Anda di halaman 1dari 16

CINGCOWONG

Oleh:
Decequen Putri Setiadi
Kelas

PEMERINTAH PROVINSI
DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMA NEGERI
1945
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah

ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas seni

dan budaya cingcowong.

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari

berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama

mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak, terutama guru pembimbing yang telah

membantu menyusun makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada

makalah ini. Oleh karena itu kami menyarankan kepada pembaca untuk

memberikan kritikan yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah

selanjutnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................................... 1

C. Tujuan...................................................................................................... 2

D. Manfaat.................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Cingcowong........................................................................... 3

B. Sejarah Cingcowong................................................................................ 3

C. Pertunjukan Acara Ritual Cingcowong................................................... 7

D. Tata Cara Pertunjukan Upacara Ritual Cingcowong............................... 9

E. Perkembangan Upacara Cingcowong...................................................... 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................. 12

B. Saran........................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyaknya suku bangsa, telah menjadikan budaya dan Seni di

Kabupaten Kuningan begitu beraneka, unik dan menarik. Semua anugerah ini

milik kita bangsa Indonesia, yang dapat kita jadikan sebagai sumber untuk

menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta sebagai aset untuk

menyejahterakan bangsa dan negara.

Agar kita dapat merasakan dan mensyukuri nikmat Tuhan yang telah

diberikan serta dapat memanfaatkan aset yang kita miliki seoptimal mungkin,

kita sebagai bangsa Indonesia perlu mengenal apa yang kita miliki, kita akan

menjadi lebih bangga sebagai bangsa Indonesia. Informasi tentang keindahan

dan daya tarik seni dan budaya yang tersebar di Kabupaten Kuningan dicoba

disajikan pada makalah ini, yang baru memuat sebagian informasi tentang seni

dan budaya yang ada di Kabupaten Kuningan dan secara bertahap kami akan

melengkapi informasi tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari cingcowong?

2. Bagaimana sejarah cingcowong yang ada di kabupaten kuningan?

3. Alat apa saja yang digunakan pada upacara ritual cingcowong?

4. Bagaimana tata cara pertunjukan ritual cingcowong?

5. Bagaimana perkembangan upacara cingcowong?

1
2

C. Tujuan

Melihat rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini

adalah:

1. Dapat mengerti dan memahami pengertian cingcowong.

2. Dapat mengerti dan memahami sejarah cingcowong.

3. Dapat mengetahui alat-alat yang digunakan pada upacara ritual

cingcowong.

4. Dapat mengetahui dan memahami perkembangan upacara cingcowong

yang ada pada daerah tersebut.

D. Manfaat

Dengan mempelajari seni dan budaya kita dapat mengetahui dan

memperoleh pemahaman tentang seni dan budaya yang ada di suatu daerah

tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Cingcowong

Cingcowong adalah salah satu upacara ritual untuk meminta hujan. Kata

cingcowong sendiri menurut etimologis atau bahasa terbagi menjadi dua yaitu

cing dan cowong. Cingcowong berasal dari kata cing dan cowong. Kata cing

dalam kamus bahasa Indonesia-Sunda, Sunda-Indonesia, memiliki arti yang

sama dengan kata cik, yang berarti coba dalam bahasa Indonesia. Kata

cowong dalam bahasa Indonesia berarti biasa berbicara keras. Jadi dari segi

bahasa cingcowong memiliki arti coba (biasa) berbicara keras atau biasa

dilakukan dengan bicara yang keras. Sementara menurut beberapa pengertian

di antaranya menyebutkan bahwa cingcowong adalah cing yang berarti

meminta atau memohon dan cowong adalah orang-orangan. Cingcowong

adalah nama orang-orangan atau sejenis boneka yang dijadikan media dalam

upacara ritual meminta hujan.

B. Sejarah Cingcowong

Kabupaten Kuningan bila dilihat dari kehidupan masyarakatnya ternyata

tidak terlepas dari adat istiadat atau budaya di sekitar, di Dusun Wage Desa

Luragunglandeuh Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan sudah menjadi

kebiasaan jika daerah tersebut dilanda kemarau berkepanjangan, maka

dilakukan upacara ritual meminta hujan yang dinamakan cingcowong.

Masyarakatnya pun percaya bahwa setelah melakukan upacara ritual tersebut

3
4

hujan akan segera turun. Upacara ritual cingcowong ini diperkirakan sudah

ada ± 632 tahun.

Pada awalnya masyarakat yang berada di Dusun Wage Desa

Luragunglandeuh Kecamatan Luragung Kabupaten Kuningan mengalami

kekeringan terhadap mata pencaharian mereka, segala upaya sudah dilakukan

akan tetapi masih saja tidak ada hasilnya. Pada situasi tersebut, Rantasih yang

merupakan leluhur Nawita mengajak pada masyarakat sekitar untuk berusaha

mengatasi keadaan yang dialami. Rantasih mengajak masyarakat untuk

berusaha mengatasi keadaan yang dialami. Ia kemudian mengajak masyarakat

untuk mencari sumber mata air, tetapi usahanya gaga! karena masyarakat yang

sudah terlanjur putus asa ajakannya. Dalam keadaan demikian Rantasih tidak

berputus asa ia mempunyai keyakinan bahwa hujan akan segera turun.

Pada saat Rantasih kesulitan mengumpulkan masyarakat untuk bersama-

sama berdoa muncul gagasan untuk memukul ceneng berulang kali sehingga

masyarakat berkumpul. Upaya tersebut ternyata cukup berhasil, ia kemudian

menyampaikan petunjuk yang datang pada saat tirakat, yaitu dengan cara tidak

makan, tidak minum dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam, bahwa cara

meminta hujan adalah dengan cara melakukan upacara ritual melalui media

cingcowong.

Ritual ini terwujud dalam bentuk upacara melalui kekuatan gaib yang

dipercaya penduduk setempat dapat mendatangkan berkah berupa hujan.

Pelaksanaan ritual ini menggunakan medium berupa boneka yang terbuat dari

tempurung kelapa dan alat penangkap ikan yang disebut bubu. Upacara ini

merupakan ritual yang bergantung pada seorang punduh untuk melakukannya.


5

Punduh adalah orang yang memiliki kemampuan khusus di bidang agama atau

kepercayaan setempat yang diperoleh karena inisiatif sendiri dan dianggap

memiliki kecakapan khusus untuk berhubungan dengan makhluk astral dengan

kekuatan supranatural. Karena pada saat itu masyarakat tersebut

kepercayaannya masih kepada animisme dan dinamisme. Berdasarkan

kenyataan yang ada, upacara ini diturunkan dari satu generasi yang lain, dari

punduh ke punduh berikutnya. Setiap generasi hanya memiliki satu orang

punduh.

Punduh ini berasal dari keluarga yang sama dari punduh sebelumnya,

dan selalu diturunkan pada perempuan. Upacara cingcowong mengalami

proses regenerasi (pewarisan) secara alamiah, artinya tidak ada unsur

pemaksaan terhadap generasi penerusnya, yang panting pewarisnya harus dari

satu keturunan yang mempunyai ikatan darah. Punduh pertama tidak diketahui

namanya, namun punduh yang pertama kali dikenal bernama Rantasih, ia

kemudian mewariskannya kepada putrinya yang bernama Rasih yang

mengelola upacara ini sampai tahun 1930 dan meninggal dalam usia 90 tahun

sebagai generasi kedua pengelola upacara cingcowong. Tahun 1930 sampai

tahun 1980, upacara cingcowong dikelola oleh Suki yang merupakan cucu

dari Rantasih. Suki meninggal dalam umur 70 tahun sebagai generasi ketiga

sebagai pengelola upacara cingcowong. Sejak tahun 1981 sampai sekarang,

upacara cingcowong dikelola Nawita, cucu dari Rasih dan merupakan generasi

keempat.

Sosok Nawita tidak bisa dipisahkan dari tradisi upacara cingcowong,

karena saat ini ia merupakan satu-satunya punduh (kuncen) Cingcowong yang


6

berusaha untuk mempertahankan tradisi upacara masyarakat kampung Wage,

Cesa Luragunglandeuh, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan. Nawita

merupakan penerus/pewaris upacara ritual cingcowong. Menurutnya, upacara

cingcowong merupakan tradisi yang diturunkan secara turun temurun dari

leluhurnya yang memiliki hubungan dara kepada ahli waris keturunannya.

Nawita merupakan generasi penerus keempat. Menurutnya ia diwarisi tradisi

ini ketika berumur 30 tahun dari saudara perempuan ayahnya (mungkin

bibinya) yang bernama Rasih yang meninggal di usia 70 tahun. Ketika dalam

keadaan sakit ia berpesan agar Nawita tetap meneruskan kebiasaan upacara

ini. Nawita mengungkapkan bahwa bila ia meninggal kelak maka generasi

penerus selanjutnya adalah cucunya yang bernama Nining.

Menurutnya regenerasi pada cucunya ini pun sudah disetujui oleh

boneka yang dianggapnya sebagai bidadari titisan empat puluh bidadari.

Menurut Nawita jika orang lain yang melakukan ritual, yang tidak memiliki

ikatan darah dengan leluhurnya maka boneka cingcowong tidak akan mau

bergerak sebagai pertanda tidak ada persetujuan.

Menurut Nawita, seorang punduh dipilih bukan karena kedekatan atau

telah direncanakan terlebih dahulu tetapi berdasarkan panggilan batinnya atau

atas dasar bisikan gaib. Kemudian calon punduh yang terpilih akan diwariskan

mantra pemanggil hujan serta tata cara pemanggilan hujan. Calon punduh

tersebut juga diwajibkan terlebih dahulu melakukan puasa sebelum ia di bekali

kemampuan menjalankan tradisi Cingcowong sebagai punduh.

Adapun cara mewariskan penyelenggaraan ritual ini menurut Nawita

adalah pertama dengan selalu melibatkan calon pewarisnya untuk ikut serta
7

dalam pergelaran ritual dengan tugas untuk memegangi "raga" atau boneka

ketika dilaksanakannya ritual ini, apabila si calon pewaris mampu menguasai

boneka ketika boneka kerasukan jin dan tidak tertawa, itu pertanda bahwa

calon diterima atau disetujui oleh si boneka, kemudian tahap berikutnya si

calon harus menjalani puasa dan tidak boleh tidur di malam hari selama tiga

hari, dan selanjutnya apabila akan melakukan pagelaran atau ritual harus

melakukan puasa terlebih dahulu minimal satu hari, tetapi sebaiknya tiga hari.

Seizin itu tentu saja ada mantra-mantra yang harus dibaca ketika akan

melakukan upacara tersebut. Fungsi upacara cingcowong di Desa

Luragunglandeuh adalah sebagai ritual yang dipercayai oleh masyarakat

setempat dapat menurunkan hujan, dengan kata lain merupakan kepercayaan

leluhur mereka di zaman dahulu, tetapi dengan semakin berkembangnya

pengetahuan masyarakat tentang Agama Islam, kepercayaan ini semakin

luntur, sehingga sekarang hanya dianggap sebagai budaya atau kebiasaan saja

meskipun menurut masyarakat apabila ritual ini diselenggarakan hujan

memang turun.

C. Pertunjukan Acara Ritual Cingcowong

Kita sudah mengetahui bahwa setiap upacara ritual pasti membutuhkan

alat-alat sebagai syarat berjalannya sebuah ritual, begitu pula cingcowong

mempunyai beberapa alat sebagai media juga syarat di antaranya:

1. Alat-alat upacara cingcowong


8

a. Satu buah taraje adalah sebagai jalan untuk menyambut turunnya

arwah lelembut atau dari peribahasa menyambut turunnya bidadari dari

kayangan.

b. Satu buah samak/tikar adalah sebagai alas tempat duduk pagelaran

tersebut.

c. Boneka cingcowong yang terbuat dari batok kelapa yang dilukis

menyerupai putri cantik dengan badan terbuat dari rangkaian bambu

yang diberi baju-baju dan sampur (selendang) serta dibelit kalung yang

terbuat dari bunga kemboja.

d. Sisir dipergunakan untuk menata rambut boneka cingcowong pada saat

upacara berlangsung. Punduh berpura-pura menyisir rambut boneka

agar terlihat rapi dan cantik.

e. Carmin sebagai memperlihatkan bentuk raut wajah boneka

cingcowong kepada para bidadari yang akan merasuki tubuh boneka

cingcowong.

2. Waditra yang digunakan saat prosesi upacara ritual cingcowong

a. Bokor sebagai waditra saat pelaksanaan ritual cingcowong

b. Kipas yang terbuat dari bambu yang dianyam (hihid) sebagai alat

pukul buyung agar menghasilkan suara yang dapat mengiringi mantra

dari sang punduh dan sinden

c. Buyung sebagai alat pengiring punduh pembaca mantra dan sinden

d. Dua buah ruas kayu sepanjang 40 cm sebagai alat pukul bokor.

3. Cingcowong ini dimainkan oleh:

a. Satu orang punduh (pemandu)


9

b. Dua orang pemegang sampur ketika digerakkan (gerak mirip

jalangkung)

c. Dua orang pemain /penabuh buyung yang dipukul oleh kipas/hihid dan

satu orangnya lagi memainkan alat musik ceneng yang terbuat dari

bahan kuningan, properti pendukung lainnya yaitu: berupa sesajen

seperti menyan, kaca, sisir, dan ember.

D. Tata Cara Pertunjukan Upacara Ritual Cingcowong

Sebelum melaksanakan upacara ini syaratnya adalah boneka

cingcowong, seorang punduh dari beberapa orang sebagai pembantu punduh

dan sesaji. Persiapan khusus bagi seorang punduh yaitu harus puasa selama 2

(dua) hari sebelum hari pelaksanaan upacara ritual cingcowong. agar ritualnya

berjalan lancar tidak mendapat hambatan.

Persiapan yang harus dilakukan seorang punduh yaitu:

1. Mempersiapkan boneka dengan cara mendandani boneka cingcowong dan

memakaikan aksesoris bunga kemboja sebagai kalungnya yang diambil

dari pemakaman yang dipercaya pusat dari sisi gaib di daerah tersebut, dan

aksesoris lainnya seperti anting dan sabuk dari kain katun warna putih.

2. Mempersiapkan sesajen di antaranya: telur asin, tumpeng kecil atau

congcot, cerutu, gula batu, aneka panganan kue, kembang tujuh rupa.

3. Membawa boneka dan beraneka ragam sesajen ke parit (comberan)

terdekat dan menyimpannya di tepi comberan tersebut selama satu malam.

Konon roh-roh yang akan membantu punduh itu bertempat di tempat-

tempat kotor.
10

4. Mempersiapkan peralatan yang nanti bakal dipakai dalam upacara. Seperti:

Taraje, tikar, ember berisi air bunga tujuh rupa, cermin kecil, sisir, dan

kemenyan serta anglo untuk membakar kemenyan tersebut.

5. Ibu Narwita selaku punduhnya harus melakukan puasa selama tiga hari

atau minimal satu hari sebelum upacara cingcowong.

6. Tahap pelaksanaan upacara cingcowong yaitu: membawa seluruh

peralatan yang akan dipakai pada saat upacara cingcowong tersebut.

Lirik atau mantra cingcowong:

Cingcowong, cingcowong, cingcowong

Bil guna bil lembayung

Sa la la la leunggut

Leunggut angge dani

Aya panganten anyar aya panganten anyar

Li li li li pring

Denok simpering ngalilirong

Mas brojol gedog

Mas brojol gedog

Li li li guling

Gulingna sukma katon

Gelang gelang layoni

Layoni putra maukun

Maukun mangundang dewa aning dewa

Aning sukma bidadari lagi teka

Jak rujak, rujak ranting


11

Kami junjang kami loko

Pajulo julo

Temu miring mana liko

Setelah bait terakhir kemudian kembali ke bait pertama sampai selesai

selama tiga kali.

E. Perkembangan Upacara Cingcowong

Seiring berjalannya waktu kebiasaan masyarakat ini pun menjadi sebuah

tradisi yang menjadi sebuah bahan untuk penelitian kehidupan masyarakat

zaman dahulu (kuno) banyak dari masyarakat sekarang yang mengembangkan

tradisi ini menjadi sebuah pertunjukan seni yang berguna untuk pelestarian

budaya lokal. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan

mencoba membuat satu tarian cingcowong dan tarian ini merupakan salah satu

usaha agar seni tradisi tidak menjadi punah. Pertunjukan tari cingcowong

tidak lagi sebagai seni ritual tetapi sudah dikembangkan dan diangkat menjadi

seni pertunjukan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman sehingga

sekarang seni tari cingcowong berkembang dan sering ditampilkan pada acara-

acara seremonial baik kebutuhan menyambut tamu Pemerintah dan acara

hiburan lainnya oleh seniman-seniman di Kabupaten Kuningan.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Seni dan budaya adalah kata yang berbeda. Seni adalah sesuatu yang

diciptakan manusia yang mengundang unsur keindahan. Budaya merupakan

asal dari bahasa sansakerta yaitu budaya, yang merupakan bentuk jamak dari

buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi

dan akal.

Dari pengertian di atas jelas bahwa seni adalah segala hal yang

diciptakan manusia dengan pancaindra yang mengandung unsur keindahan

dengan berbagai macam bentuk kesenian, dan kebudayaan adalah segala

sesuatu yang tertanam dalam diri manusia yang dipengaruhi oleh akal.

Secara umum, pengertian seni budaya adalah segala sesuatu yang

diciptakan manusia mengenai cara hidup berkembang secara bersama pada

suatu kelompok yang mengandung unsur keindahan (estetika) secara turun

temurun dari generasi ke generasi.

B. Saran

Agar masyarakat untuk lebih mengenal dan mencintai seni dan budaya,

sekaligus sebagai upaya menumbuhkan minat untuk lebih mengenal seni dan

budaya di Kabupaten Kuningan khususnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Pemerintah Kabupaten Kuningan. 2013. Profil Seni dan Budaya Kabupaten


Kuningan. Kuningan: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai