan makam leluhur atau orangtuanya.
Sehari setelah hari Cheng Beng, dipercaya oleh masyarakat Tionghoa
sebagai hari dimana pintu gerbang orang meninggal akan tertutup. Karena itulah
masyarakat keturunan Tionghoa di Alor (Komunitas Tionghoa) mengadakan doa
bersama dan memberikan kurban persembahan berupa binatang, yang biasa
disebut homping, dengan maksud mengundang arwah orang meninggal untuk
makan bersama sebelum pintu orang meninggal tertutup. Ritus dipimpin oleh
ketua yayasan orang Tionghoa di pulau Alor (Yayasan Mulia orang Tionghoa).6
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa leluhur
mempunyai kemampuan adikodrati yang dipercaya sebagai penyelamat
(menjauhkan dari malapetaka ) dan sebagai perantara berkat, seperti halnya
Kristus dalam pemahaman orang kristen. Hal ini membuat penulis tertarik untuk
melakukan studi soteriologi terhadap ritual Cheng Beng.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Festival Cheng Beng ?


2. Bagaimana asal usul festival Cheng Beng ?
3. Negara mana saja yang merayakan Festival Cheng Beng ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Festival Cheng Beng


2. Untuk mengetahui asal usul festival Cheng Beng
3. Untuk mengetahui negara mana saja yang merayakan Festival Cheng Beng

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Cheng Beng


Di Indonesia, Festival Qing Ming atau Qing Ming jie ( 清 明 节 ) lebih
dikenal dengan istilah Cheng Beng dalam bahasa Hokkian.1Secara etimologis,
Cheng berarti „bersih‟ dan „murni‟,Bengberarti „terang‟. Cheng Beng berarti
“bersih dan terang”. Cheng Beng bagi warga Tionghoa keturunan di mana pun
mereka berada merupakan hari untuk mengenang dan menghormati para
leluhurnya.2 Konsepsi di balik Cheng Beng adalah bahwa penghormatan kepada
arwah nenek moyang atau leluhur yang sudah meninggal merupakan salah satu
bagian terpenting dari kebudayaan warga Tionghoa di Indonesia. Menurut orang
Tionghoa arwah nenek moyang atau leluhur yang sudah meninggal dapat
melindungi keturunannya dari malapetaka, dan memberkahkan rezeki bagi
mereka. 3
Hari raya Cheng Beng merupakan hari besar bagi masyarakat keturunan
Tionghoa yang dirayakan bersama seluruh keluarga. Cheng Beng merupakan hari
sembahyang leluhur. Tradisi Cheng Beng dilaksanakan setahun sekali. Tanggal
pelaksanaan hari Cheng Beng selalu berubah setiap tahunnya. Setelah hari raya
imlek masyarakat keturunan Tionghoa percaya bahwa pada hari itu pintu gerbang
orang meninggal terbuka, dan pada saat itulah, keluarga dapat mendatangi makam
leluhur atau orang tua untuk berziarah, membersihkan atau memperbaiki makam
serta bersembahyang. Dalam melaksanakan tradisi Cheng Beng, ada ritual-ritual
tertentu yang dilakukan.
Pertama, pembersihan makam. Pembersian makan dilakukan tepat pada
tanggal pelaksanaan tradisi Cheng Beng karena dalam kepercayaan masyarakat
Tionghoa hari Cheng Beng adalah hari terbukanya pintu orang meninggal,
sehingga pada saat itulah keluarga dapat melakukan pembersihan atau perbaikan
makam.
Kedua, ritual sembahyang. Sembahyang biasanya dilakukan di makam
leluhur atau orang tua yang telah meninggal, tetapi ketika keluarga berhalangan
untuk bersembahyang di makam, sembahyang bisa dilakukan di rumah.
Ketiga, ritual makan bersama. Ritual makan bersama biasanya dilakukan
setelah melaksanakan ritual sembahyang. Ritual makan bersama selain diadakan
3
oleh keluarga, ritual makan bersama juga dilakukan bersama komunitas yang
dilaksanakan satu hari setelah berkunjung ke makam leluhur atau orang tua yang
telah meninggal. Ritual makan bersama dilakukan dengan tujuan untuk
mempererat tali silaturahmi keluarga karena pada saat itulah semua kerabat dekat,
saudara dan anak-anak berkumpul. Ritual makan bersama menyatakan bahwa
adanya persaudaraan yang rukun.

2.2 Asal Usul Cheng Beng

Asal usul Festival Ceng Beng muncul pertama kali pada era Dinasti Han
(202 SM hingga 220 M). Kemudian tradisi ini menjadi familiar pada zaman
Dinasti Tang (618-907 M). Ceng Beng sendiri diciptakan Kaisar Xuanzong pada
tahun 732 (Dinasti Tang), sebagai pengganti upacara pemujaan nenek moyang
dengan cara terlalu mahal dan rumit.
Selain memiliki nama Festival Ceng Beng, festival ini juga dikenal dengan
nama lain. Festival ini juga disebut dengan Festival Qing Ming, Hari Semua
Arwah, Festival Ziarah Kuburan, Festival Bersih Terang, Hari Menyapu Kuburan,
dan Hari Peringatan Musim Semi. Untuk masyarakat Tionghoa, perayaan ini
mereka lakukan untuk mengingat dan menghormati nenek moyang mereka.
Upacara ini dianggap krusial oleh kebanyakan orang Tionghoa, bahkan beberapa
masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan
Indonesia juga masih melakukan upacara ini, lho.
Biasanya, para petani Tionghoa melaksanakan upacara ini 10 hari sebelum
atau sesudah hari Qing Ming. Saat bertepatan di hari Qing Ming, biasanya orang-
orang bepergian untuk bertemu dengan anggota keluarganya yang lain dan mulai
membajak sawah. Selain melakukan hal-hal itu, mereka juga suka bermain
layangan juga, lho, yang berbentuk binatang atau karakter dari Opera China.
Fakta unik lainnya adalah, satu hari sebelum Qing Ming adalah hari hari
Han Shi Jie yang diciptakan oleh Chong’er, seorang Bangsawan dari negara Jin.
Pada suatu hari, ia pernah tidak sengaja membunuh anak buah yang merupakan
sekaligus teman baiknya, ia bernama Jie Zhitui. Jie Zhitui beserta ibunya secara
tidak sengaja terbakar di sebuah acara pembakaran hutan karena Chong’er.
Karena hal ini, pada hari Han Shi Jie masyarakat Tionghoa tidak diizinkan
untuk memanaskan makanan mereka dan akhirnya disebut dengan Festival
4
Makanan Dingin. Nah, 300 tahun kemudian, perayaan Han Shi Jie ini
dikombinasikan dengan festival Qing Ming.
Asal-usul upacara Qing Ming ini pun konon diciptakan oleh Kaisar Xuan
Zong pada tahun 732 (Dinasti Tang) sebagai pengganti acara pemujaan nenek
moyang yang konon caranya terlalu mahal dan rumit. Untuk mempermudah
segalanya, Kaisar Xuan Zhong mengumumkan penghormatan tersebut cukup
dilakukan dengan mengunjungi kuburan nenek moyang pada hari Qing Ming.

2.3 Negara – Negara yang Merayakan Festival Cheng Beng

Festival Cengbeng (Qingming) tidak hanya dirayakan di China. Namun


negara Vietnam, Korea Selatan, dan Jepang (Pulau Ryukyu) juga merayakan
festival ini. Bahkan mereka menjadikan hari festival sebagai libur nasional. China
perantauan di Indonesia menyebutnya sebagai Festival Cengbeng.
Pada saat perayaan, masyarakat China mengunjungi dan membersihkan
makam-makam para leluhur mereka. Ketika mengunjungi makam leluhur,
masyarakat China senantiasa membawa makanan, teh dan uang tiruan sebagai
bekal untuk para arwah di alam setelah kehidupan. Festival Qingming, Perayaan
Kematian Terbesar di ChinaPenduduk meletakan bunga, makanan, dan benda-
benda kesukaan leluhur di makam (BBC Travel)
Mereka juga membawakan bunga untuk dipersembahkan kepada leluhur.
Makanan yang disajikanpun adalah makanan kesukaan, atau favorit kerabat itu
semasa hidupnya. Juga uang tiruan yang dipersembahkan, nantinya dibakar dan
didoakan supaya berkah untuk leluhur. Selain untuk menghormati para leluhur,
masyarakat China pun merayakan Festival Qingming ini untuk menghormati para
pahlawan mereka, termasuk orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Tiananmen
Square. Tidak hanya leluhur atau orang-orang yang telah meninggal, mereka juga
mengenang hewan peliharaan yang dikubur layaknya manusia.
Perayaan ini biasanya dilakukan pada tanggal 4 April, bertepatan dengan
awalnya musim semi. Selain membersihkan kuburan, rakyat China juga bermain
layang-layang, baik siang hari maupun malam. Pada malam hari mereka
menggantung lentera kecil di layangan mereka, sehingga terlihat seperti taburan
bintang yang indah.

5
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tradisi Cheng Beng ( 清 明 节 ) merupakan tradisi turun temurun yang
dilaksanakan oleh warga Tionghoa. Secara etimologis, Cheng berarti „bersih‟ dan
„murni‟, Beng berarti „terang‟. Cheng Beng berarti “bersih dan terang”. Tradisi
Cheng Beng merupakan tradisi penghormatan kepada leluhur. Konsepsi di balik
Cheng Beng adalah bahwa penghormatan kepada arwah nenek moyang atau
leluhur yang sudah meninggal merupakan salah satu bagian terpenting dari
kebudayaan warga Tionghoa.
Penghormatan kepada leluhur yang dilakukan oleh warga Tionghoa sangat
dimotivasi oleh kesalehan filial atau kepatuhan anak-anak terhadap orang tua.
Praktik religius penghormatan kepada para leluhur mencakup semua sikap dan
tindakan yang biasanya ada hubungan dengan penghormatan terhadap para dewa
dan dewi serta roh-roh lainnya. ”Para leluhur” adalah konsep antorpormofis dari
kekuatan-kekuatan adikodrati. Artinya, roh-roh para leluhur dipandang memiliki
berbagai kualitas dan kapabilitas seperti seorang manusia namun dengan satu
potensi adikodrati. Begitulah yang dipahami bahwa para leluhur dapat melihat,
mendengar, merasakan, memahami dan berkomunikasi dengan keurunan leluhur
yang masih hidup. Oleh karena itu, para leluhur diyakini mampu mempengaruhi
kehidupan keturunanya yang masih hidup. Keyakinan tersebut mendorong
keturunan dari leluhur tersebut untuk melaksanakan tradisi Cheng Beng. Para
leluhur didekati dalam doa dan dimohonkan menjadi perantara berkat atau
menjauhkan malapetaka serta kemalangan.

dengan pandangan warga Tionghoa. Warga Tionghoa menyatakan


penghormatan kepada orang tua tidak hanya terbatas ketika orang tua masih hidup
melainkan juga ketika orang tua telah meninggal. Sikap yang demikian dilandasi
oleh pemahaman warga Tionghoa terhadap kehidupan setelah kematian. Bagi
warga Tionghoa, Kematian bukan akhir dari kehidupan melainkan masih ada
kehidupan setelah kematian, yang berarti masih ada kelanjutan hubungan antara
leluhur atau orang tua yang telah meninggal dengan keluarga yang masih hidup.

6
3.2 Saran

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Kebudayaan


mengandung gagasan, ide-ide, nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur
kehidupan dan perilaku seseorang. Kebudayaan merupakan sesuatu yang
diwariskan turun temurun yang merupakan identitas dan jati diri seseorang.

Hilangnya budaya berarti kehilangan identitas dan jati diri. Oleh karena itu
diharapkan agar masyarakat dapat melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam kebudayaan yang ada ditengah masyarakat.Yang terutama,
Pemuda-pemudi juga seharusnya diajarkan dan diminta untuk terlibat dalam
tindakan pelestarian kebudayaan yang ada ditengah masyarakat karena pada
kenyataannya, pelaku-pelaku kebudayaan yang ada di zaman sekarang ini
hanyalah orang-orangtua yang ada dalam masyarakat.

7
DAFTAR PUSTAKA

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika 3. Surabaya : Penerbit Momentum, 2011.


Berkhof, Louis. Teologi Sistematika 4. Surabaya: Momentum Christian Literatur,
2014.
Dinaviriya, Festival Qing Ming atau Cheng Beng, diakses dari
http://dinaviriya.com/festival-qing-ming-cheng-beng/, pada tanggal 01
Agustus 2017 pukul 09.00 WIB
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 1. Yogyakarta : Penerbit Kanisiue, 2004.
Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2004.
Faisal, Sanapiah. Format-format penelitian social. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada,2003.
Groenen, C. Sejarah Dogma Kristologi . Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1988.
Heuken, A. Ensiklopedia Gereja, jilid IV. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Cakra,
1995.
Hoekema, Anthony A. Diselamatkan oleh Anugerah. Surabaya: Penerbit
Momentum, 2010.
Jebadu,Alex. Bukan Berhala : Penghormatan Kepada Para Leluhur. Maumere :
Penerbit Ledalero, 2009.
Koentjaraningrat. Metode-metode penelitian masyarakat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1997.
Nuban Timo,Ebenhaizer I. Allah Menahan Diri tetapi Pantang Berdiam Diri.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Sitomorang, T.H. Jonas. Soteriologi : Doktrin Keselamatan. Yogyakarta :
Penerbit ANDI, 2015.
Tanggok, Ikhsan M. Keselamatan Melalui Agama Konghucu. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
Usman, A. Rani. EtnisCina Perantauan di Aceh. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia, 2009.
Yewangoe, A.A. Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004.
Yuanzhi, Kong. Silang Budaya : Indonesia-Tiongkok. DKI Yogyakarta : PT
Bhuana Ilmu Populer , 2005.

Anda mungkin juga menyukai