Oleh :
Kelompok 11
Samantha Yuliana Purba (211000123)
Dava Ardhana Surbakti (211000124)
Dea Davita Hutagaol (211000137)
Nova Elvira Febriani Purba (211000143)
Afni Theresia (211000166)
Lyra Gabriella Comfusius Lumbantoruan (211000183)
Febrira Khairani Dewinta (211000192)
Riana Afrida Putri Ompusunggu (211000197)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Sosioantropologi Kesehatan, dengan judul “Tradisi Menyirih Suku
Karo”.
Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Syarifah, MS. Selaku
dosen pengampu mata kuliah Sosioantropologi Kesehatan, yang telah berkenan memberikan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penyusunan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun sedemikian rupa dengan ikhtiar yang maksimal dan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
sudah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Untuk itu kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
pembaca. Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dan pendidikan.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................5
Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mengenal perilaku menyirih. Pada mulanya
menyirih digunakan sebagai suguhan kehormatan untuk orang-orang atau tamu-tamu yang
dihormati pada suatu acara pertemuan atau pesta perkawinan. Dalam perkembangannya
budaya menyirih menjadi kebiasaan untuk dinikmati di saat santai.
Dalam bahasa karo, menyirih dikenal dengan "Man belo". Man belo memerlukan
bahan-bahan lain sebagai ramuannya, seperti belo (sirih), kapur, gamber (gambir), mbako
(tembakau), dan buah mayang (pinang). Ada juga yang menambahkan kembiri (kemiri) dan
atau beras pulut yang sudah dioseng. Semua bahan-bahan dan ramuan dibungkus dalam sirih,
kemudian dikunyah. Kemudian mbako (tembakau) digunakan dengan cara menyuntikan atau
digoyangkan ke bagian atas dan bawah bibir, setelah sirih dikunyah akan menghasilkan
warna merah. Tradisi man belo ini sangat berperan dalam kehidupan dan berbagai upacara
adat istiadat karo, misalnya upacara pernikahan. Dalam pernikahan adat karo, ada tahap-tahap
yang harus dilakukan sebelum upacara pernikahan, tahap pertama yakni tahap maba belo
selambar dimana tujuannya adalah untuk menanyakan kesedian si gadis, Sukut (orang tua si
gadis), Sembuyak (saudara dari ayah), Anak beru (bibi/saudari kandung dari ayah), dan yang
lainnya atas pinangan tersebut. Dalam acara maba belo selambar ini diawali dengan
penyerahan kampil persentabin yang isinya adalah perlengkapan makan sirih seperti sirih,
kapur, gambir, pinang, dan tembakau dan peralatan merokok (rokok dan korek api). Tahap
kedua nganting manuk yaitu musyawarah untuk membicarakan hal-hal yang lebih jauh
mendetail tentang upacara pernikahan menurut adat, seperti waktu perkawinan, persiapan
perkawinan. Pada setiap tahap-tahap upacara perkawinan selalu diawali dengan
menggunakan belo (sirih) yang berada dalam kampil (tempat sirih) yang berisikan bahan-
bahan lainnya.
Selain dalam pernikahan, man belo yang dilakukan oleh perempuan Karo juga
menjadi suatu tradisi yang dilakukan ketika perempuan Karo kedatangan tamu. Tuan rumah
yang baik selalu ndudurken belona (menyuguhkan sirihnya) yang berada dalam kampil
(tempat sirih) yang berisikan bahan-bahan makan sirih yang kemudian mereka kunyah
bersama. Begitu juga dengan tamu yang baik, akan menerima suguhan tersebut, dan tamu
beserta tuan rumah akan lebih terbuka komunikasinya. Hal tersebut menjadi suatu tradisi
perempuan Batak Karo dalam hal menyambut tamu yang datang ke rumah.
Dahulu belo (sirih) ini juga sangat erat hubungannya dengan kepercayaan lama atau
pemena orang Karo, seperti melakukan ercibal (persembahan), bertanya ke guru sibaso
(dukun) dan meramal. Walaupun kebiasaan penggunaan sirih yang berhubungan dengan
kepercayaan sebagian besar telah hilang, namun tradisi man belo yang berhubungan dengan
upacara perkawinan masih ada dan dipertahankan sampai sekarang ini.
Mereka yakin bahwa menyirih dapat menguatkan gigi, menyembuhkan luka kecil di
mulut, menghilangkan bau mulut, menghentikan pendarahan gusi, dan sebagai obat kumur.
Kegiatan makan sirih ini memang memiliki efek terhadap gigi, gingiva atau gusi, dan mukosa
mulut. Efek tersebut membawa dampak yang positif maupun negatif. Efek baik dari menyirih
terhadap gigi di antaranya untuk menghambat proses pembentukan karies. Sedangkan efek
negatif adalah dapat menyebabkan penyakit periodontal yaitu penyakit inflamasi kronik
rongga mulut yang umum dijumpai dan pada mukosa mulut. Daun sirih juga digunakan
sebagai antimikroba terhadap Streptococcus mutans yang merupakan bakteri yang paling
sering mengakibatkan kerusakan pada gigi (Astuti dkk, 2007). Bahan menyirih yang paling
sering digunakan yaitu, sirih, pinang, kapur dan gambir. Beberapa daerah juga menambahkan
tembakau dalam campuran bahan menyirih. Biji buah pinang yang digunakan untuk menyirih
mengandung senyawa golongan fenolik. Kandungan fenolik ini relatif tinggi. Saat proses
mengunyah biji buah pinang di dalam mulut, oksigen reaktif atau yang biasa dikenal dengan
radikal bebas akan membentuk senyawa fenolik. Campuran biji buah pinang dan kapur sirih
akan menghasilkan kondisi PH alkali. Hal ini akan lebih cepat merangsang pembentukan
oksigen rekatif. Oksigen inilah yang dapat menyebabkan kerusakan DNA atau genetik sel
epitel dalam rongga mulut Sinuhaji (2010).
Suku Karo adalah suku asli yang mendiami dataran tinggi Karo,sebagian mendiami
Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota medan,
dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di satu
wilayah yang mereka diami (dataran tinngi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki
bahasa Karo atau cakap Karo, dan memiliki salah khas yaitu Mejuah-juah. Sementara
pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas. Adapun rumah adat suku Karo dikenal dengan nama Rumah Si Waluh Jabu
yang berarti rumah dengan delapan keluarga, yaitu rumah yang terdiri dari delapan bilik
yang masingmasing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola kekerabatan masing-
masing. Suku Karo juga memiliki kebiasaan tersendiri yang dianggap sebagai tradisi seperti
Mengket Rumah, Erpangir ku Lau, Merdang Merdem dan untuk yang perempuannya
biasanya menyirih atau menyuntil.
2.3 Menyirih
2.3.1 Perilaku menyirih
Memakan sirih merupakan tradisi budaya masyarakat indonesia dengan komposisi
dasar yakni daun sirih, pinang, gambir, kapur dan tembakau. Komposisi tersebut dibungkus
di dalam daun sirih yang kemudian dikunyah. Masyarakat dengan kebiasaan memakan sirih
mempunyai alasan tersendiri mengapa mereka mengunyah sirih. Menurut informan yang
diwawancarai di Kelurahan Sentul, mengunyah sirih telah memberikan manfaat yakni dapat
memberikan kenikmatan seperti orang merokok, sebagai aktifitas di waktu senggang, dapat
menghilangkan bau nafas, mengunyah sirih dilakukan secara turun-temurun dan karena
adanya kepercayaan bahwa aktifitas ini dapat memperkuat gigi (Flora et al,2012).
Menyirih merupakan kebiasaan yang sudah tidak asing dan semakin meluas di
kalangan masyarakat. Menyirih merupakan suatu proses meramu campuran dari bahan-
bahan seperti daun sirih, pinang, gambir, kapur, dan tembakau. Campuran dari bahan-bahan
ini dibungkus dalam daun sirih, kemudian dikunyah beberapa menit sehingga berkontak
dengan mukosa mulut. Kebiasaan menyirih biasanya dilakukan 3 kali sehari yaitu pada
waktu pagi, setelah makan siang dan pada waktu malam (Kanapathy,2014).
Perilaku menyirih juga dilakukan sebagai sarana dalam pergaulan antara sesama
wanita-wanita di Tanah Karo. Dengan alasan menyirih bersama-sama lebih menyenangkan
dari pada menyirih sendirian. Wanita Karo menyirih karena mereka merasa dengan menyirih
dapat membuat gigi kuat, menstimulasi air ludah, obat untuk saluran pernafasan,
menghilangkan rasa lapar, memiliki efek euphoria (perasaan senang) dan sebagai penyegar
nafas. Kepercayaan bahwa mengunyah sirih dapat menghindari penyakit mulut seperti
mengobati gigi yang sakit dan nafas yang tidak sedap kemungkinan telah mendarah daging
diantara para penggunanya.
Menyirih merupakan suatu proses meramu campuran dari bahan-bahan seperti daun
sirih (piper betle), pinang (areca nut), gambir (uncaria gambir), kapur (calcium hydroxide),
dan tembakau (tobacco). Campuran dari bahan-bahan ini dibungkus dalam daun sirih,
kemudian dikunyah beberapa menit sehingga berkontak dengan mukosa mulut. Memakan
sirih juga merupakan bagian dari acara ketika membicarakan mahar dan hari pernikahan.
Acara pertemuan ini disebut dengan ngembah belo selambar.Selain acara ngembah belo
selambar, sirih juga digunakan pada saat nganting manuk. Nganting manuk adalah
kelanjutan proses dari acara maba belo selambar dengan membawa seekor ayam sebagai
jalan untuk membuka musyawarah.
2. Submukus Fibrosis
Submukus fibrosis adalah suatu kondisi kronis yang ditandai oleh kekakuan mukosa
intensitas bervariasi karena transformasi fibroelastik dari juxta lapisan epithelial. Submukus
fibrosis (SMF) merupakan lesi prakanker yang dapat terjadi pada mukosa mulut hingga
faring, akibat pinang yang digunakan untuk menyirih. Submukus fibrosis disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu terutama akibat kebiasaan menyirih, penggunaan tembakau, dan
defisiensi vitamin. Lesi submukus fibrosis biasanya mengenai mukosa bukal, mukosa labial,
area retromolar, palatum lunak, faring serta esophagus. Submukus fibrosis dapat didiagnosis
secara klinis ditemukan adanya penebalan yang berwarna abu-abu pada mukosa oral dan
akan membatasi pergerakan mulut ataupun lidah. Mukosa bukal akan terlihat atrofi dengan
adanya perubahan warna mukosa akibat menyirih. Bagian palatum akan terlihat pucat dan
uvula berkerut. Lesi awal terlihat mukosa yang berwarna kepucatan, kemudian akan
terbentuk fibrosis yang akan menyebabkan mukosa menebal dan keras. Keadaan ini, akan
menyebabkan kesulitan dalam membuka mulut dan makan, kesulitan menelan dan bicara,
rasa terbakar, disfagia, dan kurang pendengaran.
Menyirih merupakan tradisi turun temurun yang sering dilakukan oleh masyarakat karo
terkhusus yang perempuan. Ada beberapa alasan masyarakat mengapa mereka menyirih,
seperti dapat sebagai sarana dalam pergaulan antara sesama perempuan di Tanah Karo. Jika
menurut narasumber yang telah kami wawancarai, alasan mereka memakan sirih cukup
beragam, seperti membuang rasa suntuk, sudah menjadi kebiasaan sejak dini, dan
menghilangkan stress. Tidak ada patokan khusus dalam frekuensi dan lama memakan sirih.
Ada yang cukup sekali sehari, ada juga yang minimal 3 kali sehari. Menurut narasumber
juga, memakan sirih dapat menyebabkan kecanduan. Alasan menyirih dapat menyebabkan
kecanduan karena mereka mengonsumsi tembakau yang disinyalir mengandung zat nikotin
dalam tembakau tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Samura, Jul. (2009). Pengaruh Budaya Makan Sirih Terhadap Status Kesehatan Periodontal
Pada Masyarakat Suku Karo Di Desa Biru-Biru Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009. Jurnal
Tesis: Universitas Sumatera Utara
Karo, Oshin. (2016). Tradisi Man Belo Dan Maknanya Bagi Perempuan Batak Karo Pada
Upacara Perkawinan (Studi Kasus di Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten
Karo). Diploma Tesis: Universitas Andalas