Anda di halaman 1dari 20

NARASI

Laut Bercerita

Sebuah kisah tentang perjuangan para aktivis muda, perjuangan para mahasiswa dalam menggulingkan
rezim yang telah 32 tahun berkuasa. Sebuah gambaran sisi gelap Negara ini, ketika sebuah kritik dan
saran menjadi hal yang terlarang, ketika berpendapat di anggap menentang. Sebuah cerita yang di
adaptasi dari hal yang disembunyikan, sebuah cerita gelap yang dibalut diksi-diksi indah dan menawan

Matilah engkau mati…

Kau akan lahir berkali-kali…

Tetapi hari ini, aku akan mati.

Aku tak tahu apakah aku bisa bangkit.

(Adegan 1)

Hari ini adalah hari minggu, hari dimana keluarga wibisana selalu melakukan ritual tertentu, ritual
makan bersama keluarga maksudnya.keluarga yang hangat, penuh cerita, bapa yang tegas namun juga
penuh kasih sayang, ibu seorang koki handal di rumah yang sangat lemah lembut, asmara jati yang
cantik, sedikit usil dan sangat realistis, dan laut, namanya biru laut wibisana, dia, ah sudahlah, mari kita
saksikan kisahnya bersama-sama.

ORIENTASI TOKOH (laut, asmarajati, bapak, ibu)

Ibu : “Ini makananya, ibu buatkan juga masakan kesukaan mas Laut dan Asmara”

Bapak : “Untuk bapak mana, bu?”

Ibu : “Bapak mengalah saja sama anaknya”

Laut : “Nah betul kata ibu, pak”

Asmara : “Bapak kan sudah tua, mengalah saja sama yang muda”

Laut : “Jangan begitu asmara, bapak bukanya tua, tapi antik”

Bapak : “Wess cangkem mu, begini juga bapakmu”


Laut : “Bercanda, pak”

Ibu : “Ouh iya Laut, kamu besok berangkat lagi ke Yogya, kan?”

Laut : “Iya bu, besok aku berangkat pagi”

Asmara : “Wah, mas Laut sudah pergi lagi”

Laut : “Berisik kamu! Mas kan mau cepat lulus, biar bisa awasi kamu” (sambil menjahili
Asmara Jati)

Asmara : “Ihh mas diem lah! Aku lagi makan, ganggu aja”

Laut : “Ya terserahku lah” ( dengan senyum tipisnya)

Bapak : “Sudahlah ndo, kalian ini kalau dekat bertengkar terus, kalau jauh rindu” (sedikit kesal)

Laut : “Ya sudah aku mau siap-siap dulu buat besok, bu, pak”

Ibu : “Iyo, tidur sana”

Bapak : “Siap-siap yang bener buat besok”

Ibu : “Ouh iya, jangan suka bahas-bahas buku seperti itu lagi”

Asmara : “Biarin toh bu, kan sudah dewasa katanya” (Laut hanya tersenyum)

(Laut pergi ke kamarnya, Asmara Jati menghabiskan makananya dengan lahap, ibu, Asmara Jati
meninggalkan tempat makan)

Pukul 5 pagi laut berangkat ke Yogya untuk melakukan rutinitasnya sebagai mahasiswa Sastra Inggris di
Universitas Gadjah Mada Hari demi hari ia lewati layaknya seorang mahasiwa pada umumnya, namun
kecintaannya terhadap sastra hingga mengulik buku-buku “Terlarang” tersebut membawanya kepada
organisasi Winatra, diskusi demi diskusi mereka lakukan sampai akhirnya keputusan di ambil untuk
mencari markas baru, demi keamanan anggotanya.

(Adegan 2)

Tuk…tuk…tuk…

Suara ketukan itu berirama. Bunyi ketukan halus itu datang dari jari-jari Sunu pada pintu calon rumah
mereka di Seyegan, di pojok terpencil di Yogyakarta.
Sunu : “Pintu ini terbuat dari kayu jati”

Dari kami berlima hanya Sunu yang paling paham soal urusan bangunan, karena itulah aku mengajaknya
bersama Kinan untuk melihat rumah ini, Daniel dan Alex memutuskan untuk ikut-ikutan. Mengajak
Daniel ke rumah ini sepertinya bukan keputusan yang tepat, karena Daniel akan menganggap segala hal
di dunia ini perlu diperdebatkan.

Kinan : “Aku sudah cek rumah ini, aku rasa kita ambil saja Laut. Enam juta rupiah setahun jauh
lebih murah daripada di Palem Kecut”

Daniel : “Ini tempat busuk. Cari yang lain aja weh! Lokasinya jauh dari mana-mana, loba nu kudu di
renovasi dan sudah jelas kita tidak punya dana sebesar itu. Belum lagi julukan Masyarakat setempat”

Kinan : “Apa julukan rumah ini, Dan?”

Alex : “Rumah hantu… mereka bilang setiap malam Jumat ada hantu yang tidur-tiduran di
sini”(Alex menyela sambil terus memotret area dapur)

Tentu saja kami tidak peduli dengan hantu yang tidur-tiduran pada malam Jumat, kami tak peduli betapa
kotor dan berantakannya rumah ini kecuali Daniel yang super rewel.

Daniel : “Cari tempat lain saja, kalau ambil tempat ini masih banyak yang harus dikerjain”

Laut : “Tidak apa-apa, Dan. Nanti kita bagi tugas saja”

Daniel : “Tapi Laut, maneh nggak lihat tembok yang buruk rupa itu. Kita akan butuh biaya banyak di
sana”

Kinan : “Jangan khawatirkan itu, serahkan saja pada ku dan Sunu”

Laut : “Catat saja apa yang perlu diperbaiki, kita bersihkan tempat ini bersama-sama”

(Setelah memeriksa tempat-tempat di rumah tersebut)

Sunu : “Hanya kamar mandi dan dinding yang akan makan dana lebih tinggi”
Kinan : “Kamar mandi, toilet, dan dapur Sunu. Soal tembok jangan beli cat dulu aku ada ide
lain”

(Laut dan Sunu saling melempar tatapan bingung)

(Adegan 3)

Ucapan Kinan selalu tidak terduga, aku jadi teringat bagaimana pertama kali aku bertemu dengannya
setahun lalu di kios Mas Yunus. Disanalah kawan-kawan sesama pers mahasiswa diam-diam
menggandakan beberapa bab novel “Anak Semua Bangsa” dan buku terlarang lainnya. Usai memfoto-
copy dan berbincang dengannya kami sepakat untuk pulang dan membuat janji untuk bertemu lagi
besok siang sesudah kuliah pagi, di warung Bu Retno.

Kinan : “Kok diam? Ayo pesan” (sepiring nasi penuh bersama lauknya dating ke hadapan
Kinan)

Laut : “Bu, saya pesan makan yang sama seperti Kinan”

Kuah dan sambal dan terkadang urab-urab gratisan karena Bu Retno yang baik hati, membuat Laut
menjadi rindu masakan rumah. Laut menatap Kinan kagum dikala Kinan sedang makan dengan lahap.

Laut : “Aku jadi ingat Asmara”

Kinan : “Adikmu? Memang Asmara orang seperti apa?” (Laut menganggukkan kepala)

Laut : “Dia adik tetapi tingkah lakunya seperti seorang kakak, bawel dan suka mengatur.
Anaknya tertib berbeda danganku. Waktu kecil dia pernah bilang ingin menjadi dokter atau pengacara
supaya bisa membantu orang”

Kinan : “Kalau kamu?”

Laut : “Aku tak tahu”

Kinan : “Kalau boleh tahu, apa pekerjaan orang tuamu?”


Laut : “Bapak, beliau seorang wartawan Harian Solo, bapak yang mengajari aku dan Asmara
untuk mencintai bacaan”

Kinan : “Kalau ibumu pekerja kantoran atau mengurus rumah tangga?”

Laut : “Ibuku melakukan keduanya, beliau mengurus kami sekaligus bekerja menerima
katering. Ibu bilang, dia menerima pekerjaan katering karena kami semua gemar makan enak. Tapi
setelah dewasa aku paham, ibu ingin memiliki tabungan untuk ongkos sekolah kami. Gaji bapak sebagai
wartawan terlalu minim”

Sepertinya Kinan mengerti keadaanku yang tidak terlalu ingin membicarakan keluarga, dengan luwesnya
dia mengubah topik pembicaraan kami.

Kinan : “Aku senang makan di warung Bu Retno, menurutku sambal bawang dan sambal
hijaunya adalah sambal terenak di seluruh dunia”

Laut : “Kalau begitu kamu harus mencoba sambal buatan ibuku, karena menurutku sambal
buatannya yang paling enak”

(Mereka berdua tertawa bersama)

Kinan : “Menurutmu bagaimana pemerintahan ini 10 tahun ke depan”

Laut : “Aku…mahasiswa semester tiga Fakultas Sastra Inggris…”(Laut menjawab dengan ragu)

Kinan : “Yang diam-diam membaca buku Pramoedya bukan hanya karena estetika sastra,
tetapi karena ada suara lain yang mendorongmu!”

Laut : “Mungkin karena aku inign belajar menulis seperti beliau, seperti para penulis lainnya
yang begitu fasih berekspresi”

Kinan : “Laut, aku yakin suatu hari kamu akan menjadi penulis besar”

(Naratama datang dan Kinan menyapanya)

Kinan : “Tama? Ayo gabung…”


Naratama : “Hai”

Kinan : “Itu Naratama, seangkatanku di FISIP, Jarang kuliah lebih banyak wara-wiri”

Naratama : “Naratama”

Laut : “Laut” (mereka berjabat tangan)

Kinan : “Ayo selesaikan makan siangmu aku ingin memperkenalkanmu pada seseorang”

(Adegan 4)

Kinan membawaku ke sebuah kos-kosan yang cukup sempit, dengan dua buah jendela kecil, ternyata
tempat itu adalah kediaman Arifin Bramantyo yang merupakan seorang pendiri organisasi anak-anak
muda.

Kinan : “Bram kenalkan ini Laut, anak Sastra Inggris UGM, yang juga diam-diam suka membaca
buku-buku terlarang, dia mengaku tak tertarik mendaftar universitas di Jakarta, meski orang tuanya
sudah pindah kesana” (Bram berjabat tangan dengan Laut)

Bram : “Bram”

Laut : “Laut”

Bram : “Kenapa tak tertarik kuliah di UI?”

Kinan : “Dia ingin bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang yang mempunyai pemikiran besar”
(Bram memberikan tatapan bertanya pada Laut)

Laut : “Ya, kurang lebih begitu. Kudengar kau pernah ditangkap dan diinterogasi, bagaimana
itu bisa terjadi?”

Bram : “Saat itu aku masih SMA dan ada salah satu teman anggota OSIS ku yang mengadukan kegiatan
diskusiku dan kawan-kawan kepada ayah yang berhubungan dekat dengan kalangan intel”

Laut : “Apa yang terjadi setelah itu?”

Bram : “Mereka menanyakan buku-buku yang aku baca, diskusi yang kami lakukan, hal-hal itu”

Laut : “Memang buku apa yang kau baca?”

Bram : “Buku-buku pemikiran Karl Marx, Tan Malaka dan Pramoedya Ananta Toer”

Laut : “Apa kau sakit hati pada anak osis yang menghianati kalian?”
Bram : “Penghianat ada dimana-mana, bahkan ada didepan hidung kita, Laut. Kita harus
belajar kecewa, kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan
persahabatan”

Obrolan kami semakin panjang dan tak terasa hari sudah larut dan aku dan Kinan memutuskan untuk
berpamitan pulang.

(Adegan 5)

(Background Rumah Hantu)

Setelab beberapa hari kami memutuskan untuk menyewa tempat ini kulihat, teman temanku sedang
membereskan tempat itu kulihat Kinan sedang berkumpul dengan beberapa orang yang tampak asing
bagiku.

Kinan : “Laut, kenalkan mereka seniman Taraka yang akan mengubah tembok busuk itu”

Laut : “Saya Biru Laut Wibisana”

Abiyasa : “Abiyasa”

Hamdan : “Hamdan Murad”

Choki : “Choki Tambunan”

Laut : “Jadi bagaimana?”

Choki : “Jadi, tembok sebelah kiri jatah Abiyasa. Aku akan mengisi tembok yang berjendela,
sedangkan satu tembok besar di ruang diskusi ini adalah jatah Anjani”

Laut : “Anjani?” (Choki menunjuk ke arah belakang Laut, lalu Anjani datang. Laut membalikan
badan lalu Anjani menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan)

Anjani : “Hai…aku Anjani”

Tanganku menggenggam tangannya dengan erat dan seketika terpaku. Aku ingin menyebut namaku,
tapi macet di kerongkongan.

Sunu : “Laut, Namanya Biru Laut”


Julius : “Laut, kembalikan tangan Anjani ke pemiliknya”(Laut tampak salah tingkah dan teman-
teman yang lain tertawa)

(Laut dikerubungi oleh anak-anak Taraka dan teman-teman nya, Gusti sibuk memotret berkali-kali
dengan kilatan lampunya, sedangkan Alex hanya memotret Anjani dari beberapa sudut. Buru buru laut
melepaskan tangan Anjani)

(Adegan 6)

Kami berkumpul dan memutuskan untuk terjun pada aksi “Blangguan”, aksi membela para petani jagung
yang lahannya digusur karena dijadikan tempat latihan gabungan para tentara. Tidak hanya kelompok
Wirasena, Winatra dan Taraka Yogya yang melakukan aksi tersebut, tetapi juga kawan-kawan Winatra
dari Jakarta, Semarang, Solo dan Surabaya ikut mengirim perwakilan.

Namun naasnya, aksi kami nihil karena desa Blangguan yang sudah diblokade oleh tantara, membuat
kedatangan dan kepulangan kami mengendap-endap agar tidak diketahui oleh para tentara itu.

(Anjani menarik Laut pergi, k taman belakang)

Laut : “Ada apa, Anjani?”

Anjani : “Ada seseorang yang mengawasi kita” (Laut menoleh ke sekeliling dengan waswas, Anjani
menangkup kedua pipi milik Laut sambil tersenyum)

Anjani : “Sekarang sudah aman” (Anjani duduk di kursi, kemudian Laut mengikuti Anjani)

Anjani : “Semua itu jangan terlalu dipikirkan, kau sudah berusaha dengan keras” (Anjani memegang
tangan Laut, Laut tersenyum dan menoleh pada Anjani)

Laut : “Lebih tepatnya kita semua sudah berusaha keras” (Anjani terkekeh, memandangi laut
lalu tangannya terangkat mengusap pipi Laut dan menepuk kepalanya pelan lalu pergi meninggalkan
Laut yang mematung), tunggu Anjani!

Anjani : ada apa lagi laut?


Laut : aku ingin mengatakan sesuatu, tapi mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal
ini, emm Anjani

Anjani : ya?

Laut : sudahlah ini memang bukan waktu yang tepat, tidak jadi anjani.

semenjak hari itu aku dan Anjani menjadi semakin dekat, sama sekali tak terpikirkan olehku bahwa
cintaku akan berbalas, mungkin aku adalah satu-satunya laki-laki terberuntung di dunia yang bisa
mendapatkan Anjani.

Sementara di kota lain unjuk rasa semakin gencar - gencarnya di lakukan, hal yang disebut pembertokan
oleh pemerintah itu semakin marak terjadi.

(Adegan 7)

(DEMO)

“ADILI SANG DIKTATOR!” “TURUNKAN DIA DARI JABATANNYA!”

Bram : “Wahai para pejuang keadilan bangsa, satukan jiwa kalian, gemakanlah suara kalian,
ayo bangkitlah anak muda, kita ini penerus generasi bangsa, negara ini berada di tangan kita, kita butuh
keadilan, hentikan rezim yang telah 32 tahun berkuasa, ini negara demokrasi, kami tidak butuh diktator
di negara ini, cukup sudah negara ini berada di kedamaian palsu, kami butuh pemimpin baru, banyaknya
orang hilang sudah cukup bagi kami, kami tidak butuh orde baru”

“KAMI BUTUH KEADILAN!”

Waktu tak terasa, pergerakan para aktivis dan mahasiswa semakin gencar-gencarnya dilakukan selama
dua tahun terakhir, banyak kejadian penangkapan para aktivis dan mahasiswa. Dalam keadaan buron
kami selalu mengomunikasikan posisi kami sekerap mungkin, apalagi setelah menghilangnya Sunu dua
pekan lalu.

Laut : “Kok gelap ya” (mengeringkan rambutnya setelah mandi, melihat sekeliling)
Tuk… tuk… tuk…

(Laut pergi ke kamar untuk melihat keadaan di luar, namun suara gedoran pada pintu semakin keras,
dan terdengar mereka berhasil mendobrak pintu)

Laut : “Mau mencari siapa?”

Manusia Pohon : “Tak usah banyak Tanya, ikut saja!” (seseorang menodongkan pistol ke punggung Laut,
si pengacau mengacak-acak ransel Laut dan menemukan kartu penduduk asli milik Laut)

Si Pengacau : “Benar. Dia Biru Laut. Sekjen Winatra”

Mata Merah : “Biru Laut….aku selalu bertanya-tanya, apakah ini nama samaran belaka seperti Amir
Zein, Jayakusuma, atau Rizal Amuba. Ternyata Biru Laut memang nama yang diberikan orang tua mu…”
(mata laut ditutup dan diikat tangannya, kemudian diseret meninggalkan rumah susun.)

(Adegan 8)

Setelah beberapa jam yang lalu aku di bawa ke tempat yang entah berada di mana ini, mereka
menyiramku untuk membangunkanku. Menyeretku ke tempat interogasi dan menyiksaku habis-habisan.
Menanyakan keberadaan Kinanti dan orang-orang yang bersangkutan dengan kami.

Mata Merah : “Winatra, apa artinya?” (Laut hanya diam, lalau si raksasa memukul perutnya)

Mata Merah : “Winatra dan Wirasena, ini semua anak didik Arifin Bramantyo yang sudah membusuk
di penjara? Masih juga kalian setia pada anak kurus itu? (Mata Merah tertawa kecil). Laut, kita diskusi
saja, ayo santai (Mata Merah berdekham lalu memerintahkan anak buahnya melepas kain hitam
penutup mata Laut)

Segala yang ada dihadapanku terlihat kabur karena mataku terlalu lama dibebat kain hitam. Perlahan-
lahan aku bisa melihat Daniel dan Alex.

(Mereka berdua diikat dengan keadaan tubuh yang penuh luka, Daniel dan Alex masih menggunakan
penutup mata)
Mata Merah : “Begini…terserah kamu mau bungkam atau bersuara, Kinanti akan tertangkap suatu
hari! Juga para pelukis teman kalian…tentu saja si kecil manis Anjani”

Laut : “Bangsat kau!”

Si raksasa : “Apa gua bilang? Pacarnya si kecil Anjani bukan Kinan” (Mata Merah
menyundutkan rokoknya ke lengan kanan Laut, Laut menjerit kesakitan)

Mata Merah : “Bayangkan kalau kulit Anjani yang putih itu aku perlakukan seperti ini. Menyundut
pacarmu itu ada seninya. Mula-mula dari ujung kakinya, lalu naik ke paha kiri dan paha kanan dua kali
sundut, dan… semakin naik ke atas

Laut : “Bajingan keparat!” (Laut tiba-tiba berdiri dengan sorot mata menyalang, si
manusia pohon dan manusia raksasa menarik tubuh Laut lalu menginjak-injak tubuh Laut. Daniel dan
Alex yang saat itu mendengar suara Laut yang disiksa berteriak)

Alex : “Berhenti!”

Daniel : “Laut! Laut! Ereun bangsat!

Mata Merah : “Kau belum mati…Laut”

Aku tak sadarkan diri. Aku terbangun karena mendengarkan alunan musik yang begitu buruk. Tanganku
tak lagi terikat, begitupun mataku yang tak lagi diikat kain apak.

Alex : “Laut!”

Sunu : “Laut!”

Laut : “Sunu!”

Sunu : “Ah, syukur.. syukur.. Ada siapa saja disitu?”

Alex : “Alex, Nu! Ada Daniel juga”

Laut : “Kau dengan siapa Sunu?”

Dana : “Ada aku dan Julius”

Laut : “Kita dimana sih Nu?”

Julius : “Aku menduga kita di markas tentara, Laut. Dimana lagi?”

Laut : “Maksudku ini ruangan apa? Tidak berjendela, tidak ada cahaya sama sekali”
Sunu : “Ini di ruang bawah, Laut. Kalian bertiga mungkin diseret ke sini setelah habis
babak belur dihajar”

Alex : “Kinan dimana Jul?”

Julius : “Aku tak mendengar apa-apa tentang Kinan, tetapi beberapa hari yang lalu, mas Gala
dan Narendra ada disini”

Lelaki Seibo : “Makanlah dulu” (Memberikan nasi bungkus kepada Laut dan teman-temannya.
Mereka menghabiskan makannya)

Julius : “Rokok dong…”

Laut : “Gila kamu Jul”

Daniel : “Yakin itu rokoknya gak ada racun?”

Sunu : “Tempo hari Mas Gala selalu diberi rokok oleh dia”

(Setelah itu Lelaki Seibo membuka sel dan menyeret Daniel keluar bersama Manusia Pohon)

Alex : “Daniel! Daniel mau di bawa ke mana, sialan! Di bawa ke mana di, Nu? Jul?”
(Alex meraung dan menghajar trail dihadapannya berkali-kali)

Laut : “Dia pasti kembali kan, Nu? Lex…tenang, Lex. Kita baru di bawa ke sini,
mungkin mereka hanya menginterogasi” (Sunu diam tak menjawab)

Setelah beberapa jam berlalu, aku terbangun karena suara sel yang dibuka

Alex : “Dan…” (Alex menghampiri Daniel)

Dana : “Dan…kamu diapain?”

Daniel : “Aku disuruh tiduran diatas balok es berjam-jam sambil di interogasi, Kinan…sudah
tertangkap, Laut”

Laut : “Apa kata mereka?”

Daniel : “Mereka hanya mengatakan Kinan sudah dijaring. Mereka bertanya siapa yang
mendanai aksi kita dan siapa yang berada di atas Kinan dan Bram”
(Manusia Pohon dan Si Raksasa masuk bersama Naratama, memasukkan Naratama ke dalam sel dan
membawa Sunu)

Laut : “Sunu!!! Sunu!!!! Keparat kalian! Mau di bawa ke mana Sunu?!” (Tubuhnya
melemas saat Sunu pergi)

Julius : “Jadi…kau terjaring bersama Kinan?”

Naratama : “Ya”

Dana : “Kau tahu dia dibawa ke mana?”

Naratama : “Nggak… sejak dijaring, kami dipisah. Mobil kami terpisah”

Julius : “Kau baringkan saja tubuhmu”

(Adegan 9)

Lagi-lagi aku terbangun karena mendengar suara sel yang terbuka serta suara teriakan seseorang.

Manusia Pohon : “Bangun lu! Enak aja tidur…”

Julius : “Laut!!”

Alex : “Laut!! Laut!!!”

(Mata Laut kembali ditutup dan tangannya diikat lagi)

Mereka mendorongku agar berjalan lebih cepat. Dan…ah… ada blitz yang mengejutkanku. Mengapa ada
yang begitu obsesif memotretku dalam keadaan seperti binatang.

(Tangannya masih diikat, namun mereka membuka penutup mata milik Laut)
Gusti : “Halo, Biru Laut…” (Laut menoleh, Gusti tersenyum dengan memegang kamera
miliknya, Manusia Pohon dan Si Raksasa hendak membawa Laut masuk ke sebuah ruangan namun Gusti
menahan mereka)

Gusti : “Kenapa Laut? Sik sik to… Laut mau ngomong sama aku”

Si Raksasa : “Cepat bodoh!” (Gusti mendekatkan telinganya ke mulut Laut, Lau meludahi Gusti dan
Si Raksasa juga Manusia Pohon Tertawa. Gusti mengelap wajahnya namun masih tersenyum)

Gusti : “Aku paham perasaanmu, Laut…”

Giliranku untuk diinterogasi di atas balok es selama berjam-jam. Mereka masih menanyakan pertanyaan
yang sama, begitu pun denganku yang masih menjawab dengan jawaban yang sama. Aku dikembalikan
ke ruang bawah setelah berjam-jam berada di sana. Aku memberi tahu teman-temanku terkait
pertemuanku dengan Gusti.

(Adegan 10)

Beberapa hari setelah aksi interogasi Laut di atas balok es, taka da lagi diantara mereka yang diseret
keluar sel dan Sunu masih belum kembali.

Laut : “Lex…”

Alex : “Ya?”

Laut : “Kalau sampai aku diambil dan tidak kembali…”

Alex : “Halah, setan! Jangan ngomong begitu!”

Laut : “Sampaikan pada Asmara, maafkan aku meninggalkan dia ketika bermain petak
umpet…dia akan paham. Aku akan selalu mengirim pesan kepadanya melalui apa pun yang dimiliki alam.
Dan sampaikan pada Anjani…carilah kata-kata yang tidak terungkap di dalam cerita pendekku..”

Alex : “Ya” (Alex menjawab dengan suara lemah)

Aku sedikit merasa tenang dan bisa tertidur, bahkan aku memimpikan Anjani yang mengenakan Sepatu
kets putih. Tapi lagi-lagi suara kunci itu membangunkanku.
(Manusia Pohon dan Si Raksasa membuka sel Julius dan Dana lalu menggiring mereka berdua keluar dari
sana, Alex, Daniel dan Laut menjerit-jerit histeris. Lelaki Seibo membuka sel Laut dan menarik Laut
keluar)

Mataku kembali dibebat kain hitam berbau apak, aku bisa mendengar suara Julius dan Dana di depanku.
Aku digiring menuju sebuah tempatl, mulutku pun ikut dibebat.

Laut : “Kita akan ke mana?”

Mata Merah : “Ha?”

Laut : “Kita akan ke mana?”

Mata Merah : “Buka tu kain…gua gak bisa denger dia ngomong apa!” (Laut batuk begitu kain dibuka)

Laut : “Mana Julius dan Dana?”

Mata Merah : “Ke makam masing-masing”

Laut : “Kita akan ke mana?”

Mata Merah : “Ke Laut, sesuai namamu. Ke kuburanmu!”

Mereka memaksaku untuk masuk ke sebuah mobil, tubuhku diapit oleh dua orang bertubuh besar ini
hingga aku tak dapat berkutik. ahh entah tempat apa yang akan mereka jadikan sebagai kuburanku.

Narasi

Disisi lain kerisauan begitu di rasakan oleh keluarga wibisana, tepat di hari minggu, seperti biasa mereka
selalu melakukan kegiatan makan bersama keluarga, namun kali ini kehadiran Laut tidak dirasakan oleh
mereka, namun disana terdapat anjani yang turut di ajak merasakan nikmatnya makanan buatan koki
terhebat di rumah tersebut.

(menyiapkan makanan, anjani akan duduk di kursi yang biasa di tempati laut)

Bapak : jangan duduk disana anjani, nanti kalo mas Laut datang mau duduk dimana?

Ibu : wess toh pak, nanti kalo laut datang ambil kursi baru saja, ini kan calon mantumu juga toh.
asmara : iya pak, gapapa biar anjani duduk di kursi ini saja.

Anjani : gapapa ya pak?

Bapak : yowes ndo.

Asmara : pak, bu, aku belum menemukan kabar dari mas Laut sekarang.

Anjani : Anjani juga belum dapat kabar apa-apa.

Ibu : tidak apa-apa Anjani, ibu sama bapak memang selalu mengkhawatirkan mas Laut, tapi Ibu harap,
suatu hari nanti mas Laut bakalan pulang.

Bapak : iya Bu semoga Laut bisa berkumpul lagi bersama kita.

Anjani: Anjani sangat mengkhawatirkan keadaan laut sekarang pak, bu, Anjani gatau lagi harus mencari
laut kemana, semenjak buron sangat sulit sekali untuk mendapatkan kabar dari laut.

Asmara : Sudahlah kita berdoa saja buat mas Laut.

(berbagai upaya telah di lakukan demi pencarian para korban, lembaga-lembaga pencarian orang hilang
mulai terbentuk, sebagian bisa di temukan, dan sebagian lagi sepenuhnya hilang)

tutup tirai

( musik )

(Penutup mata Laut di buka, tangan laut diikat menggunakan besi pemberat begitun pun kakinya, Laut
menggeliat menolak perlakuan mereka namun sia-sia hingga pipinya ditampar salah seorang dari
mereka)

Mata Merah : “Kau akan mati Laut. Tapi kau akan mati pelan-pelan”

(Laut ditendang agar dirinya berlutut menghadap Laut. Laut ditembak dan ditendang lalu terjatuh ke
Laut)

Aku tak pernah menyangka, hari ini akan jadi hari kematianku, aku selalu menyangka, pada saat
kematian tiba, akan ada gempa atau gunung meletus dan daun daun gugur. aku membayang kan dunia
mengalami separuh kiamat. Mung kin tak sedahsyat yang digambarkan cerita para orang tua, namun air
laut akan naik dan merayap menutupi bumi. Manusia, binatang, dan segala makhluk hidup akan
tenggelam. Karena itu, aku mengira begitu aku tenggelam, kematianku akan meng hasil kan guncangan
besar. atau bak Dewi Kali yang perlahan menarik nyawaku dari tubuh seperti seuntai benang yang
perlahan lahan ditarik dari sehelai kain tenun. Tenang tapi meng hasil kan rasa yang tak seimbang
Ternyata itu hanya ilusi. Kematianku tak lebih seperti saat seorang penyair menuliskan tanda titik pada
akhir kalimat sajaknya. atau seperti saat listrik mendadak mati.Hening. Begitu sunyi. Begitu sepi. aku tak
relevan lagi.Mungkin ini hanya imajinasi, tetapi aku mendengar cericit burung. Mungkin mereka tengah
merubung dan menggangsir permukaan laut, sementara aku tenggelam ke dasar laut mengikuti
sentakan besi yang memberati kaki. Burung burung itu mencelupkan kepala ke dalam laut dan
menjengukku, mengucap kan selamat jalan sembari mencoba menjaga agar aku bisa mencapai dasar
laut dengan tenang.

matilah engkau mati

kau akan lahir berkali-kali

tetapi kali ini aku akan mati, dan tak akan bangkit lagi

Pedih, perih, tubuhku ditarik begitu lekas oleh arus dan bola besi yang terikat pada pergelangan kakiku.
Aku melayang-layang ke dasar lautan. Aku telah mati. Tubuhku akan berada di dasar laut ini selama-
lamanya.

Scene 11

PaDa Kamis keempat, di awal tahun 2007. di bawah matahari senja, di hadapan Istana negara, kami
berdiri dengan baju hitam dinaungi ratusan payung hitam. Kami tak ber teriak atau melonjak, melainkan
bersuara dalam diam. Keringat matahari sore membuat baju kami kuyup,tapi itu malah membuat
suasana semakin guyub. tiba lah kesempatan bagiku untuk menyampaikan kata yang tak sempat aku
sampaikan untuk kaka ku, hari itu, kamis itu, di depan banyak orang, di depan istana negara, akhirnya
kalimat-kalimat tersebut dapat aku ucapkan.

Jakarta, April 2002


Mas Laut,Ini hanyalah surat imajinatif. Yang kutulis di dalam hati dan kukirim melalui gerimis hujan
yang kelak akan menguap. Entah bagaimana caranya, aku tahu surat ini akan tiba di tanganmu.Bapak
sudah menyusulmu pagi tadi.Peluklah dia karena beliau sangat rindu padamu. Empat tahun piring
makanmu tak boleh kami singkirkan, empat tahun kamarmu dan buku-bukumu berdiri tegak persis
pada tempatnya tanpa sebutir debu pun yang berani melekat karena Bapak rajin merawatnya.
Sesekali jika dia memangku ranselmu yang sudah butut itu dan mengelus-elusnya, seolah barang yang
setia melekat di punggungmu itu adalah pengganti dirimu. Pada bulan Ramadhan dan hari Lebaran,
Bapak dan Ibu mengajakku ke makam Eyang Putri dan Eyang Kakung di Solo dan mereka selalu
mengucapkan hal yang sama: “Andaikan kami tahu di mana bocah lanang itu.…”Bapak mengalami
cardiac arrest. Ibu membawanya ke rumah sakit dan aku segera menemui mereka di sana. Dalam
sekejap Bapak sudah tidak ada. Belum pernah aku merasa menjadi anak yang tak berguna seperti hari
ini. Untuk apa aku menempuh pendidikan kedokteran jika soal cardiac arrest saja tak bisa kuatasi?
Aku sudah bisa membayangkan jawabanku, sama seperti jawaban Alex bahwa ini sama sekali di luar
kekuasaanku. Aku tahu itu cara berpikir yang rasional. Tapi izinkanlah kali ini adikmu untuk tidak
rasional, karena aku lelah kehilangan lagi. Engkau dan Bapak. Dua lelaki yang penting dalam
hidupku.Bapak hidup digerogot kesedihan, Mas. Sejak kau diculik; sejak kawan-kawanmu yang diculik
dikembalikan dan sebagian tetap tak ada kabarnya seperti dirimu; sejak Aswin dan berbagai LSM
mendirikan Komisi Orang Hilang dan seterusnya, Bapak bukan lagi sosok yang sama yang engkau
kenal. Gerak dan lakunya sepenuhnya didorong oleh pencarian dirimu, pencarian jejak anak
sulungnya yang sudah jelas diambil secara paksa, ditahan, disiksa keji, dan kini tak diketahui nasibnya.
Bersama Ibu, karena keduanya memang pasangan yang kompak, mereka menciptakan sebuah jagat di
mana engkau masih ada di dalamnya. Masih hidup, segar, dan setiap hari Minggu datang dan masak
bersama mendengarkan lagu-lagu he Beatles atau Louis Amstrong. Sekarang setiap kali aku
mendengar lagu “Blackbird” atau “What a Wonderful World”, aku mendadak gemetar dan selalu
harus permisi pergi ke toilet untuk duduk dan terisak-isak karena segalanya menjadi semakin sulit.
Setiap kali aku ke Ciputat mereka menarikku ke dalam jagat itu dan memaku aku dengan palu agar
aku menetap di dalamnya dan bergabung dengan mereka, dalam imajinasi mereka bahwa kau tak
pernah diculik. Di dalam jagat itu, di dalam kepompong itu, rasanya hidup sungguh tenteram, manis,
dan serba hangat. Tak ada negara yang opresif, tak ada diktator, tak ada korupsi, tak ada kolusi, tak
ada penyakit yang mematikan. Yang menang adalah cinta dan kejujuran.Tapi aku adalah penggemar
sains, bersandar pada segala yang logis dan pasti. Aku tak akan pernah bisa berlama-lama hidup di
dalam jagat maya Ibu dan Bapak. Aku tak bisa dan tak mau berpura-pura. Aku mengaku ada sebuah
kontradiksi dalam ucapanku, Mas. Aku tak mau hidup dalam jagat ciptaan Ibu dan Bapak tetapi toh
sekarang aku menulis surat kepadamu tanpa mengetahui apakah kau akan pernah membacanya,
karena aku tak tahu apakah kau akan bisa mendengar di sana, di alam yang berbeda dengan
kami.Tentu Ibu dan Bapak tidak sendirian dalam penyang kalannya, Mas. Anjani tentu saja masih
dalam situasi yang buruk. Kau tak akan mengenalinya lagi. kini bekerja semakin keras paruh waktu
untuk agen iklan yang sama, Ad-Mag. Dia kini jarang berbicara. Sekalinya dia merasa menyatakan
sesuatu, dia tak bisa fokus dan kalimat yang diucapkan tak pernah selesai. Rambutnya seperti sudah
bertahun-tahun ber musuh an dengan air dan shampoo, padahal Ad-Mag agen iklan yang memegang
produk kecantikan, sabun mandi, dan shampoo terkemuka, yang artinya dia sering mendapat produk
gratis. Kulitnya penuh busik dan kuku jarinya hitam. Dengan penampilan kumuh seperti itu dan cara
berkomunikasi yang mendadak kacau sejak kau hilang, aku masih kagum dia masih bisa berfungsi dan
bekerja dengan energi yang prima. Kehidupan sosialnya memang nol. Dia hanya berkumpul sesekali
dengan anggota Komisi Orang Hilang atau masih datang makan malam di Ciputat pada hari Minggu
jika Ibu meneleponnya untuk bergabung. Pada saat Anjani ikut makan malam bersama kami, maka
Bapak akan menambah piring, jadi lima buah. Piring dan kursimu akan selalu ada, dan tak boleh
diambil siapa pun di dunia ini.Pada malam-malam seperti itu, Anjani tiba-tiba bisa berkomunikasi
dengan baik, karena seolah kau ada di sana dan dia menjadi lebih tenang. Bapak dan Ibu juga seperti
seolah menjadi faktor penentu mengapa Anjani bisa berubah menjadi Jani yang wajar, yang kita
semua kenal dan yang kita cintai: cerdas, penuh kasih, dan perhatian. Mereka berbincang tentang hal
yang remehtemeh tanpa sedikit pun menyentuh realita sesungguhnya: bahwa kau tak ada di antara
kita; bahwa sampai sekarang belum ada investigasi yang tuntas tentang nasib 13 orang yang tak
pernah kembali. Mereka berbincang seolah-olah kau sedang menyelip ke toilet sebentar dan akan
kembali lagi bergabung dengan kita. Di atas meja, bisa kau bayangkan Ibu menghidangkan menu
kesayanganmu dari nasi timlo hingga gulai tengkleng, dari gudeg hingga brongkos, sambil
mendengarkan lagu-lagu he Beatles dari album “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” ke “he White
Album”, lantas mampir ke “Yellow Submarine” sampai akhirnya lagu-lagu mereka sebelum berakhir di
album “Abbey Road” dan “Let It Be”. Sesekali mereka bergumam dan bernyanyi sementara aku
menyimpulkan Anjani bisa berubah menjadi Anjani yang kita kenal hanya saat dia merasa berada di
dekatmu, yaitu di rumah Bapak dan Ibu. Begitu keluar dari jagat itu, dia seperti linglung, Mas. Seperti
seorang anak gadis yang kesasar yang tak memegangpeta hidup. Kursi tak boleh diduduki siapa pun.
Tetap kosong dan menanti sampai kau datang. Itu kata Bapak dan Ibu.Bu Arum, ibunda Mas Sunu juga
sama saja, Mas. Dia tak bosan meneleponku mengatakan bahwa Mas Sunu sempat mampir dan
melengkapi lukisan batiknya; atau pernah juga dia menelepon melaporkan bahwa ‘orang pintar’
melakukan penerawangan dan menyampaikan bahwa Mas Sunu dan Mas Laut kini berada di Sumatra,
di sebuah rumah aman.Di luar kepedihan yang begitu mendalam, aku juga ingin Mas Laut tahu bahwa
kami semua tengah mengalami Indonesia yang berbeda. Pemerintah mencoba belajar menjadi lebih
demokratis. Mungkin sisi hukum dan parlemen masih harus banyak belajar, tapi paling tidak pemilu
setelah reformasi jauh berbeda, Mas. Pers Indonesia kini dicemburui negara-negara tetangga karena
sekarang media dibebaskan memberitakan laporan sekritis apa pun. Ini tantangan jurnalistik yang
berbeda, karena artinya wartawan masa kini harus jauh lebih gigih dan ulet dalam menginvestigasi.
Naratama kini bekerja di kantor bapak sebagai wartawan. Sedangkan Alex bekerja paruh waktu
sebagai fotografer di Harian Demokrasi.Tantangan lain: korupsi semakin mengerikan. Menurut
Alex,selama Orde Baru, Indonesia bagaikan sungai besar dengan permukaan yang tenang, tak ada
kericuhan khas demokrasi karena partai politik sudah ditentukan, hukum bisa dibeli, ekonomi hanya
milik penguasa dan para kroni, dan rakyat hidup dalam ketakutan. Kini kita belum terbiasa dengan
kegaduhan, keramaian dan begitu banyak pertanyaan (yang cerdas maupun yang dungu) yang
mengomentari tingkah laku pemerintah. Ah, aku sudah mulai menggunakan diksi kalian, anak-anak
Winatra….Sungguh aku merindukanmu, Mas. Kami semua kangen.Dari alam manapun kau berada,
berilah tanda, kode morse atau pesan apa pun agar aku tahu kau tenang dan bahagia.

Adikmu
Asmara Jati

(semua berdiri, menggunakan pakaian hitam)

Anda mungkin juga menyukai