Anda di halaman 1dari 33

KONSEP DARI MASYARAKAT DAN KONSEP WUJUD

BUDAYA

Makalah Ini Dikerjakan Untuk Memenuhi Tugas Antropologi Gizi


Dosen Mata Kuliah :
Yuli Dwi Setyowati, M.Si

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
1. LENI MARLINA 1605025138
2. TIYAS AYU 1605025087
3. TETI WINARTI 1605025133
4. SHANIA MAUREEN 1605025146
5. ATI SHOLIHAT 1605025136
6. RAHAYU FITRIA 1605025085
7. MEUTHIA HASAN 1605025100

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas nikmat dan karunia Allah Subhanahu
Wata’ala sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep
dari Masyarakat dan Konsep dari Budaya” dengan sebaik-baiknya.
Penyusunan makalah ini atas dasar untuk memenuhi tugas mata kuliah
Antropolgi Gizi. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
sudah terlibat dalam pembuatan makalah ini senhingga dapat selesai tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
sehingga sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak demi peningkatan mutu makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ....................................................................................... 2
C. TUJUAN ................................................................................................................ 3
BAB II ..................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4
A. KONSEP MASYARAKAT ................................................................................... 4
1. Definisi Masyarakat ........................................................................................... 4
2. Unsur-Unsur Masyarakat ................................................................................... 6
B. KONSEP DAN WUJUD BUDAYA ................................................................... 12
1. Konsep Budaya ................................................................................................. 12
2. Unsur-Unsur Kebudayaan ................................................................................ 13
3. Wujud Budaya .................................................................................................. 14
4. Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat .............................................................. 14
5. Akulturasi Kebudayaan dalam Masyarakat ...................................................... 15
C. MAKANAN DALAM KONTEKS BUDAYA ................................................... 16
1. Kebudayan Menentukan Makanan ................................................................... 17
2. Nafsu Makan dan Lapar ................................................................................... 18
D. FAKTOR-FAKTOR PENGAMBIL KEPUTUSAN MAKAN
MAYARAKAT DIPENGARUHI OLEH BUDAYA DI INDONESIA ..................... 19
1. Fungsi Sosial Makanan .................................................................................... 19
2. Ketersediaan Bahan Makanan ............................................................................ 20
3. Konsumsi Makanan Pokok .................................................................................. 20
BAB III ................................................................................................................. 26
PENUTUP ............................................................................................................. 26
A. KESIMPULAN .................................................................................................... 26
B. SARAN ................................................................................................................ 27

ii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang memiliki naluri untuk
hidup dengan lainnya. Naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain
disebut gregariousness sehingga manusia disebut social animal (hewan sosial),
karena sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua kecenderungan pokok,
yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu
masyarakat), dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam
sekelilingnya.
Manusia dan kebudayaan tidak dapat terpisahkan, secara bersama-sama
menyusun kehidupan. Manusia menghimpun diri menjadi satuan sosial-budaya,
menjadi masyarakat. Masyarakat manusia melahirkan, menciptakan,
menumbuhkan, dan mengembangkan kebudayaan, tidak ada manusia tanpa
kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Selain dengan
kebudayaan, manusia juga tidak dapat terpisahkan dengan makanan. Makanan
sangatlah penting untuk manusia sebagai sistem pertahanan hidup. Pemilihan
makanan dapat dilihat dari beberapa aspek, salah satunya merupakan aspek
kebudayaan, sehingga atara manusia kebudayaan dan pemilihan makanan tidak
dapat dipisahkan. Masyarakat adat dengan kebudayaan yang dimilikinya
cenderung mampu mengaplikasikan fungsinya dalam wujud system budaya dan
juga dalam bentuk aktifitas atau tradisi ritual yang mengandung nilai bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat adat itu sendiri.
Para Ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu
kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan,
kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahayul-
tahayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan
sebagai suatu kategori budaya yang penting. Dan, sebagai suatu kategori budaya
yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan
dengan banyak kategori budaya lainnya. Meskipun mereka mengakui bahwa
makanan adalah yang utama bagi kehidupan, yaitu diatas segalanya merupakan

1
suatu gejala fisiologi, para ahli antropologi budaya paling sedikit menaruh
perhatian khusus terhadap peranan makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan
ekspresif yang memperkuat kembali hubungan-hubungan sosial, sanksi-sanksi,
kepercayaan-kepercayaan dan agama, menentukan banyak pola ekonomi dan
menguasai sebagian besar dari kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,
sebagaimana halnya dengan sistem medis yang memainkan peranan dalam
mengatasi kesehatan dan penyakit, demikian pula kebiasaan makan memainkan
peranan sosial dasar yang jauh mengatasi soal makanan untuk tubuh manusia
semata-mata.
Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai suatu proses penilaian dan
pemilihan dari berbagai alternatif sesuai dengan kepentingan – kepentingan
tertentu dengan menetapkan suatu pilihan yang dianggap paling menguntungkan.
Proses pemilihan dan penilaian itu biasanya diawali dengan mengidentifikasi
masalah utama yang mempengaruhi tujuan, menyusun, menganalisis, dan memilih
berbagai alternatif tersebut dan mengambil keputusan yang dianggap paling baik
(Amirullah, 2002). Banyak kepercayaan masyarakat yang dihubungkan dengan
hakekat sumber-sumber makanan secara magic dan semimagic yang dikarak
teristikkan rasional dibalik praktek makan semua orang. Beberapa makanan
mengacu pada prestise (roti putih dan beras halus); yang lainnya, keamanan
(misalnya beras di Asia), dan lainnya sebagai identifikasi kelompok (makanan
“etnik”) (Jerome, 1970). Larangan-larangan makan dapat dipandang sebagai
sebuah ekspresi dari hukum moral Tuhan (larangan Islam terhadap memakan
daging babi, daging anjing, darah, dsb).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan konsep dari masyarakat ?
2. Apa saja unsur-unsur dalam masyarakat?
3. Apa yang dimaksud dengan konsep dan wujud budaya?
4. Apa saja unsur-unsur dalam kebudayaan?
5. Apa saja fungsi kebudayaan bagi masyarakat?
6. Bagaimana Akulturasi Kebudayaan dalam Masyarakat?

2
7. Bagaimana pengambilan keputusan makan masyarakat yang dipengaruhi
oleh budaya di Indonesia?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep dari masyarakat
2. Untuk mengetahui konsep dan wujud budaya
3. Untuk mengetahui pengambilan keputusan makan masyarakat yang
dipengaruhi oleh budaya di Indonesia

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP MASYARAKAT
1. Definisi Masyarakat
Masa era globalisasi seperti sekarang ini, hampir tidak ada ilmu
pengetahuan yang lepas sama sekali dari keterlibatan atau campurtangan ilmu
pengetahuan lain, terutama dalam rangka menciptakan, membangun dan
meningkatkan stabilitas masyarakat. Para ahli pada umumnya telah semakin
menyadari betapa pentingnya hubungan antar bidang ilmu dalam membantu,
mempertajam analisisnya terhadap peristiwa khususnya dalam kehidupan
masyarakat.
Masyarakat berasal dari bahasa arab yaitu musyarak. Masyarakat
memiliki arti sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup
atau terbuka. Masyarakat terdiri atas individu-individu yang saling
berinteraksi dan saling tergantung satu sama lain atau disebut zoon polticon.
Dalam proses pergaulannya, masyarakat akan menghasilkan budaya yang
selanjutnya akan dipakai sebagai sarana penyelenggaraan kehidupan bersama.
Oleh sebab itu, konsep masyarakat dan konsep kebudayaan merupakan dua
hal yang senantiasa berkaitan dan membentuk suatu system.
Masyarakat merupakan suatu system sosial yang berusaha mencapai
kebutuhan dalam melindungi kepentingan kesatuan yang secara terus
menerus berinteraksi dengan system yang lebih besar. Menurut para ahli
terdapat berbagai definisi tentang masyarakat yaitu ;
a. Linton (1936), masyarakat merupakan sekelompok manusia yang
telah lama hidup dan bekerja sama dalam mengorganisasikan diri
dan berpikir tentang diri nya sebagai kesatuan sosial dengan batas-
batas tertentu.
b. Mac Laver (1957), masyarakat adalah sekelompok manusia yang
mempunyai sifat ketergantungan dan kebudayaan bersama.
c. Soejono Soekanto (1982), masyarakat merupakan suatu komunitas
yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan batas-batas tertentu

4
yang pada dasarnya ada interaksi yang lebih besar dari anggota nya
dibandingkan dengan penduduk diluar batas wilayah.
d. Koentjaraningrat (1990), masyarakat merupakan sekumpulan
manusia yang berinteraksi menurut adat istiadat tertentu yang
bersifat kontiyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Masyarakat juga memiliki ide-ide serta gagasan yang dimiliki oleh
masing-masing individu, yang dapat merubah sebuah nasib mereka untuk
mendapatkan kebebasan berfikir dalam memajukan Desa, budaya,
pendidikan, agama, polotik, sosial, serta yang lainnya.
Adapun Ciri-ciri masyarakat dalam satu bentuk kehidupan bersama
menurut Soejono Soekarto antara laian adalah sebagai berikut:
a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran
yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa
jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka
minimumnya adalah dua orang yang hidup bersama.
b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia
tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti
umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh dengan
berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusiamanusia baru.
Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti,
mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk
menyampaikan kesankesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai
akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan
timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar
manusia dengan kelompok tersebut.
c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.
d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan
mersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota
kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.

5
Kumpulan individu baru dapat disebut sebagai masyarakat jika
memenuhi empat syarat utama, yaitu :
1. Dalam kumpulan manusia harus ada ikatan perasaan dan
kepentingan.
2. Mempunyai tempat tinggal atas daerah yang sama dan atau
mempunyai kesatuan ciri kelompok tertentu.
3. Hidup bersama dalam jangka waktu yang cukup lama.
4. Dalam kehidupan bersama itu terdapat aturan-aturan atau hukum
yang mengatur prilaku mereka dalam mencapai tujuan dan
kepentingan bersama.
Empat syarat yang telah dijabarkan di atas, merupakan salah satu
cikalbakal dari terbentuknya masyarakat. Sebagaimana hubungan individu
dalam masyarakat yang pada hakekatnya merupakan hubungan fungsional,
sekaligus sebagai kolektivitas yang terbuka dan saling ketergantungan antara
satu sama lainnya. Individu dalam hidupnya senantiasa menghubungkan
kepentingan dan keputusannya pada orang lain.
2. Unsur-Unsur Masyarakat
Istilah paling lazim dipakai untuk menyebutkan kesatuan kelompok
manusia yaitu Masyarakat. Istilah-istilah lain untuk menyebut kesatuan-
kesatuan khusus yang merupakan unsur-unsur dari masyarakat yaitu kategori
sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok, dan perkumpulan.
a. Masyarakat
Seperti yang telah terurai, bahwa istilah yang paling lazim dipakai
untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan
ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari adalah Masyarakat. Dalam
bahasa Inggris dipakai istilah Society yang berasal dari kata Latin socius,
berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata arab
syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau
dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat
mempunyai prasarana agar warganya dapat saling berinteraksi.

6
Adanya prasarana untuk berinteraksi menyebabkan warga dari suatu
kelompok manusia itu saling berinteraksi. Sebaliknya, bila hanya adanya
suatu potensi untuk berinteraksi saja belum berarti bahwa warga dari suatu
kesatuan manusia itu benar-benar akan berinteraksi. Misalnya saja suku
bangsa Bali, mempunyai potensi untuk berinteraksi, yaitu bahasa Bali.
Namun, adanya potensi ittu saja tidak akan menyebabkan bahwa semua
orang Bali tanpa alasan mengembangkan aktivitas yang menyebabkan
suatu interaksi secara intensif diantara semua orang Bali tersebut.
Hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia yang
bergaul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu
masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus. Misalnya,
sekumpulan manusia yang menonton suatu pertandingan sepak bola, dan
sebenarnya kumpulan manusia penonton apapun juga tidak disebut
masyarakat. Sebaliknya, untuk sekumpulan manusia itu dipakai istilah
kerumunan.
Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu
masyarakat adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor
kehidupan dalam batas kesatuan. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap
dan kontinu dengan kata lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat
istiadat yang khas.
Selain ikatan adat istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan dan
kontinuitas waktu, warga suatu masyarakat harus juga mempunyai ciri
lain, yaitu suatu rasa identitas bahwa mereka memamng merupakan suatu
kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia.
Suatu Negara, suatu kota, atau suatu desa merupakan kesatuan
manusia yang memiliki empat ciri:
1) Interaksi antara warga-warganya
2) Adat-istiadat, norma, hukum dan aturan-aturan khas yang mengatur
seluruh pola tingkah laku warganya
3) Kontinuitas waktu
4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga.

7
Dalam bukunya, Azas-Azas Sosiologi guru besar ilmu sosiologi
Universitas Gadjah Mada, M.M. Djojodigeono, membedakan antara
konsep “masyarakat dalam arti yang luas dan sempit”. Berdasarkan konsep
tersebut dapat dikatakan bahwa Masyarakat Insonesia sebagai contoh
suatu “masyarakat dalam arti luas”. Sebaliknya, masyarakat yang terdiri
dari warga suatu kelompok kekerabatan seperti dadia, marga atau
suku,dianggap sebagai contoh dari suatu “masyarakat dalam arti sempit”.
b. Kategori Sosial
Masyarakat sebagai suatu kelompok manusia yang sangat umum
sifatnya, mengandung kesatuan-kesatuan yang sifatnya lebih khusus, tetapi
belum tentu mempunyai syarat pengikat yang sama dengan suatu
masyarakat. Kesatuan sosial yang tidak mempunyai syarat pengikat itu
serupa dengan kerumunan atau crowd. Kesatuan sosial itu adalah kategori
sosial.
Kategori sosial adalah kesatuan manusia yang terwujud karena adanya
suatu ciri atau suatu kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan
kepada manusia-manusia itu. Ciri objektif tersebut biasanya dikenakan
oleh pihak dari luar kategori sosial itu sendiri tanpa didasari oleh yang
bersangkutan, dengan suatu maksud praktis tertentu. Misalnya, bahwa
dalam masyarakat itu ada suatu kategori orang yang memiliki mobil, dan
suatu kategori orang yang tidak memilikinya, dengan maksud untuk
menentukan warga negara yang harus membayar sumbangan wajib dan
yang bebas dari sumbangan wajib tersebut.
Orang-orang dalam suatu kategori sosial, misalnya semua anak
dibawah umur 17 tahun, biasanya tidak ada suatu orientasi sosial yang
mengikat mereka. Mereka juga tidak memiliki potensi yang dapat
mengembangkan suatu interaksi diantara mereka sebagai keseluruhan.
Mereka juga tidak memiliki identitas ( merupakan hal yang logis karena
penggolongan kedalam suatu kategori sosial itu dilakukan oleh pihak luar
terhadap diri mereka, dengan ciri-ciri kriteria yang biasanya tidak mereka
sadari ). Suatu kategori sosial biasanya juga tidak terikat oleh kesatuan

8
adat, sistem nilai, norma tertentu. Suatu kategori sosial tidak mempunyai
lokasi, tidak mempunyai organisasi dan tidak mempunyai pimpinan.
c. Golongan Sosial
Suatu golongan sosial juga merupakan suatu kesatuan manusia yang
ditandai oleh suatu ciri tertentu. bahkan sering kali ciri itu dikenakan
kepada mereka oleh pihak luar kalangan mereka sendiri. Walaupun
demikian, suatu kesatuan manusia yang kita sebut golongan sosial
mempunyai ikatan identitas sosial. Hal itu disebabkan karena kesadaran
identitas itu tumbuh sebagai respon atau reaksi terhadap cara pihak luar
memandang golongan sosial tersebut. Mungkin juga karena golongan
tersebut terikat olej suatu sistem nilai, norma, dan adat istiadat tertentu.
Misalnya, ada konsep golongan pemuda. Golongan sosial ini terdiri dari
manusia yang oleh pihak luar disatukan berdasarkan atas suatu ciri yaitu
“sifat muda”. Namun, selain ciri obejktif tersebut, golongan sosial ini
digambarkan oleh umum sebagai :
1) Suatu golongan manusia yang penuh idealisme
2) Belum terikat oleh kewajiban-kewajiban hidup yang membebankan
sehingga masih sanggup mengabdi dan berkorban kepada
masyarakat
3) Penuh semangat dan vitalitas
4) Mempunyai daya memperbarui dan kreativitas yang besar dan
sebagainya.
Suatu golongan sosial yang terpandang dalam suatu masyarakat belum
tentu terpandang dalam masyarakat lain. “Golongan Pemuda” yang
merupakan golongan sosial yang terpandang dalam masyarakat Indonesia
belum tentu terpandang dalam masyarakat-masyarakat luar Indonesia,
Skandinavia misalnya. Sebagai contoh lain “Golongan Petani” yang
merupakan suatu golongan yang terpandang dalam negara-negara yang
ekonominya berdasarkan usaha agraria seperti Indonesia, sama sekali tidak
terpandang dalam masyarakat lain yang berdasarkan industri atau
perdagangan.

9
Suatu golongan sosial dapat juga timbul karena pandangan negatif
dari orang lain diluar golongan itu. Misalnya, golongan Negro atau Blakes
dalam masyarakat negara Amerika Serikat, disebabkan karena ciri-ciri
khas ras yang tampak lahir secara mencolok dan membedakan mereka dri
warga negara Amerika Serikat lainnya yang mempunyai ciri-ciri ras
Kausasoid. Sebagai suatu golongan sosial dalam masyarakat neraga
Amerika Serikat mereka tidak mempunyai adat istiadat dan sistem norma
khusus dan berbeda dari golongan lain.kalaupun ada sifat khusus,
pembedanya hanyalah bersifat minim dan disebabkan karena banyak
diantara Blakes di Amerika Serikat itu termasuk golongan miskin sehingga
kekhususan tadi disebabkan karena gaya hidup mereka yang miskin.
Biasanya berbeda-beda menurut garis-garis ideologinya yang khusus pula,
seperti ideologi agama tertentu, ideologi nasional, ideologi internasional,
tetapi biasanya dalam suatu masyarakat tidak ada suatu sistem jaringan
untuk semua pemuda yang hanya berdasarkan ciri-ciri pemuda.
d. Kelompok dan Perkumpulan
Suatu kelompok atau group juga merupakan suatu masyarakat karena
memenuhi syarat-syaratnya, dengan adanya sistem interaksi antara para
anggota, dengan adanya adat istiadat serta sistem norma yang mengatur
interaksi itu, dengan adanya kontinuitas, serta dengan adanya rasa identitas
yang mempersatukan semua anggota. Namun, selain ketiga ciri tersebut,
suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri
tambahan, yaitu organisasi dan sistem pimpinan, dan selalu tampak
sebagai kesatuan dari individu-individu pada masa-masa yang secara
berulang berkumpul dan kemudian bubar lagi. Walaupun kelompok
maupun perkumpulan memiliki keempat syarat pengikat dasar dari suatu
masyarakat, namun hanya kelompoklah yang dapat disebut sebagai
masyarakat.
e. Beragam Kelompok dan Perkumpulan
Jumlah kelompok dan perkumpulan dalam suatu masyarakat sudah
tentu sangat banyak. Semakin besar dan kompleks sifat masyarakat itu,

10
maka semakin banyak juga jumlah kelompok dan perkumpulan yang ada
di dalamnya.
Terdapat kelompok yang terikat oleh hubungan keturunan atau
kekerabatan. Kelompok semacam itu dapat berwujud besar seperti suatu
marga Batak yang terdiri dari beribu-ribu warga, tetapi bisa juga hanya
terdiri dari sub-marga. Contoh lain adalah kelompok yang terdiri dari
sekelompok anak remaja, sekelompok tetangga yang sering saling bergaul,
sekelompok awak kapal di suatu kapal nelayan Bugis dan sebagainya.
Perkumpulan dapat dikelaskan berdasarkan prinsip guna dan
keperluannya atau fungsinya. Dengan demikian, terdapat perkumpulan-
perkumpulan yang gunanya untuk keperluan mencari nafkah, untuk
melaksanakan suatu mata pencaharian hidup atau memproduksi barang,
intinya untuk keperluan ekonomi. Perkumpulan-perkumpulan semacam itu
misalnya suatu perkumpulan dagang, suatu koperasi, suatu perseroan,
suatu perusahaan dan sebagainya.
f. Ikhtisar mengenai Beragam Wujud Kesatuan Manusia
Istilah “masyarakat” dipakai untuk menyebut dua wujud kesatuan
manusia, yaitu “komunitas” (yang menekankan pada aspek lokasi hidup
dan wilayah) dan konsep “kelompok” (yang menekankan pada aspek
organisasi dan pimpinan dari suatu kesatuan manusia). Adapun tiga wujud
kesatuan manusia (yaitu kerumunan, kategori sosial, dan golongan sosial)
tidak dapat disebut “masyarakat”. Hal itu karena ketiganya tidak
memenuhi ketiga unsur yang merupakan syarat konsep “masyarakat”.
Sedangkan “perkumpulan” lazimnya juga tidak disebut demikian,
walaupun memenuhi syarat.
g. Interaksi Antarindividu dalam Masyarakat
Interaksi terjadi apabila seorang individu dalam masyarakat berbuat
sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu respons atau reaksi dari
individu-individu lain. Dalam hal menganalisis proses interaksi antara
individu dalam masyarakat, perlu membedakan dua hal, yaitu kontak dan
komunikasi.

11
B. KONSEP DAN WUJUD BUDAYA
1. Konsep Budaya
Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata budhayyah (Bahasa sanskerta)
yang merupakan bentuk jamak dari ‘buddhi’, yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal. Ada pendapat lain yang mengatakan budaya sebagai suatu
perkembangan dari majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi, karena
itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Jadi, budaya berupa cipta,
karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan berupa hasil dari cipta, karsa, dan
rasa. Adapun istilah culture yang sama artinya dengan kebudayaan yang
berasal dari kata lain colere yang artinya mengolah atau mengerjakan,
sehingga culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk
mengolah dan mengubah alam.
Ada beberapa definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli
yaitu :
a. Koentjaraningrat; Kebudayaan merupakan suatu system gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka memenuhi
kehidupan masyarakat
b. E.B.Taylor; Kebudayaan merupakan suatu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiradat, kemampuan,
dan kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
c. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi; Kebudayaan
merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
d. Dewantara; Kebudayaan merupakan buah budi manusia dalam
hidup bermasyarakat.
e. C. Kluckhon & Kelly; Kebudayaan merupakan pola hidup yang
tercipta dalam sejarah yang ekspisit, implisit, rasional, irasional,
dan non rasional yang terdapat dalam setiap waktu sebagai
pedoman yang potensial bagi perilaku manusia.

12
Dari berbagai definisi tersebut, kebudayaan dapat diartikan sebagai
hasil karya, rasa, dan cipta manusia berupa buah pikiran, gagasan, norma, ide,
aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Isi utama kebudayaan adalah segala macam ide dan gagasan manusia
yang banyak timbul dalam masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat.
Isi utama kebudyaan adalah :
a. System pengetahuan merupakan system perencaaan untuk
menyimpulkan gagasan dari hasil pengamatan alat indera.
b. Nilai merupakan kumpulan dari semua sikap danperasaan yang
selalu diperlihatkan melalui perilaku manusia tentang baik buruk,
benar salah terhadap objek material atau non material.
c. Pandangan hidup merupakan system pedoman yang dianut oleh
golongan atau individu tertentu dalam masyrakat.
d. Religi atau agama merupakan gagasan yang berkaitan dengan
kenyataan yang tidak dapat ditentukan secara empirik atau
keyakinan manusia pada Tuhan dan Tuhan merupakan sumber
keselamatan sejati bagi manusia.
e. Persepsi merupakan pandangan seseorang yang bersifat individu
terhadap masalah yang berkaitan dengan keadaan yang terjadi di
masyarakat.
f. Etos merupakan watak khas dari suatu kebudayaan yang menjadi
pandangan hidup dari suatu golongan atau masyarakat tertentu
yang membedakan dari masyarakat lain nya.
2. Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas unsur-
unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu
kesatuan. Ada beberapa unsur yang terdapat dalam kebudayaan yang disebut
sebagai cultural universal yaitu :
a. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
b. Mata pencaharian hidup dan system ekonomi
c. System kemasyarakatan
d. Bahasa

13
e. Kesenian
f. System pengetahuan
g. Religi
Selanjutnya ketika memahami unsur-unsur kebudayaan, maka kita
bisa mengetahui tentang unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah yaitu
seni, bahasa, dan teknologi. Sedangkan unsur-unsur kebudayaan yang sulit
berubah yaitu religi atau agama, system social, dan system pengetahuan.
3. Wujud Budaya
Dari beberapa pengertian budaya yang telah dijelaskan,
Koentjaraningrat menguraikan 3 wujud daei kebudayaan, yaitu :
a. Wujud kebudayaan sebagai ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, dan peraturan yang merupakan sesuatu yang abstrak yang
tidak dapat digambarkan secara nyata.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas serta tindakan dari
manusia dalam hidup bersosialisasi, berkomunikasi serta bergaul
sesamanya.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
yang disebut kebudayaan fisik dan yang bersifat kongkrit yang
membuat wujud kebudayaan lebih tampak jelas bisa dilihat serta
diraba.
4. Fungsi Kebudayaan Bagi Masyarakat
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia yang
masyarakat yang dapat mengatur manusia dalam bertingkah laku, berbuat
dalam memenuhi kebutuhan hidup di masyarakat. Kebudayaan berisi norma-
norma sosial dalam menjaga keutuhan dan keselamatan masyarakat. Norma-
norma itu merupakan kebiasaan hidup dan adat istiadat. Kebudayaan juga
memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat. Peran penting atau
fungsi kebudayaan bagi masyarakat yaitu :
a. Melindungi diri terhadap lingkungan alam.
b. Memberikan kepuasan materil atau spiritual bagi manusia dan
masyarakat.
c. Memanfaatkan alam dengan teknologi yang diciptakannya.

14
d. Mengatur tata tertib dalam pergaulan masyarakat dengan norma-
norma dan nilai-nilai sosial.
Keadaan di dalam masyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan
harapan, terkadang terjadi penyimpangan yang tidak diharapkan dan
merupakan sebuah petunjuk bahwa :
a. Kaidah-kaidah yang kurang lengkap atau telah tertinggal dalam
perkembangan kebutuhan masyarakat.
b. Kaidah-kaidah yang kurang jelas yang menimbulkan penafsiran
dan penerapan.
c. Terjadinya kemacetan dalam birokrasi.
d. Diperlukannya Lembaga penyalur bagi kegiatan masyarakat yang
lebih banyak.
e. Taraf ketaatan menurun.
f. Derajat kesatuan masyarakat menurun.
Pada prinsipnya, system pengawasan sosial merupakan salah satu
unsur yang penting dalam masyarakat, baik masyarakat sederhana ataupun
kompleks. Disinilah pentingnya kebudayaan yang pada hakikatnya untuk
mengatur agar manusia dapat mengerti satu sama lainnya dalam bertindak
dan berbuat untuk kebaikan bersama yang intinya kebudayaan sebagai
cerminan kehidupan manusia yang memegang teguh akan terciptanya
kehidupa yang harmonis.
5. Akulturasi Kebudayaan dalam Masyarakat
Akulturasi atau Acculturation atau cultural contact, merupakan
konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia
dengan suatu kebudayaan dihadapkan dengan kebudayaan asing yang lambat
laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan
hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Akulturasi dianggap sebagai
akibat pengaruh kebudayaan yang kuat dan bergengsi atas kebudayaan yang
lemah dan terbelakang.

15
Beberapa masalah yang mungkin timbul dalam proses akulturasi
yaitu:
a. Masalah unsur-unsur kebudayaan asing manakah yang mudah
diterima
b. Masalah unsur-unsur kebudayan asing yang manakah yang sulit
diterima
c. Masalah individu-individu yang cepat menerima unsur-unsur
yang baru
d. Masalah keteganga-ketegangan yang timbul sebagai akibat
akulturasi.
Menurut Dohrenwend dan Smith ada 4 kemungkinan arah perubahan
dari adanya 2 kontak kebudayaan yaitu :
a. Pengasingan : yaitu menghilangkan cara-cara tradisional satu
kebudayaan tanpa menerima cara-cara kebudayaan lainnya.
b. Reorientasi ; yaitu perubahan kearah penerimaan struktur
normative kebudayaan lainnya.
c. Reaffirmation ; yaitu kebudayaan tradisional yang diperkuat
kembali.
d. Penataan kembali ; yaitu kemunculan bentuk-bentuk baru seperti
yang ditemukan dalam gerakan utopia.

C. MAKANAN DALAM KONTEKS BUDAYA


Para Ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu
kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan,
kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan tahayul-
tahayul yang berkaitan dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan
sebagai suatu kategori budaya yang penting. Dan, sebagai suatu kategori budaya
yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan berkaitan
dengan banyak kategori budaya lainnya. Meskipun mereka mengakui bahwa
makanan adalah yang utama bagi kehidupan, yaitu diatas segalanya merupakan
suatu gejala fisiologi, para ahli antropologi budaya paling sedikit menaruh
perhatian khusus terhadap peranan makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan

16
ekspresif yang memperkuat kembali hubungan-hubungan sosial, sanksi-sanksi,
kepercayaan-kepercayaan dan agama, menentukan banyak pola ekonomi dan
menguasai sebagian besar dari kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,
sebagaimana halnya dengan sistem medis yang memainkan peranan dalam
mengatasi kesehatan dan penyakit, demikian pula kebiasaan makan memainkan
peranan sosial dasar yang jauh mengatasi soal makanan untuk tubuh manusia
semata-mata.
1. Kebudayan Menentukan Makanan
Makanan adalah yang tumbuh diladang-ladang, yang berasal dari laut,
yang dijual dipasar dan yang muncul di meja kita pada waktu makan. Bagi
para anggota tiap masyarakat, makanan dibentuk secara budaya, bagi sesuatu
yang akan dimakan, ia memerlukan pengesahan budaya dan keaslian. Tidak
ada suatu kelompok pun, bahkan dalam keadaan kelaparan yang akut akan
mempergunakan semua zat gizi yang ada sebagai makanan. Karena
pantangan agama, tahayul, kepercayaan tentang kesehatan dan suatu peristiwa
yang kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan bergizi baik yang
tidak boleh dimakan mereka di klasifikasikan sebagai “bukan makanan.”
Dengan kata lain penting untuk membedakan antara nutrimen (nutriment)
dengan makanan (food).
Nutrimen adalah suatu konsep biokimia, suatu zat yang mampu untuk
memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya. Makanan
adalah suatu konsep budaya, suatu pernyataan yang sesungguhnya
mengatakan “zat ini sesuai bagi kebutuhan gizi kita.” Sedemikian kuat
kepercayaan-kepercayaan mengenai apa yang dianggap makanan dan apa
yang dianggap bukan makanan.
Di Amerika Serikat, kita mengenal variasi makanan yang sangat luas
akibat asal kita yang multi-etnik dan sistem produksi makanan yang
berlimpah ruah. Mungkin, tidak ada masyarakat lain didunia ini dimana
paling sedikit diantara kelas menengah dan kelas atas, ada sedemikian
makanan banyak makanan yang beraneka ragam untuk disantap. Namun, ada
banyak makanan bergizi yang sangat dihargai oleh warga budaya lain yang
kita kenal yang biasanya tidak dianggap sebagai makanan seperti : kuda,

17
anjing, kodok, kadal, landak laut, ular desis, belalang dan sebagainya.
Mungkin sekali, suatu makanan yang dari segi gizi dapat diterima dan dapat
digolongkan sebagai makanan yang sebagian besar orang Amerika tidak
pernah memakannya.
2. Nafsu Makan dan Lapar
Bukan makanan saja dibatasi secara budaya, namun juga konsep
tentang makanan kapan dimakannya, terdiri dari apa dan etiket makan.
Diantara masyarakat yang cukup makanan, kebudayaan mereka mendikte
kapan mereka merasa lapar serta berapa banyak mereka harus makan agar
memuaskan rasa lapar. Pada waktu bangun pagi, sebagian besar orang
Amerika merasa memerlukan makanan lebih banyak dari pada orang Eropa.
Perut sebagian besar orang Amerika mengirim isyarat lapar terus-menerus
sekitar tengah hari, meskipus sarapannya lebih dari cukup. Sedangkan di
Meksiko, perut berada dalam keadaan pasif sampai jam 3 atau jam 4 sore
kemudian mereka mengirimkan isyarat lapar yang serupa juga.
Dengan kata lain, nafsu makan dan lapar adalah gejala yang
berhubungan namun juga berbeda. Nafsu makan dan apa yang diperlukan
untuk memuaskannya adalah suatu konsep budaya yang dapat sangat berbeda
antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sebaliknya, lapar
menggambarkan suatu kekurangan gizi yang dasar dan merupakan konsep
fisiologis.
Dalam banyak masyarakat, definisi lengkap dari makanan tidak dapat
dibuat tanpa merujuk kepada konsep makanan dan waktu makan. Di Amerika
biasanya yang kita pikirkan sebagai makanan adalah sesuatu jenis yang nilai
gizinya telah diakui, tanpa menghiraukan kapan disantapnya. Dalam
masyarakat lain, misalnya di daerah pedesaan Meksiko, “makanan” adalah
yang disantap pada jam-jam makan. Makanan ringan diantara jam-jam makan
seperti buah-buahan musiman, kacang tanah, permen dari buah, serta
makanan kecil lain, yang ditaruh di atas meja dan disediakan untuk tamu yang
mungkin berkunjung adalah “bukan makanan”, karena meskipun merupakan
sesuatu yang dimakan dan dinikmati, secara konseptual berbeda dari makanan
pada jam-jam makan.

18
D. FAKTOR-FAKTOR PENGAMBIL KEPUTUSAN MAKAN
MAYARAKAT DIPENGARUHI OLEH BUDAYA DI INDONESIA
1. Fungsi Sosial Makanan
a. Fungsi religi atau magis
Banyak simbol religi atau magis yang dikaitkan pada makanan. Dalam
agam Islam, kambing sering dikaitkan dengan upacara-upacara penting
dalam kehidupan, seperti pada upacara selamatan bayi baru lahir, atau
pada khitanan. Dalam agama Katolik, anggur diibaratkan darah Kristus
dan roti 20 20 tubuhnya. Pada masyarakat Jawa pada berbagai upacara
selamatan dihidangkan nasi tumpeng atau nasi kuning (Almatsier,
2001).
b. Fungsi Komunikasi
Makanan merupakan media penting dalam upaya manusia berhubungan
satu sama lain. Di dalam rumah tangga kehangatan hubungan antar
anggotanya terjadi pada waktu makan bersama. Begitupun di antara
rumah tangga besar diupayakan pertemuan secara berkala dengan
makan untuk memelihara dan mempererat hubungan silaturahmi. Antar
tetangga, sering dilakukan tukar menukar makanan (Almatsier, 2001).
Dalam bisnis, kesepakatan sering diperoleh dalam suatu jamuan makan
di restoran atau di tempat makan lain. Pestapesta makan sering
diselenggarakan untuk menghormati seseorang, sekelompok orang atau
untuk merayakan suatu peristiwa penting. Banyak waktu dan uang
digunakan untuk mengusahakan agar makanan yang disajikan
memenuhi selera tamu yang diundang (Almatsier, 2001).
c. Preferensi Makanan
Manusia makan untuk kenikmatan. Kesukaan akan makanan berbeda
dari satu bangsa ke bangsa lain, dan dari daerah/suku ke daerah /suku
lain. Di Indonesia, kesukaan makanan antar 21 21 daerah/suku juga
banyak berbeda. Makanan di Sumatra, khususnya di Sumatra Barat
lebih pedas daripada makanan di Jawa, khususnya Jawa Tengah yang
suka makanan manis. Secara umum makanan yang disukai adalah
makanan yang memenuhi selera atau citarasa/inderawi, yaitu dalam hal

19
rupa, warna, bau, rasa, suhu dan tekstur (Almatsier, 2001). Hasil
penelitian Drewnowski (1999) menyebutkan ada hubungan yang
siginifikan preferensi makanan dengan frekuensi makan pada wanita.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi makanan, yaitu:
(1)karakteristik individu, (2)karakteristik makanan, dan (3)karakteristik
lingkungan. Suatu model atau kerangkan pemikiran diperlukan untuk
menelaah konsumsi makanan kaitannya dengan berbagai karakteristik
tersebut, serta hubungan antar karakteristik itu sendiri (Sanjur, 1982).
2. Ketersediaan Bahan Makanan
Ketersediaan makanan adalah suatu kondisi dalam penyediaan
makanan yang mencakup makanan dan minuman tersebut berasal apakah dari
tanaman, ternak atau ikan bagi rumah tangga dalam kurun waktu tertentu.
Ketersediaan makanan dalam rumah tangga dipengaruhi antara lain oleh
tingkat pendapatan (Baliwati dan Roosita, 2004). Ketersediaan makanan
terkait dengan usaha produksi, distribusi dan perdagangan makanan.
Ketahanan pangan di tingkat mikro dinilai dari ketersediaan dan konsumsi
makanan dalam bentuk energi dan protein per kapita per hari (Suryana, 2004).
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga sangat tergantung pada cukup
tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga dalam
rangka mencapai gizi yang baik dan hidup sehat. Informasi ketahanan pangan
tingkat rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan perkiraan
pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari data SUSENAS tahun
1995 dan 2003 terjadi perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi
dari 32,64% pada Tahun 1995 menjadi 24,2% pada Tahun 2003. Pengeluaran
pangan untuk makanan jadi meningkat dari 7,9% pada Tahun 1995 menjadi
8,7% pada Tahun 2003 (Atmarita dan Fallah, 2004).
3. Konsumsi Makanan Pokok
Para ahli antropologi, memandang kebiasaan makan merupakan
kompleks keseluruhan dari aktifitas yang berhubungan dengan dapur,
kegemaran, dan ketidaksukaan pada suatu jenis makanan, pepatah-pepatah
rakyat, kepercayaan, larangan-larangan dan takhyul yang berhubungan
dengan produksi, persiapan pengolahan makanan dan konsumsi makan

20
sebagai kategori pokok dari kebudayaan (Anderson, 1978). Kebiasaan makan
pada kelompok yang didasarkan status hubungan rumah tangga
mempengaruhi distribusi makanan kepada anggota kelompok, yang
menyangkut mutu dan jumlah makanan. Distribusi makanan didasarkan pada
status hubungan antar anggota rumah tangga dan bukan atas pertimbangan-
pertimbangan kebutuhan gizi (Khumaidi, 1994). Makanan yang sering
dimakan oleh sekelompok masyarakat mungkin berbeda dengan makanan
yang biasa dimakan kelompok masyarakat lain. Tetapi makanan yang
dimakan oleh anggotaanggota satu kelompok masyarakat umumnya tidak
banyak berbeda. Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan
mengkonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat
memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat (Suparlan, 1993).
Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan
makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku
dalam kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan norma
budaya bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan
tidak baik (Sediaoetama, 1999). Faktor sosial budaya yang berpengaruh
terhadap kebiasaan makan dalam masyarakat, rumah tangga dan individu
menurut Koentjaraningrat meliputi apa yang dipikirkan, diketahui dan
dirasakan menjadi persepsi orang tentang makanan dan apa yang dilakukan,
dipraktekkan orang tentang makanan. Kebiasaan makan juga dipengaruhi
oleh lingkungan (ekologi, kependudukan, ekonomi) dan ketersediaan bahan
makanan. Pola konsumsi makan yang dipengaruhi kebiasaan makan memiliki
hubungan yang erat dengan status gizi seperti terlihat pada kerangka berikut
ini : (Susanto, dkk, 1987).

21
Gambar 3.1 Faktor-faktor sosial dan budaya yang berpengaruh terhadap
kebiasaan makan dalam masyarakat, rumah tangga dan individu
(Koentjaraningrat)
Sumber : Susanto, dkk (1987)

Pola makan penduduk di suatu negara atau daerah biasanya


berkembang dari makanan yang tersedia setempat atau dari makanan yang
ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Disamping itu
kelangkaan makanan dan kebiasaan bekerja rumah tangga berpengaruh pula
terhadap pola makan (Suhardjo, 1989). Pada umumnya penduduk Indonesia,
yang sebagian besar terdiri atas petani, masih mengandalkan sebagian besar
konsumsi makanannya pada makanan pokok. Makanan pokok yang
digunakan adalah beras, jagung, umbi-umbian (terutama singkong dan ubi
jalar), dan sagu (Almatsier, 2001). Konsumsi makanan adalah jumlah
makanan baik tunggal atau beragam yang dimakan seseorang atau
sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Dalam aspek gizi, tujuan
mengkonsumsi makanan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang
diperlukan tubuh. Konsumsi makanan dapat diukur secara kualitatif dan
kuantitatif. Pengukuran kualitatif dilakukan dengan melihat jenis-jenis
makanan tersebut. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
recall konsumsi makanan jangka waktu tertentu dan metode penimbangan,

22
yaitu pengukuran secara langsung pada berat setiap jenis makanan yang
dikonsumsi (Gibson, 2005). Pola konsumsi makanan bermutu gizi seimbang
mensyaratkan perlunya diverisifikasi makanan dalam menu sehari-hari. Ini
berarti menuntut adanya ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan
lemak), sumber zat pembangun (protein), dan sumber zat pengatur (vitamin
dan mineral). Makanan yang beraneka ragam sangat penting karena tidak ada
satu jenis makanan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara
lengkap (Khomsan, 2004). Konsumsi makanan yang beranekaragam, akan
menghindari terjadinya kekurangan zat gizi, karena susunan zat gizi pada
makanan saling melengkapi antara satu jenis dengan jenis lainnya, sehingga
diperoleh masukan zat gizi seimbang (Depkes RI, 2003). Kesadaran
pentingnya konsumsi makanan beraneka ragam menyebabkan ketergantungan
pada satu jenis makanan (beras) dapat dihindari, sehingga mencegah ancaman
ketahanan makanan (Khomsan, 2004) Hidayat (2005) menyatakan rendahnya
konsumsi makanan atau tidak seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi
mengakibatkan terganggunya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh,
lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit, serta menurunnya
aktifitas dan produktivitas kerja. Madanijah (2004) menyatakan ada beberapa
faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan antara lain : faktor ekonomi
dan harga, serta faktor sosio budaya, dan religi.
Studi-studi awal tentang makanan lebih banyak menyorot masalah
kebiasaan makan sebagai suatu bentuk tingkah laku berpola yang sangat
terkait dengan kebudayaan, yang mencakup juga kepercayaan dan pantangan
makan yang berkembang dalam sekelompok masyarakat , dan juga berkaitan
dengan faktor lingkungan sebagai sumber perolehan bahan pangan yang
utama . Pada dasarnya perbedaan-perbedaan makanan pada setiap budaya ini
menjadikan konsep makanan berbeda dengan nutrimen. Seperti dikatakan
Foster & Anderson (1986), nutrimen (nutriment) adalah suatu konsep
biokimia, suatu zat yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan
organisme yang menelannya, sedangkan makanan (food) adalah suatu konsep
budaya, sesuatu yang dimakan dengan pengesahan budaya. Ini berarti
makanan sebagai konsep budaya akan memiliki makna yang lebih luas

23
daripada makanan dalam konsep nutrimen. Makanan dengan pengesahan
budaya berarti akan berkaitan dengan kepercayaan, pantangan, aturan,
teknologi, dan sebagainya yang tumbuh dan berkembang dalam sekelompok
masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan makan yang menjadi ciri khas
sekelompok masyarakat dan yang membedakan dengan kelompok masyarakat
lainnya.
a. Makanan Sebagai Pembentuk Identitas Etnis
Makanan juga sebagai pembentuk identitas etnis, yang dapat dikenali
dari jenis masakannya yang memiliki karakterisitik rasa yang khusus.
Misalnya, masakan Minahasa ditandai dengan penggunaan cabai (rica)
dalam jumlah yang banyak dalam mengolah daging, begitu kuatnya rasa
cabai sampai- sampai menghilangkan rasa daging itu sendiri13. Begitu
juga masakan Minangkabau, cabai, santan, dan bumbu rempah-rempah
menjadikan makanannya khas sebagai makanan Minangkabau . Makanan
juga sebagai pembentuk identitas individual yang berkaitan dengan klas
dan gender. Goody (1982) menyebutkan bahwa sebetulnya hirarki klass,
kasta, ras dan gender terbentuk melalui differensiasi kontrol terhadap
akses terhadap makanan .
b. Makanan dan Perubahan
Dalam beberapa tahun terakhir, kajian makanan menyangkut
perubahan- perubahan yang terjadi akibat masuknya berbagai jenis
makanan dari luar, sebagai akibat perubahan yang disebut globalisasi. Di
seluruh dunia, barang-barang seperti makanan dan pakaian digunakan
dengan cara yang berbeda oleh kelompok- kelompok sosial dan klass
sosial yang berbeda (misalnya Bourdieu, 1984). Bahkan para ahli
antropologi ekonomi telah menjadi semakin tertarik pada hubungan antara
konsumsi dan pengalaman sosial, terutama dalam kaitannya dengan
konsumsi komoditas global (misalnya tulisan Friedman 1994; Miller 1995)
Makanan dan perubahan budaya makan sebagai akibat masuknya
makanan- makanan asing tidak hanya mempengaruhi praktik makan
sehari-hari, namun juga pada acara-acara tradisional seperti perkawinan.
Seperti dikatakan Miele (1999), makanan- makanan dimodifikasi sesuai

24
dengan trend baru dalam konsumsi, yang oleh Miele digambarkan sebagai
munculnya arena baru makanan pasca modern dan budaya konsumsi baru
dikalangan konsumen. Pilihan-pilihan terhadap jenis makanan tertentu atau
pilihan tatacara terhadap konsumsi tertentu pada akhirnya memunculkan
gaya hidup baru, yang dianggap membawa satu kenyamanan dalam
mengkonsumsinya. Sheely (2008).

25
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Masyarakat terdiri atas individu-individu yang saling berinteraksi dan
saling tergantung satu sama lain (zoon polticon). Dalam berinteraksi, masyarakat
menghasilkan budaya yang nantinya akan dipakai sebagai sarana penyelenggaraan
kehidupan bersama, oleh karenanya konsep masyarakat dan konsep kebudayaan
merupakan dua hal yang senantiasa berkaitan dan membentuk suatu system.
Dalam suatu Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas
unsur-unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu
kesatuan. Kebudayaan memiliki fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat yang dapat mengatur manusia dalam bertingkah laku, berbuat dalam
memenuhi kebutuhan hidup di masyarakat.
Makanan dalam kebudayaan sebagai kegiatan ekspresif yang memperkuat
kembali hubungan-hubungan sosial, sanksi-sanksi, kepercayaan-kepercayaan dan
agama, menentukan banyak pola ekonomi dan menguasai sebagian besar dari
kehidupan sehari-hari.
Studi-studi awal tentang makanan lebih banyak menyorot masalah
kebiasaan makan sebagai suatu bentuk tingkah laku berpola yang sangat terkait
dengan kebudayaan, yang mencakup juga kepercayaan dan pantangan makan
yang berkembang dalam sekelompok masyarakat , dan juga berkaitan dengan
faktor lingkungan sebagai sumber perolehan bahan pangan yang utama.
Dalam pengambilan keputusan makan pada masyarakat yang dipengaruhi
oleh budaya di Indonesia ada beberapa faktor penentu, yaitu :
1. Fungsi sosial makan
2. Ketersediaan Bahan Makanan
3. Konsumsi Makanan Pokok

26
B. SARAN
1. Pemilihan makanan tidak hanya terpaku dari segi kebudayaan saja tetapi
dapat dilihat dari segi kesehatan dan kebersihannya.
2. Sebagai makhluk sosial manusia harus menghormati pilihan makanan dari
budaya masing-masing daerah, sehingga kita tidak boleh mencela
makanan yang telah dihidangkan walaupun tidak sesuai keinginan kita.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syani. (1995). Sosialisasi dan Perubahan Masyarakat. Bandar Lampung:


Pustaka Jaya.
Foster, George M., & Anderson. (1998). Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-
PRESS.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Setyawan, D. A. (2012). Konsep Dasar Masyarakat.
Giantara, M. S., & Santoso, J. (2014). Pengaruh Budaya, Sub Budaya, Kelas
Sosial, dan Persepsi Kualitas Terhadap Perilaku Keputusan Pembelian Kue
Tradisional Oleh Mahasiswa Di Surabaya. 1(2). September 26, 2019.
http://publication.petra.ac.id/index.php/manajemen-
perhotelan/article/view/1457
Kistanto, N. H. (2017, Februari). Tentang Konsep Kebudayaan. Jurnal Kajian
Kebudayaan. 2(10). September 25, 2019.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/view/13248
Miharja Deni. (2016, September). Wujud Kebudayaan Masyarakat Adat
Cikondang Dalam Melestarikan Lingkungan. Jurnal Agama dan Lintas
Budaya. 1(1), 52-61. September 25, 2019.
http://digilib.uinsgd.ac.id/22579/1/Religious%201.pdf
Rosana Ellya. (2017). Dinamisasi Kebudayaan Dalam Realitas Sosial. 1(12).
September 25, 2019.
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan/article/view/1442

28
JOBDESK

No. NAMA TUGAS


1. Leni Marlina Bab 1, Bab 2 dan Bab 3
2. Tiyas Ayu Bab 2 dan PPT
3. Teti Winarti Bab 2
4. Shania Maureen Bab 2 dan PPT
5. Ati Sholihat Bab 2
6. Rahayu Fitria Bab 2 dan PPT
7. Meuthia Hasan Bab 1 dan Bab 3

29

Anda mungkin juga menyukai