novel
Daftar isi :
Bab 1 : kedatangan
Bab 6 : ultimatuma
BAB 6 ; ULTIMATUM
9 November, 1945.
Kematian Mallaby telah membawa kabar buruk
bagi seluruh arek-arek Surabaya. Di pagi yang cerah,
mereka telah menjatuhkan pamflet-pamflet ultimatum,
mereka memaksakan agar seluruh rakyat Surabaya
menyerahkan seluruh senjata yang dimiliki paling
lambat tanggal 10 November, pukul 6 pagi. Hal ini justru
dianggap sebagai suatu penghinaan bagi rakyat
Surabaya. Kematian dari Brigadir Jenderal tersebut
sepenuhnya disalahkan atas rakyat, meskipun
kebenarannya masih abu-abu. Dengan muslihatnya,
Inggris mengancam akan menjatuhkan hukuman ke
tanah Surabaya apabila persyaratan tidak dipenuhi.”
“Ini merupakan suatu penghinaan! Mengapa kita
harus membayar dosa atas sesuatu yang bukan
sepenuhnya salah kita.” Bentak Tigor yang sangat keras
menentang melaksanakan ultimatum tersebut.
Suasana perkumpulan relawan saling bercarut-
carut, meskipun mereka masih bingung bagaimana
merespon ultimatum tersebut. Sebagian banyak yang
menyarankan untuk menuruti permintaan tersebut,
sebagian lagi terang menentangnya. “Terakhir kali
mereka membabi-buta, mereka berhasil membunuh
Idrus dan kawan-kawan kita yang lainnya, jika kita tidak
menuruti mereka kita semua tinggal hidup dalam
hitungan detik!” Ujar salah satu orang yang mendukung
untuk melaksanakan ultimatum.
“Satu hal yang pasti, kita tidak bisa mengambil
keputusan ini seorang diri. Kita harus merundingkan ini
dalam jajaran forum yang lebih tinggi. Kita harus
mendengar pendapat dari Residen, Gubernur atau
siapapun yang memiliki otoritas lebih tinggi disbanding
kita. Meski kita melaksanakan ultimatum, tapi seluruh
dari masyarakat Surabaya menentangnya, kita hanya
akan menjadi orang bodoh yang begitu mudahnya
menyerah.” Ucap Abimanyu menengahi pertentangan
diantara kedua pendapat tersebut.
Tak lama berselang dari perundingan itu, para
pemuda berusaha mengumpulkan informasi untuk
berkordinasi bagaimana menyikapi ultimatum yang
telah diberikan tersebut. Salah satu diantaranya adalah
dengan mendengar Radio Pemberontakan, dimana Bung
Tomo memberikan perintah yang tegas untuk tidak
berhenti dalam berjuang melawan Inggris. Secercah
kalimatnya yang selalu terngiang di telinga pemuda
Surabaya
“Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak
merdeka.
Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”
Dilain kesempatan, pemuda-pemuda juga
menemukan pernyataan yang dikemukakan oleh
Gubernur Suryo yang meminta para pemuda untuk
menghimpun seluruh kekuatan yang ada. Dengan
demikian bulat sudah seluruh tekad dari para relawan
dalam menghadapi ultimatum yang akan ditolak
tersebut. Para pemuda terus menggunakan Radio
Pemberontakan sebagai sarana untuk mobilisasi
pergerakan.
Perlawanan tidak akan dapat dihindarkan, tinggal
menanti fajar dan berharap badai akan berlalu. Semoga
Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan
perlindungannya kepadaku dan keluargaku, gumam Abi
dalam malam yang panjang itu.