Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

“KEBIASAAN MEMBUAT KETUPAT PADA MASYARAKAT DI HARI


RAYA IDUL FITRI”

Dosen Pengampu :

Andra Vidyarini, S.Gz., M.Si

Disusun Oleh :

Ayu Wandira Delaura (2305025095)

Naila Kamalika Yusmalia (2305025100)

KELAS 1D

PROGRAM STUDI GIZI

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan
pembuatan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiologi antropologi
dengan judul “Kebiasaan Membuat Ketupat Pada Masyarakat di Hari Raya Idul
Fitri” dengan tepat waktu.

Tidak lupa ucapan terima kasih kami kepada Ibu Andra Vidyarini, S.Gz.,
M.Si selaku Dosen Mata Kuliah Sosiologi Antropologi yang telah membimbing
kami dalam materi – materi ini.

Kami berharap dengan adanya makalah ini, dapat memperoleh manfaat


berupa pengetahuan tentang Kebiasaan Membuat ketupat Pada Masyarakat di Hari
Raya Idul Fitri. Kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Karena itu kami sangat membutuhkan saran – saran yang
membangun dari para pembaca. Kami selaku penyusun makalah ini memohon
maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Jakarta, 25 Desember 2023

Penyusun,

Kelompok

2
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................. 1

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 4


1.2 Tujuan ......................................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 7

2.1 Filasofi Ketupat .......................................................................................... 7


2.2 Nilai – Nilai dari Simbolis Ketupat ............................................................. 8
2.3 Fakta yang Ada di Masyarakat .................................................................... 8
2.4 Teori ............................................................................................................ 9
2.5 Penelitian Terdahulu ................................................................................. 10

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 12

3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 12


3.2 Saran .......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Budaya dan agama merupakan dua faktor yang saling berinteraksi
dan berdampak satu sama lain. Pertama, agama berdampak pada
bagaimana budaya terbentuk. Lambangnya adalah budaya, tetapi nilainya
adalah agama. Kedua, simbol agama dapat dipengaruhi oleh budaya.
Ketiga, sistem nilai dan simbol agama dapat digantikan oleh budaya
(Kuntowijoyo, 2001). Dua faktor yang menyatukan agama dan budaya:
keduanya merupakan sistem nilai dan simbol yang siap terancam setiap
kali terjadi pergeseran. Pandangan yang umum dipegang adalah bahwa
Islam hadir untuk mengontrol masyarakat dan membimbing mereka
menuju kehidupan yang seimbang dan bermoral.
Hal ini terwujud melalui prinsip-prinsip dan ajaran dalam agama
Islam yang bertujuan untuk membangun masyarakat yang harmonis dan
sejahtera secara spiritual maupun materi. Budaya dapat didefinisikan
secara objektif sebagai sekumpulan pengetahuan yang diterima oleh semua
orang dan digunakan sebagai panduan dalam merencanakan,
melaksanakan, dan menciptakan karya guna memenuhi kebutuhan sebagai
makhluk sosial yang beradab. Ada beberapa bentuk – bentuk pokok
kebudayaan, yakni :
1. Kebudayaan sering dipahami sebagai keseluruhan cara hidup
masyarakat atau sesuatu yang diterima sebagai warisan sosial
dari kelompoknya.
2. Sesuatu cara berpikir, merasa ,dan percaya.
3. Suatu abstraksi tingkah laku atau suatu teori tentang cara suatu
kelompok masyarakat bertingkah laku.
4. Sesuatu yang menjadi seperangkat orientasi standar dalam
menghadapi masalah-masalah yang sedang berlangsung.
5. Suatu tingkah laku yang dipelajari.
6. Suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat
normatif, kedelapan, suatu teknik untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan, suatu endapan sejarah.

Berdasarkan hakikat kebudayaan yang dikemukakan di atas tampak


dengan jelas bahwa kebudayaan bukanlah berbentuk hasil, benda atau
objek. Dalam hal ini, kebudayaan dipahami sebagai sebuah konteks
berpikir, merasa, bertindak dari suatu masyarakat.

4
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya
yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang etnis,
suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini
telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat yang turut
mempengaruhi menu makanan maupun pola makan. Banyak sekali
penemuan para ahli sosialog dan ahli gizi menyatakan bahwa faktor
budaya sangat berperan terhadap proses terjadinya kebiasaan makan dan
bentuk makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai
masalah gizi apabila faktor makanan itu tidak diperhatikan secara baik
oleh kita yang mengkonsumsinya.

Seperti kebudayaan dan agama yang sering dilakukan di Indonesia


dalam kebiasaan masyarakat dalam makanan yaitu membuat ketupat di
hari raya. Ketupat adalah salah satu kuliner yang ada di Indonesia, juga
merupakan salah satu makanan wajib disaat lebaran. Setiap merayakan
Hari Raya Idul Fitri, pasti ketupat selalu ada di setiap hidangan di rumah-
rumah, ini memang terlihat sederhana. tetapi menjadi hal yang paling
dicari saat lebaran. Ketupat merupakan makanan dari beras yang
dibungkus dengan anyaman daun kelapan muda, yang biasa disebut janur.
Kulit ketupat dibuat dengan proses menganyam dua helai janur. Setelah
kulit ketupat jadi kemudian diisi dengan beras.

Berbagai macam bentuk kulit ketupat (selanjutnya disebut ketupat)


dibuat sesuai dengan kreasi dari masing-masing daerah. Menurut Dwi &
Alfarabi (2017) terdapat 12 bentuk ketupat yaitu: ketupat jago, ketupat
tumpeng, ketupat sidalungguh, ketupat sari, ketupat bata, ketupat debleng,
ketupat sidapurna, ketupat bebek, ketupat geleng, ketupat bagea, ketupat
pandawa, dan ketupat gatep. Namun demikian, tidak setiap daerah
memiliki variasi 12 bentuk ketupat tersebut. Ketupat sangat sering
ditemukan pada Hari Raya Lebaran. Karena melambangkan hari
kemenangan umat islam setelah melakukan puasa selama 30 hari lamanya.
Biasanya ketupat dimakan dengan makanan lauk lainnya seperti sayur
lontong, ayam opor, rendang, dan lain sebagainya sesuai dengan kebiasaan
rumah yang dimasaknya.

5
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui filasofi yang ada pada ketupat.
2. Untuk mengetahui nilai – nilai dari simbolis ketupat di masyarakat.
3. Untuk mengetahui fakta yang ada pada masyarakat membuat ketupat
pada hari raya.
4. Untuk mengetahui teori tentang ketupat.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Filasofi Ketupat Pada Hari Raya Lebaran


Lebaran ketupat merupakan salah satu hasil akulturasi kebudayaan
Indonesia dengan islam. Dakwah para penyiar islam awal ke Nusantara
menunjukkan akomodasi kuat terhadap tradisi lokal yang ada dalam
masyarakat. Islam beradaptasi dengan budaya setempat, sehingga islam
dapat masuk ke lapisan bawah dari masyarakat. Dengan begitu,
kebudayaan islam dapat betransformasi tidak hanya karena jarak geografis
antara Arab dan Indonesia, namun karena ada jarak kultural (Zuhdi, 2017).
Gillin dan Gillin (dalam Fikriyah et al. 2020) mengemukakan bahwa
akulturasi merupakan proses dimana masyarakat yang memiliki perbedaan
kebudayaan yang mengalami perubahan terjadi karena kontak yang lama
dan langsung, namun tidak menghilangkan budaya asli. Dalam islam,
akulturasi berkaitan erat dengan proses penyebaran agama islam, terutama
di suku Jawa.
Masyarakat Jawa mempercayai Sunan Kalijaga yang pertama kali
memperkenalkan ketupat. Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari bahasa
Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Sehingga dengan
ketupat ketupat sesama muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling
memaafkan serta melupakan kesalahan dengan cara memakan ketupat
tersebut.Makanan ketupat menjadi simbol dalam masyarakat Jawa,
sehingga orang yang bertamu akan disuguhi ketupat pada hari lebaran dan
diharuskan memakannya sebagai pertanda sudah rela dan saling
memaafkan.
Bentuk ketupat yaitu ada yang segi empat dan ada yang segi lima.
Bentuk segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer” yang
bermakna bahwa kemana pun manusia menuju, pasti selalu kembali
kepada Allah SWT. Kiblat papat lima pancer ini, dapat diartikan sebagai
empat macam nafsu manusia, yaitu amarah yaitu nafsu emosional,
aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu
untuk memiliki suatu yang indah, dan muthmainnah adalah nafsu untuk
memaksa diri. Keempat nafsu ini ditaklukkan selama berpuasa.

7
2.2 Nilai – Nilai dari Simbolis Ketupat
Dalam filosofi Jawa, ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau
Kupat merupakan kependekan dari: Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku
lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.
Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui
kesalahan) bagi orang Jawa. Sungkeman mengajarkan pentingnya
menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan
ampunan dari orang lain.
Laku Papat yaitu: Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan.
Lebaran: Sudah usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Luberan:
Meluber atau melimpah, ajakan bersedekah untuk kaum miskin.
Pengeluaran zakat fitrah. Leburan : Sudah habis dan lebur. Maksudnya
dosa dan kesalahan akan melebur habis karena setiap umat islam dituntut
untuk saling memaafkan satu sama lain. Laburan: Berasal dari kata labur,
dengan kapur yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih
dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan
batinnya.
Kupat, mengapa mesti dibungkus Janur? Janur, diambil dari bahasa
Arab ”Ja’a nur ” (telah datang cahaya). Bentuk fisik kupat yang segi empat
ibarat “hati” manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahannya maka
hatinya seperti Kupat yang Dibelah, pasti isinya putih bersih, hati yang
tanpa iri dan dengki.

2.3 Fakta yang Ada di Masyarakat


Berbagai bentuk pelaksanaan yang ada di masyarakat untuk
menyambut datangnya hari lebaran. Ketupat adalah menu makanan yang
tidak boleh ketinggalan pada peringatan Hara Raya Islam saat
memperingati Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha. Proses pembuatan
ketupat diawali dengan janur atau daun kelapa muda yang dianyam dan di
bentuk segi empat, diisi dengan beras yang sebelumnya sudah dicuci dan
ditiriskan, kemudin dimasukkan ke dalam panci yang sudah mendidih.
Selain ketupat, makanan yang tidak boleh ketinggalan adalah opor
ayam dan sayur krecek sebagai pasangan dari ketupat. Sayur krecek dan
opor ayam yang dibuat dengan santan yang memiliki kuah kental. Dalam
bahasa Jawa, santen memiliki makna pengapunten yang memiliki arti
maaf. Itulah kenapa sayur krecek selalu disandingkan dengan ketupat
karena makna tersebut menjadi sebuah kesatuan yang diyakini sebagi
simbol permintaan maaf di hari yang suci.

8
2.4 Teori
A. Ketupat sebagai lambang budaya Ketupat sebagai lambang
kesederhanaan dan keikhlasan dalam beribadah.
Proses ini menekankan pada nilai keikhlasan dan kemauan
beribadah dengan hati yang ikhlas. Orang Jawa meyakini keikhlasan
dalam beribadah, termasuk aktivitas sehari-hari seperti menyiapkan
ketupat, adalah kunci utama untuk mendapat keberkahan dan pahala
dari Allah. Oleh karena itu, setiap langkah dalam proses pembuatan
ketupat dipenuhi dengan keikhlasan dan niat yang ikhlas. Bentuk ini
dianggap mencerminkan kesempurnaan dalam penerapan ajaran agama
dan kehidupan sehari-hari. Warna alami daun kelapa yang digunakan
untuk menganyam ketupat, seperti hijau dan coklat, juga mempunyai
makna yang mendalam.
Dengan demikian, melalui proses sederhana dan simbolisme yang
terkandung dalam ketupat, masyarakat Jawa ingin menyampaikan
pesan kesederhanaan, keikhlasan dalam beribadah, dan penghargaan
terhadap kehidupan yang diberikan oleh Allah. Ketupat bukan hanya
sekadar hidangan tradisional, tetapi juga sarana untuk merenungkan
nilai-nilai spiritual dan kebersamaan dalam konteks perayaan Idul Fitri.

B. Kebersamaan dan solidaritas Partisipasi keluarga dan masyarakat


dalam proses pembuatan ketupat. Ketupat sebagai sarana mempererat
hubungan antar individu dan antar kelompok.
Keterlibatan keluarga dalam pembuatan ketupat, kerjasama dalam
menyiapkan bahan-bahan, pembuatan ketupat memerlukan
serangkaian langkah, seperti menyiapkan bahan-bahan seperti daun
kelapa dan nasi. Tetangga atau warga masyarakat saling membantu
menyiapkan ketupat untuk perayaan Idul Fitri. Berbagi Pengalaman,
kegiatan bersama seperti ini menciptakan pengalaman yang
memperkaya hubungan antar anggota masyarakat. Melalui partisipasi
bersama dalam pembuatan ketupat, akan tercipta rasa solidaritas dan
saling ketergantungan.
Ketupat sebagai salah satu cara mempererat hubungan
interpersonal, berbagi pengalaman, proses pembuatan ketupat dapat
menjadi momen berharga bagi individu untuk saling berbagi
pengalaman dan ilmu pengetahuan.
Cerita masa lalu atau resep warisan keluarga bisa menjadi topik
perbincangan yang membantu mempererat hubungan interpersonal.
Ketupat sebagai cara mempererat hubungan antar kelompok seperti,
acara komunal, pembuatan ketupat sering kali diselenggarakan oleh

9
kelompok masyarakat sebagai acara komunal. Memperkuat jaringan
sosial, melalui kebiasaan membuat ketupat bersama, terbentuk dan
menguatnya jaringan sosial antar kelompok masyarakat. Melalui
partisipasi keluarga dan masyarakat dalam proses pembuatan ketupat,
terbentuklah ikatan emosional dan sosial yang kuat. Hal ini
mencerminkan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan rasa saling
ketergantungan yang menjadi bagian penting dari budaya masyarakat
Jawa dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri.

C. Perubahan dan Evolusi Perkembangan teknologi dan dampaknya


terhadap produksi ketupat. Faktor sosial dan ekonomi yang
mempengaruhi perubahan kebiasaan membuat ketupat.
Perubahan dan evolusi perkembangan teknologi serta dampaknya
terhadap produksi ketupat, teknologi peralatan dapur tradisional versus
modern. Kemajuan teknologi peralatan dapur seperti rice cooker,
microwave oven atau pemotong daun kelapa otomatis dapat
mempermudah dan mempercepat proses pembuatan ketupat. Hal ini
dapat mempercepat penyebaran inovasi dan perubahan cara pembuatan
ketupat. Faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhi perubahan
kebiasaan membuat ketupat, perubahan gaya hidup, aktivitas dan
mobilitas gaya hidup yang semakin sibuk dan mobile dapat mendorong
masyarakat untuk mencari solusi praktis, seperti membeli ketupat siap
pakai.
Perubahan nilai dan prioritas, nilai-nilai modern seperti efisiensi
waktu dan kenyamanan dapat mengubah preferensi masyarakat
terhadap cara mereka menghormati tradisi penghormatan, termasuk
penyiapan ketupat. Ekonomi dan daya beli ketersediaan produk
komersial, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya beli dapat
mendorong masyarakat untuk membeli ketupat siap saji yang lebih
mudah ditemukan di pasaran. Keberlanjutan dan lingkungan, faktor
lingkungan, seperti perubahan iklim dan kesadaran lingkungan, dapat
mempengaruhi cara produksi ketupat.

2.5 Penelitian Tardahulu


Penelitian makna kultural maupun tradisi ketupat sudah pernah
dilakukan sebelumnya. Arif dan Lasantu (2019) mengkaji nilai pendidikan
yang terdapat dalam tradisi lebaran ketupat masyarakat suku Jawa di
Tondano, Gorontalo. Peneliti hanya mengkaji fenomena dari sudut
pandang kebudayaan universal. Ia mengungkapkan bahwa tradisi bakdo
ketupat dipercayai sebagai perekat silaturahmi antara orang Jawa

10
pendatang dengan masyarakat lokal Gorontalo. Ketupat merepresentasikan
nilai-nilai penting seperti laku papat yang terdiri dari luberan, lebaran,
leburan, dan laburan.
Berbeda dari Arif dan Lasantu (2019), Bastaman dan Fortuna
(2019) justru mengkaji ketupat dilihat dari posisinya dalam upacara tradisi
rebo wekasan di Desa Cikulur Tahun. Peneliti menggunakan metode
historis untuk mengungkapkan peristiwa sejarah. Dari penelitiannya,
ditemukan bahwa ketupat tidak lagi mudah dijumpai dalam tradisi rebo
wekasan. Semakin berkembangnya zaman dan pola pikir masyarakat,
kesakralan ketupat mulai tergeser. Masyarakat menggganti ketupat dengan
jenis makanan lain yang lebih praktis dalam proses pembuatannya seperti
agar-agar atau roti. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang
penulis lakukan adalah pada fokus kajiannya. Mereka hanya memfokuskan
pada peran ketupat dalam acara Rabu Wekasan tanpa mengungkap makna
kulturalnya.
Novakarti dan Utomo (2021) melalui penelitiannya menghasilkan
temuan bahwa tradisi kupat syawalan di desa Jimbung, Klaten, memiliki
makna simbolis yang merujuk pada keragaman impuls sosial melalui
pemaknaan personal sebagai respons terhadap nilai-nilai sosial. Peneliti
menerapkan metode single case untuk memahami situasi dan kondisi nilai-
nilai sosial tradisi kupat syawalan secara holistik. Ia mengeksplorasi
pemaknaan simbolis melalui gunungan ketupat, pembagian ketupat,
pembuatan ketupat, dan lomba makan ketupat.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Makalah ini membahas secara mendalam tentang kebiasaan
menyiapkan ketupat masyarakat Jawa saat perayaan Idul Fitri. Dari hasil
penelitian dapat ditarik beberapa poin utama yang mencerminkan
pentingnya tradisi ini dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa;
Kreativitas dalam proses pembuatan ketupat mencerminkan keunikan
keahlian masyarakat Jawa, sehingga menciptakan suatu bentuk seni yang
menghargai keindahan dan keragaman budayanya. ketupat tidak hanya
sekedar hidangan namun juga menjadi simbol yang memiliki makna
mendalam dalam perayaan Idul Fitri. Ketupat dianggap sebagai simbol
kesederhanaan dan rasa syukur atas hasil panen yang baik.
Kebiasaan membuat ketupat pada perayaan Idul Fitri pada
masyarakat Jawa juga merupakan upaya pelestarian budaya lokal dalam
konteks globalisasi, meski banyak terjadi perubahan gaya hidup modern,
masyarakat Jawa tetap berkomitmen menjaga tradisi ini sebagai bagian
penting dari identitas budayanya. Oleh karena itu, kebiasaan menyiapkan
ketupat pada hari raya Idul Fitri tidak hanya sekedar adat kuliner saja,
namun juga mencerminkan nilai-nilai budaya, keramahan, dan pelestarian
jati diri masyarakat Jawa.

3.2 Saran
Tradisi yang masih dilakukan memberikan suatu identitas sebagai
masyarakat yang masih bisa melestarikan kebudayaan (tradisi) yang
diturunkan oleh nenek moyang terdahulu. Atas dasar itulah, kita semua
mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan
tradisi tersebut. Mulai dari masyarakat seperti orang tua, pemuda anak dan
pemerintah semua berkewajiban untuk melestarikannya. Cara yang tepat
untuk melestarikan tradisi ini salah satunya adalah dengan ikut serta atau
ikut berpartisipasi dalam melaksanakan tradisi pada perayaan Idul Fitri.
Berharap dengan keikut sertaan semua pihak, tradisi ini bisa bertahan
untuk generasi muda kedepannya

12
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M., & Lasantu, M. Y. (2019). Nilai pendidikan dalam tradisi lebaran
ketupat masyarakat Suku Jawa Tondano di Gorontalo. Madani: Jurnal
Pengabdian Ilmiah : Vol.1 (No.2), 144-159.

Ningrum, W. O., & Adiyanto, W. (2023). Memahami Interaksi Tradisi Kupatan


Pada Hari Raya Islam Di Desa Banjeng. Jurnal Komunika Islamika:
Jurnal Ilmu Komunikasi dan Kajian Islam : Vol.9 (NO. 2), 66-76.

Maghfiroh, Alvina dan Nurhayati. 2020. Makna Kultutal Kepercayaan


Masyarakat Jawa Terhadap Ketupat di Momen Lebaran : Kajian
Antropologi Linguitik. Jurnal Bahasa dan Sastra : Vol. 14 (No. 2), hlm.
216 – 228.

Sugeng Riady, Ahmad. 2021. Agama dan Kebudayaan Masyarakat Perspektif


Clifford Geertz. Jurnal Sosiologi Agama Indonesia : Vol. 2 (No. 1), hlm.
13 – 22.

Nurhalizah, Rani et al. 2023. Interaksi Budaya dan Agama : Memahami Dampak
dan Kontribusinya Dalam Masyarakat. Jurnal Kajian Agama dan
Multikulturalisme Indonesia : Vol. 2 (No. 1), hlm. 13 – 22.

Mahfuz, Abd. Ghoffar. 2019. Hubungan Agama dan Budaya : Tinjauan


Sosiokultural. Jurnal Taushiyah : Vol. 14 (No. 1).

Effendi Nasution, Ismail. 2023. Akulturasi Islam Pada Budaya Kenduri Ketupat
Pada Bulan Ramadhan. Jurnal An – Nadwah : Vol. 29 (No. 1), hlm. 22 –
23.

Dr. Waryana dan Dr. Agus Wijanarka. 2022. Kajian Sosial dan Budaya Makan
Masyarakat Indonesia. Yogyakarta : Nuta Media.

Rijal Amin, Wildan. 2017. Kupatan, Tradisi Untuk Melestarikan Ajaran


Bersedekah, Memperkuat Tali Silaturahmi, dan Memuliakan Tamu. Jurnal
Pemikiran Islam dan Filsafat.

Kurdi, M. 2020. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosiologi


Budaya Dalam Masyarakat Atjeh. Banda Aceh : Book, Vol. 53 (No. 9),
hlm. 1689 – 1699).

13

Anda mungkin juga menyukai