Anda di halaman 1dari 18

Makalah

TRADISI MEGIBUNG SEBAGAI UPAYA


PELESTARIAN SENIKULINER BALI

Disusun oleh :
NI LUH PUTU ARININGSIH
1911011050
KELAS PAH A1/2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU


FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan asung kertha wara nugrahanya-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Tradisi Megibung sebagai
Upaya Pelestarian Senikuliner Bali tepat pada waktunya dan tanpa ada
hambatan yang berarti.
Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu sehingga peyusunan
tugas ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Besar harapan kami, tugas ini nantinya dapat bermanfaat bagi para
pembaca, meskipun kami sadar bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan
segala keterbatasan yang ada. Oleh karena itu kami sangat menantikan kritik dan
saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan tugas ini. Atas perhatian bantuan
dari semua pihak, kami mengucapkan terima kasih.

Denpasar, 06 April 2020


Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 3
2.1 Tradisi Megibung di Bali .......................................................... 3
2.2 Sejarah Tradisi Megibung di Karangasem................................. 5
2.3 Tahapan Dalam Tradisi Megibung ............................................ 5
2.4 Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Megibung ............ 9
2.5 Pergeseran Nilai Tradisi Megibung Masyarakat Karangasem .. 11
2.6 Pelestarian Tradisi Megibung ................................................... 12
BAB III PENUTUP............................................................................... 13
3.1 Kesimpulan................................................................................ 13
3.2 Saran........................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali dikenal kaya dengan berbagai macam tradisi atau budaya.
Megibung merupakan salah satu tradisi yang ada di kabupaten Karangasem.
Megibung merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah. Jumlah peserta
yang ikut megibung dalam satu wadah biasanya terdiri dari delapan orang. Tradisi
megibung adalah salah satu tradisi yang memiliki nilai kebangsaan yang tinggi
dan nilai-nilai luhur yang sangat mulia. Di dalamnya banyak terkandung nilai
yang dapat meningkatkan rasa kekeluargaan dan semangat kebersamaan tanpa
membedakan suku, agama, ras, dan derajat. Selain itu, juga terkandung nilai
semangat gotong royong, nilai disiplin diri, nilai etika dan sopan santun yang
tinggi di antara masyarakat. Nilai-nilai luhur yang diwariskan dalam tradisi
megibung ini dapat dijadikan suri tauladan bagi daerah lain di Indonesia sebagai
media komunikasi yang dapat memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat
Indonesia yang majemuk.
Tradisi megibung di Kabupaten Karangasem sudah ada berabad-abad
silam, akan tetapi karena perkembangan dan pelestarian budaya yang masih
rendah menyebabkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi terlupakan.
Sehingga opini publik tentang tradisi megibung pun menjadi bergeser. Banyak
masyarakat sekarang yang beranggapan bahwa megibung adalah kegiatan yang
menghabiskan uang (pemborosan) dan tidak efektif. Hal ini dapat dilihat ketika
masyarakat yang selesai megibung, biasanya ada sisa makanan yang dibuang. Ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa megibung itu tidak sehat, karena pada saat
megibung akan memunculkan peluang untuk penyebaran virus atau kuman
penyakit.

1.2 Rumusan Massalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diajukan adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Tradisi Megibung di Bali ?
2. Bagaimana sejarah megibung tersebut ?

1
3. Bagaimana tahapan tradisi megibung ?
4. Nilai apa saja yang terkandung dalam tradisi megibung ?
5. Bagaimana pergeseran tradisi megibung ?
6. Bagaimana cara melestarikan tradisi megibung ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui peranan seni budaya megibung sebagai media
komunikasi pemersatu bangsa.
2. Untuk mengetahui tahapan tradisi megibung
3. Untuk mengetahui pelestarian tradisi megibung
4. Untuk mengetahui nilia-nilai yang terkandung dalam tradisi megibung
5. Untuk mengathui bagaimana pelestarian tradisi megibung ?

1.4 Manfaat Penulisan


1. Untuk Penulis
Manfaat yang diperoleh oleh penulis yaitu menambah wawasan penulis
tentang pelestarian tradisi megibung sebagai media komunikasi pemersatu
bangsa dengan Pendekatan partisipasi masyarakat.
2. Untuk Pembaca
a. Dapat memeberikan gambaran kepada mayarakat tentang bagaimana
sebenarnya proses megibung yang efektif, efesien dan sehat. Sehingga
masyarakat secara umum akan kembali untuk melestarikan budaya
megibung yang ada di kabupaten karangasem.
b. Dengan melestarikan budaya megibung maka dapat tetap menjaga
rasa semangat kekeluargaan, semangat kebersamaan, semangat gotong
royong, semangat disiplin dan semangat etika dan sopan santun antar
masyarakat.
c. Dapat memberikan informasi tentang pelestarian tradisi megibung
Sebagai media komunikasi pemersatu bangsa dengan pendekatan
partisipasi masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tradisi Megibung di Bali


Dari sekian banyak tradisi di Bali yang memunculkan makna
kebersamaan, salah satunya adalah soal makan. Sampai sekarang di beberapa desa
tertentu tradisi makan bersama itu tetap dipelihara dan menjadi bagian yang
mengasyikkan. Istilah lain dari makan bersama adalah melimbur, dimana masing-
masing orang membawa makanan dari rumah. Sampai di tempat yang ditentukan
dalam melimbur, masing-masing orang membuka makananya. Setiap orang
membuka lauk yang dibawanya dan menawarkan kepada yang lain. Suasana yang
dibangun adalah kebersamaan untuk merangsang nafsu makan dengan saling
mencicipi makanan dari orang lain. Sebuah tradisi kuno masyarakat agraris. (Putu
Setia; Bali Yang Meradang; 2006).
Megibung adalah merupakan salah satu tradisi warisan leluhur, dimana
merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah. Selain makan bisa sampai
puas tanpa rasa sungkan, megibung penuh nilai kebersamaan, bisa sambil
bertukar pikiran,saling mengenal, lebih mempererat persahabatan sesame warga.
Makan bersama atau megibung ini, dalam setiap satu wadah terdiri dari 6-8orang,
memang merupakan wujud kebersamaan tidak ada perbedaan antara orang kaya
maupun miskin juga perbedaan kasta ataupun warna, semua duduk berbaur dan
makan bersama, tapi pada perkembangan berikutnya antara laki dan perempuan
dipisahkan, tapi kalau masih dalam satu keluarga ataupun tetangga, mereka
memilih bergabung.
Tradisi megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara
adat dan agama (Hindu), seperti upacara potong gigi,otonan anak, pernikahan,
ngaben, pemelaspasan, dan piodalan di Pura. Seiring dengan kemajuan teknologi
di berbagai bidang saat ini, tradisi megibung mengalami pergeseran dimana
masyarakat mencari aspek kepraktisan dengan mengadopsi tata cara makan secara
nasional yaitu prasmanan.
Di Kabupaten Karangasem istilah makan bersama dikenal dengan nama
megibung. Megibung merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah

3
dengan cara lesehan posisi duduk melingkar yang biasanya berjumlah delapan
orang. Adapun keunikan tersendiri dari tradisi megibung tersebut adalah laki-laki
megibung bersama laki-laki. Sedangkan yang wanita bersama-sama dengan
wanita. Peserta megibung tak harus dengan orang-orang yang saling dikenal. Para
undangan yang tak saling kenal pun duduk dan makan bersama-sama. Sajian yang
disantap bersama, namanya gibungan yang terdiri atas nasi yang dibulatkan lalu
disajikan di atas dulang. Gibungan dilengkapi berbagai jenis masakan khas Bali
dari babi, kecuali gibungan yang tidak boleh terbuat dari kerbau atau bebek.
Tanda mulainya megibung, diawali dengan memukul kentongan. Begitu
tung, tung, tung, keluarga yang memiliki hajatan mempersilakan para undangan
mendekat ke tempat gibungan yang telah disediakan. Biasanya gibungan
ditempatkan di halaman rumah, atau tempat yang lapang, karena jumlahnya
banyak dan agar bisa serentak. Gibungan itu, ditaruh di atas alas tikar atau daun
pisang. Peserta megibung boleh tak beralas, namun gibungan harus dialasi.
Penghormatan kepada Dewi Sri. Bagian yang juga harus ada dalam megibung
selain gibungan, adalah ceretan (tempat air minum) dan paselokan (tempat cuci
tangan).
Bila para undangan sudah mendekati gibungan, tukang tarek mulai
memandu jalannya megibung. Mula-mula ditanyakan, apakah pesertanya sudah
pepek (penuh delapan orang). Jika kurang ditambah agar jumlahnya lengkap
delapan orang. Bila sudah pepek, tukang tarek mempersilakan peserta megibung
mencuci tangan. Setelah usai cuci tangan, peserta megibung harus menunggu aba-
aba dari tukang tarek. Setelah semua sudah cuci tangan, kemudian para undangan
dipersilakan mulai makan dan para undangan serentak mulai menikmati hidangan
bersama.
Setelah rangkaian megibung selesai, peserta tidak langsung bubar
melainkan kembali mencuci tangan untuk megibung sanganan yang terdiri atas
berbagai jenis jajan. Biasanya megibung sanganan dibarengi dengan menyajikan
brem. Setelah megibung selesai, peserta tak boleh langsung bubar. Tukang tarek
mempersilakan kembali cuci tangan. Gibungan yang tadinya terbuka, oleh peserta
dilipat kembali. Setelah itu, peserta baru dipersilakan bubar.

4
2.2 Sejarah Tradisi Megibung di Karangasem
Dijelaskan bahwa tradisi megibung muncul dari para petani yang bekerja
di sawah dengan nakil (membawa makanan dari rumah) dan kemudian makan
bersama dengan petani-petani tetangganya yang juga nakil. Kegiatan tersebut
terus dilakukan secara terus menerus pada lahan kosong di perbatasan petak
sawah untuk kebersamaan para petani tersebut. Makan bersama dengan format
yang lebih besar disebut megibung. Karena formatnya besar, maka acara
megibung tidak bisa dilakukan di tengah persawahan atau di bawah pohon kopi
yang rindang. Makanan untuk megibung dipersiapkan bersama-sama. Setelah
makanan jadi, makanan ditaruh dalam sebuah tempat besar, lalu dikitari beberapa
orang.
Sumber lain menyebutkan bahwa tradisi megibung (makan bersama)
diciptakan oleh Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem ketika
beliau menyerbu Lombok. Megibung digunakan untuk menghitung korban
perang dan pasukan yang masih bertahan. Megibung memberi penekanan pada
nilai kebersamaan dan demokrasi. Tidak ada perbedaan kasta dan perbedaan
tingkat ekonomi, semua orang yang mengelilingi gibungan adalah sama di
hadapan Dewi Sri (Dewi Kemakmuran). Tradisi ini adalah implementasi dari
filosofi Bali kuno, “paros sarpanaya, selunglung sabayantaka” atau kebersamaan
dalam suka dan duka. (BALIwww.com_Bali Indonesia Travel Guide)

2.3 Tahapan Dalam Tradisi Megibung


1. Persiapan (Tahap Mempersiapkan)
Pekerjaan awal yang perlu dilakukan sebelum tradisi megibung
adalah menentukan jenis Yadnya yang dilakukan dan banten beserta
runtutannya yang perlu disiapkan karena akan terkait dengan ulam banten
(baca Be Karangan) sebagai kelengkapan Banten, stelah diketahui baru
menentukan Kerabat/kerama yang akan terlibat dalam menyiapkan sesaji
itu sehingga mendapat perhitungan pasti berapa keperluan daging dan
kelengkapan lainnya (termasuk menyiapkan nasi), cara pengerjaannyapun
dilakukan secara bersama-sama dan penuh rasa kekeluargaan dan

5
kegotongroyongan yang tercermin mulai saat menyiapkan peralatan
sampai membagi pekerjaan atau tugas.
2. Proses Pengolahan Hidangan untuk Gibungan
Setelah semua persiapan bahan dan bumbu selesai dibuat, selanjutnya
dilakukan proses pengolahan, dengan melibatkan krama/anggota banjar
juga. Juru patus memimpin proses pengolahan dengan memberi tugas
kepada anggota krama misalnya ada yang mengolah sate, mencincang
daging untuk lawar, merebus sayur, memanggang/menggoreng sate,
memarut kelapa, mencampur adonan lawar, yang secara keseluruhan
dikerjakan bersama-sama dan saling membantu. Pada intinya disaat
mengolah hidangan, sangat mengedepankan asas gotong royong .
3. Menata/Penyajian Gibungan
Dalam menata nasi dan daging karangan (terdiri dari berbagai adonan
lawar) dilaksanakan secara teratur mulai penempatan sayur,adonan lawar,
daging serta sate ditempatkan sedemikian rupa
karena pada saat akan menurunkan setiap jenis hidangan ada urutannya
tersendiri, ada tahapantahapannya, yang mesti dilakukan secara
berurutan/tidak sembarangan,seperti tersaji pada gambar berikut:

Gambar: Penataan Nasi Untuk Gibungan


Keterangan gambar: Nasi diletakkan dibagian tengah, sedangkan pada
setiap pojok ditambahkan garam dan cabe rawit dengan tujuan untuk
kelengkapan jika orang yang makan merasa kurang garam maupun kurang
pedas.Sedangkan untuk penataan karangan (lawar dan kelengkapannya)
dapat disajikan seperti gambar berikut:

6
Gambar penataan karangan (lawar dan kelengkapannya)
1: Lawar Merah
2: kacang-kacang
3: gegecok
4 :keskes
5 : urab
6 : anyang
7 : padamara (campuran semua lawar di atas, ditambah belimbing dan
balung iga ditempatkan pada takir daun atau tapan)
8 : sate: 12 tusuk terdiri dari 5 tusuk sate asem, 7 tusuk sate pusut. Contoh
gambarnya sebagai berikut:

Gambar: Penataan aneka lawar dan sate

Gambar: contoh penataan hidangan gibungan untuk satu sela yang masih
menggunakan alas tradisional (aled) untuk alas nasi

7
4. Tata Cara Makan /Megibung
Posisi megibung adalah melingkar yang menurut tradisi terdiri dari 8
(delapan) orang sesuai arah mata angin dan ditengah adalah hidangan
(gibungan). Kalau diperhatikan secara philosofi dapat diartikan bahwa
pengaturan tempat duduk sudah mengandung nilai tinggi yaitu 8 terkait
dengan astadala ditambah di tengah menjadi Sembilan (9) yang artinya
kita selalu ingat akan Sembilan kekuatan yang disebut Dewata Nawa
Sanga yang menciptakan keseimbangan dan keharmonisan alam semesta
ini artinya sebelum kita memulai menyantap makanan/hidangan gibungan
itu, selalu didahului dengan memohon kehadapan Beliau yang telah
menciptakan alam dengan segala isinya, memberikan kebahagiaan,
keselamatan dan kesejahteraan bagi mahluk yang ada di buana (dunia) ini.
Artinya setiap pelaksanaan tradisi megibung harus didahului dengan
memohon keselamatan alam beserta isinya kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Namun seiring perkembangannya sekarang jumlah anggota
dalam satu sela terdiri dari 6 orang , dengaan alasan factor kenyamanan
duduk berenam, walaupun secara etika tidak mengurangi arti atau makna
megibung itu sendiri.
Dari penataan tempat duduk yangmelingkar itu yang terdiri dari 8
(delapan) orang ada keunikan dan etika di dalamnya yaitu: (1) Diantara 8
(delapan) orang yang duduk melingkar itu kemungkinan belum saling
kenal; (2)Tradisi yang masih kental di masyarakat masih berlaku
golongan-golongan /strata sosial tertentu, dimana tempat duduk di saat
megibung kondisi strata tidak berlaku; (3) Bagi golongan tertentu yang
dianggap tinggi atau krama yang dianggap lebih tua selalu dipersilahkan
duduk terlebih dahulu dan posisinya di arah utara atau timur tepatnya
timur laut sebagai penghormatan.;(4)Krama yang lainnya dipersilahkan
duduk selanjutnya menempati posisi yang sudah tersedia;(5) Anggota
yang duduk di posisi timur laut berperan sebagai pengenter artinya
yang bertugas mengisi lauk pauk perjenis lauk ke atas nasi gibungan
sesuai urutan/tahapannya, dilanjutkan dengan mengucapkan sampun

8
sayaga (sudah siap untuk menikmati).; (6) Menikmati hidangan
didahulukan orang yang lebih tua, dilanjutkan oleh anggota yang lain.
Pada saat mulai megibung ada aturan-aturan yang harus diikuti antara lain;
(1) nurunkan/membagikan daging karangan didahului dengan sayur,
adonan lawar, daging/balung, terakhir sate.;(2) Pada saat makan tidak
boleh menaruh sisa makanan tersebut di atas tempat gibungan,melainkan
harus ditaruh dibawah/ di muka tempat duduk kita.;(3)makanan tidak
boleh berserakan, apalagi lewat ke tempat duduk di sebelahnya;(4) Nasi
atau daging hanya boleh diambil yang ada dihadapan kita dan tidak boleh
mengambil makanan di tempat atau wewidangan orang lain di sebelah
kita.;(5).Membagi daging/lauk tidak boleh menggunakan mulut;(6). Air
minum yang disediakan pada kendi (Caratan), pada saat minum, bibir
tidak boleh menyentuh mulut kendi; (7). Setelah selesai megibung tidak
boleh mendahului bangun atau pergi, melainkan harus terlebih dahulu
menunggu semua kelompok yang megibung sudah selesai makan,artinya
mulai bersama-sama, selesaipun bersama-sama.

Berikut Gambar pelaksanaan megibung:

Gambar: tata cara megibung

2.4 Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Megibung


Tradisi megibung diselenggarakan dengan tujuan membangun rasa
kebersamaan dan kekuatan dari persahabatan dan persaudaraan. Semua peserta
megibung adalah sama, tidak ada yang kaya atau miskin dan tidak ada yang
berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Jelas bahwa ketika peserta
megibung duduk dan makan dalam satu tempat, tidak ada lagi perbedaan

9
kedudukan, status sosial, maupun status pendidikan. (terjemahan dari Bali Travel
News)
Megibung adalah tradisi makan bersama yang unik, yang merupakan suatu
wadah kebersamaan dalam suatu lingkungan sosial, yang di dalamnya rasa suka
duka melebur menjadi satu (www.karangasemtourist.com).
Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik (2006) ,
"megibung" yang merupakan salah satu unsur budaya yang tumbuh di Pulau
Dewata, perlu terus dikembangkan dan didukung keberadaannya oleh semua
pihak. Melalui kegiatan "megibung" akan banyak dapat dipetik makna filosofi
yang mendalam, karena di dalam kegiatan itu selain terkandung unsur
kebersamaan, juga disiplin dan kekerabatan. (diterjemahkan dari Travel News
Thu, 28 Dec. 2006)
Gambar 2. Megibung memiliki nilai kebersamaan, disiplin, dan kekerabatan
Budaya megibung (makan bersama) yang masih bertahan di Karangasem,
sementara di daerah lain sudah dipunahkan oleh cara makan prasmanan. Filsafat
megibung sungguh tinggi, makan bersama tak mengenal tingkatan orang dari
materi atau kedudukan bisa makan bersama dengan aturan yang dipatuhi peserta
makan. Seperti lawar dari berbagai jenis menjadi satu, menimbulkan rasa lawar
yang enak. Begitulah hendaknya masyarakat melihat perbedaan jenis dan warna,
jika disatukan bakal menjadi enak. (Amlapura (Bali Post) Pesan Ida Pedanda
Made Gunung)
Menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, yaitu Padani, tradisi
megibung menonjolkan nilai kebersamaan. Seluruh warga, tua-muda, besar-kecil,
lelaki-perempuan, berbaur bersama dan makan dalam sebuah tempayan yang
sama. Dalam tradisi Megibung ini, makanan yang disiapkan di dalam masjid
merupakan sumbangan dari sejumlah warga yang lebih mampu. Biasanya
makanan itu terdiri dari dari nasi, daging dan lauk-pauk. Warga yang datang, juga
bisa membawa makanan sendiri untuk dimakan bersama-sama (Metrotvnews.com,
Denpasar: 2007).

10
2.5 Pergeseran Nilai Tradisi Megibung Masyarakat Karangasem pada Era
Globalisasi
Di masa silam, tradisi keberagaman seperti megibung adalah salah satu
unsur yang mempersatukan Bali Dwipa. Indahnya, justru keberagaman itu tidak
menjadikan krama Bali hidup dalam alam yang terbelah. Semua fitur dan pranata
sosio-kultural Bali dipersatukan menjadi gumi gelah (baca: bumi kita sendiri), di
mana benda-benda asal berputar dalam lingkaran harmoni. Bali Dwipa menjadi
tentram dan ber-taksu atau memiliki daya.
Kini, kejayaan masa silam itu ditengarai sudah mulai memudar? Kini
sedang marak perbedaan secara diametral. Misalnya, ini kelompok anti dan itu
kelompok lain. Mereka dari Badung dan yang itu dari Karangasem. Dahulu, hal
yang berbeda dihubungkan menjadi sesuatu yang terkait. Dua wilayah yang benar-
benar berbeda tidak dikacaukan dan bahkan diupayakan titik temunya. Sekarang,
semuanya hanya refleksi masa silam. Saat ini, sofistifikasi krama Bali sudah
mulai menyusut. (Kelihan Banjar: 2006)
Penyusutan itu ditengarai karena gagasan efisiensi dan ekonomi. Gejala
demikian semakin tampak dalam kehidupan sehari-hari sosial-keagamaan krama
Bali. Misalnya, bila ada perhelatan sosial, acara megibung (makan bersama) selalu
menyertai. Tetapi, karena alasan efisiensi, tindak sosial demikian digantikan
dengan cara makan secara prasmanan. Ironisnya, justru yang kedua ini dianggap
lebih elegan dan bergengsi. Sebagai analogi, bila kita pergi ke super market atau
department store, pembeli tidak lagi diperlakukan sebagai raja atau ratu. Pembeli
tidak lagi perlu disapa, cukup mereka sendiri yang langsung melihat barang dan
harga. Dan, bila cocok, baru dibeli. Tawar menawar sebagai sebuah tradisi
dipinggirkan dengan garang. Semuanya harga pas. Kalau ada yang mencoba
menawar harga, ia akan disindir sebagai orang pelit atau udik, kurang paham
aturan kota. Jadi, gagasan efisiensi atau modernisasi justru sering menimbulkan
persoalan bagi pakraman Bali.(Kelihan Banjar: 2006)
Efisiensi clan ekonomi sering mengalahkan interaksi sosial yang elegan.
Bahayanya, krama Bali itu sendiri tidak sadar bahwa interaksi sosial bukan
sekadar saling bertemu dan berbincang, tetapi saling 'menembus'. Mereka bukan
hanya saling bertemu untuk menghadapi massalah, tapi secara bersama-sama

11
memecahkan massalah yang dihadapi. Peristiwa tindak sosial pakraman Bali tidak
sama dengan makan bersama secara prasmanan attau belanja di super market.
Pakraman Bali adalah proses dan sekaligus produk dari perekayasaan sosial
(social engineering) yang unik (www.balebanjar.com).

2.6 Pelestarian Tradisi Megibung


Dalam pelestarian budaya megibung, kita ajak masyarakat untuk
menggunakan referensi yang patut dijadikan pedoman atau penuntun, sehingga
proses dan hasil pelestarian serasi dengan apa yang diharapkan. Refrensi tersebut
terdir dari (1) undang-undang, perda dan aturan-aturan lainnya. (2) rumusan-
rumusan konvensi intrnational tentang pelestarian warisan budaya. Dan norma
dan aturan tradisi yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Dalam mengajak
mayarakat untuk berpartisipasi dalam melestarikan budaya megibung, diperlukan
adanya koordinasi dengan organisasi masyarakat, agar fungsi organisasi
masyarakat tersebut dapat berkembang ke arah hubungan tarik tambang satu
sama lain.
SDM yang berkualitas sangat mendukung kiat dalam mengajak msyarakat,
dengan kulitas wawasan, keterampilan, dan disiplin msyarakat, kita akan lebih
mudah untuk melakukan sosialisai. Disamping kualitas, juga diperlukan apresiasi
kahlayak masyarakat secara menyeluruh untuk memberikan refleksi akan
wawasan budaya megibung.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut.
1. Tradisi megibung adalah salah satu tradisi yang memiliki nilai –nilai
etika, moral, dan kesopanan yang tinggi yang sangat mulia yang di
dalamnya banyak terkandung makna yang dapat meningkatkan rasa
kekeluargaan dan semangat kebersamaan tanpa membedakan derajat,
status sosial.; Proses persiapan, pengolahan, dan penyajian hidangan
megibung secara umum dilakukan bersama-sama oleh anggota banjar
(krama) utamanya krama laki-laki, dan dipimpin oleh seorang juru patus
atau belawa, hal bermakna semangat gotong royong yang sangat
tinggi.Selanjutnya adanya opini masyarakat yang menganggap tradisi
megibung kurang elegan atau kurang mewah dari sisi status sosial, kurang
praktis, pemborosan, berakibat beralihnya pola makan bersama ke pola
prasmanan, padahal sesungguhnya pola megibung jauh memiliki makna
yang mendalam yang diajarkan secara tidak langsung oleh para leluhur
terdahulu. Oleh karena itu sudah seharusnya menjadi kewajiban generasi
muda untuk melestraikan, menjaga tradisi-tradisi yang luhur, syarat
makna.
2. Tradisi megibung adalah salah satu tradisi yang memiliki nilai kebangsaan
yang tinggi dan nilai-nilai luhur yang sangat mulia yang di dalamnya
banyak terkandung nilai yang dapat meningkatkan rasa kekeluargaan dan
semangat kebersamaan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan derajat.
3. Perkembangan zaman dan kemajuan IPTEK pada era globalisasi selain
membawa dampak positif, juga membawa dampak negatif yang berimbas
pada seni budaya, khususnya seni budaya megibung, yang nilainya sudah
mulai bergeser dan punah.

13
3.2 Saran
Nilai dan makna megibung perlu diterapkan dalam segala aspek kehidupan
baik itu dalam bidang politik, sosial, organisasi kemasyarakatan, dan sebagainya
serta bisa diterapkan di seluruh wilayah Indonesia untuk mempekokoh semangat
kesatuan dan persatuan bangsa. Sehingga perpecahan (disintegrasi) bangsa yang
rentan terjadi di Indonesia bisa di minimalisasi melalui kesadaran masyarakatnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Madya. I.W. 2007 pelestarian tradisi megibung di karangasem


sebagai media komunikasi pmersatu bangsa dengan pendekatan
partisipasi masyarakat. Artikel popular.
Mustika,J.B.2017. Tradisi Megibung. Artikel popular.
Setiawan, Putu. 2007. Magibung Biu, Tradisi Makan Pisang Bersama.
873,1,0,1.html.
Suyadnya. 2006. “Magibung” dan Persatuan ala Bali Lombok.
Wisarja, I Ketut. 2002. Bali dalam Dialektika Filsafat, Agama dan Budaya.
Pankaja, jurnal agama
Hindu.Nomer 4. Tahun III. Maret 2002

15

Anda mungkin juga menyukai