Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN HASIL PENELITIAN KOMUNIKASI LINTAS

BUDAYA MENGENAL BUDAYA DI KAMPUNG ADAT


URUG, BOGOR.

Laporan Penelitian ini diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester 4
Mata Kuliah Komunikasi Lintas Budaya.

Dosen Pengampu : Fardiah Oktariani Lubis, S.Si., M.A.

Disusun Oleh:

Anisya Octaviani Dewi 1710631190039

Eka Inriyanti 1710631190059

Emmanuel Vinnesea Tulandi 1710631190060

Ghina Tasya Salsabilla 1710631190067

Ilmu Komunikasi 4B

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyusun makalah Komunikasi Lintas
Budaya . Khususnya tentang pembahasan “Kebudayaan Masyarakat Kampung
Adat Urug Bogor. Makalah ini dibuat dalam rangka meningkatkan pembelajaran
dan sebagai tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuiah Komunikasi Lintas
Budaya . Pemahaman tentang Komunikasi Lintas Budaya dan hal-hal yang
berkaitan dengannya sangat diperlukan, dengan suatu tujuan
agar beberapa masalah dapat diselesaikan dan dihindari, sekaligus
memperdalam wawasan bagi kita semua.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu, Fardiah Oktariani


Lubis, S.Si., M.A. selaku dosen mata kuliah Komunikasi Lintas Budaya
Universitas Singaperbangsa Karawang. Tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada sumber-sumber inspirasi makalah ini.Makalah ini, tentunya masih
jauh dari kesempurnaan, karena penulis juga masih dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu kritik, koreksidan saran, sangat kami harapkan. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat untuk para pembaca. Terima kasih atas perhatiannya dan
jikalau ada kesalahan kata maupun tulisan penulis mohon maaf.

Karawang, 27 April 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
2.1 Unsur-unsur Kebudayaan ..................................................................... 3
2.2 Sistem Sosial-Budaya Indonesia............................................................ 3
2.3 Kampung Adat ....................................................................................... 4
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 6
3.1 Pelaksanaan Observasi .......................................................................... 6
3.2 Narasumber ............................................................................................ 6
3.3 Jadwal pelaksanaan observasi di Kampung Urug .............................. 6
3.4 Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data................................ 6
BAB IV PEMBAHASAN...................................................................................... 8
4.1 Sejarah Kampung Urug ......................................................................... 8
4.2 Letak Geografis Kampung Urug .......................................................... 9
4.3 Kampung Urug Sebagai Kampung Adat ........................................... 10
A. Rumah Adat di Kampung Adat Urug ................................................ 11
4.4 Ritual Adat dan Larangan di Kampung Adat Urug ......................... 14
A. Upacara atau Ritual Adat Kampung Urug ........................................ 14
B. Aturan dan Larangan di Kampung Adat Urug ................................ 16
4.5 Penduduk, Mata Pencaharian, Agama dan Pendidikan Masyarakat
Kampung Adat Urug....................................................................................... 22
A. Penduduk di Kampung Adat Urug ..................................................... 22
B. Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Adat Urug ..................... 22
C. Agama Masyarakat Kampung Adat Urug ......................................... 23
D. Pendidikan Mayarakat di Kampung Adat Urug............................... 23
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 25

ii
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 25
LAMPIRAN ......................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 29

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kampung atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang
berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Kampung Adat atau yang
disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Kampung
pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem
pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya
masyarakat Kampung. Kampung Adat pada prinsipnya merupakan warisan
organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun temurun
yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat kampung
Adat agar dapat berfungsi mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial
budaya lokal.

Salah satu Kampung Adat yang ada di Jawa barat ialah Kampung Adat Urug.
Kampung Urug merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di
Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung
adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat Kampung Urug,
kampung kecil tersebut merupakan kampung indah nan asri, serta sejuk dan
damai, yang terletak di Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten
Bogor. Keistimewaan dari Kampung Urug ini adalah Kebudayaan Di kampung
urug masih terjaga, dan masih ada aturan-aturan adat yang berlaku, dan memiliki
Pemerintahan Informal atau Adat Masyarakat Kampung Adat Urug yang terdiri
atas Ketua adat yang berjumlah tiga orang.

Karena Keunikan dari Kampung Adat urug ini, peneliti ingin mengetahui
lebih jauh seperti apa kebudayaan yang ada dan sistem pemerintahan informal
disana. menurut Liliweri (2005) komunikasi lintas budaya adalah Analisis Lintas
Budaya (sering disebut sebagai analisis komparatif) untuk melakukan komparasi
dan menguji perbedaan antar budaya.Harapannya dengan studi ini setiap orang
akan memahami kebudayaannya & mengakui ada isu kebudayaan yang dimiliki
orang lain dalam relasi antar budaya.Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti

1
2

bermaksud untuk melakukan penelitian yang berjudul “MENGENAL BUDAYA


DI KAMPUNG ADAT URUG, BOGOR.”

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Sejarah Kampung Adat Urug?
2. Bagaimana Kebudayaan di Kampung Adat Urug?
3. Bagaimana Kehidupan Masyarakat di Kampung Adat Urug?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui Bagaimana Kebudayaan di Kampung Adat Urug.
2. Untuk mengetahui Bagaimana Kehidupan Masyarakat di Kampung Adat
Urug.

1.4 Manfaat Penelitian


Dapat Menambah Pengalaman dan Pengetahuan mengenai Kebudayaan di
Kampung Adat Urug.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Unsur-unsur Kebudayaan
Sementara ahli kebudayaan memandang kebudayaan sebagai suatu
strategi (van Peursen, 1976: 10). Salah satu strategi adalah memperlakukan
(kata/istilah) kebudayaan bukan sebagai “katabenda” melainkan “kata kerja.”
Kebudayaan bukan lagi semata-mata koleksi karya seni, buku-buku, alat-
alat, atau museum, gedung, ruang, kantor, dan benda-benda lainnya.
Kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia (van Peursen,
1976: 11) yang bekerja, yang merasakan, memikirkan, memprakarsai
dan menciptakan. Dalam pengertian demikian, kebudayaan dapat dipahami
sebagai “hasil dari proses-proses rasa, karsa dan cipta manusia.”Dengan
begitu, “(manusia) berbudaya adalah (manusia yang) bekerja demi
meningkatnya harkat dan martabat manusia. Strategi kebudayaan yang
menyederhanakanpraktek operasional kebudayaan dalam kehidupan sehari-
hari dan kebijakan sosial dilakukan dengan menyusun secara konseptual
unsur-unsur yang sekaligus merupakan isi kebudayaan. Unsur-unsur
kebudayaan tersebutbersifat universal.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dirinci dan dipelajari
dengan kategori-kategori sub-unsur yang saling berkaitan dalam suatu
sistem budaya dan sistem social, yang meliputi :(1) Sistem dan organisasi
kemasyarakatan, (2) Sistem religi dan upacara keagamaan, (3) Sistem mata
pencaharian, (4) Sistem (ilmu) pengetahuan, (5) Sistem teknologi dan
peralatan, (6) Bahasa, dan(7) Kesenian(Koentjaraningrat, 1974).

2.2 Sistem Sosial-Budaya Indonesia


Para ahli kebudayaan memandang tidak mudah menentukan apa
yang disebut kebudayaan Indonesia, antara lain dengan melihat kondisi
masyarakat yang majemuk. Namun secara garis besar, setidak-tidaknya
terdapat 3 (tiga) macam kebudayaan, atau sub-kebudayaan, dalam masyarakat
Indonesia, yakni:

3
4

1) Kebudayaan NasionalIndonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD


45;
2) Kebudayaan suku-suku bangsa;
3) Kebudayaan umum lokal sebagai wadah yang mengakomodasi
lestarinya
Perbedaan-perbedaan identitas suku bangsa serta masyarakat-
masyarakat yang saling berbeda kebudayaannya yang hidup dalam satu
wilayah, misalnya pasar atau kota(Melalatoa, 1997: 6).Sementara itu, Harsya
W. Bachtiar (1985: 1-17) menyebut berkembangnya 4 (empat) sistem budaya
di Indonesia, yakni:
1) Sistem Budaya Etnik: bermacam-macam etnik yang masing-masing
memiliki wilayah budaya (18 masyarakat etnik, atau lebih);
2) Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang bersumber dari praktek
agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik;
3) Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama
Indonesia, PancasiladanUUD 1945.
4) Sistem Budaya Asing: budaya-budaya India, Belanda, Arab/Timur
Tengah, Cina, Amerika, Jepang, dsb.
Selain itu, dapat ditambah “Sistem Budaya Campuran.”

2.3 Kampung Adat


Kasepuhan, komunitas adat, ataupun kampung adat adalah wilayah yang
memang diatur sedemikian rupa oleh para tokoh adat dengan berpedoman
pada hukum adat dan nilai-nilai budaya dari nenek moyang mereka.
Pentingnya hukum (adat) dalam pengaturan sebuah masyarakat umum ataupun
masyarakat adat secara garis besar menurut Ihromi (tanpa tahun: 8) bahwa
hukum dipandang secara integrasi dalam kebudayaan, hukum tidak terpisah
dari kategori pengendalian sosial lainnya dan hukum yang ditekuni adalah
hukum dalam aneka jenis masyarakat. Meski ada perbedaan persepsi antara
ahli hukum dengan ahli kebudayaan mengenai sah atau tidaknya ranah hukum
menjadi bagian dari ilmu kebudayaan namun keperluan atribut hukum dalam
5

sebuah kampung menjadi diperlukan untuk menjaga kelangsungan pranata


yang telah dibuat sebelumnya.

Terkait dengan hal tersebut, Koentjaraningrat (tanpa tahun: 29-30),


menjelaskan bahwa terdapat 4 atribut hukum yang secara tidak langsung
menjadi bagian dalam susunan aturan sebuah kampung adat, yaitu atribut
kekuasaan, atribut batas waktu, atribut besaran sanksi, dan atribut jenis sanksi.
Di antara 4 buah atribut tersebut, atribut kekuasaan memegang posisi sentral
karena sebuah komunitas atau kampung adat harus mempunyai struktur
kekuasaan untuk mempermudah pelaksanaan aturan.

Telah banyak studi budaya pada wilayah komunitas adat yang tersebar di
Jawa Barat, di antaranya adalah inventarisasi komunitas adat oleh Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat yang telah mengumpulkan
sebanyak 8 komunitas adat, yaitu: Kampung Urug, Kampung Ciptagelar,
Kampung Adat Mahmud, Kampung Pulo, Kampung Naga, Kampung Kuta,
Kampung Dukuh, dan Kampung Sinarresmi (Bidang Kebudayaan Disbudpar
Provinsi Jabar, 2009: 1-26). Hasil inventarisasi dari Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jawa Barat dapat dikatakan bersifat sementara karena
dimungkinkan masih ada kampung adat yang luput dari inventarisasi tersebut.
Salah satu yang telah teridentifikasi adalah Kampung Cipatat Kolot, Desa
Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor. Sangat beralasan, pada
waktu itu, untuk menyatakan bahwa Cipatat disebut sebagai kampung adat
karena telah disahkan melalui surat Depdikbud nomor 440/I-02.5-24/J.1988
yang menyatakan bahwa Kampung Cipatat – beserta dengan Kampung Urug
dan Kampung Sihuut sebagai:

a) Kampung adat yang mempunyai nilainilai sejarah dan tradisional serta


mempunyai benda-benda peninggalan sejarah/purbakala.
b) Merupakan sumber ilmiah.
c) Peninggalan budaya yang semuanya harus dilestarikan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pelaksanaan Observasi
Hari & tanggal : Sabtu & Minggu, 20-21 April 2019
Pukul : Sabtu, 20 April 2019, pukul 14.45 WIB – Minggu, 21 April 2019,
pukul 06.30 WIB.
Tempat : Kampung Urug, Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
3.2 Narasumber
Abah Ukat. Sebagai pemimpin atau sesepuh Kampung Adat Urug
Abah Maman. Sebagai pemandu tempat di Kampung Urug
3.3 Jadwal pelaksanaan observasi di Kampung Urug :
1. Sabtu, 20 April 2019. Pukul 05.43 – 12.35 (memulai keberangkatan
dari Karawang & Bekasi ke Stasiun Bogor)
2. 12.35 - 13.00 ( ISOMA)
3. 13.00 – 14.45 (keberangkatan menuju Kampung Urug)
4. 15.30 – 16.30 (wawancara dengan Abah Ukat)
5. 16.30 – 17.00 (ISOMA)
6. 17.00 – 22.30 (observasi dan berinteraksi dengan masyarakat di
Kampung Urug)
7. Minggu, 21 April 2019. Pukul 05.15 – 05.30 (ISOMA)
8. 06.30 – 08.10 ( Perjalanan pulang menuju stasiun Bogor)
9. 08.10 – 12.00 (Ibadah)
10. 12.00 – 14.30 ( Perjalanan menuju Bekasi & Karawang)
3.4 Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini
digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

1. Teknik Observasi Partisipan


Dalam penelitian kebudayaan observasi yang digunakan adalah
observasi partisipan. Observasi partisipan adalah bagian dari kerja
lapangan budaya, sepenuhnya kegiatan ini dilakukan di lapangan
6
7

budaya, disertai perangkat yang telah dipersiapkan. Cara ini


merupakan langkah penting dalam kajian budaya. Observasi partisipan
melibatkan keikutsertaan peneliti dengan individu yang di observasi
atau komunitas7
2. Teknik Wawancara Mendalam
Teknik pengumpulan data selanjutnya yaitu wawancara7 Kegiatan
wawancara dalam penelitian budaya bertujuan untuk mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyaratkat.
wawancara merupakan suatu pembantu utama dari observasi
(pengamatan). Melalui wawancara mendalam (indept interview)
menurut Bogdan dan Taylor peneliti akan membentuk dua macam
pertayaan, yaitu pertayaan substantif dan pertayanyaan teoritik.
3. Teknik Dokumentasi
Arikunto juga menjelaskan bahwa dokumentasi adalah mencari
data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar,
majalah, jurnal dan sebagainya.”Teknik dokumentasi diperlukan untuk
mengetahui arsip-arsip atau data-data Monografi Desa yang
berhubungan erat dengan penelitian yang dilakukan, dalam hal ini
peneliti menggunakan data-data mengenai kependudukan, luas wilayah
dan juga sosial ekonomi Masyarakat Kampung Adat Urug, Desa Urug.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Kampung Urug
Awal mulanya, tempat lokasi yang akan dijadikan sebagai kampung ini
dicari dahulu. Setelah ada kecocokan maka dibuatlah kampung urug ini.
Itulah awalnya hanya sebatas adanya pengakuan untuk kampung urug.
Kemudian ada cerita, Prabu Siliwangi diancam oleh anak nya sendiri yaitu
raden Kian santang untuk masuk Islam. Lalu Prabu Siliwangi hilang di
kerajaan padjajaran. bahwa hilangnya Prabu siliwangi dari kerajaan
padjajaran tempat yang ditujunya adalah kampung Urug. Jadi kampung ini
merupakan peninggalan Prabu Siliwangi.

Kampung adat urug ini memang memiliki hubungan erat dengan


Kerajaan sunda pakuan Pajajaran di Bogor.Menurut Abah Ukat selaku
pemangku adat, bahwa sejarah kampung adat urug ini bisa dimulai di awal
ataupun di akhir. Jika dikatakan diawal maka berbicara tentang awal
berdirinya Pajajaran Bogor. Jika diakhir maka akan berbicara tentang
menghilangnya prabu siliwangi di Bogor sampai muncul kembali di
kampung adat urug. Menurut sejarah menghilangnya Prabu Siliwangi dari
kerajaan Pajajaran Bogor ini dikarenakan sang Prabu Siliwangi tidak mau
masuk islam, agama yang dibawa oleh anaknya sendiri yaitu Raden Kian
Santang.

Masyarakat kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari


keturunan Prabu Siliwangi dikerajaan padjajaran Jawa Barat. Bukti dari
anggapan tersebut diantaranya dapat dilihat dari konstruksi bangunan rumah
tradisional di Kampung Urug, sambungan pada kayu rumah tersebut sama
dengan sambungan terdapat pada salah satu bangunan yang ada di Cirebon
yang merupakan sisa-sisa peninggalan padjajaran. Salah seorang keturunan
Prabu Siliwangi yang dianggap leluhur Kampung Urug bernama Embah
Dalem Batutulis atau Embah Buyut.

8
9

Kata Urug dijadikan nama kampung karena menurut mereka berasal


dari kata “GURU” yakni dengan mengubah cara membacanya yang
biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata “GURU”
menurut etimologi rakyat adalah akronim dari DIGUGU DITIRU. Yang
artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran serta petuahnya. Selain
mengenal sejarah kerajaan padjajaran, masyarakat kampung urug sendiri
sering mengadakan berbagai upacara keagamaan. Salah satu upacaranya
adalah upacara Seren Taun, yang merupakan upacara panen hasil bumi
sebagai wujud rasa syukur atas rizki pertanian yang diberikan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Upacara tersebut biasanya dilaksanakan setiap tanggal 10
Muharam. Masyarakat kampung urug mayoritas pekerjaannya sebagai
petani.

4.2 Letak Geografis Kampung Urug


Secara administratif, Kampung Urug termasuk ke dalam wilayah Desa
Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Dialiri tiga buah
sungai, yakni Sungai Ciapus, Sungai Cidurian, dan anak sungai Ciapus.
Kampung urug terdiri dari tiga tempat, yaitu Urug Lebak (Bawah), Urug
Tengah (Tengah), dan Urug Tonggoh (atas).Wilayahnya berbatasan dengan
daerah-daerah sekitarnya, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Tajur;
sebelah selatan berbatasan dengan Mandaya; sebelah barat berbatasan
dengan Pasirmadang; dan di sebelah timur berbatasan dengan Pasirpeuteuy.
Keadaan temperatur suhu udara di Kampung Urug berkisar antara 24-
28 derajat celcius dengan suhu udara pada slang hari rata-rata 28 derajat
celcius dan malan hari rata-rata sekitar 24 derajat celcius. Beriklim tropis
terdiri atas dua musim, yaitu musim hujan jatuh pada bulan Oktober-Maret
dan musim kemarau jatuh pada bulan April-September. Musim penghujan
berlangsung selama Iebih kurang enam bulan dengan angka rata-rata curah
hujan yang tinggi mengakibatkan tanah pertanian di Kampung Urug dan
sekitarnya menjadi subur.
Jarak tempuh Kampung Urug dari Ibukota provinsi Jawa Barat lebih
kurang 165 kilometer ke arag barat. Jarak dari Ibukota Kabupaten Bogor
10

Iebih kurang 48 kilometer, dari kota kecamatan Sukajaya lebih kurang 6


kilometer, sedangkan dari kantor Desa Kiarapandak Iebih kurang 1,2
kilometer. Kondisi jalan dari kantor kecamatan Sukajaya ke Kampung Urug
berbelok-belok naik turun mengikuti lereng bukit dengan badan jalan yang
sempit. Sepanjang jalan dari kantor kecamatan ke kantor kepala desa
Kiarapandak sudah beraspal, namun sebagian besar rusak berat. Jalan dari
kantor desa ke kampung Urug, beraspal dan kondisinya cukup baik.
Ke lokasi dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda
empat. Adapun menggunakan angkutan umum dari pertigaan
JasingaLeuwiliang Leuwiliang menuju ke Cipatat. Dipertigaan jalan raya
Cipatat dan jalan desa bisa menggunakan ojeg sampai ke kampung Urug,
atau bisa juga menggunakan mobil Carry dari Jasinga – Leuwiliang sampai
ke kampung Urug.
Mobilitas penduduk dari dalam ke luar atau dari luar ke dalam tidak
begitu tinggi sehingga eksistensinya tidak mudah kentara dari Iuar. Akan
tetapi tidak berarti sikap warga setempat bersifat tertutup kepada para
pendatang, hal ini terbukti dari sikap ramah tamah mereka yang spontan
kepada para tamu ataupun orang luar yang akan menetap di sana. Sementara
itu ada sebagian warga yang merantau ke Bogor atau Jakarta untuk mencari
nafkah namun jumlahnya sedikit.

4.3 Kampung Urug Sebagai Kampung Adat


Kampung Urug merupakan salah satu kampung adat yang ada di jawa
barat. Kebudayaan Di kampung urug masih terjaga, dan masih ada aturan-
aturan adat yang berlaku. Sama seperti masyarakat sunda lainnya, warga
Kampung Adat Urug juga mengenal pemerintahan formal. Ketua Adat di
sini hanya pemimpin adat atau informal. Warga Urug terbagi ke dalam 8
RW dan 24 RT. Sistem Organisasi Informal atau Adat Masyarakat Kampung
Adat Urug terdiri atas Ketua adat yang berjumlah tiga orang; Urug Lebak
(Bawah) sebagai pusat dipimpin oleh Abah Ukat, Urug Tengah (Tengah)
dipimpin oleh Abah Amat dan Urug Tonggoh (atas) dipimpin oleh Abah
Kayod. Ketiga ketua adat ini mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat,
11

dari hasil pengamatan penulis, pembagian kepemimpinan ini hanya untuk


mempermudah jalannya adat di sana, contoh dalam acara Seren Taun,
karena Kampung Adat Urug yang begitu luas dan warganya yang begitu
banyak tidak akan tertampung semua di satu rumah adat, misalnya pada saat
prosesi ngariung(berkumpul), dan juga tidak hanya warga Urug yang datang
pada saat acara adat ini.
Penggunaan nama Lebak, Tengah dan Tonggoh hanya mengacu pada
lokasi rumah ketua adat. jika dilihat dari bentang alam Kampung Adat Urug
yang berada di lembah, rumah adat Lebak yang ditempati oleh Abah Ukat
berada di bawah sebagai pusat di mana rumah warga yang saling berdekatan
“berkiblat” pada rumah adat tersebut. Regenerasi atau pergantian ketua
adat di Kampung Adat Urug khususnya di Urug Lebak sebagai Pancer
(Pusat) berdasarkan wangsit atau amanat yang akan diterima oleh ketua adat
yang sedang menjabat, yang dipercaya berasal dari leluhur mereka untuk
menentukan siapa yang akan menjadi Ketua Adat berikutnya. Para ketua
adat ini biasa disebut Abah Kolot, Abah saja atau kokolot.
Rumah-rumah di kampung urug juga masih ada yang tradisional, dan
apabila ada yang sudah modern pun tidak boleh melebihi model dari yang
ditetapkan, harus sama rata dengan yang lainnya, dan tidak boleh melebihi
rumah Gedong (rumah ketua adat). Dan kampung urug pun masih memiliki
aturan-aturan adatnya sendiri.
Karena kebudayaan yang masih kental ini, pada tahun 2010
pemerintah Bogor menetapkan kampung urug sebagai cagar budaya yang
ada di bogor dan menamakan Kampung Adat Urug.

A. Rumah Adat di Kampung Adat Urug


Di Kampung Adat Urug terdapat berbagai macam rumah adat yaitu :
1) Bumi Ageung
Bumi Ageung yaitu rumah yang ditempati oleh ketua adat dan
biasa dipakai penerimaan tamu ataupun upacara-upacara yang ada di
Kampung Urug yang dijadikan sebagai pusat kegiatan. Bumi ageung
disebut juga gedong ijo karena sesuai dengan warna bangunan
12

tersebut yang dominan hijau. Rumah ini memiliki filosofi dari setiap
ukuran bangunan nya, ukuran tersebut menyiratkan bulan, tahun, hari,
rukun iman, jumlah hari dalam seminggu, rukun islam, bahkan angka
satu sampai sembilan. Rumah ini hanya boleh diisi oleh keturunan
Prabu Siliwangi yang menjadi kokolot berdasarkan wangsit, menurut
Abah Ukat rumah ini nanti nya akan diwariskan kepada anak laki-laki
Abah tergantung petunjuk atau wangsit yang akan di dapatkan Abah
Ukat.
Suasana di dalam Bumi Ageung tampak luas dan sedikit remang-
remang. Aroma serbuk kayu memenuhi ruangan. Perabot kayu antik
menjadi penyekat antar ruang yang terbuka. Di bumi ageung ini ada
salah satu ruangan dimana terdapat meja makan yang ditutupi oleh
kain putih, konon kata Abah Ukat sejak dulu tidak ada yang pernah
menduduki bahkan dilarang untuk menempati atau makan di meja
makan tersebut.
2) Rumah Panggung
Rumah Panggung yaitu sebuah rumah yang berada di depan
Bumi Ageung sebagai tempat paniisan (Istirahat arwah leluhur).
Tempat ini tidak bisa dikunjungi oleh orang lain, hanya saja yang
biasa ke tempat ini adalah seseorang yang membersihkan dan
merawat sebanyak 2 kali dalam sebulan. Sedangkan selain dari
petugas kebersihan yang boleh masuk adalah Ketua Adat (Abah Ukat)
dan Istrinya itupun hanya dilakukan 1 tahun sekali. Tempat ini juga
biasa dilakukan untuk semadi kepala adat.
3) Bumi Alit
Bumi Alit terletak paling ujung dan terpencil, terkurung dalam
pagar kawat, dan cukup memberi kesan keramat dan sakral. Tempat
bumi alit ini yaitu kuburan nenek moyang yang tidak diketahui.
Seseorang yang bisa masuk yaitu sama hanya Ketua Adat dan istrinya
dan itupun dilakukan 2 kali dalam setahun.
4) Leuit
13

Leuit yaitu tempat penyimpanan padi setelah panen dan sebelum


ditumbuk. Biasanya diambil pada hari-hari tertentu yaitu hanya pada
hari kamis dan minggu. Leuit atau lumbung-lumbung padi di
Kampung Urug masih terkesan sangat tradisional karena arsitekturnya
begitu nyunda. Bangunan mungil ini menggunakan konsep panggung.
Lantainya berjarak sekira satu jengkal dari permukaan tanah. Setiap
lumbung rata-rata memiliki luas 2x3 meter dan tinggi total 4 meter.
Secara keseluruhan, bahan bangunan yang digunakan berupa kayu
dan bilik. Di bagian atas, atap menjulang lancip dengan tirai-tirai
daun sebagai penutupnya.
Saking pentingnya bangunan ini untuk warga Kampung Urug,
jika kerusakan sebuah lumbung tidak bisa lagi diperbaiki,
bangunannya akan dirobohkan agar bisa dibangun lumbung baru.
Pembangunan dilakukan bersandingan bahu dengan sejumlah
tetangga.
Mengambil padi hanya dilakukan pada Minggu dan Kamis
Pengisian lumbung dilakukan empunya setiap musim panen, dua kali
dalam setahun. Sementara itu, pengambilan padi dilakukan dua kali
dalam sepekan. Sekali mengambil, secukupnya untuk tiga-empat hari.
Hari pengambilan juga tak sembarangan. Mengambil padi hanya
dilakukan pada Minggu dan Kamis. Tidak boleh di luar waktu yang
ditentukan. Hari Minggu dan Kamis pun bisa menjadi waktu
terlarang. Itu terjadi jika si pemilik lumbung menyimpan padinya di
hari tersebut. Intinya, pengambilan padi juga tidak boleh dilakukan
pada hari yang sama dengan hari penyimpanan.
Keharusan menyimpan padi di lumbung, sampai aturan tentang
hari pengambilan selalu ditaati oleh masyarakat Kampung Adat Urug,
mereka menaati kemudian mewariskannya dari generasi ke generasi.
Tidak ada yang berani melanggar, apalagi nekat menyimpan hasil tani
di dapur rumah sendiri.
14

4.4 Ritual Adat dan Larangan di Kampung Adat Urug


A. Upacara atau Ritual Adat Kampung Urug
Masyarakat Kampung Adat Urug hingga kini masih melaksanakan
berbagai upacara atau ritual adat yang sudah menjadi kebudayaan turun
temurun yaitu diantaranya:
a) Sedekah Mulud
Sedekah maulud dilakukan untuk memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW (tanggal 12 Rabbi’ul Awal). Dalam acara ini
ketua Adat bersama warga khusus mengirim do’a untuk nabi
Muhammad karena sudah berjasa membawa agama Islam. Biasanya
dalam acara tersebut dihidangkan makanan-makanan khas daerah
dan olahan lauk-pauk yang akan dibagikan kepada warga setelah di
do'akan. Alasan diadakannya acara ini menurut Abah Ukat, Nabi
Muhammad pada saat berusia 25 tahun dipanggil oleh Yang Maha
Kuasa, akan diberi Kitab Rasul dan Tasauf kemudian harus
mengajarkan rukun Islam yang lima perkara di Negara Mekah. Nabi
Muhammad patuh, taat dan melaksanakan Kehendak Yang Maha
Kuasa, maka selama mengajarkan rukun Islam di negara Mekah
tersebut dan seterusnya, Nabi Muhammad akan selalu dikirim
“bekal” oleh Yang Maha Kuasa, hakekatnya berupa do’a-do’a dari
setiap umat Islam yang melaksanakan acara Muludan tersebut,
karena itulah Abah Ukat bersama warga Kampung Adat Urug
melaksanakannya sebagai wujud bakti kepada Nabi Muhammad.
b) Seren Taun (Sukuran Hasil Panen)
Seren Taun dilaksanakan sebagai ungkapan rasa sukur dari
petani yang dipimpin oleh ketua Adat, rasa sukur ini ditujukan
kepada yang pertama telah memberikan bibit pokok dalam masalah
pangan kepada manusia, yaitu yang maha kuasa pertama karena pada
hakekatnya bumi tempat tumbuh berbagai macam tanaman yang
bermanfaat bagi manusia, maka ketika akan mengambilnya harus
meminta izin kepada yang punya. Kegiatan ini dilakukan setelah
15

semua warga selesai panen. Seren Taun ditandai dengan


peyembelihan kerbau yang dagingnya dimasak dan dijadikan untuk
selametan, selanjutnya warga dan ketua adat melakukan ziarah ke
makam leluhur ketua adat, dan selanjutnya masyarakat pun
melakukan ziarah ke makam kerabatnya. Sepulang ziarah
mengadakan selametan lagi sebagai tanda telah mengadakan ziarah
kemakam leluhur setelah itu warga mempersiapkan hidangan buat
warga dan juga tamu yang sengaja datang dari luar baik tamu dari
instansi pemerintah, mahasiswa, dan juga pedagang. Selanjutnya
mengadakan selametan yang dipimpin oleh ketua adat, setelah
selesai selametan baru hiburan dimulai seperti jaipongan, golek dan
sebagainya, dan kesokan harinya warga mengadakan selametan
kembali dengan membawa pangang ayam dan nasi sebakul, ayam
yang di pangang di sembelihnya dekat rumah adat.
c) Sedekah Rowahan
Sedekah Rowahan dilaksanakan pada tanggal 12 bulan Rowah
(Bulan sya'ban), dilaksanakan pada bulan (sya'ban). Pada pagi hari
masyarakat membawa ayam, satu ekor ayam minimal satu keluarga
dan disembelih dihalaman rumah adat, setelah selesai dimasak
dibawa lagi ke rumah adat, pelaksanan selametannya di lakukan bada
dhuhur. Acara ini dan doa yang dikirim sebagai wujud bakti kepada
nabi adam alaihi salam karena menjadi induk semua umat manusia.
Manusia awalnya di akherat, di dunia itu hanya diumbarakeun
(dikembarakan) akan kembali ke akherat yang dibawa hanya amal
perbuatan baik ataupun buruk yang akan diterima oleh Nu Kagungan
(Yang Maha Memiliki).
d) Sedekah bumi
Lewat beberapa bulan setelah selesai bulan Rowah (syaban),
puasa (Ramadhan), syawal. Acara ini diadakan sebelum menanam
padi. Semua warga makan bersama di halaman rumah adat, sebelum
makan bersama semua warga memanjat do'a agar selama menanam
16

padi selamat dari hama dan tanpa kendala. Maknanya, Kita Manusia
duduk-berdiri dan hidup di Bumi, semua yang kita makan berasal
dari Bumi, manusia harus bersyukur kepada Yang memiliki
kekuasaan terhadap Bumi.
e) Seren Pataunan
Seren Pataunan dilaksanakan dalam rangka menutup tahun
Hijriah dan menyambut tahun baru Hijriah, dengan harapan semoga
yang dilakukan pada tahun baru itu semuanya diselamatkan, dijaga
dan diraksa (dihindarkan dari bahaya). Pada acara ini dilakukan
pemotongan kerbau, setelah pemotongan kerbau kepala adat menuju
bumi alit digiring masyarakat. Kemudian warga membawa nasi
kuning dengan lauk-pauknya (daging kerbau) yang telah dido'akan
(selametan), dan sesudah itu dibagikan kepada masyarakat.
Keramaiannya lebih dari acara Seren Taun, biasanya minimal ba’da
magrib sudah ramai, karena bukan abah (pemimpin adat) yang
mengundang tapi masyarakat yang datang sendiri. Seperti dalam
Seren Taun, pada upacara Seren Pataunan banyak kelompok hiburan
seperti Jaipongan, Wayang Golek bahkan Orgen Tunggal ingin
“manggung” di Kampung Adat Urug, datang sendiri tanpa dibayar.
Tetapi itu tergantung Abah Ukat, tidak semua kelompok hiburan itu
bisa diterima karena halaman rumah adat sudah dirapihkan dengan
semen dan batu jadi tidak diboleh dibongkar untuk mendirikan
panggung hiburan. Masyarakat yang datang dari mana- mana itu
tidak sebatas hanya ingin silaturahmi, ikut syukuran mendapatkan
berkat makanan.

B. Aturan dan Larangan di Kampung Adat Urug


1. Konsep Ngaji Diri
Konsep Ngaji Diri (memahami diri sendiri atau mawas diri)
adalah suatu ajaran pembinaan moral yang didalamnya tercermin
pengertian koreksi diri. Di Kampung Adat Urug, ajaran ngaji diri
disebut juga Tapa Manusia. (memahami siapa sebenarnya jati diri
17

manusia, hakekat manusia). Manusia diwajibkan untuk Ngaji Diri


agar mengetahui dirinya sendiri, manusia yang sudah mengenal
dirinya sendiri akan dekat dengan tuhan. Maka hidupnya tidak akan
sombong dan angkuh.
 Prinsip utama dalam konsep Ngaji Diri :
a) Mipit kudu amit,ngala kudu menta (mengambil atau memetik
itu harus meminta ijin kepada yang mempunyainya, dengan
kata lain jangan mencuri)
b) Murah bacot murah congcot (sikap ramah tamah kepada tamu
dan harus menjamu tamu dengan hidangan sekedarnya)
c) Ulah hareup teuing bisi tijongklok, ulah tukang teuing besi
tijengkang.(jangan terlalu depan, nanti tersungkur,jangan
terlalu belakang nanti terlentang)
d) Nafsu kasasarnya lampah badan anu katempuhan (bila kita
terbawa nafsu, maka badan yang akan menanggung akibatnya.
 Aturan dalam konsep Ngaji Diri
a) Larangan untuk mengambil yang bukan haknya
Larangan untuk mengambil yang bukan haknya tergambar
dalam ungkapan “Mipit kudu amit, ngala kudu menta” artinya
mengambil atau memetik itu harus meminta ijin kepada yang
mempunyainya, dengan kata lain jangan mencuri. Pada
masyarakat Kampung Urug, ungkapan Mipit kudu amit, ngala
kudu menta tidak hanya berarti secara harfiah saja, dibalik arti
kata itu terdapat makna yang dalam mengenai rasa syukur
terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada hakekatnya bumi dan
segala isinya adalah milik Tuhan yang dianugerahkan kepada
segenap makhluknya, tanaman padi yang menjadi bahan pokok
tumbuh di atas bumi atas izinnya pula, maka ketika akan
mengambil atau memanen hasil dari tanaman itu harus
memohon izin terlebih dahulu kepada Tuhan yang maha kuasa,
dan harus mensyukuri atas segala apa yang telah diberikan oleh
18

Tuhan Yang Maha Kuasa. Ungkapan rasa syukur ini mereka


wujudkan dalam acara ada Seren Taun, sukuran hasil panen,
dalam acara ini adat ini diadakan selametan dan doa,
berterimakasih kepada sang pencipta atas hasil panen tahun ini
dan semoga panen pada tahun-tahun berikutnya juga bagus.
b) Murah bacot murah congcot
Murah bacot artinya senang menyapa orang lain dengan
ramah dan sopan santun, sedangkan murah congcot, baik hati
suka berbagi atau memberi makanan, murah bacot murah
congcot secara harfiah adalah sikap ramah tamah yang harus
ditunjukan seorang pribumi kepada tamu. Murah congcot
berarti pribumi harus menjamu tamu dengan hidangan
sekedarnya, jika hidangan disuguhkan maka harus murah
bacot, warga pribumi harus menawari tamu untuk
mencicipinya, karena jika tidak ditawari, kemungkinan
tamunya akan sungkan padahal sebenarnya mau. Anjuran ini
sepertinya timbul karena Kampung Urug sering kedatangan
tamu baik pada hari-hari biasa maupun pada upacara adat, dan
untuk bahan pangan sebagai hidangan untuk tamu, selalu
tersedia karena tidak pernah kekurangan bahan pokok makanan
terutama beras.
Ungkapan Murah bacot murah congcot tidak hanya sikap
ramah kepada tamu, murah dalam perkataan tidak hanya
dikususkan kepada tamu, tapi umum untuk semua orang,
artinya kita harus menyapa orang lain terlebih dahulu, bertutur
kata dengan baik dan sopan, permisi jika melewati orang lain di
jalan karena dengan begitu kita akan akur dengan orang lain,
sebaliknya jika kita sombong, tidak akan ada yang mau akrab
dengan kita.
c) Hidup sederhana dan mandiri
19

Hidup sederhana memiliki arti jangan berlebihan dalam


segala sesuatu. Misalnya makan hanya penghilang lapar
tujuannya untuk menghindari sifat rakus, tamak dan serakah.
kemudian tidur hanya penghilang kantuk manusia hidup punya
kewajiban, jangan siang dan malam tidur, siang untuk bekerja
mencari nafkah untuk keluarga, malam untuk istirahat, segala
sesuatu harus tepat pada tempatnya. Juga bisa menimbulkan
penyakit jika tidur dan makan berlebihan.
d) Pengendalian alat tubuh
Alat tubuh atau indera jangan sampai disalahgunakan
untuk hal-hal yang tidak baik. Bila melanggar pasti badan akan
merasakan akibatnya, ada peribahasa nafsu kasasarnya lampah
badan anu katempuhan (bila kita terbawa nafsu, maka badan
yang menanggung akibatnya) bicara jangan sembarangan,
melangkah jangan sampai salah. semua alat tubuh manusia
hakekatnya pemberian dari sang pencipta, maka harus
dimanfaatkan untuk hal yang baik saja karena akan dimintai
pertanggungjawabannya, terutama yang harus dijaga itu lisan.
Indra kitapun sudah tau haknya masing-masing
sekarang misalnya hidung hanya untuk bisa mencium, sukanya
wewangian, telinga hanya bisa mendengar, mata hanya bisa
melihat, makan syariatnya hanya dilakukan oleh mulut, lidah
yang merasakan, tapi mata, telinga dan hidung tidak pernah
protes ingin merasakan makanan yang di makan mulut, karena
mereka sadar akan haknya masing-masing
2. Budaya Pamali atau Larangan di Kampung Adat Urug
Pamali (tabu) adalah suatu aturan yang mengikat kehidupan
masyarakat adat dan merupakan turunan dari konsep Ngaji Diri.
 Larangan menjual beras dan padi berlaku dalam kehidupan
masyarakat Kampung Urug, tetapi warga masih diperbolehkan
membeli beras dari luar. Alasan beras tidak boleh dijual karena
20

ketika beras dimasak oleh satu keluarga maka beras yang


dimasak menjadi nasi akan bisa dimakan oleh semua anggota
keluarga sebaliknya jika beras dijual makan uangnya akan
dinikmati oleh segelintir orang saja. Misalnya jika seseorang
membeli rokok yang mana uang hasil dari menjual beras maka
rokok tersebut hanya akan dinikmati oleh para perokok saja yang
lain tidak.
 Larangan memakai mesin dalam mengolah padi menjadi beras.
peraturan tersebut ada karena pada saat itu tidak ada mesin
sehingga yang dipakai hanya alat lesung, lulumpang sebagai alat
penumbuk padi dan peraturan tersebut berlaku sampai sekarang
walaupun sekarang mesin sudah ada, tapi kebiasan yang sudah
menjadi peraturan tersebut masih tetap dipakai.
 Tidak boleh memasak menggunakan alat modern, seperti
dilarang menggunakan kompor gas dan rice cooker atau pemasak
nasi listrik.
 Tidak boleh menyimpan padi di dapur rumah sendiri, padi harus
disimpan di leuit atau lumbung penyimpanan padi.
 Mengambil padi di leuit atau tempat penyimpanan padi hanya
boleh dilakukan pada hari Kamis dan Minggu, Pengisian
lumbung dilakukan empunya setiap musim panen, dua kali dalam
setahun. Sementara itu, pengambilan padi dilakukan dua kali
dalam sepekan. Sekali mengambil, secukupnya untuk tiga-empat
hari. Hari pengambilan juga tak sembarangan. Mengambil padi
hanya dilakukan pada kamis dan minggu. Tidak boleh di luar
waktu yang ditentukan. Hari Minggu dan Kamis pun bisa
menjadi waktu terlarang jika si pemilik lumbung menyimpan
padinya di hari tersebut. Intinya, pengambilan padi juga tidak
boleh dilakukan pada hari yang sama dengan hari penyimpanan.
 Tidak boleh bertani di sawah pada hari Minggu.
21

 Menanam padi harus menunggu perintah dari ketua adat yaitu


Abah Ukat.
 Masa tanam padi harus dilakukan serempak, karena ketika masa
tanam tidak serempak akan mendatangkan hama yang silih
berganti datang menganggu tanaman padi.Masa tanam
dilaksanakan satu kali dalam setahun. Karena dalam satu satu
tahun hanya ada dua musim yaitu musim hujan dan kemarau,
padi membutuhkan air, maka dari itu diperbolehkan hanya satu
kali tanamnya dalam satu tahun yaitu pada musim hujan.
 Ketika memasak nasi harus ditunggu oleh yang memasak, tidak
boleh ditinggal sebelum nasi tersebut matang.
 Tidak boleh menebang pohon terutama di hutan larangan yang
terletak di daerah belakang wilayah kampung urug. Apabila
membutuhkan kayu bakar untuk keperluan memasak maka hanya
boleh mengambil batang-batang pohon yang sudah kering atau
mati.
 Kampung urug mempunyai peraturan dalam bagian atap
bangunan rumah yaitu tidak diperbolehkan memakai genteng,
terutama pada bangunan rumat adat. Peraturan tersebut tetap
dipertahankan karena merupakan warisan dari leluhur yang harus
dipatuhi.
3. Gotong-royong
Nilai gotong royong di Kampung Urug bisa terlihat dalam
falsafah sunda yaitu, “silih asuh, silih asah, silih asih silih elingan
bejan, ilmu pangempuh kadagelan” istilah tersebut memiliki arti
saling melindungi,membantu, mengayomi, membantu dan
menasehati. Nilai yang terkandung dalam falsafah tersebut adalah
seperangkat nilai dan pegangan dalam perilaku masyarakat, seperti
gotong-royong yang ada di Kampung Urug. Perilaku tersebut ialah
dalam melakukan proses pertanian yang dilakukan secara bersama-
22

sama seperti penanaman padi bersama, pengurusan irigasi bersama-


sama, dan panen padi bersama-sama.

4.5 Penduduk, Mata Pencaharian, Agama dan Pendidikan Masyarakat


Kampung Adat Urug.
A. Penduduk di Kampung Adat Urug
Menurut data monografi, Jumlah penduduk Kampung Adat Urug
tercatat 5.125 jiwa dengan penduduk laki-laki berjumlah 2.874 jiwa dan
penduduk perempuanya 2.250 jiwa yang berstatus warga negara
Indonesia dan beragama islam dengan jumlah Seribu Delapan Ratus
Dua Puluh satu Kepala Keluarga.

B. Mata Pencaharian Masyarakat Kampung Adat Urug


Seperti masyarakat Kasepuahan lainnya, masyarakat Kampung
Adat Urug mayoritas sebagai petani dalam mencukupi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Tercatat 4.320 orang bekerja sebagai petani,
kepemilikan lahan pertanian di Kampung Adat Urug adalah perorangan
atau milik masing-masing. Warga Kampung Adat Urug tidak menjual
hasil pertanian mereka, padi sebagai bahan pokok pangan itu hanya
untuk keperluan sehari-hari.
Berhubungan dengan pertanian (padi), di Kampung Adat Urug
dikenal cerita tentang Dewi Sri, yang disebut Nyai Sri, Nyai berarti
perempuan. Jenisnya merah, putih, hitam, hijau dan kuning gelarnya di
pajajaran Bogor oleh Prabu siliwangi kiriman dari Sorga Maniloka dari
Kahyangan Jagad Suralaya dari para Dewa. Wujud awalnya berupa
telur yang dijaga oleh Dewa Anta selama 40 hari sampai menetasnya.
Awalnya selama 39 hari tidak menetas, Dewa Anta memanggil Prabu
Siliwangi, oleh Prabu Siliwangi dicipta menjadi seorang manusia,
perempuan, dikenal dengan Dewi Sri, umur sekian tahun meninggal
tanpa dikubur digeletakkan begitu saja. Dari kedua mata Dewi Sri
keluar tanaman berupa padi, tiga ikat dan dua ikat, jadi ada lima jenis
23

seperti yang sudah ditulis di atas tadi, akhirnya yang hijau dan yang
kuning menyatu ke dalam Raga Prabu Siliwangi. jenis yang merah,
putih dan hitam gelar ke dunia menjadi padi seperti yang kita kenal
sekarang. Kelima jenis Padi itu tadinya diturunkan di Pajajaran Bogor,
berhubung Prabu Siliwangi menghilang dan menuju Kampung Adat
Urug, jadi segala-galanya dibawa oleh Prabu Siliwangi termasuk bibit
padi yang lima itu. Syariatnya yang ditanam hanya tiga, yaitu merah,
putih dan hitam, hakekatnya bibit yang lima tadi disimpan di suhunan
(atap) rumah adat urug Lebak yang berjumlah lima, satu atap satu
warna. Tiga yang gelar tadi, hakekatnya Gedong Gedè (Rumah Adat
Urug Lebak), Gedong Luhur atau Paniisan (tempat berteduh), berupa
bangunan panggung tinggi tapi tidak terlalu besar dan Gedong Leutik
bangunan sangat kecil.
Selain bertani warga Urug tercatat 1.279 orang sebagai pedagang,
dalam hal ini mereka yang menjadi pedagang eceran Ikan air laut di
daerah Leuwiliang. Sementara lainnya kebanyakkan sebagai
penambang emas Liar di Gunung Pongkor, dan mayoritas adalah anak
muda.

C. Agama Masyarakat Kampung Adat Urug


Semua masyarakat asli yang tinggal di Kampung Urug mayoritas
beragama Islam. Namun, mereka masih tetap memegang kepercaya yang
diwariskan dari para leluhur dan menjalankan ritual-ritual sesuai dengan
ajaran nenek moyang.

D. Pendidikan Mayarakat di Kampung Adat Urug


Tingkat pendidikan di Kampung Adat Urug kebanyakan hanya
sampai tingkat dasar ada sampai SLTP dan juga SLTA ada yang
melanjutkan ke perguruan tinggi, bahkan tak sedikit tidak lulus atau tamat
SD dan ada yang tidak pernah sama sekali duduk di bangku sekolah.
Pendidikan formal yang ada di desa Urug hanya ada satu pendidikan
24

tingkat dasar yaitu SDN Kiarapandak 02 dan pendidikan non formalnya


yaitu dua pesantren yang di pimpin KH Ujang dan KH Suri.
Penyebab tingkat pendidikan di Urug rendah disebabkan karena
ada pandangan miring bahwa pendidikan itu tidak terlalu di anggap
penting. Namun semenjak Desa Urug lepas dari desa induknya yaitu
Desa Kiarapandak, di barengi dengan pemilihan kepala Desa baru yang
mana setiap calon kepala Desa diwajibkan mempunyai ijasah sekolah
sebagai syarat administrasi yang harus di miliki setiap calon maka warga
mulai terbuka dan peduli terhadap dunia pendidikan dengan
menyekolahkan anaknya ke tingkat lanjutan.
Contoh misalnya dari kurang lebih 35 siswa yang lulus sekolah dasar
dan akan melanjutkan ke tingkat selanjutnya hanya 5 siswa. Kebanyakan
dari mereka setelah lulus sekolah dasar mereka lebih memilih membantu
orang tuanya berjualan ikan basah dan menambang tradisional ke gunung
Pongkor tempat eksplorasi emas PT Antam.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kampung Adat Urug merupakan salah satu kampung adat yang ada di
Jawa Barat, dimana kampung adat ini memiliki kebudayaan yang khas dan
masih terjaga sampai saat ini. Di Kampung Adat Urug, terdapat beberapa
macam jenis bangunan rumah adat yaitu Bumi Ageung, Rumah Pamggung,
Bumi Alit. dan leuit. Masyarakat Kampung Adat Urug hingga kini masih
melaksanakan berbagai upacara atau ritual adat yang sudah menjadi
kebudayaan turun temurun diantaranya adalah : sedekah maulud seren taun,
sedekah rowahan, sedekah bumi dan seren pataunan.Selain itu Kampung
Adat ini memiliki beberapa peraturan dan larangan yang harus dipatuhi.
Masyarakat Kampung Adat Urug mayoritas beragama islam dan
kebanyakan berprofesi sebagai petani. Selain bertani, warga Kampung Urug
juga berprofesi sebagai pedagang, Sementara lainnya kebanyakkan sebagai
penambang emas Liar di Gunung Pongkor, dan mayoritas adalah anak muda.
Tingkat pendidikan di Kampung urug masih rendah karena ada pandangan
miring bahwa pendidikan itu tidak terlalu di anggap penting

25
LAMPIRAN

Foto hasil penelitian

Peneliti dengan Abah Ukat (pemimpin Kampung Urug)

Abah Ukat (Pemimpin Kampung Urug)

26
27

Ketentuan dari Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata

Tampak depan Rumah Gedong

Tampak samping Rumah Gedong


28

Bumi Panggung

Bumi Alit

Leuit
DAFTAR PUSTAKA

Eviyanti. 2010. Unsur Kebudayaan. http://e-


journal.uajy.ac.id/2374/3/2TA12077.pdf. (Diakses Pada tanggal 27 April
2019, pukul 17.20 WIB)

Irvan Setiawan , 2014. CIPATAT KOLOT: DINAMIKA KAMPUNG ADAT DI


ERA MODERNISASI. Vol. 6 No. 2: 193-208 .
http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article
/view/194/145 (Diakses pada tanggal 27 April 2019, pukul 13.12 WIB)

Nurdien Harry Kistanto, 2015. TENTANG KONSEP KEBUDAYAAN


https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/view/13248/10033
(Diakses pada tanggal 27 April 2019, pukul 12.33 WIB)

Santi Susanti, 2017. Menyatukan Perbedaan melalui Seni Budaya Sunda


MediaTor, Vol 10 (2), 143-155.
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/2739/pdf
(Diakses pada tanggal 27 April 2019, Pukul 14.22 WIB).

Umayyah. 2015. Konsep Budaya. http://etheses.uin-


malang.ac.id/1192/6/11410125_Bab_2.pdf (Diakses pada tanggal 27 April
2019, Pukul 16.10 WIB)

Mahalli. 2016. Pengertian Budaya dan Kebudayaan. http://e-


journal.uajy.ac.id/2374/3/2TA12077.pdf (Diakses pada tanggal 27 April
2019, pukul 19.00 WIB)

29

Anda mungkin juga menyukai