Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ASPEK-ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG

BERKAITAN DENGAN PRAKTIK, PERKAWINAN,

KEHAMILAN, PERSALINAN, NIFAS, DAN BAYI BARU

LAHIR

Dosen Pengampu:

Stepanus, M, M.Si

Disusun Oleh:

Novitna Tika

Kariani

AKADEMI KEBIDANAN PANCA BHAKTI


PONTIANAK TAHUN AKADEMIK
2019-2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat kepada Tuhan yang maha-esa yang telah


melimpahkan rahmat, dan karya-nya serta hidayahnya kepada kami sehingga
penulisan makalah ini dapat terselesaikan. Penulisan makalah ini adalah sebagai
salah satu persyaratan tugas mata kuliah Sosoal budaya dan praktik kebidanan.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada pihak-pihak yang membantu proses penyelesaian makalah ini,
khususnya Stepanus, M, M.Si selaku dosen penangung jawab mata kuliah Agama
Katolik yang telah membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan
makalah.serta rekan-rekan mahasiswa yang telah membantu penyusunan
makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini, oleh karena itu demi kesempurnaan makalah ini
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat positive demi sempurnanya
makalah ini.

Pontianak, September 2019


Penulis,

2
DAFTAR ISI
Halaman
Judul.........................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN....................................................................................................4
Latar Belakang.........................................................................................................4
Rumusan Masalah....................................................................................................4
Tujuan......................................................................................................................4
BAB II......................................................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................................................5
Aspek social budaya pada setiap perkawinan…...……...........................................5
Aspek social budaya pada setiap trimester kehamilan.............................................6
Aspek social budaya selama persalinan kala I, II,III, dan IV...…….......................9
Aspek social budaya dalam masa nifas………….………………………………...9
Aspek social budaya yang berkaitan dengan bayi baru lahir……………………...9
BAB III...................................................................................................................12
PENUTUP..............................................................................................................12
Kesimpulan............................................................................................................12
Saran.......................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan
manusia. Di era globalisasi sekarang ini dengan berbagai perubahan yang
begitu ekstrem menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek sosial
budaya. Salah satu masalah yang kini banyak merebak di kalangan
masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang
sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan
di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor
kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai
berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi
sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik
positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak (Suryawati, 2007).
Menjadi seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan
harus siap fisik maupun mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat.
Bidan yang siap mengabdi di kawasan pedesaan mempunyai tantangan yang
besar dalam mengubah pola kehidupan masyarakat yang mempunyai dampak
negatif tehadap kesehatan masyarakat. Tidak mudah mengubah pola pikir
ataupun sosial budaya masyarakat. Apalagi masalah proses persalinan yang
umum masih banyak menggunakan dukun beranak (Suprabowo, 2006).
Ditambah lagi tantangan konkret yang dihadapi bidan di pedesaan
adalah kemiskinan, pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan
mengenali masalah dan mencari solusi bersama masyarakat menjadi
kemampuan dasar yang harus dimiliki bidan. Untuk itu seorang bidan agar
dapat melakukan pendekatan terhadap masyarakat perlu mempelajari sosial-
budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk,
struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan
norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan wilayah tersebut ( Rahayu, Mudatsir , & Hasballah, 2017).

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa Aspek social budaya pada setiap perkawinan?
2. Apa Aspek social budaya pada setiap trimester kehamilan ?
3. Apa Aspek social budaya selama persalinan kala I, II,III, dan IV?
4. Apa Aspek social budaya dalam masa nifas ?
5. Apa Aspek social budaya yang berkaitan dengan bayi baru lahir?
C. Tujuan
1. Mengetahui aspek social budaya pada setiap perkawinan
2. Mengetahui aspek social budaya pada setiap trimester kehamilan
3. Mengetahui aspek social budaya selama persalinan kala I, II, III, dan
IV
4. Mengetahui aspek social budaya dalam masa nifas
5. Mengetahui aspek social budaya yang berkaitan dengan bayi baru lahir

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Setiap Perkawinan
Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian
perkawinan dilakukan secara bertahap. pada fase pertama adalah bulan madu
pasangan masih menjalani hidup dengan penuh kebahagian, dan hal itu karena
didasari rasa cinta diawal perkawinan. Pada fase pengenalan kenyataan,
pasangan mengetahui karakteristik dan kebiasaan yang sebenarnya dari
pasangan. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses
penyesuaian akan adanya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam
menerima kenyataan maka akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima
kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan
berapatasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka
fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya. Menurut aspek sosial budaya faktor
pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak
dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling
menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut
tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan
antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri,
serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul,
sehingga kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai. Sedangkan
menurut aspek sosial budaya faktor penghambat yang mempersulit
penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal baik suami
maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal
pernikahan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah,
perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri, suami maupun istri tidak
tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga. Hal tersebut tercermin pada
bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola
penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan,
yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah

6
tangga, sehingga masing- masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu
sama lain (Suryawati, 2007).
1. Pra Perkawinan
Masa pra perkawinan adalah masa pasangan untuk
mempersiapkan diri ke jenjang perkawinan Pelayanan kebidanan diawali
dengan pemeliharaan kesehatan para calon ibu. Remaja wanita yang akan
memasuki jenjang perkawinan perlu dijaga kondisi kesehatannya. Kepada
para remaja di beri pengertian tentang hubungan seksual yang sehat,
kesiapan mental dalam menghadapi kehamilan dan pengetahuan tentang
proses kehamilan dan persalinan, pemeliharaan kesehatan dalam masa pra
dan pasca kehamilan. Promosi kesehatan pada masa pra kehamilan
disampaikan kepada kelompok remaja wanita atau pada wanita yang akan
menikah. Penyampaian nasehat tentang kesehatan pada masa pranikah ini
disesuaikan dengan tingkat intelektual para calon ibu dan keadaan sosial
budaya masyarakat. Nasehat yang di berikan menggunakan bahasa yang
mudah di mengerti karena informasi yang di berikan bersifat pribadi dan
sensitif. Remaja yang tumbuh kembang secara biologis diikuti oleh
perkembangan psikologis dan sosialnya. Alam dan pikiran remaja perlu
diketahui. Remaja yang berjiwa muda memiliki sifat menantang, sesuatu
yang dianggap kaku dan kolot serta ingin akan kebebasan dapat
menimbulkan konflik di dalam diri mereka. Pendekatan keremajaan di
dalam membina kesehatan diperlukan. Penyampaian pesan kesehatan
dilakukan melalui bahasa remaja dengan memperhatikan aspek sosial
budaya setempat (Suryawati, 2007).
Pemeriksaan kesehatan bagi remaja yang akan menikah
dianjurkan. Tujuan dari pemeriksaan tersebut adalah untuk mengetahui
secara dini tentang kondisi kesehatan para remaja. Bila ditemukan penyakit
atau kelainan di dalam diri remaja, maka tindakan pengobatan dapat segera
dilakukan. Bila penyakit atau kelainan tersebut tidak diatasi maka
diupayakan agar remaja tersebut berupaya untuk menjaga agar masalahnya
tidak bertambah berat atau menular kepada pasangannya. Misalnya remaja

7
yang menderita penyakit jantung, bila hamil secara teratur harus
memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Remaja yang menderita AIDS
harus menjaga pasanganya agar tidak terkena virus HIV. Caranya adalah
agar menggunakan kondom saat besrsenggama, bila menikah. Upaya
pemeliharaan kesehatan bagi para calon ibu ini dapat dilakukan melalui
kelompok atau kumpulan para remaja seperti karang taruna, pramuka,
organisaai wanita remaja dan sebagainya (Suprabowo, 2006).
Promosi kesehatan pranikah merupakan suatu proses untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya yang ditujukan pada masyarakat reproduktip
pranikah. Bidan juga berperan dalam mencegah perkawinan dini pada
pasangan pra nikah yang masih menjadi masalah penting dalam kesehatan
reproduksi perempuan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) mencatat, anak perempuan yang menikah pertama kali pada
usia sangat muda, 10-14 tahun, cukup tinggi, jumlahnya 4,8 persen dari
jumlah perempuan usia 10-59 tahun. Sedangkan yang menikah dalam
rentang usia 16-19 tahun berjumlah 41,9 persen. Dengan demikian, hampir
50 persen perempuan Indonesia menikah pertama kali pada usia di bawah
20 tahun. Provinsi dengan persentase perkawinan dini tertinggi adalah
Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan
Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen. Hal ini sangat
berhubungan dengan sosial budaya pada daerah tersebut yang mendukung
perkawinan dini. ( Rahayu, Mudatsir , & Hasballah, 2017)
Usia perkawinan dini yang cukup tinggi pada perempuan
mengindikasikan rentannya posisi perempuan di masyarakat. Koordinator
Kartini Network Nursyahbani Katjasungkana menyebut dalam berbagai
kesempatan, pernikahan dini menunjukkan posisi perempuan yang lebih
lemah secara ekonomi maupun budaya. Secara budaya, perempuan
disosialisasikan segera menikah sebagai tujuan hidupnya. Akibatnya,
perempuan memiliki pilihan lebih terbatas untuk mengembangkan diri
sebagai individu utuh. Selain itu, segera menikahkan anak perempuan

8
artinya keluarga akan mendapat mas kawin yang berharga di masyarakat
setempat, seperti hewan ternak. Data Riskesdas memperlihatkan,
perkawinan sangat muda (10-14 tahun) banyak terjadi pada perempuan di
pedesaan, berpendidikan rendah, berstatus ekonomi termiskin, serta berasal
dari kelompok buruh, petani, dan nelayan (Suryawati, 2007).
Sedangkan bagi perempuan, menikah artinya harus siap hamil
pada usia sangat muda. Bila disertai kekurangan energi dan protein, akan
menimbulkan masalah kesehatan yang dapat berakibat kematian bagi ibu
saat melahirkan dan juga bayinya. Dan resiko hamil muda sangat tinggi
( Rahayu, Mudatsir , & Hasballah, 2017).
2. Perkawinan
Pekawinan bukan hanya sekedar hubungan antara suami dan istri.
Perkawinan memberikan buah untuk menghasilkan keturunan. Bayi yang
dilahirkan juga adalah bayi yang sehat dan direncanakan. Kegiatan
pembinaan yang dilakukan oleh bidan sendiri antara lain mempromosikan
kesehatan agar peran serta ibu dalam upaya kesehatan ibu, anak dan
keluarga meningkat. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi
pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan
reproduksi, pemeriksaan bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat.
Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini
memerlukan pengetahuan aspek sosial budaya dalam penerapannya
kemudian melakukan pendekatan-pendekatan untuk melakukan perubahan-
perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung
peningkatan kesehatan ibu dan anak. Misalnya pola makan, pacta dasarnya
adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan
cukup besar (Suprabowo, 2006).
Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan
tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan
kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan
tertentu. Misalnya di Jawa Tengah adanya anggapan bahwa ibu hamil
pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang

9
makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak.
Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang
dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Sikap seperti ini akan berakibat
buruk bagi ibu hamil karena akan membuat ibu dan anak kurang gizi
(Suprabowo, 2006).
B. Aspek social budaya pada setiap trimester kehamilan
Perawatan kehamilan merupakan salah satu factor yang amat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika
persalinan, disamping itu juga untuk menjaga kesehatan janin dan menjaga
pertumbuhan.Memahami perawatan kehamilan adalah penting untuk
mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri.fakta berbagai kalangan
masyarakat di Indonesia masih banyak ibu ibu yang menganggap kehamilan
sebagai hal yang biasa, hal alamiah dan kodrati.Mereka merasa tidak perlu
memerikasakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter.Masih banyaknya
ibu ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan
menyebabkan tidak terdeteksinya factor factor resiko tinggi yang mungkin
dialami oleh mereka.Resiko ini bari diketahui pada saat persalinan yang sering
kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu
kematian.Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan
dan kurangnya informasi.Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya
perawatan kehamilan, permasalhan permasalahan pada kehamilan dan
persalinan dipengaruhi juga oleh factor nikah diusia muda yang masih banyak
dijumpai didaerah pedesaan.Disamping itu dengan masih adanya preferensi
terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku yang menyebabkan
istri mengalami kehamilan berturut turut dalam jangka waktu yang relative
pendek, menyebabkan ibu mengalami resiko tinggi fakta saat melahirkan
(Suprabowo, 2006).
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan
adalah masalah gizi.Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan 2 dan
pantangan pantangan terhadap beberapa makanan.Sementara kegiatan mereka

10
sehari hari tidakk berkurang. Ditambah lagi dengan pantangan pantangan
terhadap beberapa makanan yang sebetulnya sangat dibutuhkan oleh wanita
hamil tentunya akan berdampak negative terhadap kesehatan ibu dan
janin.Tidak heraan kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup
tinggi terutama dipedessaan. Dikatakan pula bahwa penyebab utama dari
tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya gizi
yang dibutuhkan untuk pembentukan darah.Beberapa kepercayaan yang ada
misalnya di jawa tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan
telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena
akan meyebabkan perdarahan yang banyak.Sementara disalah satu daerah jawa
barat ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi
makanannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah
dilahirkan.Dimasyarakat betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut,
udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin.Contoh lain
didaerah Subang pantang makan dengan piring yang besarkarena khawatir
bayinya akan besar sehingga mempersulit persalinan. Dan memangselain
ibunya kurang gizi berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah.Tentunya hal
ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.Selain itu larangan
untuk memakan buah buahan seperti pisang, nanas, ketimun dll bagi wanita
hamil juga masih dianut oleh beberapa kalangan masyarakat terutama
masyarakat didaerah pedesaan (Suryawati, 2007).
Didaerah pedesaan masih banyak ibu hamil yang mempercayai
dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan
dirumah .Data survey kesehatan Rumah Tangga tahun 1992 menunjukkan
bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak.Bebrapa penelitian yang
pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek praktek
persalinan oleh dukun yang membahayakan si ibu.Penelitian iskandar dkk
menunjukkan beberapa tindakan dan praktek yang membawa resiko infeksi
seperto “ngolesi”(membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk
memperlancar persalinan), “kodok” ( memasukkan tangan ke vagina dan uterus
untuk mengeluarkan placenta) atau “nyanda” ( setelah persalinan, ibu duduk

11
dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan kedepan selama bejam jam yang
dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan) (Suprabowo, 2006).
Pemilihan dukun beranak sebagai pendorong persalinan pada
dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat ,
biaya murah, mengerti dan dapat memabantu upacara adat yang berkaitan
dengan kelahiran anak serta membawa ibu dan bayi sampai 40 hari.Disamping
itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang
ada.Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih namun praktek
praktek tradisional tertentu masih dilakukan.Interaksi antara kondisi kesehatan
ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan
persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup.Secara medis penyebab klasik
kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan , infeksi,
eksklamsia(keracunan kehamilan) (Suryawati, 2007).
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika
persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan
janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah
penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Fakta di
berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang
menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka
merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter.
Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan
kehamilan ke bidan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko
tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat
persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa
akibat fatal yaitu kematian (Suryawati, 2007).
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan kurangnya informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan
pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan
dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih
banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya

12
preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang
menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka
waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi saat
melahirkan (Suryawati, 2007).
Contohnya di kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu
(Maluku) terdapat suatu tradisi upacara kehamilan yang dianggap sebagai suatu
peristiwa biasa, khususnya masa kehamilan seorang perempuan pada bulan
pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada usia saat kandungan telah
mencapai Sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan suatu upacara.
Masyarakat nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan
seorang perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri perempuan
yang bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat
menimbulkan berbagai bahaya gaib. Dan tidak hanya dirinya sendiri juga anak
yang dikandungannya, melainkan orang lain disekitarnya, khususnya kaum
laki-laki. Untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan
hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno. Masyarakat
nuaulu juga beranggapan bahwa pada kehidupan seorang anak manusia itu baru
tercipta atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan.
Jadi dalam hal ini (masa kehamilan 1-8 bulan ) oleh mereka bukan dianggap
merupakan suatu proses dimulainya bentuk kehidupan (Suryawati, 2007).
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan
adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-
kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara,
kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-
pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan
oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan
janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup
tinggi terutama di daerah pedesaan (Suprabowo, 2006). Di Jawa Tengah, ada
kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit
persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan
yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang

13
kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar
bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi
berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat
menyebabkan ASI menjadi asin. Dan memang, selain ibunya kurang gizi, berat
badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi (Suryawati, 2007).
C. Aspek social budaya selama persalinan kala I, II,III, dan IV
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu
diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika
persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan
janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) adalah
penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Di
Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal
yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan
dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang
kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak
terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka.
Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya
sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian (Suryawati, 2007).
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan
dan kurangnya informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya
perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan
persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih
banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu, dengan masih adanya
preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang
menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka
waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pada
saat melahirkan. Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada
kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-
kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara,
kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-

14
pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenarnya sangat dibutuhkan
oleh wanita hamil. Tentunya hal ini akan berdampak negatif terhadap
kesehatan ibu dan janin. Ada beberapa kepercayaan yang berhubungan dengan
persalinan, menurut (Suryawati, 2007)antara lain:
1. Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur
karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena
akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Dampak dari hal ini yaitu ibu
hamil kekurangan gizi yang sangat penting.
2. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang
dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Faktanya pertumbuhan itu
bersifat irrevesible (tidak dapat kembali ke ukuran semula) jadi bila bayi
sudah besar tidak dapat mengecil kembali. Dampaknya jika mengurangi
makanan saat hamil ibu akan kekurangan gizi, dan dapat mengalami
anemia.
3. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut,
udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin.
Sebenarnya makan makanan yang asin tidak akan menyebabkan ASI
menjadi asin.
4. Contoh lain di daerah Subang, ibu hamil pantang makan dengan
menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya akan besar
sehingga akan mempersulit persalinan. jika makan dengan piring kecil
maka makanannya pun porsi kecil sehingga menyebabkan ibunya kurang
gizi serta berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini
sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.
5. Keluarnya lendir semacam keputihan yang agak banyak menjelang
persalinan, akan membantu melicinkan saluran kelahiran hingga bayi lebih
mudah keluar. Keluarnya cairan keputihan pada usia hamil tua justru tak
normal, apalagi disertai gatal, bau, dan berwarna. Jika terjadi, segera
konsultasikan ke dokter. Ingat, bayi akan keluar lewat saluran lahir. Jika
vagina terinfeksi, bisa mengakibatkan radang selaput mata pada bayi.

15
Harus diketahui pula, yang membuat persalinan lancar bukan keputihan,
melainkan air ketuban.
6. Minum minyak kelapa memudahkan persalinan. Minyak kelapa, memang
konotasinya membuat lancar dan licin. Namun dalam dunia kedokteran,
minyak tak ada gunanya sama sekali dalam melancarkan keluarnya sang
janin. Mungkin secara psikologis, ibu hamil meyakini, dengan minum dua
sendok minyak kelapa dapat memperlancar persalinannya.
7. Minum madu dan telur dapat menambah tenaga untuk persalinan. Madu
tidak boleh sembarangan dikonsumsi ibu hamil. Jika BB-nya cukup,
sebaiknya jangan minum madu karena bisa mengakibatkan overweight.
Bukankah madu termasuk karbohidrat yang paling tinggi kalorinya. Jadi,
madu boleh diminum hanya jika BB-nya kurang. Begitu BB naik dari
batas yang ditentukan, sebaiknya segera dihentikan. Tetapi telur tidak
masalah, karena mengandung protein yang juga menambah kalori.
8. Ada suatu kepercayaan yang mengatakan minum rendaman air rumput
Fatimah akan merangsang mulas. Rumput Fatimah bisa membuat mulas
pada ibu hamil karena menyebabkan kontraksi. Penggunaan rumput
fatimah ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian pada
ibu. Meminum rumput fatimah akan membuat kontraksi menjadi
abnormal.
9. Makan daun kemangi membuat ari-ari lengket, hingga mempersulit
persalinan. Yang membuat lengket ari-ari bukan daun kemangi, melainkan
ibu yang pernah mengalami dua kali kuret atau punya banyak anak, misal
empat anak. Ari-ari lengket bisa berakibat fatal karena kandungan harus
diangkat. Ibu yang pernah mengalami kuret sebaiknya melakukan
persalinan di RS besar, sehingga bila terjadi sesuatu dapat segera
ditangani.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai
dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih
terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si

16
ibu. Penelitian Iskandar dkk (1996) dikutip di (Suprabowo, 2006)
menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti
"ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar
persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk
rmengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan
posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat
menyebabkan perdarahan dan pembengkakan) (Suryawati, 2007).
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya
disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya
murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan
dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping
itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada.
Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek
tradisional tertentu rmasih dilakukan. lnteraksi antara kondisi kesehatan ibu
hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat menentukan hasil
persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup (Suryawati, 2007).
Secara medis penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan
adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan kehamilan). Kondisi-
kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat
berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering
terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga
karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga.
Terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang
akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan
berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis
yang terjadi. Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat
persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan
cepat (Suprabowo, 2006).
Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau
tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula
diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat

17
pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh
faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke
rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor
keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala
ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya
suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang
terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan (Suryawati, 2007).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih
diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini
biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada
makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi
ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat
mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang
dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan
kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk
mengembalikan rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan seperti
daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan
cairan yang keluar karena proses persalinan atau memberi jamu tertentu untuk
memperkuat tubuh. Selain itu, kelancaran persalinan juga sangat tergantung
faktor mental dan fisik si ibu, menurut (Suryawati, 2007)antara lain:
1. Faktor fisik berkaitan dengan bentuk panggul yang normal dan seimbang
dengan besar bayi
2. Faktor mental berhubungan dengan psikologis ibu, terutama kesiapannya
dalam melahirkan. Bila ia takut dan cemas, bisa saja persalinannya jadi
tidak lancar hingga harus dioperasi. Ibu dengan mental yang siap bisa
mengurangi rasa sakit yang terjadi selama persalinan.
3. Faktor lain yang juga harus diperhatikan adalah riwayat kesehatan ibu,
apakah pernah menderita diabetes, hipertensi atau sakit lainnya, gizi ibu
selama hamil, apakah mencukupi atau tidak, dan lingkungan sekitar,
apakah men-support atau tidak karena ada kaitannya dengan emosi ibu.
Ibu hamil tak boleh cemas karena akan berpengaruh pada bayinya.

18
Bahkan, berdasarkan penelitian, ibu yang cemas saat hamil bisa
melahirkan anak hiperaktif, sulit konsentrasi dalam belajar, kemampuan
komunikasi yang kurang, dan tak bisa kerja sama.

D. Apa Aspek social budaya dalam masa nifas


Masa nifas adlah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk
pulihnya kembali alat kandungan yang lamnya enam minggu. Jadi arti
keseluruhan dari aspek sosial budaya pada masa nifas adalah suatu hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia untuk mencapai tujuan bersama pada
masa sesudah persalinan ( Rahayu, Mudatsir , & Hasballah, 2017).
1. Macam-macam aspek sosial budaya pada masa nifas
Masa nifas dilarang makan telur, daging, udang, ikan laut dan lele,
keong ,daun lembayung, buah pare, nenas, gula merah, dan makanan yang
berminyak. Dampak positif: tidak ada, dampak negative :merugikan karena
masa nifas memerlukan makanan yang bergizi seimbang agar ibu dan bayi
sehat. Setelah melahirkan atau setelah operasi hanya boleh makan tahu dan
tempe tanpa garam ,ngayep´dilarang banyak makan dan minum, makanan
harus disangan/dibakar. Dampak positif:tida ada, dampak
negative :merugikan karena makanan yang sehat akan mempercepat
penyembuhan luka. Masa nifas dilarang tidur siang.
Dampakpositif:tidakada, dampak negative : karena masa nifas harus cukup
istirahat, kurangi kerja berat. Karena tenaga yang tersedia sangat bermanfaat
untuk kesehatan ibu dan bayi. Masa nifas /saat menyusui setelah waktunya
Maghrib harus puasa tidak makan makanan yangpadat. Dampak positif : Hal
ini dibenarkan karena dalam faktanya masa nifas setelah maghrib dapat
menyebabkan badan masa nifas mengalami penimbunan lemak,disamping
itu organ-organ kandungan pada masa nifas belum pulih kembali. Dampak
negative ibu menjadi kurang nutrisi sehingga produksi ASI menjadii

19
berkuran. Masa nifas tidak boleh keluar rumah sebelum 40 hari. Dampak
positif: tidak ada. Dampak negative : Hal ini tidak perlu karena masa nifas
dan bayi baru lahir (pemberian imunisasi) harus periksa kesehatannya
sekurang-kurangnya 2 kali dalam bulan pertama yaitu umur0-7haridan8-
30hari .Ibu setelah melahirkan dan bayinya harus dipijat/ diurut, diberi
pilis / lerongan dan tapel. Dampak positif : jika pijatannya benar maka
peredaran darah ibu dan bayi menjadii lancer Dampak negative : pijatan
yang salah sangat berbahaya karena dapat merusak kandungan. Pilis dan
tapel dapat merusak kulit bagi yang tidak kuat / menyebabkan alergi. Masa
nifas harus minum abu dari dapur dicampur air, disaring, dicampur garam
dan asam diminumkan supaya ASI banyak. Dampak positif: tidak ada.
Dampak negative: karena abu, garam dan asam tidak mengandung zat gizi
yang diperlukan oleh ibu menyusui untuk memperbanyak produksi ASI nya.
Masa nifas tidak diperbolehkan berhubungan intim. Dampak positif : dari
sisi medis, sanggama memang dilarang selama 40 hari pertama usai
melahirkan. Alasannya, aktivitas yang satu ini akan menghambat proses
penyembuhan jalan lahir maupun involusi rahim, yakni mengecilnya rahim
kembali ke bentuk dan ukuran semula. Contohnya infeksi atau malah
perdarahan. Belum lagi libido yang mungkin memang belum muncul
ataupun pengaruh psikologis, semisal kekhawatiran akan robeknya jahitan
maupun ketakutan bakal hamil lagi. Dampak negative: tidak ada ( Rahayu,
Mudatsir , & Hasballah, 2017).
2. Aspek social budaya pada masa nifas pada daerah yang lain menurut
( Rahayu, Mudatsir , & Hasballah, 2017):
a. Harus pakai sandal kemana pun iBu harus pergi, selama 40hari.
b. Harus memakai Stagen /udet/ centing. (positif)
c. Minum jamu, agar rahim cepat kembali seperti semula.
d. Pakai lulur param kocok keseluruh badan, biar capek pada badannya
cepat hilang.
e. Tidak boleh bicara dengan keras keras

20
f. Tiap pagi harus mandi keramas, biar badannya cepat segar dan
peredaran darah lancar .
g. Alau tidur/ duduk kaki harus lurus. Tidak boleh ditekuk /posisi miring,
hal itu dapat mempengaruhi posisi tulang, cos tulang bufas seperti bayi
baru melahirkan/ mudah terkena Varises.
h. Harus banyak makanan yang bergizi atau yang mengandung sayur-
sayuran.
i. Tidak usah memakai perhiasan, karena dapat mengganggu aktifitas
Bayi.

E. Aspek social budaya yang berkaitan dengan bayi baru lahir


Seorang bayi yang baru lahir umumnya mempunyai berat sekitar
2.7-3.6 kg dengan panjang 45 – 55 cm. Tetapi ia akan kehilangan sampai 10 %
dri berat tubuhnya dalam hari-hari setelah kelahiran. Kemudian pada akhir
minggu pertama berat tubuhnya akan mulai naik kembali. Karenanya, tidaklah
mengherankan jika seorang bayi yang baru lahir memerlukan beberapa minggu
untuk menyesuaikan diri. Sebuah selaput keras menutupi dua titik lunak dari
kepala disebut fontonel. Dimana tulang-tulang tengkorak belum menyatu dan
meutup dengan sempurna. Fontonel anterror (Suryawati, 2007).
Menjadi orang tua baru memang menyenangkan, tapi terkadang juga
bisa menjadi gugup atau penakut karena banyaknya mitos-mitos soal bayi yang
dibawa turun temurun dari orang-orang tua kita dulu yang mungkin kita sendiri
menjadi bagian dari mitos-mitos yang dianut orang tua kita. Namun menurut
saya mitos-mitos itu tidak selalu salah, mungkin hanya beda pengertian saja
namun juga tidak semuanya benar, bahkan ada yang benar-benar salah menurut
dokter. Inilah beberapa mitos yang masih beredar di masyarakat (Suryawati,
2007).
1. Dibedong agar kaki tidak bengkok.
Ternyata di bedong bisa membuat peredaran darah bayi menjadi
terganggu, kerja jantung akan lebih berat memompa darah, akibatnya bayi
akan sering sakit di daerah paru-paru dan jalan nafasnya. Selain itu

21
dibedong akan menghambat perkembangan motorik si bayi karena tidak
ada kesempatan untuk bergerak (Suprabowo, 2006).
Sebaiknya dibedong saat sesudah mandi untuk melindungi dari
dingin atau saat cuaca dingin itu pun dibedong longgar. Jadi dibedong itu
tidak ada hubungannya dengan pembentukan kaki karena semua kaki bayi
yang baru lahir kakinya bengkok, sebab di dalam perut tidak ada ruang
yang cukup untuk meluruskan kakinya sehingga waktu lahirpun masih
bengkok, tapi akan lurus dengan sendirinya (Suryawati, 2007).

2. Hidung ditarik-tarik agar mancung


Sebenarnya tidak hubungannya menarik hidung dengan mancung
tidaknya hidung, semua tergantung dari bentuk tulang hidungnya dan itu
sudah bawaan, lagi pula kasihan si bayinya "sakit tau..." Jadi mau ditarik-
tarik setiap detikpun kalo memang tidak mancung ya ga bakal mancung
(Suryawati, 2007).
3. Pemakaian gurita agar tidak kembung.
Ini jelas salah karena pemakaian gurita akan menghambat
perkembangan organ-organ perut. Sekarang bayangkan kalau perut anda di
ikat seperti itu tentu akan merasa sesak dan tidak nyaman bukan. Jika
memang harus memakaikan gurita jangan mengikat terlalu kencang
terutama di bagian dada agar jantung n paru-parunya bisa berkembang
dengan baik. Dan jika tujuannya supaya pusar tidak bodong sebaiknya di
pakaikan hanya di pusar dan ikatannya pun tidak kencang (Suryawati,
2007).
4. Menggunting bulu mata agar lentik
Memotong bulu mata bisa mengurangi fungsinya untuk melindungi
mata dari benda-benda asing. Panjang pendeknya bulu mata sudah menjadi
bawaan dari bayi itu sendiri (Suryawati, 2007).
5. Beri setetes kopi agar bayi tidak step (kejang)

22
Pemberian kopi pada bayi jelas berbahaya karena mengandung
kafein yang akan memacu denyut jantungnya bekerja lebih cepat. Lagi pula
bayi itu minumnya susu bukan kopi (Suryawati, 2007).
6. Jangan memeras kencang-kencang saat mencuci baju bayi, bayi akan
gelisah tidurnya.
Kalo di pikir secara logika jelas tidak masuk akal, mungkin bayi
gelisah saat tidur karena dia pipis, pub, gerah, atau ada faktor lain, jadi
bukan karena saat memeras pakaiannya, mungkin lebih masuk akal kalau
jangan memeras terlalu keras karena akan merusak pakaian si bayi yang
kalau sudah koyak atau lepas jahitannya akan membuat gelisah sang ayah
karena harus membelikan pakaian yang baru lagi (Suryawati, 2007).

7. Jangan menyusui bayi jika bunda sedang sakit


Tadinya saya percaya karena penalaran saya bayi akan tertular sakit
si ibu, ternyata saya salah karena setelah saya konsultasi ke dokter ternyata
malah sebaliknya, saat ibu sedang sakit tubuh si ibu akan menghasilkan
sistem kekebalan tubuh yang lebih banyak dan akan ikut ke dalam asi yang
jika di minum si bayi akan meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya. Yang
tidak boleh adalah menyusui bayi saat sakit tanpa ada pelindung untuk
anda, contohnya pakailah masker penutup mulut dan hidung saat anda flu
karena akan memularkan penyakit, jadi bukan karena ASI-nya (Suryawati,
2007).

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kesimpulan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat
dengan masyarakat, mempunyai peran yang sangat menentukan dalam
meningkatkan status kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan
anak di wilayah kerjanya. Seorang bidan harus mampu menggerakkan
peran serta masyarakat khususnya, berkaitan dengan kesehatan ibu hamil,
ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut. Seorang
bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas,
peran serta tanggung jawabnya.
Seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat
tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur
pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma
dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
wilayah tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional
setempat bidan dapat berperan aktif untuk melakukan promosi kesehatan
kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di sela-sela
acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut.
2. Saran
Bidan harus selalu menjaga hubungan yang efektif dengan
masyarakat dengan selalu mengadakan komunkasi efektif.

24
DAFTAR PUSTAKA

Rahayu, I. S., Mudatsir , & Hasballah. (2017). Faktor Budaya Dalam Perawatan
Ibu Nifas. Jurnal Ilmu Keperawatan, 36-49.
Suprabowo, E. (2006). Praktik Budaya Dalam Kehamilan, Persalinandan Nifas
Pada Suku Dayak Sanggau, Tahun 2006. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 112-121.
Suryawati, C. (2007). Faktor Sosial Budaya Dalam Praktik Perawatan Kehamilan,
Persalinan,Dan Pasca Persalinan (Studi Di Kecamatan Bangsri Kabupaten
Jepara). Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 21-31.

25

Anda mungkin juga menyukai