Anda di halaman 1dari 13

LINTAS WAKTU

Joshua tengah berjalan cepat menuju ke arah

perpustakaan sekolah. Hal buruk terjadi padanya hari ini.

Bagaimana bisa, dia melupakan tugas yang harus dikumpulkan

hari ini juga?

Joshua menghela nafasnya kasar sambil berdecak “Ck.

Kenapa bisa lupa sih?” gumamnya pelan dan berbelok ke kanan

di ujung koridor. Sekarang dia sudah berada didepan

perpustakaan.

Tok tok tok

Dia mengetuk pelan pintu perpustakaan, lalu bergegas

masuk ke dalam. Sepi. Itulah susana di perpustakaan saat ini,

karena kelas lainnya sedang belajar dikelas. Joshua dengan

segera melangkah untuk mencari buku yang akan ia gunakan.

Tiap lorong ditelusurinya, seketika atensinya teralihkan

ketika melihat seorang anak laki-laki di ujung lorong. Siapa

dia? Sepertinya, Joshua mengenali orang itu. Dia menyipitkan

matanya agar dapat melihat dengan jelas, dan sedikit berjalan

mendekati orang tersebut.

“Lho, Rendi?! Lo ngapain disini?” tanyanya saat melihat

teman dekatnya itu berada dihadapannya sekarang.


“Eh, Joshua. Gue tadi disuruh cari buku gitu, tapi belum

ketemu,” jelas Rendi. “Terus lo ngapain disini Jo?” tanya Rendi

lagi, pertanyaannya itu seakan-akan sedang menginterogasi

seseorang yang ada didepannya.

Seketika Joshua menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Hehe, lupa buat tugas.” balas Joshua diiringi dengan cengiran

khasnya. Kemudian, dia melangkah lagi dan menemukan sebuah

buku yang terasa asing baginya.

“Ren, lo tahu buku itu?” atensi Rendi sekarang menuju ke

sebuah buku yang ditunjuk oleh Joshua. “Gak tahu. Gue sering

ke sini, tapi baru kali ini gue lihat,” jawabnya dan mendekat ke

arah buku tersebut.

Tangan kecil Rendi terulur untuk mengambil buku itu,

tapi detik berikutnya ditahan oleh Joshua. “Eh, jangan Ren !

Mending lo bantuin gue dulu,” kata Joshua sambil menunjuk ke

buku tulis yang ada ditangannya. Rendi berdecak kesal melihat

kelakuan sahabatnya itu “Ck. Yaudah, gue harus apa?”

tanyanya balik.

Joshua menarik tangan Rendi untuk duduk di bangku

terdekat. “Gue kurang ngerti sama ini, lo pasti ngerti kan?”

Joshua menatap dalam kedua netra coklat milik Rendi.

Berharap pemuda didepannya ini luluh dan mau menolongnya.

“Oh, tugas ini. Sebentar gue cariin bukunya,” Rendi


sebenarnya paham dengan tugas itu, hanya saja ia perlu buku-

buku yang bisa ia gunakan sebagai argumen penegasnya.

Rendi beranjak, lalu menuju ke tempat buku yang sempat

ia lewati tadi. Dia mengambil sebuah buku yang sekiranya

dapat digunakan untuk membuat tugas Joshua. Setelah

mengambil buku tersebut, pandangannya kembali menuju buku

yang tadi Joshua tanyakan padanya. Terbesit rasa penasaran

dalam benaknya. Tanpa pikir panjang lagi, dia dengan segera

mengambil buku itu dan kembali duduk bersama Joshua.

“Mana Ren?” tanya Joshua ketika telah melihat Rendi

berjalan ke arahnya membawa dua buah buku. “Ini,” Rendi

menyerahnya salah satu buku yang ada ditangannya kepada

Joshua. “Terus itu apaan?” tanya Joshua yang melihat gelagat

aneh temannya itu. Rendi yang mengerti akan pertanyaan yang

ditujukan padanya pun dengan segera menjawab “Oh, ini? Ini

buku yang lo tunjuk tadi.”

“Coba lihat,” setelah mengeluarkan kata-kata itu, dengan

secepat kilat Joshua merebut buku yang ada ditangan Rendi.

Perlahan tapi pasti, Joshua mulai membuka halaman buku yang

berjudul “1928”. Entah apa artinya, mereka berdua tidak

tahu.

Dibukanya perlahan halaman per halaman buku tersebut,

dan berakhir di halaman lima. Disana dapat ia baca dengan


jelas “Ikrarkanlah Sumpah Pemuda dengan hati dan anggota

badan, akan menjadi buktinya dan temukanlah kemerdekaan

sejati Indonesia.”

Setelah membaca itu Joshua memejamkan matanya

sebentar, merasa tersentuh akan kalimat yang sangat

memotivasinya. Dengan semangat yang membara, Joshua ingin

menemukan kemerdekaan sejati Indonesia seperti yang

tertulis dihalaman sebelumnya dari buku tersebut. Rasa

penasaran Joshua semakin memuncak dan secara tiba-tiba,

muncullah sekelebat cahaya didepannya yang membuat

pengelihatan Joshua serta Rendi menjadi silau. Seakan-akan

tubuh mereka ditarik ke dalam sebuah ruangan yang gelap.

Itu membuat mereka merasa sesak.

Beberapa detik kemudian, Joshua dan Rendi dapat

bernafas lega. Mereka pun membuka mata perlahan dan

mereka sangat terkejut, karena sekarang mereka tengah

berada di sebuah kota yang sangat asing. Terlebih lagi, tak

ada satu orang pun disana yang mereka kenal.

Joshua menghela nafas lelah “Kita dimana Ren?”

tanyanya sambil memegangi kepalanya yang terasa sedikit

pusing. “Gue juga gak tahu.” Rendi dan juga Joshua sekarang

nampak kebingungan. Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya

menghampiri mereka. “Nak? Apa yang sedang kau cari?”


tanyanya lembut kepada dua pemuda ini. Joshua menatap

wanita itu lekat-lekat, begitu pula dengan Rendi.

“Ah, iya Bu. Maaf, kalau saya boleh tahu sekarang saya

dan teman saya ini dimana ya Bu?” tanya Rendi sopan pada

wanita itu. “Memangnya kalian tidak tahu?” tanya ibu itu

kepada Joshua dan Rendi yang sedang kebingungan.

Kring kring...

“Suara bel sepeda,” gumam Joshua kecil, tapi masih

dapat didengar oleh Rendi. Tak lama kemudian, ada seorang

laki-laki yang berusia sekitar 20 tahun melintas didepan

mereka menggunakan sebuah sepeda tua. Joshua sangat kenal

dengan sepeda itu. Seingatnya, digudang rumah, keluarganya

menyimpan sepeda seperti itu. Katanya peninggalan sang

kakek.

Pemuda yang menaiki sepeda itu berhenti tepat

dihadapan Joshua dan Rendi. Pemuda itu turun, lalu berjalan

ke arah mereka. “Bagaimana kabarnya Bi? Sudah lama gak

ketemu,” sapa orang itu ramah pada wanita yang dari tadi ada

disebelah Rendi. “Baik-baik. Iya lho sudah lama gak ketemu.

Kamu juga terlalu sibuk untuk rapat besar kan,” balas wanita

tersebut sambil tersenyum ramah.

“Ini siapa Bi? Aku gak pernah lihat mereka sebelumnya,”

pemuda itu menoleh ke arah Joshua dan Rendi. Yang ditatap


hanya diam, rasanya lidah mereka menjadi kelu, hingga tak

dapat menjawab pertanyaan yang dilontarkan. “Bibi juga gak

tahu. Tiba-tiba tadi ada disini,” jawab wanita yang dipanggil

Bibi itu.

Rendi menyenggol lengan Joshua “Jo, kok kayak gak

asing ya?” tanya Rendi sedikit berbisik. Joshua yang

mendengarnya langsung menatap pemuda itu. “Ini tahun

berapa?” pertanyaan itu secara tiba-tiba dilontarkan oleh

Joshua entah pada siapa. “Ini 1928 dik,” pemuda itu menjawab

pertanyaan Joshua sambil mengernyitkan dahinya, heran.

“Hah?!” Rendi melongo saat mendengarkan jawaban dari

pemuda itu. Bagaimana bisa dia dan Joshua sekarang berada

di tahun 1928? Pantas saja suasana kotanya seperti ini. Tapi,

kenapa mereka dibawa ke tahun ini? Banyak pertanyaan muncul

dalam benak mereka berdua.

“Sebentar, saya kayak pernah lihat kakak. Tapi dimana

ya?” Joshua memperhatikan orang itu dari atas hingga bawah

dengan tatapan menginterupsi. Pemuda itu tertawa pelan dan

menepuk bahu Joshua. “Kamu bukan dari tahun ini kan?

Katakan kamu dari tahun berapa?” Rendi yang tadinya hanya

memperhatikan, kini menjawab pertanyaan pemuda itu “Kami

dari tahun 2020 kak,” balas Rendi sekenanya.


“Berarti, kalian berdua ini penerus bangsa kita. Tapi,

kenapa kalian bisa berada disini?” kini giliran wanita tadi yang

bertanya pada dua orang yang sejak awal bingung kenapa

mereka bisa berada disini. Tak ada jawaban yang keluar dari

mulut keduanya.

“Baiklah. Kalian pasti mengenal saya,” kata pemuda tadi

yang berhasil membuat Joshua dan Rendi saling pandang. “Tapi

siapa?” tanya Rendi. Sebenarnya dia tahu siapa orang

dihadapannya ini, tapi ia hanya memastikan saja apakah

dugaannya benar.

“Saya Sugondo Djojopuspito.” Perkataan itu sukses

membuat Joshua ternganga, sedangkan Rendi tersenyum

sumringah. Ternyata dugaannya benar. “Kalian ikut saya. Saya

ingin menanyakan sesuatu. Dan Bibi pulanglah, tadi aku lihat

Harun mencarimu.” Wanita itu langsung bergegas

meninggalkan Joshua, Rendi, serta Kakak Sugondo.

“Mari ikut saya!” ajak Kakak Sugondo pada dua anak laki-

laki ini. Tadi mereka berdua yang memanggilnya dengan

sebutan kakak, karena saat ini usia mereka hanya terpaut

enam tahun. Joshua dan Rendi dengan semangat mengikuti

langkah Kak Sugondo yang mengajak mereka ke suatu tempat.

“Kalian tahu kan, hari ini hari apa?” tanya Kak Sugondo

yang berjalan beriringan dengan Joshua dan Rendi menelusuri


kota ini dengan berjalan kaki. Rendi hanya menggeleng,

sedangkan Joshua melihat ke arah jam tangannya. Dia

mendapati bahwa hari ini tanggal 28 Oktober 1928. Joshua

mendongak dan menatap Rendi tak percaya. “Ini tanggal 28

Oktober 1928. Dan, sekarang baru jam 07.30,” kata Joshua

sambil menatap Kak Sugondo yang tersenyum meliriknya.

“Benar. Setengah jam lagi, rapat besar akan diadakan.

Jadi kita harus bergegas ke sana.” ajak Kak Sugondo semangat

kepada dua pemuda yang sejak tadi menatapnya tak percaya.

“Tapi kak, tadi kita disekolah sudah mau jam 09.00. Kenapa

disini masih jam 07.30?” tanya Joshua terheran-heran yang

mendapat anggukan dari Rendi. Mereka bertiga tetap berjalan

menelusuri kota. “Kalian kan masuk ke masa lalu, jadi apapun

bisa berubah disini,” balasnya sambil terkekeh pelan.

Mereka berdua mengangguk tanda mengerti. “Baiklah,

sekarang kita sudah sampai. Kalian nanti masuk dan duduk

tenang ya,” jelas Kak Sugondo yang memarkirkan sepedanya

didepan sebuah gedung dengan ukuran yang lumayan besar.

Rendi memperhatikan gedung tersebut d acara detail. “Oost

Java Bioscoop.” Rendi membaca salah satu tulisan yang

tertera disana, dan sekarang dia mengetahui dimana mereka

berada sekarang.
Kak Sugondo bergegas masuk ke dalam gedung tersebut.

Sedangkan Joshua dan Rendi masih beradu pandang. Mereka

memerlukan waktu untuk mencerna kejadian apa yang mereka

alami ini. Setelah beberapa detik terdiam, mereka mulai

memasuki gedung tersebut. Ramai. Begitulah kondisi didalam

gedung itu sekarang.

“Selamat pagi teman-teman sebangsa dan setanah air,”

suara itu menggema diseluruh ruangan rapat. Membuat semua

mata memperhatikannya, termasuk Joshua dan Rendi. Kak

Sugondo sudah memulai rapatnya didepan sana. Joshua dan

Rendi mengambil posisi duduk dibelakang, tapi mereka masih

bisa melihat Kak Sugondo dengan jelas.

Banyak topik pembicaraan yang mereka bicarakan. Mulai

dari cita-cita bangsa, pendidikan anak, dan lain sebagainya.

Joshua dan Rendi menyimak bersama hal apa saja yang mereka

bicarakan. “Baiklah. Menurut saya, anak harus mendapat

pendidikan kebangsaan, harus pula mendapat keseimbangan

antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus

dididik secara demokratis.” salah satu suara muncul dari

barisan kanan.

“Oh begitu Jo, dulu mereka memperjuangkan juga hak

kita untuk mendapat pendidikan,” bisik Rendi yang dibalas

anggukan oleh Joshua. Mereka memperhatikan semuanya


dengan baik. Tak terasa, sekarang sudah menunjukkan pukul

12.00.

“Baiklah. Kita akhiri rapat ini dengan mengikrarkan

sebuah sumpah, lalu diakhiri dengan menyanyikan lagu yang

baru saja saudara kita, Supratman ciptakan.” kata seseorang

dari podium depan. Dia adalah Kak Sugondo, sang ketua

kongres pemuda ini.

Mereka semua yang ada diruangan itu berdiri dan diiringi

riuh tepukan tangan. Kemudian, mereka bersama-sama

mengikrarkan sebuah sumpah yang dikenal dengan ”Sumpah

Pemuda”. Semangat membara, dan rasa haru menghiasi

seluruh ruangan itu. Tak lama kemudian, acara itu diakhiri

dengan menyanyikan lagu yang diciptakan oleh Kak Supratman.

Tentu saja Joshua dan Rendi telah mengetahui lagu apa yang

akan mereka nyanyikan. “Indonesia Raya”, lagu itu yang akan

dikumandangkan untuk mengakhiri rapat besar ini.

Mereka mengikuti serangkaian acara yang ada dalam

rapat besar ini secara khidmat. Nampak senyuman dan air

mata haru dimata setiap orang disana. Terlebih lagi, pada

Joshua dan Rendi. Mereka sekarang mengerti apa yang

dimaksud dihalaman buku tersebut. Ternyata buku itulah yang

membuat mereka bisa berada disini sekarang.


Setelah acara selesai, tampak sekelebat cahaya

berkilau. Asalnya dari pintu yang mereka gunakan untuk masuk

tadi. “Ren, udah waktunya kita balik,” ajak Joshua pada Rendi

yang dibalas dengan anggukan semangat. Mereka berdua

kompak menoleh ke belakang. Memperhatikan orang-orang

yang sedang melihat mereka dengan senyuman yang terlukis

diwajah semuanya. “Kakak semua, terima kasih karena telah

memberikan kami pengalaman yang sangat berharga seperti

ini,” ucap Rendi sambil sedikit membungkuk sopan mengucap

terima kasih.

“Kita gak akan melupakan jasa kalian semua. Perjuangan

kalian, akan selalu kita ingat,” tambah Joshua yang tersenyum

sumringah. Yang lainnya hanya tersenyum dan mengangguk

membalas ucapan mereka. Kemudian, Joshua menarik tangan

Rendi untuk segera menuju cahaya tersebut sebelum

menghilang.

Untuk kedua kalinya, mereka merasa tubuh mereka

ditarik oleh sesuatu dan pandangan mereka menjadi gelap.

Rasa sesak kembali mereka rasakan. Beberapa detik berlalu

dan kini mereka bisa bernafas lega.

Tukk..
“Aduh!!” pekik Rendi. Kepalanya terbentur pelan

mengenai meja perpustakaan. Dia mencoba membuka mata

perlahan, dan melihat Joshua didepannya yang masih belum

sadarkan diri.

“Jo, bangun!” kata Rendi menggoyangkan badan Joshua

pelan. Joshua memegangi kepalanya yang terasa sakit dan

membuka matanya. “Ah, kita udah kembali,” katanya sambil

tersenyum. Dia melirik ke atas dinding perpustakaan,

didapatinya sekarang sudah menunjukkan pukul 12.00.

“Kita udah lama banget disini, kita harus balik!” kata

Rendi yang langsung beranjak dari duduknya, begitu juga

dengan Joshua. “Balikin dulu buku ini,” balas Joshua sambil

mengusap pelan buku yang membawa mereka ke masa lalu itu.

Setelahnya, mereka dengan langkah tergesa-gesa kembali ke

kelas. Ternyata tidak seorang pun yang sadar kalau mereka

berdua tidak ada sejak jam pelajaran pertama.

“Baiklah anak-anak. Hari ini pembelajaran telah

berakhir, untuk besok kalian jangan lupa bahwa akan diadakan

upacara bendera dalam rangka memperingati hari Sumpah

Pemuda. Diharapkan kedisiplinannya!” suara itu terdengar

sangat jelas ditelinga Joshua dan juga Rendi yang sedang

dalam perjalanan ke kelas. Itu suara pengumuman yang

disampaikan dari ruang guru melalui pengeras suara.


Mereka saling beradu pandang sebentar, kemudian

senyuman terukir indah diwajah mereka berdua. Kini mereka

bisa memaknai hari Sumpah Pemuda itu dengan sepenuh hati

dan dapat melaksanakannya dengan keikhlasan dan penuh

tanggung jawab.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai