Anda di halaman 1dari 32

Makalah

“Mengenal Kebudayaan Identitas Kota Berirama Purworejo”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Rian Anggara,S.Pd.,Gr.,M.Pd

Disusun Oleh :

Nama :

NIM :

PROGRAM STUDI

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan
kesempatan emas ini kepada saya selaku penyusun makalah berjudul
“Mengenal Kebudayaan Kota Berirama, Purworejo” sehingga saya dapat
menyelesaikannya dengan baik. Tak lupa juga, rasa terima kasih yang setulus-
tulusnya yang saya persembahkan kepada Ibu saya dan seluruh pihak yang
telah membantu saya dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini.

Meskipun makalah ini telah saya susun dengan sebaik-baiknya, tapi


tetap saja makalah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Maka dari
itu, saya selaku penulis sekaligus penyusun makalah ini memohon maaf yang
setulus-tulusnya atas kesalahan yang ada di dalam makalah ini. Apabila
pembaca sekalian hendak menyampaikan kritik dan saran positif mengenai
makalah ini, saya selaku penulis akan berlapang dada dan senang hati untuk
menerimanya.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan melalui kata pengantar ini,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Akhir kata,
cukup sekian dan terima kasih.

Purworejo, 9 Mei 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I.....................................................................................................................................................................

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................................

1.3 Tujuan Makalah……………………………………………………………………………………...4


1.4 Manfaat Makalah……………………………………………………………………………………4

BAB II...................................................................................................................................................................

1.5 Pengertian Kebudayaan Identitas Nasional………………………………………………5

1.6 Sejarah Kota Purworejo…………………………………………………………………6

1.7 Sejarah Pemerintahan…………………………………………………………………………..10


1.8 Perekonomian Kota Purworejo……………………………………………………………..12
1.9 Kebudayaan Identitas Kota Purworejo…………………………………………………..15
2.0 Makanan Identitas Kota Purworejo……………………………………………………….22

BAB III...............................................................................................................................................................

2.1 Simpulan……………………………………………………………………………………………...26
2.2 Saran…………………………………………………………………………………………………...26

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................

Lampiran.........................................................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sama halnya dengan kehidupan seorang individu yang selalu


berubah dan mempunyai citra. Setiap bangsa juga pasti memiliki suatu
identitas yang membedakan dengan bangsa lainnya. Identitas tersebut
dikenal sebagai identitas nasional. Dalam arti etimonologisnya identitas
terdiri dari dua kata yakni identitas dan nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia menjelaskan bahwa kata "Identitas" berarti ciri-ciri atau
keadaan khusus seseorang atau jati diri. Kata identitas berasal dari kata
"identity" (Inggris). Kata nasional berarti bersifat "kebangsaan" ;
berkenaan atau beradal dari bangsa sendiri ; meliputi suatu bangsa ." Kata
nasional berasal dari kata "national" yang dalam Oxford Advanced
Learners's Dictionary berarti Connected with a particular nation ; shared
by a whole nation ; owned,controlled or financially supported by the federal
,government. Dalam kamus besar bahasa Indonesia , "nasional" berarti
bersifat kebangsaan kebangsaan ; berkenaan atau berasal dari bangsa
sendiri ; meliputi suatu bangsa (Tim Penyusun Buku Ajat MKWU, 2016".
Berdasarkan arti yang terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
tersebut, identitas nasional dengan demikian dapat diartikan sebagai ciri-
ciri ,segala perasaan atau sifat-sifat kebangsaan yang berasal dari bangsa
itu sendiri.
Identitas nasional selalu merupakan representasi dari keadaan
suatu bangsa. Identitas ini yang menjadi salah satu hal yang penting bagi
kelangsungan hidup sebuah bangsa. Dengan adanya identitas ini, bangsa
Indonesia akan menjadi lebih berdaulat dan memiliki karakter kuat
sehingga mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin sulit. Di era
globalisasi seperti sekarang ini, kebutuhan akan identitas nasional
menjadi hal yang mendesak. Pembentukan identitas nasional melalui
pengembangan nilai-nilai kebudayan Indonesia juga telah mulai
dilakukan di masa Kebangkitan Nasional jauh sebelum kemerdekaan.
Kongres-kongres kebudayaan seeprti Kongres Budi Utomo telah mampu
melahirkan kepedulian terhadap unsur-unsur budaya daerah-daerah lain
dan memberikan inspirasi yang mengkristal akan kesadaran berbangsa
yang diwujudkan dengan semakin banyaknya kebudayaan di
masyarakat.Identitas nasional bangsa Indonesia tercipta dari berbagai
nilai-nilai kultural suku bangsa yang ada di setiap daerah. Nilai-nilai
kultural tersebut kemudian dihimpun menjadi satu kesatuan yang
akhirnya membentuk identitas nasional bangsa Indonesia. Memahami
kebudayaan Indonesia dari berbagai segi juga sangatlah penting dalam
rangka menemukan integrasi sebagai unsur penting dalam usaha
persatuan bangsa. Pasalnya, kebudayaan Indonesia berakar dari
kebudayaan etnik lokal di Indonesia yang memiliki keragaman. Oleh
karena itu, 'Bhinneka Tunggal Ika' sebagai moto bangsa Indonesia yang
sesungguhnya merupakan cita-cita yang masih harus diperjuangkan
masyarakat Indonesia. Agar menjadi bangsa yang dikenal oleh dunia
internasional, suatu bangsa minimal harus mampu mencintai budayanya
sendiri. Kebudayaan itu adalah salah satunya salah satunya adalah
kebudayaan daerah kota Purworejo, kota kecil yang berada di Provinsi
Jawa Tengah. Sebagai kota kecil ,kebudayaan di kota Purworejo tidak
kalah hebat dengan kebudayaan daerah lain. Kebudayaan-kebudayaan ini
menjadi identitas dan ciri khas yang membedakan kota Purworejo
dengan kota lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan, dapat dirumuskan
masalahnya yaitu sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan identitas nasional ?
2. Apa itu kota Purworejo?
3. Apa saja kebudayaan identitas kota Purworejo ?
4. Apa saja makanan ciri khas kota Purworejo ?
1.3 Tujuan Makalah

Adapun tujuan makalah yaitu sebagai berikut.


1. Untuk mengetahui dan memahami apa itu kebudayaan identitas
nasional;
2. Untuk mengetahui dan mengenal kota Purworejo ;
3. Untuk mengetahui apa saja kebudayaan identitas kota Purworejo ;
4. Untuk mengetahui dan memahami apa saja makanan ciri khas kota
Purworejo

1.4 Manfaat Makalah

Adapun manfaat makalah yaitu sebagai berikut.


1. Untuk menjadi pembelajaran bagi mahasiswa;
2. Untuk menjadi bahan bacaan bagi masyarakat umum;
3. Untuk menjadi bahan persentasi atau sejenisnya bagi mahasiswa.

BAB II

PEMBAHASAN
1.5 Pengertian Kebudayaan Identitas Nasional

Indonesia adalah negeri yang luar biasa, negeri yang kaya akan suku
bangsa, bahasa, dan budaya. Budaya merupakan suatu unsur penting
pembentuk identitas suatu kumpulan orang banyak terlebih suatu
bangsa. Kepribadian suatu bangsa akan tercermin melalui budayanya. Secara
etimologi kebudayaan berasal kata “budaya” semantara dalam buku
sanseskerta , kata kebudayaan berasal dari kata “Bodhya” yang berarti akal
budi. Menurut seorang Antropolog Inggris , EM B Tylor Kebudayan adalah
kompleks keseluruhan yang meliputi
pengetahuan ,kepercayaan,kesenian,hukum ,moral,kebiasaan,kebiasaan,serta
lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Budaya bisa didefinisikan secara luas yaitu adat istiadat atau
kebiasaan yang dilakukan baik itu dalam sehari-hari ataupun kebiasaan dari
sejak zaman dahulu sampai sekarang. Arah pembinaan kebudayaan sebagai
identitas nasional Indonesia harus berpijak pada dasar filsafat bangsa yaitu
Pancasila, artinya bentuk-bentuk kebudayaan sebagai pengejawantahan
pribadi manusia Indonesia harus menunjukkan nilai·nilai esensial dari
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara. Sartollo'Kartodirdjo berpendapat
bahwa permulaan kehidupan bangsa Indonesia dalam kerangka kebudayaan
Nasional yang berdasarkan Pancasil adaIah proses yang timbal balik antara
yang ideal dan yang aktual, antara "das sollen" dan "das Sein", juga antara
"kebenaran ideal" dengan realitas sebagai polaritas dan kelakuan individu
antara kelembagaan dan interaksi sosial, dan lain sebagainya. Kebudayaan
Nasional, juga harus dilaksanakan berdasar Pancasila sehingga mewujudkan
kesatuan yang koheren dan "berjiwa" Pancasila 'beserta norma-norma moral
yang ideal dalam kehidupan sehari-hari. Pembinaan kebudayaan sebagai
identitas asional Indonesia relevan dengan Pancasila'terutama terletak pada
sila kedua, 'meskipun tetap dalam hubungannya dengan sila-sila yang
lain. Rumusan isi arti Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, ialah
kesesuaian sifat dan keadaan dengan hakikat manusia sebagai makhluk
bersusun majemuk atau monopluralis dari unsur-unsur jiwa raga, akal rasa
kehendak, dan sifat perseorangan, sifat makhluk sosial dan berkedudukan
sebagai pribadi berdiri sendiri dan kedudukan sebagai makhluk Tuhan.
Kesemua unsur tersebut merupakan suatu kesatuan atau keutuhan dalam
diri manusia yang penjelmaannya akan terwujud dalam setiap perbuatan dan
tindakan manusia (Notonagoro, 1980, P.6

1.6 Sejarah Kota Purworejo

           Purworejo adalah salah satu kabupaten di wilayah Jawa Tengah,


letaknya pada posisi 109,47’28”-118 8’20” BT dan 7 32’-7 54’ LS. Secara
topografis merupakan wilayah beriklim tropis basah dengan suhu antara 19 C
– 28 C, sedangkan kelembaban udaranya antara 70% - 90% dan curah hujan
tertinggi pada bulan Desember 311 mm dan bulan Maret 289 mm. Letak
wilayahnya berbatasan langsung dengan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Samudera Hindia di sebelah selatan dan timur, berbatasan
dengan Kabupaten Kebumen di sebelah barat, dan berbatasan dengan
Kabupaten Magelang di sebelah utara. Kabupaten Purworejo merupakan
bagian dari dataran aluvium Jawa Tengah Selatan, yang dibatasi oleh
Pegunungan Serayu Selatan dan Gunung Sumbing di sebelah utara,
Pegunungan Menoreh di timur, Samudra Hindia di selatan dan dataran
Kebumen-Banyumas di sebelah barat. Dataran Kabupaten Purworejo ini
tersusun oleh endapan aluvium yang terutama berasal dari rombakan batuan
gunung api Tersier penyusun Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan
Menoreh, serta Gunung Api Kuarter Gunung Sumbing. Di bagian utara
sebelah timur endapan rombakan tua membentuk kipas aluvium Purworejo,
sedangkan di sebelah barat membentuk kipas aluvium Kutoarjo. Kabupaten
ini terdiri dari 16 kecamatan, 25 kelurahan, dan 469 desa. Pada tahun 2017,
jumlah penduduknya mencapai 771.203 jiwa dengan luas wilayah 1.091,49
km² dan sebaran penduduk 706 jiwa/km². Purworejo terletak di jalur Selatan
Jawa yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan kota-kota lain di pantai
Selatan Jawa. Purworejo dapat ditempuh melalui darat menggunakan moda
transportasi jalan raya dan kereta api.
Sejarah adanya kota kabupaten ini bermula dari ditemukannya
Prasasti Kayu Ara Hiwang di Desa Boro Wetan, Kecamatan Banyuurip,
Kabupaten Purworejo, pada sekitar 5 Oktober 901 M. Prasasti ini ditemukan
di bawah pohon Sono di dusun Boro Tengah, yang saat ini masuk ke dalam
wilayah Desa Boro Wetan, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo.
Lokasi temuannya terletak di tepi sungai Bogowonto, salah satu sungai besar
di wilayah Purworejo. Prasasti tersebut mengungkapkan sebuah fakta di
masa lalu, bahwa tertera pada tanggal 5 Oktober 901 M , telah diadakan
upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah antara
lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Thang), Gulak,
Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mntyasih (Matesh Magelang),
Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pekambingan, Kalungan (Kalongan,
Loano).

Sejak jaman dahulu wilayah kabupaten Purworejo ini lebih dikenal


sebagai wilayah tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani dan dihormati
oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya
dalam pengembangan agama Islam di Jawa tanah Selatan, tokoh Sunan
Geseng dikenal sebagai Ulama besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur
sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Kabupaten Magelang. Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para
tokoh Bagelen adalah pasukan andalan dari Satuwijaya yang kemudian
setelah bertahta bergelar Panembahan Senopati. Dalam sejarah tercatat
bahwa tokoh Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer
sehingga nama Bagelen sangat disegani. Dalam perang Diponegoro abad ke
XIX, wilayah Tanah Bagelen juga menjadi ajang pertempuran karena
pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari masyarakat setempat.
Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan
masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibu kotanya Kota Purworejo.
Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain
kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh
Bupati Pertama raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam
perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung
dengan Kadipaten Purworejo.

Pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten


Purworejo dipilih dan ditetapkan menjadi hari dimana kota Purworejo ini
pertama kali ada. Sesuai catatan yang ada di dalam Babad Mataram, yang
ditulis oleh Pangeran Diponegoro selama di pengasingan dan di dalam Babad
Kedung Kebo, karya RAA Tjokronegoro, kata ‘Purworejo’ pertama
disampaikan oleh RAA Tjokronegoro pada tanggal 27 Februari tahun 1831.
Saat itu bertepatan dengan bulan Ramadan tanggal 14. Setelah salat Tarawih
dan tadarus Alquran, dini hari, Adipati Tjokrojoyo yang pada saat itu
menjabat sebagai Bupati Brengkelan, menyampaikan perubahan yakni
Brengkelan menjadi Purworejo. Pada saat itu diumumkan bahwa beliau yang
semula Kanjeng Raden Tumenggung Tjokrojoyo mengubah nama diri
menjadi Raden Adipati Arya (RAA) Tjokronegoro. Tanggal 27 Februari 1831
merupakan momentum lahirnya kota Purworejo dan perubahan penyebutan
untuk wilayah yang meliputi antara lain Tanggung, Brangkilen, Kedungkebu,
Loano, Bragolan, Banyuurip yang semula bagian Kadipaten Brengkelan
menjadi Purworejo. Perubahan nama dimaksudkan agar di wilayah tersebut
mengawali untuk maju, unggul dalam berbagai bidang, menjadi masyarakat
yang makmur dan mulia atau mulyo. Ada juga penegasan jati diri dan sifat
kemandirian dengan menanggalkan gelar dan nama pemberian sebelumnya,
yaitu KRT Tjokrojoyo menjadi Raden Adipati Aryo Tjokronegoro. Tahun 1936,
Gubernur Jenderal Hindia Belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu
Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjadi satu
dengan Kebumen dan menjadi Kabupaten Kebumen. Sedangkan Kabupaten
Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah
yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi
Kabupaten Purworejo. Sedangkan Kabupaten Ledok menjadi Kabupaten
Wonosobo.

Ada 3 aspek yang terkandung dalam penetapan 27 Februari 1831


sebagai hari jadi Purworejo. Pertama adalah aspek logis. Artinya, dengan usia
Purworejo di kisaran 190-an tahun, menjadi hal yang mudah diterima secara
nalar. Beberapa kota pembanding seperti Yogya kini berusia 265 tahun,
Surakarta kini 275 tahun, Wonosobo 193 tahun, dan Temanggung 186 tahun.
Kedua adalah aspek relevansi. Pada penyampaian resmi kali pertama, kata
Purworejo terucap menjadi momentum yang memiliki keterkaitan kuat
dengan Purworejo. Ketiga adalah aspek praksis atau pragmatis. Pram
menambahkan, dengan Perda 1 tahun 2019, pihaknya akan mudah
mengetahui keeksisan para bupati yang bisa menginventarisasi kegiatan
pembangunan sejak tahun 1831 hingga sekarang

Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal


sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang
menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah
yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh yang muncul pun tidak kalah hebat dengan kota besar lain di
Jawa Tengah, yakni antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan
“Indonesia Raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A.Yani, Sarwo Edy
Wibowo dan sebagainya. Tokoh-tokoh Jan Toorop, pelukis Belanda, A.J.G.H.
Kostermans, pakar botani Indonesia, Ahmad Yani, pahlawan revolusi, Yum
Soemarsono, Bapak Helikopter Indonesia, Wilopo, Perdana Menteri Indonesia
ke-7, Sarwo Edhie Wibowo, mertua presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Bustanul Arifin, mantan Kabulog Orde Baru, Oerip Soemohardjo, pendiri TNI,
Johan Hendrik Caspar Kern, ahli bahasa dan orientalis, Syekh Imam Puro,
Ulama Purworejo, Syekh Abdul Jalal, Ulama Purworejo, makam di desa Awu-
Awu, Ngombol Purworejo, Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu
kebangsaan "Indonesia Raya" (masih diperdebatkanl), Kyai Sadrach, Tokoh
Penginjil Jawa; Perintis Gereja Kristen Jawa (GKJ), Danurwindo, mantan
pemain dan pelatih Timnas Indonesia, kelahiran Kutoarjo, Erman Suparno,
(mentri Tenaga Kerja Kabinet Indonesia Bersatu), Slamet Kirbiantoro,
mantan Pangdam Jaya, Supriyatno Koord. Muda Ganesha 2006, Endriartono
Sutarto,mantan Panglima TNI 2006, Kasman Singodimedjo,tokoh pergerakan
1945, Herman Alex Veenstra, olahragawan polo air Belanda, Winoto Danoe
Asmoro, kepala rumah tangga presiden Soekarno,Mardiyanto, mantan
Mendagri KIB I, Soebrantas Siswanto, mantan Gubernur Riau,Tafsir
Nuchamid, Mantan Wakil Rektor-II Universitas Indonesia 2007-2012, Aris
Yunanto, Komisaris PT Energy Management Indonesia (Persero)Karel
Heijting, pemain sepak bola Belanda, Nicolaus Driyarkara, guru besar filsafat
di Universitas Indonesia era 1960-an, Thé Tjong-Khing, pelukis Belanda, dan
Tjitrowardojo, dokter Jawa semasa politik etiskolonial Hindia Belanda,
pengajar Stovia, leluhur dari Presiden ke-3 RI, Bacharuddin Jusuf Habibie.

1.7 Sejarah Pemerintahan

NO Nama Bupati Periode

1 KRA Tjikronagoro I 1830-1856

2 KRA Tjokronagoro 1856-1896


II

3 KRA Tjokronagoro 1896-1907


III

4 KRA Tjokronagoro 1907-1919


IV

5 KRT. Sastro 1919-1921


Soedardjo

6 KRA. Soerryadi 1921-1927

7 KRA. Hasan 1927-1945


Danoediningrat

8 R. Moeritno 1945-1949
Wongsonegoro

9 M. Soerardjo 1949-1956
Sastrodiprojo

10 Hardjo Kartoadmojo 1956-1958


11 H. Pamoedji 1958-1960

12 Slamet 1960-1966
Soetohardjono

13 Wiryo Ratmoko 1966-1967

14 Drs. Soeharto Albert 1967-1975


Harries

15 Kol. (INF) H. 1975-1980


Soepantho
1980-1985

16 Drs. H. Soetarno 1985-1990

17 Drs. H. Gornito 1990-1995

1995-2000

18 KRT. H. Marsaid 2000-2005


Reksohadinegoro
S.H., M.Si.

19 H. Kelik Sumrahadi 2005-2008


S.Sos., MM.

Drs. H. Mahsun Zain 2008-2010


20 M.Ag.
2010-2015

21 Agus Utomo 2015-2016


(Penjabat)

22 Agus Bastian SE. 2016-2021


MM
1.8 Perekonomian Kota Purworejo

A. Pertanian
Aktivitas ekonomi kota Purworejo bergantung pada sektor pertanian,
di antaranya padi, jagung, ubi kayu dan hasil palawija lain. Sentra tanaman
padi di Kecamatan Ngombol, Purwodadi dan Banyuurip. Jagung terutama
dihasilkan di Kecamatan Bruno. Ubi kayu sebagian besar dihasilkan di
Kecamatan Pituruh.Di tingkat Provinsi Jawa Tengah, Purworejo menjadi salah
satu sentra penghasil rempah-rempah ,yaitu: kapulaga, kemukus, temulawak,
kencur, kunyit dan jahe yang sekarang merupakan komoditas biofarmaka
binaan Direktorat Jenderal Hortikultura. Selain untuk bumbu penyedap
masakan, juga untuk bahan baku jamu. Empon-empon yang paling banyak
dihasilkan Purworejo adalah kapulaga. Sentra produksi di Kecamatan
Kaligesing, Loano dan Bener. Konsumen tanaman empon-empon adalah
perajin jamu gendong, pengusaha industri jamu jawa dan rumah makan.

Sekitar 75 pabrik jamu di Jawa Tengah mengandalkan bahan baku dari


kabupaten ini. Demikian juga pengusaha jamu tradisional di Cilacap, seperti
Jaya Guna, Serbuk Sari, Serbuk Manjur dan Cap Tawon Sapi. Pembeli biasanya
mendatangi sekitar lima toko penyedia bahan jamu di Pasar
Baledono.Kecamatan Grabag dikenal sebagai sentra kelapa yang produksinya
selain dimanfaatkan sebagai kelapa sayur, juga diolah menjadi gula merah
dan minyak kelapa serta merupakan pusat penghasil mlinjo yang buahnya
dijadikan makanan kecil, yaitu: emping. Kecamatan Kaligesing, Bener, Bruno
dan Bagelen dikenal sebagai penghasil durian di Kecamatan Pituruh anda
akan menemukan sentra hortikultura/pusat hasil buah, yaitu: buah pisang,
karena di antara pasar yang ada di Purworejo, Pituruh menyumbang 40%
pisang dari keseluruhan pisang di Purworejo.Komoditas pisang di pasar
Pituruh dihasilkan dari desa ,Kalikotes,Klaigintung,Pamriyan dan Petuguran

B. Perkebunan

Kelapa merupakan tanaman perkebunan rakyat sebagai sumber


penghasilan kedua setelah padi bagi sebagian besar petani di Kabupaten
Purworejo. Komoditas unggulan perkebunan yang lain, yaitu: Kopi, Karet,
Kakao, Vanili (tanaman tahunan) dan Tebu serta Nilam (tanaman semusim).
Komoditas Tembakau rakyat sebagai usaha tani komersial, juga telah
memberi kontribusi kepada pendapatan negara (Devisa) dan pendapatan asli
daerah (PAD), sehingga pada 2008 dan 2009 Kabupaten Purworejo mendapat
Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT). Upaya pemerintah pusat dalam
pembangunan perkebunan di daerah, telah merintis pengembangan tanaman
jarak pagar yang diharapkan dapat bermanfaat dalam mewujudkan desa
mandiri energi sebagai solusi menanggulangi kelangkaan bahan bakar.

C. Peternakan
Di bidang peternakan, ternak yang menjadi khas Purworejo
adalah kambing peranakan etawa (PE), yakni kambing dari India yang
memiliki postur tinggi besar. Peternakaan kambing PE terutama di
Kecamatan Kaligesing. Sisanya dari Kecamatan Purworejo, Bruno, dan Kemiri.
Di Kecamatan Kaligesing, kambing itu dikawinkan dengan kambing lokal,
sehingga tercipta kambing PE ras Kaligesing. Bagi sebagian besar peternak di
Purworejo, memiliki kambing ini merupakan kebanggaan tersendiri, ibarat
memiliki mobil mewah. Setiap tahun ribuah kambing dipasarkan ke luar
Purworejo, termasuk ke Jawa Timur (Ponorogo, Kediri, Trenggalek), Sumatra
(Bengkulu, Jambi), Riau dan Kalimantan(Banjarmasin), bahkan pada 2005 -
2006 pernah ekspor ke Malaysia.
D. Peternakan

Di bidang perikanan, Kabupaten Purworejo memiliki potensi cukup


besar, baik perikanan tangkap yang dilakukan para nelayan pantai laut
selatan meliputi kecamatan Grabag, Ngombol dan Purwodadi. Ada pun
komoditasnya seperti ikan bawal laut, ikan pari, ikan GT, kakap merah dll.
Untuk perikanan budidaya tambak terdapat di desa Jatimalang, Jatikontal dan
Gedangan dengan komoditas udang vaname dan udang galah, sedangkan
untuk perikanan budidaya air tawar meliputi Budidaya Ikan Gurami terdapat
di Desa Kaliurip, Sendangsari, Karangsari (Kecamatan Bener) Desa
Penungkulan, Lugosobo dan Pakem (Kecamatan Gebang) serta Desa Maron
dan Mudalrejo (kecamatan Loano). Khusus untuk Desa Kaliurip, merupakan
pusat percontohan budidaya ikan gurami jenis Jepun dan pernah menjuarai
lomba tingkat provinsi Jawa Tengah dan juara harapan II di tingkat nasional.
Meski mengalami pasang surut, namun eksistensi budidaya gurami seakan
tak pernah mati. Menurut salah satu tokoh penggiatnya Idi Sunarto
mengatakan, bahwa sejak tahun 1980-an budidaya ikan gurami telah menjadi
mata pencarian sekaligus kebanggaan bagi warga Desa Kaliurip hingga kini.
Pada tahun 2013, kerjasama desa Sendangsari dan Penungkulan telah
mengajukan penetapan sebagai Kawasan Minapolitan. Hal ini dilakukan
sebagai langkah terobosan untuk memajukan sektor perikanan air tawar
secara lebih besar dan lebih modern. sehingga diharapkan dapat memberikan
kontribusi lebih banyak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

E. Industri

Di bidang industri, Purworejo memiliki satu industri tekstil di


Kecamatan Banyuurip. Selain tekstil, di kecamatan ini ada dua industri
pengolahan kayu dengan 387 tenaga kerja. Satu industri yang sama dengan
235 tenaga kerja di Kecamatan Bayan. Saat ini hasil industri yang mulai naik
daun adalah pembuatan bola sepak. Industri ini mulai dirintis tahun 2002 di
Desa Kaliboto, Kecamatan Bener, bola sepak bermerek Adiora itu sudah
menembus pasar mancanegara. Meski baru setahun berdiri, pembuatan bola
sepak itu mewarnai kehidupan masyarakat Kecamatan Bener. Pada tahun
2007 berdiri cabang dari rokok Sampoerna di Kecamatan Bayan yang telah
memberi kesempatan kerja relatif banyak dengan SDM tidak hanya yang
berasal dari Kabupaten Purworejo saja, karena banyak juga tenaga kerja
berasal dari luar kabupaten, yaitu: dari Kabupaten Wonosobo dan
Temanggung.

1.9 Kebudayaan Identitas Kota Purworejo

A. Tari Dolalak
Menurut sejarahnya, Tari Dolalak terinspirasi dari perilaku serdadu
Belanda pada saat beristirahat di camp peristirahatan mereka. Pada saat
beristirahat, para serdadu Belanda itu melakukan pesta dengan minum –
minuman keras dan berdansa. Aktivitas tersebut lalu di tiru oleh orang
pribumi dan terciptalah gerakan yang sederhana dan berulan-ulang. Sekitar
tahun 1940, masyarakat pada saat itu membuat sebuah tarian yang di
kembangkan sebagai misi keagamaan dan politik untuk memerangi pasukan
Belanda. Syair lagunya pun bersifat agama, yakni agama Islam dengan
menggunakan bahasa Arab. Tarian ini awalnya hanya di pentaskan pada acara
tertentu seperti syukuran, sunatan, dan hajatan. Tari ini biasanya di
pentaskan pada malam hari semalam suntuk untuk memeriahkan
acara. Seiring dengan perkembangan jaman, mulai banyak modifikasi dan
tarian ini diberi nama Tari Dolalak. Penamaan “Dolalak” pada Tari Dolalak ini
berasal dari not “do” dan “La” karena tarian ini diringi dengan nada tersebut.
Musik yang mengiringi tarian dolalak merupakan musik yang berasal dari
lantunan syair dan pantun Jawa.

Ini dilakukan agar lebih menarik dan telepas dari budaya Belanda yang
masih merekat pada tari sehingga bisa tercipta ciri khasnya tersendiri.
Pengembangan tari dolalak pada saat itu dimulai dari musik pengiring, lagu
yang di bawakan, gerakan tari dan kostum yang digunakan. Dalam
perkembangannya, Tari Dolalak mempunyai ragam sesuai dengan daerah
asalnya, diantaranya seperti gaya kaligesingan, mlaranan, banyuuripan dan
sejiwanan. Dalam pertunjukannya, Tari Dolalak bisa dimainkan dengan
berkelompok, berpasangan, dan tari tunggal. Gerakan dalam tarian ini
merupakan gerak keprajuritan yang di dominasi dengan gerakan yang
kompak dan dinamis. Yang menjadi ciri khas dari Tari Dolalak adalah gerakan
“kirig“, yaitu gerakan bahu yang cepat pada saat tertentu. Gerakan dalam Tari
Dolalak ini mempunyai istilah yang bermacam - macam. Pada gerakan kaki
mempunyai istilah seperti adeg, tanjak, hayog, sered, mancad, jinjit, sepak
dan lain – lain. Pada gerakan tangan mempunyai istilah seperti ngruji,
teweng, gregem, bapangan, wolak walik, tangkisan dan lain – lain. Pada
gerakan badan mempunyai istilah seperti ogek, entrag dan geblag. Pada
gerakan leher mempunyai istilah seperti tolehan, lilingan dan coklekan. Lalu
pada gerakan bahu seperti kirig dan kedher. Pada pertunjukan tarian tunggal
Dolalak biasanya di warnai dengan keadaan trance para penari, yaitu keadaan
dimana penari mengalami kesurupan karena sudah larut dalam gerakan tari
dan iringan musiknya. Keadaan trance tersebut sering menimbulkan tingkah
lucu para penari dan membuat masyarakat tertarik dengan tontonan
tersebut. Dalam pertunjukannya, Tari Dolalak juga didampingi oleh dukun
yang bertugas menyembuhkan penari yang kesurupan dan melakukan ritual
lainnya.

Tari Dolalak awalnya bisa di pentaskan selama berjam-jam. Namun


dalam perkembangannya tarian tersebut di modifikasi dengan mengurangi
durasinya, agar tidak terlalu banyak gerakan yang di ulang-ulang dan
membuat gerakan tari yang disajikan menjadi padat dan bervariasi. Pada
pertunjukan awalnya, Tari Dolalak awalnya hanya di iringi dengan acapela
saja. Namun seiring dengan perkembangannya, tarian ini juga di iringi
dengan alat musik seperti kendang, terbangan, bedug, kecer, dan organ.Selain
itu juga lagu yang di nyanyikan untuk mengiringi pertunjukan Tari
Dolalak sangat beragam, diawali dengan lagu pembuka hingga lagu parikan
atau pantun bahkan sampai lagu jenis pop, dangdut, dan campursari di kemas
sesuai dengan gerakan para penari. Syair lagu yang di bawakan bertema
tentang agama, sindiran sosial, kegembiraan, percintaan dan nasehat
kehidupan. Kostum yang di gunakan pada Tari Dolalak ini biasanya
menggunakan baju lengan panjang dan celana pendek hitam dengan
coraknya yang khas dengan warna keemasan pada bagian dada dan
punggung. Pada bagian kepala biasanya menggunakan topi pet hitam dengan
hiasan seperti bulu yang berwarna – warni. Dan tidak lupa pada bagian kaki
menggunakan kaos kaki dan sampur pinggang yang di ikat di sebelah kanan
saja.

Namun, dalam catatan sejarah lain, tari Dolalak yang merupakan


kesenian rakyat Purworejo ini ternyata sudah ada sejak tahun 1915. Dalam
sejarahnya ,mulanya muncul 3 orang pemuda dari Sejiwan, Kecamatan Loano,
Kabupaten Purworejo bernama Rejotaruno,Dullyat dan Ronodimejo yang
menjadi pelopor dalam mengembangkan tarian ini menjadi identitas dan
kesenian masyarakat setempat. Pada tahun 1915 akhir, Tari Dolalak pertama
kali dipentaskan oleh Rejotaruno, Duliyat, dan Ronodimejo. Setelah
pementasan itu, tarian ini menjadi berkembang di seluruh wilayah
Purworejo. Namun, pementasan kesenian ini sempat mengalami penurunan
selama Perang Dunia yang terjadi pada tahun 1940-an.

Dalam catatan sejarah tersebut juga diceritakan bahwa sebelum


memasuki tahun 1968, semua penari Dolalak adalah laki-laki dewasa yang
berjumlah 10-16 orang. Namun seiring berjalannya waktu, barulah setelah
itu, tarian Dolalak mulai dibawakan oleh penari perempuan. Pergeseran
peran itu dikarenakan penari perempuan lebih energik dalam membawakan
tarian, sehingga masyarakat senang dan menikmati kesenian tersebut. Tarian
Dolalak merupakan wujud akulturasi budaya Jawa dan Belanda. Hal itu dapat
dilihat dari gerak tariannya yang mengadopsi gerak dansa dan pencak silat
Jawa. Pada awalnya Dolalak dimainkan oleh laki-laki dengan mengenakan
seragam warna hitam dan bercelana pendek. Rangkaian busana yang
dikenakan dalam mementaskan tarian ini antara lain kemeja lengan panjang
hitam yang dipadukan dengan celana pendek warna hitam, serta atribut milik
tentara Belanda seperti topi pet, sampur, kaos kaki panjang, dan kacamata.
Ketika pertama kali tercipta, kesenian ini tidak diiringi dengan alat musik
melainkan dengan nyanyian yang dibawakan para pengiringnya. Pada waktu
itu, lagu-lagu yang dibawakan biasanya bernuansa romantis bahkan ada pula
yang erotis. Seiring waktu, tarian ini kemudian diiringi oleh alunan musik.
Alat-alat musik yang digunakan untuk membawakan tarian itu antara lain
Jidhur, terbang, dan kendang.

Pementasan tarian dolalak diawali dengan pembukaan di mana para


penari duduk bersila di tengah area pertunjukan. Setelah itu, para penari
menari secara bersama-sama dengan berbagai bentuk seperti berpasangan,
trio, atau kwartet. Pada puncak pementasan, tarian ini dibawakan secara
sendiri di mana penari akan menari di tengah kondisi kesurupan. Masyarakat
setempat mengenal kondisi kesurupan itu dengan nama “ndadi”. Alasan
kesenian Dolalak menjadi identitas kebudayaan daerah di Kabupaten
Purworejo adalah dilihat dari segi historisnya dan keunikan yang digemari
penonton. Kesenian ini lahir di Purworejo dan memiliki ciri khas tersendiri
yaitu kostum, tarian, lagu, musik, dan kebiasaan trance yang dilakukan oleh
penarinya. Tari Dolalak juga memiliki peran dalam kehidupan masyarakat,
serta dapat menunjang kemajuan dan perkembangan mayarakat Purworejo
pada umumnya. Dari segi sosial, kesenian ini bersifat menghibur dan
meningkatkan kesejahteraan anak yaitu dengan menyumbangkan hasil dari
pementasan kesenian Dolalak untuk memenuhi kebutuhan dan hak anak
yang tidak mampu. Segi ekonomi, kesenian ini dapat menjadi mata
pencaharian tambahan yang diperoleh dari hasil pementasan kesenian
Dolalak. Segi pendidikan anak akan menjadi lebih aktif dan kreatif di bidang
seni serta akan mengenal kebudayaannya sendiri dan pada akhirnya akan
timbul rasa bangga pada diri anak terhadap kesenian daerahnyaa.

a. Perkembangan Tari Dolalak

Dalam perkembangannya, Tari Dolalak ini tidak lepas dari perhatian


pemerintah kabupaten Purworejo dengan memperkenalkan Tari Dolalak ini
di berbagai event yang ada. Selain itu tarian ini juga di jadikan mata pelajaran
khusus bagi pendidikan dasar agar regenerasi yang ada tidak pernah
melupakan tari balalak ini. Tari Dolalak tidak hanya terkenal di Purworejo
dan Jawa tengah saja. Namun tarian ini juga sering mewarnai panggung
pentas kesenian tingkat nasional. Tari Dolalak ini dapat kita temukan di
berbagai acara seperti hajatan, pernikahan, karnaval, dan syukuran di
Purworejo, Jawa Tengah Tari Dolalak sangat begitu digemari oleh kaum pria
dan anak-anak. Mereka rela meluangkan waktu berjam-jam hanya untuk
menonton Tari Dolalak. Seiring berjalannya waktu, tarian ini dimodifikasi
dengan berbagai gaya tarian. Kini, tarian itu juga biasa diiringi oleh alat
musik keyboard. Sajian Dolalak menampilkan beberapa jenis tarian hingga
mencapai 20-60 jenis gerakan. Tiap gerakan itu diiringi oleh syair lagu yang
berbeda-beda dan terdapat jeda pada setiap perubahan gerakannya. Saat ini
kostum yang di gunakan dalam Tari Dolalak ini juga telah mengalami
berbagai modifikasi. Celana pendek yang awalnya di atas lutut di modifikasi
sampai bawah lutut. Selain itu juga ada modifikasi gaya muslim dengan
menggunakan kerudung namun tetap menggunakan topi yang sama.

B. Bedug Pendowo

a). Sejarah

Perkembangan kebudayaan Islam di Kabupaten Purworejo juga tidak


bisa dipisahkan dengan adanya Bedug Kyai Bagelen. Bedug yang paling besar
diseluruh dunia menjadi sejarah yang paling penting di Provinsi Jawa Tengah,
khusus di wilayah eks Karesidenan Kedu, Bedug Kyai Bagelen itu populer
dengan nama Bedug Pendowo. Bedug yang terkenal punya keistimewaan
dibandingkan bedug lainnya. Dari wujudnya saja, Bedug Kyai Bagelan paling
besar diseluruh dunia. Jika dilihat dari sejarahnya, bedug ini sudah berjasa
menyiarkan kebudayaan agama Islam turun temurun di Kabupaten
Purworejo dari abad ke-19. Bedug Kyai Bagelen letaknya di Masjid Agung
Kauman, sebelah barat alun-alun Purworejo. Bedug itu berumur hampir dua
abad dari jaman pemerintahan Bupati Purworejo pertama, Raden
Cokronegoro I. Bedug Kyai Bagelen ini juga sampai sekarang masih dikagumi
wisatawan . Bahkan selama Ramadhan, banyak wisatawan yang sengaja
dating ke Purworejo untuk melihat langsung bedug itu.
Sejarah pembuatan Bedug Kyai Bagelen bisa dihubungkan dengan
sejarah berdirinya masjid agung diatas tanah wakaf seluas kurang lebih 70 x
80 m2 ukuran 21 x 22 m2 ditambah gandok ukuran ± 10 x 21 m2.
Menurut catatan sejarah, begitu selesai Perang Diponegoro (1825-1830),
Pemerintah Hindia Belanda mengangkat pemimpin dari kalangan pribumi
untuk memerintah wilayah Tanah Bagelen (Purworejo sekarang). Yang jadi
Bupati saat itu Kanjeng Raden Tumenggung Cokronegoro I dan jabatan patih
(pembantu Bupati) dipercayakan kepada Raden Cokrojoyo. Pada jaman
Bupati Cokro I masjid agung mulai dibangun. Berdasarkan tulisan di prasasti
yang ditempel di atas pintu utama, pembangunannya selesai tahun Jawa 1762
atau tahun 1834 Masehi. Setelah pembangunan selesai, Bupati Cokronegoro I
memiliki gagasan untuk melengkapinya dengan sebuah bedug yang harus
dibuat istimewa sehingga menjadi tanda peringatan di kemudian hari. Adik
Bupati, Mas Tumenggung Prawironegoro Wedana Bragolan menyarankan
agar bahan bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon Jati. Pohon jati tadi
sesungguhnya diambil dari Dusun Pendowo, Kecamatan Purwodadi,
Kabupaten Purworejo. Dari cerita lisan yang turun temurun, pohon-pohon
jati yang terdapat di Dusun Pendowo telah berusia ratusan tahun dengan
ukuran besar-besar, bahkan ada yang bercabang lima.

Dalam ilmu kejawen, pohon-pohon jati besar bercabang lima yang


disebut Pendowo mengandung sifat perkasa dan berwibawa. Pembuatan
Bedug yang dikenal sebagai Bedug Kyai Bagelen (Bedug Pendhawa) ini
diperkirakan dilakukan pada tahun jawa 1762 atau tahun 1834 masehi
bersamaan dengan selesainya pendirian bangunan Masjid Agung.

b).Pemindahan

Ada persoalan baru ketika bedug selesai dibuat, yakni pemindahan


dari Dusun Pendowo (Jenar) ke Kota Purworejo yang jaraknya sekitar 9 KM
dengan kondisi jalan yang sangat sukar dilalui. Bupati Cokronegoro I atas
usul adiknya Raden Tumenggung Prawironegoro mengangkat Kyai Haji
Muhammad Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di desa
Solotiyang, Kecamatan Loano untuk memimpin proyek pemindahan Bedug
Kyai Bagelan. Pemindahannya dilakukan oleh para pekerja yang
mengangkatnya secara beramai-ramai diiringi bunyi gamelan lengkap dengan
penari tayub yang telah menanti di setiap pos perhentian. Akhirnya setelah
melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Bedug Kyai Bagelen tiba di
Masjid Agung Kabupaten Purworejo.
Bedug tersebut mula-mula ditutupi bahan dari kulit banteng. Akan
tetapi, setelah 102 tahun kemudian (3 mei 1936) kulit bedug bagian belakang
mengalami kerusakan sehingga diganti dengan kulit sapi ongale (benggala)
dan sapi pemacek yang berasal dari Desa Winong, Kecamatan Kemiri
Kabupaten Purworejo. Di bagian dalam di pasang sebuah gong besar yang
berfungsi untuk menambah getaran dan bunyi (anggreng). Kini, Bedug kyai
Bagelen diletakkan di sebelah dalam serambi masjid. Jika ingin mendengar
suaranya, datanglah pada saat Ashar, Maghrib, Isya, Subuh dan menjelang
shalat Jumat. Di samping itu, pada setiap saat menjelang sholat Sunat Idul
Fitri dan Idul Adha, acara-acara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam
dan memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
Bedug Kyai Bagelen selalu ditabuh untuk memberi tanda dan penghormatan.

2.0 Makanan Identitas Kota Purworejo

a. Geblek

Geblek adalah nama salah satu makanan khas Purworejo. Makanan ini
terbuat dari tepung singkong yang dibentuk bulat lalu digoreng. Geblek
benar-benar nikmat terlebih dipadukan dengan sambal pecel maupun sambal
lainnya ,seperti sambal kecap. Makanan berwarna putih dan tampak seperti
cireng ini dapat kamu temukan di pasar-pasar tradisional Purworejo, seperti
Pasar Baledono dan Pasar Jenar. Pertama kali menyantapnya, akan terasa
sensasi gurih dari geblek dan rasa pedas manis dari sambal pecel. Tak hanya
di Purworejo, geblek juga biasa ditemui di wilayah Kulon Progo, Yogyakarta.

b. Clorot

Hidangan Purworejo satu ini berupa kue yang terbuat dari bahan
utama yaitu tepung beras dan gula merah. Clorot biasa dibungkus dengan
daun kelapa atau janur dan berbentuk kerucut. Makanan ini tidak hanya
digemari oleh orang Purworejo melainkan wisatawan yang berkunjung.
Biasanya, wisatawan akan menjadikan celorot sebagai oleh-oleh khas
Purworejo.Rasa manis dan tekstur kenyal yang ada pada clorot menciptakan
cita rasa khas di lidah para penikmatnya. Proses pembuatan clorot dimulai
dari gula merah, garam, pandan, yang dicampur dengan air santan, lalu
dimasak sembari diaduk merata. Kemudian, tuangkan campuran santan ke
wadah yang berisi tepung beras, aduk hingga merata. Setelah itu, tuangkan
adonan ke dalam bungkus terbuat dari daun kelapa atau janur yang sudah
dibentuk mengerucut. Lalu clorot dikukus hingga matang dan dapat
dinikmati. Hidangan ini akan terasa nikmat bila disajikan selagi hangat. Jika
kamu baru pertama menyantap clorot, ada cara-caranya. Kamu harus
menekan bagian bawah kerucut memakai jari, lalu setelah isinya keluar, kamu
baru bisa menyantapnya. Sama seperti geblek, clorot juga mudah ditemukan
di pasar-pasar tradisional Purworejo, salah satunya di daerah Grabag,
Purworejo.

c. Kue Lompong

Kue yang satu ini terbuat dari tepung ketan. Makanan ini juga biasa
ditemukan hanya di daerah sekitar Purworejo, termasuk Kutoarjo ,salah satu
kecamatan di kota Purworejo. Nama unik yang tersemat dalam kue ini
berasal dari daun talas kering atau lompong yang dulunya dijadikan bahan
pewarna hitam pada kue. Meski dulu lompong terkenal karena dijadikan
bahan pewarna, uniknya kue lompong malah tidak menggunakan pewarna
dalam membuatnya. Kini penjual banyak yang menggunakan damen atau
pohon padi kering. Rasa dari kue lompong ini manis seperti kue mochi.
Terlebih dengan tekstur kenyal yang dimilikinya. Perpaduan manis dan gurih
menjadikan kue ini cocok disantap selagi hangat. Meski begitu, diakui bahwa
kue ini termasuk langka di Purworejo. Wisatawan bisa menemuinya di salah
satu tempat yang masih bertahan, yaitu Kelurahan Pangenrejo, Pangen
Jurutengah, dan sebagian Kledung Kradenan. Kue ini juga hanya bertahan
selama satu minggu di luar kulkas, maka jika terasa mengeras, bisa dilunakan
dengan cara dikukus ulang untuk dikonsumsi kembali.

d. Sate Winong

Sate khas Purworejo ini tampak seperti sate kambing pada umumnya.
Sate ini diberi nama sate winong karena letaknya yang berada di Desa
Winong, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo. Hal yang membuatnya
berbeda adalah penggunaan kecap asli buatan pemilik warung dengan
tambahan bumbu lainnya. Ketika dihidangkan, tampilan sate ini berbeda
dengan sate kambing lainnya karena ada tambahan daun jeruk yang diiris
tipis-tipis hingga tampak seperti helai rumput. Ada juga potongan bawang
merah yang banyak, diiris dalam potongan besar. Jika menyukai rasa pedas,
pemilik warung biasanya menyediakan semangkuk sambal kecap. Kecap ini
terbuat dari bahan baku gula merah yang diolah dengan bawang putih,
bawang merah, jahe, lengkuas, dan daun serai.

e. Manggis

Buah manggis ini paling banyak berasal dari Kec. Kaligesing Kab.
Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Manggis ini mempunyai ciri-ciri tinggi
pohon 10-15 meter, lebar 3-4 meter, warna batang kecoklatan, kedudukan
daun mendatar ujung dan melengkung ke bawah, warna benang sari putih
kekuningan, bentuk buah warna kulit buah merah tua sampai dengan ungu,
warna daging buah putih, sifat buah kenyal dan mudah dibuka, bobot buah
100-125 gram per buah, jumlah siung/buah : 4-8 siung, rasa daging buah
manis keasaman (segar). Masa panen antara bulan januari sampai dengan
maret. Disaat masa panen pengiriman ke luar daerah dapat mencapai tujuh
ton perharinya.

                Manfaat buah manggis sangat fenomenal dan sampai saat ini ia
disebut ratu buah karena khasiatnya yang memang super sekali. Manggis
dapat mengobati dan mencegah berbagai penyakit berbahay seperti kanker,
ini lah yang menjadikannya buah buah super luar biasa. Hasil penelitian yang
dilakukan mengungkapkan bahwa buah manggis dan kulit buahnya kaya
dengan 40 lebih zat xanthones yang merupakan salah satu antioksida yang
sangat bermanfaat di dunia. Manfaat maggis tidak hanya memiliki zat super
‘xanthones’, dalam buahnya terkandung juga polikasanida, bahan antikulat
dan antibakteri. Perlu diketahui xanthones adalah salah satu komponen aktif
yang utama dari buah manggis.

f. Dawet Ireng
Minuman satu ini tampak seperti es cendol yang biasa kita minum.
Namun, berbeda dengan cendol, dawet ireng berwarna hitam. Hal ini sesuai
dengan namanya, yaitu ireng yang dalam bahasa Jawa berarti hitam.
Minuman ini berasal dari daerah Butuh, Purworejo, Jawa Tengah. Dawet
berwarna hitam itu diperoleh dari abu bakar jerami yang bercampur dengan
air sehingga menghasilkan air warna hitam. Air ini yang lalu digunakan untuk
mewarnai dawet. Dalam proses pembuatannya, dawet memiliki keunikan
tersendiri. Jumlah dawet lebih banyak dibanding kuahnya yang berupa
santan air gula.Tak hanya itu, santan juga biasa diperas langsung dari
bungkusan serabut kelapa. Sama seperti cendol, dawet ireng dibuat dari
bahan-bahan yaitu tepung sagu, santan kelapa gula Jawa, dan daun pandan.
Minuman ini biasa disajikan menggunakan mangkuk dan diberi es untuk
menambah kesegaran. Kamu bisa menemukan penjualnya di setiap sudut
Purworejo.
BAB III

SIMPULAN

2.1 Simpulan

Kebudayaan sebagai identitas bangsa indonesia merupakan suatu


unsur penting pembentuk identitas bangsa. Kepribadian suatu bangsa akan
tercermin melalui kebudayaannya. Indonesia merupakan negara memiliki
keberagaman budaya yang sangat banyak. Bahkan kebudayaan Indonesia
sudah banyak diakui di kancah dunia. Identitas inilah yang membedakan
Indonesia dengan negara-negara lain. Salah satu kebudayaan itu adalah
kebudayaan di kota Purworejo. Walaupun Kota Purworejo hanya sebuah kota
yang kecil di Jawa Tengah, tetapi kebudayaan yang dimiliki Kota Purworejo
begitu banyak dan terkenal. Di dalamnya terdapat banyak sekali budaya
identitas, baik dari segi kebudayaan kesenian,makanan dan peninggalan-
peninggalan kebudayaan,seperti contohnya Tari Dolalak, Bedug Purworejo,
makanan Clorot, Geblek,Kue Lompong dan masih banyak lainnya. Tarian
Dolalak sampai sekarang masih banyak diminati oleh berbagai kalangan baik
anak muda maupun orang dewasa. Dikarenakan Tari Dolalak sendiri memiliki
ciri khas tersendiri. Bedug Purworejo juga sudah terkenal dan mencari
identitas kebudayaan bercorak Islam di kota Purworejo. Makanan-makanan
di Purworejo telah menjadikan Purworejo sebagai kota budaya kuliner.
Budaya-budaya inilah yang menjadi identitas kota kecil berimaa ,Purworejo.

2.2 Saran
Kebudayaan sebagai identitas nasional harus dilestarikan dan dijaga.
Di tengah arus perubahan dan pengaruh budaya barat, tidak menutup
kemungkinan kebudayaan-kebudayaan sebagai identitas bangsa, lambat laun
akan ditinggalkan masyarakat. Karena itu, perlu kiranya dilakukan
pelestarian oleh seluruh komponen masyarakat khususnya seluruh
masyarakat kota Purworejo. Apalagi dalam era globalisasi saat ini,
kebudayaan yang kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa, seringkali
menggerus kebudayaan lokal yang ada dan telah lama berkembang di kota
Purworejo. Banyak kebudayaan lokal yang tidak mampu menjadi tuan rumah
di tengah persaingan kebudayaan yang berkembang pada masa kini. Dengan
melihat fakta-fakta itu, sudah menjadi tanggung jawab dan kewajiban semua
masyarakat kota Purworejo, untuk terus menjadikan kebudayaan menjadi
sesuatu yang membanggakan dan perlu dijaga juga dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. 2021. “Kabupaten Purworejo”.


https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Purworejo. Diakses pada 8 Mei
2021.

Center of Excellen. 2021. “Sejarah Bedug Purworejo”.


http://dpad.jogjaprov.go.id/coe/article/sejarah-bedug-purworejo-487.
Diakses pada 5 Mei 2021.

Aditya, Nicholas Ryan. 2020. “8 Makanan khas Purworejo, Tempat Keraton


Agung Sejagat yang Viral”.
https://www.google.co.id/amp/s/amp.kompas.com/travel/read/2020/01/1
6/072300227/8-makanan-khas-purworejo-tempat-keraton-agung-sejagat-
yang-viral. Diakses pada 5 Mei 2021.
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Bedug Pendowo

Lampiran 2 : Tari Dolalak

Lampiran 3 : Geblek

Lampiran 4 : Clorot
Lampiran 5 : Dawet Ireng

Lampiran 6 : Sate Winong

Lampiran 7 : Kue Lompong

Anda mungkin juga menyukai