Anda di halaman 1dari 24

TATTWA I

“Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal”

Dosen Pengampu:

Dr. I Nyoman Alit Supandi, S.Ag., M.Pd.H

Kelompok 1 :

1.I Gusti Ayu Putri Surya Dewi (2111011001)

2. Made Avilira Astaswari (2111011003)

3. Yuga Wisnu Murti (2111011013)

4. Ni LuhPuji Bakti Rahayu (2111011014)

UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA DENPASAR

FAKULTAS DHARMA ACARYA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal” dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok
yang telah diberikan oleh Bapak Dr. I Nyoman Alit Supandi, S.Ag., M.Pd.H selaku
dosen pengampu pada proses pembelajaran program studi Pendidikan Agama Hindu
mata kuliah Tattwa I.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal. Dengan keseriusan dan ketekunan
dalam pembuatan makalah ini, harapan kami dapat memberikan manfaat bagi teman-
teman dan para pembaca, khususnya agar memahami dan mendalami mengenai isi dari
makalah ini, serta dapat menjadi pembelajaran bagi kami dalam pembuatan sebuah
makalah, khususnya dalam materi Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal.

Tak kalah pentingnya kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada


Bapak Dr. I Nyoman Alit Supandi, S.Ag., M.Pd.H selaku dosen pengajar dalam mata
kuliah Tattwa I yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua sumber dan pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terlepas dari
semua itu, kami menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan
makalah ini, baik dari segi materi maupun tata bahasa. Oleh karena itu, kami berharap
kritik dan saran dari teman- teman demi perbaikan makalah ini.

Denpasar, 30 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. i


Daftar Isi ......................................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ............................................................................................................. 2
Bab II Pembahasan ......................................................................................................... 3
2.1 Agama Dalam Tradisi Perang Tipal Bantal Di Desa Kapal ............................. 3
2.2 Budaya Dalam Tradisi Perang Tipat Bantal Di Desa Kapal........................... 10
2.3 Adat Dalam Tradisi Perang Tipat Bantal Di Desa Kapal ............................... 16
Bab III Penutup ............................................................................................................. 20
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 20
3.2 Saran ................................................................................................................ 20
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tradisi merupakan suatu warisan budaya yang diwariskan leluhur pada kita untuk
senantiasa dilaksanakan dan dilestarikan. Banyak sekali yang dapat kita petik dari setiap
tradisi yang ada, sama halnya dengan tradisi yang ada di desa Kapal. Desa Kapal adalah
salah satu desa tradisional di Bali yang kayaakan keunikan adat, budaya, dan
tradisi.Tradisi yang dipercayai membawa pengaruh yang besar terhadap kelangsungan
hidup masyarakat Desa Kapal yang masih berlangsung hingga sekarang yaitu “Tabuh Rah
Pengangon” atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi Perang Tipat
Bantal. Tradisi Perang Tipat Bantal ini erat kaitannya dengan kehidupan pertanian
masyarakat. Ini merupakan sebuah tradisi unik yang dilaksanakan sebagai rasa syukur
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas kehidupan yang diciptakanNya, serta
berlimpahnya hasil panen yang ada di Desa Adat Kapal. Tradisi yang secara turun-
temurun dilangsungkan sebagai sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta
yang menciptakan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehidupan itu
sendiri, dengan konsep menjaga ibu pertiwi (tanah) yang merupakan wujud nyata
penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhuk dimuka bumi ini. Kearifan lokal
masyarakat Kapal sebagai cermin dari kehidupan masyarakat Bali yang senantiasa
berjalan selaras dengan alam, sebagai cerminan agar bahwa Tri Hita Karana adalah
konsep kehidupan yang sangat berperan dalam menjaga keharmonisan kehidupan
masyarakat di Bali. Untuk itu mari kita telusuri dan pahami lebih lanjut mengenai Tabuh
Rah Pengangon ini sebagai wawasan mengenai budaya dan tradisi yang ada di tanah
tercinta ini.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang ada di atas, maka rumusan masalah terdiri dari :
1. Bagaimana Agama dalam Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal?
2. Bagaimana Budaya dalam Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal?
3. Bagaimana Adat dalam Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal?

1
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1. Tujuan Umum
Mengungkap keberadaan sebuah Tradisi Aci Rah Pangangon atau Perang
Tipat Bantal yang terdapat di Desa Adat Kapal.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui Agama dalam Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat
Kapal
2) Untuk mengetahui Budaya dalam Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat
Kapal
3) Untuk mengetahui Adat dalam Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :

1. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
a. Bagi penulis
Dapat menambah wawasan mengenai agama, budaya, dan adat yang ada di
Desa Adat Kapal, khususnya dalam Tradisi Perang Tipat Bantal.
b. Bagi pendidik dan calon pendidik
Dapat memperoleh wawasan mengenai agama, budaya, dan adat yang ada
di Desa Adat Kapal dengan adanya Tradisi Perang Tipat Bantal, mulai dari
sejarah, prosesi, bebantenan yang digunakan, dan lain sebagainya.
2. Manfaat Teoritis
Dapat mengetahui proses/prosesi pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal di Desa
Adat Kapal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Agama Dalam Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal
Pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal oleh
masyarakat setempat sebagai Tradisi Siat Tipat berkaitan erat dengan kehidupan
pertanian masyarakat, di mana tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur kepada
tuhan atas kehidupan yang diciptakanNya serta berlimpahnya hasil panen di Desa ini.
Selain sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen, ritual ini adalah sebagai bentuk
pengharapan supaya warga di desa adat ini selalu mendapat kesejahteraan dan untuk
menjaga keseimbangan agar di berbagai bidang kehidupan yang menjadi mata
pencaharian masyrakat setempat tetap berjalan dengen baik tradisi ini dilaksakan
setiap bulan keempat penanggal Bali (sasih kapat) sekitar bulan September sampai
bulan Oktober yang pelaksanaanya diwujudkan bentuk Perang Tipat Bantal.
Pelaksanaan Perang Tipat Bantal ini diwujudkan dalam anyaman janur atau
daun kelapa yang masih muda.Tipat berbentuk segi empat yang melambangkan energi
feminim (predana) sedangkan bantal adalah panganan yang terbuat dari beras ketan
yang juga dibunngkus denan janur namun berbentuk bulat lonjong yang melabangkan
energi maskulin (purusa). Pada saat acara di mulai tipat dan bantal di lempar di atas,
pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada saat semua
mahluk di dunia ini, segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh),
bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini dan saat jatuh ke
tanah bermakna lahirnya kemakmuran.
Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata
utama untuk mempertahankan diri dalam hidup. Dari tradisi ini pula dapat dirunut
sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larang menjual tipat. Tipat
didalam konteks ini dalam bentuk fisiknya sebagai tanah. Tanah adalah penopang
hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat, dan
dihormati.

3
Hal ini juga tercantum dalam Lontar Bhisamayang berisi :
“Wahai masyarakat Kapal jika kau menginginkan kemakmuran janganlah
sesekali kau menjual tipat karena itulah simbul mertuamu sendiri jika ada yang
berani maka keluargamu akan megelami surut dalam perekonomian”.
Sehingga sampai saat ini di Desa Adat Kapal, tidak ada seorang pun yang
berani menjual tipat. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh
masyarakat atau penduduk di Desa Adat Kapal.
Ritual merupakan sarana penunjang bagi pelaksana agama. Maka banyak yang
mengatakan bahwa agama dan ritual saling berhubungan satu sama lain. Antara satu
unsur dengan unsur lain saling berkaitan secara fungsional dan saling menatap dalam
hal ini disebut proses sibernatik. Di samping upacara atau ritual sebagai nilai
pemersatu dan kesatuan muncul rasa memiliki dari seluruh warga. Seperti yang
dijelaskan di atas ritual merupakan sarana keagamaan yang sarat dengan simbol-
simbol yang mengandung nilai-nilai pendidikan.
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat pendidikan
merupakan suatu aktivitas sosial yang sangat esensial yang memungkinkan adanya
masyarakat yang kompleks.
Manusia mempercayai melalui Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan
dan pola perilaku yang oleh manusia digunakan untuk mengendalikan alam semesta
yang tidak dapat dikendalikannya. Ada banyak definisi agama. Definisi-definisi itu
tidak ada yang sempurna karena itu tidak dapat memuaskan semua orang. Lagi pula
agama itu tidak sama, yang mempersulit orang membuat definisi itu. Walaupun
begitu, untuk pegangan baik juga disebut salah satu definisi itu. Agama ialah
kepercayaan kepada Tuhan serta segala sesuatu yang bersangkut paut dengan itu.
Dengan definisi itu maka sembahyang, melakukan kebaikan kepada sesama manusia,
dan lain sebagainya adalah praktik dari agama.
Walaupun kita tidak cepat percaya terhadap sesuatu, tetapi percaya itu perlu
pada hidup ini. Orangnya tidak mempunyai kepercayaan pada sesuatu, akan selalu
dalam keadaan bimbang, ragu, tidak aman, curiga, dan tidak mempunyai tempat
berpegang yang pasti. Demikian seseorang tidak enak tidurnya karena curiga kalau
jendelanya dibongkar orang lain. sebaliknya seseorang merasa tentram hatinya
bertempat tinggal pada kaki sebuah gunung berapi, karena ia percaya bahwa gunung
itu tidak akan meletus, walaupun ia tak tahu apakah benar demikian adanya. Kita

4
merasa aman berkumpul dengan teman kita karena kita percaya bahwa mereka itu
adalah orang baik-baik. Percaya itu perlu dalam hidup ini dan kita berharap bahwa apa
yang kita percaya itu perlu dalam hidup ini dan kita berharap bahwa apa yang kita
kerja itu memang benar seperti dugaan kita. karena agama itu adalah kepercayaan
dalam hidup ini dan karena kepercayan kita memiliki rasa aman itu, maka kita akan
memiliki ketetapan hati dalam menghadapi sesuatu. Dengan iman tertentu yang
menambatkan ia pada suatu tempat berpegang yang kokoh. Tempat itu tiada lain
adalah Tuhan, sumber dari semua ketentraman dan semangat hidup ini mengalir.
Kepada-nya kita memasrahkan diri kita, karena tiada tempat lain dari pada
terhubungnya tempat kita kembali.
Karena dalam semua kebudayaan yang dikenal tidak ada sesuatu yang
sungguh-sungguh dengan pasti dapat mengendalikan alam semesta maka agama
merupakan bagian dari semua kebudayaan yang kita ketahui. Agama menyampaikan
ajarannya dengan Pranata petugas-petugasnya baik di dalam upacara keagamaan,
khotbah, renungan, pendalaman dan lain-lain maupun di luar perayaan liturgis. Nilai-
nilai agama yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas merupakan
pranata sosial dan sebagai salah satu sumber perangkat sosial.
Begitu pula pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal selain
ritual ini sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dan melimpahnya hasil panen kepada
Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Adat Kapal juga
berfungsi sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat Desa Adat Kapal. Pelaksanaan
Tradisi Perang Tipat Bantal merupakan sebuah tradisi kuno yang mendirikan kearifan
lokal masyarakat Desa Adat Kapal yang mempunyai tujuan untuk menyeimbangkan
dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan alam.

A. Sejarah Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Kapal


Sejarah adalah pengetahuan atau gambaran tentang peristiwa dan kejadian
yang benar-benar terjadi pada masa lampau, sejarah juga identik dengan Tambo
atau hikayat, selain itu sejarah juga diistilahkan dengan sejarah masa lampau.
Keberadaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau yang lebih dikenal dengan tradisi
Perang Tipat Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno
berupa lontar-lontar, salah satunya menceritakan asal mula pelaksanaan tradisi ini
terdapat dalam Lontar Tabuh rah Pengangon. Dalam lontar tersebut, dikisahkan di
zaman dahulu, yaitu tepatnya di tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi.

5
Diceritakan beliau raja Bali yang bergelar Sri Walajaya Kertaningrat. Beliau
dipanggil oleh Hyang Maha Kuasa. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan,
maka dengan segera Asta Sura Ratna Bhumi Banten yang merupakan adik dari Sri
Walajaya Kertaningrat diangkat sebagai raja Bali menggantikan kakaknya yang
telah wafat.
Tersebutlah pada saat beliau Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi penguasa
pulau Bali, terciptanya suasana aman dan tentram. Keadaan ini disebabkan karena
beliau sangat dikenal dan dicintai, serta sangat beribawa.Segala ucapannya sangat
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.Beliau tidak mau tunduk dibawah raja-raja
lainnya di Nusantara, terlebih dengan raja Majapahit.Pada saat beliau Sri Asta
Ratna Bhumi Banten memegang tampuk pemerintahan di Bali, beliau mengangkat
seorang patih yang bernama Kebo Iwa Taruna dan mempunyai seorang Mahapatih
yang bernama Ki Pasang Grigis. Tersebutlah Ki Kebo Iwa yang lebih terkenal
dengan nama Ki Kebo Taruna. Tatkala itu bertitahlah raja Bali, yaitu Asta Sura
Ratna Bhumi Banten kehadapan Kebo Iwa, sabdha beliau: ”wahai kamu Kebo
Iwa,pada saat ini aku akan mengutus engkau menuju Khayangan Bhatara Purusada
yang terletak di desa Kapal. Tugasmu tiada lain adalah untuk memperbaiki candi
yang ada disana”. Demikian perintah beliau raja Bali kepada Kebo Iwa. Pada
kesempatan itu Kebo Iwa umatur kepada beliau raja Bali: ”Ia tuanku paduka raja,
hamba akan segera melaksanakan titah paduka karena hamba tidak berani
menyimpang dari keputusan paduka”. Setelah demikian, maka dengan segera Ki
Kebo Iwa berangkat bersama rombongan yang mengikutinya, yaitu: Pasek Gelgel,
Pasek Tangkas, Pasek Bendesa, dan Pasek Gaduh pada tahun Isaka 1260 atau
tahun 1338 Masehi.
Dengan segera, Ki Kebo Iwa berangkat bersama rombongan mengambil batu
bata di Desa Nyanyi Dewasa.Kebo Iwa bersamarombongan mulai merenovasi
candi Purusada pada hari Rabu Umanis Prangbakat, sasih Kapat (sekitar
September-Oktober).Tidak dikisahkan beliau merenovasi Khayangan Purusada,
Desa Kapal.Beliau juga tidak lupa membuat pelinggih pemujaan leluhurnya yang
berlokasi disebelah tenggara Candi Purusada.Demikian kisahnya di zamannya
dahulu.Dikisahkan sekarang di Desa Kapal terjadi musim paceklik, hingga
kejadian itu menyebabkan kemelaratan masyarakat Desa Kapal.Hal ini disebabkan
karena tanaman yang menghasilkan bahan makanan semuanya mati, hingga
akhirnya muncul kemelaratan.Melihat tanda-tanda demikian, membuat Kebo Iwa

6
merasa risau.Untuk mencari sebab musababnya, beliau akhirnya melakukan tapa
semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala beliau melakukan yoga semadhi,
serta merta mendengar angawang-awang dari langit sabda tersebut adalah: ”wahai
engkau Kebo Iwa, dengarlah baik-baik wejanganku ini. Aku tiada lain adalah Sang
Hyang Siwa Pasupati bersama Dewi Uma IstriKu. Aku juga dikenal dengan
sebutan Sang Hyang Druwe Rsi.Apa sebabnya pada desa ini terjadi musim
paceklik, karena tidak adanya sumber kehidupan (manik) dari Aku yang
merupakan sumber adanya benih yang berupa Purusha Pradhana sebagai wujud
memohon kehidupanKu. Sekarang jika kalian ingin makmur, tidak kekurangan
pangan (makanan), wajib menghaturkan Aci Rah Penganggon yang juga disebut
Aci Rare Anggonyang mesti rutin dilakukan setiap tahunnya. Sedangkan sarana aci
tersebut, wajib menghaturkan “Tipat” dan ”Bantal”. Itu semua tiada lain adalah
sebagai simbolik Purusha Pradhana (Kama Bang dan Kama Putih). Segala yang
tumbuh dari tanah, beranak, dan bertelur akan tumbuh dengan suburnya.
Sesungguhnya sarana itu merupakan piranti yang sangat mulia untuk memohon
kesejahteraan. Namun, apabila kalian melaksanakan upacara ini janganlah lupa
memohon kehadapanKu yang pertama kali. Jika hal ini mampu kalian laksanakan,
maka sudah pasti wilayah ini akan menjadi makmur. Demikian wahai kalian semua
pesanKu kehadapanmu”. Tidak dikisahkan, tatkala disana beliau Ki Kebo Iwa
menyiarkan kepada penduduk Desa Kapal untuk melaksanakan Aci Rah
Pengangon yang lehih dikenal dengan sebutan Tajen Pengangon.Untuk petama
kalinya, hal tersebut dilaksanakan pada tahun Isaka 1263 atau tahun 1341 masehi.
Tatkala itu akhirnya Ki Kebo Iwa teringat akan kebiasannya sedari kecil yang
senang memakan ketupat, maka kemudian beliau mengeluarkan kutukan kepada
orang-orang Desa Kapal “wahai engkau semuanya sejak sekarang janganlah
engkau menjual ketupat. Jika ada yang melanggar bhisama (kutukan) ini, maka ia
tidak akan menemui kebahagiaan, tidak rukun dengan sanak saudara (keluarga).
Karena sesungguhnya ketupat merupakan simbolik perempuan.Demikian sabdha
Bhatara yang aku terima".
Disana sangat senang hatinya, Desa Kapal dengan tidak lupa menghaturkan
ucapan terima kasih (suksmaning idep) kehadapan Ida Bhatara
Purusadha.Tersebutlah sekarang setelah selesainya Khayangan Purusadha
direstorasi oleh Ki Kebo Iwa bersama dengan rombongan sekalian, maka mereka
kemBali menuju purinya raja Bali yaitu di Batu Anyar yang sekarang disebut

7
Bedulu. Setelah demikian pulau Bali dikuasai oleh Majapahit, yaitu pada tahun
Isaka 1265 atau 1343 masehi.

Sejarah tradisi Aci Tabuh Rah Penganggon di Desa Adat Kapal ini diketahui
dari lontar Aci Tabuh Rah Pengangon. Aci Tabuh Rah Pengangon telah diterima
secara turun temurun dari waktu ke waktu oleh masyarakat Desa Adat Kapal. Aci
Tabuh Rah Pengangon telah menjadi aturan dan tradisi adat yang mengikat anggota
masyarakat Desa Kapal Adat. Dengan papirus dari Aci Tabuh Rah Pengangon
yang menjelaskan sebuah tradisi kuno yang dibuat oleh patih Ki Kebo Iwa ketika
dia diutus oleh Raja Bedahulu Shri Asta Sura Ratna Bumi Banten untuk
memperbaiki candi yang terletak di Pura Purusada.

Lontar Aci Tabuh Rah Pengangon 3b menyatakan:

“An Bhatara Purusada, ri yoga samadhinira, hana sabdha angawang-


awang sangkyeng antariksa, lingikang sabdha : ih kita ranakku Kebo Iwa,
rengonen warah Ku teki, ngku Hyang Shiva Pasupati, kalawan Bhatara Uma,
maka garopatninKu, Hyang Druniawe Rsi haranKu, apa matangia, matrak
ikang swanagara teki, pan tar hana mani purusha mwang pradhana lalu
sadhananta uminta ring Ngku, mangke yan we mahyun genah ripah lohjinawa,
tar kerang mwang kenum.”

Dapat dijelaskan ketika beliau melakukan meditasi yoga maka beliau


mendengarkan suara dan mengatakan bahwa beliau adalah Bhatara Siwa Guru dan
Dewi Uma yang tinggal di Candi Puru Sada sehingga beliau memerintahkan
gubernur Ki Kebo Iwa untuk mempersembahkan Aci Tabuh Rah Pengangon setiap
tahunnya. Dengan adanya Lontar Aci Tabuh Rah Pengangon ini, maka setiap
tahunnya dilaksanakan tradisi ini karena memiliki dampak yang besar dalam
kesuburan pertanian di Desa Adat Kapal. Masyarakat Kapal wajib melaksanakan
tradisi ini dan selain yang memiliki sawah saja karena simbol yang dipakai adalah
tipat sirikan dan bantal yang digunakan sebagai perlambang akan Lingga Yoni dan
Purusa Pradana maka semua masyarakat wajib melaksanakan tradisi ini secara
turun-temurun.

8
Awal dari pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon sebagai sarana untuk
memohon kesuburan akan pertanian dan kesuburan pada keluarga kepada Bhatara
Siwa Guru dan Dewi Uma yang berstana di Pura Puru Sada yang diyakini
(disungsung) oleh masyarakat Desa Adat Kapal bahwa setiap warga Kapal harus
melaksanakan Aci Tabuh Rah Pengangon agar yang memiliki sawah atau tidak
memiliki sawah bisa tetap subur (subur dan makmur keluarganya).

B. Sarana Upakara Yang Digunakan dalam Pelaksanaan Perang Tipat Bantal


Sarana Upakara Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan Siat Tipat Bantal
adalah sebagai berikut.

1. Tipat Bantal yang dihaturkan oleh masyarakat Desa Kapal, masing-masing


kepala keluarga menghaturkan 3 buah ketupat dan 3 buah bantal.

Tipat atau ketupat sudah dikenal oleh masyarakat Nusantara ber-abad-


abad lalu. Tipat tersebut berfungsi sebagai makanan pokok atau nasi. Hanya
bedanya tipat lebih lemah dibandingkan dengan nasi. Karena proses
perebusannya memakan waktu kurang lebih 3 jam sedangkan nasi hanya butuh
waktu 1 atau 1,5 jam.
Disamping berfungsi sebagai makanan, tipat berfungsi juga sebagai bahan
dari Upakara (Banten) khususnya banten sayut yang banyak sekali
menggunakan berbagai macam jenis tepat. Selain di dalam bebantenan, tipat
juga dipergunakan dalam upacara keagamaan, seperti Perang Tipat Bantal
yang ada di Desa Adat Kapal.

9
2. Bebanten, yaitu prascita, pengulapan (peras daksina, soda, rayunan, pesucian
alit, dan canang base), pabeakawonan dan banten yang berisi tipat bantal yang
dihaturkan oleh masyarakat Kapal. Bebanten ini dihaturkan disemua pelinggih
yang ada di pura Desa, Desa Adat Kapal.
3. Segehan Cacahan yang berisi tangkih 5,4 tangkih berisi nasi putih, sahur, dan
garam sedangkan tangkih yang satu berisi beras, benang tebus, gantusan, dan
diatasnya diisi canang genten. Segehan ini dihaturkan ketika Perang Tipat
Bantal initelah selesai dilaksanakan. Segehan ini dihaturkan di depan masing-
masing pelinggih yang ada di pura Desa, Desa Adat Kapal.

2.2 Budaya Dalam Tradisi Perang Tipat Bantal


Kebudayaan dan budaya adalah milik semua umat manusia, meskipun dia itu
(budaya itu) dilahirkan pada daerah lain / tertentu, atau bahkan negara
tertentu.Pada mulanya yang menerima amanat terciptanya sebuah budaya adalah
hanya satu-dua orang atau sekelompok orang. Kemudian, dikemas dan
dikembangkan lagi oleh generasi berikutnya, menyesuaikan dengan adat istiadat
setempat. Maka, menjadilah dia sebuah kebudayaan yang berbeda-beda.
Khusus untuk ritual keagamaan, siapa pun yang menyelenggarakan nya, yang
penting ada rasa ikhlas, ketulusan, Bhakti dan Pemujaan, meskipun ada latar
belakang budaya yang berbeda yang sudah dianggap sah. Jadi, kebudayaan yang
luas adalah bisa ditambah dan bisa dikurangi. Bisa di kreasikan dan bisa juga

10
dikombinasikan atau dimodifikasi. Berarti kebudayaan yang berbau ritual Relijius
adalah baku tetapi tidak kaku.
Dalam pelaksanaan ritual keagamaan ini merupakan suatu wujud dari adanya
proses budaya serta pewarisan tradisi nenek moyang dari generasi ke generasi
berikutnya. Terjadinya proses sosialisasi nilai-nilai budaya dan kepercayaan atau
religi dari satu generasi ke generasi lainnya akan dapat melibatkan semua anggota
masyarakat dalam setiap aktifitas ritual keagamaan. Lewat pelibatan generasi
muda ini telah terjadi proses sosialisasi proses meregenerasi yang berkaitan
dengan norma, nilai-nilai budaya, maupun hasil karya budaya.
Ritual merupakan sarana keagamaan yang sarat dengan simbol-simbol yang
mengandung nilai-nilai Luhur budaya.Selain itu, ritual merupakan salah satu unsur
kebudayaan dimana ritual sebagai ketahanan dalam pendidikan.
Dalam pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal merupakan suatu wujud dari
adanya proses budaya serta pewarisan tradisi oleh nenek moyang dari satu
generasi ke generasi berikutnya yang sudah tentu merupakan proses pendidikan
yang berlangsung dari sejak dahulu sampai saat ini. Pelaksanaan tradisi Perang
Tipat Bantal juga memberikan pengetahuan di dalam pembuatan sarana upakara
bagi generasi muda sehingga mereka dapat mengetahui rangkaian upacara Perang
Tipat Bantal.Pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal dapat dirunut sebuah
kepercayaan masyarakat Desa Adat Kapal mengenai larangan menjual Tipat.Tipat
dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme yang mana
diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi atau bumi dalam bentuk fisiknya sebagai
tanah.Tanah adalah penopang hidup tempat tumbuh dan berkembang yang harus
dijaga dilestarikan dihormati dan dirawat.Inilah nilai-nilai budaya lokal yang
masih dipegang Teguh oleh masyarakat di mana beras atau makanan merupakan
sesuai yang sangat berharga bagi kelangsungan hidup.
Penyelenggaraan suatu ritual atau tradisi mengandung sebuah seni di dalamnya
wilayah utama dalam seni adalah estetika, yakni mencipta sesuatu yang menawan
bagi penerimanya.Kesenian lalu dipandang sebagai suatu metode untuk
mengungkapkan kepahaman terhadap suatu kehidupan realitanya tampak jelas
ketika agama berbicara masalah unsur-unsur ritual kehadiran seni dalam ritual
agama tidak dapat dielakkan lagi menjadi satu kesatuan yang akrab dan
patuh.Nilai estetika yang ada pada dirinya dituangkan pula dalam aktivitas Untuk
Memuja Ida Sang Hyang Widhi wasa yang diwujudkan dalam bentuk bentuk

11
upakara atau Banten.Nilai estetika juga tercermin saat berlangsungnya tradisi
Perang Tipat Bantal diiringi dengan seni tabuh tari suara yang kesemuanya itu
merupakan perwujudan bakti atau pengabdian pada Ida Sang Hyang Widhi
wasa.Demikian pula dukungan dari pelaksana pelaksanaan upacara tampil dengan
tata busana yang apik dan rapi singgah nilai estetika menjadi tambah kompak
(Arwati 1992).

A. Prosesi Upacara Perang Tipat Bantal


Manusia dalam menjalankan kepercayaan yang dianut akan dirangkaikan
dengan tempat pelaksanaan, waktu pelaksanaan, sesajen yang ditawarkan,
pemimpin dan peserta yang mengikutinya (Koentjaraningrat dalam Suryawati
2009: 70). Demikian juga, agama Hindu percaya bahwa Tuhan ada di mana-mana.
Tuhan memiliki sifat yang tidak terbasahkan oleh air, tidak terbakar oleh api, tidak
terkeringkan oleh angin, tidak ternodai oleh dosa dan sebagainya. Tuhan juga
diyakini tidak berbentuk, tanpa wujud, bukan laki-laki, bukan perempuan, dan
tidak terlahirkan. Tuhan juga disebut immanent berada sedekat-dekatnya atau
sedekat mungkin sampai di lubuk hati yang terdalam, dan transendent Beliau ada
sejauh-jauhnya atau sejauh mungkin. Tuhan disebut juga Maha Ada, Maha Agung,
Maha Mengetahui, Maha Karya, Tidak ada ruang yang tidak terisi oleh-Nya sesuai
sifat dan Swabhawa-Nya. Berdasarkan sifat-sifat Tuhan yang diyakini oleh umat
Hindu, umat Hindu dapat melakukan doa dan upacara kapan saja dan di mana saja.
Selain dilandasi oleh kepercayaan terhadap hakikat dan swabhawa Tuhan
sebagaimana adanya, umat Hindu dalam melaksanakan upacara atau sembahyang
juga dilandasi oleh etika dalam pelaksanaannya. Etika ini muncul karena kegiatan
berdoa atau sembahyang dan melaksanakan upacara mencakup masalah sosial dan
kesucian pikiran manusia, untuk itu masalah tempat dan waktu juga menjadi
penentu dalam pelaksanaan upacara bagi umat Hindu.
Aci Tabuh Rah Pengangon merupakan tradisi yang turun temurun di Desa
Kapal sebagai warisan adat leluhur di Desa Kapal Adat. Sesuai dengan lontar
Tabuh Rah Pengangon, kampung adat kapal. Bentuk pelaksanaan Aci Tabuh Rah
Pengangon di Desa Adat Kapal adalah dengan ritual persembahan seperti bantal
pejati dan tipat di Subak Pura Puru Sada dan Pura Gelgel di Pura Desa Adat Kapal.
Tipat Bantal yang digunakan dalam tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon di desa
perahu tradisional adalah ketupat dan jajanan bantal atau dalam istilah Bali disebut

12
“tipat dan bantal” dimana tipat dibuat dari anyaman atau ulatan dari daun kelapa
yang diisi nasi dan bantalnya diisi dengan ketan hanya menggunakan satu kelan
atau enam (6) tipat dan bantal.
Sebelum Perang Tipat Bantal ini dilaksankan, terlebih dahulu dilakukan
upacara mapag toya pada Purnam Sasih Kapitu pada tahun sebelumnya, di sungai
Campuhan yang ada di Desa Penarungan yang merupakan hulu sungai yang aliran
sungainya juga melalui Desa Kapal, sarana yang digunakan adalah 200 uang
kepeng dan bebek putih. Setelah upacara mapag toya itu dilaksanakan, barulah
masyarakat Desa Adat Kapal khususnya masyarakat subak sudah mulai
mempersiapkan sawahnya untuk bercocok tanam sembari menunggu Sasih Kapat
yang akan datang.
Siat Tipat Bantal ini dilaksanakan pada Purnama Sasih Kapat tepatnya
pada panemon odalan di Pura Desa setempat. Adapun prosesinya sebagai berikut:
Pelaksanaan upacara siat tipat bantal di Desa Kapal ini dilaksanakan
selama 1 hari mulai dari jam 09.00 sampai selesai. Dalam pelaksanaan Perang
Tipat Bantal ini pertama-tama dilakukan prosesi maturan tipat bantal oleh
masyarakat yang ada di Desa Kapal. Masing-masing kepala keluarga
menghaturkan 3 buah ketupat dan 3 buah bantal yang dijadikan 1 kelan.Setelah
sesajen tipat bantal itu dihaturkan, semua masyarakat yang akan mengikuti
upacara siat tipat bantal itu melakukan persembahyangan dan natab bersama.
Apabila ada dari masyarakat Desa Adat Kapal yang tidak mematuhi aturan, maka
ia akan dikenakan sanksi berupa caru siap apanca.
Kemudian banten ketupat bantal itu dilungsurkan dan diletakkan di balai
Agung (Bale Panjangan). Prosesi ini bertujuan untuk menyampaikan maksud dan
tujuan dari pelaksanaan siat tipat bantal ini, agar upacara ini disaksikan oleh beliau
Sang Hyang Prasadha sehingga nantinya tipat bantal yang digunakan sebagai
sarana siat ini dapat menjadi benih kemakmuran bagi masyarakat Desa Adat
Kapal dan menjauhkan tanaman dari gangguan hama dan membuat tanaman
menjadi tumbuh subur.
Setelah pemangku selesai menghaturkan sesaji kemudian dilanjutkan
dengan pengumpulan warga yang terdiri dari 2 banjar yang sebelumnya sudah
dipilih oleh Kelihan Desa Adat Kapal.Warga tersebut terdiri dari 30 orang di
masing-masing banjar dimana warga tersebut dibagi mengjadi 2 kelompok yang
didalamnya merupakan gabungan dari 2 banjar yang berbeda.Masing-masing

13
warga tersebut mengenakan kain poleng sebagai kamben dan menggunakan udeng
tanpa menggunakan baju.Warga yang ditunjuk terlebih dahulu melakukan
persembahyangan kemudian dilanjutkan dengan natab banten pebeakawonan.
Setelah prosesi itu selesai warga diarahkan untuk berkumpul di depan Balai
Agung. Prosesi siat tipat bantal pertama dilakukan di depan Balai Agung dan
kemudian dilanjutakn pelaksanaanya di jaba Pura Desa Adat Kapal. Untuk prosesi
di jaba Pura dapat diikuti oleh masyarakat Desa Adat Kapal.
Masing-masing kelompok berdiri di dua arah yang berlawanan, yaitu arah
utara utara dan arah selatan, warga yang berada di arah utara menggunakan tipat
sebagai senjata dan warga di arah selatan menggunakan bantal.Setelah
menggunakan instruksi dari Kelihan Desa, maka mulailah prosesi siat tipat
bantal.Tipat dan bantal yang dilempar tidak untuk mengenai anggota tubuh lawan
melainkan agar tipat dan bantal itu dapat bertemu diudara yang kemudian jatuh
ketanah.Hal demikian merupakan suatu perlambangan bertemunya purusa dan
pradana yang kemudian menghasilkan sebuah benih kehidupan.Prosesi ini
berlangsung hingga isi tipat dan bantal itu keluar dari kulitnya.Sisa-sisa tipat dan
bantal yang berserakan dikumpulkan kembali.Tipat dan bantal yang masih utuh
dibagikan kembali kepada warga untuk dikonsumsi, sedangkan isi tipat dan bantal
yang sudah tidak layak dikonsumsi dibagikan kepada warga untuk disebarkan di
sawah dan digunakan sebagai pakan ternak.Adapun tujuan dari hal tersebut adalah
memohon benih kehidupan baik untu warga, hewan ternak, dan tanaman.
Setelah prosesi Siat Tipat Bantal berakhir dan dilanjutkan dengan upacara
Ngusaba yang dikenal dengan nama Ngusaba Jelih Lambih. Upacara Ngusaba ini
dilaksanakan setelah panen sebagai rasa ungkapan syukur masyarakat Desa Kapal
terhadap hasil panen yang telah dilimpahkan oleh Tuhan.Upacara ini dilaksanakan
di belakang Pura Desa (ring ungkur Pura Desa).

14
Tradisi Perang Tipat-Bantal hanya dilakukan oleh krama lanang,
mengandung beberapa faktor penyebab. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Tradisi Perang Tipat Bantal ini dalam pelaksanaannya melempar jajan
bantal dan tipat ke arah yang berlawanan dengan tenaga yang besar dan
kuat. Kemudian bila terkena salah satu karma, maka akan dibalas
dengan lemparan yang sama kuat dan kerasnya. Ini seperti bertarung di
medan perang atau medan laga.
2. Tradisi Perang Tipat Bantal membutuhkan stamina yang luar biasa,
terkadang berlari, memungut bantal yang jatuh di jalan aspal, lalu
berlari dan melemparkannya kembali. Melompat dan berjingkrak-
jingkrak.
3. Sejarahnya, dimulai ketika Patih Kebo Taruna memohon agar
kekeringan dan kelaparan dihentikan, maka sejak saat itu krama lanang
merepresentasikan unsur purusha sebagai cerminan kekuatan Kebo
Taruna.

Tipat dan bantal yang berserakan di jalan raya, merupakan berkah dari
kepercayaan masyarakat Desa Kapal Adat, oleh karena itu mereka membawa
Tipat dan Bantal tersebut ke sawah dan ladang milik masyarakat untuk ditaburkan
dan ditabur disana sebagai permintaan untuk kesuburan dan kemakmuran yang
melimpah di masa depan. tanaman-tanaman. Tipat dan bantal lama kelamaan akan

15
hilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Setelah semuanya selesai,
maka bagian selanjutnya adalah semua krama banjar yang terlibat dalam perang
tipat-bantal akan kembali memasuki area jaba tengah Pura Puseh-Desa, Desa
Kapal Adat, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Ada beberapa ketentuan dalam mempertimbangkan tempat pelaksanaan
Aci Tabuh Rah Pengangon, yaitu:
a. Jika dalam prakteknya harus terjadi saling lempar bukannya saling
melempar untuk mengenai seperti perang pada umumnya, maka tradisi
Aci Tabuh Rah Pengangon dilakukan di Madya Mandala Pura Desa
Kapal secara simbolis ditunjukkan oleh para truna-truni Kapal melalui
pertunjukan tari kolosal yang memberikan gambaran tentang makna
dan tata cara pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon.
b. Jika semua rangkaian tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon telah
dilakukan di Madya Mandala Pura Desa, maka Tradisi Aci Tabuh Rah
Pengangon dapat dilakukan di depan Pura Kapal Desa atau di
lingkungan Nista Mandala Pura Desa Kapal.

Umat Hindu sangat memperhatikan hari baik dalam melaksanakan upacara


keagamaan. Hal ini agar apa yang diharapkan dari suatu upacara yang dilaksanakan
dapat tercapai. Demikian pula yang diterapkan oleh masyarakat Desa Adat Kapal,
Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung dalam melaksanakan prosesi
Adat Adat khususnya Acara Adat Aci Tabuh Rah Pengangon.

2.3 Adat Dalam Tradisi Perang Tipat Bantal


Setiap upacara atau ritual keagamaan di Bali mempunyai nilai sosial dalam
pelaksanaannya suatu upacara atau ritual keagamaan akan terjadi proses sosialisasi
dan enkulturasi. Hidup bermasyarakat merupakan cara memfungsikan budaya dengan
berinteraksi secara teratur antar sesamanya, sehingga kepentingan bersama dapat
terpenuhi secara wajar dan sempurna. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi
sosial oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas
aktivitas sosial (Soekanto, 2005). Aktivitas-aktivitas sosial tersebut dapat tercermin
melalui pelaksanaan sebuah upacara keagamaan.
Pelaksanaan ritual dalam ajaran agama Hindu di Bali dapat diwujudkan dalam
berbagai bentuk pelaksanaan upacara keagamaan nantinya lewat pelaksanaan ritual ini

16
dapat mengintensifkan dan meningkatkan solidaritas masyarakat.Selain itu, dalam
kesatuan komunitas suatu masyarakat pada dasarnya terbentuk dari adanya
Solidaritas.Solidaritas merupakan dasar terbentuknya suatu organisasi dalam
masyarakat adanya pelaksanaan ritual dalam masyarakat dapat menimbulkan
hubungan sosial yang semakin erat dan tetap terpelihara dengan baik (Jalaluddin,
2002).
Dalam pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal banyak nilai-nilai pendidikan
sosial yang diperoleh yang mampu menumbuhkan rasa solidaritas yang semakin erat
antar masyarakat Desa Adat Kapal. Kekompakan dan kerjasama ini bisa terlihat pada
saat persiapan pelaksanaan upacara Perang Tipat Bantal dari awal sampai berakhirnya
upacara tradisi Perang Tipat Bantal.Hal ini terlihat dari mempersiapkan segala sarana
yang diperlukan semuanya dipersiapkan oleh masyarakat dengan saling membantu
lewat kerjasama ini mereka dapat meningkatkan hubungan yang semakin berat
antarwarga masyarakat serta dapat meningkatkan Solidaritas. Pelaksanaan tradisi
Perang Tipat Bantal masyarakat Desa Adat Kapal dapat di pertemukan, dipersatukan,
hingga sikap solidaritas antar sesama akan semakin tumbuh dan berkembang dengan
baik.
Pelaksanaan tradisi yang mempunyai nilai ekonomi mulai berkembang ketika
para wisatawan asing mulai tertarik terhadap pelaksanaan tradisi yang unik dan
menarik yang tidak ada dalam negara mereka. Tradisi warisan leluhur yang ada di
Baliakan terus dilestarikan mempunyai fungsi pelestarian budaya berpotensi menarik
sebagai salah satu atraksi pariwisata. Hal ini mempunyai tujuan selain untuk
mengenalkan daerah tempat dilaksanakannya tradisi tersebut juga bertujuan untuk
mengembangkan potensi ekonomi yang ada melalui pariwisata budaya.Sehingga
tradisi pra tipat bantal di Desa Adat Kapal mempunyai nilai ekonomi yang tinggi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kapal.
Agama senantiasa menerapkan ajaran mulia yang tidak hanya sekedar
penampilan luar saja namun semuanya itu benar-benar menuntun orang-orang untuk
dapat berbuat yang lebih Luhur.Inilah yang menjadikan manusia memiliki etika yang
berarti kebiasaan yang tidak semata-mata berdasarkan adat, melainkan juga
membahas adat berdasarkan manusia sifat-sifat dasar intisari manusia.Etika adalah
nilai-nilai berupa norma-norma moral yang menjadi pedoman hidup bagi seseorang
atau kelompok orang dalam berperilaku atau berbuat (Muhammad, 2005).

17
Nilai etika memiliki kesepadanan makna dengan apa yang sering disebut
dengan budi pekerti adalah akhlak berbuat kebaikan, mengacu pada pengertian di atas
maka nilai-nilai pendidikan etika dari tradisi Perang Tipat Bantal adalah tradisi
Perang Tipat Bantal yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Kapal menjadi
sebuah pedoman bagi seluruh masyarakat Desa Adat Kapal untuk selalu berperilaku
baik. Dalam proses pembuatan upakara dalam pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal
juga harus didasari oleh niat yang tulus dan suci tingkah laku maupun perkataan baik
kepada sesama juga ditunjukkan kepada lingkungan dan alam sekitar ini. Ini terlihat
dari proses akhir dari pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal di mana sisa dari
Perang Tipat Bantal tersebut ditaburkan di areal pematangan sawah yang mempunyai
tujuan untuk memberikan kesuburan bagi alam dan bagi makhluk hidup penghuni
sawah, sehingga pelaksanaan tradisi Perang Tipat Bantal beraplikasi dalam Tri Hita
Karana, yakni dalam hubungan manusia dengan Tuhan hubungan manusia dengan
sesama dan hubungan manusia dengan lingkungan, dengan kata lain pelaksanaan
tradisi Perang Tipat Bantal yang dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Desa Adat
Kapal adalah sebuah perilaku baik yang berusaha menyelaraskan dan
mengharmoniskan hubungan sesama manusia dengan Tuhan manusia dengan manusia
dan keselarasan manusia dengan alam atau lingkungan sekitar.
Desa Adat Kapal sebagai salah satu kesatuan wilayah adat yang mempunyai
otonomi tersendiri telah mampu berperan aktif dengan baik dan menciptakan
koordinasi yang serasi, selaras, dan harmonis dengan konsep kemitraan dengan lurah
sehingga gerak pembangunan yang dikembangkan senantiasa mengacu pada konsep
Tri Hita Karana. Tri Hita Karana bermakna tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan,
keharmonisan dalam kehidupan. Tiga hal yang dimaksud adalah Parahyangan,
Pawongan, dan Pelemahan. Parhyangan adalah hubungan manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa, Pawongan merupakan hubungan antara manusia dengan manusia,
dan Palemahan adalah hubungan manusia dengan lingkungan.
Kehidupan bermasyarakat Desa Adat Kapal berlangsung dengan harmonis.
Kerjasama yang baik dan semangat gotong royong masih terpelihara di dalam
melaksanakan tugas-tugas adat maupun di dalam melaksanakan upacara Yadnya. Hal
ini dapat terlihat di dalam melaksanakan kerja pada saat upacara Yadnya yang selalu
dikerjakan secara bersama-bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Segala
masalah adat dan kemasyarakatan yang dihadapi selalu diselesaikan dengan
musyawarah mufakat.

18
Desa Adat Kapal dengan jumlah penduduk yang sekian banyaknya dan
keseluruhannya memeluk agama Hindu dengan adat istiadat, kebiasaan, perilaku yang
telah berjalan dan berlaku turun temurun, sehingga ke depan bermasyarakat berjalan
selaras, serasi, dan seimbang. Krama Desa Adat Kapal sangat menaati segala aturan
dan tradisi yang telah diterimanya dari para leluhurnya. Mereka mempunyai rasa ke
imanan dan keyakinan yang tinggi terhadap segala tradisi yang diwarisinya.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aci Rah Pengganggon merupakan sebuah tradisi yang ada di Desa Kapal,
Mengwi, Badung. Sebuah tradisi yang erat akan nilai filosofis dan religius , tradisi
yang sering disebut perang ketupat-bantal ini sarat akan makna. Dipercaya bahwa
kita hidup di bumi didasarkan rwa bhineda, yaitu dua yang berbeda, seperti halnya
perang ketupat yang merupakan implementasi dari simbol purusa dan pradhana
Purusa yang disimbolkan dengan bantal (jajanan khas Bali) serta pradhana yang
disimbolkan dengan ketupat. Tradisi ini dipercaya memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap kehidupan Desa Kapal, mereka mampu menarik hikmah bahwa
tradisi ini merupakan tradisi yang bertujuan untuk memohon kepada Sang Maha
Pencipta agar masyarakat Desa Kapal menjadi senantiasa makmur dan berguna bagi
kelangsungan hidup masyarakat Desa Kapal itu sendiri. Mereka menyakini bahwa
tradisi ini merupakan tradisi yang patut dilaksanakan di setiap tahunnya, agar
masyarakat Desa Kapal terhindar dari musim paceklik, wabah penyakit serta
kekeringan yang berkepanjangan yang dapat melanda Desa Kapal apabila tradisi ini
tidak dilaksanakan. Dari tradisi ini dapat dimaknai bahwa panganan yang kita miliki
adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam kehidupan ini.Tipat dalam
konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminim, yang dimana mewakili
keberadaan ibu pertiwi dalam bentuk fisiknya sebagai tanah.Tanah adalah penopang
hidup tumbuh, dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan.dirawat dan
dihormati.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki
kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan terus
memperbaiki makalah dengan mengacu kepada sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan
adanya kritik serta saran mengenai pembahasan makalah di atas.

20
DAFTAR PUSTAKA

Arwati Sri, Ni Made. 1999. Upacara Upakara. Denpasar: Upada Sastra.

Jalaludin, H. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Muhammad, Abdulkadir. 2005: Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT. Citra Aditya Bali.

Soekanto, Soerjono.2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada

Ayu Candra Dewi. 2017, Jurnal Penelitian Agama Hindu Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar. Jurnal Vol 1.

Mardiki Supriadi dan Linda Zakiah. 2019. Perang Tipat Bantal Desa Adat Kapal (Aci
Rah Penganggon). Jurnal Vol 2.

Ni Made Ayu Candra Dewi. 2017. Tradisi Perang Tipat Bantal di Pura Puseh- Desa
Desa Adat Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Jurnal Vol 1.

Sendra, I Made, dkk. 2019, Journal of Bali Studies, Reproduksi Makna dan Fungsi
Turistik Praktik Ritual Perang Ketupat di Desa Kapal, Badung

Putra, Agung Rahma. 2013. TP, Bentuk Dan Fungsi Upacara Perang Tipat Bantal, 1-55.

Rudia Adiputra, I Gede, dkk. 2004. Dasar-Dasar Agama Hindu. Jakarta: Lestari Megah
Karya

Skripsi-Skripsi yang ada di Perpustakaan Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus


Sugriwa Denpasar, Kampus Denpasar, dengan mengangkat tradisi Perang Tipat
Bantal sebagai pemenuhan tugas akhir.

21

Anda mungkin juga menyukai