Kisah ini kupersembahkan kepada kalian untuk mengenang pahlawan
terbaik menurut diriku ini. Pahlawan ini menjadi sebuah sumber inspirasi, semangat, dan ilmu bagi diriku. Pahlawan ini bukanlah seorang sosok yang kalian pikirkan. Beliau bukanlah Jenderal Besar Sudirman, Bapak Proklamator Sukano dan Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Radjiman Wedjodiningrat, Kolonel I Gusti Ngurah Rai, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, maupun wanita-wanita hebat seperti Raden Ajeng Kartini, Raden Dewi Sartika, Martha Christina Tiahuhu, Rohana Kuddus, Fatmawati Sukarno, Nyi Ageng Serang, serta Cut Nyak Dien. Pahlawan ini tidak ikut berjuang dalam peperangan melawan kolonialisme Belanda. Beliau juga tidak ikut andil dalam memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Melainkan, beliau adalah seorang guru. Seorang penyambung hidup melalui moral, etika, ilmu, inspirasi, dan kekuatan bagi setiap manusia. Perkenalkan, namaku adalah Raden Mas Agung Jayawardana Wisnuputra Sriwidjaya Bratasenawa, seorang jurnalis, wartawan, penulis, aktivis, dan pejuang kemerdekaan Hindia-Belanda. Aku adalah anak dari Bendara Raden Mas Agung Arjuna Dewaputra Bratasenawa, Bupati Mojokerto, sekaligus cucu dari Harya Patih Mangkunegara. Terlahir dari keluarga priyayi dan kedekatan ayahku dengan Belanda, membuatku dapat mengenyam pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS), sekolah dinas pendirian pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Bagi seorang kaum pribumi sepertiku, pendidikan itu ialah suatu hal yang lebih mahal daripada emas, terutama bagi kaum-kaum petani, buruh, dan orang yang kurang mampu. Orang-orang penjajah Eropa takut apabila pribumi di tanah jajahannya mengenyam pendidikan, mereka justru bisa mengancam praktik kolonialisme Eropa dan akan berusaha menuntut kemerdekaan. Hal ini terkadang menyebabkan perbedaan antara system pendidikan pribumi dan orang asli Eropa, dan terkadang kami kaum pribumi mengalami diskriminasi dan rasisme di sekolah. Entah dilakukan oleh oknum siswa, orang tua siswa keturunan Eropa, atau bahkan guru tersendiri. Sebagai seorang dari kaum Bumiputera, aku tentu saja kerap mengalami diskriminasi di negeri leluhurku yang dijajah bangsa Eropa ini. Derajatku bahkan dianggap sama seperti hewan, contohnya monyet atau anjing. Mereka kerap menyebut kami dengan sapaan aap (monyet), hund (anjing), neger/zwart (negro), dan masih banyak kata lain. Ada beberapa tempat di sekitar kota Surabaya yang disediakan khusus hanya bagi kaum Eropa, bahkan kaum Indo (Inlander-Londo, campuran Belanda-Pribumi) dilarang masuk karena bukan ‘darah murni’. Seiring berjalannya waktu, selama bersekolah di HBS, pikiranku perlahan- lahan mulai terbuka. Semula aku berpikir bahwa aku rela ditindas demi kebaikan, aku mulai berpikir bahwa ditindas terus menerus justru akan membuat mereka semakin semena-mena. Aku berpikir di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Dengan seizin Tuhan, segala sesuatu terjadi. Bahkan, sekalipun hal yang mustahil, menjadi nyata karena kehendak-Nya. Orang yang membuatku menyadari hal ini adalah seorang guru. Beliau adalah Arabella Doutzen Fleur de Kraker, juffrouw de Kraker (nona de Kraker). Beliau mengajar ilmu sastra dan humanitaria. Nona de Kraker berusia 3 tahun lebih tua dariku, ia adalah seorang keturunan Indo. Hal ini membuatnya memiliki pikiran kritis dan radikal mengenai kemerdekaan Hindia-Belanda. Akan kuceritakan kepada kalian bagaimana nona de Kraker mengubah pola pikirku dan membawa kalian kembali pada masa laluku, di saat aku baru pertama kali menjadi siswa baru di HBS. ************************* “Inilah analisis mengapa buku Max Havelaar karya Multatuli sangat penting bagi keberadaan rakyat Bumiputera di tanah Hindia-Belanda ini” ucap nona de Kraker. “Maar, juffrouw de Kraker, waarvoor we zijn aan het doen dit ding voor deze dom inlander?” (Tetapi, nona de Kraker, untuk apa kita melakukan hal ini untuk para pribumi bodoh ini?) ucap seorang lelaki Belanda bernama Jan Klijn. Ucapan Jan langsung disambut tepuk tangan oleh murid Belanda lain. “Meneer Klijn, let op je woorden! Als een geleerd jongen, je moet zijn beschaamd van wat jij zegt!” (Tuan Klijn, perhatikan kata-katamu! Sebagai lelaki berpendidikan, kau seharusnya malu atas apa yang kau katakan!) teriak nona de Kraker kepada Jan Klijn. “Juffrouw de Kraker, een Inlander zijn niets meer dan een hond en een aap. Waarom deed jij verdedigt ze? Waarom deed jij verdedigt een hond en een aap? Is dit een dierenasiel?” (Nona de Kraker, seorang pribumi lebih rendah daripada seekor anjing dan seekor monyet. Mengapa kau melindungi mereka? Mengapa kau melindungi seekor anjing dan seekor monyet? Apa ini tempat penampungan binatang?) saut siswa lelaki bernama Hendrik van Gils. Sautan itu disambut tertawaan dari siswa Belanda dan cemooh dari siswa Bumiputera. “Hendrik! Hou je mond voordat ik je slaan! Jouw moeder is een inlander! Een hond! Een aap! Je bent half hond, aap, inlander! Je bent een Indo! Dus hou je mond!” (Hendrik! Tutup mulutmu sebelum kupukul kau! Ibumu adalah seorang pribumi! Seekor anjing! Seekor monyet! Kau setengah anjing, monyet, dan pribumi! Kau orang Indo! Jadi tutup mulutmu!) teriakku sambil menahan emosi. “Wisnu, wisnu. Tenang. Jangan marah” ucap nona de Kraker menenangkanku sembari menahanku. “Orang hina seperti binatang tidak pantas bicara bahasa orang Eropa” ucap Hendrik. “Hendrik! Tutup mulutmu!” teriak salah satu teman Indo ku, Willem van Huis. Ia kemudian berlari dan memukul Hendrik. Mereka berdua terlibat cekcok antara satu sama lain. Nona de Kraker, aku,dan teman-temanku yang lain berusaha melerai mereka. Namun, anak-anak Belanda lain malah membiarkan mereka berkelahi. “Ada apa ini?” ucap seorang lelaki tua berambut putih dan kumis panjang masuk ke ruang kelas kami. Ia adalah kepala sekolah kami. “Jou, een Jou, ikut ke kantor saya” ucap pria itu. Hendrik dan Willem akhirnya dapat kami pisahkan. Mereka berdua diantar oleh bapak kepala sekolah HBS menuju ruangannya. “Baiklah anak-anak. Kita biarkan saja nanti bapak kepala sekolah yang urus masalah antara Hendrik dan Willem. Sekarang ibu memberi kalian tugas. Tulihlah satu artikel mengenai kehidupan masyarakat Bumiputera di Hindia- Belanda. Kalian bisa ambil referensi di perpustakaan sekolah, wawancara langsung dengan kaum Bumiputera, dan masih banyak lagi. Besok harus sudah jadi dan dikumpulkan. Selamat siang, kalian semua boleh pulang” ucap nona de Kraker. “Juffrouw de Kraker, permisi. Saya ingin bertanya” ucapku. “Iya Wisnu, apakah ada yang bisa saya bantu?” jawabnya “Begini nona, apakah saya boleh meminta waktu anda sebentar?” tanyaku setelah menyimpan rasa kesal, amarah, dan penasaran dalam hati. “Oh iya, silahkan. Saya juga kebetulan mau makan siang di warung bakso depan Kantor Pos Surabaya. Sekalian saja kita bicara di sana” ajaknya. “Tentu saja, juffrouw. Terimakasih banyak” jawabku Setelah mengendarai kereta uap trem dan berkeliling di sekitar Kota Surabaya selama lima belas menit. Kami tiba di sebuah warung bakso terkenal di Kota Surabaya, yang reputasinya terkenal sangat nikmat dan lezat. Warung itu tak pernah sepi antrian, hingga mereka membuka lima cabang di Surabaya. Kami mengantre selama tiga puluh menit, baru kami dapat memesan. “Bu, baksonya dua nggih pake sambel” ucap Nona de Kraker dengan aksen medhok nya. “Oh iya, sinyo. Kamu mau bicara apa tadi nak?” tanya Nona de Kraker dengan wajahnya penasaran “Oh begini Juffrouw. Aku sedang mencari sebuah penerbit koran nasionalis juffrouw. Mungkin saja juffrouw tau” tanyaku “Untuk apa itu, nak?” tanya Nona de Kraker “Aku ingin mengunggah tulisanku, mengenai kasus pergundikan dan ketidakadilan Belanda dan Bangsa Eropa di negeri Hindia-Belanda. Ini hasil karyaku” ucapku sambil menunjukkannya. “Wow, Wisnu. Saya tau kamu memang murid yang brilian” puji Nona de Kraker “Saya kenal dengan seorang pemilik percetakan koran. Namanya adalah Budi Danudirdja, seorang intelektual dan juga nasionalis. Saya rasa dia bisa membantumu mengunggah tulisan ini. Saya akan bantu kamu sampai selesai” ucapnya “Terimakasih, Nona de Kraker” ucapku sambil mengangguk-anggukan tangannya “Sama-sama, Wisnu” ucapnya sambil tersenyum. Setelah selesai, Nona de Kraker dan aku pergi menuju percetakan dari Bapak Budi Danudirdja yang disebutnya itu. Ketika kami menunjukkan hasil karya kami, beliau sangat senang. Beliau juga seorang orator hebat. Beliau sering membacakan puisi-puisi, artikel-artikel, dan koran-koran cetakan beliau. Semenjak aku menulis artikel-artikel itu, protes semakin membara. Aksi di jalan-jalanan Surabaya meningkat. Rakyat menuntut kemerdekaan. Para tentara Belanda yang mulai kewalahan mulai menembaki para demonstrator tersebut. Aku, Bapak Budi, dan Nona de Kraker menjadi buronan Belanda. Siapapun yang menangkap kami dihadiahi 200.000 gulden. Untuk menghindari opresi dan eksekusi, kami kabur dari Hindia-Belanda dan pergi menetap di Amerika Serikat, dan kami berpisah. Aku tinggal di Los Angeles, California. Nona de Kraker tinggal di Boston, Massachusetts. Sementara, Budi Danudirdja tinggal di Chicago, Illinois. Kami masih sering berhubungan, dan masih sering menulis artikel-artikel nasionalis hingga akhir hayat kami. Tanpa Nona de Kraker, aku tak akan bisa seperti ini. Terima kasih, guruku.