Anda di halaman 1dari 6

Bahasa Indonesia Nama : Leiliana Padmasafira

Kelas : 12 MIPA 1

I.

a. Latar waktu terjadi pada


 Hawa syahdu di pagi itu… (pagi hari)
 Siang, 17 Oktober 1945
 Pada 21 November 1945
 Sampai 24 Maret 1946
b. Kota Bandung.
c. Sejarah hancurnya Kota Bandung.
d. Bang Thoha, Fatma, Ayah dan Ibu, dan Ramdan.
e. Peristiwa ini terjadi karena penduduk Bandung yang tidak mengindahkan ultimatum sekutu.
f. Pada 21 November 1945, sekutu mengeluarkan ultimatum yang berisi penduduk Bandung harus
meninggalkan Kota Bandung, namun penduduk Bandung tak mengindahkan ultimatum sekutu.
Pertempuran pun tak terelakkan antara pejuang Bandung dan sekutu. Pertempuran ini terjadi selama
beberapa bulan. Pada 24 Maret 1946, pertempuran masih terjadi dan sekutu kembali mengeluarkan
ultimatumnya. Kali ini penduduk Bandung harus segera meninggalkan Kota Bandung karena Kota
Bandung akan segera dibumihanguskan.
g. Bang Thoha
h. Pemberani, rela berkorban, penyayang dan memiliki semangat juang yang tinggi.
i. Pengarang menonjolkan tokoh imajinasi karena walaupun hanya tokoh imajinasi namun sangat penting
untuk menentukan alur cerita.
j. Kelebihan dari tokoh yang diimajinasikan ini sehingga memiliki kekuatan penceritaan adalah tokohnya
yang menjadi sentral yang bisa menentukan alur cerita dan juga cerita yang bersudut pandang darinya.

II.

No Struktur Kutipan
1 Orientasi Hawa syahdu di pagi itu mengiringi langkahku setelah menjalankan
kewajibanku sebagai seorang muslim yang taat pada agama. Entah
sesuatu apa yang terlintas di pikiranku, mataku tertuju pada sosok
yang tak asing lagi dalam hidupku. Dialah abangku, raut wajahnya
mengingatkanku akan kehangatan kasih seorang ayah. Dengan
tatapan yang hangat dia tersenyum padaku.
“Kamu sudah shalat, Dik?” tanyanya dengan suara yang
sudah berat.
“Sudah, baru saja. Abang udah shalat?” tanyaku. Dengan
nada yang lembut abangku menjawab, “Sudah, Dik.”
Aku dan Bang Thoha hanya tinggal berdua di rumah
sederhana kami, tampak sepi dan hambar tanpa kehadiran orang
tua yang kami sayangi. Kedua orang tua kami sudah meninggal
sejak kami masih kecil. Saat itu, Bang Thoha berjanji pada dirinya
sendiri akan menjaga dan melindungiku seperti yang diamanahkan
kedua orang tua kami padanya.
Meski hambar tanpa kehadiran seorang ibu dan ayah, aku
berusaha keras untuk menjadi pengganti ibu sekaligus ayah yang
baik untukku adiknya. Lamunanku sempat terhenti ketika Bang
Thoha untuk datang ke meja makan. Akhir-akhir ini aku sering
melamun, mengingat kejadian masa lalu yang seharusnya sudah
pergi menjauh.
2 Pengungkapan peristiwa Di meja makan, makanan hangat telah tersedia. Aku dan
Bang Thoha menikmati makanan tersebut walaupun seadanya. Di
tengah keheningan, Bang Thoha memulai pembicaraan, “Fatma,
kakak mendapat surat pemberitahuan untuk merebut senjata dari
pihak Jepang,” sambil menyodorkan sebuah surat padaku.
Mendengar apa yang barusan dikatakan Bang Thoha, aku
tak kuasa menahan bulir-bulir air itu keluar dari kelopak mataku.
Angin terasa berhenti berhembus, mulutku terkunci rapat tak bisa
mengucapkan apa-apa. Entah kenapa aku menangis, apa yang salah
dari perkataan Bang Thoha, dia adalah seorang pejuang. Tapi,
perasaanku mengatakan untuk melarang Bang Thoha pergi. Aku
merasa abangku ini akan pergi jauh dariku.
“Fatma, kamu nggak apa-apa kan?” tanya kakakku.
“Abang tidak usah pergi bertempur, lebih baik kita
meninggalkan kota Bandung saja,” jelasku kepada Bang Thoha.
“Kenapa, Dik, biasanya kamu nggak seperti ini,” tanya
kakakku lagi. Dia seolah tak percaya dengan apa yang kukatakan
barusan. Memang, baru kali ini aku melarang kakakku, biasanya
apapun yang dikatakannya aku selalu mendukungnya dari belakang.
Dengan raut muka yang cemas aku menjawab, “Aku takut
abang tak kembali lagi ke rumah kita ini. Cukup aku kehilangan ibu
dan ayah saja, Bang. Aku tak ingin kehilangan abang.”
Setelah lama terdiam dalam kata, Bang Thoha mulai bicara,
“Dik, kakak tahu kamu cemas, tapi ini adalah tugas yang
diamanahkan untuk kakak. Kakak harus melakukan ini demi negara
kita, demi Kota Bandung kita ini,” tegas abangku. Aku tak bisa
berkata apa-apa lagi, keputusan abangku sudah bulat, hanya saja
bulir-bulir air terus keluar membasahi pipiku. Aku hanya berharap
abangku bisa kembali dengan selamat, mendoakannya agar
berhasil menjalankan misinya.
3 Menuju konflik Siang, 17 Oktober 1945, pasukan sekutu mendaratdi Kota
Bandung. Abangku telah pergi sejak tadi pagi untuk menjalankan
tugasnya. Sebulan telah berlalu sejak sekutu datang ke Kota
Bandung. Sudah sebulan pula abangku menjalankan tugasnya.
Pada 21 November 1945 sekutu mengeluarkan ultimatum
yang berisi penduduk Bandung harus meninggalkan Kota Bandung.
Ketika mendengar itu dari abangku, aku bertanya, “Bang Thoha,
apa kita akan meninggalkan Kota Bandung?”
“Tidak, Fatma. Abang bersama pejuang lainnya sepakat
tidak akan meninggalkan Kota Bandung. Kami akan bertempur,”
jawab abangku.
“Kalau seperti itu keputusan abang, tidak apa-apa. Aku
hanya ingin abang selamat dan kembali ke rumah,” pintaku pada
Bang Thoha.
Pihak sekutu berang karena ultimatumnya tidak
diindahkan. Pertempuran pun tak terelakkan antara pihak sekutu
dan pejuang Bandung. Itu terjadi selama beberapa bulan. Aku
menunggu kepulangan abangku dengan rasa cemas. Tahu akan
seperti ini, aku akan melarang abangku untuk ikut ambil alih dalam
pertepuran ini. Tapi apa daya, aku hanya bisa menangis dan
menangis tanpa tahu harus berbuat apa.
Sampai 24 Maret 1946, pertempuran terus terjadi. Sekutu
kembali mengeluarkan ultimatumnya. Dan pada saat itu, paginya
sebelum abangku berangkat, dia berkata,”Dik, hari ini kita akan
membumihanguskan Kota Bandung. Kamu harus pergi sebelum
semua ini terjadi,” pintanya padaku sambil memelukku erat.
“Abang bagaimana?” tanyaku sambil memeluk Bang
Thoha. Dengan lembut dia menjawab,”Kamu duluan aja pergi,
abang nggak bisa ikut sama kamu.” Aku tidak terlalu memikirkan
jawaban abangku dan langsung menjawab, “Baiklah, tapi nanti
abang harus menyusulku,” pintaku. “Iya,” jawabnya padaku.
Setelah memelukku, dia pergi dengan mengucapkan kata
selamat tinggal padaku. Aku sudah bersiap-siap untuk pergi. Aku
meninggalkan semua kenang-kenanganku bersama ayah dan ibu di
rumah itu. Setelah membakar rumah kami, aku langsung pergi
meninggalkan Kota Bandung. Baru beberapa langkah hatiku tidak
tenang meninggalkan kota ini, rasanya ada yang menjanggal di
pikiranku. Tapi aku tidak menghiraukan hal tersebut, aku tetap
melangkah ke depan.
Tak kusangka, orang yang mengorbankan nyawanya untuk
membumihanguskan Kota Bandung adalah abangku dan temannya
Ramdan. Aku baru mendengar hal itu beberapa jam setelah Kota
Bandung hancur. Seketika itu juga hatiku hancur serasa ditusuk
ribuan jarum. Aku tak kuasa menahan tangis, berteriak memanggil
nama abangku. Aku tak menyangka bahwa hari ini adalah
pertemuan terakhirku dengan bangku. Tapi apa, nasi telah menjadi
bubur.
4 Puncak konflik Sampai 24 Maret 1946, pertempuran terus terjadi. Sekutu
kembali mengeluarkan ultimatumnya. Dan pada saat itu, paginya
sebelum abangku berangkat, dia berkata,”Dik, hari ini kita akan
membumihanguskan Kota Bandung. Kamu harus pergi sebelum
semua ini terjadi,” pintanya padaku sambil memelukku erat.
“Abang bagaimana?” tanyaku sambil memeluk Bang
Thoha. Dengan lembut dia menjawab,”Kamu duluan aja pergi,
abang nggak bisa ikut sama kamu.” Aku tidak terlalu memikirkan
jawaban abangku dan langsung menjawab, “Baiklah, tapi nanti
abang harus menyusulku,” pintaku. “Iya,” jawabnya padaku.
Setelah memelukku, dia pergi dengan mengucapkan kata
selamat tinggal padaku. Aku sudah bersiap-siap untuk pergi. Aku
meninggalkan semua kenang-kenanganku bersama ayah dan ibu di
rumah itu. Setelah membakar rumah kami, aku langsung pergi
meninggalkan Kota Bandung. Baru beberapa langkah hatiku tidak
tenang meninggalkan kota ini, rasanya ada yang menjanggal di
pikiranku. Tapi aku tidak menghiraukan hal tersebut, aku tetap
melangkah ke depan.
5 Resolusi Tak kusangka, orang yang mengorbankan nyawanya untuk
membumihanguskan Kota Bandung adalah abangku dan temannya
Ramdan. Aku baru mendengar hal itu beberapa jam setelah Kota
Bandung hancur. Seketika itu juga hatiku hancur serasa ditusuk
ribuan jarum. Aku tak kuasa menahan tangis, berteriak memanggil
nama abangku. Aku tak menyangka bahwa hari ini adalah
pertemuan terakhirku dengan bangku. Tapi apa, nasi telah menjadi
bubur.
6 koda Satu hal yang dapat kumengerti adalah abangku rela
memberikan nyawanya untuk kota dan negara yang dicintainya.
Aku bangga karena apa yang diinginkannya tercapai. Peristiwa ini
akan selalu kukenang sampai akhir hayatku. Peristiwa pada bulan
Maret 1946, di mana saat itu terukir sejarah yang mengharukan.
III.

No Nilai Bukti/Kutipan
1 agama Kekuatan beribadah
 Hawa syahdu di pagi itu mengiringi langkahku setelah
menjalankan kewajibanku sebagai seorag muslim yang taat
pada agama.
Mendoakan
 Aku hanya berharap abangku bisa kembali dengan selamat,
mendoakannya agar berhasil menjalankan misinya.
2 moral Bertanggung jawab
 Meski hambar tanpa kehadiran seorang ibu dan ayah,
abangku berusaha keras untuk menjadi pengganti ibu
sekaligus ayah yang baik untuk adiknya.
Amanah
 Setelah lama terdiam dalam kata, Bang Thoha mulai bicara
“Dik, kakak tahu kamu cemas, tapi ini adalah tugas yang
diamanahkan untuk kakak, kakak harus melakukan ini demi
negara kita, demi Kota Bandung kita ini,”tegas abangku.
Pantang menyerah
 “tidak, Fatma. Abang bersama pejuang lainnya sepakat
tidak akan meninggalkan Kota Bandung. Kami akan
bertempur,” jawab abangku.
Berbohong untuk kebaikan
 “baiklah, tapi nanti abang harus menyusulku,” pintaku.
“iya,” jawabnya padaku.
3 sosial Perhatian
 “sudah, baru saja. Abang sudah shalat?” tanyaku. Dengan
nada yang lembut abangku menjawab “Sudah, Dik”
Penyayang
 Tapi, perasaanku mengatakan untuk melarang Bang Thoha
pergi. Aku merasa abangku ini akan pergi jauh dariku.

Anda mungkin juga menyukai