Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH ILMU BUDAYA DASAR


DOSEN : HERNA, SKOM., MIKOM

PERSEPSI BUDAYA MASYARAKAT


TERHADAP KESEHATAN DAN IMPLIKASINYA

Oleh
DIYANK SHABIRA
NPM : 51417794

TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN 2018
PERSEPSI BUDAYA MASYARAKAT
TERHADAP KESEHATAN DAN IMPLIKASINYA

Oleh:
DIYANK SHABIRA
NPM : 51417794

TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa


melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat membuat dan
menyelesaikan tugas makalah tentang budaya yang berjudul “ Persepsi Budaya
Terhadap Kesehatan dan Implikasinya”.
Disadari atau tidak, faktor budaya memberi konsepsi tentang bagaimana
masyarakat bersikap dan berperilaku terhadap masalah kesehatan yang seringkali
membawa dampak positif dan juga negatif terhadap kesehatan seperti pemahaman
terhadap penyebab sakit dan penanganannya, kehamilan dan persalinan, keluarga
berencana, dan masalah kesehatan lainnya.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Ibu Herna, SIKOM., MIKOM
atas tugas yang diberikan sehingga dapat memotivasi dan membangkitkan inspirasi
serta kebiasan bagi kami dalam membuat tulisan-tulisan ilmiah.
Akhirnya disadari bahwa makalah ini tentunya memiliki banyak
kekurangan dan sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu segala masukan yang
positif baik kritik maupun saran dari semua pihak sangat diharapkan demi kebaikan
ke depan.

Depok, 20 Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 4
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................ 4
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................. .. 4
1.4 Ruang Lingkup ........................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5


2.1 Budaya ..................................................................................................... 5
2.1.1 Definisi Budaya .............................................................................. 5
2.1.2 Unsur-unsur Budaya ....................................................................... 5
2.1.3 Wujud Kebudayaan ........................................................................ 6
2.1.4 Perubahan Kebudayaan .................................................................. 7
2.2 Perilaku Kesehatan .................................................................................. 8
2.3 Penyebab penyakit dan Penanganannya .................................................. 9
2.4 Kehamilan dan Persalinan ...................................................................... 11
2.5 Keluarga Berencana ............................................................................... 12

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................ 14


3.1 Persepsi Budaya Terhadap Penyebab Penyakit dan Penanganannya ..... 14
3.2 Persepsi Budaya Terhadap Kehamilan dan Persalinan .......................... 16
3.3 Persepsi Budaya Terhadap Keluarga Berencana ................................... 20

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 22


4.1 Kesimpulan ........................................................................................... 22
4.2 Saran ...................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”
bentuk jamak dari “buddhi” yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi dan akal manusia yang terbentuk dari banyak unsur (https://id.wikipedia.org,
2018). Budaya adalah pola hidup menyeluruh, bersifat kompleks, abstrak dan luas
(Mulyana dan Rakhmat, 2006). Budaya mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan, keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius, segala pernyataan intelektual, artistik dan lain-lain, yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat (https://id.wikipedia.org, 2018). Budaya erat hubungannya
dengan masyarakat dimana segala sesuatu yang terdapat di masyarakat ditentukan
oleh budaya masyarakat itu sendiri. Aspek budaya turut menentukan bagaimana
perilaku masyarakat pada banyak kegiatan sosial salah satunya adalah di bidang
kesehatan.
Masalah kesehatan tidak dapat dilepaskan dari faktor budaya masyarakat
setempat. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya
masyarakat memberi konsepsi-konsepsi tentang bagaimana mereka harus bersikap
dan berperilaku terhadap masalah kesehatan. Hubungan atau pengaruh faktor
budaya seringkali membawa dampak positif maupun negatif terhadap masalah
kesehatan seperti kehamilan dan persalinan, kesehatan anak, penanganan sakit, gizi
dan pola makan, penggunaan alat kontrasepsi, dan masalah kesehatan lainnya.
Proses kehamilan dan melahirkan seyogyanya menjadi peristiwa bahagia
dalam keluarga tetapi seringkali berubah menjadi tragedi yang bahkan berdampak
pada kematian ibu atau bayi. Secara teori dan praktek kesehatan, kematian ibu
melahirkan dan bayi dapat dicegah. Namun faktanya, sekitar 20.000 perempuan di
Indonesia meninggal dunia setiap tahunnya akibat komplikasi dalam persalinan
dengan rasio angka kematian ibu (AKI) sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
AKI yang tinggi ini diikuti pula dengan tingginya angka kematian bayi (AKB)
sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012). Di dalam persepsi budaya,
kehamilan dan bersalin dianggap sebagai masa yang penting dan kritis yang bisa
membahayakan janin atau ibunya sehingga harus dilindungi dan kemudian direspon
masyarakat dengan berbagai cara, seperti upacara, anjuran, dan larangan secara
tradisional.
Penelitian Alwi (2007) yang dilakukan dengan metode etnografi kualitatif
di daerah Kwamki Lama dan Nayaro Kabupaten Mimika menyimpulkan bahwa
beberapa tema budaya mempengaruhi perilaku ibu dalam perawatan kehamilan dan
melahirkan yang mungkin membawa kerugian bagi kesehatan reproduksi. Studi ini
menunjukkan adanya persepsi budaya masyarakat bahwa kehamilan dan persalinan
adalah urusan perempuan saja, dan perempuan harus bekerja mencari makanan
sehari-hari untuk keluarga sementara banyak mitos pantangan diet yang harus
mereka diikuti. Kepercayaan lain yang diyakini adalah bahwa dukun tradisional
mendapat bimbingan dari roh halus dalam menolong persalinan, dan darah
persalinan sangat berbahaya bagi pria dan anak-anak karena mendatangkan
penyakit.
Konsepsi budaya masyarakat tradisional terkait kesehatan juga tergambar
pada perilaku pola pemberian makanan bayi seperti air susu ibu (ASI). Berbeda
dengan konsep kesehatan modern bahwa anjuran pemberian ASI pada bayi hingga
berusia dua tahun dan pemberian makanan padat sesudah berusia empat tahun,
namun masih ada masyarakat tradisional di Indonesia yang memberikan makanan
padat ketika bayinya baru lahir atas dasar kepercayaan tertentu (Maas, 2004).
Persepsi masyarakat terhadap masalah penyakit dan penanganannya juga
dipengaruhi oleh faktor budaya sehingga menghasilkan pandangan yang berbeda
dalam konteks sehat dan sakit. Menurut Dumatubun (2002), konsep sehat dan sakit
dapat dipersepsikan berbeda-beda oleh masyarakat berdasarkan pandangan dasar
kebudayaannya. Banyak masyarakat memiliki persepsi budaya tentang sehat
sebagai kemampuan tetap menjalankan peranan-peranan sosialnya seperti biasa,
sehingga meskipun mereka menyadari akan adanya kelainan fisik maka kelainan
tersebut tidak dianggap sebagai suatu penyakit. Sementara itu sakit dikonsepsikan
masyarakat sebagai gangguan keseimbangan fisik di dalam tubuh karena kekuatan
alam yang melebihi kekuatan manusia (Wambrauw,1994) atau disebabkan adanya
kekuatan gaib yang dikirimkan seseorang atau black magic sehingga penanganan
atau penyembuhannya selalu dimulai dari seorang dukun (Dumatubun, 2002).
Studi Amaliah (2010) di desa Toriyo Kabupaten Sukoharjo membuktikan
bahwa faktor budaya berhubungan signifikan dengan kejadian diare pada anak
balita. Penelitian ini menemukan bahwa masih banyak masyarakat yang memiliki
budaya atau kebiasaan yang tidak atau kurang mendukung kesehatan sehingga
memacu risiko terjadinya diare pada anak balita, antara lain kebiasaan minum air
mentah (52,9%), tidak cuci tangan dengan sabun sebelum makan (45,6%) dan tidak
cuci tangan sesudah buang air besar (60,3%). Selain itu, masih banyak masyarakat
yang mempercayai bahwa anak yang mengalami diare adalah pertanda baik dimana
menunjukkan bahwa anak akan bertambah besar.
Budaya juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada pencapaian
target program keluarga berencana (KB) yang mendukung kesehatan reproduksi
(BKKBN, 2010). Masyarakat dengan budaya patrilineal memungkinkan kaum
perempuan lemah dalam pengambilan keputusan untuk merencanakan jumlah anak
dan pemakaian kontrasepsi (Asan, 2007). Selain itu, banyak masyarakat yang
memandang KB sebagai urusan perempuan saja (BKKBN, 2007; Sumadi, 2007),
memberikan nilai lebih terhadap salah satu jenis kelamin anak dan mitos “banyak
anak banyak rejeki” (Siregar, 2003). Konsepsi budaya di atas menjadi faktor-faktor
pengambat perkembangan program KB di Indonesia. Budisantoso (2009) dalam
penelitiannya menemukan adanya mitos di masyarakat bahwa metode KB
vasektomi dapat menurunkan kejantanan pria, sehingga pria takut mengikuti
program KB tersebut.
Peran budaya terhadap kesehatan hakikatnya adalah membentuk, mengatur
dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial
untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan. Dalam menjaga kesehatan,
memang tidak semua perilaku masyarakat merupakan praktek yang sesuai dengan
ketentuan medis atau kesehatan, apalagi jika mereka memiliki persepsi tentang
sehat dan sakit yang sangat berbeda dengan konsep medis, sehingga upaya untuk
mengatasinya juga harus disesuaikan dengan keyakinan atau kepercayaan yang
sudah dianut secara turun-temurun sebagai konsepsi budaya.
Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan dan meningkatkan program
pembangunan kesehatan tidaklah cukup dengan sekedar membangun fasilitas dan
prasarana kesehatan, menempatkan petugas kesehatan, dan meluncurkan program-
program kesehatan unggulan semata, namun juga harus dan sangat penting untuk
memperhatikan aspek-aspek dan persepsi budaya masyarakat terhadap terutama
masalah kesehatan tersebut agar penanganannya dapat lebih komprehensif dan
lebih efektif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diketahui bahwa masalah dan perilaku
kesehatan di masyarakat banyak sekali dipengaruhi oleh faktor budaya baik yang
menguntungkan atau merugikan kesehatan. Oleh karena itu, rumusan masalah yang
penulis ajukan pada makalah ini adalah bagaimanakah persepsi budaya masyarakat
terhadap kesehatan dan bagaimana implikasinya?
1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Secara umum, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendapatkan
gambaran persepsi budaya masyarakat terhadap kesehatan.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Diperolehnya gambaran persepsi budaya masyarakat terhadap penyebab dan
penanganan penyakit.
2. Diperolehnya gambaran persepsi budaya masyarakat terhadap kehamilan dan
melahirkan.
3. Diperolehnya gambaran konsepsi budaya masyarakat terhadap keluarga
berencana (KB).

1.4 Ruang lingkup


Hampir semua masalah dan perilaku kesehatan dipengaruhi pemahaman dan
kepercayaan masyarakat sebagai hasil konsepsi budaya, namun pada makalah
tulisan ini dibatasi hanya pada konsep penyebab penyakit dan penanganannya,
kehamilan dan melahirkan dan keluarga berencana (KB).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya

2.1.1 Definisi Budaya


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi, bersifat
menyeluruh, kompleks, abstrak, dan luas. Budaya terbentuk dari banyak unsur
meliputi sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Unsur-unsur budaya ini melingkupi pada banyak kegiatan sosial manusia
(Mulyana dan Rakhmat, 2006).
Kebudayaan terkait erat dengan masyarakat, dimana segala sesuatu yang
terdapat di masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu
sendiri. Andreas Eppink menyatakan bahwa kebudayaan adalah mengandung
keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, segala pernyataan intelektual, dan
artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat
(https://id.wikipedia.org. diakses tanggal 12 Maret 2018).
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia yang dipakai atau digunakan dalam
kehidupan sehari-hari (https://yanuirdianto.wordpress.com. Diakses tanggal 12
Maret 2018).

2.1.2 Unsur-unsur Budaya


Menurut Koentjaraningrat (1985) terdapat tujuh unsur yang membentuk
budaya secara universal, yaitu: (http://muhamadganifharuman.blogspot.com.
diakses tanggal 12 Maret 2018)
1. Kesenian; Manusia memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan
psikis setelah kebutuhan fisik mereka terpenuhi, sehingga lahirlah kesenian
yang dapat memuaskan.
2. Sistem teknologi dan peralatan; Sistem yang timbul karena manusia mampu
menciptakan sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan
membedakan manusia dengam makhluk hidup yang lain.
3. Sistem organisasi masyarakat; Sistem yang muncul karena kesadaran manusia
sebagai makhluk yang memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing
individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan bersatu.
4. Bahasa; Sesuatu yang berawal dari kode, kemudian tulisan hingga berubah
sebagai lisan yang mempermudah komunikasi antar sesama manusia.
5. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi; Sistem yang timbul untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.
6. Sistem pengetahuan; Sistem yang terlahir karena manusia memiliki akal dan
pikiran yang berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang
berbeda pula, sehingga perlu disampaikan agar yang lain juga mengerti.
7. Sistem religi; Kepercayaan manusia terhadap Maha Pencipta yang muncul
karena kesadaran sebagai makhluk dari zat yang Maha Kuasa.

2.1.3 Wujud Kebudayaan


Hoenigman mengemukakan bentuk perwujudan kebudayaan dibedakan
menjadi tiga, yaitu: (https://id.wikipedia.org. diakses tanggal 12 Maret 2018)
1. Gagasan (wujud ideal): adalah wujud kebudayaan yang berbentuk kumpulan
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang
sifatnya abstrak tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini
terletak dalam alam pemikiran masyarakat. Jika gagasan masyarakat tersebut
diyatakan dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari wujud kebudayaan ideal itu
berada dalam karangan hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas (tindakan): adalah wujud kebudayaan sebagai pola suatu tindakan
manusia dalam masyarakat yang sering disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial terdiri dari aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan
kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu
berdasarkan adat tata kelakuan.
3. Artefak (karya): adalah wujud kebudayaan fisik berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat berupa benda-benda yang
dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifat wujud ini paling konkret di
antara ketiga wujud kebudayaan.

2.1.4 Perubahan Budaya


Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, wujud kebudayaan yang satu
tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan lainnya, contoh: wujud kebudayaan
ideal akan mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) manusia dan
bagaimana karya (artefak) manusia dibuat.
Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan juga mengalami perubahan-
perubahan. Faktor yang mendorong perubahan adalah adanya unsur-unsur budaya
yang berpotensi mudah berubah, terutama unsur teknologi dan ekonomi. Generasi
muda adalah individu-individu yang mudah menerima unsur-unsur perubahan
kebudayaan. Faktor yang menghambat perubahan kebudayaan adalah unsur-unsur
kebudayaan yang sangat sukar berubah, seperti adat istiadat dan keyakinan agama.
Individu-individu yang sukar menerima unsur perubahan kebudayaan terutama
adalah generasi tua. Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat perubahan
budaya dibagi ke dalam: (http://duniabaca.com. diakses tanggal 12 Maret 2018.
A. Faktor Internal
1. Perubahan Demografis: Perubahan demografis yang biasanya cenderung
terus bertambah akan mengakibatkan terjadinya perubahan di berbagai
sektor kehidupan, seperti perekonomian, kebutuhan pangan, sandang dan
papan.
2. Konflik Sosial: Konflik sosial dapat mempengaruhi terjadinya perubahan
dalam masyarakat, seperti di daerah transmigrasi sering terjadi konflik
kepentingan antara kaum pendatang dengan penduduk setempat sehingga
pemerintah daerah harus mengikutsertakan penduduk lokal dalam program
pembangunan.
3. Bencana Alam: bencana alam dapat mempengaruhi perubahan kebudayaan
seperti banjir, longsor, letusan gunung berapi dimana masyarakat akan
dievakuasi dan dipindahkan ketempat yang baru, disanalah mereka harus
beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat sehingga
terjadi proses asimilisasi maupun akulturasi.
4. Perubahan Lingkungan Alam: Perubahan kebudayaan disebabkan karena
proses adaptasi dengan peruabahan lingkungan, misalnya rusaknya hutan
karena erosi.
B. Faktor Eksternal
1. Perdagangan: indonesia terletak pada jalur perdagangan asia timur dengan
india, timur tengah bahkan eropa barat, itulah sebabnya indonesia sebagai
persinggahan pendagang pendagang besar, selain berdagang mereka juga
memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat setempat sehingga
terjadilah perubahan budaya.
2. Penyebaran Agama: masuknya unsur-unsur agama hindu dari india atau
budaya arab bersamaan proses penyebaran agama hindu dan islam ke
indonesia demikian pula masuknya unsur-unsur budaya barat melalui proses
penyebaran agama kristen dan kalonialisme.
3. Peperangan: kedatangan bangsa barat ke indonesia umumnya menimbulkan
perlawanan keras dalam bentuk peperangan,dalam suasana tersebut ikut
masuk pula unsur unsur budaya bangsa asing ke indonesia.

2.2 Perilaku Kesehatan


Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati
bahkan dipelajari. Dalam proses pembentukan dan perubahannya, perilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu
sendiri (Notoatmodjo, 2014).
Green (1980) dikutip oleh Notoatmodjo (2014) menggambarkan ada tiga
faktor yang berkontribusi terhadap perilaku, antara lain:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors) yang merupakan faktor anteseden
terhadap perilaku yang menjadi dasar pemikiran atau alasan dan motivasi
individu untuk berperilaku meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai,
dan persepsi serta faktor demografi lainnya.
2. Faktor yang memungkinkan (enabling factors) yang merupakan faktor yang
memfasilitasi perilaku atau tindakan sehingga memungkinkan motivasi atau
aspirasi terlaksana. Termasuk dalam faktor ini antara lain ketersediaan program
dan pelayanan kesehatan, kemudahan mencapai pelayanan kesehatan termasuk
di dalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan, sumber
daya yang dibutuhkan termasuk keterampilan petugas, dan kebijakan dan
pertauran sehingga orang dapat berperilaku.
3. Faktor yang memperkuat (reinforcing factors) yang merupakan faktor penguat
perubahan perilaku seseorang di bidang kesehatan meliputi manfaat sosial dan
manfaat fisik, ganjaran nyata atau tidak nyata yang pernah diterima pihak lain,
serta dukungan sosial atau pengaruh kelompok atau orang yang berpengaruh
antara lain berasal dari tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, kawan atau
keluarga.

2.3 Konsep Penyebab Penyakit dan Penanganannya


Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal
karena banyak faktor lain di luar klinis yang mempengaruhinya terutama faktor
sosial budaya. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan
kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik
secara biologis, psikologis maupun sosio budaya (Kliemen, 1978 dalam Soejoeti
diakses dari https://datastudi.wordpress.com. tanggal 12 Maret 2018).
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa sehat
adalah kondisi sehat fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Oleh karena itu,
kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh meliputi unsur-unsur fisik,
mental dan sosial sebagai bagian integral kesehatan. Sementara, seseorang
dikatakan sakit jika menderita sakit menahun (kronis), atau gangguan kesehatan
lain yang menyebabkan aktivitas kerjanya terganggu. Walaupun seseorang sakit
(seperti pilek) tapi bila tidak mengganggu kegiatannya, maka dianggap tidak sakit.
Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan resultante dari
berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah buatan
manusia, sosial budaya, perilaku, populasi penduduk, genetika, dan sebagainya.
Dalam konteks budaya, sehat menurut suatu kebudayaan tertentu belum
tentu sehat menurut kebudayaan lain. Bahkan kondisi sakitpun sendiri ditentukan
oleh budaya, karena penyakit merupakan pengakuan sosial bahwa seseorang tidak
dapat menjalankan peran normalnya secara wajar. Cara dan gaya hidup manusia
merupakan fenomena budaya yang dapat dikaitkan dengan munculnya berbagai
macam penyakit. Budaya masyarakat tradisional menganut dua konsep penyebab
sakit, yaitu:
1. Naturalistik, yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan,
makanan (salah makan), kebiasaan hidup, ketidakseimbangan dalam tubuh,
termasuk kepercayaan panas dan dingin seperti masuk angin dan penyakit
bawaan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar,
nyaman, dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan gairah. Sedangkan
sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan,
bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak
dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat.
2. Personalistik, yaitu anggapan munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh
intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu,
roh, leluhur atau roh jahat), atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang
tenung).
Sudarti (1987) mendeskriptifkan persepsi masyarakat tentang sakit dan
penyakit di beberapa daerah Indonesia. Menuruntnya, masyarakat menilai bahwa
sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaian gangguan fisik yang
menimbulkan rasa tidak nyaman. Misalnya, anak yang sakit ditandai tingkah laku
rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasa dianggap sakit jika
lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau "kantong kering".
Selanjutnya masyarakat menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian yaitu :
1. Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadapctubuh manusia
2. Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panas dan dingin.
3. Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).
Pada penyebab sakit bagian pertama dan kedua, dapat diobati dengan menggunakan
obat-obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok, pantangan makan, dan bantuan tenaga
kesehatan, sedangkan penyebab sakit ketiga harus minta bantuan pertolongan dari
dukun, kyai, orang pintar, dan lain sebagainya. Dengan demikian diketahui bahwa
upaya penanggulangan suatu penyakit adalah tergantung pada kepercayaan mereka
terhadap apa penyebab sakit.

2.4 Kehamilan dan Persalinan


Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan
didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan antara spermatozoa dan ovum yang
dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Kehamilan dihitung saat fertilisasi
sampai kelahiran bayi yang secara normal berlangsung dalam waktu 40 minggu.
Masih tingginya angka kematian ibu menggambarkan bahwa masih rendahnya
kualitas pelayanan perawatan ibu hamil atau antenatal care (ANC). Penyebab
kematian ibu sebenarnya dapat dicegah apabila resiko tinggi atau komplikasi
kehamilan dapat dideteksi sejak dini dan ditangani secara adekuat melalui
pelayanan ANC (Saifuddin, 2010). Oleh karena itu, layanan ANC menjadi bagian
dari “Empat Pilar Safe Motherhood” sebagai kebijakan Kementerian Kesehatan
dalam upaya mempercepat penurunan AKI (Prawirohardjo, 2009).
Persalinan normal merupakan suatu proses pengeluaran bayi dengan usia
kehamilan yang cukup, letak memanjang atau sejajar sumbu badan ibu, presentasi
belakang kepala, keseimbangan diameter kepala bayi dan panggul ibu, serta dengan
tenaga ibu sendiri. Hampir sebagian besar persalinan adalah persalinan normal,
hanya sekitar 12%-15% merupakan persalinan patologik (Saifuddin, 2010).
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah
cukup umur kehamilannya dan dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir
atau jalan lain dengan bantuan atau dengan kekuatan ibu sendiri (Manuaba, 2010).
Kelahiran bayi merupakan pristiwa penting bagi kehidupan seseorang ibu
dan keluarganya. Persalinan adalah proses yang normal dan merupakan kejadian
yang sehat, namun demikian, potensi terjadinya komplikasi yang mengancam
nyawa selalu ada. Dukungan terus menerus dan penatalaksanaan yang terampil dari
penolong persalinan dapat menyumbangkan suatu pengalaman melahirkan yang
menyenangkan dengan hasil persalinan yang sehat dan memuaskan.
Pada dasarnya konsepsi budaya masyarakat sangat mengkhawatirkan masa
kehamilan dan persalinan. Kedua masa ini menjadi fokus perhatian yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat (Bronislaw Malinowski dalam Khasanah,
2011). Dalam konteks budaya, ibu hamil dan yang akan menjalani persalinan akan
dilindungi secara adat, religi, dan moral dengan tujuan untuk menjaga kesehatan
ibu dan bayi. Budaya masyarakat menilai masa tersebut adalah masa kritis karena
bisa membahayakan janin dan ibunya, Oleh karena itu, direspons oleh masyarakat
dengan strategi-strategi, seperti dalam berbagai upacara kehamilan, anjuran, dan
larangan secara tradisional (Malinowski, Bronislaw, dalam Khasanah, 2011).

2.5 Keluarga Berencana


Keluarga Berencana (KB) adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak
dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan
bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas.
Program KB memiliki makna sangat strategis, komprehensif dan fundamental
dalam mewujudkan manusia Indonesia yang sehat dan sejahtera melalui upaya
peningkatan keterpaduan, peran serta masyarakat, pembinaan keluarga dan
pengaturan kelahiran dengan memperhatikan nilai-nilai agama, keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan
daya tampung lingkungan, kondisi perkembangan sosial ekonomi, sosial budaya,
dan tata nilai di masyarakat (BKKBN, 2015).
Gerakan keluarga berencana nasional dan keluarga sejahtera mempunyai
tujuan pokok, sebagai berikut: (BKKBN, 2015)
1. Tercapainya seluruh calon pasangan keluarga (laki/perempuan) kawin pada
usia yang ideal, usia ideal tersebut diartikan cerminan kelayakan secara fisik,
mental, dan spiritual telah patut dan layak untuk melangsungkan perkawinan
yang sah untuk menjadi keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat.
2. Tercapainya jumlah anak yang ideal bagi seluruh keluarga dan masyarakat.
3. Tercapainya kelangsungan dan keharmonisan kehidupan berkeluarga.
4. Tercapainya peningkatan kreatifitas dan produktivitas keluarga dalam rangka
meningkatkan derajat hidup dan kehidupan keluarga.
Sekitar 500.000 perempuan meninggal dunia setiap tahun akibat berbagai
masalah terkait kehamilan, persalinan, dan pengguguran kandungan (aborsi) yang
tak aman dan program KB bisa mencegah sebagian besar kematian itu. Pada masa
kehamilan, manfaat KB dapat mencegah munculnya bahaya-bahaya akibat:
1. Kehamilan terlalu dini. Perempuan yang sudah hamil tatkala umurnya belum
mencapai 17 tahun sangat terancam oleh kematian sewaktu persalinan, karena
tubuhnya belum sepenuhnya tumbuh, belum cukup matang dan siap untuk
dilewati oleh bayi, serta bayinya pun berisiko kematian sebelum usianya
mencapai 1 tahun.
2. Kehamilan terlalu “telat”. Perempuan yang usianya sudah terlalu tua untuk
mengandung dan melahirkan memiliki risiko tinggi, khususnya bila ia
mempunyai problema-problema kesehatan lain atau sudah terlalu sering hamil
dan melahirkan.
3. Kehamilan-kehamilan terlalu dekat jaraknya. Kehamilan dan persalinan
menuntut banyak energi dan kekuatan tubuh perempuan. Jika belum pulih dari
satu persalinan tapi sudah hamil lagi, maka tubuhnya tak sempat memulihkan
kebugaran, sehingga berbagai masalah dan risiko bahaya kematian akan
menghadang.
4. Terlalu sering hamil dan melahirkan. Perempuan yang sudah punya lebih dari
4 anak akan dihadang bahaya kematian akibat pendarahan hebat dan macam-
macam kelainan lain, bila terus hamil dan bersalin.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Persepsi Budaya Terhadap Penyebab Penyakit dan Penanganannya


Konsep penyebab penyakit dapat diinterpretasikan berbeda berdasarkan
keragaman budaya karena adanya perbedaan pemahaman dan pengetahuan
sehingga seseorang berdasarkan kebudayaannya dapat menentukan penyebab sakit
secara berbeda. Konsep demikian sangatlah erat hubungannya dengan pandangan
dasar dari kebudayaan terkait dengan unsur-unsur religi, sosial, ekonomi, dan
sistem pengetahuan, yang akhirnya mewujudkan perilaku dalam penanganan
masalah kesehatan. Persepsi masyarakat mengenai penyebab penyakit berbeda
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, tergantung dari kebudayaan yang
ada dan berkembang di masyarakat tersebut. Persepsi penyebab penyakit yang
berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih ada di masyarakat yang
dipercayai turun temurun dari satu generasi ke generasi dan bahkan dapat
berkembang luas.
Beberapa masyarakat tradisional di Papua mengkonsepsikan sakit sebagai
gangguan keseimbangan fisik apabila masuknya kekuatan alam melebihi kekuatan
manusia dengan berbagai penyebab, antara lain karena adanya gangguan roh jahat,
dewa, pengaruh lingkungan alam, serta melanggar pantangan secara adat. Jadi
untuk hidup sehat, berarti harus menghindari semua pantangan, menjaga
keseimbangan dengan alam, serta bisa menghindari tempat-tempat keramat atau
tempat roh-roh dengan sengaja. Suku Moi mempersepsikan sakit disebabkan oleh
roh yang merusak, sehingga masyarakat dilarang menghampiri tempat-tempat
seperti keramat, kuburan, hutan larangan, dan sebagainya. Suku Biak menilai
bahwa penyakit disebabkan kekuatan yang kirimkan orang lain melalui kekuatan
gaib berupa tenung atau black magic karena kedengkian. Untuk penyembuhannya,
biasanya mereka mencari pengobatan dengan langsung pergi ke dukun, atau melalui
dukun untuk mengembalikan kekuatan tersebut dengan menggunakan mantera
(Wambrauw,1994 dalam Dumatubun, 2002). Suku Marind-Anim dan Amungme
berpandangan bahwa penyakit akan datang bila tidak ada keseimbangan antara
lingkungan hidup (alam) dengan manusia, sehingga supaya sehat mereka harus bisa
menjaga alam dengan baik. Pada beberapa suku lainnya mempersepsikan penyakit
disebabkan karena melanggar pantangan-pantangan seperti pantangan makanan
atau pantangan adat seperti belum melunasi mas kawin sehingga isteri menjadi
mandul.
Konsepsi budaya masyarakat juga terbentuk pada beberapa penyakit pada
bayi dan anak. Anak yang menderita sakit demam dan panas sering dipersepsikan
disebabkan oleh perubahan cuaca, terkena hujan, salah makan, atau masuk angin.
Masyarakat kabupaten Indramayu menyebut sakit demam panas dengan nama
“penyakit adem” meskipun gejalanya panas tinggi, dengan maksud agar panas bayi
atau anak segera turun. Penanganan atau pengobatan yang biasa dilakukan adalah
dengan cara mengompres dengan es, oyong, labu putih yang dingin, atau membeli
obat influensa.
Pada bayi atau anak yang menderita diare (mencret) kadang dipersepsikan
masyarakat sebagai pertanda bahwa anak akan meningkat kepandaiannya seperti
tengkurap, menungging atau berjalan. Selain itu juga sering dipersepsikan disebab
karena susu ibu basi, susu encer, salah makan, makan kacang terlalu banyak, makan
makanan pedas, makan udang, ikan, dan lain-lain. Upaya penanggulangan awal
yang dilakukan masyarakat biasanya menggunakan obat tradisional seperti pucuk
daun jambu yang dikunyah ibunya lalu diberikan kepada anaknya (di Bima, NTB),
dan obat lainnya seperti Oralit, Larutan Gula Garam (LGG), dan lain-lain.
Beberapa masyarakat tradisional menyatakan bahwa sakit panas dan kejang-
kejang pada anak disebabkan oleh hantu seperti di Sukabumi disebut hantu gegep
dan di Sumatra Barat disebut hantu jahat. Pengobatan biasanya dilakukan dengan
membawa ke dukun atau orang yang pintar pijat atau urut anak, Di Indramayu, anak
yang kejang diobati ke dukun atau memasukkan bayi ke bawah tempat tidur yang
ditutupi jaring. Kemudian pada anak dengan penyakit campak dianggap karena
anak terkena panas dalam atau karena anak dimandikan saat panas terik, atau juga
karena kesambet. Di Indramayu, ibu-ibu mengobatinya dengan membalur anak
dengan asam kawak, meminumkan madu dan jeruk nipis atau memberi daun suwuk,
yang menurut kepercayaan masyarakat setempat akan dapat mengisap penyakit.
Persepsi masyarakat tentang penyakit malaria di beberapa daerah di Papua
disebabkan karena pelanggaran terhadap penguasa gaib yang memiliki hutan seperti
menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain, sehingga dihukum
berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit
tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian
memetik daun dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk diminum dan dioleskan ke
seluruh tubuh sehingga dalam beberapa hari penderita akan sembuh. Di sebagian
penduduk Jawa, penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara menyiramkan
air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun atau pemuka masyarakat
di malam hari.
3.2 Persepsi Budaya Terhadap Kehamilan dan Persalinan
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
selain untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin juga mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian ketika persalinan. Fakta bahwa masih banyak kalangan
masyarakat di Indonesia yang menganggap kehamilan sebagai hal biasa, alamiah
dan kodrati, sehingga merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke
bidan atau dokter. Rendahnya kesadaran sebagian ibu-ibu akan pentingnya
pemeriksaan kehamilan menyebabkan faktor-faktor resiko tinggi tidak terdeteksi,
dan baru diketahui saat persalinan sehingga terlambat yang membawa akibat fatal
hingga kematian. Banyak faktor yang menjadi penyebab masih rendahnya
kesadaran ibu-ibu dalam perawatan kehamilan diantaranya rendahnya tingkat
pendidikan, kurangnya pengetahuan tentang pentingnya perawatan kehamilan,
kurangnya informasi, dan lain sebagainya termasuk adanya keyakinan dan
kepercayaan sebagai wujud dari konsepsi budaya yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip kesehatan (Maas, 2004).
Dalam konteks budaya, pada masa kehamilan hingga masa nifas, ibu-ibu
harus mengikuti serangkaian upacara dengan tujuan untuk mencari keselamatan
bagi ibu dan bayi (Swasono,1998). Ibu hamil juga harus menjalani tradisi pantang
makanan tertentu yang mengakibatkan kurang mengkonsumsi makanan tinggi
protein (Foster, 1986). Selain itu, posisi ibu adalah lemah karena tidak memiliki
kekuasaan dan pengambilan keputusan dalam menentukan seberapa banyak dan
seberapa sering anak dilahirkan, pada siapa dan dimana melakukan persalinan
(Iskandar, 1996).
Masyarakat suku-suku di Papua menganggap tanah adalah rahim ibu dan
tempat tinggal arwah nenek moyang (Erari, 1999), oleh karena itu, mereka percaya
bahwa penggalian batu tambang adalah proses pembunuhan ibu kandung yang
mengakibatkan banyak ibu-ibu mengalami kesulitan dalam persalinan sehingga
bayi yang dilahirkan akan cacat dan mati (Dianto, 1998). Di samping itu, budaya
Papua melarang ibu-ibu yang hamil muda (di bawah 5 bulan) untuk bekerja keras
karena dapat menyebabkan keguguran, tetapi pada usia kehamilan 5 bulan ke atas
dengan bekerja keras dinilai dapat memperlancar proses persalinan. Dengan
konsepsi budaya yang diyakini ini maka ibu-ibu tetap pergi ke hutan dan pantai
meski sudah mendekati persalinan. Dan karena keyakinan ini pula perempuan
Papua tidak merasa khawatir meskipun tidak memiliki persiapan bersalin dan jauh
dari petugas kesehatan. Kondisi ini dapat mengalami berbagai risiko persalinan
tanpa pertolongan yang terjadi di sembarang tempat (Doyal, 1997).
Permasalahan terkait konsepsi budaya masyarakat yang cukup besar
pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi, dimana masih ditemukan
kepercayaan berupa pantangan- pantangan terhadap beberapa jenis makanan
tertentu bagi ibu hamil. Kondisi ini tentunya akan berdampak negatif terhadap
kesehatan ibu dan janin karena tubuh kekurangan zat makanan yang sebenamya
sangat dibutuhkan oleh seorang wanita hamil, sehingga tidak heran jika wanita
hamil Indonesia menderita anemia dan kurang gizi yang cukup tinggi terutama di
daerah pedesaan.
Di banyak daerah di Indonesia, ibu-ibu yang kehamilannya memasuki 8-9
bulan harus mengurangi makan agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah
dilahirkan. Di Jawa Tengah, masih ada kepercayaan masyarakat bahwa ibu hamil
pantang makan telur dan daging karena telur diyakini mempersulit persalinan dan
daging akan menyebabkan banyak perdarahan. Sementara pada masyarakat Betawi
juga berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena
dianggap menyebabkan ASI menjadi asin.
Konsepsi budaya masyarakat daerah Subang melarang ibu hamil makan
dengan menggunakan piring yang besar karena khawatir bayinya juga akan besar
sehingga mempersulit persalinan. Selain itu, larangan memakan buah-buahan
seperti pisang, nenas, ketimun dan lain-lain bagi wanita hamil juga masih dianut
beberapa kalangan masyarakat terutama di daerah pedesaan (Wibowo, 1993).
Penduduk suku Kamoro di Papua mempercayai berbagai jenis makanan pantang
yang hampir semuanya mengandung protein tinggi, seperti ikan belut dipercayai
menyebabkan bayi cacat, burung kasuari dapat membuat mata bayi kerjap-kerjap,
penyu dapat membuat jari tangan dan kaki bayi seperti jari kura-kura, dan kelapa
putih dapat membuat tubuh bayi besar (Terry, 1983).
Budaya pantang pada ibu hamil sebenarnya justru merugikan kesehatan ibu
hamil dan janin yang dikandungnya. Ibu hamil yang dilarang makan telur, daging
dan berbagai pantangan makanan lainnya akan menyebabkan ibu hamil kekurangan
gizi seperti anemia dan kurang energi kronis (KEK). Kondisi ini bisa
mengakibatkan ibu mengalami pendarahan saat persalinan dan bayi yang dilahirkan
memiliki berat badan rendah (BBLR) yaitu kurang dari 2.500 gram yang tentunya
sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.
Selanjutnya memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis
bagi ibu hamil dengan peran sejumlah faktor yaitu ada tidaknya faktor resiko
kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan akses dan
ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan, hingga sikap
keluarga dalam menghadapi keadaan kondisi gawat yang kesemua faktor-faktor
tersebut dipengaruhi oleh aspek budaya di masyarakat.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun
beranak sebagai penolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data SDKI
tahun 2012 menunjukkan walaupun proporsi kelahiran yang ditolong oleh dukun
bayi sudah menurun dibanding tahun 2007, namun dukun bayi masih berperan
penting dalam menolong persalinan, terutama di daerah perdesaan (20%), pada ibu
yang tidak pernah sekolah (34%), pada ibu dengan paritas tinggi (30%), dan ibu
dari kelompok keluarga miskin (32%). Beberapa penelitian pernah dilakukan dan
mengungkapkan masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat
membahayakan sang ibu.
Penelitian Iskandar (1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek dukun
yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" yaitu membasahi vagina dengan
minyak kelapa untuk memperlancar persalinan; "kodok" yaitu memasukkan tangan
ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta; atau "nyanda" yaitu
setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan
selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan.
Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya
disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah,
mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran
anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya
keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak
dukun beranak yang dilatih, namun praktek-praktek tradisional tertentu rnasih
dilakukan.
Meskipun ada larangan bagi ibu-ibu untuk pergi jauh dari rumah selama 1-
2 minggu setelah persalinan, namun kenyataannya ibu-ibu di beberapa penduduk
Papua sudah pergi ke hutan segera setelah lepas tali pusat bayi sekitar 6-7 hari
setelah persalinan. Budaya suku Bgu Pantai Utara Papua melakukan pesta adat
“anak turun” pada hari ke 8 setelah persalinan sebagai tanda ibu sudah bebas pergi
ke hutan lagi (Koentjaraningrat, 1984). Dalam kurun waktu tersebut, tentunya
sangat singkat bagi pemulihan kesehatan ibu dan kebutuhan bayi karena tubuh ibu
masih lemah akibat persalinan, rahim (uterus) belum kembali normal dan bayipun
masih sangat membutuhkan ibu secara fisik terutama ASI dan kebutuhan secara
psikologis. Kondisi ini dapat mengakibatkan perdarahan, prolapsus uteri, berbagai
penyakit karena kelemahan fisik ibu dan penyaki pada bayi (Mohamad, 1998).
Sama halnya pada masa kehamilan, pantangan-pantangan atau anjuran juga
berlaku pada masa pasca persalinan yang biasanya terkait dengan proses pemulihan
kondisi fisik, misalnya adanya makanan tertentu yang baik dikonsumsi untuk
memperbanyak produksi ASI dan makanan tertentu yang dilarang karena dianggap
dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang
dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan
ibu, misalnya dengan “urut perut” bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi
awal; memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan ke dalam vagina untuk
membersihkan darah dan cairan karena proses persalinan, atau memberi jamu
tertentu untuk memperkuat tubuh sang ibu (Iskandar, 1996).

3.3 Persepsi Budaya Terhadap Keluarga Berencana


Banyak penelitian yang menunjukkan kondisi variatif dari nilai-nilai budaya
di masyarakat, baik yang mendukung maupun yang menghambat program Keluarga
Berencana. Nilai budaya masyarakat patrilineal memungkinkan kaum perempuan
berada pada subordinasi sehingga pengambilan keputusan didominasi oleh kaum
pria berdasarkan kekuatan dan kekuasaan materi (Asan, 2007; Dharmalingam dan
Morgan, 1996 dalam Wirawan, 2007). Hal ini memberikan konsepsi nilai bahwa
KB dan kesehatan reproduksi merupakan urusan perempuan saja karena mereka
yang mengalami kehamilan dan melahirkan (BKKBN, 2007; Sumadi, 2007).
Budaya di beberapa kelompok masyarakat juga memberi nilai bagi jenis
kelamin anak tertentu baik laki-laki ataupun perempuan, sehingga memungkinkan
satu keluarga memiliki anak yang banyak (Siregar, 2003). Di Alor Provinsi Nusa
Tenggara Timur, jika hanya memiliki anak laki-laki, dipahami nilai ekonomis
keluarga akan berkurang karena tidak memiliki tenaga kerja perempuan dan justru
akan menjadi beban karena harus menyiapkan “belis” (semacam mas kawin) jika
anak tersebut menikah. Sebaliknya, jika hanya memiliki anak perempuan saja,
dinilai akan memutuskan tali silsilah keluarga karena sang anak akan ikut marga
suami dan akan pindah ke rumah mertuanya. Hal ini mengakibatkan keluarga
cenderung tetap ingin melahirkan anak meskipun telah memiliki 4 atau 5 orang anak
laki-laki saja atau sebaliknya (Febriani, 2012). Fatalnya, akibat lainnya jika
keinginan tersebut tidak terpenuhi adalah kemungkinan terjadinya perceraian dalam
keluarga, sehingga dinilai tidak menguntungkan dan bertentangan dengan
kemanusiaan (Siregar, 2003).
Pandangan “banyak anak banyak rejeki” juga merupakan nilai budaya yang
dapat menghambat program KB dan kesehatan reproduksi. Di wilayah pedesaan,
anak memiliki nilai tinggi bagi keluarga karena dinilai akan mampu memberikan
kebahagiaan kepada orang tuanya sebagai jaminan di hari tua dan dapat membantu
ekonomi keluarga, sehingga masyarakat masih berpandangan “banyak anak banyak
rejeki”. Studi dari proyek VOC (Value Of Children) menemukan keluarga yang
tinggal di pedesaan di Taiwan, Philipina dan Thailand mempunyai anak yang
banyak dengan alasan bahwa anak memberikan keuntungan ekonomi dan rasa aman
bagi keluarganya (Siregar, 2003). Studi Koesnoe seperti dikutip Siregar (2003)
menemukan bahwa petani yang memiliki tanah luas akan mencari anak angkat
sebagai tambahan tenaga kerja.
Faktor budaya di masyarakat juga memiliki pengaruh terhadap rendahnya
partisipasi pria dalam KB (Endang, 2002). Adanya pandangan masyarakat bahwa
metode kontrasepsi pria “vasektomi” menghilangkan kejantanan pria (impoten)
sehingga mengganggu keharmonisan keluarga (Budisantoso, 2009).
Berdasarkan unsur religi sebagai salah satu pembentuk konsepsi budaya,
beberapa masyarakat menolak program KB karena dinilai bertentangan dengan
ajaran agama. Studi kualitatif yang dilakukan Zaeni (2006) di Jawa Tengah
mengemukakan adanya pendapat tokoh agama setempat bahwa KB hukumnya
“mutasyabihat” yaitu bersifat samar-samar (tidak halal tetapi juga tidak haram)
sehingga berdampak pada penolakan masyarakat terhadap program KB. Tokoh
masyarakat di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan belum bisa menerima metode
kontrasepsi pria khususnya MOP dengan alasan tidak diperbolehkan agama
(Endang, 2002). Febriani (2012) menyimpulkan bahwa daerah berpenduduk
mayoritas beragama Islam dan Kristen masih memiliki keraguan dalam
melaksanakan KB karena dinilai bertentangan dengan ajaran agama yaitu diyakini
dapat merusak organ tubuh yang telah sempurna diberikan oleh Tuhan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Konsep penyebab penyakit dipersepsikan dan diinterpretasikan masyarakat
secara berbeda berdasarkan keragaman budaya masyarakat yang membentuk
perilaku dalam penanganan masalah kesehatan (penyakit).
2. Banyak faktor penyebab dari rendahnya kesadaran ibu-ibu dalam perawatan
kehamilan, salah satunya adalah keyakinan dan kepercayaan masyarakat sebagai
wujud konsepsi budaya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan pada
masa kehamilan dan persalinan.
3. Nilai-nilai budaya masyarakat di daerah bervariasi dalam mengkonsepsikan
program Keluarga berencana (KB) baik mendukung ataupun menghambat program
Keluarga Berencana.

4.2 Saran
Peran kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat sangat penting dalam
membentuk, mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu
suatu kelompok sosial untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan. Oleh karena
itu, dipandang perlu membudayakan nilai-nilai yang mendukung peningkatan
kesehatan dan secara perlahan-lahan merubah nilai-nilai budaya yang merugikan
kesehatan. Hal ini hendaknya dilakukan melalui upaya komunikasi, informasi dan
edukasi kepada masyarakat secara intensif dan komprehensif guna menyelaraskan
nilai budaya yang sesuai dan mendukung kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Asan, A., 2007. Hak Reproduksi Sebagai Etika Global dan Implementasinya dalam
Pelayanan KB/KR di NTT.

BKKBN, 2007. Gender dalam Program KB dan KR. http://www.bkkbn.go.id. diakses 12


Maret 2018.

-----------, 2015, Rencana Strategis Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana


Nasional Tahun 2015-2019, Jakarta.

Budisantoso, S., 2009, Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Kecamatan Jetis
Kabupaten Bantul, Universitas Diponegoro, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia 4 (2) :
103-115.

Dianto, Bachriadi. 1998. Merana di Tengah Kelimpahan. Jakarta: Elsam, 125- 128.

Doyal, Lesley. 1997. In Sickness and in Health. Kuala Lumpur: WHO ARROW, 46-50.

A.E. Dumatubun. 2002. Kebudayaan, Kesehatan Orang papua dalam Perspektif


Antropologi Kesehatan. Antropologi Papua (ISSN: 1693-2099) Volume 1. No. 1, Agustus
2002.

Endang, 2002. Buku Sumber Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi, Gender, dan
Pembangunan Kependudukan. BKKBN & UNFPA. Jakarta.

Erari, Karel Phil. 1999. Tanah Kita, Hidup Kita. Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan.

Febriani, E., 2012, Laporan Analisa Situasi Program KB di Kabupaten, Jakarta.

Foster, George M. 1986. Antropologi Kesehatan. terjemahan Priyanti Pakan & Meutia
Hatta S., Jakarta: UI Press, 298-304.

http://duniabaca.com. diakses tanggal 12 Maret 2018.

https://id.wikipedia.org. diakses tanggal 12 Maret 2018.

http://muhamadganifharuman.blogspot.com. diakses tanggal 12 Maret 2018.

https://yanuirdianto.wordpress.com. diakses tanggal 12 Maret 2018.

Iskandar, Meiwita B. 1996. Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok.
Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Khasanah, Nur. 2011. Dampak Persepsi Budaya terhadap Kesehatan Reproduksi Ibu dan
Anak di Indonesia. Muwazah, Vol. 3, No. 2.

Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: FE UI.

Maas, Linda T. 2004. Kesehatan Ibu dan Anak: Persepsi Budaya dan Dampak
Kesehatannya.
Manuaba. 2010. Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta: EGC.

Mohamad, Kartono. 1998. Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 154-155.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar budaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya,
hal.25.

Notoatmodjo, S., 2014, Ilmu Perilaku Kesehatan, Cetakan ke-2, Rineka Cipta. Jakarta.

Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta;


2009.

Saifuddin. 2010. Ilmu Kebidanan, edisi.4. Jakarta: Bina Pustaka.

Siregar, F., 2003. Pengaruh Nilai dan Jumlah Anak pada Keluarga terhadap Norma
Keluarga Kecil, Bahagia, dan Sejahtera. http://library.usu.ac.id. diakses 12 Maret 2018.

Soejoeti diakses dari https://datastudi.wordpress.com. tanggal 12 Maret 2018

Sumadi, 2007. Profil Paguyuban KB Pria Prio Utomo Ngudi Raharjo dukuh Brajan Desa
Senden Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Paguyuban KB Prio Utomo “Ngudi
Raharjo”. Senden.

Swasono, Meutia Farida. 1998. Beberapa Aspek Sosial Budaya Kehamilan, Kelahiran serta
Perawatan Ibu. Jakarta: UI Press.

Terry, Rambo A. Conceptual Approaches to Human Ecology. Honolulu: East-West


Center.

Wirawan, I., 2007. Status Wanita dalam Perspektif Kajian Studi Kependudukan. Jurusan
Sosiologi FISIP Universitas Airlangga. Surabaya.

Zaeni, A., 2006. Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana di Kabupaten


Batang Studi Kasus Peningkatan Kesertaan KB Pria di Kecamatan Gringsing.
http://eprints.undip.ac.id. diakses 12 Maret 2018.

Anda mungkin juga menyukai