Anda di halaman 1dari 14

Bumi manusia

Tahun 1900-An di tanah Jawa Timur Indonesia, hiduplah seorang tokoh bernama
Tirtoadisuryo yang biasa dipanggil Minke, ia hidup mandiri terpisah dari kedua
orang tuanya. Minke merantau jauh dari orang tuanya demi menghindari
peraturan-peraturan yang mengikat khas Bupati dan petinggi daerah lainnya.
Minke dikenal sebagai tokoh yang cerdas, aktif mengkritik pandangan dan
pendapat kolonialisme dan sangat peduli terhadap hak-hak kaum pribumi.

Di Kamar Minke
(Suurhof Membuka pintu kamar Minke)
Minke (Arrafi): “Suurhof!” (Muka kaget)
Suurhof (Davin): “Hei, Minke! what are you doing? Wih … wih … max Havelaar
nih.” (Sambil mengacak ngacak foto yang disimpan minke).
Minke (Arrafi): “Hey, Suurhof!” (merebut foto yang dipegang suuhof)
Suurhof (Davin): “Dasar mata keranjang, sangking sukanya you sama orang
Belanda itu sampai menyimpan fotonya! Ngeri, ngeri. Sudahlah, mending you ikut
sama I pergi dari sini, biar mata dan hati you lebih sehat dan tidak terus terusan
dalam mimpi.”
Minke (Arrafi): “Pergi kemana, Suurhof?”
Suurof (Davin): “Ah sudah, ikut saja! Nanti i kenalin u sama orang Belanda yang
tak kalah cantiknya.”
Minke (Arrafi): “Tidak perlu suurof, aku sibuk!”
Suurof (Davin): “Sudahlah, ayo ikut saja!” (Sambil mengajak pergi)
Minke (Arrafi): “Baiklah, aku akan ikut!”
Ruang tamu Annelies
Robert Mellema (Rifan): “Hei, Suurof!”
Suurof (Davin): “Hei, Robert!”
Robert Mellema (Rifan): “Long time no see Suurhof?”
Suurhof (Davin): “Oh, iya, ini teman I, Minke. Minke, ini Robert.”
(Minke menjulurkan tangan untuk berkenalan)
Robert Mellema (Rifan): “Minke saja?”
Minke (Arrafi): “Ya, Minke saja.”
Robert Mellema (Rifan): “Silakan duduk.”
Suurof (Davin): “Terima kasih, Robert.”
(Minke yang hendak duduk namun ditahan oleh Robert yang kemudian
mengarahkan jari telunjuknya ke belakang, menyuruh Minke untuk duduk di
belakang).
Robert Mellema (Rifan): “Parjiyah! Parjiyah bawakan minum, Cepat!
Parjiyah (Anggita): “Baik, tuan.”
Robert Mellema (Rifan): “Silahkan diminum, Suurhof.”
(Datanglah Annelies)
Minke (Arrafi): “Minke.” (sambil menjulurkan tangan)
Annelies (Agin): “Namamu Minke saja?”
Minke (Arrafi): “Aku pribumi.”
Annelies (Agin): “Memangnya kenapa kalau kau pribumi? Ibuku juga pribumi, dia
orang jawa.”
Robert Mellema (Rifan): “Untuk apa dibanggakan, an?”
Annelies (Agin): “Aku hanya memberi tahu fakta kepada minke, apa salahnya?
Tamumu sekarang adalah tamu ku. Ayo Minke, kita masuk.”
(Annelies pun memperkenalkan tamu kepada ibu)
Annelies (Agin): “Ma, perkenalkan ini temanku, Minke namanya. Minke,
perkenalkan ini mamaku.”
Ibu Annelies (Fajra): “Saya Nyai Ontosoroh, orang sini tidak bisa memanggil nama
Belanda ku Brighton job. Kamu bisa panggil saya Nyai.”
Ibu Annellies (Fajra): (Menatap mata minke) “Minke, Minke, ternyata
pandanganmu sama seperti orang-orang diluar sana yang menganggap nyai itu
sama seperti gundik. Kalau begitu, kau bisa memanggilku Mama, sama seperti
annelies.”
Minke (Arrafi): “Baik, Ma.”
Ibu Annalies (Fajra): “Bukannya kamu anak Bupati? Iya, kan?” (Melihat muka
Minke)
(Minke tersipu malu-malu)
Ibu Annelies (Fajra): “Mama tinggal dulu, ya, masih banyak kerjaan. Annelies, ajak
Minke jalan-jalan.”
Annelies (Agin): “Baik, Ma.”
(Lalu annelies membawa Minke jalan jalan ke kebun)
Petani (Aprilia): “Noni Annelies, piye kabare?”
Annelies (Agin): “Baik, sayuran ini, sudah dipisahkan semua?
Petani (Aprilia): “Sudah semua, noni.”
Minke (Arrafi): “Ini semua punya keluargamu?”
Annelies (Agin): “Iya, Mamaku yang mengelola semua ini, mulai dari perkebunan,
peternakan, hingga keuangan.”
Minke (Arrafi): “Hebat sekali, ya, keluargamu.”
Annelies (Agin): (senyum mendengar pujian) “Oh iya, jadi benar namamu hanya
minke saja?”
Minko (Arrafi): “Tidak, nama asliku Tirtoadisuryo. Hanya saja, sejak kecil guru dan
teman-temanku selalu memanggilku dengan nama Minke yang artinya monyet.”
Annelies (Agin): “Kenapa seperti itu?”
Minke (Arrafi): “Karena, aku pribumi dan kedudukan pribumi di tanah jajahan ini
sangatlah rendah, hingga disamakan dengan monyet. Entah apa yang mereka
pikirkan saat itu, mungkin dengan menyebut pribumi monyet, mereka merasa
lebih tinggi dan terpandang.”
Annelies (Agin): “Jahat sekali guru dan temanmu itu. Tapi Minke, aku yakin suatu
saat nanti namamu pasti akan menjadi nama yang besar dan hebat di negeri ini.”
Minke (Arrafi): “Oh, ya, kau sendiri kenapa dipanggil Noni? Menurutku, itu kurang
pantas.”
Annelies (Agin): “Mengapa kurang pantas?”
Minke (Arrafi): “Karena menurutku kau lebih pantas dipanggil dengan nama
Annelies ataupun Mbayu.”
Annelies (Agin): “Kenapa seperti itu?”
Minke (Arrafi): “Ya, tentu saja, karena wanita-wanita Eropa itu pasti akan iri
dengan kecantikanmu.”
(Annelies pergi dengan tersipu malu)
(2 hari kemudian ibu Annelies mengajak Minke untuk makan dirumah annelies)
(Annelies Masuk memakai pakaian yang saat cantik)
Ibu Annelies (Fajra): “Kamu berpakaian seperti pribumi.”
Minke (Arrafi): “Kamu sangat cantik, Annelies.”
Annalies (Agin): “Terima kasih, ayo makan.”
(Tiba-tiba datang ayah Annalies bernama Herman Mellema dalam keadaan
mabuk)
Herman Mallema (Zian): “Hei, siapa yang memberikan you izin menginjakkan kaki
di sini, Monyet?! You kira dengan berpakaian seperti orang Eropa membuat you
seperti orang Eropa hah? Nonono you tetaplah monyet!”
Ibu Annelies (Fajra): “Cukup Herman! Cepat pergi sekarang! Pergi kau ke kamar.
Parjiyah panggil penjaga suruh antar Minke pulang.”
Parjiyah (Anggita): “Baik, Nyai.”
Minke (Arrafi): “Aku pulang dulu, ya, Mah.”
(Lalu penjaga mengantarkan Minke kerumah nya)

Kosan Minke
(Beberapa bulan kemudian)
Ibu kos (Sephia): “Eh, baru bangun kamu? tuh ada surat dari nyai Soroh. Hati-hati
loh, mereka itu erotis tapi juga mistis. Kamu suka dengan anak gadis itu?”
Minke (Arrafi): “lya bu. Keluarga Annelies baik padaku.”
Ibu kos (Sephia): “Iyo, ibu bilang sih, hati-hati saja.”
(Mendengar perkataan ibu kos, Minke pun berpikiran untuk datang ke undangan
makan malam itu)

Rumah Annelies
Ibu Annelies (Fajra): ‘Terima kasih, ya, sudah mau datang, duduk-duduk. Parjiyah,
Tolong bawakan susu dan roti kemari!”
Parjiyah (Anggita): “Baik, Nyai.”
Minke (Arrafi): “Kenapa, Mah, memanggilku kemari?”
Ibu Annelies (Fajra): “Ini, lho, katanya Annellies kangen.”
Annelies (Agin): “Apaan sih, mah?” (Sambil tersipu malu)
Ibu Annalies (Fajra): “Oh, ya, Mama minta maaf atas perlakuan ayah Annelies
kemarin malam. Dulu, Herman sosok pria sangat baik, kami pertama kali bertemu
saat mama masih remaja. Saat itu, Mama dijual oleh ayah kepada Herman karena
Ayah ingin menjadi seorang juru bayar, agar keperluan keluarga bisa terpenuhi.
Herman memperlakukan Mama dengan sangat baik. Dia yang mengajari caranya
membaca, menghitung, hingga mama bisa mengelola semua bisnis ini. Hingga
akhirnya lahirlah Robert dan Annelies di rumah ini. Kami semua hidup bahagia,
Herman memberikan segalanya pada mama, kecuali menikahi Mama secara sah.
Hingga Suatu Hari kebahagiaan kami sirna, saat Mauritz Mellema, anak pertama
dari istri sah Herman di Belanda datang menghampiri kami, dia meminta
tanggung jawab dan hak kepada Herman Karena bagaimanapun, Herman masih
suami sah dari istrinya di Belanda. Herman mengajukan agar istrinya menceraikan
mereka supaya keluarga di Belanda itu masih mendapat keuntungan dari bisnis
ini, namun Mereka menolak, mereka rasa Herman lah yang melepas semua
tanggung jawabnya. Sejak saat itu, Herman tidak pernah lagi bersikap hangat dan
setiap malam ia selalu pulang dalam keadaan mabuk.”
Minke (Arrafi): “Kalau begitu, Mama dan Annelies tenang saja. Mulai saat ini, aku
akan melindungi Annelies dan mama dari sifat kejamnya Herman dan keluarga
istrinya yang berada di Belanda.”
(Setelah itu datanglah Pariyah tergesah gesah dan dalam keadaan panik)
Parjiyah (Anggita): “Nyai... Nyai... Ituu tuan!”
Annelies (Agin): “Papa, kenapa?”
Parjiyah (Anggita): “Tuan mati!” (sangat panik)
Ibu Annelies (Fajra): “Dimana dia sekarang?”
Parjiyah (Anggita): “Di kamar, Nyai.”
(Annelies, Nyai Ontosoroh, Minke dan Parjiyah bergegas ke kamar untuk melihat
keadaan Herman)
Annelies (Agin): “Papa... Papa.... Papa kenapa pa?!” (sambil teriak)
Ibu Annelies (Fajra): “Herman, bangun!”
Annelies (Agin): “Bangun pa.... Pa, bangun! jangan tinggalin Annelies pa, Ann
sayang sama papa.”
Minke (Arrafi): “Ma, liat ini!” (menunjukkan botol)
Ibu Annelies (Fajra): “Ini, racun?”
Minke (Arrafi): “Sepertinya, begitu, Ma,”
Ibu Annelies (Fajra): “Siapa yang melakukan semua ini? Biadab! Parjiyah! Cepat
periksa ini ke dokter sekarang.” (panik dan marah marah)
Parjiyah (Anggita): “Baik, nyai.”
Ibu Annelies (Fajra): (berbicara kepada Annelies) “Cepat kamu beritahu semuanya
termasuk kakak kamu, Robert, bahwa ayahmu telah dibunuh!”

Parjiyah pun memberikan botol tersebut kepada dokter Martinez dan benar
tebakan Nyai bahwa botol tersebut berisi racun. Keluarga Nyai Ontosoroh tak
membutuhkan waktu lama untuk mencari pelaku dibalik kejadian tersebut.
Namun naas, pencarian mereka menghasilkan kabar nihil karena tidak ada
satupun bukti yang mereka temukan, semuanya bersih. Kabar kematian Herman
menyebar ke seluruh wilayah. Satu bulan berlalu dari kejadian tersebut ketika
suasana duka telah memudar dan keadaan kembali tenang. Minke berniat
menikahi Annalies setelah sekian lama tertunda. Minke mangundang seluruh
kerabat di sekolahnya dan Annelies mengundang seluruh warga sekitar.

Hari Pernikahan
Penghulu (Zian): “Saudara Tirtoadisuryo, saya nikahkan dan saya kawinkan anda
dengan Annelies Mellema binti almarhum Herman Mellema dengan mahar cincin
emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!”
Minke (Anggita): “Saya terima nikahnya Annelies millema binti almarhum Herman
Mellema dengan cincin emas dan seperangkat sholat dibayar tunai!”
Penghulu (Zian): “Bagaimana para saksi, sah?”
Saksi: “Sah!”
Penghulu (Zian): “Alhamdulillahirobbilalamin Rabbana Atina Fiddunya Hasanah
wafil akhiroti Hasanah waqina adzabannar Aamiin.”
(Minke dan Annelies pun sudah sah dan bersalaman)
Suurhof (Davin): “Hallo Minke, selamat ya, buat kalian!”
Minke (Arrafi): “Kamu kemana saja?”
Suurhof (Davin): “Sorry, ya, sebenernya i menjauhi you karena cemburu, I suka
sama Annelies. Tapi tidak masalah, I bahagia liat kalian berdua.”
Annelies (Agin): “Tapi, kita kan masih bisa berteman baik, Suurhof.” Suurhof
(Davin): “Doain ya, I mau balik ke Eropa semoga bisa menjadi orang yang sukses
disana.”
Minke (Arrafi): “Terima kasih, Suurhof! Hati-hati!”

Pernikahan Minke dan Annelies pun berjalan lancar dan damai hingga malam hari,
kedua Insan tersebut hidup bahagia menghabiskan hari-hari bersama. Setelahnya
Minke dipercaya untuk menjalani bisnis keluarga Annelles, berkat kegigihan dan
kecerdasannya, Minke berhasil membawa bisnis keluarga tersebut mencapai
puncak kejayaan

Minke (Arrafi): “Parjiyah! Parjiyah kok mama dan Annelies belum pulang? sudah
jam 5, ini.”
Pariyah (Anggita): “Maaf tuan, saya dari pagi belum lihat nyai dan Noni.”
Minke (Arrafi): “Kemana mereka berdua? tumben sekali belum pulang.” (Wajah
penuh pertanyaan)
(Tiba-tiba datanglah penjaga rumah)
Penjaga rumah (Fannisya): “Maaf tuan, ayo ikut saya, ini penting.”
Minke (Arrafi): “Kenapa? Ada yang meninggal? Robert?”
Penjaga rumah (Fannisya): “Ayo tuan, ikut saya ke pengadilan!”
Minke (Arrafi): “Pengadilan?”

Di pengadilan
(Diberi kertas)
Ibu Annelies (Fajra): “Jadi Mauritz, anak Herman di Belanda itu mau merampas
semuanya? termasuk Hak asuh Annelies?”
Hakim (Aufa): “Itu kertasnya, Nyai.”
Ibu Annelies (Fajra): “Tanpa menjejakkan kaki di sini dia bisa seperti itu?!
Pengacara! Mengapa kau diam saja?!”
Pengacara (Ernis): “Boleh I minta waktunya sebentar?” (Menatap hakim)
Ibu Annelies (Fajra): “Tidak perlu! Ayo ann kita keluar.”
(Diluar pengadilan datanglah Minke menghampir Annelies dan ibu Annelies)
Ibu Annelies (Fajra): “Kamu tidak perlu khawatir, biar semua mama yang urus.”
(Sambil membawa surat)
Minke(Arrafi): “Ma ada apa ini?”
Ibu Annelies(Fajra): “Habis semuanya habis!!! Semua harta dan hak asuh Annelies
diambil oleh Mauritz si biadab itu.”
Minke (Arrafi): “Aku dan Annelies kan sudah menikah ma?”
Mamah Annelies (Fajra): “Tidak, pernikahan nya dianggap tidak sah.”
Minke (Arrafi): “Mama tidak protes?”
Ibu Annelies (Fajra): “Kau pikir apa yang mama lakukan didalam?” (Sambil
memberikan surat ke Minke)
Minke (Arrafi): “Jadi dengan surat-surat ini dia bisa menghancurkan hidup kita!
(dengan emosi)
Ibu Annelies (Fajra): “Ayo ann kita pulang.”
(Tiba tiba Annelies jatuh pingsan karna memikirkan masalah yang dihadapi nya)

Di rumah
Minke (Arrafi): “Mah tadi sore aku telah meminta bantuan pengacara untuk
datang ke sini.”
Ibu Annelies (Fajra): “Terima kasih Minke.”
(Sore hari pun telah tiba)
Pengacara (Ernis): “Catatan pengadilan Amsterdam tertulis bahwa Nyai tidak
pernah menikah secara sah dengan Tuan Herman dan Tuan Herman belum
pernah menceraikan istri pertamanya.”
Ibu Annelies (Fajra): “Apa maksud nya?”
Pengacara (Ernis): “Maksudnya, tuan Herman tidak bisa mengakui secara hukum
bahwa Robert dan Annelies adalah anaknya.”
Minke (Arrafi): “Dengan begitu Mauritz tidak punya hak atas Annelies?”
Pengacara (Ernis): “Benar sekali. Tetapi saya baru mendapat kabar dari
Amsterdam bahwa istri pertama Tuan Herman mengajukan cerai kepadanya lima
tahun lalu, dan Tuan Herman mengabulkan permintaan itu, artinya ia punya
semuanya.”
Ibu Annelies (Fajra): “Jadi saat mauritz datang itu semuanya dusta? Dia bilang
ibunya tidak pernah mengajukan cerai. Para Belanda itu memang kurang ajar!”
(Ucapnya marah)
(Tiba tiba Annelies pergi dan menangis dikamamya)
Minke (Arrafi): “Sekarang tinggal pena ini dan aku akan isi tinta ini oleh darahku
sendiri!” (Sambil menggebrak meja)

Minke terus memperjuangkan kasusnya melalui tulisan yang ia kirimkan di koran.


Hingga pada akhirnya, tulisan yang paling kontroversial yang ia tulis yaitu, saat ia
mengadu domba antara hukum Eropa dan hukum Islam mengenai pemikahan dan
Hak asuh anak yang saling bortolak belakang, terjadi perdebatan hingga
pemberontakan antara kaum pribumi dan priyayi yang mendukung Minke untuk
melawan bangsa Eropa.

(Annelies terbaring pingsan)


Minke (Arrafi): “Ma, Annelies sudah bangun? Ma lihat ini, pernikahan ku dan
Annelies dianggap sah oleh hukum agama Islam. Ann ayo bangun ann kita
dianggap sah oleh hukum Islam, kita bisa melawan hukum eropa itu.”
Ibu Annelies (Fajra): “Eropa yang diagung-agungkan sebagai pusat pengetahuan
dan peradaban dengan mudahnya merampas hak kita. Malu sudah peradaban
orang Eropa, mereka hanya tahu apa yang mereka mau. Mamamu ini tidak
bersekolah, Minke. Aku tidak pernah diajarkan menghormati, apalagi
mengagungkan orang Eropa. Kita akan menjadi pribumi pertama yang melawan
pengadilan bui putih tanpa pengacara. Kau siap kan Minke?”
Minke (Arrafi): “Baiklah ma.”
(Seesok harinya sidangpun berlangsung)
Hakim (Aufa): “Tukkk.... Tukkk.... Tukk.... Berdasarkan bukti-bukti yang telah
dikumpulkan pernikahan antara Sanikem dengan Herman Mellema tidak sah
secara hukum. So Sanikem tidak berhak atas seluruh harta kekayaan dari Herman
Mellema, juga hak asuh dari Robert dan Annelies.”
Ibu Annelies (Fajra): “Saya Ontosoroh menolak atas keputusan ini. Annelies tidak
boleh dibawa oleh siapapun. Dia adalah anak kandungku, aku sendiri yang
melahirkan dan membesarkannya. Jika kalian semua berani membawa anakku
langkahi dulu mayatku.”
Hakim (Aufa): “Annelies Millema akan dibawa dari pelabuhan Surabaya menuju
Amsterdam dalam tempo waktu 5 hari.”
Para Saksi: “Huuuu.... Huuu....”
Minke (Arrafi): “TIDAK! Saya tidak setuju. Saya suami Annelies yang sah. Lihat ini
lihat!” (Sambil menunjukan surat sah pernikahan kepada hakim)
Hakim (Aufa): “Silakan you berbicara di majelis itu bukan di sini. di sini annelies
adalah seorang gadis yang tidak punya suami.”
Minke (Arrafi): “Omong kosong!”
Hakim (Aufa): “Saat ini Anneliese memiliki Wali di Amsterdam, keputusan ini tidak
bisa diganggu gugat.”
Minke (Arrafi): “Lihat ini!” (Menunjukan surat)
Hakim (Aufa): “Secara hukum kalian berdua tidak punya hubungan apa-apa
dengan Annelies.”
Minke (Arrafi): “Dasar penindas hukum biadab!”
Saksi saksi: “Huuu….”

Lima hari kemudian


Tentara Belanda 1 (Dava): “Minggir kalian kaum-kaum udik?!”
Penjaga rumah (Fannisyai): “Tidak akan kami biarkan kaki kotor kalian memasuki
wilayah kami. Hukum macam apa yang memisahkan antara ibu dengan anak nya
sendiri? Hukum Setan?!” (Bilang nya tegas)
Tentara Belanda 1 (Dava): “Berisik you you semua!” (Sambil menembakan pistol)
Penjaga rumah (Fannisya): “Serang!”
(Dan penjaga tu di tembak oleh tentara Belanda)
Parjiyah (Anggita): “Nyai! Nyai! Semua Belanda itu telah dating.”
Ibu Annelies (Fajra): “Tutup semua pintu cepat!”
Parjiyah (Anggita): “Baik Nyai.”
Minke (Arrafi): “Ada apa ma?”
Ibu Annelies (Fajra): “Ini saatnya, tolong kamu jaga Annelies.”
Minke (Arrafi): “Biar aku yang menghadapi para Belanda itu ma.”
Ibu Annelies (Fajra): “Tidak! Kamu jaga Annelies sekarang!”
(Minke pun menghampiri Annelies, Annelies dan minke bertemu di depan
kamarnya)
Annelies (Agin): “Mass orang Belanda itu sudah datang ya?”
Minke (Arrafi): “Kenapa kamu bilang begitu? Ayo kita ke kamar.”
Annelies (Agin): “Mas biarkan aku menyuapi untuk terakhir kalinya. Kita kan
pernah bahagia. Aku mohon ya, ketika aku sudah tidak ada disini lagi, kenangan
itu jangan pernah kamu lupa ya. Tolong juga jaga mama untukku ya? Maaf aku
belum bisa menjadi istri yang baik untuk kamu, aku hanya menjadi beban untuk
kamu dan mama yang bertubi-tubi. Aku ingin kalian berdua lepas dari masalah itu
mas, dan hidup bahagia seperti keluarga yang lain.”
Minke (Arrafi): “Kau ini bicara apa Ann? Kita ini keluarga yang bahagia tanpa
Belanda biadab itu.”
Annelies (Agin): “Ingat perkataan aku tadi dan satu hal yang perlu kamu tau, aku
seorang Annelies Mellema mencintai Tirtoadisuryo hari ini, esok dan selamanya.”
(Tiba tiba tentara pun datang ke kamar Annelies)
Tentara Belanda (Dava): “Annelies Mellema! Ayo cepat keluar! Ikut I!”
Ibu Annelies (Fajra): “Ann kenapa kamu keluar Ann?”
Annelies (Agin): “Tidak perlu khawatir ma, aku tidak apa-apa.”
Ibu Annelies (Fajra): “Kalian semua boleh tinggal di sini. Tetapi aku tidak Sudi
sedikitpun kalau kalian menyentuh anakku.”
Tentara Belanda (Dava): “Sudah I bilang berkali-kali kepada you Nyai, bahwa
Annelise bukan anak you.”
Ibu Annelies (Fajra): “Bagaimana bisa tidak ada hubungannya denganku, jika ia
lahir dari rahimku sendiri?!”
Tentara Belanda (Dava): “Banyak omong U!
Ibu Annelies (Fajra): “Kalian yang banyak omong, banyak tingkah. Berdebat tidak
tau diri. Yang hanya bisa menghakimi kami secara sepihak. Aku ibunya! Kalian
putuskan hubunganku dengan anakku! Manusia macam apa kalian?! Hati kalian
itu tidak lebih dari seorang binatang!” (sambil menampar tentara itu)
Tentara Belanda (Dava): “Berani sekali U menampar I! Kami dari tadi tidak
berbuat apa-apa kepada you, tapi you sangat lancang sekali.”
Ibu Annelies (Fajra): “Aku tidak akan pernah membiarkan kalian mengambil
anakku.”
Tentara Belanda (Dava): “Seperti itu yang u katakan? I tidak akan pernah
membiarkan u bernapas lagi.” (menembak ke arah ibunya)
(Tetapi Annelies melindungi ibunya sendiri yang akhirnya Annelies pun meninggal
dan Tentara Belanda itu pergi begitu saja)
Minke (Arrafi): “Ann.... Bangun Ann....”
Ibu Annelies (Fajra): “Ann.... Bangun Ann.... Maafkan mama, Ann....”
Annelies (Agin): “Lebih baik aku mati dari pada aku harus hidup melihatmu mati
karnaku. Aku hanya menyusahkan kalian berdua, aku punya permintaan terakhir
padamu untuk tidak ada masalah penjajahan ini lagi, aku tidak mau ada korban
antara kalian. Tapi tanpa mama juga aku tidak bisa menghirup dunia ini
terimakasih atas semuanya ma. dan Minke jaga mamah biarkan mamah bahagia,
kamu juga harus bahagia.”
Minke (Arrafi): “Jangan tinggalin kita Ann....”
Annelies (Agin): “Tolong stop menangis, aku ingin kalian tersenyum. Aku minta
maaf pada kalian.”

Lagu Ibu Pertiwi

Anda mungkin juga menyukai