Dosen Pengempu:
Dr. I Nyoman Alit Supandi, S Ag., M Pd H
DENPASAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
pertolonganNya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “TRADISI
MEGIBUNG Di KARANGASEM”. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang
kami alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Penulis menyadari, dalam penulisan makalah ini tentunya terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca untuk memperbaiki
kekurangan dalam makalah ini, sangat kami harapkan. Tak lupa kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini. Kami
berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
1.1 Latar Belakang...........................................................................
1.2 Rumusan Masalah......................................................................
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................
1.4 Manfaat Penulisan .....................................................................
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................
2.1 Tradisi Megibung di Karangasem ................................................
2.2 Sejarah Tradisi Megibung di Karangasem.................................
2.3 Tahapan Dalam Tradisi Megibung ............................................
2.4 Etika dalam Melakukan Megibung……………………………
2.5 Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Megibung ............
2.6 Pelestarian Tradisi Megibung ...................................................
BAB III PENUTUP...............................................................................
3.1 Kesimpulan................................................................................
3.2 Saran...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Pulau Bali dikenal kaya dengan berbagai macam tradisi atau budaya. Megibung
merupakan salah satu tradisi yang ada di kabupaten Karangasem. Megibung
merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah. Jumlah peserta yang ikut
megibung dalam satu wadah biasanya terdiri dari delapan orang. Tradisi megibung
adalah salah satu tradisi yang memiliki nilai kebangsaan yang tinggi dan nilai-nilai
luhur yang sangat mulia. Di dalamnya banyak terkandung nilai yang dapat
meningkatkan rasa kekeluargaan dan semangat kebersamaan tanpa membedakan suku,
agama, ras, dan derajat. Selain itu, juga terkandung nilai semangat gotong royong,
nilai disiplin diri, nilai etika dan sopan santun yang tinggi di antara masyarakat.
Nilai-nilai luhur yang diwariskan dalam tradisi megibung ini dapat dijadikan suri
tauladan bagi daerah lain di Indonesia sebagai media komunikasi yang dapat
memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia yang majemuk.
1. Untuk Penulis
Manfaat yang diperoleh oleh penulis yaitu menambah wawasan penulis tentang
pelestarian tradisi megibung sebagai media komunikasi pemersatu bangsa dengan
Pendekatan partisipasi masyarakat.
2. Untuk Pembaca
a. Dapat memeberikan gambaran kepada mayarakat tentang bagaimana sebenarnya
proses megibung yang efektif, efesien dan sehat. Sehingga masyarakat secara umum
akan kembali untuk melestarikan budaya megibung yang ada di kabupaten
karangasem.
b. Dengan melestarikan budaya megibung maka dapat tetap menjaga rasa semangat
kekeluargaan, semangat kebersamaan, semangat gotong royong, semangat disiplin
dan semangat etika dan sopan santun antar masyarakat.
c. Dapat memberikan informasi tentang pelestarian tradisi megibung Sebagai media
komunikasi pemersatu bangsa dengan pendekatan partisipasi masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Megibung adalah merupakan salah satu tradisi warisan leluhur, dimana merupakan
tradisi makan bersama dalam satu wadah. Selain makan bisa sampai puas tanpa rasa
sungkan, megibung penuh nilai kebersamaan, bisa sambil bertukar pikiran,saling
mengenal, lebih mempererat persahabatan sesame warga. Makan bersama atau
megibung ini, dalam setiap satu wadah terdiri dari 6-8orang, memang merupakan
wujud kebersamaan tidak ada perbedaan antara orang kaya maupun miskin juga
perbedaan kasta ataupun warna, semua duduk berbaur dan makan bersama, tapi pada
perkembangan berikutnya antara laki dan perempuan dipisahkan, tapi kalau masih
dalam satu keluarga ataupun tetangga, mereka memilih bergabung.
Megibung bersasal dari kata dasar gibung yang mendapat awalan me-. Gibung berarti
kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang yaitu saling berbagi antara orang yang
satu dengan yang lainnya, sedangkan awalan me- berarti melakukan suatu kegiatan.
Tradisi Megibung merupakan kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat Karangasem
yang daerahnya terletak di ujung timur Pulau Dewata. Tanpa disadari Megibung
menjadi suatu maskot atau ciri khas Kabupaten Karangasem yang ibu kotanya
Amlapura ini. Tradisi Megibung sudah ada sejak jaman dahulu kala yang
keberadaannya hingga saat ini masih kerap kali kita dapat jumpai. Bahkan sudah
menjadi sebuah tradisi bagi Masyarakat Karangasem itu sendiri didalam melakukan
suatu kegiatan baik dalam upacara Keagamaan, Adat maupun kegiatan sehari-hari
masyarakat apabila sedang bercengkrama maupun berkumpul dengan sanak saudara.
Saat ini kegiatan megibung kerap kali dapat dijumpai pada saat prosesi
berlangsungnya Upacara Adat dan Keagamaan di suatu tempat di Karangasem.
Seperti misalnya dalam Upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi
Yadnya dan Manusa Yadnya. Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara
memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan
prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat
berlangsung seperti yang diharapkan.
Tanda mulainya megibung, diawali dengan memukul kentongan. Begitu tung, tung,
tung, keluarga yang memiliki hajatan mempersilakan para undangan mendekat ke
tempat gibungan yang telah disediakan. Biasanya gibungan ditempatkan di halaman
rumah, atau tempat yang lapang, karena jumlahnya banyak dan agar bisa serentak.
Gibungan itu, ditaruh di atas alas tikar atau daun pisang. Peserta megibung boleh tak
beralas, namun gibungan harus dialasi. Penghormatan kepada Dewi Sri. Bagian yang
juga harus ada dalam megibung selain gibungan, adalah ceretan (tempat air minum)
dan paselokan (tempat cuci tangan).
Bila para undangan sudah mendekati gibungan, tukang tarek mulai memandu jalannya
megibung. Mula-mula ditanyakan, apakah pesertanya sudah pepek (penuh delapan
orang). Jika kurang ditambah agar jumlahnya lengkap delapan orang. Bila sudah
tukang tarek mempersilakan peserta megibung mencuci tangan. Setelah usai cuci
tangan, peserta megibung harus menunggu aba- aba dari tukang tarek. Setelah semua
sudah cuci tangan, kemudian para undangan dipersilakan mulai makan dan para
undangan serentak mulai menikmati hidangan bersama.
Setelah rangkaian megibung selesai, peserta tidak langsung bubar melainkan kembali
mencuci tangan untuk megibung sanganan yang terdiri atas berbagai jenis jajan.
Biasanya megibung sanganan dibarengi dengan menyajikan brem. Setelah megibung
selesai, peserta tak boleh langsung bubar. Tukang tarek mempersilakan kembali cuci
tangan. Gibungan yang tadinya terbuka, oleh peserta dilipat kembali. Setelah itu,
peserta baru dipersilakan bubar.
Tradisi Megibung merupakan warisan dari Raja Karangasem bernama I Gusti Agung
Anglurah Ketut Karagasem pada tahun 1614 caka atau 1692 masehi.
Saat Karangasem mengadakan ekspedisinya dalam menaklukan raja-raja Lombok,
Sang Raja Karangasem menganjurkan para prajuritnya untuk menyantap makanan
dalam posisi yang melingkar, dan makanan para prajurit di letakkan di tengah-tengah
mereka. Bahkan, Sang Raja juga duduk bersama dengan para prajurit dan menyantap.
Megibung memberi penekanan pada nilai kebersamaan dan demokrasi. Tidak ada
perbedaan kasta dan perbedaan tingkat ekonomi, semua orang yang mengelilingi
gibungan adalah sama di hadapan Dewi Sri (Dewi Kemakmuran). Tradisi ini adalah
implementasi dari filosofi Bali kuno, "paros sarpanaya, selunglung sabayantaka" atau
kebersamaan dalam suka dan duka.
2.3 Tahapan Dalam Tradisi Megibung
3. Menata/Penyajian Gibungan
Dalam menata nasi dan daging karangan (terdiri dari berbagai adonan lawar)
dilaksanakan secara teratur mulai penempatan sayur,adonan lawar, daging serta sate
ditempatkan sedemikian rupa karena pada saat akan menurunkan setiap jenis
hidangan ada urutannya tersendiri, ada tahapantahapannya, yang mesti dilakukan
secara berurutan/tidak sembarangan, seperti tersaji pada gambar berikut:
Keterangan gambar: Nasi diletakkan dibagian tengah, sedangkan pada setiap pojok
ditambahkan garam dan cabe rawit dengan tujuan untuk kelengkapan jika orang yang
makan merasa kurang garam maupun kurang pedasSedangkan untuk penataan
karangan (lawar dan kelengkapannya) dapat disajikan seperti gambar berikut:
Gambar penataan karangan (lawar dan kelengkapannya)
1: Lawar Merah
2: kacang-kacang
3: gegecok
4 :keskes
5: urab
6: anyang
7: padamara (campuran semua lawar di atas ditambah belimbing dan balung iga
ditempatkan pada takir daun atau tapan)
8: sate: 12 tusuk terdiri dari 5 tusuk sate asem, 7 tusuk sate pusut. Contoh gambarnya
sebagai berikut:
Gambar: contoh penataan hidangan gibungan untuk satu sela yang masih
menggunakan alas tradisional (aled) untuk alas nasi
4. Tata Cara Makan/Megibung
Posisi megibung adalah melingkar yang menurut tradisi terdiri dari 8 (delapan) orang
sesuai arah mata angin dan ditengah adalah hidangan (gibungan). Kalau diperhatikan
secara philosofi dapat diartikan bahwa pengaturan tempat duduk sudah mengandung
nilai tinggi yaitu 8 terkait dengan astadala ditambah di tengah menjadi Sembilan (9)
yang artinya kita selalu ingat akan Sembilan kekuatan yang disebut Dewata Nawa
Sanga yang menciptakan keseimbangan dan keharmonisan alam semesta ini artinya
sebelum kita memulai menyantap makanan/hidangan gibungan itu, selalu didahului
dengan memohon kehadapan Beliau yang telah menciptakan alam dengan segala
isinya, memberikan kebahagiaan, keselamatan dan kesejahteraan bagi mahluk yang
ada di buana (dunia) ini. Artinya setiap pelaksanaan tradisi megibung harus didahului
dengan memohon keselamatan alam beserta isinya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Namun seiring perkembangannya sekarang jumlah anggota dalam satu sela
terdiri dari 6 orang, dengaan alasan factor kenyamanan duduk berenam, walaupun
secara etika tidak mengurangi arti atau makna megibung itu sendiri.
Dari penataan tempat duduk yangmelingkar itu yang terdiri dari 8 (delapan) orang ada
keunikan dan etika di dalamnya yaitu:
(1) Diantara 8 (delapan) orang yang duduk melingkar itu kemungkinan belum saling
kenal;
(2) Tradisi yang masih kental di masyarakat masih berlaku golongan-golongan /strata
sosial tertentu, dimana tempat duduk di saat megibung kondisi strata tidak berlaku;
3) Bagi golongan tertentu yang dianggap tinggi atau krama yang dianggap lebih tua
selalu dipersilahkan duduk terlebih dahulu dan posisinya di arah utara atau timur
tepatnya timur laut sebagai penghormatan.;
(4)Krama yang lainnya dipersilahkan duduk selanjutnya menempati posisi yang sudah
tersedia;
(5) Anggota yang duduk di posisi timur laut berperan sebagai pengenter artinya yang
bertugas mengisi lauk pauk perjenis lauk ke atas nasi gibungan sesuai
urutan/tahapannya, dilanjutkan dengan mengucapkan sampun sayaga (sudah siap
untuk menikmati).;
(6) Menikmati hidangan didahulukan orang yang lebih tua, dilanjutkan oleh anggota
yang lain.
Pada saat mulai megibung ada aturan-aturan yang harus diikuti antara lain;
(1) nurunkan/membagikan daging karangan didahului dengan sayur, adonan lawar,
daging/balung, terakhir sate;
(2) Pada saat makan tidak boleh menaruh sisa makanan tersebut di atas tempat
gibungan, melainkan harus ditaruh dibawah di muka tempat duduk kita.;
(3)makanan tidak boleh berserakan, apalagi lewat ke tempat duduk di sebelahnya;
(4) Nasi atau daging hanya boleh diambil yang ada dihadapan kita dan tidak boleh
mengambil makanan di tempat atau wewidangan orang lain di sebelah kita.;
(5). Membagi daging/lauk tidak boleh menggunakan mulut;
6). Air minum yang disediakan pada kendi (Caratan), pada saat minum, bibir tidak
boleh menyentuh mulut kendi;
7). Setelah selesai megibung tidak boleh mendahului bangun atau pergi, melainkan
harus terlebih dahulu menunggu semua kelompok yang megibung sudah selesai
makan, artinya mulai bersama-sama, selesaipun bersama-sama.
Ada sejumlah etika yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh seluruh partisipan
Megibung sebelum menyantap hidangan yang telah disajikan secara bersama-sama.
Etika pertama saat melakukan Megibung adalah semua orang wajib untuk mencuci
tangan terlebih dahulu. Kemudian usahakan untuk tidak menjatuhkan remah atau sisa
makanan dari suapan. Tentu saja ini akan membuat orang-orang di sampingnya akan
merasa kurang nyaman.
Etika lain yang harus dipatuhi adalah untuk tidak mengambil makanan orang yang ada
di samping kita. Hal ini menunjukkan ketidak-sopanan dan kurangnya rasa respect
kepada orang di samping.
Kemudian etika terakhir dalam menyantap hidangan Megibung adalah untuk tidak
meninggalkan teman saat Anda sudah merasa kenyang. Walau aturan ini tidak tertulis,
namun banyak penduduk lokal yang mempraktekkannya. Ini menunjukkan rasa
solidaritas, sehingga tidak yang saling meninggalkan satu sama lain.
Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik (2006) "megibung" yang
merupakan salah satu unsur budaya yang tumbuh di Pulau Dewata, perlu terus
dikembangkan dan didukung keberadaannya oleh semua pihak. Melalui kegiatan
"megibung" akan banyak dapat dipetik makna filosofi yang mendalam, karena di
dalam kegiatan itu selain terkandung unsur kebersamaan, juga disiplin dan
kekerabatan.
Nilai kekeluargaan
Pelaksanaan megibung telah memupuk nilai kekeluargaan di dalam kehidupan
masyarakat. Hal tersebut terlihat dari proses megibung yang pengerjaannya selalu
dilakukan secara musyawarah. Semua proses pembuatan gibungan mulai dari
persiapan sampai selesai megibung dilakukan untuk masyarakat Karangasem. Dalam
megibung orang tidak memandang status sosial, tidak membedakan kaya atau miskin,
ganteng atau cantik, berkasta atau tidak. Semua orang duduk menjadi satu dan makan
makanan yang sama dalam satu wadah. Dengan cara seperti itu akan menghindarkan
seseorang dari rasa ego yang dapat menjadi jurang pemisah di masyarakat karena
adanya perbedaan status sosial dan mempererat rasa kesatuan di dalam masyarakat.
Nilai kebersamaan
Semangat gotong royong sangat kental terlihat dalam pelaksanaan megibung, nilai
kebersamaan tersebut terpancar sejak mulai dari persiapan bahan dan alat sampai pada
proses selesai megibung. Ketika pelaksanaan upacara yadnya masyarakat di
Karangasem bahu membahu serta bekerjasama guna menyiapkan bahan dan alat yang
akan digunakan untuk membuat gibungan. Semangat kerja keras dari masyarakat
tersebut dilaksanakan secara tulus dan tanpa mengharapkan imbalan. Setelah semua
persiapan selesai, maka gibungan akan disebar mencari tempat yang luas dan tuan
rumah akan mempersilahkan undangan untuk megibung, kemudian para undangan
akan saling mengingatkan untuk makan dan masing-masing undangan akan membagi
diri membentuk kelompok menjadi delapan orang dan secara bergilir untuk
melaksanakan megibung. Sementara undangan yang belum dapat giliran makan
secara sukarela akan melayani semua permintaan yang diperlukan oleh undangan
yang sudah dapat giliran makan seperti air minum, sayur, dan yang lainnya. Begitu
juga sebaliknya, undangan yang sudah selesai makan akan melayani undangan yang
belum mendapat giliran makan.
Nilai religius
Nilai lain yang juga terkandung di dalam tradisi megibung adalah nilai-nilai religius.
Nilai-nilai religius ini sangat kental terlihat dalam setiap tahapan maupun proses
pelaksanaan megibung. Hal tersebut dikarenakan, secara tidak langsung tradisi
megibung sangat berkaitan dengan upacara yadnya baik upacara manusia yadnya,
pitra yadnya, maupun dewa yadnya. Dikatakan demikian karena kegiatan megibung
biasanya dilaksanakan saat ada upacara yadnya.
Megibung tidak hanya sekedar makan bersama, dalam megibung terdapat banyak
makna yang terkandung dalam tradisi tersebut, oleh karena itu dalam setiap tahapan
pembuatan gibungan selalu berpedoman pada ajaran agama hindu. Nilai-nilai religius
tersebut terkandung dalam proses megibung, yaitu ngejot. Ngejot adalah proses
sebelum pelaksanaan megibung yakni dengan menghaturkan gibungan kepada para
leluhur, para dewa, dan bhuta kala, sebagai wujud syukur kepada tuhan yang maha
esa, ida sanghyang widhi wasa, karena telah diberikan rejeki yang melimpah.
Sebelum megibuung dilaksanakan, tuan rumah yang memiliki acara akan terlebih
dahulu ngejot kepada para dewaa dan leluhur serta bhuta kala agar mendapatkan
pahala atau surga syuta.
Nilai Toleransi
Toleransi dalam tradisi megibung ialah saling menghargai antar sesama dan tidak
membeda-bedakan status sosial yang ada dalam masyarakat tersebut dan saling
menjaga perasaan atau saling menghormati. Dengan adanya nilai toleransi maka
tradisi megibung dapat dilaksanakan dengan baik.
Tradisi megibung mengandung nilai-nilai positif yang sangat besar, nilai- nilai
tersebut merupakan cerminan dari budaya luhur dari para nenek moyang yang harus
dijadikan panutan oleh para generasi muda agar tidak terlena dalam rayuan dan
godaan budaya luar yang banyak bertentangan dengan budaya yang diwariskan oleh
para leluhur. Kesemua nilai tersebut sangat besar manfaatnya dalam menjaga
persaudaraan dan kekeluargaan dalam masayarakat.
SDM yang berkualitas sangat mendukung kiat dalam mengajak msyarakat, dengan
kulitas wawasan, keterampilan, dan disiplin msyarakat, kita akan lebih mudah untuk
melakukan sosialisai. Disamping kualitas, juga diperlukan apresiasi kahlayak
masyarakat secara menyeluruh untuk memberikan refleksi akan wawasan budaya
megibung.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Tradisi megibung adalah salah satu tradisi yang memiliki nilai-nilai etika, moral,
dan kesopanan yang tinggi yang sangat mulia yang di dalamnya banyak terkandung
makna yang dapat meningkatkan rasa kekeluargaan dan semangat kebersamaan tanpa
membedakan derajat, status sosial.; Proses persiapan, pengolahan, dan penyajian
hidangan megibung secara umum dilakukan bersama-sama oleh anggota banjar
(krama) utamanya krama laki-laki, dan dipimpin oleh seorang juru patus atau belawa,
hal bermakna semangat gotong royong yang sangat tinggi.
2. Tradisi megibung adalah salah satu tradisi yang memiliki nilai kebangsaan yang
tinggi dan nilai-nilai luhur yang sangat mulia yang di dalamnya banyak terkandung
nilai yang dapat meningkatkan rasa kekeluargaan dan semangat kebersamaan tanpa
membedakan suku, agama, ras, dan derajat.
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, kedepannya kami
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/60374857/Kajian_Pelestarian_Tradisi_Megibung_DI_Desa
_Seraya_Tengah_Kecamatan_Karangasem_Kabupaten_Karangasem_Perspektif_Geo
grafi_Budaya_
https://id.scribd.com/document/486870493/979-37-1371-1-10-20180202-pdf