Anda di halaman 1dari 4

Guru Bumiputera

Karya: Nicolas Nesta Rama Umbu Lado / XI IPS 3

Kisah ini kupersembahkan kepada kalian untuk mengenang pahlawan


terbaik menurut diriku ini. Pahlawan ini menjadi sebuah sumber inspirasi,
semangat, dan ilmu bagi diriku. Pahlawan ini bukanlah seorang sosok yang kalian
pikirkan. Beliau bukanlah Jenderal Besar Sudirman, Bapak Proklamator Sukano
dan Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, Radjiman Wedjodiningrat, Kolonel
I Gusti Ngurah Rai, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,
maupun wanita-wanita hebat seperti Raden Ajeng Kartini, Raden Dewi Sartika,
Martha Christina Tiahuhu, Rohana Kuddus, Fatmawati Sukarno, Nyi Ageng
Serang, serta Cut Nyak Dien. Pahlawan ini tidak ikut berjuang dalam peperangan
melawan kolonialisme Belanda. Beliau juga tidak ikut andil dalam
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Melainkan, beliau adalah
seorang guru. Seorang penyambung hidup melalui moral, etika, ilmu, inspirasi,
dan kekuatan bagi setiap manusia.
Perkenalkan, namaku adalah Raden Mas Agung Jayawardana Wisnuputra
Sriwidjaya Bratasenawa, seorang jurnalis, wartawan, penulis, aktivis, dan pejuang
kemerdekaan Hindia-Belanda. Aku adalah anak dari Bendara Raden Mas Agung
Arjuna Dewaputra Bratasenawa, Bupati Mojokerto, sekaligus cucu dari Harya
Patih Mangkunegara. Terlahir dari keluarga priyayi dan kedekatan ayahku dengan
Belanda, membuatku dapat mengenyam pendidikan di Hoogere Burgerschool
(HBS), sekolah dinas pendirian pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Bagi
seorang kaum pribumi sepertiku, pendidikan itu ialah suatu hal yang lebih mahal
daripada emas, terutama bagi kaum-kaum petani, buruh, dan orang yang kurang
mampu. Orang-orang penjajah Eropa takut apabila pribumi di tanah jajahannya
mengenyam pendidikan, mereka justru bisa mengancam praktik kolonialisme
Eropa dan akan berusaha menuntut kemerdekaan. Hal ini terkadang menyebabkan
perbedaan antara system pendidikan pribumi dan orang asli Eropa, dan terkadang
kami kaum pribumi mengalami diskriminasi dan rasisme di sekolah. Entah
dilakukan oleh oknum siswa, orang tua siswa keturunan Eropa, atau bahkan guru
tersendiri.
Sebagai seorang dari kaum Bumiputera, aku tentu saja kerap mengalami
diskriminasi di negeri leluhurku yang dijajah bangsa Eropa ini. Derajatku bahkan
dianggap sama seperti hewan, contohnya monyet atau anjing. Mereka kerap
menyebut kami dengan sapaan aap (monyet), hund (anjing), neger/zwart (negro),
dan masih banyak kata lain. Ada beberapa tempat di sekitar kota Surabaya yang
disediakan khusus hanya bagi kaum Eropa, bahkan kaum Indo (Inlander-Londo,
campuran Belanda-Pribumi) dilarang masuk karena bukan ‘darah murni’.
Seiring berjalannya waktu, selama bersekolah di HBS, pikiranku perlahan-
lahan mulai terbuka. Semula aku berpikir bahwa aku rela ditindas demi kebaikan,
aku mulai berpikir bahwa ditindas terus menerus justru akan membuat mereka
semakin semena-mena. Aku berpikir di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin.
Dengan seizin Tuhan, segala sesuatu terjadi. Bahkan, sekalipun hal yang mustahil,
menjadi nyata karena kehendak-Nya. Orang yang membuatku menyadari hal ini
adalah seorang guru. Beliau adalah Arabella Doutzen Fleur de Kraker, juffrouw
de Kraker (nona de Kraker). Beliau mengajar ilmu sastra dan humanitaria. Nona
de Kraker berusia 3 tahun lebih tua dariku, ia adalah seorang keturunan Indo. Hal
ini membuatnya memiliki pikiran kritis dan radikal mengenai kemerdekaan
Hindia-Belanda. Akan kuceritakan kepada kalian bagaimana nona de Kraker
mengubah pola pikirku dan membawa kalian kembali pada masa laluku, di saat
aku baru pertama kali menjadi siswa baru di HBS.
*************************
“Inilah analisis mengapa buku Max Havelaar karya Multatuli sangat
penting bagi keberadaan rakyat Bumiputera di tanah Hindia-Belanda ini” ucap
nona de Kraker.
“Maar, juffrouw de Kraker, waarvoor we zijn aan het doen dit ding voor
deze dom inlander?” (Tetapi, nona de Kraker, untuk apa kita melakukan hal ini
untuk para pribumi bodoh ini?) ucap seorang lelaki Belanda bernama Jan Klijn.
Ucapan Jan langsung disambut tepuk tangan oleh murid Belanda lain.
“Meneer Klijn, let op je woorden! Als een geleerd jongen, je moet zijn
beschaamd van wat jij zegt!” (Tuan Klijn, perhatikan kata-katamu! Sebagai lelaki
berpendidikan, kau seharusnya malu atas apa yang kau katakan!) teriak nona de
Kraker kepada Jan Klijn.
“Juffrouw de Kraker, een Inlander zijn niets meer dan een hond en een
aap. Waarom deed jij verdedigt ze? Waarom deed jij verdedigt een hond en een
aap? Is dit een dierenasiel?” (Nona de Kraker, seorang pribumi lebih rendah
daripada seekor anjing dan seekor monyet. Mengapa kau melindungi mereka?
Mengapa kau melindungi seekor anjing dan seekor monyet? Apa ini tempat
penampungan binatang?) saut siswa lelaki bernama Hendrik van Gils. Sautan itu
disambut tertawaan dari siswa Belanda dan cemooh dari siswa Bumiputera.
“Hendrik! Hou je mond voordat ik je slaan! Jouw moeder is een inlander!
Een hond! Een aap! Je bent half hond, aap, inlander! Je bent een Indo! Dus hou
je mond!” (Hendrik! Tutup mulutmu sebelum kupukul kau! Ibumu adalah seorang
pribumi! Seekor anjing! Seekor monyet! Kau setengah anjing, monyet, dan
pribumi! Kau orang Indo! Jadi tutup mulutmu!) teriakku sambil menahan emosi.
“Wisnu, wisnu. Tenang. Jangan marah” ucap nona de Kraker
menenangkanku sembari menahanku.
“Orang hina seperti binatang tidak pantas bicara bahasa orang Eropa” ucap
Hendrik.
“Hendrik! Tutup mulutmu!” teriak salah satu teman Indo ku, Willem van
Huis. Ia kemudian berlari dan memukul Hendrik. Mereka berdua terlibat cekcok
antara satu sama lain. Nona de Kraker, aku,dan teman-temanku yang lain
berusaha melerai mereka. Namun, anak-anak Belanda lain malah membiarkan
mereka berkelahi.
“Ada apa ini?” ucap seorang lelaki tua berambut putih dan kumis panjang
masuk ke ruang kelas kami. Ia adalah kepala sekolah kami.
“Jou, een Jou, ikut ke kantor saya” ucap pria itu.
Hendrik dan Willem akhirnya dapat kami pisahkan. Mereka berdua diantar
oleh bapak kepala sekolah HBS menuju ruangannya.
“Baiklah anak-anak. Kita biarkan saja nanti bapak kepala sekolah yang
urus masalah antara Hendrik dan Willem. Sekarang ibu memberi kalian tugas.
Tulihlah satu artikel mengenai kehidupan masyarakat Bumiputera di Hindia-
Belanda. Kalian bisa ambil referensi di perpustakaan sekolah, wawancara
langsung dengan kaum Bumiputera, dan masih banyak lagi. Besok harus sudah
jadi dan dikumpulkan. Selamat siang, kalian semua boleh pulang” ucap nona de
Kraker.
“Juffrouw de Kraker, permisi. Saya ingin bertanya” ucapku.
“Iya Wisnu, apakah ada yang bisa saya bantu?” jawabnya
“Begini nona, apakah saya boleh meminta waktu anda sebentar?” tanyaku
setelah menyimpan rasa kesal, amarah, dan penasaran dalam hati.
“Oh iya, silahkan. Saya juga kebetulan mau makan siang di warung bakso
depan Kantor Pos Surabaya. Sekalian saja kita bicara di sana” ajaknya.
“Tentu saja, juffrouw. Terimakasih banyak” jawabku
Setelah mengendarai kereta uap trem dan berkeliling di sekitar Kota
Surabaya selama lima belas menit. Kami tiba di sebuah warung bakso terkenal di
Kota Surabaya, yang reputasinya terkenal sangat nikmat dan lezat. Warung itu tak
pernah sepi antrian, hingga mereka membuka lima cabang di Surabaya. Kami
mengantre selama tiga puluh menit, baru kami dapat memesan.
“Bu, baksonya dua nggih pake sambel” ucap Nona de Kraker dengan
aksen medhok nya.
“Oh iya, sinyo. Kamu mau bicara apa tadi nak?” tanya Nona de Kraker
dengan wajahnya penasaran
“Oh begini Juffrouw. Aku sedang mencari sebuah penerbit koran
nasionalis juffrouw. Mungkin saja juffrouw tau” tanyaku
“Untuk apa itu, nak?” tanya Nona de Kraker
“Aku ingin mengunggah tulisanku, mengenai kasus pergundikan dan
ketidakadilan Belanda dan Bangsa Eropa di negeri Hindia-Belanda. Ini hasil
karyaku” ucapku sambil menunjukkannya.
“Wow, Wisnu. Saya tau kamu memang murid yang brilian” puji Nona de
Kraker
“Saya kenal dengan seorang pemilik percetakan koran. Namanya adalah
Budi Danudirdja, seorang intelektual dan juga nasionalis. Saya rasa dia bisa
membantumu mengunggah tulisan ini. Saya akan bantu kamu sampai selesai”
ucapnya
“Terimakasih, Nona de Kraker” ucapku sambil mengangguk-anggukan
tangannya
“Sama-sama, Wisnu” ucapnya sambil tersenyum.
Setelah selesai, Nona de Kraker dan aku pergi menuju percetakan dari
Bapak Budi Danudirdja yang disebutnya itu. Ketika kami menunjukkan hasil
karya kami, beliau sangat senang. Beliau juga seorang orator hebat. Beliau sering
membacakan puisi-puisi, artikel-artikel, dan koran-koran cetakan beliau.
Semenjak aku menulis artikel-artikel itu, protes semakin membara. Aksi di
jalan-jalanan Surabaya meningkat. Rakyat menuntut kemerdekaan. Para tentara
Belanda yang mulai kewalahan mulai menembaki para demonstrator tersebut.
Aku, Bapak Budi, dan Nona de Kraker menjadi buronan Belanda. Siapapun yang
menangkap kami dihadiahi 200.000 gulden.
Untuk menghindari opresi dan eksekusi, kami kabur dari Hindia-Belanda
dan pergi menetap di Amerika Serikat, dan kami berpisah. Aku tinggal di Los
Angeles, California. Nona de Kraker tinggal di Boston, Massachusetts.
Sementara, Budi Danudirdja tinggal di Chicago, Illinois. Kami masih sering
berhubungan, dan masih sering menulis artikel-artikel nasionalis hingga akhir
hayat kami. Tanpa Nona de Kraker, aku tak akan bisa seperti ini. Terima kasih,
guruku.

Anda mungkin juga menyukai