Anda di halaman 1dari 5

Bandung Lautan Api

Kota Bandung, kota kelahiranku, kota yang menurutku indah sebelum ada
Penjajah di Negeri ini. Banyak hal yang tidak aku inginkan terjadi setelah
kedatangannya kemari. Aku seorang remaja 17 tahun. Perempuan yang cantik
menurut ibuku. Berambut lurus, berkulit putih. Zaman ini tidak ada sekolah, hanya
orang kaya dan bangsawan Jepang saja yang bisa menikmati indahnya bersekolah.

Hawa syahdu di pagi itu mengiringi langkahku setelah menjalankan


kewajibanku sebagai seorang muslim yang taat pada agama lalu ku letakkan
mukenahku digantungan. Setelah itu aku menuju ke dapur dimana mataku tertuju
pada sosok yang tak asing lagi dalam hidupku yang sedang duduk di meja makan.
Dialah abangku, raut wajahnya mengingatkanku akan kehangatan kasih seorang
ayah. Dengan tatapan yang hangat Dia mengadahkan wajahnya dan tersenyum
penuh arti kepadaku. Saat itu aku tidak tahu apa yang ia senyumkan.

“kamu sudah shalat dek ? “ tanyanya dengan suara yang sudah berat.

“sudah, baru saja. Abang udah shalat ? “ tanyaku . Dengan nada yang lembut
abangku menjawab , “sudah dek “.

Aku dan Bang Adit hanya tinggal berdua di rumah sederhana kami, tampak sepi
dan hambar tanpa kehadiran orang tua yang kami sayangi. Kedua orang tua kami
sudah meninggal sejak kami masih kecil. Saat itu, Bang Adit berjanji pada dirinya
sendiri akan menjaga dan melindungiku seperti yang diamanahkan kedua orang tua
kami padanya.

Meski hambar tanpa kehadiran seorang ibu dan ayah, aku berusaha keras untuk
menjadi pengganti ibu sekaligus ayah yang baik untukku adiknya. Lamunanku
sempat terhenti ketika Bang Adit memanggilku untuk datang ke meja makan. Akhir-
akhir ini aku sering melamun, mengingat kejadian masa lalu yang seharusnya sudah
pergi menjauh.

Di meja makan, nasi, tempe goreng, sambal dan air bening telah tersedia. Aku
dan Bang Adit menikmati makanan tersebut walaupun seadanya. Di tengah
keheningan, bang Adit memulai pembicaraan, “Nayla, kakak mendapat surat
pemberitahuan untuk merebut senjata dari pihak Jepang. “ sambil menyodorkan
sebuah surat padaku.

Mendengar apa yang barusan dikatakan Bang Adit , aku tak kuasa menahan
bulir- bulir air itu keluar dari kelopak mataku. Angin terasa berhenti berhembus,
mulutku terkunci rapat tak bisa mengucapkan apa- apa. Entah kenapa aku menangis,
apa yang salah dengan perkataan Bang Adit, dia adalah seorang pejuang. Tapi,
perasaanku mengatakan untuk melarang Bang Adit pergi. Aku merasa abangku ini
akan pergi jauh dariku.

“ dek, kamu nggak apa- apa kan ? ”, tanya kakakku sambil mengusap air mataku
dipipi.

“ abang tidak usah pergi bertempur, lebih baik kita meninggalkan kota Bandung
saja. “ jelasku kepada Bang Adit. “ kenapa dek, biasanya kamu nggak seperti ini “
tanya kakakku lagi. Dia seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan
barusan. Memang, baru kali ini aku melarang kakakku, biasanya apapun yang
dikatakannya aku selalu mendukungnya dari belakang.

Dengan raut muka yang cemas aku menjawab “ aku takut abang tak kembali lagi
ke rumah kita ini. Cukup aku kehilangan ibu dan ayah saja bang, aku tak ingin
kehilangan abang. “

Setelah lama terdiam, Bang Adit berdiri untuk duduk disampingku dan mulai
bicara sambil memegang tangan kananku, “ Dik, kakak tau kamu cemas, tapi ini
adalah tugas yang diamanahkan untuk Abang. Abang harus melakukan ini demi
negara kita, demi kota Bandung yang kita cintai ini “ ,tegas abangku. Aku tak bisa
berkata apa- apa lagi, keputusan abangku sudah bulat, hanya saja bulir- bulir air terus
keluar membasahi pipiku. Aku hanya berharap abangku bisa kembali dengan
selamat, mendo’akannya agar berhasil menjalankan misinya.

Pada siang hari, 17 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di kota Bandung.
abangku telah pergi sejak tadi pagi untuk menjalankan tugasnya. Sebulan telah
berlalu sejak sekutu datang ke kota Bandung. Sudah sebulan pula abangku
menjalankan tugasnya.

Pada 21 November 1945, sekutu mengeluarkan ultimatum yang berisi penduduk


harus meninggalkan kota Bandung. Ketika mendengar itu aku langsung menemui
abangku dan bertanya “ bang Adit, apa kita akan meninggalkan kota Bandung ? “
tanyaku. “ tidak Nayla, abang bersama pejuang lainnya sepakat tidak akan
meninggalkan kota Bandung, kami akan bertempur.” Jawab abangku. “ Kalau
seperti itu keputusan abang, tidak apa-apa. Aku hanya ingin abang selamat dan
kembali ke rumah”, pintaku pada Bang Adit.

Pihak sekutu berang karena ultimatumnya tidak diindahkan. Pertempuran pun


tak terelakkan antara sekutu dan pejuang Bandung. Itu terjadi selama beberapa
bulan. Aku menunggu kepulangan abangku dengan rasa cemas. Tau akan seperti ini,
aku akan melarang keras abangku untuk ikut ambil alih dalam pertempuran ini. Tapi
apa daya, aku hanya bisa menangis dan menangis tanpa tau harus berbuat apa.

Sampai 23 Maret 1946, dipagi hari aku pergi keluar rumah untuk membeli
sayuran anehnya Kota Bandung menjadi sepi. Aku memandang kanan dan kiriku
tampak kosong, Pagi ini penduduk sibuk didalam rumah masing-masing. Aku
melihat seorang tentara Indonesia yang sedang berbicara pada seorang kakek,
rupanya kakek itu bertanya apa yang sebenarnya terjadi di hari ini, yang aku sendiri
tidak tahu apa yang terjadi pada hari ini.
Tak seperti biasanya, hari ini ada begitu banyak tentara Indonesia yang
berjaga, sedangkan tentara Jepang tidak terlihat berkeliaran. Aku berfikir sepertinya
mereka sudah pergi, tapi entahlah aku tak yakin soal hal itu. Aku berjalan di sekitar
rumah, melihat para orang tua dan anak- anak sedang sibuk sendiri menyiapkan
sesuatu yang aku tak mengerti, dan aku menghampiri tentara Indonesia yang sedang
berjaga-jaga yang tadi ku lihat sedang berbicara pada kakek.
“Bapak, kenapa kota ini sepi sekali? Ada sesuatu hal yang terjadi?” Tanyaku heran
menatap tentara Indonesia yang gagah itu.
“Hari ini, dalam waktu 7 jam kedepan orang tua sedang sibuk untuk mempersiap
kan Bumi Hangus” kata tentara Indonesia itu sambil tetap berjaga-jaga.
“Bumi Hangus? Apaitu?” tanyaku
Tentara itu tidak menjawab pertanyaan terakhirku, aku pulang dengan keheranan
yangaku pendam tetang apa itu Bumi Hangus.
Aku pun kembali ke rumah dan aku melihat pintu rumahku terbuka padahal
saat aku pergi aku tidak lupa mengunci rumahku, ternyata yang membuka pintu
rumahku adalah abangku yang baru kembali setelah sekian bulan dia belum kembali
ke rumah. Aku langsung memeluknya dan betapa senangnya aku melihat abangku
kembali, semua rasa gundahku seketika hilang. “ bang, aku kangen banget sama
abang, Abang baik-baik aja kan disana?.” Tanyaku. “ abang juga kangen sama Nay,
abang baik- baik aja kok buktinya abang kembali dengan sehat wal’afiat” kata
abangku sambil duduk di kursi.
Aku mendengarkan radio tua, radio pemberian ayahku yang sudah tak jelas
suaranya, tiba-tiba terdengar “ Ultimatum Tentara Republik Indonesia,
meninggalkan kota dan rakyat membumi hanguskan rumah dan barang yang
dimilikinya sendiri serta markas besar tentara Jepang”, aku jadi teringat dengan apa
yang tentara tadi katakan kepadaku.
“Apa? Bumi Hangus?” kataku kaget mendengar siaran radio tadi.
Aku berfikir bahwa bumi akan hangus karena Jepang, tapi tiba-tiba abangku berkata
berkata “ dek, hari ini kita akan membumihanguskan kota Bandung, kamu harus
pergi sebelum itu terjadi “ pintanya padaku sambil memelukku erat. “ abang
bagaimana?” tanyaku sambil memeluk Bang Adit. Dengan lembut dia menjawab, “
kamu duluan aja pergi, abang nggak bisa ikut sama kamu”. Aku tidak terlalu
memikirkan perkataan abangku dan langsung menjawab, “ baiklah, tapi nanti abang
harus menyusulku”, pintaku. “ iya “, jawabnya padaku.

Setelah memelukku, dia pergi dengan mengucapkan kata selamat tinggal


padaku. aku sudah bersiap- siap untuk pergi, aku meninggalkan semua kenanganku
bersama ayah dan ibu di rumah itu. Baru beberapa langkah hatiku tidak tenang
meninggalkan kota ini, rasanya ada yang menjanggal di pikiranku. Tapi aku tidak
menghiraukan hal tersebut, aku tetap melangkah ke depan.

Semua orang dinaikan kedalam truk, rumah-rumah kosong tanpa ada yang
menempatinya. Aku melihat bagaimana tentara membakar rumah kami semua,
terdengar suara ledakan dan teriakan seorang bayi. Truk ini berjalan kearah selatan
bersama para pejuang kemerdekaan lainnya, mengungsi keluar dari kota Bandung
ini. Disetiap jalan aku melihat api yang sangat besar menghanguskan kota ini.

Tak kusangka, orang yang mengorbankan nyawanya untuk membumihanguskan


kota Bandung adalah abangku dan temannya Ramdan. Aku baru mendengar hal itu
beberapa jam setelah kota Bandung hancur. Seketika itu juga, hatiku hancur serasa
ditusuk ribuan jarum. Aku tak kuasa menahan tangis, berteriak memanggil nama
abangku. Aku tidak menyangka bahwa hari ini adalah pertemuan terakhirku dengan
abangku. Tapi apa, nasi sudah menjadi bubur.
Satu hal yang dapat kumengerti adalah abangku rela memberikan nyawanya
untuk kota dan negara yang dicintainya. Aku bangga karena apa yang diinginkannya
tercapai. Peristiwa ini akan selalu kukenang sampai akhir hayatku. Peristiwa pada
bulan Maret 1946, dimana saat itu terukir sejarah yang mengharukan.

Anda mungkin juga menyukai