Anda di halaman 1dari 27

DESA WISATA PANGLIPURAN

Disusun Oleh :
• Stefanus Owen Saputra
• Aufa Syauqi Zidan
• Anindya Mulya Rosanti
• Callysta Algivsta
• Fiona Marcella Thendrawan

SMA BHAKTI TUNAS HARAPAN


2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 2
BAB I ...................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 3
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................................. 3
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................. 4
1.3 TUJUAN ...................................................................................................................................... 4
1.4 MANFAAT PENELITIAN ........................................................................................................ 5
BAB II .................................................................................................................................................... 6
KERANGKA TEORI ........................................................................................................................... 6
BAB III................................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 7
3.1 SEJARAH DESA PANGLIPURAN .......................................................................................... 7
3.2 KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA DESA PANGLIPURAN .................................................. 8
3.3 HUKUM ADAT DAN TRADISI DESA PANGLIPURAN ................................................... 10
3.4 HIDANGAN KHAS DESA PANGLIPURAN ........................................................................ 15
3.5 UPACARA KEAGAMAAN DESA PENGLIPURAN .......................................................... 19
3.6 DESA-DESA ADAT YANG TERDAPAT DI BALI ............................................................. 20
BAB IV ................................................................................................................................................. 25
PENUTUP ............................................................................................................................................ 25
LAMPIRAN......................................................................................................................................... 26
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Desa Panglipuran merupakan salah satu objek wisata terkenal di Bali. Hal tersebut karena
desa Panglipuran memiliki ciri khas tersendiri sebagai desa wisata di Bali. Desa Penglipuran
menawarkan kearifan lokal yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali. Desa tersebut
menjadi salah satu desa adat di Bali yang masih kuat menjaga tradisi, ritual adat dan berbagai
kearifan lokal lainnya. Dengan suasana yang sejuk dan asri serta tata ruang pemukiman
menganut trimandala, desa tersebut sangat tepat bernama Penglipuran yang berarti penghibur.

Keberadaan desa wisata ini didukung oleh beberapa keunikan yang tidak dimiliki oleh desa-
desa lain pada umumnya. Dalam penelitian ini digunakan metode wawancara, dimana data
yang diambil dari obyek penelitian adalah terdiri dari data dari jawaban warga masyarakat desa
setempat yang kami wawancarai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai keunikan ini
mencakup sejarah desa, tata letak, sistem organisasi dan keunikan lainnya. Keunikan yang
dimiliki Desa Penglipuran menjadikan daya dukung yang sangat baik dalam mengembangkan
Desa Penglipuran sebagai desa wisata yang berbasis kerakyatan.

Desa Adat Penglipuran, merupakan salah satu objek pariwisata yang secara fisik memiliki
kepedulian kuat terhadap lingkungan, atau eko wisata yang berbasis kerakyatan. Desa adat
initerletak di Kabupaten Bangli, dengan luas wilayah kurang lebih 112 ha, dengan batas
wilayah: Desa Adat Kubu disebelah timur, disebelah selatan Desa Adat Gunaksa, dan disebelah
barat Tukad Sang-sang, sedangkan disebelah utara Desa Adat Kayang. Desa Adat Penglipuran
terletak pada ketinggian 700 meter diatas permukaan air laut, terletak pada jalur wisata
Kintamani, sejauh 5 KM dari pusat Kota Bangli, dan 45 KM dari pusat Kota Denpasar.

Desa Penglipuran juga merupakan desa kuno di Bali, yang mempunyai ciri-ciri berupa
pranata sosial seperti masyarakat Bali Aga, tidak mengenal adanya kasta. Secara fisik sekilas
Desa Penglipuran tidak tampak beda dengan desa lain disekitarnya, akan tetapi secara historis
masyarakat ini berasal dari Desa Buyung Gede di Kintamani. Karena keunikan budayanya,
Pemda Kabupaten Bangli menetapkan Desa Penglipuran sebagai Desa Wisata sejak tahun 1993.
Sejak itu desa ini tercantum sebagai salah satu Desa Wisata di Bali dengan menawarkan pesona
pedesaan yang asri. Warga Desa Penglipuran terdiri dari 76 warga/pekarangan, yang jumlahnya
itu dipertahankan terus sampai sekarang. Dengan sistem Ulu Apadnya Desa Penglipuran
berbeda dengan desa-desa lainnya di Bali.

Karya ilmiah ini membahas mengenai sejarah, kebudayaan, hukum adat, hidangan, dan hal-
hal unik lainnya mengenai desa Panglipuran berdasarkan yang kita amati dan jawaban warga
setempat dari hasil wawancara yang kita berikan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Desa Penglipuran merupakan salah satu kawasan wisata unggulan di Kabupaten Bangli yang
dapat meningkatkan perekonomian daerah. Suasana pedesaan yang bersih dan asri serta
keaslian budayanya menjadi daya tarik utama Desa Penglipuran. Masyarakat Desa Penglipuran
merupakan penduduk asli Bali yang menjunjung tinggi adat istiadat dan nilai moral untuk
mempertahankan tradisi dan budaya yang telah lama ada. Keberadaan pariwisata di Desa
Penglipuran yang menimbulkan interaksi antara masyarakat setempat dengan wisatawan yang
memiliki beraneka ragam latar belakang budaya memberikan pengaruh terhadap kehidupan
sosial maupun budaya masyarakat, baik itu pengaruh positif maupun pengaruh negatif yang
dapat membuat perubahan tradisi maupun budaya Masyarakat Desa Penglipuran. Oleh karena
itu muncul lah beberapa pertanyaan dan masalah dari kami yang ingin kami selesaikan antara
lain :
1. Bagaimana sejarah desa panglipuran?
2. Hidangan apa saja yang terkenal di desa panglipuran?
3. Bagimana sistem adat yang ada di desa panglipuran?
4. Apa itu tri mandala?
5. Apa itu lembaga karang memadu?
6. Bagaimana pengaruh pengembangan wisata pada kehidupan sosial dan budaya adat
desa Panglipuran dan bagaimana cara mengatasinya?

1.3 TUJUAN
1. Mengajarkan remaja di Indonesia untuk mengembangkan sikap dewasa dalam interaksi
sosial dan mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka.
2. Mendorong remaja untuk bertindak secara adil terhadap sesama dengan memahami
nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
3. Mencari solusi konkret untuk permasalahan yang dihadapi oleh remaja di Indonesia
saat ini, dengan mempertimbangkan konteks budaya dan sosialnya.
4. Memfokuskan upaya pengajaran pada remaja lelaki untuk meningkatkan pemahaman
dan penghargaan terhadap martabat serta kedudukan perempuan dalam masyarakat
Indonesia.
5. Menekankan pentingnya menghormati martabat dan posisi perempuan sebagai bagian
dari upaya membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.
6. Mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang mungkin dihadapi dalam mencapai
tujuan ini, serta menawarkan strategi untuk mengatasinya.
7. Menyajikan hasil penelitian dan rekomendasi praktis yang dapat diimplementasikan
dalam pendekatan pendidikan remaja di Indonesia.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Adapun beberapa manfaat yang dapat diambil dari penelian tentang Desa wisata
Panglipuran dan kehidupan budaya sosialnya.

a. Bagi Peneliti :
1) Sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas P5 kelas XI SMA BHAKTI TUNAS
HARAPAN
2) Sebagai tolak ukur kemampuan peneliti dalam meneliti, menganalisis dan memberikan
kesimpulan pada suatu peristiwa sejarah serta menyajikannya dalam bentuk karya tulis.
3) Untuk menambah pengetahuan bagi peneliti mengenai desa wisata Bali dan keunikannya.

b. Bagi Pembaca :
1) Memperluas wawasan mengenai desa wisata Panglipuran dan keunikannya.
2) Mampu menjadi bahan literatur atau tambahan referensi untuk penelitian- penelitian di
masa mendatang.

1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan atau referensi untuk
penelitian selanjutnya dan menambah teori-teori baru untuk penelitian sejenis yang mengulas
lebih dalam mengenai desa adat panglipura.

2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai
peran dan strategi desa adat dalam mempertahankan kebudayaan dan menarik warga asing
dengan keunikan budayanya sebagai salah satu desa dengan adat yang masih melekat kuat.
BAB II

KERANGKA TEORI

Ruang memiliki nilai yang sangat vital bagi kehidupan dan kelangsungan hidup mahluk
hidup yang ada di dunia. Selain sebagai tempat hidup, ruang juga diyakini akan menjadi tempat
manusia ketika mati. Oleh karena itu, masyarakat tradisional meyakini ruang juga mengandung
nilai religius magis, sehingga juga harus dijaga dan dilestarikan untuk memelihara
keseimbangan antara manusia dengan ekosistem lainnya. Penataan ruang adalah suatu proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang, dan proses pengendalian pemanfaatan ruang
(D.A Tiasnaadmidjaja, 1997). Sedangkan tata ruang merupakan wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan. Tujuan tata ruang
adalah terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan
wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Sehingga kehidupan yang harmonis, lestari dan
asri dapat diperoleh oleh manusia (Thohir,1991).

Ekologi merupakan sebuah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungan sekitarnya (Frick,2011). Sebuah siklus yang mengajarkan manusia untuk selalu
menghargai semua makhluk hidup dan alam semesta. Hal tersebut sejalan dengan konsep yang
selalu dianut oleh masyarakat tradisional Bali yang selalu mempertimbangkan alam dalam
setiap aktivitas kehidupan. Masyarakat tradisional Bali mengenal tiga konsep yang selalu
mempertimbangkan dan menghargai alam dalam melaksanakan aktivitas hidup.

Konsep Tri Hita Karana adalah konsep dasar universal yang dimiliki masyarakat
tradisional Bali. Konsep ini mengajarkan manusia untuk selalu selaras dengan
Tuhan(prahyangan), manusia(pawongan) dan lingkungan(palemahan). Hulu-Teben adalah
konsep yang dipergunakan masyarakat tradisional Bali untuk menata pola penukiman atau desa.
Pola pemukiman terencana yang membagi sona menjadi tiga bagian yaitu utama (tempat suci),
madya (pemukiman) dan nista (kuburan). Pola pemukiman ini juga selalu menempatkan area
tertinggi sebagai sumbu kosmologis (hulu) menuju area terendah (teben). Pola ini dimaksudkan
selalu mengikuti arah aliran sungai dengan tujuan menghindari luapan air sungai atau banjir
(Parwata,2009).

Berdasarkan rasa menghargai alam semesta, masyarakat tradisional Bali


mengembangkan konsep dasar tersebut dengan menggabungkan antara sumbu kosmologis
(hulu-teben) dengan sumbu religious (timur-barat). Penggabungan tersebut menghasilkan
konsep tri mandala yaitu sebuah konsep yang membagi area menjadi tiga sona. Konsep ini
diaplikasikan pada lingkungan rumah tinggal masyarakat tradisional Bali. Pembagian sembilan
area ini menggunakan tiga sona dasar seperti pada konsep hulu-teben yaitu utama, madya dan
nista.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 SEJARAH DESA PANGLIPURAN


Desa Penglipuran dipercaya mulai berpenghuni pada zaman pemerintahan I Dewa Gede
Putu Tangkeban III. Hampir seluruh warga desa ini percaya bahwa mereka berasal dari Desa
Bayung Gede. Dahulu orang Bayung Gede adalah orang-orang yang ahli dalam kegiatan agama,
adat dan pertahanan. Karena kemampuannya, orang-orang Bayung Gede sering dipanggil ke
Kerajaan Bangli. Namun, karena jaraknya yang cukup jauh, Kerajaan Bangli akhirnya
memberikan daerah sementara kepada orang Bayung Gede untuk beristirahat. Tempat
beristirahat ini sering disebut sebagai Kubu Bayung. Tempat inilah kemudian yang dipercaya
sebagai desa yang mereka tempati sekarang. Mereka juga percaya bahwa inilah alasan yang
menjelaskan kesamaan peraturan tradisional serta struktur bangunan antara desa Penglipuran
dan desa Bayung Gede.

Mengenai asal mulai kata Desa Penglipuran, ada 2 persepsi berbeda yang diyakini oleh
masyarakatnya. Yang pertama adalah Penglipuran berarti “pengeling pura” dengan “pengeling”
berarti ingat dan “pura” berarti tempat leluhur. Presepsi yang kedua mengatakan bahwa
penglipuran berasal dari kata “pelipur” yang berarti hibur dan “lipur” yang berarti
ketidakbahagiaan. Jika digabungkan maka penglipuran berarti tempat untuk penghiburan.
Persepsi ini muncul karena Raja Bangli pada saat itu dikatakan sering mengunjungi desa ini
untuk bermeditasi dan bersantai. Dulu Desa Penglipuran disebut Desa Kubu Bayung, artinya
orang Bayung yang terletak di Desa Kubu. Kata Penglipuran berasal dari kata pengeling yang
berarti ingat atau mengingat, dan kata pura yang berarti tempat tinggal atau tanah leluhur, yang
kalau digabungkan menjadi pengeling pura lantas menjadi Penglipuran yang artinya ingat
kepada tanah leluhur tempat asalnya yaitu Bayung Gede.
3.2 KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA DESA PANGLIPURAN
Selain dijuluki Desa Adat, Desa Penglipuran juga dijuluki Desa Budaya. Hal itu bisa
kita lihat dari susunan rumah yang dibuat berderet-deret serta angkul-angkul yang dibuat
nampak sama, yaitu dari bahan bambu. Hal itulah yang menjadi ciri khas desa ini.
Rumah yang disusun berderet-deret memang sudah menjadi tradisi sejak jaman nenek moyang
dan sudah menjadi aturan masyarakat setempat. Namun masyarakat masih bisa merubah
bentuk rumah mereka menjadi lebih modern. Tapi dengan satu syarat mereka tidak boleh
merubah bentuk maupun letak Bale Gede dan dapur yang saling berhadapan.

Salah satu hal yang menunjukkan modernisasi di desa ini, yaitu semakin banyaknya
masyarakat yang menggunakan teknologi-teknologi canggih seperti yang dapat kita saksikan
di kota-kota besar, diantaranya semakin banyak masyarakat yang memiliki sepeda motor,
menggunakan kompor gas dalam memasak, memiliki televisi, bahkan beberapa penduduk
sudah ada yang memiliki komputer dan internet. Internet digunakan sebagai salah satu media
untuk mempromosikan Desa Penglipuran itu sendiri.

Selain kehidupan budayanya, kehidupan sosial Desa Penglipuan pun sangat menarik.
Bisa dilihat dari cara mereka berinteraksi dengan masyarakat luar. Mereka selalu menyambut
wisatawan yang datang dengan sangat ramah. Mereka selalu berusaha membuat wisatawan
yang datang merasa nyaman berada di desa mereka seperti dengan cara mengajak wisatawan-
wisatawan tersebut berkeliling. Selain menjaga interaksi dengan masyarakat luar, masyarakat
pun selalu menjaga interaksi dengan masyarakat setempat, seperti mengadakan pertemuan-
pertemuan di Balai Banjar.
3.3 HUKUM ADAT DAN TRADISI DESA PANGLIPURAN
1. Sistem Adat Yang Ada Pada Desa Penglipuran
Di desa Penglipuran terdapat dua sistem dalam pemerintahan yaitu menurut sistem
pemerintah atau sistem formal yaitu terdiri dari RT dan RW, dan sistem yang otonom atau Desa
adat. Kedudukan desa adat maupun desa formal berdiri sendiri-sendiri dan setara. Karena
otonom, desa adat mempunyai aturan-aturan tersendiri menurut adat istiadat di daerah
penglipuran dengan catatan aturan tersebut tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang-
undang pemerintah. Undang-undang atau aturan yang ada di desa penglipuran disebut dengan
awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan implementasi dari landasan operasional
masyarakat penglipuran yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Prahyangan, adalah hubungan manusia dan Tuhan. Meliputi penentuan hari suci,tempat
suci dan lain-lain.

b. Pawongan, adalah hubungan manusia dan manusia. Meliputi hubungan masyarakat


penglipuran dengan masyarakat desa lain, maupun hubungan dengan orang yang beda
agama. Dalam pawongan bentuk-bentuknya meliputi sistem perkawinan,organisasi,
perwarisan dan lain-lain.
c. Hubungan manusia dan lingkungan, masyarakat desa penglipuran diajarkan untuk
mencintai alam lingkungannya dan selalu merawatnya, tidak heran kalau desa
penglipuran terlihat begitu asri.
Filsafat hubungan yang selaras antara alam dan manusia dan kearifan manusia
mendayagunakan alam sehingga terbentuk ruang kehidupan terlihat jelas di Penglipuran dan
daerah lain di Bali. Oleh karena itu visualisasi estetika pada kawasan ini bukan merupakan
barang langka yang sulit dicari, melainkan sudah menyatu dalam tata lingkungannya.

2. Tata Ruang
Tata ruang desa penglipuran dikenal dengan Tri Mandala yang terdiri dari tiga bagian yaitu :
a. Utama Mandala
Orang Penglipuran biasa menyebutnya sebagai Utama Mandala , yang bias
diartikan sebagai tempat suci. Ditempat inilah orang-orang Penglipuran melakukan
kegiatan sembahyang kepada Sang Hyng Widi yang mereka percaya sebagai Tuhan
mereka.

b. Madya Mandala
Biasanya adalah berupa pemukiman penduduk yang berbanjar sepanjang jalan
utama desa. Barisan itu berjejer menghadap kearah barat dan timur.Saat ini jumlah
rumah yang ada disana ada sebanyak 70 buah. Tata ruang pemukimannya sendiri adalah
sebelah utara atau timur adalah purakeluarga yang telah diaben. Sedangkan Madya
Mandala adalah rumah keluarga. Di tiap rumah pun terdapat tata ruang yang telah diatur
oleh adat. Tata ruang nya adalah sebelah utara dijadikan sebagai tempat tidur, tengah
digunakan sebagi tempat keluarga sedangkan sebelah timur dijadikan sebagai tempat
pembuangan dan bagian nista dari pekarangan biasanya berupa jemuran, garasi dan
tempat penyimpanan kayu.

c. Nista Mandala
Nista mandala ini adalah tempat yang paling buruk, disana terdapat kuburan
dari masyarakat penglipuran.

Konsep tri mandala tidak hanya berlaku bagi tata ruang desa tetapi juga bagi tata ruang
rumah hunian. Setiap kapling rumah warga Penglipuran terbagi menjadi tiga bagian. Di
halaman depan, terdapat bangunan angkul-angkul dan ruang kosong yang disebut natah; bagian
tengah adalah tempat berkumpulnya keluarga; dan di bagian paling belakang terdapat toilet,
tempat jemuran, atau kandang ternak.
3. Perkawinan
Di desa ini ada adat yang berlaku soal perkawinan yakni pelarangan poligami terhadap para
penduduknya. Adat melarang hal tersebut demi menjaga para wanita. Meskipun ada yang boleh
melakukan poligami namun akan mendapat sanksi. Sanksi biasanya si poligami akan
ditempatkan pada tempat yang bernama nista mandala atau disebut juga karang memadu. Dan
dilarang melakukan perjalanan dari selatan ke utara karena wilayah utara bagi orang
penglipuran adalah wilayah yang paling suci.

Masyarakat Penglipuran juga pantang untuk menikahi tetangga disebelah kanan dan kiri
juga sebelah depan dari rumahnya. Karena tetangga-tetangganya tersebut sudah dianggap
sebagai keluarga sendiri. Bagi warga yang ingin menikah dengan orang di luar Penglipuran
bisa saja. Dengan ketentuan bila mempelai laki-laki dari Penglipuran maka mempelai
perempuan yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Penglipuran.

Yang menarik adalah jika mempelai perempuan dari desa penglipuran dan laki-lakinya dari
adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat Penglipuran dan hidup di
desa Penglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki tersebut dianggap wanita oleh warga
lainnya.

a. Lembaga “Karang Memadu” Sebagai Sanksi Adat


Karang sendiri berarti tempat. Sedangkan Memadu artinya poligami. Sehingga Karang
Memadu adalah sebutan untuk tempat bagi orang yang berpoligami. Karang Memadu adalah
lahan kosong seluas 9 x 21meter yang terletak di ujung selatan Desa Adat Penglipuran. Jika
dilihat bentuknya, Karang Memadu tidak berbeda dengan lahan kosong pada umumnya. Hanya,
untuk menandai lahan ini dipasang sebuah papan bertuliskan Karang Memadu yang tujuannya
untuk membatasi lahan biasa dengan lahan khusus itu.

Warga Desa Penglipuran mempunyai 2 jenis hukum yang mereka taati dan ikuti yaitu
Awig-Awig (peraturan tertulis) dan Drestha (adat kebiasaan tak tertulis). Mayoritas penduduk
melakukan pernikahan dengan sesama warga desa. Oleh sebab itu sebagian besar penduduk
masih terikat hubungan darah antara satu sama lain. Jika terdapat laki-laki dari Desa Adat
Penglipuran yang menikahi gadis dari keluarga di luar warga Penglipuran maka dia tetap harus
melakukan kewajiban yang dimilikinya sebagai warga Desa Adat Penglipuran. Bagi para lelaki
Penglipuran mempunyai lebih dari satu istri merupakan hal yang dilarang.

Jika seseorang mempunyai lebih dari satu istri maka ia dan istri-istrinya harus pindah
dari Karang Kerti ke Karang Memadu (masih didalam desa tetapi bukan bagian utama). Hak
dan kewajibannya sebagai warga Desa Adat Penglipuran juga akan dicabut. Setelah orang
tersebut pindah, maka akan dibuatkan rumah oleh warga desa tetapi mereka tidak akan boleh
melewati jalanan umum ataupun memasuki Pura dan mengikuti kegiatan adat. Ini merupakan
bentuk penghormatan dan perlindungan terhadap kaum perempuan.

Orang yang Memadu juga tidak diizinkan untuk mengikuti sembahyang di pura-pura
yang menjadi tanggung jawab desa adat. Tidak boleh juga bergaul di masyarakat dengan bebas.
Dan satu lagi, pernikahan orang yang berpoligami tidak disahkan oleh desa. Sehingga,
upacaranya tidak diselesaikan oleh pemimpin tertinggi di desa dalam pelaksanaan upacara adat
dan agama. Itulah Karang Memadu yang secara tidak langsung mendidik kaum lelaki untuk
setia terhadap satu pasangan saja. Hal ini juga menjadi bukti bahwa leluhur setempat sejak
zaman dahulu memang sangat menjunjung tinggi dan menghormati keberadaan kaum wanita.

b. Pengaruh Sanksi Karang Memadu Terhadap Jumlah Pelaku Poligami di Desa


Penglipuran
Selain memiliki budaya menghormati alam, penduduk desa Penglipuran Bangli juga
memiliki budaya dan tradisi untuk menghormati wanita. Hal ini dengan adanya aturan desa
yang melarang pria untuk melakukan poligami. Jika ketahuan melakukan poligami maka akan
mendapatkan hukuman dikucilkan dari desa. Tepatnya adalah diasingkan ke Karang Memadu,
yaitu kawasan yang hanya difungsikan sebagai tempat tinggal pelaku poligami. Desa Adat
penglipuran melarang poligami, dengan alasan pemberdayaan perempuan. Jika ada yang
melanggar aturan ini, maka akan dikucilkan dan dipaksa tinggal di kawasan Karang Memadu
itu sebagai hukuman.

Dari pemberlakuan adat tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Penglipuran
sangat menghargai emansipasi wanita. Menurut sumber yang kami wawancarai belum ada
satupun warga Desa Penglipuran yang menghuni Karang Memadu hingga saat ini. Mendengar
jawaban tersebut semakin menguatkan bukti bahwa masyarakat Desa Penglipuran mematuhi
warisan adat mereka dan menjunjung tinggi emansipasi wanita. Dengan demikian wanita di
Desa Panglipuran telah mendapatkan haknya sebagai seorang istri untuk mendapatakan cinta
dan kasih sayang suami secara utuh dengan tidak dibagi-bagi dengan istri suaminya yang lain.
Wanita Desa Penglipuran adalah contoh sosok ideal istri yang diinginkan wanita lain.
3.4 HIDANGAN KHAS DESA PANGLIPURAN

1. LOLOH CEMCEM
Loloh cencem merupakan minuman khas yang terbuat dari daun kloncing atau daun
cemcem. Minuman ini berkhasiat untuk melancarkan pencernaan. Loloh cencem diproses
secara tradisional, tanpa menggunakan bahan pengawet atau pemanis buatan minuman ini
memiliki cita rasa yang unik Ada kumpulan rasa asam, asin, manis, pedas, dan juga sedikit
kecut. Bahan pembuat loloh umumnya berasal dari bahan segar.

Bahan:
o Daun Cemcem atau daun kedondong, secukupnya
o Air kelapa dan daging kelapa muda, secukupnya
o Asam jawa
o Gula pasir
o Garam
o Terasi
o Cabai

Cara membuat:
1. Rebus irisan cabai, terasi, asam, gula, dan garam. Tunggu hingga tercium aroma wangi.
2. Cuci daun cemcem, lalu tumbuk atau diremas-remas.
3. Campurkan daun cemcem ke rebusan air asam. Tunggu hingga berubah warna.
4. Matikan kompor, tuang air rebusan ke dalam gelas.
5. Tambahkan air kelapa dan daging kelapa, serta es batu untuk membuatnya lebih segar.
2. TIPAT CANTOK
Tipat cantok adalah makanan sejenis ketupat dan sayuran rebus, yang kemudian disajikan
dengan bumbu kacang.

Bahan:
o 2 buah ketupat besar
o 200 gram tahu putih
o 200 gram kacang panjang
o 200 gram tauge
o 2 buah mentimun
o Bumbu kacang secukupnya
o 10 buah cabai rawit merah
o 6 siung bawang putih
o 2 cm kencur
o 200 gram selai kacang
o 2 sdt petis udang
o 2 sdm gula jawa
o Garam secukupnya
o Minyak sayur secukupnya
3. KLEPON KETELA UNGU
Yang menjadikannya unik adalah warna ungu yang berasal dari ketela atau ubi ungu.
Penganan ini berbentuk bulat dengan porsi one bite size, yang diisi dengan gula merah dan
taburan kelapa sebagai topping.

Bahan:
o 350 gr ubi atau ubi ungu
o 100 gr tepung sagu
o 1 sdt garam

Bahan isi:
o 125 gr gula merah

Bahan pelapis:
o 200 gr kelapa parut kasar
o 1 lembar daun pandan
o 1/2 sdt garam

Cara membuat klepon ubi ungu:


1. Buat pelapisnya dulu, kukus kelapa parut dengan garam dan dan pandan hingga matang
selama 15 menit.
2. Lanjut membuat klepon, campur ubi, tepung sagu, dan garam. Uleni. Ambil sedikit adonan
ubi, pipihkan dan isi gula merah sisir, tutup adonan dan bulatkan.
3. Rebus air sampai mendidih, cemplungkan klepon masak sampai matang terapung. Angkat
dan tiriskan airnya.
4. Balur klepon rebus ke bahan pelapis sampai rata.
4. LAKLAK
Laklak adalah jajan pasar khas Bali ini mirip dengan serabi Jawa. Dibentuk bundar kecil
lalu ditaburi kelapa parut dan dikucuri sirup gula merah.

Bahan adonan:
o 250 g tepung beras
o 300 ml air panas
o 500 ml santan segar hangat
o 1 sdt baking powder
o 1 sdt garam
Taburan:
o 100 g kelapa kupas parut
Sirup gula:
o 200 g gula aren, iris halus
o 50 g gula pasir
o 200 ml air
o 1 lembar daun pandan
3.5 UPACARA KEAGAMAAN DESA PENGLIPURAN

` Desa Panglipuran, terletak di Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli, Bali, Indonesia,


merupakan salah satu contoh nyata dari kelestarian tradisi dan budaya masyarakat Bali. Salah
satu aspek yang sangat menonjol dari kehidupan masyarakat Panglipuran adalah upacara
keagamaan yang diadakan secara berkala dan diikuti dengan penuh kekhusyukan. Upacara
keagamaan di Desa Panglipuran tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan sehari-hari dan identitas budaya masyarakatnya. Di tengah
perubahan zaman dan modernisasi, masyarakat Panglipuran tetap teguh mempertahankan
tradisi ini sebagai warisan leluhur yang harus dijaga dengan baik. Upacara keagamaan di Desa
Panglipuran mencerminkan kekayaan budaya dan spiritual masyarakatnya. Dalam makalah ini,
akan diuraikan aspek-aspek penting dari upacara tersebut, mulai dari persiapan hingga
pelaksanaan.

Pertama, persiapan upacara melibatkan keterlibatan seluruh komunitas desa. Masyarakat


bergotong royong mempersiapkan tempat ibadah dan merenovasi fasilitas keagamaan. Proses
ini memperkuat ikatan sosial dan kebersamaan dalam menjaga tradisi. Selanjutnya, pada hari
upacara, pendeta atau pemimpin rohaniah desa memimpin prosesi dengan membawa berbagai
perlengkapan keagamaan. Masyarakat berkumpul di tempat ibadah, memperlihatkan kesatuan
dalam beribadah dan berdoa bersama. Ritual dalam upacara mencakup pembacaan doa,
persembahan, dan tarian tradisional yang menggambarkan nilai-nilai kearifan lokal.

Upacara ini menjadi wadah untuk merayakan keyakinan bersama dan mempererat
hubungan antara generasi yang lebih muda dengan yang lebih tua. Dalam konteks Desa
Panglipuran, upacara keagamaan tidak hanya menjadi bentuk ekspresi spiritual, tetapi juga
melestarikan identitas budaya mereka. Dengan menjaga dan melibatkan masyarakat dalam
upacara ini, Desa Panglipuran dapat memastikan bahwa warisan keagamaan dan budayanya
terus diwariskan kepada generasi mendatang.

Salah satu upacara keagamaan yang penting di Desa Panglipuran adalah upacara
Odalan. Odalan merupakan perayaan hari jadi atau ulang tahun sebuah pura (tempat ibadah
Hindu). Setiap pura di desa ini memiliki hari Odalan masing-masing, yang diperingati dengan
penuh suka cita dan kekhusyukan oleh masyarakat setempat. Persiapan untuk upacara Odalan
dimulai jauh-jauh hari sebelumnya, melibatkan seluruh komunitas desa dalam prosesi
persiapan dan pelaksanaan upacara.

Upacara lain yang juga memiliki makna mendalam bagi masyarakat Panglipuran adalah
upacara Ngaben atau kremasi. Ngaben merupakan upacara pemakaman yang merupakan salah
satu rangkaian upacara keagamaan Hindu Bali yang sangat khas. Proses Ngaben di Desa
Panglipuran tidak hanya sekadar pemakaman, tetapi juga sebagai wujud penghormatan terakhir
kepada almarhum dan sebagai perwujudan kepercayaan akan siklus kehidupan dan kematian.

Selain Odalan dan Ngaben, masih banyak upacara keagamaan lain yang diadakan di
Desa Panglipuran, seperti Upacara Melasti, Upacara Manusa Yadnya (upacara untuk manusia),
dan berbagai ritual kecil lainnya yang menjadi bagian integral dari kehidupan keagamaan
masyarakat Panglipuran.

Secara keseluruhan, upacara keagamaan di Desa Panglipuran tidak hanya merupakan


serangkaian ritual, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kehidupan, kekompakan masyarakat,
dan keberagaman budaya Bali yang kaya. Keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam
pelaksanaan upacara keagamaan ini menunjukkan kekuatan solidaritas dan kebersamaan dalam
menjaga warisan budaya leluhur.

3.6 DESA-DESA ADAT YANG TERDAPAT DI BALI


Selain Desa Penglipuran, Bali juga memiliki banyak desa adat lainnya, seperti:
1. Desa Tigawasa
Desa Tigawasa ini merupakan tempat tinggal masyarakat Bali Mula atau orang Bali asli.
Mereka memiliki tradisi dan kebudayaan yang unik. Salah satunya, warga Tigawasa tidak
mengenal Ngaben atau pembakaran mayat. Di sini, mayat akan dikubur dengan dibungkus kain
batik.
Tak hanya soal kebudayaannya, Desa Tigawasa memiliki pemandangan yang memesona.
Memiliki banyak perkebunan dan persawahan hijau yang membentang luas. Udara di sini sejuk
kaena berada di ketinggian sekitar 500-700 meter. Desa ini juga merupakan penghasil kopi
robusta. Desa ini juga terkenal dengan kerajinan anyaman bambu yang bernama sokasi dan
bedeg.
2. Desa Sidetapa
Desa Sidetapa adalah salah satu desa tua di kabupaten Bali Buleleng. Desa ini terletak 650
meter di atas permukaan laut. Desa ini terletak di atas, indah dan masih memegang kekayaan
alam dan budaya masa lalu. Desa Sidetapa terkenal dengan kerajinan bambu. Hampir setiap
kepala keluarga melakukan kegiatan menganyam bambu di desa ini.
Desa Sidetapa adalah desa tua yang masih mempertahankan tradisi leluhur, dan
masyarakat masih kental dengan tradisi masa lalu. Di puncak bukit yang indah dengan
pemandangan yang masih alami, desa ini terkenal sebagai tujuan wisata. Di desa ini ada 2 air
terjun yang masih dalam penataan, air terjun Mampah dan air terjun Tamblang, terletak hanya
sekitar 1,5 km dari pusat desa. Di sepanjang jalan menuju komunitas air terjun menenun bambu
dan dikelilingi oleh kebun cengkeh dan kebun buah-buahan.
Di desa ini juga ada bangunan bersejarah yang masih dilestarikan oleh masyarakat
setempat, yang merupakan rumah kuno, yang disebut Bale Gajah Tumpang Salu. Bangunan ini
sangat sakral oleh masyarakat setempat. Rumah tradisional masyarakat Sidetapa tersebut
beratap seng, dan dinding tanah. Bangunan asli tidak menghadap ke jalan itu berkaitan dengan
sejarah masa lalu, di mana desa Sidetapa adalah desa asli Bali yang awalnya tidak ingin
menerima pengaruh dari budaya Majapahit.

Bale Gajah Tumpang Salu


Bangunan rumah tradisional di desa Sidetapa mengalami perubahan sesuai dengan
waktu, dengan posisi bangunan menghadap ke jalan tetapi hanya bagian luar di rubah saja dan
bagian dari kuilnya masih dipertahankan dan masih banyak bangunan bangunan asli yg belum
di sentuh oleh perubahan zaman yang didalam maupun di luarnya yang menjadi daya tarik
wisata untuk berkunjung ke Desa Sidetapa dan juga banyak dari mahasiswa yang datang untuk
mencari informasi terkait dengan Rumah Adat kuno tersebut.
3. Desa Tenganan
Desa Tenganan atau dikenal dengan Tenganan Pegeringsingan, merupakan salah satu dari
sejumlah desa kuno di Pulau Bali. Pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan
dan adat istiadat desa Bali Aga ( pra Hindu ) yang berbeda dari desa-desa lain di Bali.
Sebagai obyek wisata budaya, Desa Tenganan memiliki banyak keunikan dan kekhasan
yang menarik untuk dilihat dan dipahami. Dari sistem kemasyarakatan yang dikembangkan,
bahwa masyarakat Desa Tenganan terdiri dari penduduk asli desa setempat. Hal ini disebabkan
karena sistem perkawinan yang dianut adalah sistem parental dimana perempuan dan laki-laki
dalam keluarga memiliki derajat yang sama dan berhak menjadi ahli waris.

Hal ini berbeda dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Bali pada
umumnya. Di samping itu, mereka juga menganut sistem endogamy dimana masyarakat
setempat terikat dalam awig-awig (hukum adat) yang mengharuskan pernikahan dilakukan
dengan sesama warga Desa Tenganan, karena apabila dilanggar maka warga tersebut tidak
diperbolehkan menjadi krama (warga) desa, artinya bahwa ia harus keluar dari Desa Tenganan.

Daya tarik lain yang dimiliki Desa Tenganan adalah tradisi ritual Mekaré-karé atau yang
lebih dikenal dengan “perang pandan”. Mekaré-karé merupakan bagian puncak dari prosesi
rangkaian upacara Ngusaba Sambah yang digelar pada setiap Bulan Juni yang berlangsung
selama 30 hari.

Selama 1 bulan itu, Mekaré-karé berlangsung sebanyak 2-4 kali dan setiap kali digelar akan
dihaturkan sesajen kepada para leluhur. Mekaré-karé atau “perang pandan” diikuti para lelaki
dari usia anak-anak sampai orang-orang tua. Sesuai namanya, maka sarana yang dipergunakan
adalah daun pandan yang dipotong-potong sepanjang ±30 cm sebagai senjata dan tameng yang
berfungsi untuk menangkis serangan lawan dari geretan duri pandan.

Keunikan lain yang dimiliki oleh Desa Tenganan yang tidak dimiliki oleh daerah lainya
di Bali bahkan di Indonesia adalah kerajinan tenun double ikat kain Gringsing. Kata Gringsing
itu sendiri berasal dari kata “gering” yang berarti sakit atau musibah, dan “sing” yang artinya
tidak, maka secara keseluruhan gringsing diartikan sebagai penolak bala.

Proses pembuatan kain Gringsing sangatlah unik dan memerlukan waktu yang lama
(sampai 3 tahun), sehingga keberadaannya menjadi langka dan harganya cukup mahal. Kain
gringsing wajib dimiliki oleh warga Desa Tenganan karena merupakan bagian dari perlengkapn
upacara, seperti dalam upacara Ngaben (pembakaran jenazah) dimana kain Gringsing
ditempatkan pada pucuk badé (tempat mengusung mayat). Selain itu pada upacara potong gigi,
gringsing dipergunakan pula sebagai alas bantal.
Banyak cerita di masyarakat yang menyebutkan bahwa darah manusia digunakan dalam
pemberian warna pada benang unuk memperoleh warna yang diinginkan. Hal ini disebabkan
karena kain gringsing memang didominasi oleh warna merah. Namun yang sebenarnya adalah
bahwa bahan-bahan pewarna dalam pembuatan kain gringsing berasal dari getah-getah kayu
tertentu dan biji kemiri yang diramu sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai
pewarna.

4. Desa Jatiluwih
Desa Jatiluwih di Kabupaten Tabanan memiliki pemandangan alam yang patut dilihat oleh
wisatawan saat berlibur di Bali. Salah satu pemandangan yang bisa dilihat selama berada di
desa wisata tersebut adalah pemandangan sawahnya. Subak Desa Jatiluwih merupakan warisan
budaya tak benda yang ditetapkan oleh UNESCO pada 2012. Subak adalah sesuatu yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Tidak heran jika Subak Jatiluwih terlihat indah karena
ditangani oleh masyarakat setempat yang sudah ahli.
Adapun nilai yang dimaksud adalah nilai agama Hindu termasuk Tri Hita Karana atau
falsafah hidup harmonis antara Tuhan, manusia, dan alam. Sambil menikmati persawahan
terasering yang masuk dalam sistem pengairan subak, wisatawan juga bisa melihat hamparan
perbukitan dan pepohonan rindang di sekitarnya. Tidak jauh dari areal persawahan adalah Pura
Luhur Sri Rambut Sedana. Pura yang dipercaya sebagai tempat untuk memohon kesejahteraan,
kemakmuran, dan kesuburan tersebut terletak di lereng Gunung Batukaru. Pura Luhur Sri
Rambut Sedana dikatakan sebagai situs purbakala karena sudah ada sejak zaman dulu. Hal
tersebut karena hingga saat ini masih belum diketahui kapan pura dibangun.
5. Desa Trunyan
Bali terkenal dengan ragam wisatanya yang lengkap. Mulai dari pantai, gunung, danau,
kuliner, hingga desa wisata. Di Pulau Bali, khususnya daerah Kintamani, terdapat desa wisata
yang cukup tersohor. Namanya Desa Trunyan. Desa Trunyan adalah sebuah desa di Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli yang memiliki tradisi pemakaman unik. Orang-orang yang
meninggal di sana tidak dikubur atau dikremasi, melainkan hanya ditaruh di bawah pohon Taru
Menyan. Pohon inilah yang nantinya mampu menghilangkan bau jenazah yang berada di sana.
Jumlah jenazah yang ditaruh di bawah Taru Menyan tidak boleh lebih dari sebelas orang.
Selain itu ada beberapa syarat yang harus terpenuhi di antaranya adalah meninggal secara wajar,
telah menikah, anggota tubuh lengkap. Mereka yang meninggal dengan ketentuan tersebut akan
dimakamkan secara Mepasah (ditaruh di bawah Taru Menyan). Wilayah pemakamannya
disebut sebagai Sema Wayah. Namun, ada dua wilayah lain jika tidak memenuhi ketentuan di
atas. Mereka pun akan dikubur. Pertama, Sema Muda untuk anak kecil atau orang dewasa yang
belum menikah. Kedua, Sema Bantas untuk yang meninggal secara tidak wajar atau anggota
tubuhnya tidak lengkap karena penyakit.
BAB IV

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Desa Adat Panglipuran adalah contoh nyata kelestarian budaya dan lingkungan.
Dengan sistem tatanan sosial yang kuat dan keberlanjutan lingkungan yang dijaga, desa ini
memberikan inspirasi untuk mempertahankan warisan budaya dan alam secara seimbang. Desa
ini masih mempertahankan nilai-nilai tradisional untuk penataan ruang pada
lingkungannya. Desa Adat Penglipuran menganut konsep Tri Mandala.

Tri Mandala, yakni sebuah sistem penataan ruang yang dibagi menjadi tiga zona ruang
yaitu: (1) Utama Mandala yang merupakan area suci; (2) Madya Mandala yang merupakan
area tengah untuk beraktivitas masyarakat; (3) Nista Mandala merupakan area paling belakang
yang digunakan untuk kompleks pemakaman. Desa Wisata Penglipuran menerapkan konsep
wisata budaya yang menawarkan keaslian budaya Bali sebagai daya tarik bagi para wisatawan
untuk berkunjung dan merasakan suasana pedesaan khas Bali.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai