Anda di halaman 1dari 14

TIPOLOGI BUDAYA PENGINYONGAN DALAM RELIGI,

TRADISI DAN SENI

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Kebudayaan Islam dan Lokal
Dosen pengampu: Dwi Priyanto, S. Ag., M. Pd.

Disusun oleh:
1. Aprilia Dwi Mulyanti 234110402294
2. Ayu Mukti Sari 234110402305
3. Muhammad Silmi Almas Syauqi 234110402321
4. Rosy Indah Maharani 234110402331
5. Vita Arifatuzzain 234110402336

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K. H. SAIFUDDIN ZUHRI


PURWOKERTO

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
nikmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Tipologi Budaya Penginyongan Dalam Religi, Tradisi dan Seni”
dengan tepat pada waktunya.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Sejarah Kebudayaan Islam dan Lokal. Tak hanya itu, kami juga berharap
makalah ini bisa bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Walaupun demikian, kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kata, kami berharap semoga makalah
ini bisa memberikan informasi dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Kami
juga mengucapkan terima kami kepada para pembaca yang telah membaca makalah
ini hingga akhir.

Purwokerto, 28 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3
A. Pengertian Tipologi Budaya Penginyongan .................................. 3
B. Tipologi Budaya Penginyongan Religi ......................................... 3
C. Tipologi Budaya Penginyongan Tradisi ....................................... 5
D. Tipologi Budaya Penginyongan Seni ............................................ 6
BAB III PENUTUP .................................................................................. 10
A. Kesimpulan .................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada prinsipnya kebudayaan Banyumas merupakan bagian tak terpisahkan dari


kebudayaan Jawa, namun dikarenakan kondisi dan letek geografis yang jauh dari
pusat kekuasaan keraton. Dengan demikian latar belakang kehidupan dan
pandangan masyarakat Banyumas sangat dijiwai oleh semangat kerakyatan yang
mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari
budaya Jawa (kearaton) Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas
telah membawanya pada penampilan (perilaku) yang jika dilihat dari kacamata
budaya keraton terkesan kasar dan rendah.

Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasi


semangat kerakyatan, cablaka (transparancy) explosure (terbuka) dan dibangun dari
kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan
demikian karena disebabkan wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari
kerajaankerajan besar (Jogyakarta,Surakarta). Hal demikian mengakibatkan
perkembangan kebudayaannya secara umum berlangsung lebih lambat dibanding
dengan kebudayaan negarigung keraton.

Bahasa penginyongan dari kata Inyong (saya) merupakan bahasa ibu asli Jawa
Banyumasan. Penggunaan bahasa ibu memang sangat penting bagi masyarakat
daerah, sebab menunjukkan suatu ciri khas tersendiri dari budaya daerah tersebut.
Dimulai dari kebiasaan sehari-hari mengenal budaya termasuk dalam berbahasa ini
merupakan tanggung jawab masyarakat dan generasi muda sebagai pewaris budaya
dan kebudayaan sangat penting untuk mempertahankan penggunaan bahasa ibu.

Bahasa ibu merupakan aset yang melekat pada setiap daerah, sehingga
penggunaan bahasa ibu dianggap memiliki peran penting. Sekarang ini penggunaan
bahasa dialek Banyumasan khususnya sudah mulai luntur penggunaannya, dan

1
tentu saja ini menjadi tugas generasi penerus untuk terus memakai dan
melestarikan bahasa ibunya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Tipologi Budaya Penginyongan?
2. Bagaimana Tipologi Budaya Penginyongan Dalam Religi?
3. Bagaimana Tipologi Budaya Penginyongan Dalam Tradisi?
4. Bagaimana Tipologi Budaya Penginyongan Dalam Seni?

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian dari Tipologi Budaya Penginyongan.
2. Mengetahui Tipologi Budaya Penginyongan Dalam Religi.
3. Mengetahui Tipologi Budaya Penginyongan Dalam Tradisi.
4. Mengetahui Tipologi Budaya Penginyongan Dalam Seni.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tipologi Budaya Penginyongan

Penginyongan adalah sebuah istilah atau kata yang umumnya digunakan oleh
orang Banyumas dalam keseharian untuk menceritakan atau menggambarkan
tentang dirinya. Kata ini memiliki dasar inyong yang berarti saya atau aku.
Penginyongan sendiri mempresentasikan orang-orang atau bahasa atau budaya
yang berasal dari wilayah Banyumas.

Orang-orang Banyumas yang berada di perantauan rajin membentuk paguyuban-


paguyuban Banyumasan dan kata penginyongan biasanya dipakai sebagai salah
satu identitas paguyuban-paguyuban tersebut. Dengan kriteria itu maka yang
disebut wong Banyumas itu bukanlah yang hanya orang-orang yang kini tinggal
menetap menjadi penduduk di wilayah Banyumas bekas Karisidenan Bnyumas
(empat wilayah kabupaten Banyumas: Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara dan
Cilacap) saja.

Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasis


emangat kerakyatan, cablaka (transparency), explosure (terbuka), dan dibangun
dari kehidupan masyarakat yang berpola demikian karena disebabkan wilayah
kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian karena disebabkan
wilayah Bnyumas merupakan wilayah pinggir dari kerajaan-kerajaan besar (Jogja,
Surakarta). Orang Jawa memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai
kebudayaan Banyumas, selain memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial kuna yang
khas, juga memiliki logat Banyumas yang berbeda.

B. Penginyongan dalam Religi

Kehidupan Religi Agama adalah merupakan unsur yang paling penting di dalam
kehidupan manusia untuk membentuk jati diri sipemeluknya. Masyarakat di
wilayah Kabupaten Banyumas secara mayoritas memeluk agama Islam, dan
selebihnya beragama Kristen, Budha, dan Hindu. Hal ini bisa dilihat dari sarana
peribadatan yang ada. Data dari kantor agama Kabupaten Banyumas tahun 2003,

3
yang tercatat, seperti Masjid sebanyak 1.385, Musholla 302, Langgar 5.087, Gereja
Katholik 11, Gereja Kristen 85, Vihara 17, dan Pura 3. Semua tempat peribadatan
tersebut tersebar di 29 wilayah kecamatan, yang masing-masing kecamatan
jumlahnya tidak sama.

Di daerah Banyumas ada juga beberapa tempat yang dikeramatkan oleh sebagian
atau sekelompok orang. Air, gunung, pohon gua, petilasan, dan makam dapat
menjadi keramat. Makam terutama makam leluhur seperti Gunung Srandil, Makam
daun Lumbung, Makam Dawuhan di Banyumas, Ardi Lawet di Purbalingga,
Makam Selomanik di Banjarnegara, Makam Ki Mranggi dan Gua Masigit Selo di
Nusakambangan. Yang berwujud air yaitu Banyumudal(sumber air) di Desa
Karangsari, Banyumas, Sumur mini dibelakang pendopo Kabupaten Banyumas
Lama dan Sendheng Padepokan Mayunh di daerah Wingon yaitu khusus untuk
kepentingan wisuda atau ujian calon Lengger sekitar Wangon dan Cilacap.

Di sisi kanan bangunan induk gedung Pemerintah daerah Kabupaten Banyumas


ada juga sebuah ruangan untuk menyimpan benda-benda bersejarah peninggalan
Pangeran Diponegoro.Benda tersebut yaitu Tombak Kyai Tunggul dan Kyai
Ceblaka dan bendera kuno yang konon milik pasukan Diponegoro, bertuliskan
kalimat tauhid berhuruf Arab La Ilaha illahlah muhammadarrasulullahi.

Namun demikian, kegiatan religi yang dilakukan masyarakat Banyumas masih


memadukan budaya yang sudah dimiliki sebelumnya dimana dapat dikategorikan
sebagai wujud sinkretisme. Sinkretisme adalah pencampuran antara Islam dengan
unsur-unsur lokal (Ulil Abshar Abdalla, 2002:458). Hal ini sependapat dengan
Ahimsa Putra (2001:355), bahwa sinkretisme pada prinsipnya merupakan hasil
yang dicapai dari proses untuk mengolah, menyatukan, mengkombinasikan dan
menyelaraskan dua sistem atau lebih, yang berlainan atau bahkan berlawanan
sehingga terbentuk sistem prinsip baru dan menjadikan berbeda dengan prinsip
sebelumnya.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Banyumas akrab sekali dengan foklor yang
sangat dipengaruhi oleh ajaran animisme-dinamisme dan perkembangan Islam

4
abangan. Kepercayaan terhadap takhayul, kekuatan-kekuatan supranatural yang
melingkupi hidup manusia dan kepercayaan tentang ketuhanan menggambarkan
pencampuran antara sistem kepercayaan dan ajaran agama. Contoh konkrit yang
dapat dijumpai dalam mantramantra tradisional. Seorang berjalan ditempat-tempat
yang angker pada tengah hari atau sendekala, akan mengucapkan mantra tradisional
“humilah millahum mbah putune bade atau ajeng liwat”, “cempe-cempe undangena
barat gedhe tek upahi jangan tempe”.

C. Penginyongan Dalam Tradisi


1. Slametan

Bagi orang jawa, slametan yang di laksanakan secara turun menurun adalah
sebuah proses mistik, yang mana merupakan tahap awal dari proses dalam
pencarian keselamatan (slamet), yang kemudian di ikuti pleh mayoritas orang
Jawa untuk menuju tahap yang paling akhir, kesatuan kepada Tuhan. Aspek
terpenting dalam upacara slametan adalah mitos kepercayaan. Tanpa hadirnya
mitos kepercayaan, tentu upacara ini tidak memiliki roh, yang berarti akan
mudah ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, upacara
slametan dianggap sebagai salah satu elemen kebudayaan Jawa yang paling sulit
untuk berubah dibanding dengan elemen kebudayaan Jawa lainnya.

Slametan merupakan bentuk penerapan sosio-religius orang jawa, praktek


perjamuan yang dilaksanakan bersama-sama dengan para tetangga, sanak
keluarga, temen dan sahabat. Para ahli menyebutkan bahwa slametan pada
awalnya adalah bentuk upacara penganut animisme. Ketika agama Islam masuk
ke Jawa para wali mengadakan pendekatan. Unsur-unsur dalam upacaranya
tidak dihapuskan seluruhnya, tetapi beberapa do'a diganti dan disesuaikan
dengan do'a dalam ajaran Islam.Maka dari itu kebudayaan Jawa bercampur
dengan tradisi Islam menjadi satu kesatuan yang utu (sinkertis). Biasanya
manusia Jawa sangat menganggap penting tiga hal di bawah ini:

a) Saat kelahiran
b) Saat perkawinan

5
c) Saat Kehamilan
d) Saat kematian

Slametan yang di laksanakan biasanya berkaitan dengan tata ucapan dari tiga
hal atau fase di atas. Dapat dikatakan bahwa tradisi slametan adalah hal yang
perlu dilakukan untuk bersedekah dan dapat digunakan sebagai simbolis penolak
bala bagi keluarga yang mengadakan slametan.

2. Tradisi Mitoni (Tujuh Bulanan)

Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang
sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagiaan masyarakat Jawa. Upacara
mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang di
lakukandilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan
dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung
senantiasa memperoleh keselamatan.

Selain itu, tedapat suatu aspek solidaritas primordial terutama adalah adat
istiadat yang secara turun menurun dilesta kelompok sosialnya. Mengabaikan
adat istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang
bersangkutan dimata kelompok social masyarakatnya.

D. Penginyongan Dalam Seni

Di daerah Banyumasan terdapat berbagai kesenian yang sejak lama tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Pertumbuhanaya mengalami pasang
surut sesuai perkembangan zaman. Faktor politik, agama, teknologi, budaya dan
lain-lain sangat memepengaruhi gelombang perkembanganya di antaranya:

1. Jemblung atau Dhalang Jemblung

Jemblung atau lebih di kenal dengan istilah Dhalang Jemblung adalah salah
satu kesenian rakyat Banyumas yang mengendalikan kemahiran berturut. Kata
jemblung, dalam kamus dialek Banyumas- Indonesia, berarti pertunjukan seni
tutur atau cerita wayang, legenda, babad, sejarah lokal dsb. Masyarakat

6
Banyumas sendiri menggambarkan bahwa “nanggap dalang Jemblung” yang
dilakukan serba lesan (dengan serba mulut itu) lebih murah dan meriah, kocak
atau penuh humor, dan memukau dibandingkan dengan nanggap wayang kulit
Purwa.

Dalang emblung yang kondhang masa kini di Banyumas, Ki Kusen dari dusun
Sumber, Desa Gumelar Lor, Kecamatan Tambak, Banyumas, menyatakan
bahwa asal muasal dari nama Jemblung ini berasal dari nama yang diambil dari
gaya orotarik Mubaligh Kondang asal Banyumas Tempo Doeloe, yang pintar
berkhotbah dengan melantunkan macapatan dan tembang- tembang Jawa yang
berisikan syi'ar agama Islam. Gaya berkhotbah semacam ini adalah warisan
wuragil Wali Sanga: Sunan Kalijaga, yang menciptakan tembang lir- Ilir dan
wayang kulit Purwa.

2. Dagelan Banyumasan

Dagelan Banyumasan adalah suatu kesenian lawak yang menggunakan dialek


dan gaya Banyumasaan. Dagelan tidak selalu merupakan kesenian yang berdiri
sendiri, tetapi bisa juga muncul pada berbagai kesenian sebagai selingan. Seperti
dagelan yang dibawakan oleh seorang dhalang jemblung atau dhalang wayang
kulit. Atau juga pertunjukan kesenian begalan.

Asal-usul munculnya grup dagelan atau lawak di Banyumas ini mendapat


pengaruh dalam daerah Yogyakarta yang dipelopori oleh grup Dagelan Mataram
tahun 1938 dengan pelawak-pelawak seperti Basiyo almarhum. Sayangnya
pertunjukan seperti ini hanya bersifat isidentil dan tidak dikembangkan menjadi
grup lawak yang professional.

Pertunjukan dhagelan berbeda dengan lawak. Dhagelan ini biasanya


dipentaskan diatas panggung dalam suatu cerita. Bentuk cerita yang dicari yang
aneh-aneh, dan letak kelucuannya pada ucapan-ucapan dengan dialek
Banyumasan. Pertunjukan dagelan ini biasanya berlangsung selama satu jam
atau lebih. Cerita yang ditampilkan berkisar mengenai kehidupan sehari-hari.

3. Begalan

7
Kata begal (Jawa) berarti perampok atau perampas paksa ditengah perjalanan
seseorang, mbegal yaitu merampok. Begalan adalah suatu jenis kesenian yang
merupakan bagian upacara adat perkawinan di daerah Banyumas. Upacara
perkawinan yang di sertai begalan biasanya dilakukan apabila pasangan
pengantin terdiri dari anak bungsu dan anak sulung, terutama kalua yang bungsu
atau sulung dari pihak perempuan.

Jadi kesenian begalan adalah suatu adegan yang menggambarkan seorang


yang sedang membawa barang-barang kebutuhan hidup dirampas di tengah
jalan. Dengan iringan gendhing-gendhing Banyumasan mereka melakukan
dialog-dialog yang cukup seru dan penuh banyolan, sindiran (kritik) dan
nasehat-nasehat. Menurut riwayatnya, seni begalan itu mulai dipentaskan setelah
Raden Tumenggung Yudanegara IV dilengserkan dari jabatannya sebagai
Adipati Kabupaten Banyumas oleh pemerintah penjajah Inggris.

Oleh rakyat Banyumas, seni begalan kemudian dilestarikan dan dipentaskan


pada saat melaksanakan hajat mantu kapisan (menikahkan anak perempuan
pertama kali) dengan tujuan untuk membuang suker (hal negatif yang mungkin
menghalangi, membuat sakit hati, dan lain-lain) yang akan mengotori jalan
hidup baru bagi kedua mempelai.

4. Lenger Calung

Calung atau lengger calung adalah suatu tarian-tarian gambyong yang diiringi
gamelan Banyumasan. Karena itu ada penyebutanya Gambyong Banyumasan.
Tarian ini mempunyai dasar tari bedhaya serimpi yang diramu dengan tari golek
dan iringan lagu Banyumasan. Gerak tarinya tampak jauh lebih lincah. Grup
lengger calung ini berkembang diempat kabupaten dibekas Karisidenan
Banyumas.

5. Gending Banyumasan

Pada tahun-tahun belakangan ini gendhing-gendhing Banyumasan di gemari


lagi oleh masyarakat Banyumas. Baik yang ada di daerah Banyumas sendiri atau

8
yang di perantauan. Bahkan lagi masyarakat perantauaan terdengarnya alunan
gending Banyumas merupakan pembuluh rindu ataupun obat pelepas lelah.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Penginyongan adalah sebuah istilah atau kata yang umumnya digunakan oleh
orang Banyumas dalam keseharian untuk menceritakan atau menggambarkan
tentang dirinya. Penginyongan sendiri mempresentasikan orang-orang atau bahasa
atau budaya yang berasal dari wilayah Banyumas.

Masyarakat di wilayah Kabupaten Banyumas secara mayoritas memeluk agama


Islam, dan selebihnya beragama Kristen, Budha, dan Hindu. Di daerah Banyumas
ada juga beberapa tempat yang dikeramatkan oleh sebagian atau sekelompok orang.
Namun demikian, kegiatan religi yang dilakukan masyarakat Banyumas masih
memadukan budaya yang sudah dimiliki sebelumnya dimana dapat dikategorikan
sebagai wujud sinkretisme.

Di daerah Banyumasan terdapat berbagai kesenian yang sejak lama tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan Masyarakat yang dipengaruhi oleh factor politik,
agama, teknologi, dan budaya. Diantranya yaitu jemblung atau dhalang jemblung,
dagelan Banyumasan, begalan, lengger calung, dan grending Banyumasan.
Terdapat juga tradisi yang digabungkan dengan nilai agama yaitu slametan dan
mitoni (tujuh bulanan).

10
DAFTAR PUSTAKA
Saptono. 2010. Kebudayaan Sebagai Identitas Masyarakat Banyumas. https://isi-
dps.ac.id/kebudayaan-sebagai-identitas-masyarakat-banyumas/ diakses
pada 27 November 2023.

Sutiono. 2013. Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu

Trianto, Teguh. 2022. Inyong Banyumas Narasi Budaya Dari Dalam. Yogyakarta:
Jejak Pustaka.

Koderi, M. (1991). Banyumas Wisata dan Budaya. Purwokerto: CV Metro Jaya.

Ummatin, K. (2015). Sejarah Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Kalimedia.

11

Anda mungkin juga menyukai