Anda di halaman 1dari 7

Halaman 204-271

Kalau benar kau pengagum Revolusi Prancis, mengapa kau tersinggung kalau seorang petani, seperti
Trunodongso, bicara Jawa ngoko padamu?

Kau belum mampu melepaskan keenakan-keenakan yang kau dapatkan dari leluhurmu sebagai
penguasa atas Pribumi bangsamu sendiri.

Kau sedang mulai belajar mengenal bangsamu. Kau telah mendapat sedikit pengetahuan sekarang
ini: bagaimana melalui bahasa Jawa sebenarnya kau ikut memperbudak bangsamu sendiri. Dan kau
pura-pura hendak membela Trunodongso melalui koran.

Bahasa itu tidak mengandung watak penindasan, tepat dengan kehendak Revolusi Prancis.

10. Turun di stasiun aku minta ijin pada mama untuk terus pergi ke kantor Nijman.

Hari ini diriku menjadi penting. Semua yang jatuh, kuawali tulisanku tentang Trunodongso, tani yang
menampung, membangunkankannya kembali: raja, punggawa, prajurit. Orang bilang aku tak kenal
bangsa sendiri. Tunggu! Sebentar lagi orang akan tahu.

Nijman aku rasakan sebagai pesaing yang hendak memojokkan. Tulisan tentang Trunodongso itu
bisa menjadi bukti, dia bisa berbuat begitu. Dia bergirang hati dengan kematian Khouw Ah Soe. Dia
pun bisa bergirang hati dengan kematianku.

Aku ambil naskahku, kumasukkan kedalam tas. Dengan kereta sewaan aku langsung menuju
kerumah Jean Marais. Dalam perjalanan ku cepat cepat aku keluarkan naskah itu dari tas. Aku
pegangi dengan dua tangan, sekali robek, dua kali, tiga kali. Trunodongso, ampun. Aku belum
mampu!

Sesampainya dirumah aku diberitahukan tentang kematian Khouw Ah Soe yang telah banyak
diberitakan. Mama juga bercerita tentang Untung Surapati, orang yang cerdas, pandai, berani. Tak
ada orang Jawa yang tak tahu Untung Surapati, dan semua saja mencintainya.

Beberapa saat kemudian Kommer dan Jean Marais datang membawa kabar tentang koran Nijman
yang ternyata berada di pihak gula itu mengapa tulisan ku tidak diterima olehnya, karna aku masuk
dalam perangkap gula!

Seperti kisah Tuan Mellema yang menuliskan teks menggugat sikap Patih Sidoarjo yang menghalangi
pengeluasan areal tebu, juga membantah pendapat Patih, bahwa gula mengurangi kemakmuran
Sidoarjo. Aku pun memberi tahukan Tuan Kommer

“Dengan hari ini, Tuan Kommer, aku sudah tutup buku. Aku terima saran Tuan, aku akan belajar
melihat keceriaan. Dengan hanya begini kekuatanku terhisap habis.”

11. Belum seluruhnya tutup buku! Kejadian-kejadian dan hal-hal tidak menyenangkan ternyata
masih juga memburu-buru kami.

“Memang sebaiknya kau mencari suasana baru, Nak. Betapa inginku pergi, pergi jauh mengebaskan
diri dari semua ini. Kommer benar. Kita bisa mati membatu bila terus menerus terlanda begini.

Untuk pertama kalinya aku mendengar mama mengeluh. Ia sangat menderita, hanya berita Kommer.
Dan aku sudah dapat menduga apa yang menyusahkannya. Nijman telah memberi sindiran
kepadaku: Tuan Mellema juga melakukan persekongkolan uang sewa tanah. Dan itu dapat di
mengerti oleh mama. Darsam datang untuk menyampaikan laporan dan membawa surat yang
pengirimnya tidak lain adalah Khouw Ah Soe. Isi surat Khouw Ah Soe berisi permintaan maaf dan
terimakasih.

12 . Laporan Darsam ternyata agak panjang, diucapkan seluruhnya dalam Madura.

“Tahu kau apa yang sesungguhnya terjadi malam ini?” tanya Mama kepadaku.”

“Ini, Nak: Darsam, dan orang-orang seperti dia, baru sadar selama ini hidup tergantung hanya pada
jari-jari kanan. Hidup dari jari-jarinya. Mendadak jari-jari itu tak dapat dipergunakan lagi. Dia baru
tahu setelah modalnya rusak, modal hidup si jari-jari. Orang lain berlagak bekerja dengan otak.
Belasan tahun dia belajar, belajar berpikir untuk bisa hidup secara layak sebagaimana dia kehendaki.
Juga pada suatu kali otak bisa rusak, seperti Tuan Mellema. Lenyap semua pendidikan dan latihan
belasan tahun-puluhan tahun. Gentayangan seperti hewan di malam hari, tak tahu lagi diri masih
manusia.”

“Ada lagi orang mempercayakan hidupnya pada kekuasaan kapital. Puluhan tahun ia kembangkan
modal, dari benih kecil jadi pohon beringin yang rimbun. Tiba-tiba diketahuinya modal itu bukan
miliknya yang syah, hanya hasil penipuan semata....”

“Ma!”

“Ternyata sama saja Nak. Aku, Tuan Mellema dan Darsam. Yang tadinya dianggapnya pegangan yang
kukuh, kuat, terpercaya, ternyata hanya sekepal pasir semata. Barangkali ini yang dinamai tragedi
kehidupan. Begini rapuhnya manusia. Dan lihat pula Khouw Ah Soe, muda, cerdas, terpelajar, mati
dibunuh oleh bangsanya sendiri – bangsa yang ia bekerja untuk mereka.

“Dari ceritamu tentang Trunodongso, coba siapa yang membikin dia miskin dan terusir dari
tanahnya? orang-orang yang lebih tahu, lebih banyak tahu tentang petani dan pertanian. Aku yakin,
Tuan Mellema bukan saja tersangkut dalam penipuan uang sewa, lebih dari itu, ia terlibat dalam
pemaksaan dan penindasan. Tak mungin bisa terjadi persengkongkolan sewa tanah kalau tak ada
tanah bisa disewa dengan mudah.”

13. Ternyata buku masih tetap belum bisa ditutup

“Kalau karanganmu dulu jadi diumumkan,” Mama memulai.

“Ya, Ma, tanpa semauku sendiri sebenarnya aku telah mengkhianati mereka.”

“Ada baiknya kau hancurkan tulisan itu. Tapi kau masih dalam bahaya juga, Minke. Nijman tahu
siapa kau. Sastro Kassier dan keluarganya tahu, kau menginap di rumah Trunodongso. Jean Marais
dan Kommer juga tahu karena pernah kau ceritai. Aku juga tahu.

Aku tahu aku harus segera pergi dari rumah ini, dari Wonokromo, dari Surabaya, mencoba
menghilangkan diri.

“Juga aku, Minke, Nak, karena kau selalu bersama denganku. Kita berdua sudah pernah terlibat
dalam perkara. Belum lagi peristiwa Darsam belakangan ini. Kita dalam keadaan semakin buruk.”

Tepat pada waktu kereta berhenti pada tangga rumah, didepan pintu kantor seseorang
mengucapkan kulonuwun. Dari balik jenggot dan kumisnya yang lebat sekaligus aku tahu, itulah
Trunodongso.
Tanpa bicara Mama menariknya naik, masuk ke kantor. Dengan pandang tetap ditujukan padaku,
orang yang dikenal nya, ia berkata sangat pelan:

“Ya, Ndoro, sahaya datang untuk minta perlindungan.”

“Kau sedang demam begini, Truno,” tegur Nyai Ontosoroh.

“Ya, Ndoro, sahaya sakit. Demam. Bukan demam musim tanam. Sahaya paksakan diri datang dalam
keadaan sakit begini.”

Trunodongso segera dipersilahkan untuk duduk dan aku bergegas mengunci pintu agar tidak ada
yang bisa masuk.

“Sahaya datang untuk menyerahkan jiwa sahaya pada Ndoro, juga hidup dan mati anak-bini sahaya.”

“Dimana anak-binimu?” tanya Mama.

Aku bergegas pergi ke jendela kantor, berjaga-jaga jangan sampai ada orang menjenguk ke dalam.

“Masih di seberang kali, Ndoro.”

“Mengapa kau berkerudung sarung begitu?”

Ia buka sarungnya. Ternyata ia tak berbaju, dan pada punggung sebelah kiri menganga luka
sepanjang limabelas sentimeter.

“Kau kena pedang Kompeni, Truno?” desis Mama. “Tutup lagi dengan sarungmu. Nanti kita
panggilkan dokter.”

“Kau sakit. Jangan kau sendiri yang mengambil keluargamu.”

“Mereka tak tahu, tempat ini,” kata Trunodongso.

“Minke akan menjemput mereka, beri tahu saja dia. Minke akan bisa membuat mereka percaya.”

“Kau pergi, Minke. Jangan pakai kereta sendiri. Sewa andong. Truno, katakan di mana mereka
menunggu.

Dengan begitu pergilah aku dengan andong sewaan menuju ke tempat yang ditunjukkan:
penyeberangan rakit tambangan di tepi Brantas. Kusir andong yang menunjukkan di mana aku harus
turun dan meneruskan dengan jalan kaki barang dua kilometer lagi ke selatan, menempuh jalan
kampung. Kusir bersedia menunggu selama aku pergi.

“Man! Cepat sini!” perintahku dalam Jawa.

Orang itu menggeragap. Ketakutan nampak pada wajahnya. Namun ia tepikan juga rakit tambangan
itu dan merancangnya pada tunggul kayu. Galah ia lemparkan ke darat. Ia datang menunduk-nunduk
padaku dan berdiri mengapurancang:

“Ndoro Tuan.”

“Di mana tadi orang-orang yang ada di sini? Yang tidak menunggu rakit” tanyaku.

“Tak ada orang yang tidak menunggu rakit, Ndoro Tuan.”

“Betul tidak ada?” tanyaku mengancam.


Ia diam saja. Dari ketakutannya yang berlebihan aku menduga ia memang menyembunyikan mereka
yang aku cari.

“Jalan di depan. Tunjukkan mana rumahmu.”

Ia berjalan gontai di depanku, sebentar-sebentar menengok ke belakang. Sementara itu aku


menyesal telah memperlakukannya demikian, menyesal telah datang kemari dengan pakaian Eropa
dan bersepatu momok dan sekaligus orang kecil.

Beriringan kami berjalan menyusuri jalan setapak di bawah rumpun-rumpun bambu tepian kali,
melewati ladang-ladang pisang yang tidak terawat.

“Itu rumahmu?” tanyaku setelah melihat sebuah pondok bambu beratap ilalang tersembul di balik
rumpun bambu.

“Pondok sahaya, Ndoro Tuan.”

Pintu yang dari anyaman bambu itu terbuka. Ruang di dalam gelap, penuh asap. Kulihat si Piah
sedang merebus sesuatu dalam kuali tanah. Ia berjongkok menghadapi api. Di sampingnya
berjongkok pula dua orang anak kecil.

Aku menunggu di luar pondok. Dua anak lelaki itu datang menemani aku, duduk diatas tanah. Aku
sendiri di atas potongan batang kelapa. Mereka sama sekali tak membuka mulut. Juga tidak
mencoba menatap mataku. Tukangrakit masuk kedalam pondok, lama tak keluar.

Lima menit kemudian Piah muncul membawa cobek berisi tiga buah ubi kuning di tangan kanan dan
gendi di tangan kiri. Diletakkan cobek itu di atas potongan batang kelapa di sampingku, gendi di atas
tanah dekat kakiku. Ia menyilakan aku makan, saudara-saudaranya tidak.

Aku sorong cobek itu pada dua anak itu.

“Makanlah. Kita akan segera berangkat,” kataku.

Tukangrakit telah sediakan apa yang ia dapat sediakan pada penompang-penompang pelarian itu. Di
tempat lain Insinyur Mellema terpelajar dan cukup berada, justru mengkehendaki milik orang lain.
Dan tidak lain dari Tuan Mellema yang telah ikut serta menyebabkan orang-orang seperti
Trunodongso dan keluarganya jadi kapiran seperti ini. Kau juga, Ah Tjong!

Trunodongso, sekali ini aku gagal, lain kali kau toh akan jadi tokohku – kau, yang tak tahu-menahu
tentang jaman modern. Tak pernah bersekolah. Tak bisa baca tulis.

Sekarang memang belum mungkin. Nanti, nanti kalau aku sudah lebih banyak kenal pada bangsa
sendiri. Sekarang ini mereka harus segera diangku. Aku sendiri mungkin harus segera meninggalkan
Wonokromo dan Surabaya.

“Ayo, sekarang kita berangkat,” kataku pada dua anak lelaki tertua itu

Mereka masuk ke dalam pondok. Aku tunggu lama. Mereka tak juga keluar. Aku masuk. Mereka
semua mengawasi aku dengan mata aneh.

“Ayo cepat, Hari sudah sore. Apa kalian hendak biarkan Pak Truno yang sakit begitu harus menunggu
kalian?”

Tukangrakit ternyata memang menyulitkan pekerjaanku.

“Jadi Mbok Truno dan anak-anak tak mau ikut?” tanyaku.


“Kalau begitu aku akan kembali sendirian. Pak Truno takkan menjemput kalian sebelum lukanya
sembuh.

Aku keluar, berjalan lambat sambil menunggu mereka mengambil keputusan. Lima puluh meter
kemudian baru kedengaran Piah berseru-seru. Aku pura-pura tak dengar, namun langkahku
kuperlambat, memberinya kesempatan untuk menyusul

“Ndoro! Ndoro!” panggilnya.

Aku berhenti. Mulai terdengar nafasnya yang tersengal-sengal.

“Kan Ndoro tidak akan menangkap kami?”

“Bapakmu menunggu dalam keadaan sakit. Kalau tak kujemput, terserah, Piah. Kalau suka, ya, ayo
susul aku.

Siapa pun akan iba pada anak perempuan yang lebih payah semua anggota rombongannya. Dan
dalam keadaan seperti itu mereka masih juga memuliakan mata semboyan kebebasan dari Revolusi
Prancis itu – secuil kebebasan hanya tanpa pernah mengetahui ada Revolusi Prancis. Tapi aku tak
bisa berbuat lain daripada menawarkan jasa.

Ia berdiri termangu.

“Kalau Cuma kau sendiri yang ikut, mari”.

“Sahaya pulang dulu, Ndoro.”

“Ya, pulanglah dulu. Tapi aku tak berhenti. Aku akan jalan terus lambat-lambat.

Belum ada tanda-tanda mereka menyusul.

Sampai di pinggir jalan besar kudapatkan kusir andong sedang tidur nyenyak diatas kendaraannya.
Dehamku membangunkankannya.

“Berangkat sekarang, Ndoro?

“Tunggu sebentar.”

Nah, Kommer, masih juga aku tak mengenal bangsa sendiri? Masih orang akan menganggap aku
kurang penuh, tertawa di belakang punggungku, hanya karena aku Cuma bisa menulis Belanda? Aku
sudah bisa menjawab: biar Cuma secuil, aku sudah mulai mengenal bangsa sendiri, bangsa tani ini.
Lihat, keluarga Trunodongso akan terpaksa harus mengatasi kecurigaan dan ketakutan, terpanggil
oleh pusat keluarganya yang bernama Trunodongso.

Dalam rembang senja sudah mulai nampak mereka berjalan beriringan di kejauhan. Aku turun dari
andong. Menyongsong. Mereka masih kelihatan putus akal.

*Ayo naik!”
Semua dari mereka naik. Diam-diam. Menyerah pada apa saja akan kuperlakukan terhadap diri
mereka. Asal bisa bertemu Trunodongso, bukan karena kelaparan, kelelahan.

Ah, Betapa yang serba Eropa menganiaya kedamaian batin mereka. Aku merasa tak mampu
membuka percakapan lebih lanjut.

Kendaraan memasuki Boerderij Buitenzorg pada waktu matahari sudah lama tenggelam. Mama
memerintahkan membawa mereka langsung masuk ke gudang. Disana Trunodongso sedang duduk
diatas tikar, dirawat Dokter Martinet. Melihat ada seorang Eropa di hadapannya, Mbok Truno dan
anak-anaknya berhenti melangkah, berpegangan satu sama lain.

“Tidak apa-apa,” kataku memberanikan, “masuk terus.”

“Lukanya agak terlambat,” kata Dokter Martinet dalam Belanda pada Mama.

“Begitu orang desa, Dokter,” jawab Mama.

“Bukan luka tersobek bambu,” katanya lagi. “Luka bekas senjata tajam barang seminggu yang lalu.
Pernah terjadi perkelahian disini setelah peristiwa Darsam?”

“Tak ada.”

Dengan itu Dokter Martinet pergi pulang tanpa menyertai kami makan malam. Baru istri dan anak-
anak Trunodongso berani mendekat.

“Nah, Mbok Truno, kau tinggal disini dengan lakimu. Kau dan semua anakmu. Jangan pikir yang
sudah-sudah, yang lain-lain. Rawat lakimu baik-baik. Sana itu ada tumpukan tikar. Kalau tidur gelar
saja di geladak. Gudang ini cukup luas. Jangan bicara sama siapa pun. Jangan bercerita apa-apa.
Sekali kalian bercerita, semua bisa celaka. Mengerti Mbok?”

“Mereka semua mengerti, Ndoro,” Trunodongso menjawabkan dari tempatnya.

“Mari, Nak,” Mama mengajakku pergi


Dalam berjalan ke gedung ia letakkan tangan pada bahuku dan berbisik pelan:

“Sepergimu tadi aku suruh Panji Darman pergi pada Agen Kapal. Kebetulan besok ada kapal
berangkat ke Betawi. Berangkat kau besok nak, Nyo. Berbuatlah seakan tak terjadi apa-apa dan
jangan bilang pada siapa pun.

Aku tangkap tangan Mama dan aku gandeng:

“Anakmu ini akan pergi, Mama. Mama sudah lakukan segala-galanya untukku. Terimakasih banyak.
Tidakkah aku akan berdosa meninggalkan kau seorang diri menghadapi begitu banyak kesulitan,
Ma?”

“Sudah aku pikirkan, Minke.”

Aku ciumi tangan yang pemurah dan penyayang itu, tangan mertuaku. Ia membiarkan tangannya
aku ciumi, mendekati gedung ia teruskan bisikannya:

“Dan jangan kau lupakan amanat temanmu yang telah mati.”

“Siapa Ma?”

“Khouw Ah Soe. Kan kau tidak lupa?”

“Suratnya akan ku sampaikan.”

“Jangan tidak. Amanat orang yang meninggal keramat, Nak.”

“Aku pun punya pesan, Ma.”

“Apa pesanmu? Aku akan bantu kesulitanmu. Kau punya banyak hak untuk itu.”

“Bukan itu, Ma. Trunodongso dan keluarganya.”


“Jangan pikirkan dia. Dia punya hak atas perusahaan ini. Juga semua petani yang pernah dirugikan
oleh Tuan Mellema”.

“Lantas Mama sendiri bagaimana?”

“Semua akan beres. Lagipula, jangan bawa lukisan istrimu.”

“Kadang-kadang rindu, Ma.”


“Jangan. Sekolah mu takkan maju dengan lukisan itu. Lupakan dia, bergaul kau dengan gadis-gadis
lain, Nak. Bergaul secara baik. Dan bila sudah di Betawi, jangan kau, lupa pada Bundamu. Kau terlalu
banyak melupakan wanita mulia itu”.

Anda mungkin juga menyukai