Anda di halaman 1dari 19

Tradisi Menyirih Suku Karo

Dosen Pengampu : Dra. Syarifah, MS

Oleh :
Kelompok 11
Samantha Yuliana Purba (211000123)
Dava Ardhana Surbakti (211000124)
Dea Davita Hutagaol (211000137)
Nova Elvira Febriani Purba (211000143)
Afni Theresia (211000166)
Lyra Gabriella Comfusius Lumbantoruan (211000183)
Febrira Khairani Dewinta (211000192)
Riana Afrida Putri Ompusunggu (211000197)

MATA KULIAH : SOSIOANTROPOLOGI KESEHATAN


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Sosioantropologi Kesehatan, dengan judul “Tradisi Menyirih Suku
Karo”.
Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Syarifah, MS. Selaku
dosen pengampu mata kuliah Sosioantropologi Kesehatan, yang telah berkenan memberikan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penyusunan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun sedemikian rupa dengan ikhtiar yang maksimal dan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
sudah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Untuk itu kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
pembaca. Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dan pendidikan.

Medan,14 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6


2.1 Budaya Makan Sirih......................................................................................................6
2.2 Konsep Suku Karo.........................................................................................................7
2.3 Menyirih .......................................................................................................................8
2.3.1 Perilaku Menyirih.............................................................................................8
2.3.2 Cara Menyirih ..................................................................................................9
2.3.3 Bahan-bahan Menyirih.....................................................................................9
2.3.4 Frekuensi dan Lama Menyirih..........................................................................11
2.3.5 Tujuan Menyirih ..............................................................................................12
2.3.6 Efek Menyirih Terhadap Kesehatan ................................................................12
2.4 Perilaku Menyuntil........................................................................................................14
2.4.1 Komposisi Menyuntil.......................................................................................15
2.4.2 Cara Menyuntil ................................................................................................15
BAB III HASIL WAWANCARA DAN KESIMPULAN ................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tradisi adalah suatu perbuatan yang dilakukan sejak dulu dan dilakukan secara
berulang-ulang. Tradisi telah menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok. Hal yang
paling penting dalam suatu tradisi adalah adanya informasi secara turun-temurun baik secara
lisan maupun tertulis. Perilaku masyarakat seringkali dipengaruhi oleh kebudayaan atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Salah satu faktor kebudayaan yang
ditemui dalam masyarakat, yaitu kebiasaan menyirih. Menyirih merupakan proses meramu
campuran dari beberapa bahan seperti sirih, pinang, kapur, dan gambir yang kemudian
dikunyah secara bersamaan. Perilaku menyirih secara umum dilakukan sejak dahulu di
wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Pasifik. Menyirih mulai dilakukan masyarakat
di China dan India, lalu menyebar ke benua Asia termasuk Indonesia. Asal usul dari budaya
menyirih ini tidak diketahui dengan pasti kapan dimulai, akan tetapi diperkirakan sudah ada
sejak kurang lebih 2000 tahun silam Dawn (1995). Beberapa negara di dunia menyirih
dengan cara meramu campuran bahan menyirih bersamaan dengan tembakau. Menurut
sejarah kuno perilaku menyirih dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, kelompok usia,
termasuk kalangan wanita dan anak-anak, dan di beberapa negara menyirih hanya dilakukan
oleh orang yang sudah lanjut usia. Setiap daerah memiliki perilaku menyirih yang berbeda.
Di Indonesia, perilaku menyirih dilakukan mengikuti budaya setempat.

Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mengenal perilaku menyirih. Pada mulanya
menyirih digunakan sebagai suguhan kehormatan untuk orang-orang atau tamu-tamu yang
dihormati pada suatu acara pertemuan atau pesta perkawinan. Dalam perkembangannya
budaya menyirih menjadi kebiasaan untuk dinikmati di saat santai.

Dalam bahasa karo, menyirih dikenal dengan "Man belo". Man belo memerlukan
bahan-bahan lain sebagai ramuannya, seperti belo (sirih), kapur, gamber (gambir), mbako
(tembakau), dan buah mayang (pinang). Ada juga yang menambahkan kembiri (kemiri) dan
atau beras pulut yang sudah dioseng. Semua bahan-bahan dan ramuan dibungkus dalam sirih,
kemudian dikunyah. Kemudian mbako (tembakau) digunakan dengan cara menyuntikan atau
digoyangkan ke bagian atas dan bawah bibir, setelah sirih dikunyah akan menghasilkan
warna merah. Tradisi man belo ini sangat berperan dalam kehidupan dan berbagai upacara
adat istiadat karo, misalnya upacara pernikahan. Dalam pernikahan adat karo, ada tahap-tahap
yang harus dilakukan sebelum upacara pernikahan, tahap pertama yakni tahap maba belo
selambar dimana tujuannya adalah untuk menanyakan kesedian si gadis, Sukut (orang tua si
gadis), Sembuyak (saudara dari ayah), Anak beru (bibi/saudari kandung dari ayah), dan yang
lainnya atas pinangan tersebut. Dalam acara maba belo selambar ini diawali dengan
penyerahan kampil persentabin yang isinya adalah perlengkapan makan sirih seperti sirih,
kapur, gambir, pinang, dan tembakau dan peralatan merokok (rokok dan korek api). Tahap
kedua nganting manuk yaitu musyawarah untuk membicarakan hal-hal yang lebih jauh
mendetail tentang upacara pernikahan menurut adat, seperti waktu perkawinan, persiapan
perkawinan. Pada setiap tahap-tahap upacara perkawinan selalu diawali dengan
menggunakan belo (sirih) yang berada dalam kampil (tempat sirih) yang berisikan bahan-
bahan lainnya.

Selain dalam pernikahan, man belo yang dilakukan oleh perempuan Karo juga
menjadi suatu tradisi yang dilakukan ketika perempuan Karo kedatangan tamu. Tuan rumah
yang baik selalu ndudurken belona (menyuguhkan sirihnya) yang berada dalam kampil
(tempat sirih) yang berisikan bahan-bahan makan sirih yang kemudian mereka kunyah
bersama. Begitu juga dengan tamu yang baik, akan menerima suguhan tersebut, dan tamu
beserta tuan rumah akan lebih terbuka komunikasinya. Hal tersebut menjadi suatu tradisi
perempuan Batak Karo dalam hal menyambut tamu yang datang ke rumah.

Dahulu belo (sirih) ini juga sangat erat hubungannya dengan kepercayaan lama atau
pemena orang Karo, seperti melakukan ercibal (persembahan), bertanya ke guru sibaso
(dukun) dan meramal. Walaupun kebiasaan penggunaan sirih yang berhubungan dengan
kepercayaan sebagian besar telah hilang, namun tradisi man belo yang berhubungan dengan
upacara perkawinan masih ada dan dipertahankan sampai sekarang ini.

Mereka yakin bahwa menyirih dapat menguatkan gigi, menyembuhkan luka kecil di
mulut, menghilangkan bau mulut, menghentikan pendarahan gusi, dan sebagai obat kumur.
Kegiatan makan sirih ini memang memiliki efek terhadap gigi, gingiva atau gusi, dan mukosa
mulut. Efek tersebut membawa dampak yang positif maupun negatif. Efek baik dari menyirih
terhadap gigi di antaranya untuk menghambat proses pembentukan karies. Sedangkan efek
negatif adalah dapat menyebabkan penyakit periodontal yaitu penyakit inflamasi kronik
rongga mulut yang umum dijumpai dan pada mukosa mulut. Daun sirih juga digunakan
sebagai antimikroba terhadap Streptococcus mutans yang merupakan bakteri yang paling
sering mengakibatkan kerusakan pada gigi (Astuti dkk, 2007). Bahan menyirih yang paling
sering digunakan yaitu, sirih, pinang, kapur dan gambir. Beberapa daerah juga menambahkan
tembakau dalam campuran bahan menyirih. Biji buah pinang yang digunakan untuk menyirih
mengandung senyawa golongan fenolik. Kandungan fenolik ini relatif tinggi. Saat proses
mengunyah biji buah pinang di dalam mulut, oksigen reaktif atau yang biasa dikenal dengan
radikal bebas akan membentuk senyawa fenolik. Campuran biji buah pinang dan kapur sirih
akan menghasilkan kondisi PH alkali. Hal ini akan lebih cepat merangsang pembentukan
oksigen rekatif. Oksigen inilah yang dapat menyebabkan kerusakan DNA atau genetik sel
epitel dalam rongga mulut Sinuhaji (2010).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkankan latar belakang maka peneliti merumuskan permasalahan bagaimana status


kesehatan Masyarakat suku Karo dengan kebiasaan menyirih di Kabanjahe Kabupaten Karo.

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan Uraian diatas,maka peneliti membuat tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi


kebiasaan menyirih dan status kesehatan Masyarakat suku Karo di Kabanjahe Kabupaten
Karo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya Makan Sirih


Makan sirih merupakan salah satu bentuk dari kebiasaan - kebiasaan yang ada di
masyarakat yang secara turun temurun dilakukan. Sirih adalah jenis tumbuhan yang mirip
dengan tanaman lada, dengan nama ilmiahnya adalah : Piper Betle. L , dan ada beberapa
daerah di Indonesia memberikan nama lain terhadap sirih yaitu Suruh, Sedah (Jawa), Seureuh
(Sunda), Ranup (Aceh), Belo (Batak Karo), Cambai (Lampung), Uwit (Dayak) Base (Bali),
Nahi (Bima), Gapura (Bugis), Meta (Flores) dan Afo (Sentani), sedangkan nama asing sirih
adalah Ju jiang (Cina)(Muhlisah, 2006).
Sirih secara kimia mengandung minyak atrisi, hidroksivacikol, kavikol,
allypyrokatekol, karvakrol, eugenol, eugenol methyl other, P-cymene, Cineole,
Caryophyllene, cadinene, estragol, terpenena, sesquiterpena, fenil propana, tannin diastase,
gula, pati (Muhlisah, 2006).
Tradisi makan sirih merupakan warisan budaya silam, melebihi 3000 tahun yang lalu
atau zaman Neolitik dan meluas ke Asia Tenggara sampai sekarang ini. Sirih disukai oleh
berbagai golongan masyarakat. Pelayar terkenal Marcopollo di abad 13 telah menulis dalam
catatannya bahwa terdapat segumpal tembakau didalam masyarakat India, pernyataan ini
dijelaskan oleh penjelajah terdahulu, seperti Ibnu Batuta dan Vasco Da Gamma yang
menyatakan kebiasaan makan sirih juga terdapat pada masyarakat sebelah timur. Kini sirih
menjadi terkenal pada masyarakat Melayu, selain dimakan oleh masyarakat juga dijadikan
simbol adat istiadat pada beberapa adat masyarakat tersebut, misalnya pada adat perkawinan
(Sp-Asah, 2006).
Makan sirih adalah bagian yang melengkapi struktur kebudayaan dan biasanya
berkaitan erat dengan kebiasaan yang terdapat pada masyarakat di daerah tertentu. Kuantitas,
frekwensi dan usia pada saat memulai makan sirih berubah oleh tradisi setempat. Beberapa
pengkonsumsi sirih melakukan setiap hari sementara orang lain mungkin makan sirih
sesekali. Frekuensi makan sirih mungkin berkaitan dengan beberapa faktor, seperti: pekerjaan
dan pertimbangan sosial ekonomi. Frekwensi kebiasaan makan sirih dimulai pada saat anak-
anak dan remaja, tetapi aktifitas makan sirih tersebut lebih banyak dan lebih sering didapati
pada orang dewasa baik pria dan wanita (Dentika, 2004).
Makan sirih merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia.
Kebiasaan makan sirih ini merupakan tradisi yang dilakukan turun- temurun pada sebagian
besar penduduk dipedesaan yang mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat
setempat. Adat kebiasaan ini biasanya dilakukan pada saat acara yang sifatnya ritual.
Begitu juga dengan suku Karo yang memiliki adat kebiasaan tersebut pada tradisi mereka.
Kebiasaan ini dijumpai tersebar luas dikalangan penduduk wanita suku Karo (Dentika, 2004).
Menyirih merupakan proses meramu campuran dari unsur-unsur yang telah terpilih
yang dibungkus dalam daun sirih kemudian dikunyah dalam waktu beberapa menit. Menyirih
dilakukan dengan cara yang berbeda dari satu negara dengan negara lainnya dan satu daerah
dengan daerah lainnya dalam satu negara. Meskipun begitu komposisi terbesar relatif
konsisten, yang terdiri dari biji buah pinang (Areca Catechu), daun sirih (piper betle leaves),
kapur (kalsium hidroksid) dan gambir (Uncaria gambir).
Secara umum dilihat dari tinjauan geografis, budaya, dan rumpun bangsa, suku Karo
adalah salah satu etnis suku-suku bangsa Indonesia yaitu rumpun Batak yang berdiam
disebagian besar dataran tinggi Karo serta menganut sistem kekerabatan yang disebut
dengan ”Merga” dimana terdapat 5 cabang yaitu Perangin- angin, Karo-karo, Ginting,
Sembiring dan Tarigan. Karena kedekatan Pengaruh kekerabatan itu, rumpun etnis Batak ini
ada yang memiliki kesamaan kebiasaan yang salah satunya yaitu mengunyah sirih dengan
daun sirih, pinang, gambir dan kapur sebagai bahan dasar (Boedihardjo, 1981).
Pada mulanya menyirih digunakan sebagai suguhan kehormatan untuk orang-
orang/tamu-tamu yang dihormati pada upacara pertemuan atau pesta perkawinan. Dalam
perkembangannya budaya menyirih menjadi kebiasaan memamah selingan di saat-saat santai
(Dentika, 2003).

2.2 Konsep Suku Karo

Suku Karo adalah suku asli yang mendiami dataran tinggi Karo,sebagian mendiami
Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota medan,
dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di satu
wilayah yang mereka diami (dataran tinngi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki
bahasa Karo atau cakap Karo, dan memiliki salah khas yaitu Mejuah-juah. Sementara
pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas. Adapun rumah adat suku Karo dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu
yang berarti rumah dengan delapan keluarga, yaitu rumah yang terdiri dari delapan bilik
yang masingmasing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-
masing. Suku Karo juga memiliki kebiasaan tersendiri yang dianggap sebagai tradisi seperti
Mengket Rumah, Erpangir ku Lau, Merdang Merdem dan untuk yang perempuannya
biasanya menyirih atau menyuntil.

2.3 Menyirih
2.3.1 Perilaku menyirih
Memakan sirih merupakan tradisi budaya masyarakat indonesia dengan komposisi
dasar yakni daun sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau. Komposisi tersebut dibungkus
di dalam daun sirih yang kemudian dikunyah. Masyarakat dengan kebiasaan memakan sirih
mempunyai alasan tersendiri mengapa mereka mengunyah sirih. Menurut informan yang
diwawancarai di Kelurahan Sentul, mengunyah sirih telah memberikan manfaat yakni dapat
memberikan kenikmatan seperti orang merokok, sebagai aktifitas di waktu senggang, dapat
menghilangkan bau nafas, mengunyah sirih dilakukan secara turun-temurun dan karena
adanya kepercayaan bahwa aktifitas ini dapat memperkuat gigi (Flora et al,2012).
Menyirih merupakan kebiasaan yang sudah tidak asing dan semakin meluas di
kalangan masyarakat. Menyirih merupakan suatu proses meramu campuran dari bahan-
bahan seperti daun sirih, pinang, gambir, kapur, dan tembakau. Campuran dari bahan-bahan
ini dibungkus dalam daun sirih, kemudian dikunyah beberapa menit sehingga berkontak
dengan mukosa mulut. Kebiasaan menyirih biasanya dilakukan 3 kali sehari yaitu pada
waktu pagi, setelah makan siang dan pada waktu malam (Kanapathy,2014).
Perilaku menyirih juga dilakukan sebagai sarana dalam pergaulan antara sesama
wanita-wanita di Tanah Karo. Dengan alasan menyirih bersama-sama lebih menyenangkan
dari pada menyirih sendirian. Wanita Karo menyirih karena mereka merasa dengan menyirih
dapat membuat gigi kuat, menstimulasi air ludah, obat untuk saluran pernafasan,
menghilangkan rasa lapar, memiliki efek euphoria (perasaan senang) dan sebagai penyegar
nafas. Kepercayaan bahwa mengunyah sirih dapat menghindari penyakit mulut seperti
mengobati gigi yang sakit dan nafas yang tidak sedap kemungkinan telah mendarah daging
diantara para penggunanya.
Menyirih merupakan suatu proses meramu campuran dari bahan-bahan seperti daun
sirih (piper betle), pinang (areca nut), gambir (uncaria gambir), kapur (calcium hydroxide),
dan tembakau (tobacco). Campuran dari bahan-bahan ini dibungkus dalam daun sirih,
kemudian dikunyah beberapa menit sehingga berkontak dengan mukosa mulut. Memakan
sirih juga merupakan bagian dari acara ketika membicarakan mahar dan hari pernikahan.
Acara pertemuan ini disebut dengan ngembah belo selambar.Selain acara ngembah belo
selambar, sirih juga digunakan pada saat nganting manuk. Nganting manuk adalah
kelanjutan proses dari acara maba belo selambar dengan membawa seekor ayam sebagai
jalan untuk membuka musyawarah.

2.3.2 Cara Menyirih


Cara menyirih yang dilakukan oleh perempuan suku Karo adalah dengan meletakkan
kapur (Calcium hydroxide) dan beberapa potongan kecil buah pinang (Areca nut) dan gambir
(Uncaria gambier) di atas lembaran daun sirih (Piper betle leaves). Daun sirih dilipat
bersamaan dengan campuran, selanjutnya dimasukkan ke dalam mulut di antara gigi dan pipi,
kemudian dikunyah.

2.3.3. Bahan-bahan Menyirih


Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk menyirih adalah daun sirih, gambir, kapur
sirih dan buah pinang;
a. Daun sirih
Daun sirih merupakan jenis tumbuhan merambat dan pada batang pohon lain. Bentuk
daunnya pipih menyerupai jantung dengan ukuran panjang antara 8- 12 cm, lebar antara 10-
15 cm dan tangkai agak panjang. Daun sirih biasanya digunakan sebagai pembungkus untuk
menyirih. Dulu, daun sirih digunakan juga sebagai obat kumur bagi penerita sakit gigi,
gargarisma bagi orang yang sakit tenggorokan dan bahwa sebagai obat cuci mata bagi orang
yang sakit mata. Selain itu, dapat digunakan sebagai obat sariawan, abses rongga mulut, luka
bekas cabut gigi dan penghilang bau mulut (Hermawan,2007).
Nama latin dari sirih adalah Piper betle. Nama lokal sirih adalah Betel (Perancis), Betel,
Betlehe, Vitele (Portugal); Sirih (Indonesia), Suruh, Sedah (Jawa), Seureuh (Sunda), Belo
(Karo), Ranub (Aceh), Demban (Batak Toba), Lahina atau Tawuno (Nias), Sireh, Sirih
(Palembang), Suruh, Sirih (Minang), Canbai (Lampung), Ju Jiang (China).
Sirih (Piper betle) termasuk jenis tumbuhan merambat dan bersandar pada batang pohon
lain. Tanaman ini panjangnya mampu mencapi puluhan meter. Bentuk daunnya pipih
menyerupai jantung dan tangkainya agak panjang. Permukaan daun berwarna hijau dan licin,
sedangkan batang pohonnya berwarna hijau tembelek (hijau agak kecoklatan) dan
permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut. Daun sirih disamping untuk keperluan
ramuan obat-obatan juga masih sering digunakan oleh ”ibu-ibu generasi tua untuk
kelengkapan ”nyuntil” tersebut adalah daun sirih, kapur sirih, pinang, gambir dan tembakau.
Daun sirih mengandung minyak atsiri (betlephenol), seskuitterpen, pati, diatase, gula,
chavicol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi, fungisida, dan anti jamur.
Daun sirih mengandung phenolic yang menstimulasi katekolamin, sehingga menyirih
mempengaruhi fungsi simpatik dan parasimpatik. Daun sirih memiliki manfaat yang sangat
luas sebagai bahan obat batuk, bronchitis, gangguan lambung, rematik, menghilangkan bau
badan, keputihan dan sebagainya. Bahkan, rebusan daun sirih juga sangat bermanfaat untuk
obat sariawan, pelancar dahak, pencuci luka, obat gatal-gatal.
b. Gambir
Gambir merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan dan di tempattempat lain yang
bertanah agak miring dan cukup mendapatkan sinar matahari. Gambir yang kita kenal
biasanya dalam bentuk kering yang diambil dari daun dan ranting. Tanaman ini mengandung
zat lemak yaitu catechin yang bersifat antioksidan. Pada masyarakat tradisional di berbagai
daerah, gambir merupakan bahan untuk menyirih. Selain untuk menambah rasa, gambir juga
memberi manfaat lain yaitu untuk mencegah berbagai penyakit di kerongkongan
(Lombu,2014).
Gambir juga digunakan untuk mencuci luka bakar dan luka pada penyakit kudis. Selain
itu menghentikan penyakit diare, tetapi penggunaan berlebihan yaitu leboh dari satu ibu jari
bukan sekedar menghentikan diare tetapi akan menimbulkan kesulitan buang air besar selama
beberapa hari. Gambir dapat mengakibatkan atrisi dan abrasi pada gigi karena adanya
kandungan yang bersifat abrasif yaitu catechin (Sinuhaji,2010)
c. Kapur
Sirih Kapur atau curam (berwana putih kilat seperti krim yang dihasilkan dari
cengkerang siput laut yang telah di bakar. Hasil dari debu cengkerang tersebut dicampur
dengan air untuk memudahkan pada saat kapur disapukan keatas daun sirih.
Penggunaan kapur sirih dapat menyebabkan penyakit peridontal. Penyebab terbentuknya
penyakit peridontal adalah karang gigi akibat stagnasi saliva pengunyah sirih karena adanya
kapur. Gabungan kapur dan pinang mengakibatkan respon primer terhadap formasi oksigen
relatif dan mungkin mengakibatkan kerusakan oksidatif pada DNA di bukal mukosa penyirih
(Sinuhaji,2010).
d. Buah pinang
Pinang adalah sejenis palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia dan Afrika bagian
timur. Pinang ditaman untuk dimanfaatkan bijinya, yang di dunia Barat dikenal sebagai betel
nut. Biji ini dikenal sebagai campuran bagi orang yang makan sirih, selain gambir dan kapur.
e. Tembakau
Tembakau termasuk dalam family Solanaceae. Kandungan utama yang terdapat dalam
tembakau adalah nikotin, germacrena, anabasine, piperidine alcoloid, dan tropane alcoloid.
Penambahan tembakau pada komposisi menyirih dapat menstimulasi saraf pusat dan
menghasilkan euphoria ringan yang menyebabkan ketagihan. Selain itu, tembakau dapat
meningkatkan salivasi penyirih dan mengurangkan kelaparan.
Secara tradisional, biji pinang sudah digunakan secara luas sejak ratusan tahun lalu.
Penggunaan paling populer adalah kegiatan menyirih dengan bahan campuran biji pinang,
daun sirih dan kapur. Sebelum dikonsumsi, pinang diproses terlebih dahulu dengan dibakar,
dijemur, dan dipanaskan. Pinang diduga dapat menghasilkan rasa senang, rasa lebih baik,
sensasi hangat di tubuh, keringat, menambah saliva, menambah stamina kerja, menahan rasa
lapar. Selain itu, pinang juga mempengaruhi sistem saraf pusat dan otonom.
Biji pinang juga mengandung senyawa golongan fenolik dalam jumlah relatif tinggi.
Selama proses pengunyahan biji pinang di dalam mulut, oksigen reaktif (radikal bebas) akan
terbentuk senyawa fenolik itu. Adanya kapur sirih yang menciptakan kondisi pH alkali akan
lebih rangsangan pembentukan oksigen reaktif itu. Oksigen reaktif inilah salah satu
penyebab terjadinya kerusakan DNA atau genetik sel epiteltial dalam mulut (Sinuhaji,2010).
Daun sirih, gambir, kapur sirih dan buah pinang merupakan bahan-bahan yang lebih
sering digunakan. Selain bahan-bahan tersebut, terkadang ditambahkan juga cengkeh atau
kayu manis dan tembakau yang hanya digunakan sebagai sugi atau susur yang dan tidak
dimasukkan dalam ramuan yang dikunyah.

2.3.4 Frekuensi dan Lama Menyirih


Menyirih berkaitan dengan kebiasaan yang terdapat pada masyarakat tertentu. Kuantitas,
frekuensi, dan usia mulai menyirih bergantung oleh tradisi setempat. Beberapa pengunyah
sirih melakukannya setiap hari, sementara orang lain mungkin melakukannya hanya sesekali.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lim (2007) di Kecamatan Pancur Batu dijumpai
kebiasaan menyirih sebagian besar dilakukan setiap hari (63,38%) dan dilakukan sesekali
(37,34%). Frekuensi menyirih lima kali dalam satu hari adalah sebesar 81,25%
(Lombu,2014).
2.3.5 Tujuan Menyirih
Kebiasaan menyirih diperoleh dari orang tua, keluarga maupun teman sejawat. Sirih
digunakan pada acara pertunangan dan pernikahan sebagai lambanh kehormatan dan
komunikasi. Suku Karo juga menganggap bahwa menyirih mempunyai dampak positif yang
lebih banyak dari pada dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat
penggunaan kapur, gambir, dan tembakau hanyalah berupa stein dan iritasi mukosa mulut.
Tujuan mengunyah sirih paling banyak adalah untuk menenangkan pikiran, mengurasi
rasa sakit gigi, agar gigi sehat dan kuat dan sehat dan sekedar kebiasaan saja. Sebagian
pengunyah sirih menggunakan tembakau untuk menggosok gigi setelah menyirih, rongga
mulut kemudian dibersihkan dengan cara menggosok gigi dan kumur-kumur.

2.3.6 Efek Menyirih Terhadap Kesehatan


Kebiasaan menyirih memiliki efek samping terhadap kesehatan tubuh, diantaranya :
a. Efek menyirih terhadap gigi
Efek positif dari kebiasaan menyirih adalah terhambatnya proses pembentukan plak atau
kries gigi. Daya antibakteri daun sirih terutama minyak atsiri disebabkan oleh senyawa fenol
dan senyawa chavicol yang memiliki daya bakterisida. Sementara efek negatifnya adalah
terbentuknya stein atau perubahan warna menjadi merah yang terjadi karena oksidasi
polifenol dari buah pinang dalam lingkaran alkalis. Selain itu, gigi juga mengalami atrisi dan
abrasi yang kemungkinan besar disebabkan oleh gambir dan kapur.
b. Efek menyirih terhadap gingiva
Gingiva juga mengalami gingiva juga mengalami perubahan warna dan terbentuknya
stein yang disebabkan oleh penggunaan lama dan tetap. Kebiasaan menyirih akan
menimbulkan masalah peridontal. Menyirih dapat membuat gigi menjadi coklat, terjadi
penimbunan karang gigi, leher gigi terpisah dari gusi dan gigi dapat tanggal akibat menyirih.
Penyakit peridontal terjadi karena adanya karang gigi yang terdapat pada bagian subgingiva.
Karang gigi terbentuk karena stagnasi saliva dan adanya kapur di dalam saliva
(Andriyani,2005).
c. Efek menyirih terhadap mukosa mulut
Menyirih mnyebabkan terjadinya lesi-lesi di mukosa mulut. Faktor yang mendukung
timbulnya kelainan pada mukosa mulut antara lain zat-zat dalam bahan ramuan sirih, iritasi
yang terus-menerus dari bahan ramuan sirih pada selaput lendir rongga mulut serta
kemungkinan tingkat kebersihan rongga mulut. Menyirih juga menyebabkan oral higiene
yang buruk akibat lapisan kotor yang didapat dari menyirih. Selain itu, mukosa mulut
mengalami kekeringan, adanya atropi papila di lidah serta lobul pada seluruh maupun
sebagian dari dorsum lidah. Beberapa efek samping yang terjadi di mukosa mulut antara
lain :
1. Lesi mukosa penyirih
Lesi Mukosa penyirih adalah suatu kondisi di mana mukosa mulut mengalami deskuamasi
yang disebabkan oleh bahan-bahan menyirih atau efek traumatik pada saat menyirih atau
kedua-duanya. Lesi terlihat terlokalisir pada tempat sirih diletakkan dan memiliki satu atau
lebih karakteristik seperti, perubahan warna mukosa menjadi kuning/coklat kemerahan,
mukosa yang kasar, penebalan pada pinggir rongga mulut akibat menyuntil bahan sirih dan
permukaan epitel yang yang berwarna putih keabuan yang tidak dapat dikerok. Secara
histogis terlihat epitel mengalami parakeratinisasi.

2. Submukus Fibrosis
Submukus fibrosis adalah suatu kondisi kronis yang ditandai oleh kekakuan mukosa
intensitas bervariasi karena transformasi fibroelastik dari juxta lapisan epithelial. Submukus
fibrosis (SMF) merupakan lesi prakanker yang dapat terjadi pada mukosa mulut hingga
faring, akibat pinang yang digunakan untuk menyirih. Submukus fibrosis disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu terutama akibat kebiasaan menyirih, penggunaan tembakau, dan
defisiensi vitamin. Lesi submukus fibrosis biasanya mengenai mukosa bukal, mukosa labial,
area retromolar, palatum lunak, faring serta esophagus. Submukus fibrosis dapat didiagnosis
secara klinis ditemukan adanya penebalan yang berwarna abu-abu pada mukosa oral dan
akan membatasi pergerakan mulut ataupun lidah. Mukosa bukal akan terlihat atrofi dengan
adanya perubahan warna mukosa akibat menyirih. Bagian palatum akan terlihat pucat dan
uvula berkerut. Lesi awal terlihat mukosa yang berwarna kepucatan, kemudian akan
terbentuk fibrosis yang akan menyebabkan mukosa menebal dan keras. Keadaan ini, akan
menyebabkan kesulitan dalam membuka mulut dan makan, kesulitan menelan dan bicara,
rasa terbakar, disfagia, dan kurang pendengaran.

3. Praleukoplakia dan Leukoplakia


Insiden praleukoplakia dan leukoplakia meningkat sehubungan dengan kebiasaan
menyirih. Praleukoplakia merupakan reaksi derajat rendah atau sangat ringan dari mukosa
yang terlihat sebagai lesi berwarna abu-abu atau putih keabu-abuan, dengan pola sedikit
lobular. Lesi ini dapat menjadi lebih tebal dan berwarna putih.
Leukoplakia adalah plak atau bercak putih pada mukosa mulut yang tidak dapat dihapus,
dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyakit lain. Leukoplakia adalah reaksi protektif
terhadap iritasi kronis. Tembakau, alkohol, sifilis, difisiensi vitamin, ketidakseimbangan
hormon, galvanisme, gesekan kronis dan kandidiasis termasuk dalam penyebab leukoplakia.
Daerah yang sering terserang leukoplakia adalah lateral dan ventral lidah, dasar mulut,
mukosa alveolar, mukosa labial, trigonum retromolar, palatum lunak dan gingiva cekat
mandibula. Sebagian besar leukoplakia (80%) tidak berbahaya tetapi dapat merupakan
displasia yang dapat menyebabkan kanker. Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu
dilakukan pemeriksaan yang teliti, baik secara klinis maupun hispatologis.

4. Liken planus Oral


Liken planus sering terlihat pada orang yang sering menyirih. Liken planus Oral sering
tumbuh pada bagian sirih diletakkan. Lesi ini dapat berkurang pada penyirih apabila
frekuensi menyirih dikurangi atau tempat sirih diletakkan berubah. Lesi dari liken planus
pada awalnya terdiri atas papulapapula kecil, merah dengan tengahnya berlekuk pada bagian
mukosa Papula sedikit demi sedikit berubah menjadi warna ungu dan likenifikasi permukaan
terdiri atas striae putih kecil.
Lesi dari liken planus dapat mempunyai satu dari empat gambaran yaitu atrofik, erosif,
retikuler, atau plak. Tipe atrofik merupakan akibat dari atrofi epitel dan terutama muncul
sebagai bercak merah pada mukosa. Tipe erosif sering terjadi pada mukosa bukal. Lesi ini
pada awalnya kelihatan seperti vesikel. Tipe retikuler memiliki beberapa garis putih halus
dan papula kecil pada bagian bukal mukosa. Tipe plak terlihat sebagai plak atau bercak yang
memiliki permukaan halus ke permukaan sedikit tidak teratur, dan asimetris.

5. Kanker Rongga Mulut


Kanker rongga mulut adalah neoplasma ganas yang berasal dari mukosa yang melapisi
rongga mulut. Lokasi yang sering terjadi kanker rongga mulut adalah mukosa labial, lidah,
tonsil, gingiva, palatum keras, palatum lunak dasar mulut dan mukosa bukal.

2.4 Perilaku Menyuntil


Perilaku menyuntil adalah suatu kebiasaan menggosok-gosokkan tembakau pada permukaan
gigi dan mukosa rahang atas dan bawah sebelah labial atau buka dengan gerakan memutar.
Gumpalan suntil adalah hasil kunyahan campuran sirih ditambah dengan sejumlah tembakau,
yang dibentuk menjadi gumpalan dan digosokkan ke permukaan gigi dan mukosa. Menyuntil
merupakan perilaku yang dihubungkan dengan kegiatan sosial, budaya, dan upacara-upacara.
Bagi sebagian besar masyarakat suku Karo terutama yang bertempat tinggal di pedesaan,
menyuntil merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dilepaskan dari menyirih. Kegiatan
menyuntil dilakukan dengan alasan bahwa menyuntil memberikan perasaan tenang ketika
menghadapi masalah, menyuntil dapat menjadi pengisi waktu luang di sela pekerjaan rutin
dan pergaulan di antara sesama perempuan suku Karo, serta tidak lengkap rasanya kalau
setelah menyirih tidak dilanjutkan dengan menyuntil.

2.4.1 Komposisi Menyuntil


Komposisi yang digunakan masyarakat suku Karo untuk menyuntil adalah tembakau.
Berbeda dengan rokok, tembakau untuk menyuntil merupakan jenis tembakau kunyah.
Tembakau kunyah merupakan tembakau non hisap yang dikonsumsi dengan menaruh
sebagian tembakau di dalam mulut. Tembakau ini harus dikunyah secara mekanis dengan
gigi agar rasa dan nikotinnya terasa (Fuadi, 2009).
Tembakau kunyah dapat mengakibatkan ketergantungan seperti yang terjadi pada
merokok, oleh karena kandungan nikotin yang ada di dalamnya. Kadar nikotin yang
dihasilkan pada tembakau yang dikunyah adalah 4,6 mg, lebih tinggi dibandingkan 1engan
kadar nikotin pada tembakau rokok yaitu 1,8 mg. Efek nikotin terhadap Susunan Saraf Pusat
(SSP) pada rokok dihasilkan dalam waktu kurang lebih sepuluh detik, sedangkan jika
tembakau dikunyah, efek pada SSP dihasilkan dalam waktu 3-5 menit (Ilham, 2008).

2.4.2 Cara Menyuntil


Perempuan suku Karo biasanya menyuntil dengan menggosok-gosokkan tembakau
pada permukaan gigi dan mukosa rahang atas dan bawah sebelah labial atau bukal dengan
gerakan memutar. Menyuntil dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada rongga mulut
secara kemis maupun secara mekanis. Tembakau mengandung lebih dari 2000 bahan kimia,
termasuk senyawa aldehid, keton, alkaloid, alkohol, dan lain-lain. Tobacco Spesific
Nitrosamines berasal dari alkaloid selama proses pengolahan daun tembakau berlangsung.
Zat karsinogen yang terdapat pada tembakau mencakup Polynuclear aromatic hydrocarbons
(biasanya benzo(α)pyrene), polonium 210, N-Nitrosamine dan zat kimia lain seperti radium-
226, dan lead-210. Zat karsinogenik pada tembakau yang dipergunakan secara oral
mengandung Volatile aldehyde dan Polycyclic,aromatic hydrocarbons. Nikotin pada
tembakau yang disuntil akan diserap melalui oral dan bertahan lebih lama di pembuluh darah
dibandingkan dengan penggunaan rokok (Gupta et al, 2012).
Secara mekanis, perempuan suku Karo biasanya menyuntil berkali-kali dalam sehari.
Tekanan pengunyahan yang berulang-ulang dapat menyebabkan abrasi serta pewarnaan pada
gigi. Tembakau yang diletakkan di lipatan mukosa bukal secara langsung dapat menyebabkan
kerusakan pada periodonsium, termasuk gingivitis,resesi pada periodonsium, dan kerusakan
pada jaringan lunak mulut ( Gupta et al, 2012).
BAB III
KESIMPULAN

Menyirih merupakan tradisi turun temurun yang sering dilakukan oleh masyarakat karo
terkhusus yang perempuan. Ada beberapa alasan masyarakat mengapa mereka menyirih,
seperti dapat sebagai sarana dalam pergaulan antara sesama perempuan di Tanah Karo. Jika
menurut narasumber yang telah kami wawancarai, alasan mereka memakan sirih cukup
beragam, seperti membuang rasa suntuk, sudah menjadi kebiasaan sejak dini, dan
menghilangkan stress. Tidak ada patokan khusus dalam frekuensi dan lama memakan sirih.
Ada yang cukup sekali sehari, ada juga yang minimal 3 kali sehari. Menurut narasumber
juga, memakan sirih dapat menyebabkan kecanduan. Alasan menyirih dapat menyebabkan
kecanduan karena mereka mengonsumsi tembakau yang disinyalir mengandung zat nikotin
dalam tembakau tersebut
DAFTAR PUSTAKA

Budiharto, Minarti. (2018). Status Kesehatan Perempuan dengan Kebiasaan Menyirih di


Kabanjahe Kabupaten Karo. Jurnal Skripsi: Universitas Sumatera Utara

Samura, Jul. (2009). Pengaruh Budaya Makan Sirih Terhadap Status Kesehatan Periodontal
Pada Masyarakat Suku Karo Di Desa Biru-Biru Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009. Jurnal
Tesis: Universitas Sumatera Utara

Karo, Oshin. (2016). Tradisi Man Belo Dan Maknanya Bagi Perempuan Batak Karo Pada
Upacara Perkawinan (Studi Kasus di Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten
Karo). Diploma Tesis: Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai