Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN


Konsep Budaya dan Tumbuh Kembang Adulthood

Dosen Pengampu : Ns. Ririn Mutia Zukhra, M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Arni Febrianti (1811125318) Naimi Syifa Urrahma (1811125268)
Doni Imam Sari (1811125252) Safira Nur Hasikin (1811125347)
Hayyum Albayhaqqi (1811125263) Shasa Mirdana (1811125316)
Ivan Dzaki Rif’at (1811125273) Siska Afrillya Diartin (1811125091)
Khofifah Dwi Safirah (1811125269) Yosheilla Nur Ishmah (1811125317)
M. Ardiansyah (1811125244) Yurike Afriani (1811125312)
Miftahul Jannah (1811125315)

2
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah inti tepat pada waktunya.
Makalah psikososial dan budaya dalam keperawatan yang berjudul “Konsep
Budaya dan Tumbuh Kembang Adulthood” ini disusun untuk melengkapi tugas
seminar. Selain itu, untuk mengetahui dan memahami Konsep Budaya dan
Tumbuh Kembang Adulthood.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis mohon
maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Penulis pun berharap
pembaca makalah ini dapat memberikan kritik dan sarannya agar kemudian hari
penulis bisa membuat makalah yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis ucapkan
terima kasih pada segala pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.

Pekanbaru, September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Budaya....................................................................................... 3
1. Unsur-Unsur Budaya.......................................................................... 7
2. Budaya dan Kesehatan........................................................................ 9
B. Konsep Tumbuh Kembang Adulthood.................................................... 10
1. Pengertian Usia Dewasa..................................................................... 10
2. Pembagian Usia Dewasa.................................................................... 10
3. Ciri-Ciri Usia Dewasa........................................................................ 10
4. Perkembangan Psikososial Usia Dewasa Menurut Erikson............... 11
5. Perubahan Pada Usia Dewasa Awal................................................... 13
6. Perubahan Pada Usia Dewasa Menengah........................................... 17
7. Perubahan Pada Usia Dewasa Akhir.................................................. 21
C. Contoh Perilaku Budaya Berhubungan Kesehatan
Dikaitkan dengan Tumbuh Kembang...................................................... 31
D. Peran Budaya dalam Tumbuh Kembang................................................. 34
E. Masalah Budaya dalam Tumbuh Kembang............................................ 38

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................................. 40
B. Saran....................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak bisa
hidup sendiri sehingga membentuk kesatuan hidup yang dinamakan
masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang banyak membawa perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam
hal perubahan pola hidup maupun tatanan sosial termasuk dalam bidang
kesehatan yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang berhubungan
langsung dengan norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang
bermukim dalam suatu tempat tertentu.
Indonesia yang yang terdiri dari beragam etnis tentu memiliki banyak
budaya dalam masyarakatnya. Terkadang, budaya suatu etnis dengan etnis
yang lain dapat berbeda jauh. Hal ini menyebabkan suatu budaya yang positif,
dapat dianggap budaya negatif di etnis lainnya. Sehingga tidaklah
mengherankan jika permasalahan kesehatan di Indonesia begitu
kompleksnya.
Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat
adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah tertanam dan
terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masayarakat ada
kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit
untuk dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah
kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan
budaya suatu daerah. Sehingga dalam mensosialisasikan kesehatan pada
masyarakat luas dapat lebih terarah yang implikasinya adalah naiknya derajat
kesehatan masyarakat.
Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peranan
penting dalam mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Perkembangan sosial budaya dalam masyarakat merupakan suatu tanda
bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu

1
perubahan dalam proses berfikir. Perubahan sosial dan budaya bisa
memberikan dampak positif maupun negatif.
Hubungan antara budaya dan kesehatan sangatlah erat hubungannya,
sebagai salah satu contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat
bertahan dengan cara pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi mereka.
Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap
kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang
tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya
mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang
proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau
budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana konsep budaya?
2. Bagaimana konsep tumbuh kembang adulthood?
3. Bagaimana contoh perilaku budaya yang berhubungan dengan kesehatan
dikaitkan dengan tumbuh kembang adulthood?
4. Apa saja peran budaya dalam tumbuh kembang?
5. Apa saja masalah budaya dalam tumbuh kembang?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui konsep budaya.
2. Untuk mengetahui konsep tumbuh kembang adulthood.
3. Untuk mengetahui contoh perilaku budaya yang berhubungan dengan
kesehatan dikaitkan dengan tumbuh kembang adulthood.
4. Untuk mengetahui peran budaya dalam tumbuh kembang.
5. Untuk mengetahui masalah budaya dalam tumbuh kembang.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Budaya
Kata kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sansekerta
yang berarti akal, kemudian menjadi kata budhi (tunggal) atau budhaya
(majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal
manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata
budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam
kebudayaan, sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur
jasmani sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar
manusia (Soekanto, 1982: 150).
Kebudayaan = cultuur (bahasa belanda) = culture (bahasa inggris) =
tsaqafah (bahasa arab), berasal dari perkataan latin : “colere” yang artinya
mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama
mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture
sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah
alam”.
Goodenough (dalam Kalangie, 1994) mengemukakan, bahwa
kebudayaan adalah suatu sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari
pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-
anggota individual masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan berada dalam
tatanan kenyataan yang ideasional. Atau, kebudayaan merupakan
perlengkapan mental yang oleh anggotaanggota masyarakat dipergunakan
dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan,
penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat
mereka.
Definisi lain dikemukakan oleh Linton dalam buku: “The Cultural
Background of Personality”, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur-unsur
pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu,
(Sukidin, 2005).

3
Soemardjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 2007) merumuskan,
kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau
kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk
menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan
untuk keperluan masyarakat.
Roucek dan Warren (dalam Sukidin, 2005) mengatakan, bahwa
kebudayaan bukan saja merupakan seni dalam hidup, tetapi juga benda-benda
yang terdapat di sekeliling manusia yang dibuat manusia. Dengan demikian ia
mendefinisikan kebudayaan sebagai cara hidup yang dikembangkan oleh
sebuah masyarakat guna memenuhi keperluan dasarnya untuk dapat bertahan
hidup, meneruskan keturunan dan mengatur pengalaman sosialnya. Hal-hal
tersebut adalah pengumpulan bahanbahan kebendaan, pola organisasi sosial,
cara tingkah laku yang dipelajari, ilmu pengetahuan, kepercayaan dan
kegiatan lain yang berkembang dalam pergaulan manusia.
Koenjaraningrat (dalam Dayakisni, 2005: 4) mengartikan budaya
sebagai wujud yang mencakup keseluruhan dari gagasan, kelakuan dan hasil-
hasil kelakuan. Sehingga dapat dilihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam
pikiran manusia yang dilakukan dan dihasilkan oleh kelakuan manusia adalah
kebudayaan.
Kesadaran akan eksistensi dan hakekat kebudayaan atau subbudaya
baru muncul apabila:

1. Seseorang anggota kebudayaan melakukan pelanggaran terhadap standar-


standar yang selama ini berlaku atau diharapkan masyarakat.
2. Bertemu secara kebetulan dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan
lain, dan berdasarkan pengamatan ternyata tingkah lakunya sangat berbeda
dengan tingkah laku yang selama ini dikenal atau dilakukan.
Dalam kedua peristiwa di atas, dapat diketahui bahwa “ada sesuatu
yang salah” sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman, walaupun
kadang- kadang merasa tidak tahu pasti mengapa demikian. Karena sudah
terbiasa dengan kebudayaan sendiri, maka kebanyakan orang menjadi tidak

4
sadar akan hakekat subbudayanya. Sehingga orang mudah mengkonsumsi
bahwa, apa yang ada atau terjadi adalah memang seharusnya demikian.
Kebudayaan atau subbudaya dari unit sosial apapun selalu berubah dengan
berjalannya waktu. Eksistensinya tidak dalam suatu keadaan yang vakum.
Masing-masing orang terlibat dalam sejumlah hubungan, kelompok atau
organisasi. Setiap kali seseorang berhubungan dengan orang lain, maka ia
membawa serta kebudayaan atau subbudaya dari kelompoknya sebagai latar
belakang. Apabila sebagai individu ia berubah, maka perubahan itu sedikit
banyak akan berdampak pada kebudayaan kelompoknya. Dalam hal ini ia
bertindak sebagai pembaharu kebudayaan. Perubahan dapat berlangsung
secara wajar, alami, revolusioner, dan disengaja.
Model yang telah digunakan untuk memahami proses perubahan yang
terjadi waktu transisi, baik di dalam maupun antarbudaya menurut
LaFromboise & Gerton (dalam Santrock, 1998: 293) adalah:

1. Asimilasi (assimilation)
Terjadi ketika individu melepaskan identitas kulturnya dan menuju
pada masyarakat yang lebih besar. Kelompok yang tidak dominan
mungkin akan terserap kedalam arus budaya yang lebih mantap, atau
mungkin banyak kelompok yang akan menyatu dan membentuk
masyarakat baru (melting spot). Individu seringkali menderita karena
perasaan terasing dan terisolasi sampai mereka diterima dan merasa benar-
benar melebur di dalam budaya yang baru.

2. Akulturasi (acculturations)
Perubahan budaya akibat dari hubungan langsung dan terus
menerus antara dua kelompok budaya. Berlawanan dengan asimilasi (yang
menekankan bahwa orang pada akhirnya akan menjadi anggota penuh
kelompok budaya mayoritas dan kehilangan identifikasi dengan budaya
asalnya), model akulturasi menekankan bahwa orang akan menjadi
partisipan yang kompeten dalam budaya mayoritas dan pada saat
bersamaan tetap diidentifikasi sebagai anggota budaya minoritas.

5
3. Alternasi (alternation)
Mengetahui dan memahami dua kultur berbeda. Disini individu
dapat mengubah tingkah laku mereka untuk menyesuaikan diri pada
sebuah konteks social tertentu. Berbeda dengan asimilasi dan akulturasi
alternasi lebih mempertahankan hubungan positif dengan kedua budaya.

4. Multikulturalisme (multicultural)
Mengajukan pendekatan pluralistik untuk memahami dua budaya
atau lebih. Orang dapat mempertahankan identitas mereka yang menonjol
dan pada saat bersamaan bekerjasama dengan orang lain dengan budaya
yang berbeda untuk mencapai kebutuhan nasional bersama. John Berry
(1993) seorang psikolog lintas budaya yakin bahwa sebuah masyarakat
yang multikultural akan mendorong semua kelompok untuk:

a. Mempertahankan dan/atau mengembangkan identitas kelompok mereka


b. Mengembangkan penerimaan dan toleransi terhadap kelompok lain
c. Terlibat dalam hubungan dan kegiatan berbagi antar kelompok
d. Mempelajari bahasa satu sama lain.
5. Fusi (fusion)
Merefleksikan asumsi yang melatarbelakangi melting pot yang
mengimplikasikan bahwa budaya-budaya yang berbatasan, baik secara
ekonomi, politik, atau geografis akan melebur bersama sampai tidak bisa
dibedakan dan membentuk sebuah kultur baru dan tidak ada superioritas
budaya. Riset yang dilakukan oleh seorang psikolog sosial Amerika
bernama Donald Campbell dan koleganya (Brewer & Campbell,1976)
menyatakan bahwa orang di semua budaya memiliki kecenderungan
untuk:

a. Mempercayai bahwa apa yang terjadi di budayanya adalah “natural”


dan “benar” dan bahwa apa yang terjadi di budaya lain adalah “tidak
natural” dan “tidak benar”
b. Mempersepsikan bahwa adat istiadat budayanya adalah valid secara

6
universal; yaitu bahwa apa yang baik untuk siapapun
c. Berperilaku memihak pada kelompok budaya mereka
d. Merasa bangga pada kelompok budaya mereka
e. Memusuhi kelompok budaya lainnya.

1. Unsur-Unsur Budaya
Menurut Koentjaraningrat (2002) ada 7 unsur pada budaya adalah:
a. Sistem Religi
Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup,
komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan. Definisi kepercayaan
mengacu kepada pendapat Fishbein dan Azjen (dalam Soekanto, 2007),
yang menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata
“belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku
manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang
untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek. Kepercayaan
membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman
sosial.
b. Sistem Organisasi dan Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi:
kekerabatan, organisasi politik, norma atau hukum, perkawinan,
kenegaraan, kesatuan hidup dan perkumpulan. Sistim organisasi adalah
bagian kebudayaan yang berisikan semua yang telah dipelajari yang
memungkinkan bagi manusia mengkoordinasikan perilakunya secara
efektif dengan tindakan-tindakan-tindakan orang lain (Syani, 1995).
c. Sistem Pengetahuan
Spradlye (dalam Kalangie, 1994) menyebutkan, bahwa
pengetahuan budaya itu bukanlah sesuatu yang bisa kelihatan secara
nyata, melainkan tersembunyi dari pandangan, namun memainkan
peranan yang sangat penting bagi manusia dalam menentukan
perilakunya. Pengetahuan budaya yang diformulasikan dengan beragam

7
ungkapan tradisional itu sekaligus juga merupakan gambaran dari nilai -
nilai budaya yang mereka hayati.
Nilai budaya sebagaimana dikemukan oleh Koentjaraningrat
(2002) adalah konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar dari warga suatu masyarakat, mengenai hal-hal yang harus
mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Dan suatu sistem nilai
budaya, yang sifatnya abstrak, biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia.
d. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia
sebagai homo economicus yang mejadikan kehidupan manusia terus
meningkat. Dalam tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia
sama dengan hewan. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi
kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian beternak yang
terus meningkat (rising demand) yang kadang-kadang serakah. Sistem
mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi meliputi jenis pekerjaan
dan penghasilan (Koentrajaningrat, 2002).
e. Teknologi dan peralatan kesehatan
Teknologi dan peralatan kesehatan adalah sarana prasarana yang
diperlukan untuk tindakan pelayanan, meliputi: ketersedian,
keterjangkauan dan kualitas alat untuk memasang KB IUD.
f. Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan
manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat
tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan
menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau
orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan
adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah
membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

8
g. Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal
dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan
mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa
tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang
sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian yang
meliputi: seni patung/pahat, seni rupa, seni gerak, lukis, gambar, rias,
vocal, musik atau seni suara, bangunan, kesusastraan, dan drama
(Koentrajaningrat, 2002).

2. Budaya dan Kesehatan


Kebudayaan kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur
budaya terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan
(Sarwono, 1997).
Menurut Foster dan Anderson (dalam Djoht, 2002), kebudayaan
kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua
kutub yang berbeda yaitu kutub biologi (pertumbuhan dan perkembangan
manusia, peranan penyakit dalam evolusi manusia dan paleopatologi atau
studi mengenai penyakit-penyakit purba) dan kutub sosial budaya (sistem
medis tradisional atau etnomedisin, masalah petugaspetugas kesehatan,
tingkah laku sakit, hubungan antara dokter pasien, dan dinamika dari usaha
memperkenalkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tradisional).
Dengan demikian kebudayaan kesehatan adalah disiplin ilmu yang
memberi perhatian pada aspek-aspek biologi dan sosial-budaya dari
tingkah laku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara
keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang memengaruhi
kesehatan dan penyakit pada manusia.

B. Konsep Tumbuh Kembang Usia Dewasa (Adulthood)


1. Pengertian Usia Dewasa

9
Istilah dewasa berasal dari bahasa Latin, yaitu adultus yang berarti
tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi
dewasa. Seseorang dikatakan dewasa adalah apabila dia mampu
menyelesaikan pertumbuhan dan menerima kedudukan yang sama dalam
masyarakat atau orang dewasa lainnya (Pieter & Lubis, 2010).
Seseorang dikatakan dewasa apabila telah sempurna pertumbuhan
fisiknya dan mencapai kematngan psikologis sehingga mampu hidup dan
berperan bersama-sama orang dewasa lainnya (Mubin & Cahyadi, 2006).

2. Pembagian Usia Dewasa


Menurut Erikson dalam Upton (2012), usia dewasa dibagi menjadi
tiga tahap antara lain:
a. Masa dewasa awal (19 hingga 40 tahun),
b. Masa dewasa menengah (40 hingga 65 tahun),
c. Masa dewasa akhir (65 hingga mati).

3. Ciri-Ciri Usia Dewasa


Menurut Anderson dalam Mubin & Cahyadi (2006), seseorang
yang sudah dewasa memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Berorientasi pada tugas, bukan pada diri atau ego
b. Mempunyai tujuan-tujuan yang jelas dan kebiasaan-kebiasaan kerja
yang efisien
c. Dapat mengendalikan perasaan pribadinya
d. Mempunyai sikap yang objektif
e. Menerima kritik dan saran
f. Bertanggung jawab
g. Dapat menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang realistis dan
yang baru

4. Perkembangan Psikososial Usia Dewasa Menurut Erikson


Ada tiga tahapan perkembangan psikososial pada usia dewasa
antara lain:
a. Keintiman vs isolasi (intimacy versus isolation)
Merupakan tantangan pada usia dewasa muda, hal terpenting
pada tahap ini adalah adanya suatu hubungan (Erikson 1902- 1994
dalam Wade & Tavris, 2008). Masa dewasa awal (young adulthood)
ditandai adanya kecenderungan intimacy dan isolation. Pada tahap ini
individu sudah mulai selektif membina hubungan yang intim, hanya

10
dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul
dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang
tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan orang lainnya.
Pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung
arti adanya kerjasama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi,
peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang
dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi
dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, dimana seseorang sudah merasa terlalu
bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memedulikan
dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam
hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang kekasih kita.
Sementara dari segi lain (malignansi) akan terjadi keterkucilan, yaitu
kecenderungan orang untuk mengisolasi atau menutup diri sendiri dari
cinta, persahabatan, dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa
benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang
dirasakan.
Orang dewasa muda perlu membentuk hubungan dekat dan cinta
dengan orang lain. Cinta yang dimakdsud tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua,
tetangga, sahabat, dan lain-lain. Ritualisasi yang terjadi pada tahap ini
yaitu adanya afilisiasi dan elitism. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap
yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta
yang dibangun dengan sahabat, dan kekasih. Sedangkan elitisme
menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga
terhadap orang lain. Keberhasilan memunculkan hubungan kuat,
sedangkan kegagalan menghasilkan kesepian dan kesendirian (Erikson
dalam Sumanto, 2014).
b. Generativitas vs stagnasi (generativity versus stagnation)
Merupakan tantangan pada masa paruh baya. Generativitas
adalah perluasan cinta ke masa depan (Erikson 1902- 1994 dalam Wade

11
& Tavris, 2008). Pada tahap ini salah satu tugas untuk dicapai ialah
dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan
sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnansi).
Orang dewasa perlu menciptakan atau memelihara hal-hal yang
akan menjadi penerus hidup mereka, kerap dengan memiliki anak atau
menciptakan suatu perubahan positif yang memberi manfaat bagi orang
lain. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memerdulikan
orang lain, sedangkan stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri atau
digambarkan dengan tidak perduli dengan siapa pun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu perduli,
sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain
itu malignansi yang ada adalah penolakan, dimana seseorang tidak
dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari
semua itu kehadirannya di tengah-tengah area kehidupannya kurang
mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya
keseimbangan antara generativitas dan stagnasi guna mendapatkan nilai
positif. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme.
Generasional ialah suatu interaksi atau hubungan yang terjalin secara
baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia
dewasa dan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang
dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan
pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan
yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan di
antara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan
baik dan menyenangkan (Erikson dalam Sumanto, 2014). Keberhasilan
mendorong perasaan kebergunaan dan pencapaian, sedangkan
kegagalan menghasilkan keterlibatan yang rendah di dunia (Upton,
2012).
c. Integritas ego vs keputusasaan (ego integrity versus despair)
Merupakan tantangan akhir dari masa lanjut usia (Erikson 1902-
1994 dalam Wade & Tavris, 2008). Hal terpenting pada masa ini ialah
adanya refleksi atas kehidupan. Saat beranjak tua, orang berusaha

12
mencapai tujuan akhir yaitu kebijaksanaan, ketenangan spiritual, dan
penerimaan dalam hidup. Orang dewasa akhir perlu melihat ke
belakang dalam kehidupan mereka dan merasakan suatu rasa
pemenuhan. Keberhasilan tahap ini mendorong perasaan arif,
sedangkan kegagalan menghasilkan penyesalan, kepahitan, dan
keputusasaan (Upton, 2012).

5. Perubahan Pada Usia Dewasa Awal


a. Perubahan fisik
Pada fase dewasa awal kesehatan fisik mencapai puncaknya
terutama pada usia 23-27 tahun. Kesehatan fisik berada dalam keadaan
baik serta kekuatan tenaga dan motorik mencapai masa puncak (Mubin
& Cahyadi, 2006). Menurut potter & Perry (2009), orang dewasa awal
biasanya sangat aktif, jarang mengalami penyakit parah (jika
dibandingkan kelompok usia tua), cenderung mengabaikan gejala fisik,
dan sering menunda pencarian pelayanan.
b. Perubahan Kognitif
Kemampuan berpikir kritis meningkat secara teratur selama usia
dewasa awal dan pertengahan. Pengalaman pendidikan formal dan
informal, pengalaman hidup, dan kesempatan untuk bekerja dapat
meningkatkan konsep diri, kemampuan menyelesaikan masalah, dan
keterampilan motorik individu. Mengenali bidang pekerjaan yang
sesuai merupakan tugas utama individu dewasa awal.
Saat individu mengetahui keterampilan, bakat, dan karakteristik
personal mereka, maka pilihan pendidikan dan pekerjaan akan menjadi
mudah dan lebih memuaskan. Proses pengambilan keputusan dalam
masa dewasa awal harus bersifat fleksibel. Hal ini disebabkan karena
masa dewasa awal terus berkembang dan harus terlibat dalam
perubahan dalam perubahan rumah, tempat kerja. Dan tempat tinggal
pribadi. Orang muda meresa lebih aman dengan perannya serta lebih
fleksibel dan terbuka terhadap perubahan. Individu yang merasa tidak
aman cenderung mengalami kesulitan dalam membuat keputusan
(Potter & Perry, 2009).
c. Perubahan Psikososial

13
Kesehatan emosi pada masa dewasa awal berhubungan dengan
kemampuan individu untuk menempatkan dan memisahkan antara tugas
pribadi dan tugas sosial. Dewasa awal biasanya terperangkap antara
keinginan untuk memperpanjang rasa tidak tanggung jawabnya sewaktu
remaja, tetapi juga ingin dianggap sebagai orang dewasa. Di antara usia
23-28 tahun, individu mulai memperbaiki persepsi diri dan
kemampuannya untuk akrab dengan orang lain. Di usia 29-34 tahun,
individu mengarahkan banyak energi pada pencapaian dan penguasaan
dunia sekitar. Sedangkan usia 35-43 tahun merupakan waktu ujian
terkuat dalam mencapai tujuan dan hubungan hidup. Individu membuat
perubahan dalam diri sosial, dan tempat kerjanya. Biasanya stres akibat
ujian yang berulang bisa menyebabkan krisis paruh baya atau midlife
crisis, dimana terjadi perubahan pada pasangan pernikahan, gaya hidup,
dan pekerjaan.
Perubahan psikososial yang terjadi pada usia dewasa awal dapat
dilihat dari beberapa aspek antara lain:
1) Karier
Keberhasilan dalam pekerjaan merupakan hal penting bagi
kehidupan pria dan wanita. Keberhasilan kerja tidak hanya berupa
keamanan segi ekonomi, tapi juga hubungan pertemanan, kehidupan
sosial, dan penghargaan terhadap rekan kerja. Jumlah keluarga
dengan dua karir (two-career families) saat ini mengalami
peningkatan. Jenis keluarga seperti ini memiliki keuntungan
sekaligus tanggung jawab. Selain adanya peningkatan keuangan
keluarga, individu yang bekerja di luar rumah juga dapat
mengembangkan hubungan pertemanan, kegiatan, dan keinginan.
Namun, kondisi tersebut juga dapat menimbulkan stress yang
disebabkan oleh perpindahan ke kota yang baru, peningkatan biaya,
mental, atau emosional, kebutuhan perawatan anak atau kebutuhan
rumah tangga. Untuk menghindari stres ini pasangan harus berbagi
tanggung jawab. Bagi beberapa keluarga, penyelesaiaannya adalah

14
membatasi biaya rekreasi dan menggantinya dengan membayar
seorang pembantu untuk melakukan pekerjaan rumah.
2) Seksualitas
Perkembangan karakteristik seksual sekunder terjadi selama
usia remaja. Perkembangan fisik biasanya disertai dengan
kemampuan untuk melakukan aktivitas seksual. Pada individu
dewasa awal, kemampuan fisik biasanya juga dilengkapi dengan
kematangan emosional, sehingga lebih dapat membangun keakraban
dan kematangan hubungan seksual. Individu dewasa awal yang gagal
mencapai tugas perkembangan integrasi personal biasanya hanya
dapat membangun hubungan yang tidak mendalam dan sementara
(Fortinash dan Holoday Worrer, 2004 dalam Potter & Perry, 2009).
3) Masa Lajang
Tekanan sosial untuk menikah tidak sebesar zaman dulu.
Banyak individu dewasa awal yang tidak menikah sampai akhir usia
20-an, awal usia 30-an, bahkan ada yang tidak sama sekali. Bagi
individu yang memutuskan untuk hidup melajang, maka yang
menjadi bagian penting dalam hidupnya adalah orang tua dan
saudara kandungnya. Beberapa individu menjadikan teman dekat
dan kerabatnya sebagai keluarga. Salah satu penyebab meningkatnya
populasi individu yang hidup melajang adalah karena semakin
luasnya kesempatan berkarier bagi wanita. Sebagian besar individu
lajang memilih untuk hidup bersama di luar pernikahan, menjadi
orang tua biologis, atau melakukan adopsi.
4) Masa Menjadi Orang Tua
Ketersediaan alat kontrasepsi saat ini memudahkan pasangan
untuk memutuskan kapan akan memulai membentuk sebuah
keluarga. Salah satu factor yang mempengaruhi keputusan ini adalah
alasan untuk memiliki anak. Tekanan social dapat mendorong
pasangan untuk membatasi jumlah anak yang mereka miliki.
Pertimbangan ekonomi seringkali mempengaruhi proses
pengambilan keputusan karena memiliki dan membesarkan anak-
anak membutuhkan biaya mahal. Status kesehatan umum dan lansia

15
juga mempengaruhi keputusan untuk menjadi orang tua, karena
pasangan menunda pernikahan dan kehamilan.
d. Kesehatan Psikososial
Masalah kesehatan psikososial pada individu dewasa awal
biasanya berhubungan dengan pekerjaan dan stressor dari keluarga.
Stres dapat berguna karena dapat memotivasi klien untuk berubah.
Namun, jika stres berkepanjangan dan klien tidak mampu beradaptasi
dengan stresor, maka akan menimbulkan masalah kesehatan.
Stres Pekerjaan. Stres pekerjaan dapat terjadi tiap hari atau dari
waktu ke waktu. Sebagian besar individu dewasa awal dapat mengatasi
krisis tersebut. Stres pekerjaan dapat terjadi saat datangnya seorang bos
baru, batas waktu (deadline) sudah dekat, mendapatkan tanggung jawab
menjadi lebih besar. Stres individu juga dapat terjadi saat individu
merasa tidak puas dengan pekerjaan atau tanggung jawab yang
diberikan. Karena individu menerima pekerjaan yang berbeda, maka
tipe stressor pekerjaan yang dihadapi tiap klien juga berbeda.
Stres Keluarga. Karena perubahan hubungan dan struktur dalam
keluarga individu muda yang beragam, maka frekuensi terjadinya stres
juga meningkat. Stresor situasional terjadi pada peristiwa seperti
kelahiran, kematian, sakit, pernikahan, dan kehilangan pekerjaan. Stres
biasanya terkait dengan beberapa variabel, termasuk pilihan karier
suami/istri dan penyebab disfungsi dalam keluarga individu dewasa
awal.
Setiap keluarga memiliki peran atau tugas tertentu bagi
anggotanya. Peran tersebut membuat keluarga dapat berfungsi dan
menjadi bagian yang efektif dalam masyarakat. Saat peran tersebut
berubah akibat penyakit, maka krisis situasional dapat terjadi (Potter &
Perry, 2009).

6. Perubahan Pada Dewasa Menengah


a. Perubahan fisik
Banyak dari para dewasa madya mengalami kecemasan pada
penampilan fisik yang pada akhirnya akan mengganggu relasi dengan
pasangannya (Pieter & Lubis, 2010).

16
Perubahan yang paling terlihat adalah rambut memutih, kulit
keriput, dan penebalan pinggang. Sering sekali perubahan fisiologis
selama masa dewasa menengah berdampak pada konsep diri dan bentuk
tubuh (Potter & Perry, 2009). Badan yang kurang sehat dan cacat yang
tidak dapat disembuhkan atau ditutup-tutupi sama berbahayanya bagi
penyesuaian diri pribadi dan sosial pada masa dewasa dini seperti masa
kanak-kanak dan remaja.
Orang dewasa yang mempunyai hambatan fisik karena
kesehatannya buruk tidak dapat mencapai keberhasilan maksimum
mereka dalam pekerjaan atau pergaulan sosial. Sebagai akibatnya
mereka selalu frustasi, semakin sering mereka melihat orang yang
sebenarnya berpotensi kurang dari mereka berhasil, semakin besar rasa
frustasi mereka (Hurlock, 1980). Beberapa perubahan lainnya dapat
terjadi antara lain; mulai terjadinya proses menua secara gradual, mulai
menurunnya kekuatan fisik, fungsi motorik dan sensoris, terjadinya
perubahan perubahan seksual. Kaum laki-laki mengalami climacterium
dan wanita mengalami menopause (Mubin & Cahyadi, 2006).
b. Perubahan Kognitif
Perubahan fungsi kognitif pada individu dewasa menengah
jarang terjadi, kecuali jika ada penyakit atau trauma (Potter & Perry,
2009).
c. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial pada individu dewasa menengah
melibatkan peristiwa yang diharapkan, seperti anak-anak yang keluar
dari rumah, sampai peristiwa yang tidak diharapkan, seperti perceraian
atau kematian seorang teman dekat. Perubahan psikososial yang terjadi
pada usia dewasa menengah dapat dilihat dari beberapa aspek antara
lain:
1) Transisi Karier
Perubahan kaier terjadi karena pilihan atau perubahan di
tempat kerja atau masyarakat. Pada dekade terakhir, individu dewasa
menengah cenderung berganti pekerjaan karena berbagai alasan,
antara lain keterbatasan pergerakan, penurunan peluang kerja, atau

17
mencari pekerjaan yang lebih menantang. Pada beberapa kasus
pengurangan tenaga kerja, kemajuan teknologi atau perubahan
lainnya mendorong individu dewasa menengah untuk mencari
pekerjaan baru. Bila tidak diantisipasi, perubahan tersebut dapat
menyebabkan stres yang mempengaruhi kesehatan, hubungan
dengan keluarga, konsep diri, dan dimensi lainnya.
2) Seksualita
Setelah kepergian anak terakhir dari rumah, pasangan akan
membangun kembali hubungan mereka, mencari cara untuk
meningkatkan kehidupan pernikahan dan kepuasan seksual selama
usia pertengahan.
3) Psikososial Keluarga
Beberapa faktor psikososial keluarga yang terkait pada
dewasa menengah antara lain:
a) Masa lajang
Beberapa individu dewasa menengah memilih untuktetap
lajang, tetapi ada juga yang memilih untuk menjadi orang tua baik
secara biologis ataupun adopsi. Banyak individu dewasa
menengah lajang yang memiliki sanak keluarga tapi untuk
membentuk sebuah keluarga dengan teman dekat atau teman
sekerja.
b) Perubahan Status Pernikahan
Terjadinya perubahan status pernikahan selama usia
pertengahan adalah karena kematian istri/suami, perpisahan,
perceraian, dan pilihan untuk menikah atau tidak menikah lagi.
Klien yang berstatus janda, akibat perpisahan atau perceraian,
mengalami periode berduka dan kehilangan yang diperlukan
untuk beradaptasi terhadap perubahan status pernikahan.
Kesedihan yang normal berlansung melalui serangkaian fase, dan
resolusi kesedihan bisanya menghabiskan waktu hingga setahun
atau lebih.
c) Transisi Keluarga
Kepergian anak terakhir dari rumah merupakan suatu
stresor. Beberapa orang tua merasa senang karena bebas dari

18
tanggung jawab mengasuh anak, sedangkan sebagian lain merasa
kesepian atau kehilangan arah karena perubahan ini.
d) Merawat Orang Tua yang Berusia Lanjut
Banyak individu dewasa menengah terjepit antara
tanggung jawab merawat anak-anak dan merawat orang tua yang
berusia lanjut dan sakit-sakitan. Selanjutnya individu dewasa
menengah menemukan diri mereka berada dalam generasi
campuran, di mana tantangan untuk memberikan perawatan
menjadi penuh tekanan. Kebutuhan keluarga akan pemberi
layanan kini terus meningkat. Individu dewasa menengah dan
orang tua berusia lanjut sering mengalami konflik prioritas
berkaitan dengan hubungan mereka, sedangkan individu lanjut
usia berusaha untuk tetap tidak bergantung.
Sebagian besar orang dewasa paruh baya dan orang tua
mereka memiliki hubungan yang dekat dan saling mengasihi
didasarkan kepada kontak yang sering terjadi dan bantuan yang
bersifat mutual (Antonucci & Akiyama, 1997; Bengtson, 2001
dalam Papalia, et al., 2013).
d. Kesehatan Psikososial
Ansietas. Ansietas adalah fenomena krisis kematangan yang
berhubungan dengan perubahan, konflik, dan kontrol terhadap
lingkungan. Individu dewasa sering mengalami ansietas dalam
merespon perubahan fisiologis dan psikososial yang terjadi pada usia
pertengahan. Ansietas memotivasi individu dewasa untuk meninjau
ulang tujuan hidup dalam menstimulasi produktivitas. Namun, bagi
beberapa individu dewasa, ansietas dapat memicu penyakit
psikosomatik dan kematian. Pada kasus ini, individu dewasa menengah
memandang kehidupan sebagai waktu hidup yang tersisa. Secara jelas,
penyakit yang mengancam kehidupan, transisi pernikahan, atau stressor
pekerjaan dapat meningkatkan ansietas klien dan keluarganya.
Depresi. Depresi adalah gangguan suasana hati yang
dimanifestasikan dalam berbagai cara. Meskipun lebih sering
ditemukan pada usia antara 22-44 tahun, tetapi dapat ditemukan juga

19
pada individu dewasa pada usia pertengahan dan ditimbulkan oleh
banyak faktor. Faktor resiko depresi adalah menjadi wanita, kegagalan
atau kehilangan di pekerjaan, sekolah, atau dalam hubungan keluarga,
kepergian anak terakhir dari rumah, dan riwayat keluarga.
Individu yang mengalami depresi ringan menunjukkannya
dengan perasaan sedih, murung, putus asa, jatuh dalam kesedihan, dan
penuh dengan air mata. Gejala lainnya adalah gangguan pola tidur
seperti sulit tidur (insomnia) atau tidur yang berlebihan (hipersomnia),
iritabilitas, perasaan tidak berguna, dan penurunan kewaspadaan.
Perubahan fisik seperti penurunan atau penambahan berat badan, sakit
kepala, atau selalu merasa lelah walaupun telah beristirahat juga
merupakan gejala depresi. Individu yang mengalami depresi pada usia
pertengahan biasanya mengalami ansietas dengan intensitas sedang
sampai berat dan mengalami keluhan fisik. Perubahan suasana hati dan
depresi biasanya terjadi saat menopause. Penyalahgunaan alkohol atau
obat dapat membuat depresi semakin berat.

7. Perubahan Pada Usia Dewasa Akhir


a. Perkembangan Fisik di Masa Dewasa Akhir
Penuaan adalah serangkaian proses yang dimulai dengan hidup
dan berlanjut sepanjang siklus kehidupan. Penuaan mewakili waktu
akhir rentang hidup, waktu ketika individu melihat masa lalu dalam
kehidupannya, prestasi hidup masa lalu dan mulai menyelesaikan tugas
kehidupannya.
Pada masa lansia terlihat pada perubahan perubahan fisiologis
yang bisa dikatakanmengalami kemunduran, perubahan perubahan
biologis yang dialami pada masa lansiayang terlihat adanya
kemunduran tersebut sangat berpengaruh terhadap kondisikesehatan
dan terhadap kondisi psikologis.
Menurut Hurlock (1980) terjadi perubahan fisik berupa
penampilan pada usiadewasa akhir, diantanya adalah :
1) Daerah kepala
2) Daerah Tubuh
3) Daerah persendian

20
b. Perkembangan Kognitif di Masa Dewasa Akhir
Perkembangan kognitif di masa dewasa akhir, secara garis besar
terbagi dalam 5 bagian yaitu: 1) Fungsi kognitif pada orang lanjut usia;
2) Perkembangan bahasa; 3) Pekerjaan dan pensiun; 4) Kesehatan
mental; dan 5) Agama.
1) Fungsi Kognitif pada Orang Lanjut Usia Fungsi kognitif pada orang
lanjut usia dibagi dalam 5 pokok bahasan, yaitu: (a)
multidimensionalitas dan multidireksionalitas, (b) pendidikan,
pekerjaan dan kesehatan, (c) gunakanlah atau anda akan kehilangan,
(d) pelatihan keterampilan kognitif, (e) neurosains kognitif dan
proses menjadi tua.
a) Multidimensionalitas dan Multidireksionalitas
Kognisi merupakan suatu konsep yang bersifat
multidimensional (Margrett & Deshpande-Kamat, 2009), artinya
terdapat beberapa dimensi kognisi yang mengalami kemunduran
seiring dengan bertambahnya usia. Pada beberapa orang dimensi
ini mungkin tetap stabil atau bahkan mengalami kemajuan
(Santrock, 2012: 171).
Baltes menekankan pembedaan antara mekanika kognitif
(arsitektur neurofisiologis, termasuk otak) dan pragmatik kognitif
(perangkat lunak berbasis budaya dari pikiran). Pada orang-orang
lanjut usia, mekanika kognitif cenderung mengalami kemunduran
dibandingkan pragmatik kognitif. Para peneliti telah menemukan
bahwa dimensi sensori/motor dan dimensi kecepatan pemrosesan
cenderung mengalami kemunduran di usia lanjut. Baru-baru ini
istilah fluid mechanics dan crystallized pragmatics sudah
digunakan masing-masing untuk menjelaskan mekanika kognitif
dan pragmatic kognitif (Santrock, 2012: 202)
Kecepatan Pemrosesan, menurunnya kecepatan
pemrosesan informasi yang dialami orang lanjut usia cenderung
beerkaitan dengan penurunan fungsi otak dan sistem saraf pusat
(Finch, 2009). Kesehatan dan olahraga dapat mempengaruhi
seberapa besar penurunan dalam kecepatan pemrosesan itu

21
terjadi. Sebuah studi menemukan bahwa setelah enam bulan
mengikuti senam aerobik, orang lanjut usia memperlihatkan
kemajuan dalam tugas-tugas waktu reaksi (Santrock, 2012: 173)
Memori, juga mengalami perubahan seiring dengan
bertambahnya usia, namun tidak semua memori berlangsung
dengan cara yang sama (Barba, Attali, & La Corte, 2010).
Dimensi-dimensi utama dari memori dan, proses menjadi tua
meliputi episodic memory, semantic memory, sumber daya
kognitif (seperti working memory dan kecepatan perseptual),
memory beliefs, dan faktor-faktor non kognitif seperti faktor
kesehatan, pendidikan dan sosioekonomi (Santrock, 2012: 174)
b) Pendidikan, Pekerjaan dan Kesehatan
Pendidikan, pekerjaan dan kesehatan merupakan tiga
komponen penting yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif
pada orang lanjut usia.
Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan berkorelasi
secara positif dengan skor intelegensi. Orang dewasa lanjut usia
bisa kembali mengenyam pendidikan untuk berbagai alasan.
Generasi-generasi selanjutnya sudah memiliki pengalaman
pekerjaan yang mencakup penekanan yang lebih kuat pada
pekerjaan yang berorientasi kognitif. penekanan pada
pemprosesan informasi mengalami peningkatan terutama dalam
pekerjaan dapat meningkatkan kemampuan intelektual individu.
Kesehatan yang baru berhubungan dengan performa tes
intelegensi yang menurun pada orang dewasa lanjut usia. Latihan
dan olahraga dihubungkan dengan keberfungsian kognitif yang
lebih tinggi pada orang dewasa lanjut usia (Santrock, 2012: 202).

c) Gunakanlah atau Anda akan Kehilangan


Perubahan-perubahan dalam pola aktivitas kognitif
mengakibatkan adanya keterampilan-keterampilan kognitif yang
tidak terpakai dan mengalami atropi (Hughes, 2010). Konsep

22
tersebut sesuai dengan peribahasa yang mengatakan “gunakanlah
atau anda akan kehilangan” (use it or lose it). Aktivitas mental
yang dapat membina keterampilan kognitif pada orang-orang
lanjut usia adalah aktivitas-aktivitas seperti membaca buku,
mengisi teka-teki silang, mengikuti kuliah dan menonton konser.
“gunakanlah atau anda akan kehilangan” juga merupakan
komponen signifikan dari model keterlibatan optimasi kognitif
yang menekankan tentang bagaimana keterlibatan intelektual dan
sosial bisa memperlambat penurunan terkait usia untuk
perkembangan intelektual (La Rue, 2010; Park & Reuter-Lorenz,
2009; Stine-Morrow dan kawan-kawan, 2007) (Santrock, 2012:
182)
d) Pelatihan Keterampilan Kognitif
Terdapat dua kesimpulan utama mengenai pelatihan
keterampilan kognitif pada orang-orang lanjut usia:
(1) Pelatihan dapat meningkatkan keterampilan kognitif orang
orang lanjut usia,
(2) di masa dewasa akhir terjadi sejumlah kemunduran dalam hal
kekenyalan (Santrock, 2012: 202)
e) Neurosains Kognitif dan Proses Menjadi Tua
Perubahan-perubahan yang berlangsung di otak dapat
memengaruhi fungsi kognitif dan perubahan-perubahan fungsi
kognitif dapat memengaruhi otak (Smith, 2007). Artinya apabila
orang lanjut usia tidak menggunakan working memory mereka
secara teratur (pembahasan use it or lose it). Koneksi-koneksi
yang terjadi di lobus prefrontal dapat mengalami atropi. Selain
itu, intervensi kognitif yang mengaktifkan working memory orang
dewasa dapat meningkatkan koneksi-koneksi neural (Santrock,
2012: 184)
2) Perkembangan Bahasa
Banyak orang tua merasakan pengalaman kesepian dan
depresi di usia tua, disebabkan karena hidup sendirian atau karena
kurangnya ikatan keluarga dekat dan adanya pengurangan hubungan
dengan budaya asal mereka, sebab mereka tidak memiliki

23
kemampuan untuk secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan
komunitas. Pada usia lanjut, tak dapat dielakkan bahwa orang
kehilangan koneksi dengan jaringan persahabatan dan bahwa mereka
lebih susah menemukan dan memulai persahabatan yang baru.
Sulitnya menemukan dan memulai persahabatan yang baru
berkaitan dengan aspek keterampilan fonologi orang dewasa lanjut
usia berbeda dengan keterampilan orang dewasa yang lebih muda
(Clark Cotton dkk., 2007). Cara bicara orang dewasa lanjut usia
biasanya volumenya lebih rendah, tidak terartikulasi dengan tepat
dan tidak begitu lancar (lebih banyak jeda, pengulangan dan
koreksi). Terlepas dari perbedaan usia keterampilan berbicara orang
dewasa lanjut usia masih memadai untuk berkomunikasi sehari-hari.
Para peneliti telah menemukan informasi yang bertentangan
tentang perubahan dalam cara bicara (ekspresi verbal yang diperluas
dalam pembicaraan atau tulisan) dengan penuaan. Satu aspek dari
cara berbicara dimana perbedaan usia ditemukan mencakup
menceritakan kembali sebuah kisah atau memberikan instruksi untuk
menyelesaikan sebuah tugas. Ketika terlibat dalam cara berbicara
jenis ini, orang dewasa lanjut usia cenderung menghilangkan elemen
kunci, menciptakan percakapan yang kurang lancar dan lebih sulit
untuk disimak (Clark Cotton, dkk., 2007)
Faktor-faktor non-bahasa dapat merupakan faktor-faktor yang
menyebabkan kemunduran keterampilan bahasa pada orang-orang
lanjut usia (Obler, 2005). Menurunnya kecepatan dalam
pemprosesan informasi dan menurunnya working memory,
khususnya dalam hal kemampuan menyimpan informasi di dalam
pikiran ketika melakukan pemrosesan, cenderung berkontribusi
terhadap kurangnya efisiensi berbahasa pada orang-orang lanjut usia
(Stine-Morrow, 2007) (Santrock, 2012: 186)
3) Pekerjaan dan Pensiun
Kemampuan kognitif adalah salah satu prediktor terbaik
untuk performa kerja pada orang-orang lanjut usia. Para pekerja
lanjut usia cenderung lebih sedikit absen, lebih sedikit mengalami

24
kecelakaan, dan lebih memperoleh kepuasan kerja, dibandingkan
dengan rekan-rekannya yang lebih muda (Warr, 2004). Ini berarti
bahwa para pekerja yang lebih tua dapat memiliki nilai yang cukup
penting bagi sebuah perusahaan, melebihi kompetensi kognitif
mereka. Singkatnya usia mempengaruhi banyak aspek dalam
pekerjaan. Meskipun demikian, banyak studi mengenai persewaan
dan unjuk kerja – mengungkapkan kasus yang tidak konsisten.
Faktor-faktor kontekstual yang penting, seperti komposisi usia dari
suatu departemen atau kelompok pelamar, pekerjaan semuanya
memengaruhi keputusan mengenai pekerja lanjut usia. Hal lain yang
juga penting diketahui adalah bahwa streotip terhadap pekerja lanjut
usia dan jenis tugas-tugas yang ditangani, dapat membatasi peluang
karir mereka dan mendorong pensiun dini atau pembatasan pekerja
yang berdampak pada mereka (Finkelstein & Farrel, 2007). Sebagai
contoh sebuah studi menemukan bahwa streotip negatif yang
berkembang cukup luas yang ditujukan pada orang-orang lanjut usia
menyatakan bahwa mereka sebaiknya tidak dipekerjakan lagi
(Gringart, Helmes & Speelmen, 2005) (Santrock, 2012: 188)
Pensiun merupakan suatu proses bukan merupakan suatu
peristiwa (Moen, 2007). Banyak penelitian mengenai pensiun yang
dilakukan lebih merupakan penelitian cross-sectional dibandingkan
penelitian longitudinal dan lebih berfokus pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Orang-orang lanjut usia yang
menunjukkan penyesuaian yang paling baik terhadap pensiun, adalah
mereka yang sehat, memiliki keuangan yang memadai, aktif, lebih
terdidik, memiliki jaringan sosial yang luas yang meliputi kawan-
kawan dan keluarga, serta biasanya puas dengan kehidupannya
sebelum mereka pensiun (Jokela & Kawan-kawan, 2010; Raymo &
Sweeney, 2006) (Santrock, 2012: 190)
4) Kesehatan Mental
Gangguan-gangguan mental pada orang-orang lanjut usia
merupakan persoalan utama, timbulnya masalah ini, pada orang-

25
orang lanjut usia tidak lebih sering dibandingkan pada orang dewasa
yang lebih muda (Busse & Blazer, 1996). Hal yang paling sering
terjadi adalah masalah depresi (Santrock, 2012: 191)
Jurnal yang berjudul Loneliness, depression and sociability
in old age, menyatakan tentang depresi atau terjadinya depresi
simtomatologi adalah suatu kondisi yang menonjol antara orang tua,
dengan dampak kualitas hidup dan kesejahteraan yang terjadi secara
signifikan. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi
gejala depresi meningkat dengan usia (Kennedy, 1996). Gejala
depresi tidak hanya memiliki tempat penting sebagai indicator
psikologis kesejahteraan tetapi juga diakui sebagai prediktor
signifikan kesehatan dan umur panjang. Studi longitudinal
menunjukkan peningkatan gejala depresi bermakna dikaitkan dengan
peningkatan kesulitan dengan aktivitas hidup sehari hari
(Penninx et al., 1998). Data berbasis masyarakat menunjukkan
bahwa orang tua dengan gangguan depresi utama berada pada
peningkatan risiko kematian (Bruce, 1994). Ada juga studi yang
menunjukkan bahwa gangguan depresif mungkin terkait dengan
penurunan fungsi kognitif (setitik et al., 1995).
Teori yang medukung pernyataan tentang depresi ini
dinyatakan oleh Santrock, 2012: 204 bahwa depresi sering disebut
juga “demam umum” dari gangguan mental Depresi mayor adalah
suatu gangguan suasana hati dimana individu merasa sangat tidak
bahagia, kehilangan semangat, merendahkan diri dan bosan. Orang
ini tidak merasa baik, mudah kehilangan stamina, memiliki nafsu
makan yang rendah, tidak bergairah dan tidak termotivasi. Depresi
mayor demikian luas tersebar sehingga disebut “demam umum” dari
gangguan mental. (Santrock, 2012: 191). Hal ini juga
memperlihatkan adanya hubungan antara keramahan dan usia tua.
Keramahan memainkan peran penting dalam melindungi orang dari
pengalaman tekanan psikologis dan meningkatkan kesejahteraan.
5) Agama

26
Agama dapat memenuhi sejumlah kebutuhan psikologis pada
orang-orang lanjut usia, membantu mereka mennghadapi kematian
yang akan datang, menemukan dan membina penghayatan akan
makna dan pentingnya hidup, serta menerima kemunduran yang
tidak terelakkan karena usia (Daaleman, Perera & Studenski, 2004;
McFarland, 2010).
c. Perkembangan Sosioemosi di Masa Dewasa Akhir
Jurnal yang berjudul “Tinggal Sendiri di Masa Lanjut Usia”
menyatakan bahwa proses menua (aging) adalah proses alami yang
disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang
saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan inilah yang berpotensi
menimbulkan problem karena pada masa lanjut usia biasanya disertai
dengan perubahan kepribadian.
Munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidak ikhlasan
menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh,
kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan
perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia. Sejalan
dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional, keadaan
depresidan ketakutan akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit
melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga lanjut usia yang masa
lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi semakin sulit
penyesuaian diri pada masa-masa selanjutnya. Yang dimaksud dengan
penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan orangyang berusia
lanjut untuk menghadapi tekanan akibat perubahan perubahan fisik,
maupun sosial psikologis yang dialaminya dan kemampuan untuk
mencapai keselarasanantara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan
dari lingkungan, yang disertai dengan kemampuan mengembangkan
mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan
kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru.
d. Perkembangan Spiritual
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat
dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan
hidup, harga diri dan optimisme. Kebutuhan spiritual (keagamaan)

27
sangat berperan memberikan ketenangan batiniah, khususnya bagi para
Lansia. Sehingga religiusitas atau penghayatan keagamaan besar
pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik maupun kesehatan mental.
e. Perkembangan Minat
6. Minat dalam diri sendiri : orang menjadi semakin dikuasai oleh diri
sendiri apabila semakin tua
7. Minat terhadap pakaian : minat terhadap pakaian tergantung pada
sejauh mana orang berusia lanjut terlibat dalam kegiatan social
8. Minat terhadap uang : pensiun atau pengangguran mungkin akan
menjalani masa tuanya dengan pendapatan yang kurang bahkan
mungkin tanpa pendapatan sama sekali.
9. Minat untuk rekreasi : beberapa perubahan dalam kegiatan sering
dilakukan karena memang tidak dapat diletakkan
10. Minat keagamaan, dalam hal ini beberapa penelitian menunjukkan
bahwa orang usia lanjut temyata tidak harus selalu semakin kuat
kehidupan keagamaannya. disimpulkan bahwa kehidupan beragama
ini akan sangat ditentukan oleh bagaimana individu menjalankan
kehidupan beragama.
11. Minat untuk mati, beberapa pertanyaan sering kali banyak
menghinggapi pikiran para lanjut usia ini antara lain, kapan saya
akan mati?
f. Perkembangan Keintiman
Keintiman dapat diartikan sebagai suatu kemampuan
memperhatikan oranglain dan membagi pengalaman dengan mereka.
Orang-orang yang tidak dapat menjalin hubungan intim dengan orang
lain akan terisolasi. Menurut Erikson, pembentukan hubungan intim ini
merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh orang yang memasuki
masa dewasa akhir.
g. Perkembangan Generatif
Generativitas adalah tahap perkembangan psikososial ketujuh
yang dialami individu selama masa pertengahan masa dewasa. Ketika
seseorang mendekati usia dewasa akhir, pandangan mereka mengenai
jarak kehidupan cenderung berubah. Mereka tidak lagi memandang
kehidupan dalam pengertian waktu masa anak-anak, seperti cara anak
muda memandang kehidupan, tetapi mereka mulai memikirkan

28
mengenai tahun yang tersisa untuk hidup. Pada masa ini, banyak orang
yang membangun kembali kehidupan mereka dalam pengertian
prioritas, menentukan apa yang penting untuk dilakukan dalam waktu
yang masih tersisa.
h. Perkembangan Integritas
Integritas merupakan tahap perkembangan psikososial Erikson
yang terakhir. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan
yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda, orang-orang,
produk-produk dan ide-ide, serta setelah berhasil melakukan
penyesuaian diri dengan berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam
kehidupannya. Lawan dari integritas adalah keputusan tertentu dalam
menghadapi perubahan-perubahan siklus kehidupan individu, terhadap
kondisi-kondisi sosial dan historis, ditambah dengan kefanaan hidup
menjelang kematian.
C. Contoh Perilaku Budaya yang Berhubungan Dengan Kesehatan
Dikaitkan Dengan Tumbuh Kembang Usia Dewasa
1. Salah satu contohnya budaya patriarki di Indonesia atau dominasi laki-laki
di dalam keluarga, mempengaruhi angka kematian ibu. Seringkali terjadi
keterlambatan dalam pengambilan keputusan sehingga terlambat dibawa
ke pelayanan kesehatan sehingga terlambat mendapat penanganan.
2. Pengaruh tradisi
Banyak tradisi yang mempengaruhi perilaku kesehatan dan status
kesehatan misalnya tradisi merokok bagi orang laki-laki maka kebanyakan
laki-laki lebih banyak yang menderita penyakit paru dibanding wanita.
Tradisi wanita habis melahirkan tidak boleh makan ikan karena ASI akan
berbahu amis, sehingga ibu nifas akan pantang makan ikan.
3. Sikap fatalistis
Sikap fatalistis arti sikap tentang kejadian kematian dari
masyarakat. Hal lain adalah sikap fatalistis yang juga mempengaruhi
perilaku kesehatan. Contoh : Beberapa anggota masyarakat dikalangan
kelompok tertentu (fanatik) yang beragama islam percaya bahwa umur
diatur oleh Tuhan, dan sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat
kurang berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan jika
mereka sakit.

29
4. Sikap ethnosentris
Sikap ethnosentris yaitu sikap yang memandang bahwa budaya
kelompok adalah yang paling baik, jika dibandingkan dengan kebudayaan
pihak lain. Misalnya orang-orang barat merasa bangga terhadap kemajuan
ilmu dan teknologi yang dimilikinya, dan selalu beranggapan bahwa
kebudayaann paling maju, sehingga merasa superior terhadap budaya dari
masyarakat yang sedang berkembang. tetapi dari sisi lain, semua anggota
dari budaya lainnya menganggap bahwa yang dilakukan secar alamiah
adalah yang terbaik. Oleh karena itu, sebagai petugas kesehatan kita harus
menghindari sikap yang menganggap bahwa petugas adalah orang yang
paling pandai, paling mengetahui tentang masalah kesehatan karena
pendidikan petugas lebih tinggi dari pendidikan masyarakat setempat
sehingga tidak perlu mengikut sertakan masyarakat tersebut dalam
masalah kesehatan masyarakat.dalam hal ini memang petugas lebih
menguasai tentang masalah kesehatan,tetapi masyarakat dimana mereka
bekerja lebih mengetahui keadaan di masyarakatnya sendiri. Contoh lain :
Seorang perawat atau dokter menganggap dirinya yang paling tahu tentang
kesehatan, sehingga merasa dirinya berperilaku bersih dan sehat
sedangkan masyarakat tidak.
5. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya
Sikap perasaan bangga atas perilakunya walaupun perilakunya
tidak sesuai dengan konsep kesehatan. hal tersebut berkaitan dengan sikap
ethnosentrisme. Contoh : Dalam upaya perbaikan gizi, disuatu daerah
pedesaan tertentu, menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka
tahu kandungan vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat
bernaggapan daun singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan
mereka menolaknya karena status mereka tidak dapat disamakan dengan
kambing.
6. Pengaruh norma
Norma dalam masyarakat sangat mempengaruhi perilaku
masyarakat dibidang kesehatan, karena norma yang mereka miliki
diyakininya sebagai bentuk perilaku yang baik. Contoh : upaya untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan

30
karena ada norma yang melarang hubungan antara dokter yang
memberikan pelayanan dengan bumil sebagai pengguna pelayanan.
7. Pengaruh nilai
Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap
perilaku kesehatan dan perilaku individu masyarakat, kerena apa tidak
melakukan nilai maka dianggap tidak berperilaku “pamali” atau “Saru”.
Nilai yang ada dimasyarakat tidak semua mendukung perilaku
sehat. Nilai-nilai tersebut ada yang menunjang dan ada yang merugikan
kesehatan.
a. Nilai yang merugikan kesehatan; arti anak yang banyak akan membawa
rejeki sendiri sehingga tidak perlu lagi takut dengan anak banyak.
b. Nilai yang mendukung kesehatan, tokoh masyarakat setiap tutur
katanya harus wajib ditaati oleh kelompok masyarakat, hal ini tokoh
masyarakat dapat di pakai untuk membantu sebagai key person dalam
program kesehatan.
8. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses
sosialisasi terhadap perilaku kesehatan
Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap
kebiasaan pada seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, anak harus
mulai diajari sikat gigi, buang air besar di kakus, membuang sampah
ditempat sampah, cara makan atau berpakaian yang baik sejak awal,
dan kebiasaan tersebut terus dilakukan sampai anak tersebut dewasa dan
bahkan menjadi tua. kebiasaan tersebut sangat mempengaruhi perilaku
kesehatan yang sangat sulit untuk diubah ketika dewasa.
9. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan
Tidak ada kehidupan sosial masyarakat tanpa perubahan, dan
sesuatu perubahan selalu dinamis artinya setiap perubahan akan diikuti
perubahan kedua, ketiga dan seterusnya. apabila seorang pendidik
kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan
masyarakat,maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan
terjadi jika melakukan perubahan,menganalisis faktor-faktor yang
terlibat/berpengaruh terhadap perubahan,dan berusaha untuk memprediksi
tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebutapabila ia tahu
budaya masyarakat setempat dan apabila ia tahu tentang proses perubahan

31
kebudayaan,maka ia harus dapat mengantisipasi reaksi yang muncul yang
mempengaruhi outcome dari perubahan yang telah direncanakan
(Notoadmojo, 2007)

D. Peran Budaya dalam Tumbuh Kembang


Matsumoto (2004:7) mengatakan bahwa “budaya merupakan suatu
konstruk individual-psikologis sekaligus konstruk sosial-makro”. Artinya,
sampai batas tertentu budaya ada di dalam setiap dan masing-masing diri kita
secara individual sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global.
Perbedaan individual dalam budaya bisa diamati pada orang-orang dari satu
budaya sampai batas dimana mereka mengadopsi dan terlibat dalam sikap,
nilai, keyakinan, dan perilaku-perilaku yang berdasarkan consensus atau
kesepakatan yang membentuk budaya mereka. Bila Anda bertindak sesuai
dengan nilai-nilai dan perilaku-perilaku tertentu, maka budaya tersebut akan
hadir dalam diri Anda, sedangkan bila Anda tidak memiliki nilai atau
perilaku-perilaku tersebut, maka Anda tidak termasuk dalam budaya itu
1. Pengaruh Budaya pada Komunikasi
Menurut Dayakisni dan Yuniardi (2004:238) “komunikasi adalah
proses menyampaikan pesan atau makna dari pengirim kepada penerima”.
Setiap budaya akan memiliki aturan-aturan bagaimana cara anggota-
anggotanya untuk melakukan komunikasi baik secara verbal maupun non
verbal.
a. Gaya komunikasi verbal secara lintas budaya
Hall (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004:238) mengemukakan
bahwa “context memainkan peranan kunci dalam menjelaskan beberapa
perbedaan komunikasi”. Context adalah informasi yang mengelilingi
suatu komunikasi dan membantu penyampaian pesan. Berdasarkan hal
itu, Hall menyatakan bahwa penggunaan bahasa dalam budaya-budaya
yang berbeda dapat diklasifikasikan sebagai high context atau low
context. Pada budaya low context pembicaraan yang terjadi bersifat
eksplisit dan pesan-pesan yang disampaikan sebagian besar diwakili
oleh kata-kata yang diucapkan. Sebaliknya dalam budaya high context

32
pesan disampaikan secara implisit dan kata-kata yang diucapkan hanya
mewakili sebagian kecil dari pesan tersebut.

b. Budaya dan komunikasi non verbal


Menurut Dayakisni dan Yuniardi (2004:244) “komunikasi non
verbal adalah transfer makna melalui alat-alat seperti bahasa tubuh dan
penggunaan ruang fisik”. Dengan demikian ekspresi wajah, gerakan
tubuh, sikap badan, kontak mata, dan suara bahkan pengunaan ruang
dan jarak interpersonal, penggunaan waktu, tipe pakaian yang dipakai,
dan desain arsitektur yang kita gunakan adalah perilaku-perilaku yang
termasuk dalam perilaku non verbal. Menurut Ekman dan Friesen
(dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004:245) perilaku-perilaku non verbal
dapat diklasifikasikan menjadi 5 kategori, yaitu:
1) Illustrator, yaitu perilaku nonverbal yang digunakan untuk
memperjelas aspek dari kata-kata yang kita ucapkan.
2) Adaptors/manipulators, adalah perilaku non verbal yang kita kelola
untuk membantu tubuh kita beradaptasi terhadap lingkungan
disekitar kita.
3) Emblems, adalah perilaku nonverbal yang menyampaikan suatu
pesan melalui diri mereka sendiri.
4) Emotions, adalah pesan yang disampaikan melalui perilaku
nonverbal.
5) Regulators, adalah perilaku non verbal yang kita kelola untuk
mengatur arus bicara selama percakapan.
Berikut ini terdapat beberapa perbedaan perilaku non verbal
secara lintas budaya:
1) Telaah lintas budaya tentang kinesics
Kinesics ialah studi tentang komunikasi melalui gerakan
tubuh dan ekspresii wajah. Area pertama adalah komunikasi melalui
kontak mata dan kedipan mata.
2) Gestures (gerakan bagian-bagian tubuh)
Gestures juga sering digunakan dalam komunikasi dan
bentuknya dapat berbeda-beda antar budaya. Beberapa budaya
menekankan perbedaan dalam menggunakan gestures sebagai

33
illustrator. Kebanyakan budaya memiliki sistem gerakan tangan yang
menjadi penyampai pesan atau makna tertentu.
3) Chromatics
Chromatics adalah penggunaan warna untuk
mengkomunikasikan pesan. Contohnya di Amerika orang memakai
pakaian hitam ketika dalam berkabung.
4) Ruang antar pribadi dan penggunaan jarak
Ruang adalah dimensi perilaku non verbal lain yang sangat
penting. Kita menggunakan ruang untuk mengirimkan pesan penting
mengenai status kekuasaan, dan dominansi. Hal ini disebabkan
orang-orang yang melakukan suatu interaksi akan menggunakan
ruang ini sama dengan ruang yang secara pribadi mereka miliki.
2. Pengaruh Budaya pada Gender
Menurut Dayakisni dan Yuniardi (2004:253) “gender merupakan
hasil konstruksi yang berkembang selama masa anak-anak sebagaimana
mereka disosialisasikan dalam lingkungan mereka”. Adanya perbedaan
reproduksi dan biologis mengarahkan pada pembagian kerja yang berbeda
antara pria dan wanita dalam keluarga. Perbedaan-perbedaan ini pada
gilirannya mengakibatkan perbedaan ciri-ciri sifat dan karakteristik
psikologis yang berbeda antara pria dan wanita. Berry dkk (dalam
Dayakisni dan Yuniardi, 2004:253) “mengajukan suatu kerangka berfikir
untuk menggambarkan bagaimana praktek budaya dapat memperngaruhi
perbedaan gender dalam karakteristik psikologis”. Sebagai
konsekuensinya, budaya yang berbeda akan memberikan hasil yang
berbeda pula. Satu budaya mungkin mendukung kesamaan antara pria dan
wanita, namun budaya lainnya tidak mendukung kesamaan tersebut.
Dengan demikian budaya mendifinisikan atau memberikan batasan
mengenai peran, kewajiban, dan tanggung jawab yang cocok bagi pria dan
wanita.

3. Pengaruh Budaya pada Persepsi


“Persepsi merupakan suatu proses konstruksi maupun proses
menyusun keeping-keping informasi agar menjadi bermakna”

34
(Matsumoto, 2004:75). Karena merupakan suatu konstruksi, persepsi kita
pelajari seiring dengan perkembangan kita sejak lahir, masa anak-anak,
remaja, dan masa dewasa. Karena ia dipelajari, maka persepsi bisa
dibentuk, diubah, dan dipengaruhi oleh kebudayaan dimana kita
dibesarkan. Maka dari itu, cara kita mempersepsi dunia sekeliling kita,
terutama bagi kita orang dewasa akan dipengaruhi oleh bagaimana budaya
membantu kita mempelajari cara mengkonstruksi makna dan pemahaman
dari informasi sensorik yang kita terima lewat indera-indera kita. Akan
tetapi, tampaknya jelas bahwa meski persepsi dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya termasuk usia, pematangan lingkungan, namun
situasi/latar belakang kebudayaan tetap merupakan penentu yang
berpengaruh dalam persepsi kita terhadap dunia.
4. Pengaruh Budaya pada Perkembangan Kognitif dan Inteligensi
Matsumoto (2004:174) “terdapat perbedaan dalam bagaimana
budaya mendefinisikan perkembangan kognitif dan inteligensi”.
Bagaimana suatu budaya mendefinisikan apa yang disebut cerdas
barangkali tidak sama dengan bagaimana budaya lain mendefinisikan
inteligensi. Oleh sebab itu, tanda-tanda atau perilaku yang secara tipikal
dipakai untuk mengukur inteligensi akan berbeda-beda dari satu budaya ke
budaya yang lain. Mempertunjukkan keterampilan, bakat, atau
kemampuan dalam suatu tugas, mengajukan pertanyaan atau suatu
aktivitas mungkin dianggap baik diberbagai budaya. Namun perilaku yang
sama bisa memicu emosi negatif pada beberapa budaya lain karena
dianggap tak sopan, arogan, tak pantas, atau tidak dewasa.
5. Pengaruh Budaya pada Perilaku Manusia
Perilaku-perilaku manusia satu dengan yang lainnya sangat terkait
erat dengan budaya yang mereka anut. “Ketika berinteraksi dengan orang
dari budaya lain di seluruh dunia, baik saat kita bepergian atau sebaliknya,
kita akan menghadapi berbagai cara budaya mewujudkan dirinya melalui
perilaku” (Matsumoto, 2004:264). Dengan meningkatnya pemahaman kita
tentang perwujudan-perwujudan ini, kita akan semakin menghargai
pentingnya peran budaya, tidak hanya akan memberi kita rambu-rambu

35
dalam hidup, tapi juga dalam membantu kita menemukan jalan untuk
bertahan hidup. Kenyataannya, budaya menyediakan bagi kita aturan-
aturan yang memastikan berlangsungnya hidup dengan asumsi bahwa
sumber daya hidup masih tersedia.

E. Masalah-Masalah Budaya dalam Tumbuh Kembang


1. Pengaruh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Diera modern ini perkembangan teknologi semakin pesat,
pengaruh-pengaruh dari perkembangan IPTEK juga dirasakan oleh
masyarakat khususnya masyarakat dewasa. Penemuan-penemuan baru di
temukan untuk mempermudah pekerjaan manusia. Istilah globalisasi sudah
tidak asing ditelinga, kerjasama lintas wilayah tiada batas. interaksi sosial
dapat dilakukan dengan media seperti telepon, internet, komputer, atau
berkomunikasi secara langsung. Dan cara berpakaian, cara bicara, dan
tingkah laku. Budaya daerah perlahan tergerus dan digantikan dengan gaya
hidup yang baru. Ini menimbulkan masalah budaya karena semakin
canggihnya teknologi budaya yang ada diri dewasa tersebut akan semakin
pudar tergerus oleh teknologi.
2. Konflik sosial dalam masyarakat akibat perbedaan budaya
Perbedaan suku, budaya dan ras ditambah dengan perbedaan agama
dapat menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh diwilayah Indonesia, antara suku aceh dan suku batak di Sumatera
Utara. Suku Aceh yang beragama islam dan suku batak yang beragama
kristen, kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan
dalam konflik fisik, yang merugikan ketentraman dan keamanan.

3. Semakin kompleks kebutuhan dan masalah yang di hadapi oleh manusia


Manusia memiliki kebutuhan hidup yang tak terbatas. Oleh sebab
itu manusia akan melakukan segala hal untuk memenuhi kebutuhannya
tersebut. Inilah salah satu hal yang melatarbelakangi pertukaran budaya
antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. Karena kebutuhan yang
tak terbatas dan sarana pemenuhan kebutuhan yang terbatas menyebabkan
orang akan mencari alat pemenuh kebutuhan tersebut ditempat atau

36
kelompok lain. Maka ketika ia berkeluarga dan tinggal jauh dari tempat
asalnya, sehingga anaknya yang lahir dari keluarga tersebut kemungkinan
besar tidak mengetahui adat istiadat kebudayaan orang tuanya. Hal ini
akan terjadi ke generasi-generasi berikutnya, sehingga kebudayaan asalnya
akan mulai terlupakan.
4. Kurangnya pendidikan tentang budaya
Kecintaannya akan budaya lokal harus ditambahkan sejak dini,
agar ketika seorang anak tumbuh besar ia tidak akan merasa asing dan
minder dengan kebudayaan yang dimiliki. Sehingga ketika sudah dewasa
sudah memiliki pendidikan tentang budaya, tetapi pendidikan budaya anak
sudah berkurang sehingga ketika dewasa mereka tidak mengetahui tentang
budayanya (Notoadmojo, 2007).

37
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

38
DAFTAR PUSTAKA

Adhiputra, Ngurah A. (2013). Konseling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.


Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Hapsari, Dwi., dkk. (2009). “Pengaruh Lingkungan Sehat, dan Perilaku Hidup
Sehat Terhadap Status Kesehatan”. Bulletin of Health Research, (37), 40-49.
Perry, Potter. (2009). Fundamental of Nursing. Jakarta : Salemba Medika.
Satrianawati. (2015). “Perkembangan Pada Masa Dewasa Akhir atau Usia Lanjut
Terkait Dunia Pendidikan”. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Pendidikan IPA VI, Semarang, 25 April 2015.
Sitorus, Ernawati. (2015). “Respon Psikososial Usia Dewasa Pasca Erupsi
Sinabung”. Skripsi. Medan : Universitas Sumatera Utara
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50052/Chapter
%20II.pdg?sequence=4&isAllowed=y, diakses 11 September 2019 pukul
21.02 WIB).
Ummayyah, U. (2015). “Pengaruh Culture Shock Terhadap Kemampuan Adaptasi
Mahasantri ditinjau dari regional”. Skripsi. Malang : UIN Maulana Malik
Ibrahim (http://etheses.uin-malang.ac.id/1192/6/11410125_Bab_2.pdf,
diakses 14 September 2019 pukul 14.46 WIB).
.

39

Anda mungkin juga menyukai