Segala puji hanya bagi Tuhan semesta alam. Karena dengan segala rahmat dan kasih
sayang-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Festival Cheng Bheng”.
Dalam penulisan makalah ini banyak bantuan yang diperoleh baik berupa tenaga maupun
pikiran dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini ucapan terima kasih diucapkan kepada
teman-teman yang telah membantu dalam memberikan saran dan masukan dalam penulian
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan
kritik penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................6
3.2 Saran......................................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
2
BAB II
LANDASAN TEORI
Asal usul Festival Ceng Beng muncul pertama kali pada era Dinasti Han
(202 SM hingga 220 M). Kemudian tradisi ini menjadi familiar pada zaman
Dinasti Tang (618-907 M). Ceng Beng sendiri diciptakan Kaisar Xuanzong pada
tahun 732 (Dinasti Tang), sebagai pengganti upacara pemujaan nenek moyang
dengan cara terlalu mahal dan rumit.
Selain memiliki nama Festival Ceng Beng, festival ini juga dikenal dengan
nama lain. Festival ini juga disebut dengan Festival Qing Ming, Hari Semua
Arwah, Festival Ziarah Kuburan, Festival Bersih Terang, Hari Menyapu Kuburan,
dan Hari Peringatan Musim Semi. Untuk masyarakat Tionghoa, perayaan ini
mereka lakukan untuk mengingat dan menghormati nenek moyang mereka.
Upacara ini dianggap krusial oleh kebanyakan orang Tionghoa, bahkan beberapa
masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan
Indonesia juga masih melakukan upacara ini, lho.
Biasanya, para petani Tionghoa melaksanakan upacara ini 10 hari sebelum
atau sesudah hari Qing Ming. Saat bertepatan di hari Qing Ming, biasanya orang-
orang bepergian untuk bertemu dengan anggota keluarganya yang lain dan mulai
membajak sawah. Selain melakukan hal-hal itu, mereka juga suka bermain
layangan juga, lho, yang berbentuk binatang atau karakter dari Opera China.
Fakta unik lainnya adalah, satu hari sebelum Qing Ming adalah hari hari
Han Shi Jie yang diciptakan oleh Chong’er, seorang Bangsawan dari negara Jin.
Pada suatu hari, ia pernah tidak sengaja membunuh anak buah yang merupakan
sekaligus teman baiknya, ia bernama Jie Zhitui. Jie Zhitui beserta ibunya secara
tidak sengaja terbakar di sebuah acara pembakaran hutan karena Chong’er.
Karena hal ini, pada hari Han Shi Jie masyarakat Tionghoa tidak diizinkan
untuk memanaskan makanan mereka dan akhirnya disebut dengan Festival
4
Makanan Dingin. Nah, 300 tahun kemudian, perayaan Han Shi Jie ini
dikombinasikan dengan festival Qing Ming.
Asal-usul upacara Qing Ming ini pun konon diciptakan oleh Kaisar Xuan
Zong pada tahun 732 (Dinasti Tang) sebagai pengganti acara pemujaan nenek
moyang yang konon caranya terlalu mahal dan rumit. Untuk mempermudah
segalanya, Kaisar Xuan Zhong mengumumkan penghormatan tersebut cukup
dilakukan dengan mengunjungi kuburan nenek moyang pada hari Qing Ming.
5
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tradisi Cheng Beng ( 清 明 节 ) merupakan tradisi turun temurun yang
dilaksanakan oleh warga Tionghoa. Secara etimologis, Cheng berarti „bersih‟ dan
„murni‟, Beng berarti „terang‟. Cheng Beng berarti “bersih dan terang”. Tradisi
Cheng Beng merupakan tradisi penghormatan kepada leluhur. Konsepsi di balik
Cheng Beng adalah bahwa penghormatan kepada arwah nenek moyang atau
leluhur yang sudah meninggal merupakan salah satu bagian terpenting dari
kebudayaan warga Tionghoa.
Penghormatan kepada leluhur yang dilakukan oleh warga Tionghoa sangat
dimotivasi oleh kesalehan filial atau kepatuhan anak-anak terhadap orang tua.
Praktik religius penghormatan kepada para leluhur mencakup semua sikap dan
tindakan yang biasanya ada hubungan dengan penghormatan terhadap para dewa
dan dewi serta roh-roh lainnya. ”Para leluhur” adalah konsep antorpormofis dari
kekuatan-kekuatan adikodrati. Artinya, roh-roh para leluhur dipandang memiliki
berbagai kualitas dan kapabilitas seperti seorang manusia namun dengan satu
potensi adikodrati. Begitulah yang dipahami bahwa para leluhur dapat melihat,
mendengar, merasakan, memahami dan berkomunikasi dengan keurunan leluhur
yang masih hidup. Oleh karena itu, para leluhur diyakini mampu mempengaruhi
kehidupan keturunanya yang masih hidup. Keyakinan tersebut mendorong
keturunan dari leluhur tersebut untuk melaksanakan tradisi Cheng Beng. Para
leluhur didekati dalam doa dan dimohonkan menjadi perantara berkat atau
menjauhkan malapetaka serta kemalangan.
6
3.2 Saran
Hilangnya budaya berarti kehilangan identitas dan jati diri. Oleh karena itu
diharapkan agar masyarakat dapat melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai yang
terkandung di dalam kebudayaan yang ada ditengah masyarakat.Yang terutama,
Pemuda-pemudi juga seharusnya diajarkan dan diminta untuk terlibat dalam
tindakan pelestarian kebudayaan yang ada ditengah masyarakat karena pada
kenyataannya, pelaku-pelaku kebudayaan yang ada di zaman sekarang ini
hanyalah orang-orangtua yang ada dalam masyarakat.
7
DAFTAR PUSTAKA