Disusun Oleh :
1. Dea Afifah Ahmad (2015301050)
2. Angelia Oktaminova Dekani Putri (2015301040)
3. Bela Qoriya Dewi (2015301048)
4.Aaliyah Asti Putri (2015301039)
5. Sherlly Puji Intan Sari (2015301028)
6. Alif Rahma Shiddiqa (2015301002)
7. Putri Zahara (2015301024)
8. Annisa Salsabilatun Mardiyyah (2015301043)
9. Agita Eka Wirna (2015301001)
10.Annisa Putri Natasya (2015301042)
TINGKAT I REGULER I
TP 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang maha Esa karena atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ISBD dengan judul “Memahami Aspek
Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Perilaku Sehat Dalam Kaitan Status Kesehatan
Ibu,Bayi,Balita,dan Keluarga” ini tepat pada waktunya.
Salawat serta salam marilah senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, seorang nabi yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini.
Tidak lupa kami ucapkan banyak terimakasih kepada berbagai pihak yang telah ikut
serta dalam penulisan makalah sehingga dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Di dalam makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan agar menjadikan makalah ini lebih baik
lagi. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis,
DAFTAR PUSAKA
PENDAHULUAN
Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan semua manusia. Dalam
era globalisasi dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem pada masa ini menuntut semua
manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak
merebak di kalangan masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang
sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam
masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan
pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-
akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali
membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan,
misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan
cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola
makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran
terhadap beberapa makanan tertentu.
Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan semua manusia. Dalam
era globalisasi dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem pada masa ini menuntut semua
manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak
merebak di kalangan masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang
sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam
masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan
pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab-
akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali
membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan,
misalnya, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan
cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola
makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran
terhadap beberapa makanan tertentu.
Aspek sosial budaya setiap perkawinan berdasarkan pola penyesuaian perkawinan dilakukan
secara bertahap. Pada fase pertama adalah bulan madu pasangan masih menjalanj hidup dengan
penuh kebahagiaan, dan hal itu karena didasari rasa cinta diawal perkawinan. Pada fase
perkenalan kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari
pasangan. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan
adanya perbedaan yang terjadi. Apabilka sukses dalam menerima kenyataan maka akan
dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi
problema keluarga dengan beradaptasi dan membuat peraturan dan kesepakatan dalam rumah
tangga maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya.
Faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian aspek sosial budaya terletak dalam hal
baik suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan diawal pernikahan,
suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah,perbedaan budaya dan agama
diantara suami dan istri, suami maupun istri tidak tahu peran dan tugas nya dalam berumah
tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan,
perbedaan,pola penyesuaian serta hal – hal baru dalam perkawinan sehingga masing – masing
pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.
Sebagai contoh :
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal
ini berhubungan dengan nilai – nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan
sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan
serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri),
pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan terlebih
dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin
laki – laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing – masing. Tampak kedua belah tangan
dan kaki pengantin dihiasi dengan inai.
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan.Setelah selesai
acara nikah, linto baro di bimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih
dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah
suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro teuot
linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan
pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo.
Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu
diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah
pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi
(peusijuk / menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto
baro. Tiap – tiap orang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di
telinga temanten, juga member sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusuntengini
lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang
ke rmahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa
pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi – pagi benar linto baro sudah meninggalkan
rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila linto baro masih di rumah dara baro sampai
siang.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara
bertahap. Pada fase pertama adalah bulan madu pasangan masih menjalani hidup dengan penuh
kebahagian, dan hal itu karena didasari rasa cinta diawal perkawinan. Pada fase pengenalan
kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari pasangan.
Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan adanya
perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka akan dilanjutkan
dengan suksesnya fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema
keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase
kebahagiaan sejati akan diperolehnya.
Aspek sosial budaya sangat berpengaruh pada pola kehidupan manusia. Dalam ere
globalisasi berbagai perubahan yang ekstrempada masa ini menuntut semua manusia lebih
memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang banyak merebak di kalangan
masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak, yang sesungguhnya tidak
terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka
berada.
Fakta-fakta kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi - konsepsi mengenai berbagai
pantangan, hubungan sebab - akibat antara makanan kondisi sehat - sakit, kebiasaan dan
ketidaktahuan sering kali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu
dan anak. Pola makan misalnya pasca dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia
dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola
makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan
pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
Salah satu contoh aspek sosial budaya perkawinan di provinsi Aceh Perkawinan adalah
sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat. Aceh sebab hal ini berhubungan dengan
nilai - nilai keagamaan. Perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas
yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan
hingga upacara peresmian perkawinan.
Pada puncak peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Setelah selesai
acara nilah, linto baro di bimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih
dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah
suaminya.
Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro teuot linto,
maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan
pengseumemah (uang sembah).Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh
seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian
kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah
dan besar bentuknya. Selanjutnya kedua mempelai tadi di peusunteng (disunting) oleh sanak
keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran ( tetangga). Keluarga pihak
linto baro menyuntingi (peusijuk/ menepung tawri) dara baro dan keluarga pihak dara baro
menyuntingi pula linto baro. Tiap - tiap orang menyuntingi selain menepung tawari dan
melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga member sejumlah uang yang disebut
teumentuk. Acara peusuntengini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusu
oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk
pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak
dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi - pagi benar linto baro sudah
meninggalkan rumah dara baro. karena malu menurut adat, bila linto baro masih di rumah dara
baro sampai siang.Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan
dilakukan secara bertahap. Pada fase pertama adalah bulan madu pasangan masih menjalani
hidup dengan penuh kebahagian, dan hal itu karena didasari rasa cinta diawal perkawinan. Pada
fase pengenalan kenyataan, pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya
dari pasangan. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan
adanya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka akan
dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi
problema keluarga dengan berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga
maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya.
Sedangkan menurut aspek sosial budaya faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian
perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal baik suami maupun istri tidak bisa menerima
perubahan sifat dan kebiasaan di awal pernikahan, suami maupun istri tidak berinisiatif
menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri, suami maupun
istri tidak tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana
pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola penyesuaian yang dimainkan dan
munculnya hal-hal baru dalam perkawinan, yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa
kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga masing- masing pasangan gagal dalam
menyesuaikan diri satu sama lain.
Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang diaturkan atau diajarkan manusia kepada
generasi berikutnya ( taylor 1989 )sedangkan menurut sir Eduarel taylor ( 1871 ) dalam Andrew
dan boyle (1995) , budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mengandung pengetahuan ,
keyakinan ,seni , moral , hokum ,kebiasaan , dan kecakapan lain yang merupakan kebiasaan
manusia sebagai anggota komunikasih setempat . menurut pandangan antopologi tradisional ,
budaya dibagi menjadi dua yaitu :
1) Budaya material
Dapat beruapa objek , seperti makanan , pakaian , seni , benda – benda kepercayaan (jimat)
Disadari.
CARING
PROFFESIONAL CARING .
Sedangkan nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan yang pantas , berharga yang
mempengarui prilaku sosial dari orang yang memliki nilai itu ( DS. Robert m .2 lawang )
Dan nilai itu erat hubungannya dengan kehidupan dan masyarakat , karena
Menurut KOENIJARANINGRAT
ada 5 masalah pokok dimana semua sistem nilai dari semua kebudayaan di dunia ini
berhubungan dengan masalah- masalah yaitu :
a) Hakekat hidup
menginjak
ketahap yang
lebih serius
menyayangi. Berhubungan
mengenal , dan
tahu kondisi
keluarga masing-
masing.
tidak boleh
menerima
membalas seperangkat
pinangan dan pakaian
menjawab lengkap
kesepakatan antara
pasangan
Penting karena
harus ada
persetujuan antara
dua keluarga
untuk
membicarakan
kejenjang
selanjutnya
6. Tahapan yang harus Melamar itu Melamar itu
membelikan membelikan
perangkat , perangkat ,
tergantung tergantung
Kedua calon
pasangan tidak
harus selalu
melakukan tukar
cincin . karena
hanya pingitan
memperjelas status
wanita itu
Kedua calon
bahwa ada laki–
pengantin tidak boleh
laki yang
saling ketemu selama
melamarnya
1 minggu supaya tidak
tidak di inginkan
Tidak ada
hubungan karena
semua kejadian
itu sudah diatur
maha esa .
pingitan itu
sendiri supaya
kedua calon
menenangkan diri
fisik maupun
mental
manusia mandi
esa agar di
berikan
kemudahan dan
kelancaran dan di
jadikan keluarga
yang bahagia
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara
bertahap, yaitu fase: bulan madu, pengenalan kenyataan, kemudian mulai terjadi krisis
perkawinan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan berapatasi
dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan
sejati akan diperolehnya.
3.2 Saran
Saran yang kami berikan untuk para pembaca makalah ini, yaitu: setiap aspek sosial budaya yang
melintas atau menjadi dasar bagi pola kehidupan manusia sehari-hari hendaknya dapat disaring,
karena tidak setiap aspek sosial budaya yang masuk adalah postif.
DAFTAR ISI
http://dedypradipta.blogspot.com/2011/12/aspek-sosial-budaya-pada-setiap.html?m=1
https://inggridseptinsiahaan-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/inggridseptinsiahaan.wordpress.com/2011/03/17/aspek-sosial-
budaya-pd-setiap-perkawinan/amp/?amp_js_v=a6&_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA
%3D#aoh=16036066734982&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari
%20%251%24s&share=https%3A%2F%2Finggridseptinsiahaan.wordpress.com
%2F2011%2F03%2F17%2Faspek-sosial-budaya-pd-setiap-perkawinan%2F
Sumber : http://rantonet.blogspot.com/2012/11/aspek-sosial-budaya-pada-setiap.html?m=1
http://rantonet.blogspot.com/2012/11/aspek-sosial-budaya-pada-setiap.html?m=1