Musik adalah jantungk. Berdetak. Bergerak. Jika musikku terbata-bata dan nada-nada
kehilangan suara, jantungku pun berhenti bergerak. Napasku pun landas. Lepas!
***
“Ada masalah?” begitu kutirukan kata-katamu dalam hati, persis saat kau
menjatuhkan dengan sengaja partitur lagu yang sedang kumainkan di ruang musik kau
juga mengucapkannya. Lembar-lembar partitur berhamburan ke lantai, tapi kau malah
pergi begitu saja dan langsung menghampiri guru musik pribadimu yang sudah
menunggu di sudut ruang itu. Sementara aku, menatapmu keheranan.
“Untuk apa bermusik?” katamu lagi. Rupanya belum puas kau mengerjaiku.
Sampai-sampai guru musik pribadimu itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Musikmu itu sama sekali tidak menarik!” ucapmu lagi mengataiku. Tapi kupikir
itu ucapan sirik
“Jika pun ada yang mendengar, bukan karena kesempurnaan melodimu, tapi
karena banyak hati menaruh iba kepadamu, tahu!”
Kalimatmu yang terakhir itu telah menawanku dalam kebisuan. Aku terlempar
dalam ruang penyanderaan, “Benarkan mereka hanya mengiba?” Sementara aku tak
pernah mencoba untuk mengiba.
***
Di taman belakang, kakek Mustafa memainkan senar biolanya. Dari tangan yang
sudah mulai mengeriput, melodi biola itu berdansa di udara. Menggema.
1
Aku masih diam membisu, tapi tidak dengan air mataku yang berhamburan begitu
saja mendengar pertanyaan itu. Masing-masing dari mereka seolah ingin mengadu
pada kakek Mustafa.
“Musik itu bahasa yang dipahami setiap orang. Meski tanpa pita suara, dengan
musik kau bisa bicara banyak hal. Kau bisa bercerita kepada dunia.”
***
Mata kelabu kembali menjadi biru. Hujan sendu berubah menjadi pelangi mejikuhibiniu.
Tak akan kudengar suara-suara yang melemahkanku.
Kau memiliki guru privat profesional. Aku punya Kakek Mustafa yang selalu sabar
dan telaten mengajariku bermain biola. Kau memiliki studio yang luas untuk berlatih
musik. Aku, meski tak memiliki, bisa berlatih biola di mana aja aku mau. Aku hanya
ingin bicara kepada dunia. Aku juga ingin tunjukkan bahwa aku bukan hanya pengiba.
Kau pintar. Kau cantik. Kau cerdas, Diva. Kau rajin pula. Berlatih. Berkarya.
Panggung pentas, kafe, pensi sudah khatam kau datangi untuk menunjukkan
kemampuanmu memainkan biola. Apa yang kau lihat dariku hingga kau membenci
sampai ulu hati? Apa yang kau lihat dariku? Aku hanya ingin bicara kepada dunia
melalui nada-nada biola. Apa salahku?
***
Tepat pada hari latihan terakhirku. Aku berlatih dan sekaligus menghibur adik-
adik di panti asuhan Pondok Damai, Jakarta Selatan, kira-kira tiga ratus meter dari
rumahku di ujung jalan sana.
“Praaaakkkk!” dalam perjalananku pulang, tiba-tiba kau turun dari mobil
menghentikan langkah kakiku dan juga kakek yang menemaniku. Kau ambil paksa
biola kami dan melemparnya di atas trotoar yang sepi. Kakek dengan tubuhnya yang
ringkih berusaha mencegah agar kau tak melemparnya. Tapi justru kakek yang
tersungkur.
“Dddii…v…vva…..,” kataku terbata-bata. Aku ingin memprotesmu tapi satu kata yang
kusebut dengan sekuat tenaga itu hanya terdengar lirih dan tidak jelas. Melihat kau
kakekku tajuh tersungkur, kau justru kabur meninggalkan kami tanpa merasa berdosa.
Aku benar-benar tak habis pikir.
2
***
“Tik. Tok.”
Itu musikku. Terkapar. Itu melodiku. Terdampar. Itu nadaku. Terbakar. Itu denyut
jantungku. Tak bergetar.
Beberapa jam lagi kontes musik klasik dimulai, tapi kini biolaku telah kehilangan
bentuk, remuk! Retakan-retakan di sana sini, tak mungkin aku mengikuti kontes musik
ini.
Tapi…. Kepalang tanggung jika aku menyerah. Kakek pasti tak suka jika
langkahku terhenti. “Berjalan terus meski kerikil tajam yang kita lewati,” itu yang selalu
kakek ucapkan setiap kali aku ingin menangis. Dengan gerak cepat kuambil isolasi.
Kututup setiap retakan-retakan dengan isolasi itu agar melodi-melodi biolaku tetap bisa
bernyanyi.
***
Riuh tepuk tangan mengapresiasi penampilan terakhir. Terlambat. Itu Diva. Aku
tak sempat melihatnya. Iya, dia memang putri berbakat. Pantas ia menerima
kemenangannya.
Tidak! Aku tak mau melewatkan kesempatan ini. Bukan untuk menang atau
memenangkan. Paling tidak aku pernah berada di panggung megah itu. Aku ingin
memainkan biolaku. Aku ingin menaklukkan keterbatasanku. Aku ingin bicara,
bercerita, di depan mereka. Aku ingin kita bercakap dan saling tatap. Dengan kedua
mata, bukan sebelah saja.
***
Aku meminta waktu sebentar saja, tapi mereka tak mengerti ucapanku. Kutulis
pada buku saku yang selalu menemaniku bahwa ‘aku peserta kontes’.
Mereka tak percaya. Aku tak membawa biodata dan tanda peserta, terlebih aku tak
bisa bicara.
Aku memutar otak lagi. Apa lagi yang harus kulakukan untuk meyakinkan
mereka? Oh, itu guru privat Diva, Miss Friska! Dia pasti datang untuk mendukung
3
Diva. Aku berlari ke arahnya walau sedikit ragu. Kami sempat bertemu meski dalam
kesempatan yang sangat singkat.
Di ruang musik, saat partitur lagu yang kumainkan dijatuhkan oleh Diva, Miss Friska
ada di sana. Miss Friska tahu betul Diva sengaja melakukannya.
Aku berharap Miss Friska mengenaliku Dengan pesan yang kutulis pada buku itu
lagi, aku memintanya agar menjelaskan kepada panitia bahwa aku peserta satu sekolah
dengan Diva. Ia mencoba memahami pesanku.
Oh…. Malaikat itu memang tinggal di bumi. Miss Friska mengingatku dan dengan
hati malaikatnya ia membantuku.
***
Kuraih biola yang kuraut dengan plaster. Di sana sini adalah tambalan. Kulekatkan
alat musik itu di bahu kiriku. Kupejamkan mata. Kuraih bow…dan kubiarkan ia
menemui nadanya. Kubiarkan ia berlari menemu melodinya. Ini nadaku untuk kau
dengar. Ini detak jantungku sedang terbakar. Ini kata-kataku tidak untuk ditampar. Ini
biolaku tidak untuk dilempar. Ini biolaku untuk ucapan dan perlakuan kasar yang
diberikan kepadaku. Ini biolaku untuk maestroku yang sedang terkapar. Ini biolaku
sedang mekar.
Seperti kupu-kupu yang terlepas dari kepompong, melodiku terbang. Mengepak sayap,
menembus awan. Bebas. Lepas. Tak ada beban.
Aku terbawa olehnya. Kupu-kupu yang lepas meraih kemerdekaan. Aku lepas
dari penyanderaan. Aku bukan tawanan. Aku hanya mendengar melodiku. Rongga
telingaku tertutup untuk suara-suara yang melemahkanku.
Kubuka mata. Aku terpana dengan apa yang ada di depan mata. Seluruh mata
memandangku. Bukan sebelah, tapi keduanya. Mereka meninggalkan kursi. Mereka
berdiri memberikan tepuk tangan, mengalir tak kunjung henti. Mereka mengerti kata-
kataku yang kusematkan dalam melodi-melodiku. Mereka berbicara kepadaku. Aku
haru biru.
Ini keajaiban.
4
kehilangan suara, jantungku pun berhenti bergerak. Napasku pun landas. Lepas!
Pertanyaan
1. Deskripsikan bagaimana kecintaan tokoh aku pada musik berdasarkan kutipan
tersebut?
Dia adalah salah satu orang yag semagat untuk maju atau tetap mau berjuang
meskipun memiliki kekurangan. Dia tetap berjuang meskipun banyak hambatan
atau cobaan yang dia dapati. Dia menjadikan kata-kata yang merendahkan
dirinya ia jadikan motivasinya untuk maju.
“Ada masalah?” begitu kutirukan kata-katamu dalam hati, persis saat kau
menjatuhkan dengan sengaja partitur lagu yang sedang kumainkan di ruang musik
kau juga mengucapkannya. Lembar-lembar partitur berhamburan ke lantai, tapi
kau malah pergi begitu saja dan langsung menghampiri guru musik pribadimu
yang sudah menunggu di sudut ruang itu. Sementara aku, menatapmu keheranan.
“Untuk apa bermusik?” katamu lagi. Rupanya belum puas kau mengerjaiku.
Sampai-sampai guru musik pribadimu itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Musikmu itu sama sekali tidak menarik!” ucapmu lagi mengataiku. Tapi
kupikir itu ucapan sirik.
“Jika pun ada yang mendengar, bukan karena kesempurnaan melodimu, tapi
karena banyak hati menaruh iba kepadamu, tahu!”
5
Kalimatmu yang terakhir itu telah menawanku dalam kebisuan. Aku terlempar
dalam ruang penyanderaan, “Benarkan mereka hanya mengiba?” Sementara aku
tak pernah mencoba untuk mengiba.
Pertanyaan
3. Penyakit apakah yang diderita tokoh Aku dalam cerpen Tangga Nada Violina?
Pita suara yang tidak bisa bekerja layaknya orang normal lainnya
Salah satu tokoh yang bernama Diva. Diva seorang musisi yang memiliki guru privat
profesional dan salah satu orang yang sudah sering tampil di depan umum
5. Kutiplah kata-kata/kalimat kasar yang telah membuat tokoh Aku seperti terlempar
dalam ruang penyanderaan?
Jika pun ada yang mendengar, bukan karena kesempurnaan melodimu, tapi karena
banyak hati menaruh iba kepadamu, tahu.
6
Pertanyaan
6. Siapakah yang melakukan kekerasan fisik dengan merusak biola milik tokoh
Aku pada kutipan di atas?
Yang melakukan kekerasan fisik dengan merusak biola milik tokoh Aku ialah
Diva
7. Pernahkah kalian menemukan orang yang memiliki perilaku kasar seperti tokoh
dalam kutipan di atas? Ceritakan jika jawabanmu pernah.
Tidak pernah
Tapi…. Kepalang tanggung jika aku menyerah. Kakek pasti tak suka jika
langkahku terhenti. “Berjalan terus meski kerikil tajam yang kita lewati,” itu yang
selalu kakek ucapkan setiap kali aku ingin menangis. Dengan gerak cepat kuambil
isolasi. Kututup setiap retakan-retakan dengan isolasi itu agar melodi-melodi
biolaku tetap bisa bernyanyi.
...
Kuraih biola yang kuraut dengan plaster. Di sana sini adalah tambalan. Kulekatkan
alat musik itu di bahu kiriku. Kupejamkan mata. Kuraih bow…dan kubiarkan ia
menemui nadanya. Kubiarkan ia berlari menemu melodinya. Ini nadaku untuk kau
dengar. Ini detak jantungku sedang terbakar. Ini kata-kataku tidak untuk ditampar.
Ini biolaku tidak untuk dilempar. Ini biolaku untuk ucapan dan perlakuan kasar
yang diberikan kepadaku. Ini biolaku untuk maestroku yang sedang terkapar. Ini
biolaku sedang mekar.
Seperti kupu-kupu yang terlepas dari kepompong, melodiku terbang. Mengepak sayap,
menembus awan. Bebas. Lepas. Tak ada beban.
Kubuka mata. Aku terpana dengan apa yang ada di depan mata. Seluruh
mata memandangku. Bukan sebelah, tapi keduanya. Mereka meninggalkan kursi.
Mereka berdiri memberikan tepuk tangan, mengalir tak kunjung henti. Mereka
7
mengerti kata-kataku yang kusematkan dalam melodi-melodiku. Mereka berbicara
kepadaku. Aku haru biru.
Ini keajaiban.
Pertanyaan
8. Bagaimana tokoh aku mengatasi kekerasan verbal dan fisik yang bertujuan
untuk melemahkan semangatnya? Ceritakan dengan kalimat-kalimatmu
sendiri!
Dia mengingat kembali pesan kakek yang tak suka apabila melihat
langkahnya berhenti. Kakek memberikan kata motivasi untuk tokoh aku.
Berjalan terus meski kerikil tajam yang kita lewati.
8
9